Artikel-Fundamental HALIATUR RAHMA 2009

download Artikel-Fundamental HALIATUR RAHMA 2009

of 22

description

jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj

Transcript of Artikel-Fundamental HALIATUR RAHMA 2009

Analisis Keragaman Fisiologis dan Molekular Bakteri Penyebab Layu Stewart: Penyakit Baru Pada Tanaman Jagung di Indonesia dan Pengelolaanya *)

PAGE 15

Analisis Keragaman Fisiologis dan Molekular Bakteri Penyebab Layu Stewart: Penyakit Baru Pada Tanaman Jagung di Indonesia dan Pengelolaanya *)Oleh :Haliatur Rahma. **) dan Ujang Khairul **)Abstrak

Penyakit layu stewart pada tanaman jagung merupakan penyakit baru di Indonesia, penyakit ini belum ada dalam daftar penyakit pada Badan Karantina Tumbuhan Indonesia dan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian sampai tahun 2007. Penyakit ini tergolong berbahaya, di luar negeri telah dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 95%. Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Mengetahui dan memetakan daerah sebaran bakteri Pantoea stewartii subsp.stewartii (Pnss) penyebab penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia (Jawa, Sumatera dan Sulawesi), (b) Mengetahui tingkat serangan penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia, (c) mengetahui karakter morfologis dan fisiologis dari isolat Pantoea stewartii subsp.stewartii dari berbagai sentra produksi jagung di Indonesia, Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan laboratorium yang dilaksanakan selama satu tahun. Tahapannya adalah sebagai berikut (1) Penetapan lokasi dan pengambilan sampel. Daerah sampel yang diambil adalah: Sumatera Barat, Lampung,Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Gorontalo (2) Isolasi dan karakterisasi Pnss dari sampel tanaman jagung. Metode yang digunakan adalah metode pengenceran berseri dari sampel tanah dan tanaman jagung terinfeksi, (3) Uji hipersensitivitas, patogenisitas, virulensi dan agresivines, (4) Analisis keragaman isolat bakteri dari berbagai sentra produksi jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit layu stewart ini telah menyebar di daerah sentra produksi jagung di Indonesia dengan insidensi antara 9% - 18% dan severitas antara 11% - 27%). Semua isolat Pnss (25 isolat) yang diisolasi dari daerah sampel menunjukkan ciriciri Pnss yaitu: gram negatif, koloni pada medium CPG umur 3 x 24 jam berbentuk bulat, sedikit cembung, berwarna kuning dan permukaan koloni sedikit berlendir, menghasilkan enzim pektinase. -------------------------------------------------------------------------*) Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dengan

Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan No : 126.b/H.16/PL/HB.PID/IV/2009

tanggal : 20 April 2009

**) Staf pengajar Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Andalas PadangPENDAHULUAN

Penyakit layu stewart pada tanaman jagung disebabkan oleh bakteri Pantoea stewartii subsp.stewartii (Pss) merupakan penyakit penting dan baru di Indonesia. Penyakit ini tergolong berbahaya, di Amerika Serikat dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil berkisar antara 15-95% Sejauh ini belum ada laporan resmi mengenai keberadaan patogen ini di Indonesia. Khairul dan Rahma (2007) telah mendeteksi keberadaan bakteri ini di pertanaman jagung di Sumatera Barat dengan insidensi penyakit berkisar 4-10%. Di Indonesia patogen ini masih tergolong kategori A1 yaitu jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) yang belum terdapat di wilayah Indonesia.

Penyakit layu stewart merupakan penyakit tular benih yang penting pada jagung, karena benih merupakan alat transportasi yang paling cocok untuk menyebar melintasi batasan alaminya (Neergaard, 1977). Muncul dan terdeteksinya penyakit ini pada jagung di Sumatera Barat, tidak terlepas dari impor benih yang telah berlangsung selama ini, sehingga memungkinkan tersebarnya patogen ini bersama benih-benih tersebut. Resiko dari penularan patogen melalui benih sangatlah penting,

terutama dalam pengiriman benih internasional. Lebih dari 50 negara telah melarang impor benih jagung dari Amerika Serikat kecuali benih

