Post on 07-Aug-2015
description
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
AFTA (ASEAN Free Trade Area) mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2003
menandai perdagangan bebas se-kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian
kontes perdagangan seperti semua hambatan perdagangan non tarif akan
dihapuskan di Indonesia. Menjelang era globalisasi, di mana batas-batas antar
negara menjadi luluh, menyebabkan produk manca negara akan berlomba masuk
ke Indonesia. Produk-produk ini akan meliputi bidang industri, termasuk industri
pangan. Produk pangan impor akan mengalir menembus pangsa pasar Indonesia
yang memang sangat luas jika ditinjau dari segi jumlah penduduk. Dengan
demikian beragam produk pangan impor akan beredar di pasaran, termasuk
produk pangan impor hasil rekayasa genetika (Genetically Modified
Organism/GMO).
Perdagangan bebas (free trading) merupakan dampak dari era globalisasi, di
mana batas-batas negara sudah hampir tanpa batas. Perdagangan bebas
merupakan darah dalam kehidupan masyarakat global, masalah perlindungan
konsumen menjadi semakin penting untuk dikaji. Pentingnya kajian ini
didasarkan pada pemikiran bagaimana pemberian perlindungan terhadap hak-hak
universal konsumen secara luas oleh masyarakat khususnya terhadap produk
pangan impor hasil rekayasa genetika (pangan transgenik) yang diduga berisiko
tinggi terhadap kesehatan.
Hal lain yang juga menjadi masalah adalah masyarakat umum sangat
menggandrungi produk impor karena prestise masyarakat. Namun kecenderungan
ini keliru, mereka memilih produk pangan tanpa memperhatikan dampak
terhadap kesehatan atas kandungan atau substansi suatu produk, termasuk
memastikan produk yang dikonsumsinya itu merupakan produk pangan impor
hasil rekayasa genetika. Kekeliruan ini tidak semata-mata lahir dari gengsi
1
konsumen tetapi kesalahan produsen atau pelaku usaha yang mengabaikan
pencantuman perihal yang selengkap-lengkapnya dari suatu produk sebagaimana
termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan.
Tindakan produsen yang demikian itu menyebabkan konsumen sulit mengenali
dan membedakan produk pangan impor hasil rekayasa genetika/GMO (pangan
transgenik) dan produk pangan impor non transgenik. Pada sisi lain konsumen
tetap mengkonsumsi produk pangan impor transgenik karena tidak adanya
informasi terhadap ihwal atau keterangan suatu produk. Padahal konsumen
berhak mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya dan selengkap-lengkapnya
sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Pelanggaran serius terhadap hak-hak konsumen merupakan hal yang tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut, sehingga pemerintah perlu menempuh langkah-langkah
sistematis untuk menegakkan hak-hak konsumen. Selain itu masyarakat juga
perlu aktif memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen. Dengan demikian
konsumen dapat terlindungi dari risiko gangguan kesehatan dan risiko lainnya
atas penggunaan produk pangan impor hasil rekayasa genetika.
Upaya menuju penegakan hukum terhadap hak-hak konsumen dengan berbagai
sarana hukum yang ada perlu dioptimalkan, mengingat pelanggaran hukum
terhadap konsumen berarti pelanggaran hukum terhadap semua umat manusia
karena semua manusia di dunia adalah konsumen. Semua pihak perlu bersinergi
dan berperan secara aktif sehingga perlindungan hukum terhadap konsumen
dapat diwujudkan.
B. Rumusan Masalah
Perdagangan bebas mengisyaratkan dimulainya tingkat persaingan yang sangat
kompetitif. Terbukanya akses yang secara bebas bagi produsen luar negeri harus
diwaspadai, khususnya terhadap produk industri pangan dalam negeri.
2
Pemerintah dan semua pihak terkait harus aktif mencegah terjadinya hal-hal yang
dapat merugikan konsumen di Indonesia, maka kajian ini lebih difokuskan pada :
1. Bagaimana model pengawasan pemerintah terhadap produk
pangan impor hasil rekayasa genetika
2. Siapa yang bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami
konsumen dalam mengkonsumsi produk pangan tersebut.
