ppt porto 3

Post on 24-Jan-2016

244 views 0 download

description

nn

Transcript of ppt porto 3

Oleh :Dr. Muhammad Rifki El MuammaryDr. Reza Mahendra

Pendamping : Dr. Sahata Parhusip dan Dr. Susy Andriati

Vicky Prasetyo 20 th datang ke IGD RSUD A. Ripin dengan keluhan tidak bisa berjalan karena mengalami kelemahan kedua lengan dan kedua tungkai.

Satu minggu sebelumnya Vicky mengeluhkan kelemahan tungkai bawah lalu lama-kelamaan menjalar ke bagian atas.

Kemudian di susul dengan kelemahan kedua lengan. Vicky juga tidak dapat merasakan sentuhan pada kedua kaki. Seperti kesemutan dari bawah kaki sampai paha menjalar ke atas.

Keluhan dirasakan secara tiba-tiba. Keluhan dirasakan terus menerus, tidak berkurang dengan istirahat.

Dua hari sebelum MRS mengeluh setiap minum tersedak dan sedikit susah makan. Dan merasa lebih susah minum daripada makan.

Keluhan kelemahan keempat anggota gerak sebelumnya tidak pernah dialami oleh vicky. Riwayat penyakit dengan keluhan seperti ini juga tidak pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya. Riwayat penyakit Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal.

sempat mengeluh pernah flu sekitar 2 minggu sbelum MRS. vicky baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.

Tanda Rangsang Meningeal Kaku kuduk : (-) Laseque : (-) Kernig : (-) Brudzinski I : (-) Brudzinski II : (-)

Anggota Gerak AtasMotorik : 5/5TonusRigiditas : -/-RefleksBiceps : +/+Triceps : +/+

Anggota Gerak BawahMotorik :4/4RefleksPatella : +/+Achilles : +/+Babinski : -/-Chaddok : -/-Gordon : -/-Oppenheim : -/-

SensibilitasKanan Kiri

Rasa suhu Tidak teraba Tidak terabaRasa nyeri Tidak teraba Tidak terabaRasa raba Tidak teraba Tidak teraba

Pemeriksaan penunjang apa yang di usulkan?

Apa diagnosanya??

Tn YZ mengeluh sulit menelan, keluhan Dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,disertai kedua kelopak mata terasa berat,awalnya sekitar setahun yang lalu pasien merasa kelopak mata kanan terasa berat dan menutup sendiri tetapi membaik jika beristirahat,gejala berkurang pada pagi hari dan memberat pada siang hari terkadang pasien melihat benda atau bayangan menjadi dua,beberapa bulan kemudian mata kiri juga terasa berat dan menutup sendiri disertai bicara cadel juga leher bagian belakang terasa berat dan cepat lelah jika beraktifitas.

Pasien tidak mengalami demam dan trauma sebelumnya juga tidak memiliki riwayat penyakit Tekanan Darah tinggi,Penyakit kencing manis yang ditandai sering lapar dan sering haus ,tidak memiliki riwayat penyakit jantung yang ditandai nyeri dada atau dada terasa berat dan sesak. Tidak ditemukan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.

 

Dari pemeriksaan fisis didapatkan ptosis bilateral,parese N.VII bilateral tipe perifer,disartria,dysphonia dan disfagi.

Apa pemeriksaan lanjutannya? Apa diagnosanya??

Tidak seperti stroke ataupun cedera kepala, penyakit neuromuskular tidak terlalu sering dijumpai. Akibatnya banyak dokter dan tenaga medis yang tidak mengenali penyakit ini.

Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda yang cukup luas. Mulai dari kesemutan di ujung jari hingga kegagalan pernapasan yang dapat mengancam nyawa.

Oleh karenanya mengenali penyakit ini sejak awal sangatlah penting.

   

Umumnya gejala penyakit neuromuskular berupa kelemahan ataupun kesemutan atau bisa juga keduanya bersamaan, maka penyakit ini mengenai lower motor neuron.

Dengan demikian bila kita mencurigai pasien dengan penyakit neuromuskular langkah pertama tentunya memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan upper motor neuron.

Kegawatdaruratan yang mungkin dijumpai pada penyakit neuromuskular.

Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuscular dapat terjadi pada seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut saraf-otot (Neuromuscular Junction), atau otot.

Walaupun mula-mula penyebab gangguan neuromuscular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan diagnosa pasti juga belum dapat ditegakkan, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital pasien seperti fungsi kardiopulmonal dan bila perlu memberikan tindakan-tindakan suportif untuk menyelamatkan hidup.

SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.

SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.

SGB ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi

0.6-1.9 per 100.000 populasi dan angka ini hampir sama di semua negara.

SGB dapat dialami pada semua usia dan ras. Dengan usia berkisar 30-50 tahun merupakan puncak insiden SGB, jarang terjadi pada usia ekstrim (PERSI, 2012).

Insidensi SGB usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.

Ras:83 % penderita adalah kulit putih7 % kulit hitam5 % hispanis1 % asia4 % pada kelompok ras yang tidak spesifik

(PERSI, 2012).

Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses autoimun.

Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :◦ Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus

(EBV), enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).◦ Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma

Pneumonie. ◦ Pascah pembedahan dan Vaksinasi.

50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.

Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)◦ infeksi saluran cerna C.jejuni. Patologi yang ditemukan

adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)◦ infeksi saluran cerna C jejuni . Penderita tipe ini

memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris

Miller Fisher Syndrome◦ terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia.

Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan

Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP)◦ mempunyai karakteristik kelemahan progressive

areflexic dan perubahan sensorik Chronic Inflammatory Demyelinative

Polyneuropathy (CIDP)◦ gambaran klinik seperti AIDP, tetapi

perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik Acute pandysautonomia

◦ Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimpatis. Tanpa sensorik dan motorik, jarang.

Anamnesis◦ Parastesi◦ Kelemahan otot◦ disfagia, diplopia dan bicara tidak jelas◦ Gagal nafas◦ Keterlibatan saraf kranial

Pemeriksaan fisik◦ kesadaran yang compos mentis◦ suhu tubuh normal◦ penurunan denyut nadi ◦ peningkatan frekuensi nafas◦ tekanan darah yang ortostatik hipotensi atau tekanan

darah yang meningkat

Pemeriksaan penunjang◦ Pemeriksaan LCS

kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel.

>> pasien jumlah sel pasien kurang dari 10/mm3 dan disebut dengan istilah disosiasi albumin sitologis .

◦ Pemeriksaan EMG mengkonfirmasi neuropati demielinisasi

◦ Pemeriksaan MRI gambaran cauda equina yang membesar

Miastenia Gravis Poiliomyelitis Miositis Akut

Miastenia gravis adalah suatu gangguan autoimun yg menyebabkan otot skelet menjadi lemah & lekas lelah.

Pada penyakit ini IgG mengingat reseptor asetilkolin pd membran pascasinaptik persambungan neuromuskuler (nerromuskuler junction).

Jumlah reseptor asetilkolin yg menurun krn terikat IgG ini menyebabkan amplitude potensial lempeng ujung (end-plate) berkurang, dg akibat tdk timbulnya potensial aksi.4

Miastenia gravis lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun.

Wanita >> pria dengan rasio 6:4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia

yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun.5,6

Pada miastenia gravis terdapat antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin.

Miastenia gravis dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.6

Pada miastenia gravis, antibodi IgG secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa yang merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular.

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis.

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:a. Klas IAdanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.b. Klas IITerdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.c. Klas IIaMempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

d. Klas IIbMempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.e. Klas IIITerdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.f. Klas IIIaMempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.g. Klas IIIbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

h. Klas IVOtot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.i. Klas IVaSecara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.j. Klas IVbMempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.k. Klas VPenderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.

1. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

2. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopia, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuh pun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

3. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

Anamnesis dan Pemeriksaan fisik : Kelemahan pada otot wajah (a mask-like face ) Kelemahan otot bulbar Kelemahan otot-otot palatum nasal twang to the voice &regurgitasi

makanan Kesulitan dalam mengunyah &menelan makanan aspirasi cairan

batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang sulit untuk menutup mulutnya Kelemahan otot-otot leher gangguan pada saat fleksi serta ekstensi

dari leher. Pada ekstremitas atas: kelemahan fungsi ekstensi dari otot-otot

pergelangan tangan serta jari-jari tangan . Pada ekstremitas bawah: kelemahan saat fleksi panggul, serta

dorsofleksi jari-jari kaki Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan otot-otot pernapasan

1. Gejala Klinis

2. Tes Farmakologi : tes edrophonium, neostigmin dan

kurare.

3. Pemeriksaan elktromiografi (EMG)

4. Pemeriksaan laboratories.

5. Pemeriksaan radiologik.

6. Pemeriksaan “ Stapedius reflex decay”

1. G.klinis:Tergantung beratnya penyakit.

Pada anamnesa sesuai dengan gambaran umum.Pada tahap awal kelemahan otot sering ringan dan tidak konstan.

