Post on 25-Aug-2018
Analisis Kebijakan Menuju Universal Coverage 2014:Sejarah kebijakan jaminan kesehatan, ideologi dan aktor penyusun kebijakan,serta peran perguruan tinggi
sebuah Working Paperoleh Laksono Trisnantoro∗
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM
Isi:1. Pengantar2. Hasil Pengamatan: Perkembangan Kebijakan
Pembiayaan Kesehatan di Indonesia3. Pembahasan 1: Apakah penyusunan kebijakan
jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti?
4. Pembahasan 2: Bagaimana Peran Perguruan Tinggi? 5. Pembahasan 3:Perbandingan dengan Thailand6. Rangkuman dan Saran dengan berbasis pada model
Engineering
Pengantar:Proses penyusunan kebijakan (Buse dkk 2009):
Menggunakan berbagai tahap
kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi.
Konsep “tahapan heuristik”.
Identifikasi masalah dan isu.Perumusan kebijakanPelaksanaan kebijakanEvaluasi Kebijakan
Prinsip-prinsipEvidence Based Policy Making
Evidence Based Medicine Evidence Based Policy
Sackett dkk mendefinisikanEBM sebagai: “The conscientious, explicit, and judicious use of current best evidence in making decisions about the case of individual patient”. (Sackett DL, Rosenberg WMC,
Muir Gray JA, Haynes RB, Richardson WS. Evidence-based medicine: what it is and what it isn’t. BMJ 1996: 312:71-2)
Cookson memberikan definisiyang serupa, namun berfokus padakeputusan public tentangkelompok atau masyarakat, bukansebuah keputusan tentang individupasien (Cookson R. Evidence-based policy
making in health care: what it is and what it isn’t. Journal of Health Service Research Policy. Vol 10 No 2 April 2005).
Evidence Based Policy MakingSumber: Cookson, 2005
Bukti Ilmiah
Nilai-nilaiKepercayaan
PengalamanBukti Anekdot
Opini
Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika
Keputusan
Situasi A: Tidak Ada bukti Ilmiah.
Tidak ada Bukti Ilmiah yang berasal dari Riset
Nilai-nilaiKepercayaan
PengalamanBukti Anekdot
Opini
Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika
Keputusan
Situasi B: Ada Bukti Ilmiah.
Ada Bukti Ilmiah
Berasal dari
Riset
Nilai-nilaiKepercayaan
PengalamanBukti Anekdot
Opini
Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika
Keputusan
Dalam situasi B ini ada beberapakemungkinan:
B1. Ada Bukti Ilmiah dari riset dasar dan klinik, dan prosesEvidence Based Policy dilakukan. Contohnya adalah: Program TB DOTS Program IMCI
B2. Ada Bukti Ilmiah dari Riset Dasar namun Proses Evidence based Policy tidak berjalan, misalnya: Kebijakan penyemprotan DHF (fogging) Pembelian test diagnostic AIDS melalui saliva oleh Pemda DKI Pemberian makanan tambahan Kebijakan obat-obat kanker Kebijakan Obat AIDS.
ISU-ISU YANG DIANALISIS1. Bagaimana perkembangan kebijakan jaminan kesehatan
di Indonesia2. Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan
dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti?3. Bagaimana peran perguruan tinggi dalam proses
penyusunan kebijakan pembiayaan kesehatan: Saat ini dan masa mendatang.
METODE ANALISIS Analisis ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
melakukan analisis dokumen kebijakan dan observasi. Dokumen kebijakan berada di Arsip Nasional.