Dengan semakin meningkatnya lalu lintas perdagangan benih dewasa ini dan belum memadainya perangkat pengujian kesehatan benih di Indonesia, dikhawatirkan penyakit ini telah masuk dan tersebar. Penyakit layu stewart tergolong sulit dikendalikan, karena menyerang tanaman pada berbagai fase pertumbuhan, bersifat tular benih dan tular serangga. Sampai saat ini usaha pengendalian penyakit ini masih menggunakan insektisida sintetis yang mengandung imidachlopriod untuk seed treatment (Stack, et al, 2006), namun dikhawatirkan penggunaan bahan ini akan mempercepat pencemaran lingkunganSesuai dengan program pertanian berkelanjutan yang diterapkan di Indonesia maka teknik pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) harus mengacu pada Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT). Salah satu komponen utama dari program PHT adalah pengendalian hayati dengan memanfaatkan agensia pengendalian hayati indigenous. Keuntungan penggunaan agensia hayati antara lain: dapat diperbaharui, memanfaatkan sumber daya lokal, dapat diperbanyak dengan teknologi yang sederhana dan mudah cara aplikasinya. Agensia hayati yang dikembangkan sebagai bioseed treatment sekarang ini diantaranya adalah Bacillus polymixa (Aspiras dan Crus, 1985), Pseudomonas fluorescens (Machmud, 1985), strain avirulen dari Ralstonia solanacearum (Chen and Echandi, 1984 ; Khairul et al, 2001), dan Bacillus subtilis (Khairul, 2005). Bacillus spp. telah banyak dilaporkan mampu mengimunisasi berbagai jenis tanaman terhadap berbagai jenis patogen ataupun serangga (Bargabus et al, 2004).

Berdasarkan permasalahan munculnya penyakit baru ini di Indonesia, yaitu penyakit layu stewart pada tanaman jagung dan perancangan pengelolaannya, maka telah dilakukan penelitian mengenai sebaran dan tingkat serangan dari penyakit ini pada daerah sentra produksi tanaman jagung di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, analisis keragaman morfologis, fisiologis, dan biokimia.

Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Mengetahui dan memetakan daerah sebaran bakteri Pantoea stewartii subsp.stewartii penyebab penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia (Jawa, Sumatera dan Sulawesi), (b).Mengetahui tingkat serangan penyakit layu stewart pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia, (c) Mengetahui karakter morfologis, fisiologis, dan biokimia dari isolat Pantoea stewartii subsp.stewartii dari berbagai sentra produksi jagung di Indonesia

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan laboratorium yang dilaksanakan selama satu tahun. Tahapannya adalah sebagai berikut:

.

Pemetaan daerah sebaran penyakit layu stewart Penetapan Lokasi dan pengambilan sampel. Langkah pertama penetapan lokasi dimulai dengan penetapan Propinsi yang menjadi daerah sentra jagung di Sumatera (Sumatera Barat, dan Lampung) Sementara di Jawa meliputi, Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian di Sulawesi meliputi Gorontalo. Di setiap propinsi tersebut ditetapkan kabupaten yang akan dievaluasi berdasarkan data dari Dinas Pertanian setempat. Lokasi pengambilan sampel tanaman ditetapkan berdasarkan data dari Dinas Pertanian di masing-masing kabupaten.Sampel tanaman yang diambil adalah berupa benih, batang, daun (5-10 helai), tongkol, dan malai yang memperlihatkan gejala khas. Sampel diambil dari setiap lokasi yang ditetapkan dan disimpan di dalam wadah dengan pendingin (termos es). Tanah yang berada di sekitar tanaman bergejala juga diambil sebagai contoh. Sampel berupa daun dan benih dapat disimpan dalam kertas koran dan di bawa ke laboratorium. Sebelum diamati sampel tersebut disimpan dalam refrigerator.

