Post on 05-Jul-2018
8/16/2019 Rahma Utami
1/28
i
KARAKTERISTIK PEMANASAN PADA
PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM( Mesona palustris)
SKRIPSI
RAHMA UTAMI
F14070105
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR
2012
8/16/2019 Rahma Utami
2/28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cincau merupakan salah satu jenis minuman yang banyak digemari oleh masyarakat di
Indonesia. Bahan baku minuman cincau berasal dari daun tanaman pembuat cincau. Daun yang telah
dipetik, selanjutnya mendapat perlakuan sortasi dan pencucian agar kotoran yang melekat pada daun
terlepas. Daun yang telah dicuci, selanjutnya dirajang menjadi ukuran yang lebih kecil agar mudah
diekstrak untuk memperoleh larutan gel cincau.
Tanaman yang digunakan sebagai bahan pembuat cincau terdiri atas empat jenis, yaitu cincau
hijau (Cyclea barbata), cincau hitam ( Mesona palustris), cincau perdu ( Premna serratifolia), dan
cincau minyak (Stephania hermandifolia). Tanaman yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia sebagai bahan pembuat cincau adalah tanaman cincau hijau dan cincau perdu. Namun,
tanaman yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat cincau adalah cincau hijau, cincau
perdu, dan cincau hitam.
Tanaman cincau hitam atau dikenal dengan nama janggelan, merupakan salah satu jenis
tanaman cincau yang banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia.
Tanaman cincau hitam dapat tumbuh dengan baik pada dataran menengah hingga dataran tinggi. Di
Indonesia, tanaman cincau hitam dibudidayakan secara serius di Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun, industri cincau hitam terdapat di Surakarta, Jawa Tengah dan
di Jakarta.
Cincau hitam dapat diolah menjadi minuman segar yang teksturnya seperti agar-agar atau
dibuat dalam bentuk bubuk cincau hitam instant . Di Indonesia, gel cincau hitam sudah dikenal sebagai bahan pangan tradisional, yang digunakan sebagai variasi berbagai minuman. Gel cincau hitam
biasanya digunakan bersama-sama dengan potongan buah-buahan, irisan kelapa muda, sirup encer,
atau sebagai campuran dalam minuman seperti es campur. Gel cincau hitam dalam sebuah minuman,
dapat memberikan cita rasa yang khas, memberikan warna-warni dalam suatu campuran minuman
sehingga terlihat lebih menarik.
Gel cincau hitam memiliki kelebihan dibandingkan gel cincau hijau. Tekstur gel cincau hijau
lebih lunak (lembek) dan rapuh, sehingga lebih sulit diiris. Sedangkan gel cincau hitam lebih tegar dan
kokoh sehingga lebih mudah diiris. Pada suhu kamar, gel cincau hitam dapat bertahan hingga 4 hari,
sedangkan pada gel cincau hijau hanya bertahan 2 hari (Widyaningsih, 2007). Kelebihan ini, membuat
penggunaan gel cincau hitam lebih beragam dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Produk cincau hitam masih sedikit dihasilkan di Indonesia. Industri pengolahan cincau hitam
masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Kebanyakan produk cincau hitam banyak
diproduksi oleh negara lain, seperti Singapura, Malaysia, China, Taiwan, dan Korea. Padahal bahan
baku cincau hitam yang dibuat oleh negara tersebut, berasal dari Indonesia.
Gel cincau hitam juga mengandung banyak air (±98%), sehingga banyak orang memanfaatkan
gel cincau hitam sebagai makanan rendah energi untuk tujuan diet, baik karena alasan kesehatan
maupun untuk keperluan melangsingkan tubuh. Selain itu, gel cincau hitam diyakini berkhasiat
sebagai obat penurun panas dalam, demam, sakit perut (rasa mual), diare, batuk, sariawan, pencegah
gangguan pencernaan dan penurun tekanan darah tinggi. Bahkan di China dan Taiwan, cincau dikenal
dengan nama hsian tsao yang digunakan sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah dan obat
diuretik.
8/16/2019 Rahma Utami
3/28
Gel cincau hitam yang ada di pasaran saat ini, ada dalam bentuk bubuk cincau hitam instant ,
gel cincau hitam dalam kemasan plastik, cup plastik 200 gram, kotak mika 250 gram, dan kemasan
kaleng 300 ml yang kebanyakan diproduksi oleh negara lain, seperti Singapura, Taiwan, dan
Malaysia.
Pengemasan gel cincau hitam dapat meningkatkan nilai tambah produk tersebut dimatakonsumen. Pengemasan yang baik akan menghindari gel cincau hitam dari benturan, tekanan,
goncangan yang dapat menurunkan mutu produk. Selain itu, pengemasan juga dapat memudahkan
dalam penyimpanan, transportasi, serta memperpanjang daya simpan. Gel cincau hitam yang dikemas
dalam kaleng akan terlindung dari kontaminasi mikroba, serangga, atau bahan asing yang dapat
menyebabkan kerusakan pada gel cincau hitam baik dari segi cita rasa, nilai gizi, maupun penampilan.
Gel cincau hitam yang dikemas dalam kaleng akan mempermudah dalam proses penyimpanan dan
transportasi sehingga dapat meningkatkan peluang ekspor dan impor.