Observasi dilakukan secara partisipasi
Hasil
Perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di IndonesiaPeriode Kolonial dan Pasca Kemerdekaan Jaminan kesehatan terbatas pada pegawai pemerintah
kolonial/pegawai negeri/militer/ dan karyawan perusahaan besar
Cakupan rumahsakit sosial terbatas Di tahun 1953, pernah ada UU untuk memberi pelayanan
bagi masyarakat miskin. Tidak jelas pelaksanaannya Jaman Orde Baru: Belum ada program nasional. Ada Dana
Sehat dan JPKM, namun belum sampai rumahsakit dan meluas
Subsidi diberikan ke rumahsakit
Krisis Moneter di tahun 1998 Memicu adanya Jaring Pengaman Sosial (JPS), termasuk
sektor kesehatan Merupakan awal dari proses pemberian jaminan kesehatan
ke masyarakat secara nasional (bukan melalui subsidi ke rumahsakit)
Merupakan kebijakan reaktif untuk mengatasi krisis Merupakan pola Medicaid Amerika Serikat, yang terbatas
membiayai masyarakat miskin. Bukan pola National Health Service di Inggris
Program JPS-BK dilanjutkan ke JPKM
Pada tahun 2005 program dilakukan melalui PT Askes Indonesia.
Bertepatan dengan diberlakukannya UU SJSN
Kepmenkes No 1241/Menkes/SK/XI/2004, 12 November 2004
Program Askeskin menjadi Jamkesmas
Pada tahun 2008:Terjadi keputusan yang menarik, program Askeskin tidak lagi menggunakan mekanisme asuransi.
Di awal tahun ini Departemen Kesehatan memutuskan bahwa program dilakukan melalui mekanisme langsung, dengan nama baru Jaminan Kesehatan Masyarakat. (JAMKESMAS).
Perubahan di awal tahun 2005
Model Subsidi Langsung Model Melalui mekanisme Asuransi:
Pemerintah sebagai
Pembayar
RumahSakit
masyarakat
Pemerintahsebagai
Pembayar
RumahSakit
masyarakat
Asuransi Kesehatan
Perubahan di awal tahun 2005 dan 2008
Model Subsidi Langsung Model Melalui mekanisme Asuransi:
Pemerintah sebagai
Pembayar
RumahSakit
masyarakat
Pemerintah sebagai Pembayar
RumahSakit
masyarakat
Asuransi Kesehatan
Pemerintah sebagai
Pembayar
RumahSakit
masyarakat
Di tahun 2008 kembali Model Subsidi Langsung
Pembahasan 1: Apakah penyusunan kebijakan jaminan
pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti?
Pengamatan
Program Dana Sehat tidak jelas evaluasinya
Program JPKM di Klaten dekade 1990an berada dalam situasi yang ”berlayar sambil membangun kapal”. Tertutup untuk studi.
Periode Bapel JPKM,tidak banyak studi independen yang dipergunakan untuk menguji kelayakannya.
Periode Askeskin (2005-2007) dan Jamkesmas
Periode perubahan dari periode Bapel JPKM ke PT Askes Indonesia pada awal tahun 2005: Kebijakan Departemen Kesehatan yang berdasarkan Bapel JPKM dengan cepat diubah menjadi berdasarkan kerjasama dengan PT Askes Indonesia, tanpa ada studi yang bersifat sebagai pilot.
Pada tahun 2008 terkesan perubahan menjadi Jamkesmas dilakukan berdasarkan negosiasi, bukan berbasis bukti ilmiah.
Dalam waktu 20 tahun terakhir:Belum ada studi komprehensif yang mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan jaminan kesehatan, misal: Studi evaluasi manajemen jaminan kesehatan Studi untuk monitoring siapa pengguna pelayanan
kesehatan dan mutu pelayanannya Studi untuk melihat jangkauan pelayanan Studi kepuasan pengguna dan pemberi jasa pelayanan.
Kebijakan Jaminan Kesehatan yang sangat besar dampak dan biayanya (relatif) tidak disertai dengan stusi monitoring dan evaluasi yang komprehensif.
Di tahun 2010 Jamkesmas dipertanyakan karena dinilai tidak sesuai UU
SJSN Di tahun 2010, ketika terjadi pencanangan Universal
Coverage di tahun 2014, ada skeptisme pencapaiannya (jika menggunakan definisi ILO)
Pertanyaan adalah apakah pencanangan ini sudah didasari oleh penelitian yang comprehensive?
Mengapa tidak jelas dasarnya?
Pemahaman mengenai Universal Coverage sendiri masih belum jelas.
Secara matematika di atas kertas, memang dapat dilihat bahwa dana yang ada dapat mengkover 76 juta manusia Indonesia yang miskin dan setengah miskin.