Isolasi dan Identifikasi Pnss dari sampel tanaman jagung. Metode isolasi bakteri Pnss berdasarkan teknik Coplin dan Kado (2001). Bagian tanaman jagung yang terinfeksi dipotong dan direndam dalam larutan garam, kemudian eksudatnya digores pada medium Casamino-acid peptone glucosa (CPG) agar, Koloni bakteri akan muncul setelah dua hari. Pada media CPG koloni sangat mucoid dan hanya menghasilkan sedikit pigmen, Dari hasil pencawanan pada media CPG, semua bakteri yang menunjukkan ciri-ciri Pnss dimurnikan. Isolat-isolat tersebut selanjutnya dikarakterisasi dan diidentifikasi menurut Schaad et al. (2001), serta diuji lebih lanjut mengenai hipersensitifitas, patogenisitas, virulensi dan agresvinesnya. Uji Hipersensitivitas, Patogenisitas, Virulensi dan Agresivines. Isolat-isolat Pnss dari berbagai sentra produksi jagung (hasil 4.1.2) dari media CPG ditumbuhkan pada medium CPG broth dan inkubasi selama 3 x 24 jam, kemudian masing-masing isolat Pnss diinfiltrasikan ke bawah permukaan daun tembakau. Kerapatan populasi Pnss (108 CFU/ml), HR akan muncul setelah 24 berupa luka nekrosis (Coplin and Kado, 2001).Uji patogenisitas dilakukan pada bibit jagung rentan (varietas Arjuna) berumur 8 hari. Batang diinokulasi dengan suspensi bakteri 108 CFU/ml. Pengukuran kerapatan sel bakteri dalam suspensi menggunakan metode turbidimetrik (Hadiotomo, 1990) dengan bantuan spektofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Gejala water soaking akan muncul setelah 3 hari dan tanaman akan layu antara 5-8 hari setelah inokulasi (Coplin and Kado, 2001). Inokulasi bakteri dilakukan sampai pada pembuluh xylem terutama pada bagian petiole, batang atau akar (Klement, et al, 1990)

Uji virulensi dan agresivines dilakukan pada bibit jagung berumur 8 hari varietas yang menunjukan reaksi rentan (varietas Arjuna). Batang diinokulasi dengan suspensi bakteri 108 CFU/ml, Inokulasi bakteri dilakukan sampai pada pembuluh xylem terutama pada bagian petiole, batang dan akar (Klement et al, 1990). Cepat lambat munculnya gejala layu pada tanaman akan mengindikasikan lebih virulen dan lebih agresifnya isolat yang diuji. Sebagai pembanding digunakan isolat Pnss 01 sebagai kontrol positif dan air steril sebagai kontrol negatif.

Rumah kaca yang digunakan dijaga sedemikian rupa agar segala kemungkinan penyebaran penyakit ini keluar dari lokasi penelitian tidak terjadi. Untuk itu, salah satu dari lima rumah kaca milik Fakultas Pertanian Universitas Andalas, pada bagian dalamnya dibatasi/dipagari dengan kain kasa sehingga kemungkinan masuk dan keluarnya serangga penyerbuk dapat dihindari. Begitu juga dengan segala macam alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini secepatnya dimusnahkan begitu selesai digunakan. Pemusnahannya mengikuti prosedur sistem aseptik sehingga kemungkinan penyebaran penyakit ini karena kelalaian peneliti dapat dihindari.