Pengemasan cincau dalam kaleng harus memperhatikan pengaruh gel cincau hitam terhadap
proses pemanasan. Dalam proses pengalengan terdapat proses sterilisasi yang menggunakan panas
pada suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Menurut Muhtadi (1994), sterilisasi tidak hanya bertujuanuntuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk
menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya, dan citarasa sesuai yang
diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk
menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu
masak.
B. Tujuan
Mendapatkan karakteristik penetrasi panas (21
,,, hhc f f j j ) selama sterilisasi pada proses
pengalengan gel cincau hitam, menentukan titik dingin (cold point ) produk dalam kaleng, sertamenentukan dan membandingkan F0 dalam kemasan kaleng dengan menggunakan metode Umum dan
metode Formula.
8/16/2019 Rahma Utami
4/28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cincau
Cincau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) adalah gel serupa agar-agar yang diperoleh dari
perendaman daun (atau organ lain) tumbuhan tertentu dalam air. Gel terbentuk karena daun tumbuhan
tersebut mengandung karbohidrat yang mampu mengikat molekul-molekul air. Kata "cincau" sendiri
berasal dari dialek Hokkian sienchau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) yang lazim dilafalkan di
kalangan Tionghoa di Asia Tenggara. Cincau sendiri di bahasa asalnya sebenarnya adalah nama
tumbuhan ( Mesona spp.) yang menjadi bahan pembuatan gel ini.
Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), cincau bermanfaat sebagai bahan pangan terutama sebagai
bahan baku minuman yang telah dikenal sejak lama. Selain itu, cincau juga berkhasiat sebagai obatkarena mengandung serat alami yang mudah dicerna oleh tubuh manusia. Serat alami berperan dalam
proses percernaan makanan dan mencegah timbulnya penyakit kanker usus. Gelatin cincau diakui
bermanfaat untuk mengobati panas dalam dan sakit perut (abdomen discomfort ).
Tanaman cincau secara teknis bermanfaat untuk menunjang konservasi lahan karena tanaman
ini mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan kering yang relatif kurang menguntungkan. Saat
ini, tanaman cincau hitam dan cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai komoditas agroindustri dan
agrobisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi petani yang membudidayakannya. Tanaman
cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai bahan dagangan walaupun sifatnya sangat terbatas dan
musiman. Sedangkan, tanaman cincau hitam telah lama menjadi bahan dagangan lokal dan sebagai
komoditas ekspor penghasil devisa negara.
Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), tanaman cincau terdiri dari empat jenis yaitu cincau hijau
(Cyclea barbata), cincau perdu ( Mesona palustris), cincau minyak (Stephania hermandifolia), dan
cincau hitam ( Premna serratifolia). Perbedaan beberapa jenis cincau dapat dilihat pada Tabel 1.
Cincau Hijau (Cyclea barbata) Cincau Perdu ( Premna oblongifolia)
Cincau Minyak (Stephania hermandifolia) Cincau Hitam ( Mesona palustris)
Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau
http://id.wikipedia.org/wiki/Hanzihttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Gelhttp://id.wikipedia.org/wiki/Agar-agarhttp://id.wikipedia.org/wiki/Daunhttp://id.wikipedia.org/wiki/Airhttp://id.wikipedia.org/wiki/Karbohidrathttp://id.wikipedia.org/wiki/Hanzihttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoahttp://id.wikipedia.org/wiki/Asia_Tenggarahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Mesonahttp://id.wikipedia.org/wiki/Asia_Tenggarahttp://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoahttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Hanzihttp://id.wikipedia.org/wiki/Karbohidrathttp://id.wikipedia.org/wiki/Airhttp://id.wikipedia.org/wiki/Daunhttp://id.wikipedia.org/wiki/Agar-agarhttp://id.wikipedia.org/wiki/Gelhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pinyinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Hanzi
8/16/2019 Rahma Utami
5/28
Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau
No. KomponenPerbedaan Cincau
Hijau Minyak Perdu Hitam
1 Bahan Baku Daun Segar Daun segarDaundilayukan
Brangkas (batangdaun) kering
Daun asli
lemasDaun asli kaku Daun asli kaku Daun asli lemas
Bentuk dan
ukuran asli
Bentuk dan
ukuran asli
Bentuk dan
ukuran asli
Bentuk dan
ukuran telah
berubah dan susut
Warna hijau
klorofil
Warna hijau
klorofil
Warna hijau
klorofil
Warna cokelat
karena ikatan
klorofil rusak
Relatif bersihdari kotoran
Relatif bersihdari kotoran
Relatif bersihdari kotoran
Banyak kotoran,
campuran bendalain ketika proses
pengeringan
Aroma
spesifik,
lemah
Aroma spesifik,
lemah
Aroma langu,
kuat
Aroma spesifik,
lemah
2 ProsesTanpa
pemanasan
Tanpa
pemanasan
Pelayuanalami dan
dengan air
hangat
Perebusan dua
kali, ditambahkan
dye dan disaring
Diremasdengan air
matang dingin
Diremas denganair matang
dingin
Diremas
dengan air
matang dinginatau hangat,
lalu ditambah
bahan
pengental
Direbus danditambahkan
tepung
Disaring,
dicetak
dibiarkan
dingin, dan
mengental
Disaring,
dicetak
dibiarkan
dingin, dan
mengental
Disaring,
dicetak
dibiarkan
dingin, dan
mengental
Dicetak dan
dibiarkan dingin
3 Hasil Produk Sedikit SedikitSedikit-
BanyakSangat banyak
Kebutuhan
keluarga
Kebutuhan
keluarga
Kebutuhan
keluarga dan
komersial
Kebutuhan
keluarga dan
komersial
4 Skala usaha
Tanaman
sisipan
Tanaman
sisipan
Tanaman
sisipan ataukhusus
Tanaman sisipan
atau khusus
Daun tidak
dijual
Daun tidak
dijualDaun dijual Brangkas dijual
Sumber : Pitojo dan Zumiati (2005)
B. Cincau Hitam
Tanaman cincau hitam merupakan tanaman perdu dengan ketinggian 30-60 cm dan tumbuh
pada ketinggian 150-1800 m diatas permukaan laut (Heyne (1987) dalam Rahmawansyah (2006)).