Pertanyaannya adalah apakah Universal Coverage benar-benar dapat mencakup pelayanannya (akses geografis sebagai salahsatu dari syarat Universal Coverage).
Gambaran Di atas kertas penduduk Kabupaten Larantuka di NTT
mendapat jaminan kesehatan masyarakat untuk pelayanan kesehatan ibu.
Di Larantuka tidak ada dokter spesialis obstetri, anak dan anastesi, maka ibu-ibu yang membutuhkan SC akan tidak mendapatkannya.
Demikian pula ibu-ibu yang tidak ada akses PONEK di RS kabupatennya.
Sementara itu peserta Jamkesmas di daerah yang mempunyai sumber daya kesehatan melimpah, akan mempunyai banyak akses ke pelayanan kesehatan ibu
Dapat disimpulkan untuk kasus di NTT Walaupun sudah ada jaminan kesehatan masyarakat saat
ini (Program Nasional), masyarakat NTT secara praktis belum tercakup. Misal untuk pelayanan kesehatan kebidanan yang darurat (Sectio Caesarian).
Di NTT tidak ada ahli anastesiologi Di NTT, jumlah SpOG dan SpA sangat sedikit. PONEK belum berjalan baik.
Catatan: Ketersediaan Tenaga Dokter Ahli di RS se-NTT (kondisi terkini, 18 Januari 2010) No Kab No RS Dokter Spesialis
RS Obg Anak PD Bdh PK Anest Rö Lain2 Jl Ket.
1 Kota Kupang 1 Johannes Kpg 9 7 4 2 1 0 2 12 37 Resdn (1)
2 Bhayangkara 0 0 1 0 0 0 0 0 1 Dokter Polri
3 Wirasakti 0 0 0 1 0 0 0 0 1 Dokter TNI
2 Kab Kupang 4 Naibonat 2 0 0 0 0 0 0 0 2 Tidak aktif
3 TTS 5 So'e 0 0 1 0 0 0 0 2 3 Ahli mata
4 TTU 6 Kefamenanu 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Belu 7 Atambua 2 0 1 0 0 0 0 0 3
6 Alor 8 Kalabahi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Resdn (4) Dsr
7 Lembata 9 Lewoleba 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Resdn (1) Bdh
8 Flores Timur 10 Larantuka 1 0 0 0 0 0 0 0 1 Selsai Feb '10
9 Sikka 11 TC Hillers Mau 1 1 2 0 0 0 0 2 6 Resdn (1) Bdh
12 Elisabeth Lela 0 0 0 1 0 0 0 0 1
10 Ende 13 Ende 0 1 1 0 0 0 0 1 3 Resdn (1) Bdh
11 Ngada 14 Bajawa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Resdn (4) Dsr
12 Manggarai 15 Ruteng 1 1 1 0 1 0 0 1 5 Resdn (1) Bdh
13 Sumba Timur 16 Umbu Rara Meha 1 1 0 1 0 0 0 0 3
14 Sumba Barat 17 Waikabubak 0 0 0 1 0 0 0 0 1 Resdn (3)
15 Sumba Barat Daya 18 Karitas 0 0 0 1 0 0 0 0 1
16 Rote Ndao 19 Ba'a 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 17 11 11 7 2 0 2 18 68 Resdn (16)
Sumber: Bidang Yanmedik Dinkes NTT 2009 Kadinkes NTT
Dalam Kebijakan Jaminan Kesehatan (termasuk UC 2014) terlihat berada dalam situasi
A: Tidak Ada bukti Ilmiah.
Tidak ada Bukti Ilmiah yang berasal dari Riset
Nilai-nilaiKepercayaan
PengalamanBukti Anekdot
Opini
Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika
Keputusan
Pembahasan 2:Bagaimana Peran Perguruan Tinggi?
Aktor dalam jaminan kesehatan banyak: Pemerintah (termasuk DPR/DPRD), Lembaga Asuransi, RS, Kelompok Ahli, LSM, Masyarakat, dll.