Pada px fisik; refl. Fisiologis (N), ggn sensibilitas (-).

Tes klinis sederhana : selama 2 – 3 menit disuruh :a. melirik keatas, maka tampak ptosis makin memberatb. melirik kelateral, maka akan tjd keluhan diplopia,

dan keluhan tsb akan menghilang setelah istirahat.

2. Tes Farmakologi

1. T. Edrophonium ;

Setelah dinilai beratnya ptosis dan kelemahan otot okuler + 10

mg (1ml ) edrophonium IV.

Caranya: 0,2 ml disuntikan dulu , bila dpt ditolerir stl 30” masukan

sisanya 0,8 ml.

efek klinis timbul stl 30 – 60 “ dan bertahan 4 – 5 menit.

2. T. Neostigmin.

Penderita disuntik neostigmin 1,5 mg IM. ( siapkan 0,6 mg atropin

sulfat untuk mengatasi efek muskarinik: muntah-muntah,

hiperhidrosis, hipersalivasi). Perbaikan obyektif + subyektif terjadi

setelah 10 – 15 mnt dan puncaknya 30 mnt dan berakhir setelah 2

– 3 jam.

Bila negatif tidak meruntuhkan diagnosis MG.

3. T. Kurare.

Tes ini dilakukan bila tes edrophonium dan

neostigmin meragukan, dilakukan di RS yang

mempunyai fasilitas mesin respirator.

Caranya ; dosis kurare pd orang normal 3 mg/ 18 kg

BB IV.

pada penderita yang dicurigai diberi 2 % dari dosis

N, bila dalam 5 mnt belum terjadi kesulitan bernapas

+ 5% dari dosis N.

Bila terjadi kelemahan yang semakain berat MG

3. Pemeriksaan EMGTes ini dilakukan bila klinis meragukan.

Otot yang diperiksa:

Otot wajah, tangan atau ekstremitas proksimal ( bisep, deltoid).

hasil pemeriksaan ; penurunan amplitudo dari potensiil aksi otot

pada saraf perifer dg frekwensi 3 Hertz .

amplitudo tampak normal lagi setelah pemberian edrophonium

atau neostigmin.

4. Tes LaboratrisMetode ; radioimmuno assay untuk menemukan adanya human

antireseptor IgC di dalam serum.

Tes ini sensitif dan sangat bermanfaat.

diperlukan pada kasus yang ringan dimana EMG meragukan.

5. Px/ Radiologis

Digunakan setelah pengobatan dengan kortikosteroid

jangka panjang , dimana pada Ro thoraks tampak

pembesaran gambaran mediastinum, dibandingkan

dengan sebelum pengobatan.

6. Px/ “ Stapedius refleks Decay “

Alat : audiometer earphone disatu telinga, telinga yang

lain memakai impedance bridge metal tes probe.

Hasil (+) adanya refleks decay + 8 mg

edrophonium, 45 “ perbaikan.

Tes ini analog dengan respon decremental EMG dari

aksi potensial otot thd stimulasi saraf.

1. Opthalmoplegia oleh sebab – sebab lain.

Contoh opthalmoplegia akibat tirotoksikosis.

2. Penderita neurastenik yang mengeluh lemah

setelah kelelahan.

3. Penyakit neurologik yang menimbulkan disartria

dan disfagia tapi tidak ada ptosis dan diplopia.

4. Polimiopati miastenik yang hipersensitif

terhadap neostigmin.

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis.Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya

Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.

1. Sistem pernapasanGagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi.Bila perlu dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat bantu pernapasan (ventilator) bila vital capacity turun dibawah 50%.

2. FisioterapiFisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolapsparu.Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

3.ImunoterapiTujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.a. Plasma exchange therapy (PE)Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek

b. Imunoglobulin IVIntravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.

c. KortikosteroidKebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

Pemeriksaan Penunjang SGB1. Pemeriksaan LCSDari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.

2. Pemeriksaan MRIPemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.

Komplikasi SGBKomplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dankontraktur pada sendi.

Prognosis SGBPada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.Penderita SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau tremor postural (25-36%).

Penyembuhan dapat memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun.

Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis

Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

Plasma Exchange (PE)PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative.

Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.

Intravenous Immunoglobulin (IVIG)Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.

Intravenous Methylprednisolone (IVMp)IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis.Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.

Thymectomy (surgical care)digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma dengan atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis.

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasienSecara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan)

Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.

Imaging Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

MRIMRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

Pendekatan ElektrodiagnostikPendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik4 :1. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.2. Single-fiber Electromyography (SFEMG) Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.