Batangnya beruas, berbulu halus dengan bentuk menyerupai segiempat, kebanyakan cabang pada
bagian dasarnya, dan berwarna agak kemerahan. Daun tanaman cincau hitam berwarna hijau, lonjong,
8/16/2019 Rahma Utami
6/28
8/16/2019 Rahma Utami
7/28
Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam
Komponen Jumlah per 100 gram
Kalori 122.0 kal
Protein 6.0 gramLemak 1.0 gram
Karbohidrat 26.0 gramKalsium 100.0 mg
Fosfor 100.0 mg
Besi 3.3 mg
Vitamin A 10,750 SI
Vitamin B1 80.0 mgVitamin C 17.0 mg
Air 66.0 gram
Bahan yang dapat dicerna (b.d.d) (%) 40
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1992 dalam Widyaningsih (2007)
C. Gel Cincau Hitam
Gel merupakan suatu fenomena yang menunjukkan sifat kekerasan dan kadang-kadang pada
konsentrasi zat terlarut sangat rendah, tidak menunjukkan perubahan fungsional dari zat pelarutnya
(Meyer, 1973).
Gel mempunyai derajat kekompakan (rigiditas), elastisitas, dan kerapuhan yang tergantung
pada jenis dan konsentrasi komponen pembentuk gel, kandungan garam, pH fase cairan, dan suhu.
Komponen pembentuk gel pada tingkat 10% atau kurang dapat berupa polisakarida, protein atau
partikel kompleks koloidal seperti misel-misel kaseinat (Powrie dan Tung, 1976).
Cincau hitam merupakan masa gel yang berwarna hitam kecoklatan yang diperoleh dari pengolahan panas dari tiga komponen berupa tanaman janggelan (cincau hitam), pati, dan abu qi.
Masa ini mempunyai konsistensi yang mirip dengan masa gel yang diperoleh dari agar-agar (Balai
Penelitian Kimia (1975) dalam Supriharsono (1991)). Gel cincau hitam termasuk jenis gel
termoreversibel (Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nuraini (1994)) dimana gel dapat mencair dan
dibentuk kembali dengan penambahan dan pengurangan energi panas.
Tekstur gel yang baik mempunyai kekuatan pecah berkisar antara 9 sampai 25 gr/cm2. Gel
dengan kekuatan pecah kurang dari 9 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu lunak, sedangkan gel
dengan kekuatan pecah lebih besar dari 25 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu keras.
Sineresis menunjukkan kemampuan gel dalam menahan air selama penyimpanan. Sineresis gel
cincau hitam cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi dan perbandingan komponen
pembentuk cincau-pati. Tekstur gel yang baik mempunyai nilai sineresis kurang dari 60% setelah
penyimpanan selama tiga minggu (Hasbullah dan Fardiaz, 1998).
Berdasarkan Rahmawansah (2006), yang telah melakukan observasi ke pedagang cincau hitam
di daerah bogor, pada proses ekstraksi penggunaan bobot tanaman cincau sebanyak 6%. Proses
perebusan dilakukan selama 2 jam atau lebih. Hal ini seperti yang dikatakan Asyhar (1988) yaitu
waktu yang diperlukan untuk mengekstrak tanaman cincau adalah 2-3 jam. Dalam pembentukan gel
cincau hitam perlu diperhatikan perbandingan ekstrak cincau hitam (komponen pembentuk gel)
dengan pati (tepung tapioka). Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin.
Penggunaan tepung jenis ini disukai oleh pengolah makanan karena tidak mudah
menggumpal, memiliki daya perekat yang tinggi sehingga pemakaianya dapat dihemat, tidak
mudah pecah atau rusak, dan suhu gelatinisasinya rendah (Zuhri, 2010). Menurut Supriharsono
8/16/2019 Rahma Utami
8/28
(1991), kekuatan gel tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi komponen pembentuk gel menggunakan
abu qi pada konsentrasi 0.3%.
D.
Proses Pengalengan
Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat
(hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Desrosier, 1978). Setelah proses sterilisasi harus segera
dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over cooking pada makanan dan tumbuhnya
kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz, 1980).
Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap, diantaranya
persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting , sterilisasi,
pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1978).
Persiapan bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan, pencucian,
pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk pengolahan selanjutnya (Luh
dan Woodroof (1975) dalam Sylviana (2005)). Pencucian bertujuan untuk memisahkan bahan dari
material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan
dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi
(Lopez, 1981).
Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian dalam
atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan produk dengan tutup
yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama disterilisasi, agar tidak
menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space
bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng,
tingginya head space adalah sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar,
direkomendasikan head space yang lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut ditambahkanmedium pengalengan, tinggi head space tidak boleh kurang dari 0.25 inci, tetapi bila produk
dikalengkan tanpa penambahan medium, diperkenankan produk diisikan sampai hampir penuh dengan
meninggalkan sedikit ruang head space (Muchtadi, 1994).
Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan untuk mempertahankan keseragaman
rongga udara (head space), memperoleh produk yang konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap.
Menurut Muchtadi (1994), penghampaan udara (exhausting ) adalah proses pengeluaran
sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga
dapat mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga dilakukan
untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan
wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai
mencapai suhu awal (initial temperature).
Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara (exhausting ) yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya pembusukan.
E.
Proses Termal
Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan untuk
mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat
berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan hingga waktu beberapa
bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi (2000), ada beberapa keuntungan dari proses termal.
Keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah :
a. terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai,
8/16/2019 Rahma Utami
9/28
b. rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi,
c. peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan
karbohidrat,
d. terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan, dan
e.
menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan.
Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain adanya
kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu
organoleptik, seperti tekstur, warna, dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol
dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu dikendalikan dengan baik.
Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu.
Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi mikroba
dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan,
dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.
F. Sterilisasi
Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan
makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen,
tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya,
teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus
dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu
tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.
Sterilisasi pada sebagian besar makanan kaleng biasanya dilakukan secara komersial.
Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di
dalam kaleng, plastik, atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial berarti semua
mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah dimatikan,
demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang tahan panas mungkin saja masih
ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif
berproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam
kondisi normal (Hariyadi, 2000). Makanan yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya
simpan yang tinggi.
Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) jenis
mikroba yang dihancurkan, (2) kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin, (3) suhu awal
bahan pangan di dalam wadah, (4) ukuran dan jenis wadah yang digunakan, (5) suhu dan tekananyang digunakan untuk proses sterilisasi, dan (6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan.
Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan yang kedap
udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini dapat
menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan
mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang
disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik.
Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba tidak tahan panas sehingga
lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi
oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah
proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan
kedap udara.
8/16/2019 Rahma Utami
10/28
Operasi sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas yang dapat berasal dari air
panas (mendidih) atau dengan menggunakan uap air panas bertekanan selama waktu yang ditentukan.
Produk dalam kemasan disterilisasi dengan menggunakan ketel uap (retort ). Retort yang disebut juga
autoclave atau sterilizer , berbentuk bejana tertutup dan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang
berasal dari sumber di luar retort . Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau steam generator .
Menurut Muchtadi (1994), berdasarkan derajat keasaman atau pH produk pangan, operasi
sterilisasi dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu produk yang disterilisasi pada suhu 212˚F
(100˚C) yang merupakan suhu air mendidih pada tekanan atmosfer dan produk yang harus disterilisasi
pada suhu lebih tinggi dari 212˚F(100˚C). Bahan pangan yang asam (pH ˂ 4.5) seperti sari buah,
buah-buahan, beberapa macam sayuran, umumnya disterilisasi dengan cara memanaskan wadah
dalam waktu yang cukup agar suhu pada titik dingin mencapai 200˚F atau lebih. Dengan cara ini,
mikroba yang dapat membusukkan bahan pangan asam telah dapat hancur. Golongan bahan pangan
lainnya yang memiliki pH ˃ 4.5 sepert i sayuran yang tidak asam, sup, daging, dan hasil olahannya,
ikan, dan unggas, dilakukan sterilisasi pada suhu tinggi dibawah tekanan, agar diperoleh tingkatsterilitas yang memadai. Ketahanan panas bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial disebutkan
pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial
Golongan Bakteri Ketahanan Panas
D Z
Bahan Pangan Berasam Rendah (pH diatas 4,5)
Termofilik (spora)
Golongan Flat-Sour ( B. stearothermophilus)
Golongan Pembusuk/Produksi Gas (C. thermosaccharolyticuum)
Golongan Pembentuk Bau Sulfida (C. nigrificans)
Mesofilik (Spora)
PA( Putrefactive Anaerob)
C. botulinum (tipe A dan B)
C. sporogenes (termasuk PA.367a)
4,0-5,0
3,0-4,0
2,0-3,0
0,1- 0,20
0,1- 0,15
14-22
16-22
16-22
14-18
14-18
Bahan Pangan Asam (pH 4,0 – 4,5)
Temofilik (spora)
C. coagulans
Mesofilik
B. polymiyxa dan B. macerans
Anaeron butirat (C. Pasterianum)
0,01-0,07
0,01-0,05
0,01-0,05
14-18
12-16
12-16
Bahan Pangan Berasam Tinggi (pH ˂ 4,0)
Lactobacillus sp, Leuconostoc sp, dan Kapang serta Khamir 0,50-1,00 8-10
Sumber : Muhtadi, Tien R. (2008)
Untuk bahan pangan yang tergolong tidak asam dapat ditambahkan larutan garam atau larutan
gula yang diasamkan sebagai mediumnya, sehingga sterilisasi dapat dilakukan pada suhu yang lebih
rendah (misalnya hanya pada suhu 100˚C, tekanan atmosfer) sehingga mutu produk dapat lebih
dipertahankan.
