Post on 15-Apr-2016
BAB I
PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue
tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori
“A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang
mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak.1,2,3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun
2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan
kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%
(2007).4,5
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit,
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air.6
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol
vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal
1
pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat
penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip
utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.
Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan
pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien.7
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam dengue merupakan sindrom
benigna yang disebabkan oleh arthropod-borne virus,
dengan karakteristik demam bifasik, mialgia atau
artralgia, kemerahan, leukopenia, dan limfadenopati.
Demam berdarah dengue (DBD) adalah bentuk yang lebih berat dari demam
dengue, sering kali bersifat fatal. Demam berdarah dengue bermanifestasi dengan
perdarahan, trombositopeni dan meningkatnya permeabilitas vaskular yang dapat
menyebabkan sindrom syok dengue (SSD), suatu keadaan yang dapat
membahayakan kehidupan.8
2.2 Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue pertama kali dicurigai di
Surabaya pada tahun 1968. Pada saat ini DBD di banyak Negara di kawasan Asia
Tenggara merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Morbiditas
dan mortalitas DBD yang dilaporkan dari berbagai Negara bervariasi dan
3
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan
vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue.
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita,
tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada
awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah
penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%).
Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderia yang digolongkan
dalam golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD
terbanyak ialah anak berusia 5-11 tahun.9
4
Gambar 1. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
2.3 Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses
5
(arboviruses), genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Keempat type virus tersebut
telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta.
Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe DEN-
1 dan DEN-3. Sifat nyamuk Aedes Aegypti:
1. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk domestik, yakni nyamuk yang
berada di bangunan-bangunan seperti contohnya rumah dan tersebar luas di
daerah tropis
2. Kemampuan terbang + 40 m, maksimal 100 m
3. Senang dengan benda yang bergantungan dan di tempat yang lembab/gelap
4. Siklus hidup : telur – jentik – kepompong dalam air ( + 7 – 10 hari )
5. Sekali bertelur menghasilkan 100-200 telur
6. Tempat perkembangbiakan adalah di TPA (Tempat Penampungan Air)
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
6
saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada
telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak
penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Gambar 2. Cara Penularan DBD
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu:
7
1. Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
2.4 Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue
adalah hipotesis immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection theory). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat
bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue dan sindrom syok dengue. Respons imun yang diketahui berperan dalam
patogenesis virus DBD adalah:
a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi oleh komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag.
b. Respon selular (Th CD4+ dan Tc CD8+) berperan dalam respon imun selular
terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 memproduksi Interferon
gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan
IL-10.
8
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
Antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya c3a dan
c5.7
Gambar 3. Patogenesis Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan Hipotesis Immune Enhancement
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai
risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD.7 Antibodi heterolog yang telah
9
ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian
membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor
dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka
virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di
dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 3 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
10
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian.9
Gambar 4. Patogenesis DBD berdasarkan the secondary heterologous infection
11
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah
(gambar 4). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
12
Gambar 5. Proses Terjadinya Perdarahan Pada Pasien DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di
sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan
oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
13
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.
2.5 Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian
infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari
tanpa gejala (asymtomatic), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated
febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).
Gambar 6. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue
Demam Dengue
14
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi
mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri
belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya
ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2
hari ) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus
pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain
itu, dapat juga ditemukan petekie. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan
leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat
disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan
wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan
seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan
menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan
dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak
dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran
plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.10
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala,
nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,
namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut yang
15
dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Suhu biasanya tinggi (> 39 C).⁰
Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.10
Gambar 7. Kurva suhu pada DBD
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekie halus ditemukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada
fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,
perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun
pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun
pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.10
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
16
bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok.10
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam.5
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR, namun karena
teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologi yang mendeteksi adanya antibodi
spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG. Parameter
laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau menurun.
Trombositopenia : umumnya tampak pada hari ke 3-8
Peningkatan hematokrit >20%, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hipoproteinemia.
SGOT/SGPT dapat meningkat.
Ureum, kreatinin bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
17
Elektrolit sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah bila akan dilakukan transfusi darah atau komponen darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG pada infeksi primer, mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder terdeteksi hari ke-2.7
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1
(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.
Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen
NS1dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode
ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai
hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi
sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1
sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.11
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat ditemui pada kedua
18
hemitoraks. Pemeriksaan rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus
kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.5,7
Gambar 8. Efusi Pleura
2.7 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di
bawah ini dipenuhi:
a. Klinis
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
19
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis, atau purpura.
Perdarahan mukosa (tersering epitaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan di tempat lain.
Hematemesis atau melena.