Parameter yang diamati meliputi; waktu mulai terlihatnya gejala serangan Pnss (hari). Analisis keragaman isolat bakteri dari berbagai sentra produksi Analisis keragaman isolat. Isolat-isolat Pnss diamati karakter morfologi, biokimia dan fisiologi meliputi: bentuk dan warna koloni, reaksi gram, ekspresi enzim ektraselular (protease, dan kitinase), Karakter biokimia dan fisiologis ini dilakukan dengan menggunakan media indikator.Morfologi. Karakter morfologi dari masing-masing isolat Pnss yang diamati adalah : warna kologi, bentuk koloniReaksi gram. Uji gram bertujuan untuk melihat apakah isolat Pnss bersifat gram negatif atau positif. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan metoda (Klement et al, 1990). Aktivitas Proteolitik. Gelatin digunakan sebagai substrat untuk menguji aktivitas ini dengan mengikuti metode yang digunakan oleh Munif (2001). Larutan gelatin (4 g/50 ml akuades) yang telah dicampur dengan medium agar (5 g/400 ml akuades) disterilkan dengan autoklaf (1200C, 15 lbs) selama 20 menit. Medium yang telah dituangkan dalam cawan petri, dibuat 4 sumur dengan pengebor gabus (diameter 1 cm) kemudian diisi dengan 0,2 ml suspensi bakteri Pnss (OD 600 = 0,164) dan diinkubasi pada suhu ruang (260C) selama 3 hari. Aktivitas proteolitik dilihat dengan cara menuangkan 5 ml larutan ammonium sulfat jenuh ke atas medium. Akivitas proteolitik ditunjukkan dengan adanya zone bening di sekitar sumur yang berisi suspensi bakteri.Aktivitas Kitinolitik. Aktivitas kitinolitik dari isolat-isolat Pnss diuji dengan metode yang dideskripsikan oleh Munif (2001) . Medium yang mengandung koloidal kitin disiapkan sebagai sumber karbon dan nitrogen. 15 g kitin crustacea di lembabkan dengan menggunakan aseton dan dilarutkan dalam 120 ml HCl dingin dengan cara diaduk selama 45 menit di dalam ice bath. Supernatan kemudian disaring dengan menggunakan glass wool, koloidal kitin kemudian diendapkan. Residu kemudian dilarutkan kembali dan disaring tiga kali, sampai tidak ada lagi kitin yag mengendap. Suspensi yang mengandung koloidal kitin disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm. Supernatan dibuang dan pelet yang mengandung koloidal kitin dicuci 3-4 kali dengan 4 liter akuades sampai pH 2, kemudian disimpan dalam regrigerator. Sebelum digunakan pH dijadikan 6 dengan menggunakan 1 M NaOH.

Kitin agar yang mengandung 0,2% koloidal kitin (pH 6,2) disterilkan. Medium dituang ke dalam cawan petri. Empat sumur dibuat pada medium dengan menggunakan pengebor gabus steril (diameter 1 cm) dan diisi dengan 0,2 ml suspensi bakteri Pnss. Medium yang mengandung bakteri diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Aktivitas kitinolitik diindikasikan dengan adanya zone bening disekitar sumur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran dan Tingkat serangan Penyakit Layu StewartDari hasil pengamatan di beberapa daerah sentra produksi jagung di Indonesia yang meliputi : Sumatera (Sumatera Barat, Lampung) dan di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) serta Sulawesi (Gorontalo), diketahui penyakit layu stewart ini telah menyebar dengan insidensi penyakit berkisar antara 9 % sampai 18%, dan severitas penyakit berkisar antara 11% sampai 27% (Tabel 1) (Gambar 1) Tabel 1. Insidensi dan severitas penyakit layu stewart di beberapa

sentra produksi jagung di IndonesiaNoPropinsiKabupatenKecamatanInsidensi (%)Severitas (%)

1Sumatera Barat Pasaman BaratPasaman14%25%

Luhak nan Duo 4 10%4027%

Lima Puluh Kota Suliki12%21%

Payakumbuh 4 11%4020%

2LampungLampung TimurSukadana9%15%

Pekalongan11%11%

Lampung SelatanNatar12% 21%40

Katibung18%11%

3Jawa TengahTemangungNgadirejo12%24%

Temanggung14%20%

Blora11%19%

BloraSarang15%16%

4Jawa TimurBojonegoraSukosari11%14%

Radangan 9%21%

JombangKertosuno 9%15%

Gimbang11%19%

5GorontaloGorontaloAtingola 8%20%

Kuandang14%22%

PahuwatoMarisa9%21%

Tabulo15%19%

Hasil wawancara dengan petani dan petugas pengamat hama dan penyakit di lokasi pengambilan sampel ternyata mereka tidak mengenal penyakit dan gejala serangan Pnss pada jagung. Persentase tanaman jagung yang terinfeksi Pnss di berbagai lokasi di Sumatera dan Jawa serta Sulawesi relatif masih cukup rendah (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit masih belum merata, namun harus diwaspadai untuk menghindari munculnya ledakan penyakit (outbreak) yang akan merugikan petani. Menurut McGee (1997), masuknya suatu patogen baru ke suatu negara atau wilayah merupakan konsekuensi logis dari perdagangan (pertukaran plasma nutfah) antar negara atau wilayah. Kisaran suhu optimum pertumbuhan Cmm berkisar antara 18 - 290C (Pataky, 2003). Suhu pada semua lokasi pengambilan sampel berada pada kisaran tersebut. Sehingga memungkin munculnya serangan Pnss .