8/16/2019 Rahma Utami
11/28
Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu pangan selama proses sterilisasi adalah rendah ketika
bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu
dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi
produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau
sporanya. Setiap partikel makanan harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktudan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba
patogen dan mikroba pembusuk. Untuk itu, guna memastikan tidak aktifnya enzim yang terdapat pada
bahan pangan dan tercapainya waktu sterilisasi yang singkat, proses pre-sterilisasi dapat dilakukan
dengan proses blansir.
Proses sterilisasi komersial dengan menggunakan panas di desain untuk melindungi kesehatan
konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian
secara ekonomis (Scmitdt, 1957).
G. Perhitungan Proses Termal
Perancangan proses termal bertujuan untuk menghasilkan produk yang steril secara komersial,
dengan pemanasan yang cukup, sehingga dapat mempertahankan mutu produk dan meminimalisasi
biaya. Perhitungan proses termal dapat diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu metode umum
( general method ) dan metode formula ( formula methods).
1. Metode Umum
Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam menghitung proses sterilisasi yang
dikembangkan oleh Bigelow (1920) yang kemudian dilanjutkan oleh Ball dan kawan-kawan.
Ketelitiannya yang tinggi disebabkan oleh suhu bahan pangan yang diukur dalam suatu percobaan,
secara langsung digunakan dalam perhitungan tanpa mengasumsikan hubungan antara waktu dengansuhu dari makanan tersebut.
Menurut Kusnandar, et al . (2006), metode umum (trapezoidal) menganggap nilai letalitas yang
diukur antara titik satu dengan titik yang lainnya membentuk suatu garis lurus, sehingga nilai letalitas
proses setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi ( 1 nn t t ), panjang sisi atas dan
bawah masing-masingn
L dan 1n L . Perhitungan metode umum (trapezoidal) dapat dilakukan dengan
bantuan Microsoft Excel Spreadsheet . Dengan nilai F0 merupakan hasil penjumlahan parsial atau
luasan di bawah kurva trapesium seperti rumus di bawah ini. Gambar 2 menunjukkan gambar kurva
lethal rate penetrasi panas.
n
i
nno
nn
L L L L L L
t t
F 1
13211
0 )22.............222(2 (II.1)
8/16/2019 Rahma Utami
12/28
Gambar 2. Kurva lethal rate penetrasi panas
2. Metode Formula
Metode formula diawali dengan memplotkan waktu dengan suhu produk pada kertas semilog,
dimana waktu sebagai absis dan suhu sebagai ordinat logaritmik. Kemudian dari grafik tersebut dapatketerlambatan sebelum diperoleh nilai karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses
( chch j j f f ,,, ). Parameter respon suhu h f dan c f menggambarkan laju penetrasi panas ke dalam
produk atau wadah, h f merupakan waktu yang dibutuhkan kurva penetrasi panas untuk melalui 1
siklus log pada fase pemanasan, sedangkan c f pada fase pendinginan. Sedangkan h j dan
c j menggambarkan waktu keterlambatan sebelum laju penetrasi mencapai h f dan c f .
Hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan mengikuti persamaan berikut :
)/(10)()( h
f t ir r T T T T
(II.2)
atau
h
ir r f t T T T T loglog (II.3)
dimana:
t = waktu proses (menit)
T = suhu produk (pada titik terdingin) (˚F)
r T = suhu retort saat proses (˚F)
iT = suhu awal produk (˚F)
h f = waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati satu siklus log (menit)
8/16/2019 Rahma Utami
13/28
Ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari suatu proses termal
merupakan fungsi dari kemiringan kurva pemanasan ( h f ) dan perbedaan suhu medium pemanas
dengan suhu produk pada akhir pemanasan ( T T r ) = g . Berdasarkan persamaan suhu produk
dengan waktu pemanasan, maka diperoleh persamaan berikut:
g I j
f t hhh B log)( (II.4)
ir
pihr
hT T
T T j
loglog , ir h T T I (II.5)
Dari tabel hubungan h f dan waktu pemanasan pada suhu retort untuk mencapai sterilitas yang
diinginkan ( r L F U 0 ) deng an nilai g , dapat ditentukan nilai g , sehingga nilai Bt dapat
dihitung. Jika nilai Bt sudah diketahui, nilai sterilitas proses (F0) dapat dihitung dengan :
U f
L f F
h
r h0 (II.6)
z
T
r
r
L250
10
(II.7)
Dimana:
r L = letalitas
Bt = waktu proses (menit)
F0 = nilai sterilitas proses (menit)
Broken heating curves adalah kurva pemanasan pada produk yang pada periode pertama
pemanasan mengalami kenaikan suhu yang cepat dan pada periode berikutnya mengalami kenaikan
suhu yang lambat.
H.