3. Sejauh mana Undang-undang Pangan melindungi hak-hak
konsumen terhadap produk pangan impor hasil rekayasa genetika.
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan Penulisan :
1. Menguraikan sejauh mana pengawasan pemerintah terhadap
produk pangan impor hasil rekayasa genetika sebelum dilempar di pasar
Indonesia.
2. Menguraikan alur pertanggungjawaban pihak yang menimbulkan
kerugian pada konsumen
3. Memberi gambaran akan eksistensi dari Undang-undang Pangan
dalam memberikan perlindungan konsumen terhadap produk pangan
impor rekayasa genetika.
Kegunaan Penulisan :
1. Diharapkan dapat bermanfaat bagi upaya-upaya menata model
pengawasan pemerintah terhadap masuknya produk pangan impor hasil
rekayasa genetika.
2. Diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi upaya mencari solusi
terhadap masalah yang dihadapi konsumen dalam era perdagangan bebas.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perlindungan Konsumen dalam Tinjauan Hukum Indonesia
Konsep Perlindungan Konsumen diperkenalkan untuk menjamin terwujudnya
penegakan hukum terhadap hak-hak konsumen secara menyeluruh. Peraturan
perundang-undangan Indonesia yang menjadi acuan dalam Perlindungan
Konsumen adalah Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Konsumen
(UUPK). Beberapa instrumen hukum lain yang sangat mendukung terwujudnya
perlindungan konsumen adalah:
- Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
- Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
- Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Perlindungan Konsumen terdiri dari berbagai elemen penting lain yang saling
mendukung seperti berbagai peristilahan teknis tentang kesehatan, pangan yang
juga diatur dengan Undang-Undang. Undang-undang Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa Perlidungan Konsumen adalah Segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Definisi di atas menekankan adanya perlindungan terhadap konsumen.
Pengertian konsumen berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain yang
tidak diperdagangkan.
Di Amerika Serikat pengertian konsumen meliputi “korban produk” yang cacat
yang bukan hanya meliputi pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan
pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di
Eropa berdasarkan Produk Liability Directive selanjutnya disebut (Directive)
4
sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan mengenai hukum
perlindungan konsumen, yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang
menderita kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.
Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang diperolehnya dari pelaku usaha.
Pelaku usaha yang dimaksudkan berdasarkan rumusan dari Undang-undang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 adalah
Setiap orang-perseorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan berusaha di berbagai bidang ekonomi.
B. Pangan Rekayasa genetika dan Perdagangan Bebas
a. Pangan Rekayasa genetika
Barang dan jasa yang dikonsumsi oleh konsumen dapat berupa barang atau jasa
dengan jenis apapun, termasuk produk pangan, baik produk pangan impor
maupun produk pangan dalam negeri. Secara umum pangan dapat diartikan
sebagai konsumsi makanan ataupun minuman. Pengertian lebih rinci dapat dilihat
pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 angka 1, yang menyebutkan
bahwa :
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Jelas bahwa bahan tambahan, bahan baku, dan bahan lainnya yang ditambahkan
dalam makanan atau minuman yang dikonsumsi juga dapat digolongkan dalam
kategori pangan.
Dengan demikian penulis mendefinisikan pangan impor yaitu segala bahan
pangan yang diproduksi di luar negeri, baik itu berupa bahan baku, bahan
tambahan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
5
Rekayasa genetik yang juga dikenal dengan istilah biotekhnologi modern,
transfer gen atau modifikasi gen merupakan teknik memasukkan/menyisipkan
gen dari spesies yang berbeda seperti manusia, bakteri, hewan, virus, jamur, dan
tanaman. Gen tersebut dapat berasal dari hewan yang dimasukkan ke genom
tanaman atau gen dari bakteri disisipkan ke hewan ataupun gen dari virus
dimasukkan ke manusia. Teknik ini dapat diandaikan sebagai mengocok satu set
kartu yang berupa gen-gen untuk menciptakan makhluk hidup yang tidak pernah
ada sebelumnya.1
Rekayasa genetika dilakukan dengan mengubah DNA (deoksiribonukleat Acid)
atau susunan genetik makhluk hidup yang merupakan kode kehidupan.
