Porto Ketiga

35
21 BAB I PENDAHULUAN Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan pasien dengan kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di fikiran dokter adalah rasa pesimistis terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali seorang dokter dengan ilmu yang cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter masih ada kecanggungan dalam aplikasi terhadap pasien secara langsung. Pada hal pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus segera bertindak dan semakin cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka semakin besar kemungkinan pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat kematian dan kecacatan. Diperlukan suatu panduan bagi dokter & paramedis di unit pelayanan terdepan utk mengenali & melakukan tindak lanjut dlm kegawatdaruratan neurologi. Sindrom Guillain-barre (SGB) atau secara klinis sering disebut “Poli Radikulo Neuropati inflamasi akut (PIA)”. Sindrom Guillain Barre sering disebut juga acute inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan kelainan pada saraf perifer yang bersifat

description

sss

Transcript of Porto Ketiga

21

BAB I

PENDAHULUAN

Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan

pasien dengan kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di fikiran dokter

adalah rasa pesimistis terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali

seorang dokter dengan ilmu yang cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter

masih ada kecanggungan dalam aplikasi terhadap pasien secara langsung. Pada hal

pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus segera bertindak dan semakin

cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka semakin besar kemungkinan

pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat kematian dan kecacatan.

Diperlukan suatu panduan bagi dokter & paramedis di unit pelayanan terdepan

utk mengenali & melakukan tindak lanjut dlm kegawatdaruratan neurologi.

Sindrom Guillain-barre (SGB) atau secara klinis sering disebut “Poli Radikulo

Neuropati inflamasi akut (PIA)”. Sindrom Guillain Barre sering disebut juga acute

inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang

merupakan kelainan pada saraf perifer yang bersifat peradangan di luar otak dan

medulla spinalis. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau

bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.

Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal

sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859

menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengan

gagal napas.(1)

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua

umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang

pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi

21

kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai

4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau

infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 %

pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya

hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki

gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat

mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi

kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic

Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum

ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik

dapat memperbaiki prognosisnya.(2)

Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini

termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak,

khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya

cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa muda. SGB tampil sebagai

salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau berkembang seperti

Indonesia.(3)

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada

manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala

miastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR).

Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya

defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada

tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari

antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi

demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia

gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,

lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek

menguntungkan dari plasmaparesis1.

21

Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan

fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara

konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada

miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana

antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh1.

Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi

karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak

diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi neuromuskular yang

berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata

juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel

aktif dari membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik

secara langsung maupun tidak langsung1.

Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang

berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan

imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya,

beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang

imunopatogenesis masih sangat kurang2

Tidak seperti stroke ataupun cedera kepala, penyakit neuromuskular tidak

terlalu sering dijumpai. Akibatnya banyak dokter dan tenaga medis yang tidak

mengenali penyakit ini. Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda

yang cukup luas. Mulai dari kesemutan di ujung jari hingga kegagalan pernapasan

yang dapat mengancam nyawa. Oleh karenanya mengenali penyakit ini sejak awal

sangatlah penting.

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan dan Penegakan Diagnosa

Kegawatdaruratan Neuromuskular

Umumnya gejala penyakit neuromuskular berupa kelemahan ataupun kesemutan atau

bisa juga keduanya bersamaan, maka penyakit ini mengenai lower motor neuron.

Dengan demikian bila kita mencurigai pasien dengan penyakit neuromuskular langkah

pertama tentunya memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan upper motor

neuron.

Perbedaan upper motor neuron dan lower motor neuron adalah sbb:

UMN LMN

Bentuk kelumpuhan Hemiparesis,

quadriparesis, paraparesis.

Kelemahan pada otot

tertentu sesuai distribusi

radiks atau pleksus

Atrofi Disuse atrophy (muncul

belakangan dan tidak

terlalu jelas)

Atrophy akibat denervase

(muncul lebih cepat dan

lebih jelas)

Fasikulasi dan fibrilasi - +

Refleks fisiologis Meningkat Menurun atau hilang

Klonus + -

Tonus Hipertonus Hipotonus

Refleks patologis + -

21

Beberapa penyakit neuromuskular yang sering ditemui:

Letak lesi Pola kelainan Contoh

Motor Neuron Kelemahan, atrofi, fasikulasi, tidak

ada gangguan sensorik.

Pada ALS, gejala LMN disertai UMN

Polio: kelemahan asimetrik, riw.