Parameter Kecukupan Proses Termal
Dalam suatu perancangan proses termal, karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil
pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya merupakan hal penting
yang harus diketahui. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai z. Nilai D
adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau
menjadi 1/10. Sedangkan nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau
menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. Nilai D dan nilai z suatu mikroorganisme dapat
dilihat pada Tabel 3 yang menggambarkan ketahanan panas bakteri yang penting pada proses
sterilisasi komersial.Untuk mencapai level pengurangan jumlah mikroba yang diinginkan dalam suatu perancangan
proses termal, maka ditentukan siklus logaritma pengurangan mikroba. Secara matematis penentuan
siklus logaritma penurunan mikroba (S) dinyatakan dengan persamaan 1 berikut:
Nt
NoS log (II.8)
Dimana: Nt = jumlah populasi mikroba setelah proses termal „t‟ menit
No = jumlah populasi mikroba sebelum proses termal
Setelah siklus logaritma penurunan mikroba ditentukan, kemudian dihitung nilai sterilitasnya
pada suhu tertentu (F0). F0 disebut sebagai nilai sterilisasi jika proses yang berlangsung adalah
8/16/2019 Rahma Utami
14/28
sterilisasi, namun jika proses yang berlangsung adalah pasteurisasi, maka F0 adalah nilai pasteurisasi.
F0 adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 250˚F. Nilai F0 ini
ditentukan sebelum proses termal berlangsung. Nilai F0 dapat dihitung pada suhu standar atau pada
suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z. Secara umum, nilai F0
menggambarkan waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapailevel tertentu pada suhu tertentu.
o DS F 0 (II.9)
Proses pengujian keamanan makanan kaleng yang berasam rendah, maka kriteria sterilitas yang
digunakan berdasarkan spora bakteri yang lebih tahan panas daripada spora Clostridium botulinum,
yaitu spora Bacillus stearothermophilus atau FS ( flat sour ) 1518. Disebut sebagai FS 1518 karena
pertumbuhan bakteri ini akan mengakibatkan kebusukan akibat diproduksinya asam tetapi tanpa gas
sehingga bentuk tutup kaleng tetap normal ( flat ). Untuk makanan kaleng yang asam, proses sterilisasi
dengan menggunakan panas ini biasanya didesain berdasarkan pada ketahanan panas bakteri
fakultatif anaerob, seperti Bacillus coagulan ( B. thermoacidurans), B. mascerans, dan B. polymyxa.
I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Proses Termal
Menurut Kusnandar, et al . (2006), faktor-faktor kritis yang mempengaruhi proses termal dan
sterilisasi yang perlu diidentifikasi pengaruhnya adalah : (a) karakteristik produk yang dikalengkan,
yang terdiri dari pH keseimbangan, metode pengasaman, konsistensi/viskositas dari bahan,
bentuk/ukuran bahan, aktivitas air, persen padatan, rasio padatan/cairan, perubahan formula, ukuran
partikel, syrup strength, jenis pengental, jenis pengawet yang ditambahkan, dan sebagainya, (b)
kemasan, yang terdiri dari jenis dan dimensi, metode pengisian bahan ke dalam kemasan, (c) proses
dalam retort, yang terdiri dari jenis retort , jenis media pemanas, posisi wadah dalam retort , tumpukan
wadah, pengaturan kaleng, kemungkinan terjadinya nesting , dan sebagainya. Beberapa faktor kritis
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a) Keasaman (Nilai pH)
Tingkat keasaman (nilai pH) merupakan salah satu karakteristik produk pangan yang menentukan
apakah suatu produk harus dilakukan sterilisasi atau pasteurisasi. Pada produk pangan yang
diasamkan, maka prosedur pengasaman menjadi sangat penting, yang harus menjamin pH
keseimbangan dari bahan harus berada di bawah pH < 4.5. Untuk itu, perlu diketahui metode
pengasaman yang digunakan dan jenis acidifying agent yang digunakan (misalnya asam sitrat,
asam asetat, asam malat, saus tomat, asam tartarat, dan sebagainya). Bila pengasaman dilakukan
secara benar, maka proses termal dapat menerapkan pasteurisasi.
b)
ViskositasViskositas suatu produk berhubungan dengan cepat atau lambatnya laju pindah panas pada bahan
yang dipanaskan yang mempengaruhi efektifitas proses panas. Pada produk yang memiliki
viskositas rendah (cair) pindah panas berlangsung secara konveksi yaitu merupakan sirkulasi dari
molekul-molekul panas sehingga hasil transfer panas menjadi lebih efektif. Sedangkan pada
produk yang memiliki viskositas tinggi (padat), transfer panas berlangsung secara konduksi, yang
mengakibatkan terjadinya tumbukan antara yang panas dan yang dingin sehingga efektifitas
pindah panas menjadi berkurang. Koefisien pindah panas secara konveksi dinyatakan dengan „h‟,
sedangkan koefisien pindah panas secara konduksi dinyatakan dengan „k‟ . Koefisien pindah
panas tersebut menunjukkan mudah atau tidaknya pindah panas yang terjadi pada suatu produk.
8/16/2019 Rahma Utami
15/28
c) Jenis medium pemanas
Jenis medium pemanas pada umumnya menggunakan uap ( steam) dengan teknik pemanasan
secara langsung (direct heating ). Teknik pemanasan dengan menggunakan uap ( steam) secara
langsung ini terdiri dari dua macam, yaitu : (i) steam injection, yang dilakukan dengan
menyuntikkan uap secara langsung ke dalam ruangan (chamber ) yang berisi bahan pangan, dan(ii) steam infusion, adalah teknik pemanasan dimana bahan pangan disemprotkan kedalam
ruangan yang berisi uap panas.
d) Jenis dan ukuran kaleng
Jenis kemasan yang digunakan berpengaruh pada kecepatan perambatan panas ke dalam bahan.