Terkait dengan kebijakan publik yang sarat muatan politik dan dana
Pengalaman subyektif PMPK-UGM sebagai lembaga peneliti dan kebijakan menyiratkan: penelitian memang belum dipergunakan secara penuh dalam sejarah program jaminan kesehatan di Indonesia.
Peran Perguruan Tinggi sering hanya individual
Perguruan
Tinggi Pemerintah sebagai Penetap
Kebijakan
Penyandang dana Penelitian dan
Pengembangan
Individu
Individu dikontrak oleh pemerintah atau penyandang dana penelitianTidak melibatkan team yang komprehensifTidak mengatas namakan perguruan tinggi
Observasi terharap peran individual dari perguruan tinggi Aspek ideologi dan kerpercayaan individu anggota
perguruan tinggi menjadi menonjol; Pembiayaan kesehatan dapat terperangkap menjadi debat
ideologi atau pendapat tanpa bukti; Kurang adanya pembahasan ke aspek teknis yang
kompleks dan membutuhkan penanganan multi profesi dan keahlian;
Hubungan dengan pengambil kebijakan menjadi tidak jelas dan cenderung jangka pendek;
Pertentangan faham antar individu perguruan tinggi dapat membingungkan pengambil kebijakan dan masyarakat.
Pembahasan 3:Perbandingan dengan Thailand Sistem jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Thailand
dimulaidengan nama sistem 30 Baht. Sistem 30 Baht berakar dari sebuah proyek yang disebut
Ayyuddhaya Project di tahun 1989. Proyek ini merupakan kolaborasi antara pemerintah Thailand
dan ahli-ahli dari Belgia. Diperkuat tenaga ahli dari London School of Hygiene and
Tropical Medicine. Proyek ini mempunyai 3 komponen utama yaitu: (1) reformasi pembiayaan; (2) reformasi pelayanan kesehatan; dan (3) reformasi pada hubungan masyarakat dengan pemberi pelayanan.
Peran Perguruan Tinggi Dalam perjalanannya, proyek
ini diperkuat oleh dua orangDoktor yaitu yaitu Dr. VirojTangcharoensathien dan Dr. Supasit Pannarunothai.
Perkembangan selanjutnya ditahun 1993 adalahbergabungnya para ekonomdari Fakultas Ekonomi diUniversitas Thammasat danChullalongkorn, sertaakademisi dari National Economic and Social Development Board.
Peranan akademisi sangat besar dalam perjalanan kebijakan 30 Baht
Pembelajaran dari Thailand(1) Adanya penggunaan ilmu pengetahuan untuk mengatasi
masalah; (2) Adanya minat dan semangat masyarakat untuk membuat
gerakan sosial agar Pelayanan Kesehatan untuk Semua dapat diperhatikan; dan
(3) Adanya dukungan politik di dalam arena legislatif untuk menyelesaikan masalah.
Dalam konteks Evidence Based Policy, program 30Baht dengan jelas telah menggunakan berbagai bukti ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Di FK Naraseuan ada Center for Equity in Health Service. Program 30Baht bukanlah keputusan sesaat.
Ringkasan Sejarah perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di
Indonesia menunjukkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga penelitian belum menjadi pemain penting.
Kegiatan penelitian dan pengembangan masih terpencar-pencar
Belum ada persamaan faham di antara dosen perguruan tinggi.
Berbagai faktor penghambat Pihak Pengambil Kebijakan belum merasa perlu untuk
menggunakan penelitian. Keputusan yang diambil lebih banyak berdasarkan pertimbangan pragmatis sesaat.
Prinsip Evidence Based Policy belum dipergunakan. Demikian pula pihak perusahaan asuransi kesehatan.
Sementara itu di sisi lain para akademisi dan peneliti masih belum mempunyai strategi sebagai lembaga pemikir untuk sistem yang sangat kompleks.
Belum ada pemikiran untuk mengembangkan sebuah think-tank ataupun sebuah konsorsium yang lengkap antar perguruan tinggi.
Penutup: Bagaimana ke depannya? Apakah Proses Kebijakan untuk mencapai Universal
Coverage akan tetap sama seperti ini? Bagaimana peran perguruan tinggi, khususnya para peneliti
dan konsultan?