Infeksi

Amyotrophic lateral

sclerosis (ALS),

spinal muscular

atrophy, polio

Radiks Kelemahan dan gangguan sensorik

sesuai dengan inervasi radiks yang

terkena

Kompresi radiks ec

HNP

Sindrom Kauda

ekuina

Pleksus (Plexopathy) Sesuai inervasi pleksus yang terkena Trauma pleksus

Neuritis brakialis

akut

Mononeuropati Kelainan sesuai distribusi saraf perifer

yang terkena

Sindrom terowongan

carpal/tarsal

Mononeuropati

multiplex

Proses multifokal yang hanya

mengenai bagian tertentu dari saraf

perifer

Kelainan saraf tepi

pada Morbus Hansen

Poliradikuloneuropati Ascending paralisis, anteceden infeksi

(GIT atau ISPA), refleks patela

menurun

GBS

Neuromuscular

Junction

Kelemahan berfluktuatif terutama

setelah aktivitas, tidak ada gangguan

sensorik, refleks fisiologis normal

Myastenia Gravis

Botulism

Otot Kelemahan otot proksimal yang difus,

tidak ada defisit sensorik

Polimiositis,

muscular distrofi.

21

Bila berbicara tentang kelainan UMN berarti merujuk pada kelainan sepanjang traktus

motorik atau kortikospinal yaitu dari korteks serebri hingga kornu anterior. Sedangkan

kelainan LMN dimulai dari kornu anterior (motor neuron) hingga otot.

Eksplorasi riwayat penyakit pasien akan sangat membantu menegakkan diagnosis.

1. Selalu tanyakan ada tidaknya riwayat trauma baik pada ekstremitas, leher maupun

pinggang.

2. Pastikan pola kelemahannya.

3. Kelainan miogen, kelemahan lebih dominan di proximal. Sedangkan kelainan

neurogen seperti polineruopati di distal.

4. Adakah gejala sensorik?

5. Mintalah pasien untuk melokalisasi gejala sensorik yang dirasakannya.

6. Apakah pasien merasakan kedutan otot (fasikulasi) dan kram?

7. Gejala ini sering dijumpai pada kelainan motor neuron dan kelainan miogen.

8. Adakah nyeri?

9. Nyeri mungkin berhubungan dengan kelainan struktur muskuloskeletal seperti

HNP, trauma pleksus. Atau mungkin juga kelainan neuropatik.

10. Adakah gejala otonom?

11. Gangguan BAB dan BAK, gangguan penglihatan, impotensi, anhidrosis, ortostatik

dizziness.

Kegawatdaruratan yang mungkin dijumpai pada penyakit neuromuskular.

Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuscular dapat terjadi

pada seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut

saraf-otot (Neuromuscular Junction), atau otot (Tabel 1). Walaupun mula-mula

penyebab gangguan neuromuscular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan

diagnosa pasti juga belum dapat ditegakkan, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital

pasien seperti fungsi kardiopulmonal dan bila perlu memberikan tindakan-tindakan

suportif untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungsi kardiopulmonal stabil, harus

21

dilakukan pemeriksaan serum, likuor, EMG (elektromiografi), kecepatan hantar saraf

(KHS/ NCV = nerve conduction velocity), biopsy otot atau saraf dapat dilakukan agar

dapat dibuat suatu diagnosis yang pasti sehingga dapat diberikan pengobatan yang

lebih optimal.

Umumnya kegawatdaruratan neuromuscular berkembang sebagai suatu problema

sekunder pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuscular atau

sistemik (Tabel 2). Hal ini penting sekali untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi.

2.1. Definisi SGB(4)

SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang

biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu

infeksi akut.

SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya

demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.

SGB ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau

subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi.

2.2. Sinonim SGB

Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy

Landry Guillain Barre Syndrome

Acute Inflammatory Polyneuropathy

Acute Autoimmune Neuropathy

Inflammatory Polyradiculoneuropathy

2.3. Insidensi SGB

Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 – 2,0 per

100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang

ada di Amerika Serikat

21

Internasional : angka kejadian sama yakni 1 – 3 per 100.000 orang per

tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di

China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter memiliki

predileksi pada musim panas.

Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa

muda. Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh

penurunan mekanisme imunosupresor.

Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1

2.4. Klasifikasi SGB

Berikut terdapat klasifikasi dari SGB, yaitu: (2,4)

1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan

yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi

saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari

serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody

gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki

gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan

asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi

elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy

menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya

cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

21

3. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.

Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat

pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.

Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan

minggu atau bulan

4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan

gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih

dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

5. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.

Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan

terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,

penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

2.5. Etiologi SGB

Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan

merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini

merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah

penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :

Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),

enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).

Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.

Pascah pembedahan dan Vaksinasi.

50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.