Sementara ukuran kaleng yang berdiameter lebih besar, efektifitas transfer panas lebih rendah
dibandingkan kaleng dengan ukuran diameter yang lebih kecil, karena penetrasi panas lebih
cepat.
8/16/2019 Rahma Utami
16/28
ii
KARAKTERISTIK PEMANASAN PADA
PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM( Mesona palustris)
SKRIPSISebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RAHMA UTAMI
F14070105
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
8/16/2019 Rahma Utami
17/28
iii
HEATING CHARACTERISTICS OF THE BLACK CINCAU JELLY( Mesona palustris) CANNING PROCESS
Rahma Utami, Dhiah Nuraini, and Putiati Mahdar
Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology,Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia
Phone 62 812 10082989, e-mail: puti_mahdar@yahoo.com.au
ABSTRACT
In Indonesia, the black cincau is known as traditional foodstuff uses as a variation of variety
of drinks. However, in the market, packaging of black cincau jelly still not hygienic. Packaging of
black cincau jelly can increase the added value of these products, especially for the consumers..This research aims to study the heat penetration parameters during the sterilization process,
determines the cold point of products in cans, as well as determining and comparing F 0 by using a
general methods and formula methods during canning processof the black cincau jelly.
Research using raw material dried plants of black cincau (Mesona palustris) the leaves and
stems of the ratio 3:2. Raw materials are added with water, aquerous solution abu qi, tapioca, and
sugar. Cans size that used in this reaseach is 306 x 405 (8.5 cm x 11 cm) produced by United Can
Company. The research begins with measuring the distribution of heat, determinating the cold point,
and measuring the F 0. In addition, conducted are observations of pH, sineresis, total dissolved solid,
gel strength, microbiology analysis, and organoleptic test.
Black cincau jelly belongs to low-acis foods with the value of the pH is 5.6 for repetition 1
and 5.9 for repetition 2, so that required commercial sterilization that capable for deactivate
Clostridium botulinum spores. The cold point of black cincau jelly is at the center geometry of cans.
Using diference temperature process resulted in a significant diference to the value of F 0. General
method is usually used to evaluate a thermal process, whereas formula method used to design a
thermal process.
Keywords: black cincau jelly, F 0 , general methods, formula methods
mailto:puti_mahdar@yahoo.com.aumailto:puti_mahdar@yahoo.com.au
8/16/2019 Rahma Utami
18/28
8/16/2019 Rahma Utami
19/28
8/16/2019 Rahma Utami
20/28
vi
Judul Skripsi : Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam ( Mesona
palustris)
Nama : Rahma Utami
NIM : F14070105
Menyetujui,
Pembimbing Akademik I, Pembimbing Akademik II,
Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc
u.b. Koordinator Mayor
Teknik Pertanian
Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
NIP. 19631031 198903 1002 NIP. 090012851
Mengetahui :
Ketua Departemen,
(Dr.Ir. Desrial, M.Eng)
NIP. 19661201.199103.1.004
Tanggal lulus :
8/16/2019 Rahma Utami
21/28
vii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DANSUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Pemanasan
Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam (Mesona palustris ) adalah hasil karya saya sendiri
dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2012
Yang Membuat Pernyataan
Rahma Utami
F14070105
8/16/2019 Rahma Utami
22/28
viii
© Hak cipta milik Rahma Utami, tahun 2012Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.
8/16/2019 Rahma Utami
23/28
ix
BIODATA PENULIS
Rahma Utami. Lahir di Jakarta, 24 April 1990 dari ayah Ir. Dudy
Suroso dan ibu Ning Khororoh, sebagai putri pertama dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Taman Siswa, Jakarta pada
tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP
Negeri 5, Jakarta hingga tahun 2004. Penulis menamatkan SMA pada
tahun 2004 dari SMA Negeri 1, Jakarta dan pada tahun yang sama diterima
di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis
memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan
Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian.
Pada bulan Juni - Agustus 2010, penulis melaksanakan kegiatan praktik lapangan di PT
Eramitra Agrolestari, Bakrie Sumatera Plantation (Unit Jambi 2), Pabrik Minyak Kelapa Sawit
(PMKS) Pematang Kulim, Kab. Sarolangun, Provinsi Jambi. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan
penelitian di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) dan Balai Besar
Industri Agro, Bogor dengan judul “Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau
Hitam ( Mesona palustris)” di bawah bimbingan Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc.
8/16/2019 Rahma Utami
24/28
8/16/2019 Rahma Utami
25/28
xi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................................. x
DAFTAR TABEL......................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ xiv
I. PENDAHULUAN...........................................................................................
A. LATAR BELAKANG.............................................................................. 15
B. TUJUAN................................................................................................... 16
II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................
A. CINCAU................................................................................................... 17
B.
CINCAU HITAM..................................................................................... 18C. GEL CINCAU HITAM............................................................................ 20
D. PROSES PENGALENGAN..................................................................... 21
E. PROSES TERMAL.................................................................................. 21
F. STERILISASI........................................................................................... 22
G. PERHITUNGAN PROSES TERMAL..................................................... 24
H. PARAMETER KECUKUPAN PROSES TERMALMAL...................... 26
I. FAKTOR-FAKTORYANG MEMPENGARUHI PROSES TERMAL.. 27
III. METODOLOGI...............................................................................................
A. WAKTU DAN TEMPAT......................................................................... 29
B.