Catatan:Ada perbedaan arti antara peneliti dan konsultan• Tugas Peneliti tidak terkait dengan pelaksanaan• Tugas Konsultan mencakup penelitian dan pelaksanaan.• Konsultan/Tenaga Ahli di perlukan oleh pengambil
kebijakan yang merasakan manfaatnya• Konsultan ikut bertanggung jawab pada pelaksanaan
kebijakan.Catatan: Saya menggunakan pemahaman sebagai konsultan, yang
tentunya mencakup penelitian.
Masukan
Kebijakan untuk UC perlu belajar dari sistem membangun gedung/konstruksi
Menggunakan pendekatan engineeringMembutuhkan pendekatan multi-profesi
dan penelitian multi disiplin
Model Engineering (1) Universal Coverage
merupakan sebuah sistem riil yang dapat diukur pelaksanaannya.
Siapa yang menggunakan fasilitas kesehatan apa, mutu pelayanan, kepuasan pengguna dan sebagainya merupakan hal yang dapat diukur.
Pengembangannya dapat menggunakan pendekatan engineering seperti yang ada di sektor konstruksi fisik, mesin, atau rekayasa sosial.
Model Engineering (2)• Pengambil kebijakan mengidentifikasi masalah• Tim pengembangan termasuk peneliti mengatasinya
dengan menggunakan pengetahuan baru yang mengarah pada perubahan kebijakan.
• Gambaran detil mengenai bagaimana kebijakan akan dilaksanakan
• Apakah pelaksanaan kebijakan dapat berhasil atau tidak mencapai tujuann maka perlu ada sistem monitoring dan evaluasi
• Ada evaluasi kebijakan untuk perbaikan sistem, atau mungkin menghentikan sama sekali.
Model Engineering (3) Usaha pemecahan masalah mencakup dari Blue-print
kebijakan, perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan kebijakan, sampai ke monitoring dan evaluasi kebijakan.
Dalam konteks engineering akan ada: Konsultan perencana (bisa perguruan tinggi), Para pelaksana kegiatan (misal PT Askes Indonesia-PT
Jamsostek atau Badan Nirlaba yang akan dibentuk, pemberi pelayanan dll),
Konsultan pengawas dan monitoring (bisa perguruan tinggi).
Contoh: gambaran tugas konsultan Perencana:• Harus memperhitungkan aspek pelaksanaan kebijakan.
Kebijakan adalah untuk dilaksanakan, bukan hanya di atas kertas.
Dalam konteks Universal Coverage, pelaksanaan akan mencakup: • penerimaan dokter-perawat terhadap sistem Jamkesmas
(kompensasi/insentif), • aspek Hukum dan UU, • aspek ketidak merataan geografis, • aspek politik,• aspek mutu pelayanan • disamping perhitungan pembiayaan• ......
Ada beberapa prinsip penting yang akan dipergunakan oleh konsultan perencana:Menggunakan sistem yang sudah terbukti bekerja di tempat
yang mirip dengan IndonesiaKemampuan untuk memberikan masukan pada pengambil
kebijakan yang mempunyai tantangan spesifik, khususnya untuk pelaksanaan. Masukan tidak hanya konsepsual.
Tersedianya waktu yang cukup untuk menjalankan kebijakan yang direncanakan
Adanya insentif untuk semua pihak untuk menjalankan kebijakan
Perlu ada suatu kegiatan monitoring agar kebijakan dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh: gambaran tugas konsultan Monitoring • Harus menilai apakah kebijakan jaminan kesehatan dapat
meningkatkan akses dan mutu pelayanan sehingga akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Monitoring meliputi antara lain:- Siapa yang menerima jaminan- Mutu pelayanan medik- Kepuasan masyarakat- Kepuasaan pengguna- Apakah ada perubahan perilaku masyarakat: mengurangi
merokok misalnya.- Efisiensi sistem jaminan: misal Load factor.- .....
Siapa yang akan melakukan penelitian pengembangan dalam konteks engineering?• Keahlian-keahlian dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi kebijakan jelas tidak ada dalam satu orang individu
• Hanya dapat disediakan oleh sebuah tim yang mempunyai para pakar di berbagai bidang tersebut.