Gejala serangan Pnss yang ditemukan di lapangan cukup beragam, pada tanaman muda terdapat gejala water soaking yang panjang terdapat di sepanjang daun (Luebker, 2003; Stack et al, 2006). Daun memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning, bakteri menginfeksi tanaman pada semua fase umur, tapi kerusakan yang paling parah tejadi pada saat infeksi terjadi pada saat tanaman berusia muda (terutama saat menjelang munculnya 5 helai daun) (Thomas, 2002) (Gambar 1a.), disamping itu juga ditemukan gejala layu dan kerdil (Luebker, 2003; Stack et al, 2006) (Gambar 2b). Juga ditemukan gejala . berupa lesio pada daun, lesio berupa goresan hijau sampai kuning dengan pinggiran yang tak beraturan dan bergelombang di sepanjang tulang daun dan juga diseluruh permukaan daun (Thomas, 2002) (Gambar 1c)

Di hampir semua lokasi pengambilan sampel, varietas yang paling banyak diserang oleh Pnss adalah varietas Arjuna, dan Metro sedangkan pada varietas lain seperti Harapan, Bisi 5, Bisi 2, Semar9, Surya dan Pioneer serangannya bervariasi. Dengan ditemukannya serangan Pnss ini pada beberapa varietas di sentra produksi jagung di Pulau Sumatera,

(1a) (1b) (1c)

Gambar 1. Gejala serangan bakteri Pnss di lapangan, (1a) : Daun

memperlihatkan garis hijau pucat sampai kuning, (1b) :

gejala layu dan kerdil, (1c) : gejala lesio pada daunJawa dan Sulawesi harus diwaspadai oleh semua pihak terutama instansi terkait di pemerintahan. Penyakit ini dapat meledak (outbreak) pada suatu saat, jika tidak diambil tindakan cepat dan bijaksana.

Isolasi dan Karakterisasi Pnss dari sampel tanaman jagungSemua isolat Pnss (25 isolat) yang diisolasi dari daerah sampel yang meliputi Sumatera Barat, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta Gorontalo, menunjukkan ciriciri Pnss yaitu: gram negatif, koloni pada medium CPG umur 3 x 24 jam berbentuk bulat, sedikit cembung, berwarna kuning dan permukaan koloni sedikit berlendir, menghasilkan enzim pektinase (Tabel 2 dan Gambar 2). Ciri-ciri isolat Pantoea stewartii subsp.stewartii yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan dengan ciri yang dikemukakan oleh Pataky (2003) yaitu gram negatif, anaerob fakultatif, non-motil, tidak berspora, bentuk batang, pada kultur memperlihatkan warna. Tabel 2. Karakteristik Pnss

NoKarakteristikKeterangan

1Warna koloni pada CPGKuning

2Bentuk selBatang

3Produksi EPS+

4Uji Pektinase+

5Motilitas-

6Reaksi Gram-

7Reduksi Nitrat-

8Aktifitas Proteolitik+

9Aktifitas Kitinolitik+

10HR+

11Patogenisitas+

12Agresifines+

(a) (b) (c)

Gambar 2. Hasil isolasi dan karakterisasi isolat Psnn dari daerah sampel. (a). Koloni Psnn pada medium CPG, (b) gram negatif, (c) uji pektinase

Uji Hipersensitif, Patogenisitas dan Agresiviness isolat Pnss

Hasil pengujian reaksi hipersensitif pada daun tembakau dari isolat Pnss memperlihatkan bahwa gejala nekrotik muncul 2 x 24 jam, dimana gejala awal ditandai dengan adanya bercak kebasah-basahan (water soaking) (Gambar 3a), sedangkan dari uji patogenisitas yang menggunakan varitas jagung rentan, gejala pada daun muncul pada hari ke 7 (Gambar 3b dan 3c).