ALAT DAN BAHAN............................................................................... 29C. PROSEDUR PENELITIAN..................................................................... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................
A. PEMBUATAN GEL CINCAU HITAM.................................................. 36
B. PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM.............................. 39
C. PENENTUAN TITIK TERDINGIN, WAKTU VENTING,
DAN COME UP TIME............................................................................. 41
D. PENENTUAN KECUKUPAN PANAS PADA PROSES
STERILISASI GEL CINCAU HITAM KALENG.................................. 43
E. KEASAMAN GEL CINCAU HITAM DALAM KALENG................... 46
F. SINERESIS GEL CINCAU HITAM KALENG...................................... 47
G.
KEKUATAN GEL CINCAU HITAM KALENG................................... 48
H. TOTAL PADATAN TERLARUT GEL CINCAU HITAM KALENG.. 50
I. ANALISIS MIKROBA GEL CINCAU HITAM KALENG................... 52
J. PENILAIAN ORGANOLEPTIK GEL CINCAU HITAM KALENG.... 53
V. SIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 55
LAMPIRAN..................................................................................................................
8/16/2019 Rahma Utami
26/28
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau.......... ......................................................................... 18
Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam......................................................................... 20
Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial..................... 23
Tabel 4. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan......... 38
Tabel 5. Nilai dari parameter penetrasi panas pada metode formula.......................................... 45
Tabel 6. Hasil pengukuran pH gel cincau hitam dalam kaleng .................................................. 46
Tabel 7. Hasil analisa mikroba gel cincau hitam kaleng............................................................. 52
8/16/2019 Rahma Utami
27/28
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau....................................................................................... 17
Gambar 2. Kurva lethal rate penetrasi panas............................................................................... 25
Gambar 3. Diagram alir pengalengan gel cincau hitam............................................................... 30
Gambar 4. Broken heating curves................................................................................................ 32
Gambar 5. Hubungan nilai f h/U dengan nilai g untuk Stumbo Prosedure................................... 33
Gambar 6. Nilai r berdasarkan nilai g.......................................................................................... 33
Gambar 7 (a dan b). Bahan baku pembuatan gel cincau hitam kaleng....................................... 36
Gambar 8. Pencucian bahan baku................................................................................................ 37
Gambar 9. Penambahan abu qi.................................................................................................... 37
Gambar 10. Alat pengepres ........ ................................................................................................ 38Gambar 11. Exhausting gel cincau hitam kaleng........................................................................ 40
Gambar 12. Proses penutupan kaleng......................................................................................... 41
Gambar 13. Kurva penentuan titik terdingin (cold point )........................................................... 42
Gambar 14. Kurva distribusi panas ulangan 1............................................................................ 42
Gambar 15. Kurva distribusi panas ulangan 2............................................................................ 43
Gambar 16. Kurva hubungan antara lethal rate (Lr) dengan waktu (menit)
pada ulangan 1........................................................................................................ 44
Gambar 17. Kurva hubungan antara lethal rate (Lr) dengan waktu (menit)
pada ulangan 2........................................................................................................ 45
Gambar 18. Hasil pengukuran sineresis gel cincau hitam kaleng.............................................. 47Gambar 19 (a dan b). Pengukuran kekuatan gel......................................................................... 48
Gambar 20. Kurva tegangan regangan bahan biologis............................................................... 48
Gambar 21. Perbandingan Fmax sebelum dan sesudah sterilisasi................................................ 49
Gambar 22. Kurva tegangan regangan....................................................................................... 49
Gambar 23. Perbandingan nilai Modulus Secant /Es(free) sebelum dan sesudah sterilisasi......... 50
Gambar 24. Refractometer Atago PR-201................................................................................. 51
Gambar 25. Perubahan nilai total padatan terlarut (TPT) pada gel
cincau hitam kaleng sebelum dan sesudah sterilisasi............................................ 51
Gambar 26. Kurva pertumbuhan mikroba................................................................................. 53
8/16/2019 Rahma Utami
28/28
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Tabel hasil pengujian distribusi panas................................................................. 58
Lampiran 2. Tabel hasil pengujian penentuan titik terdingin (Cold Point ).............................. 62
Lampiran 3a. Tabel hasil penentuan waktu sterilisasi optimum dengan
menggunakan metode umum pada ulangan 1................................................... 64
Lampiran 3b. Perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan
menggunakan metode umum pada ulangan 2................................................... 66
Lampiran 4a. Kurva dan langkah perhitungan waktu sterilisasi optimum
dengan menggunakan metode formula pada ulangan 1..................................... 68
Lampiran 4b. Kurva dan langkah perhitungan waktu sterilisasi optimum
dengan menggunakan metode formula pada ulangan 2.......... ........................... 74
Lampiran 5. Perhitungan sineresis gel...................................................................................... 80
Lampiran 6. Perhitungan kekuatan gel..................................................................................... 81
Lampiran 7. Data pengujian nilai total padatan terlarut (TPT)................................................ 82
Lampiran 8. Form uji organoleptik........................................................................................... 83
Lampiran 9. Hasil uji organoleptik........................................................................................... 84