Hepatomegali
Syok, yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun (≤
20 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari, dan kaki. Pasien menjadi gelisah dan sianosis di sekitar mulut.
b. Laboratorium
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma :
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis ditambah dua kriteria laboratorium cukup untuk
menegakkan diagnosis kerja DBD.10
20
Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 dejarat, yaitu:
• Derajat I : Demam diikuti gejala spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan
adalah test Torniquet yang positif atau mudah memar.
• Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan pendarahan spontan,
pendarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
• Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan
lemah, hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab, dan penderita gelisah.
• Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba, dan tekanan darah tidak
dapat di periksa, fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. 10
21
22
Gambar 9. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
2.8 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan
perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan
koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit
DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak
baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi
masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok)
dengan baik.
1. Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan:
23
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian
parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena
dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap
komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan
oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase
demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).
Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena
itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar
hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,
apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan,
sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak
mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
24
Gambar 10. Penatalaksanaan Kasus Tersangka DBD
25
Gambar 11. Penatalaksanaan Kasus Tersangka DBD (lanjutan)
2. Demam Berdarah Dengue
26
Perbedaan patofisilogi utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit.
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan
jumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata
dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik
atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan
sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan
peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <
50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas,
rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.
Fase Demam
27
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan
untuk pemberian atau dapat disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1
Dosis Parasetamol menurut Kelompok Umur
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis,
sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6
jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan
80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap harus
diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik
diberikan antikonvulsif selama demam.
28
Pasien harus diawasi terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase
demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu
normal kembali.
Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin
dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk
Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan
dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian volume
29
cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara
umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
30
Gambar 12. Penataksanaan Kasus DBD
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan
glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium
bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat
hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus
sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan
untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5
sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 – 8 %)
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per hari
< 7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
> 18 88
31
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)
Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah
1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena
perembesan plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat
suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan
kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit.
Penggantian volume yang bedebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu
mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase
penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam
intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema
32
paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai
tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis,
oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau
hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit
meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Tabel 4
Jenis Cairan (Rekomendasi WHO)
Kristaloid Koloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali
(D5/1/2LGF)
Dekstran 40
Plasma
Albumin
Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan
yang mengandung dekstran
3. Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien
anak akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48
33
jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg
segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan
diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Bila tidak ada perbaikan pemberian
cairan kristaloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60
menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan
stop pemberian kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam.
34
Gambar 13. Penatalaksanaan SSD
Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap
35
sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka
berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30
ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit. Pemeriksaan hematokrit untuk memantau
penggantian volume plasma. Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda
vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan
menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan
plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada
pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan
indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu
diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan
jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai
dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan
menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
36
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,
maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat.
Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana
pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien
syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage)
apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi
40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan.
37
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena
cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma
segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan
masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif
sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus
diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID.
Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis
pasien stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
38
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup
1 ml/kgBB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin
tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada
umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu
dipertimbangkan.3
Kriteria Rawat Pasien:
Ada tanda kedaruratan:
- Syok
- Muntah terus menerus
- Kejang
- Kesadaran menurun
- Muntah darah
- BAB hitam
Hematokrit cenderung meningkat setelah 2 kali pemeriksaan berturut-turut
Hemokonsentrasi (Ht meningkat = 20%)
Kriteria Memulangkan Pasien12
Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
39
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik
2.9 Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk penyakit demam
berdarah. Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau
mengurangi vektor nyamuk demam berdarah. Insiatif untuk menghapus kolam-kolam
air yang tidak berguna (misalnya di pot bunga) telah terbukti berguna untuk
mengontrol penyakit yang disebabkan nyamuk, menguras bak mandi setiap seminggu
sekali, dan membuang hal - hal yang dapat mengakibatkan sarang nyamuk demam
berdarah Aedes Aegypti.
40
Gambar 14. Pencegahan DBD
Hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan agar terhindar dari
penyakit Demam berdarah, sebagai berikut:
41
1. Melakukan kebiasaan baik, seperti makan makanan bergizi, rutin olahraga, dan
istirahat yang cukup;
2. Memasuki masa pancaroba, perhatikan kebersihan lingkungan tempat tinggal dan
melakukan 3M, yaitu menguras bak mandi, menutup wadah yang dapat
menampung air, dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang
perkembangan jentik-jentik nyamuk, meski pun dalam hal mengubur barang-
barang bekas tidak baik, karena dapat menyebabkan polusi tanah. Akan lebih
baik bila barang-barang bekas tersebut didaur-ulang;
3. Fogging atau pengasapan hanya akan mematikan nyamuk dewasa, sedangkan
bubuk abate akan mematikan jentik pada air. Keduanya harus dilakukan untuk
memutuskan rantai perkembangbiakan nyamuk;
4. Segera berikan obat penurun panas untuk demam apabila penderita mengalami
demam atau panas tinggi;
5. Jika terlihat tanda-tanda syok, segera bawa penderita ke rumah sakit.
Bagian terpenting dari pengobatannya adalah terapi suportif. Pasien
disarankan untuk menjaga diet makanannya, terutama dalam bentuk cairan. Jika hal
itu tidak dapat dilakukan, penambahan dengan cairan intravena mungkin diperlukan
untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfusi platelet
dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis.