(a) (b) (c)

Gambar 3. Hasil uji hipersensitif dan patogenisitas isolat Pnss. (a).reaksi

HR positif pada daun tembakau, (b) dan (c) gejala layu

stewart pada daun dan bibit jagung

Tabel 3. Agresifitas isolat-isolat Pnss dari berbagai sentra produksi

jagung di IndonesiaNomor dan asal isolatAgresifitas (hari)

Pasaman9

Luhak nan Duo 11

Suliki9

Payakumbuh 11

Sukadana10

Pekalongan9

Natar8

Katibung9

Ngadirejo9

Temanggung9

Blora10

Sarang9

Sukosari9

Radangan9

Kertosuno11

Gimbang10

Atingola9

Kuandang10

Marisa9

Tabulo9

Pengujian patogenisitas dari isolat-isolat Pnss pada tanaman jagung rentan (varietas arjuna), dari 25 isolat yang diuji, 20 isolat yang menunjukkan reaksi positif, yaitu 5 isolat dari Sumatera Barat dan 3 isolat dari Lampung, 4 isolat dari Jawa Tengah, 3 isolat dari Jawa Timur, dan 5 isolat dari Gorontalo (Gambar 3 b dan c).

Hasil pengujian agresifitas isolat Pnss pada bibit jagung varietas Arjuna, gejala layu stewart muncul berkisar antara 8 - 11 hari setelah inokulasi. Isolat Pnns asal Natar (Lampung) menunjukkan agresifitas yang paling tinggi yakni 8 hari setelah inokulasi. (Tabel 3)

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :Penyakit layu stewart telah menyebar di daerah sentra produksi jagung Indonesia dengan insidensi penyakit berkisar antara 9 % sampai 18%, dan severitas penyakit berkisar antara 11% sampai 27%. Isolat Pnss yang diisolasi dari beberapa daerah sentra produksi jagung Indonesia mempunyai karakter yang mirip dengan bakteri Pnss yang menjadi penyebab penyakit layu stewart pada jagung. . Disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan mengkonfirmasi isolat-isolat bakteri Pantoea stewartii subsp.stewartii yang berhasil diisolasi dengan analisis molekular (PCR) dan melihat kekerabatan antara isolat-isolat tersebut serta melihat sejauh mana efektifitas penggunaan biopestisida sebagai bioseed treatment untuk pengendalian penyakit ini pada benih.

DAFTAR PUSTAKA

Aspiras,R.B & A.R. Cruz. 1985. Potential biological control of bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 dan Pseudomonas flourescens pp. 89 92. In: Persley, G.J. (ed) Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proceeding of an international workshop held at PCARRD. Los Banos, Philippines 8 10 October 1985. ACIAR Proceeding N0.13. Canvera, Australia

Bargabus, R.L., Zidack, N.K., Sherwood, J.W., and Jacosen, B.J. 2004. Screening for the identiication of potential biological agens that induce systemic acquired resisteance in sugar beet. Biological Control 30: 342-350.

Chen W-q, Michaillides TJ. 2004. Collection and trials of biocontrol agents against Botryosphaeria panicle and shoot blight of Pistachio. Postdoctoral research associate.

Chen, W.Y., Echandi, E. 1984. Effects of avirulent bacteriocin producing strain of Pseudomonas solanacearum on the control bacterial wilt. Plant Pathology 33: 245-253.

Coplin, D.L., and Kado, C.I. 2001. Pantoea. Pages 73-83 in: Laboratory Manual for the Identification of Plant Pathogenic Bacteria.Third Edition. N. Schhaad, J. Jones, and W.Chun.eds. American Phytopathological Sociaty Press, St Paul,MN.

CropProtectionCompendium.2002.Distributionmap for Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Stewarts Wilt. http://wwwl.cabicompendium.org/cpc/datasheet.asp

Hadiotomo. S.R. 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Bandung. ITB Press.