21

2.6. Patogenesis SGB(5)

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan

pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada

sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa

imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada

sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated

immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada

pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi

Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler

dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB,

gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh

mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal

dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi

oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem

imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip

dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang

menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan

dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan

terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan

adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya

epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas

humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf

perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses

demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.

21

2.7. Gejala Klinis dan Penegakan Diagnosa SGB

1. Kelemahan

Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara

natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai

atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih

distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot

pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan

berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari

kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.

2. Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial

III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk

sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria,

Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.

Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai

yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai

dengan defisit saraf kranial.

3. Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori

cenderung minimal dan variabel.

Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik

serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai

pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar

keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis,

sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.

4. Nyeri

Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien

melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.

21

Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan

dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan

sebagai sakit atau berdenyut.

Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama

perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar,

kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah

daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-

10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan

SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait

dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).

5. Perubahan otonom

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan

parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat

mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi

paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena

paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan. 

6. Pernapasan

Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan

atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;

Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel.

Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada

hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein

CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial;

jumlah sel CSS < 10 MN/mm3;Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1

minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan

konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60%

dari normal.

21

2.8. Definisi Miastenia Gravis

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara

terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4.

Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih

kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission

atau pada neuromuscular junction7.

2.9. Epidemiologi Miastenia Gravis

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi

pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50

tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio

perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada

wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,

sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun8,9.

2.10. Patofisiologi Miastenia Gravis

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup

timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia

gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis

rheumatoid, dan lain-lain7.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum

penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal

inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan

miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik

21

asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia

gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi

pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata2.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor

asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi

yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel

T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan

organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada

timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada

pasien dengan gejala miastenik8.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai

subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area

imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site

dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan

mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara,

antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor

asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular

junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post

sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi

reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis9.

2.11 Gejala Klinis Miastenia Gravis

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang

berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang

beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan

kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat8. Gejala klinis

miastenia gravis antara lain :

21

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius,

seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun pada

miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-

otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot

okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan

otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan

ekstensi kepala7.

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan

tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke

otot ekstremitas7.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut

penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot

faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan

dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau.

Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

21

2.12. Klasifikasi Miastenia Gravis

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis

dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:

a. Klas I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan

kekuatan otot-otot lain normal.

b. Klas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan

ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

c. Klas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat

kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

d. Klas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan

dibandingkan klas IIa.

e. Klas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain

selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

f. Klas IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

g. Klas IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya dalam derajat ringan.

21

h. Klas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang

berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

i. Klas IVa

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot

aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

j. Klas IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara

predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,

otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan

feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

k. Klas V

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan

tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-

gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak

menurun3.

Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah

ini3 :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk

mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut

menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot

okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

21

2.13. Diagnosis Miastenia Gravis

1. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan

diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam

berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal

dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks

tendon biasanya masih ada dalam batas normal8.

Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan

pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan

timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang

horizontal9.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan

miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot

palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal

twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke

hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami

kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi

aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat

minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan

penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus

terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,

sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher7.

Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering

dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota

tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot

anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot

pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.

Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada

21

ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi

panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan

melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.

Kelemahan otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas akut,

dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan

intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta

diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan

berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat

menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap

fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan4.

Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan

tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal

ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu

miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis

akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,

yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang

disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi7.

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan

sebagai berikut8 :

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama

kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi

kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.

Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau

atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian

tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak

lagi.

21

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes

antara lain7 :

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak

terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara

intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan

otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan

ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka

ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus

diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat

singkat.

2. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara

intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila

kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala

seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama

kemudian akan lenyap.

3. Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian

diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan

itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,

strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya

disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak

bertambah berat.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Guillain-Barré Syndrome. Available from: http://www.medicinenet.com/guillain-

barre_syndrome/article.htm. [diakses tanggal 29 Juli 2012].

2. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/

guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION. [diakses tanggal 29 Juli 2012].

3. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus Abdominalis.

Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL :

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/14Sindo

rmGuillainBarre93.html. [diakses tanggal 28 Juli 2012].

4. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,

http://www.americanfamilyphysician.com. [diakses tanggal 28 Juli 2012].

5. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :

URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.

[diakses tanggal 29 Juli 2012].

6. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar,

Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000.

7. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16:

Page: 519-534. 1984.

8. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological

Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.

9. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.

Page: 301-305. 1991.

10. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.h

tm. Accessed : March 22, 2008.