42
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu:
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
pemberantasan sarang nyamuk, pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah.
Sebagai contoh :
Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.
Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.
Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumnah dan
lain sebagainya.
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pernakan jentik
(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna
untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
43
Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lainl lain
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dIl sesuai dengan kondisi setempat.13
2.10. Diagnosis Banding
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue
dan peyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis yaitu campak, demam
chikunguya, leptospirosis, malaria atau penyakit darah seperti trombositopenia
purpura idiopatik, maka gejala penyerta lain harus ditanyakan seperti batuk, pilek,
diare, tipe demam, menggigil, pucat, ikterus, dan lainnya.14
2.11 Komplikasi
Pada DD tidak terdapat komplikasi berat namun anak dapat mengeluh
lemah/lelah (fatigue) saat fase pemulihan. Komplikasi berat dapat terjadi pada DBD
yaitu ensefalopati dengue pada DBD dengan atau tanpa syok, kelainan ginjal akibat
44
syok berkepanjangan dapat menyebabkan gagal ginjal akut, atau edem paru akut,
kerusakan hati, kejang, dan syok.15,16
2.12 Prognosis
Kematian dapat terjadi pada 40-50 % pasien DHF dengan syok (DSS), namun
dengan perawatan intensif yang tepat angka kematian bisa ditekan hingga 1 %.8
Prognosis DHF tergantung dari saat diagnosis adanya perembesan plasma ditegakkan
yaitu saat terjadi penurunan trombosit disertai peningkatan hematokrit. Fase kritis
adalah saat suhu turun yaitu antara hari ketiga sampai kelima sakit. Pemberian cairan
garam isotonik intravena sebagai pengganti kehilangan plasma dapat mengurangi
derajat beratnya penyakit.5
45
BAB III
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera
ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus
Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan
memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini.
Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan
akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan
adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis
maupun laboratorium untuk menilai respon kecukupan cairan.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Suroso. T. Hadinegoro SR, Wuryadi S, Sumanjuntak G, Umar AI, Pitoyo PD, et.al.
Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Demam Berdarah Dengue. WHO dan
Depkes. RI, Jakarta 2000. P.3 – 58.
2. Dinkes Sukoharjo. Laporan Situasi Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Sukoharjo. Subdin P2P. Sukoharjo 2004.
3. Soedarmono, Sp. Demam Berdarah Dengue. Medika 1995: XXI ( 10 ) : 798 - 808.
4. KS. Tatang. Demama Berdarah Dengue : Pengamatan Klinik dan Pelaksanan di
rumah sakit. Ebes Papyus 2001 : 7.(3).
5. Sumarmo. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. Universitas Indonesia (UI –
press). Jakarta. 1999.
6. Indrawan. Mengenal dan Mencegah Demam Berdarah. Bandung :CV. Pionir Jakarta
: 2001.
7. Thomas. S. Dkk. Epidemiologi dan Penanggulangan penyakit DBD Di Indonesia
Saat ini. Dalam Demam Berdarah Dengue..
8. Suroso. Pranoto. Pencegah dan pemberantasan DBD Simposium DBD Jakatra 1998.
9. Depkes RI. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Menular, Penyakit Demam
Berdarah Dengue. Dir Jend. P2M dan PL Jakarta .1999. hal 12 – 13.
10. Depkes RI. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Dit.
Jend P2M dan Pl jakarta 1999 hal 15.
11. Http://Virus Penyebab Demam Berdarh. Com/hg/berita.asp2 id = 123611
47
12. Http:// Gambaran Klinis Demam Berdarah . Com/hg/berita.asp2 id = 123611
13. Http://TingginyaKasusDemamBerdarah.Com/hg/nusa/jawamadura/2006/12/10/
brk,20061210-89229.id.html
14. Depkes RI. Pedoman Pengamatan Dan Penamggulangan Kejadian Luar Biasa
(KLB) di Indonesia. Dir. Jend P2M dan PL Jakarta :2005.
15. Notoatmojo. Soekijo, Sarwono Salita. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan .Badan
penerbit kesehatan Masyarakat FKM. UI. Jakarta.
16. Smert Bart. Psikologi Kesehatan. Gramedia Widiasarana. Indonesia.
48