• Tim pakar tersebut harus mempunyai kesatuan visi dan pendapat
• Lebih baik memisahkan pakar yang berbeda pendapat, agar masuk ke tim lain sebagai pembanding.
Pengembangan universal Coverage membutuhkan Tim Konsultan/Tenaga ahli yang mencakup antara lain:
• Ahli Pembiayaan (Finance)• Ahli peraturan dan ahli hukum• Ahli Manajemen RS-pelayanan primer dan mutu
pelayanannya• Ahli masalah kompensasi/pembayaran bagi tenaga
kesehatan• Ahli Promosi Kesehatan (jangan sampai sudah diberi
jaminan malah merokok terus).• Ahli komunikasi politik.• .......
Bagaimana pengorganisasian tim untuk mencapai UCoverage? Membutuhkan kerja tim yang kuat Perlu ada dukungan penelitian di setiap tahap
kebijakan. Ada kemungkinan satu perguruan tinggi tidak
cukup. Mungkin diperlukan sebuah Konsorsium.
Hubungan tipe 1. Satu Perguruan Tinggi (sendirian) dengan Penetap Kebijakan
Perguruan
Tinggi
Pemerintah sebagai Penetap
Kebijakan
Pertanyaan:Apakah ada Perguruan Tinggi yang mampu melakukan semuanya?
Hubungan Tipe 2: Konsorsium dengan Penetap Kebijakan
Perguruan
Tinggi 2
Pemerintah sebagai Penetap
Kebijakan Perguruan
Tinggi 3
Perguruan
Tinggi 1
Lembaga Penelitian
B
Lembaga Penelitian A
Konsorsium
Bagaimana hubungan Konsorsium dengan Pembuat Kebijakan1. Konsorsium harus “berani” memberikan masukan dan
bertanggung jawab pada hasil pelaksanaan.2. Pengambil kebijakan harus “berani” mendengarkan3. Harus dilakukan dengan kontrak yang jelas
Konsorsium harus “berani” memberikan masukan dan bertanggung jawab pada hasil pelaksanaan.
• Masukan tidak hanya dalam konsepsual dan perencanaan. • Masukan harus sampai ke teknis pelaksanaan kebijakan
dan sistem Monitoring dan Evaluasinya.• Masukan merupakan hal yang komprehensif dan multi
keahlian• Walaupun ada ideologi yang membayangi,diharapkan
konsorsium tidak terjebak dalam perdebatan ideologi• Diperlukan adanya konsultan pengawasan (monev) yang
independen.Catatan: Sebaiknya tidak memancing perdebatan tidak perlu (perlu
ketrampilan komunikasi politik).
Pengambil kebijakan harus “berani” mendengarkan• Pengalaman buruk di masa lalu: Pengambil kebijakan ada
yang tidak mau mendengarkan pendapat ahli.• Pengambil kebijakan ada yang merasa sudah mampu
mengatasi sendiri masalahnya (make or buy decision,....masak sendiri atau rantangan)
• Ketika tugas rutin menekan, penelitian/pengkajian menjadi terabaikan. Akibatnya keputusan tidak jelas dasarnya.
Catatan: Dalam konteks mendengarkan, bukan berarti keputusan ada di tangan peneliti pengembangan/konsultan.
Kontrak hubungan kerja yang jelas• Pengalaman di masalalu: Tidak jelas hubungan
kerja antara peneliti/konsultan/tenaga ahli dengan pengambil kebijakan.
• Peneliti dan dosen perguruan tinggi lebih banyak yang berperan sebagai narasumber sesaat.
• Sebaiknya dilakukan ada hubungan kerjasama yang multi-years.
HarapanSemoga masukan ini bisa menjadi sebuah pemicu untuk
strategi baru para peneliti/tenaga ahli dalam:
Melakukan diskusi Memberikan masukan untuk pengambil
kebijakan Kerjasama antar perguruan tinggi dan lembaga-
lembaga penelitian serta perusahaan konsultan.Demi meningkatnya status kesehatan
masyarakat di Indonesia
TERIMA KASIH