Khairul. U, A. Hanafiah dan Aprianto. 2001. Pemanfaatan strain avirulen Burkholderia solanacearum (E.F.Smith) Yabuuchi et al untuk pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman cabai dan metoda aplikasinya. Laporan Penelitian Dana SPP/DPP Lembaga Penelitian Univ. Andalas Padang

Khairul. U. 2005. Analisis Keragaman Molekuler Bacillus subtilis Dengan Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Dan Studi Potensi Antagonisnya Terhadap Ralstonia solanacearum (E.F.Smith) Yabuuchi et al Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Cabai. Laporan Penelitian Dosen Muda (BBI). Dikti Depdiknas. Jakarta

Khairul. U, H. Rahma. 2007. Deteksi penyakit layu stewart oleh bakteri Pantoea stewartii subsp. Stewartii. Penyakit baru pada tanaman jagung di Sumatera Barat. Laporan field trip Lapangan Jurusan HPT. Padang. Tidak dipublikasi.

Khalid A, Arshad M. Zahir ZA. 2004. Screening plant growth-promoting rhizobacteria for improving and yield of wheat (abstract). App Microb 96: 473

Klement Z. Rudolph K. Sand.D.C. 1990. Methods In Phytobacteriology. Akademiai Kiado, Budapest.

Kopperl MLS, Mitchell DJ. 2002. Selection of Streptomyces spp. with potential for biocontrol of Fusarium oxisporum on tomato. http://www.bspp.org. uk/icpp98/5.2/76.html. 15 Nopember 2004Luebker Leonard. 2003. Stewarts Wilt. Technical Resource

http://www.ianrpubs.unl.edu/epublic/pages/index.jsp. [18 Oktober 2006].

Machmud. M, 1985. Bacterial wilt in Indonesia. In Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. ACIAR Proceedings. 13 : 30-34Mitchell R, Alexander M. 1962. Lysis of soil fungi by bacteria. Can J. Microbiol 9:169-177

Munif A. 2001. Studies on the importance of endophytic bacteria for the biological control of the root-knot nematode Meloidogyne incognita on tomato [Dissertation]. Zu Bonn: Doctor der Agrarwissenschaften. Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universitat

Neergaard P. 1977. Seed Pathology. Volume 1. New York: John Wiley & Sons.

Pataky. E. 2003. Stewarts Bacterial Wilt and Leaf Blight of Corn. Ohio State University Extension. 2021 Coffey Road, Columbus.

Pusat Karantina Departemen Pertanian. 2007. Jenis-jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Golongan I dan Golongan II (Kategori A1).. Departemen Pertanian RI.

Rahma. H. 2008. Sebaran penyakit layu stewart di Sumatera Barat. Laporan penelitian Dosen Muda. Lembaga Penelitian Universitas Andalas Padang. Romeiro, W., Baker KF, Franks N, Holland J. 1997. Effect of Bacillus subtilis on increased growth of seedling in steamed and nontreated soil. Phytopathology 97:1027-1034.

Romeiro RS, Moura AB, Matsuoka K, Fernandes MC. 1997. Actinomycetes selected for biological control of tomato wilt (Ralstonia solanaceraum) and growth promotion after seed microbialization. http://wwwcp.scisco. org/docs/pm/am0591.htm. 8 Nopember 2004.

Saravana, T, Bhaskaran, R., and M. Muthusamy. 2004. Fluorescens induced enzymological change in banan root (Cv. Rasthali) against Fusarium wilt disease. Plant Pathology 3 (2): 72-80.Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Laboratory Guide for Identification of Plant. Pathogenic Bacteria. St Paul: The American Phytopatology Society.

Stack J, Chaky J, and Giesler L. 2006. Publication Wilt of Corn in Nebraska.http://www.unl.edu/unpub/search/default.shtml. [18 Oktober 2006].

Thakuria D, Talukdar NC, Goswani C, Hazarika S, Boro RC. 2004. Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in acidic soils of Assam. Current Science 83: 1140-1143.

Thomas A. Zitter. 2002. Stewarts Bacterial Wilt-Still a Problem After 107 Years. Department of Plant Pathology Cornell Universityu Ithaca, NY 14853. (25 Januari 2007).

Vasudevan P, Reddy MS, Kavitha S, Velusamy P, Paulraj RSD. 2002. Role of biological preparations in enhancement of rice seedling growth and grain yield. Current Science 83: 1140-1143.

PAGE