Pengubahan ini dilakukan dengan memotong dan menggabungkan sekuen/bagian
DNA dengan cara memotong gen tertentu dan menyisipkannya ke DNA makhluk
lain. Rekayasa genetika lazim dikenal dengan sebutan pengubahan cetak biru
keturunan organisme. Teknik rekombinasi genetika yang dilakukan dengan
mengganti atau menambahkan DNA dari luar kepada susunan DNA asli dalam
sel, dikenal dengan rekayasa genetika atau manipulasi genetika/ DNA
rekombinant.
Terminologi Pangan Rekayasa genetika atau Genetically Modified Organism
(GMO atau GM Food) dapat diartikan tanaman yang secara genetika diubah
dengan menambahkan gen asing melalui teknik biologi molekuler modern atau
bioteknologi guna memperoleh karakter yang dikehendaki. Pangan rekayasa
genetika adalah pangan atau produk pangan yang diturunkan dari tanaman, atau
hewan yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika. Pengertian rekayasa
genetika pangan juga dapat dijumpai dalam UU Pangan Pasal 1 angka 12 yaitu
suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk pangan yang lebih unggul.
1 T.A.Brown, 1991, Pengantar Kloning Gena, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.
6
UU Pangan lebih lanjut mempertegas aturan mengenai penggunaan hasil
rekayasa genetika yang terdapat dalam pasal 13 ayat (1) dan (2) yaitu :
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau
menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan dan atau bahan bantu lain
dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan
bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.
(2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan,
dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses
produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang
dihasilkan dari proses rekayasa genetika.
Pangan yang dimaksudkan tidak dibatasi apakah itu produk pangan lokal ataupun
produk pangan impor. Berdasarkan definisi dari Undang-undang Perlindungan
Konsumen, impor adalah barang yang dimasukkan dari luar negeri ke dalam
daerah pabean di dalam negeri. Produk pangan impor adalah produk pangan yang
berasal dari luar negeri yang dipasarkan di Indonesia. Produk pangan yang
beredar di pasaran Indonesia inilah yang harus dikaji kelayakannya untuk
dipasarkan di Indonesia. Standar baku suatu produk pangan yang akan beredar
harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam Undang-Undang
No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut UU Kesehatan.
Peran UU kesehatan terhadap perlindungan konsumen sangat besar khususnya
dalam bidang pengamanan makanan dan minuman sebagaimana tercantum dalam
Pasal 21 sebagai berikut:
1. Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi
makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai
standar atau persyaratan kesehatan.
2. Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau
label yang berisi:
a. Bahan yang dipakai
b. Komposisi setiap bahan
7
c. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
d. Ketentuan lainnya
3. Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar atau
persyaratan kesehatan atau membahayakan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari
peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan dengan
peraturan pemerintah .
b. Perdagangan Bebas
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi industri
merupakan peluang besar dalam memulai sistem perdagangan bebas, tidak
terkecuali kehadiran globalisasai ekonomi yang telah dilakukan melalui
kesepakatan WTO, AFTA maupun APEC 2010 dan 2020. Dengan pandangan
bahwa perdagangan bebas tak lain adalah bagian dari globalisasi.
Sementara arti globalisasi sangat luas berdasarkan dari sudut pandang mana
seorang pemikir, “Albrow” menekankan kepada seluruh proses dimana manusia
dibumi ini dikorporasikan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal dan
prosesnya bersifat majemuk.2 Sementara salah satu isi dari definisi yang
dikemukakan oleh Robertson dengan merumuskan globalisasai sebagai, ”The
compression of the world and the intensification of consciousness of the world as
a whole”. Hal yang dikandung adalah terjadinya divergensi antara struktur
integritas dipandang dari perspektif global ataukah dari perspektif lokal.
Globalisasi menyebabkan semakin meningkatnya sifat saling ketergantungan
antara pelaku-pelaku ekonomi yang ada di dunia termasuk di dalamnya pelaku
perdagangan, manufaktur, dan investasi yang melewati batas-batas negara.
Terdapat anggapan bahwa perdagangan bebas kelak akan membawa keuntungan
2 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia,2000, hal.15
8
ekonomi bagi negara-negara pesertanya dan dianggap dapat mengurangi
kesenjangan antar negara di dunia. “Free Trade” akan meningkatkan “economic
growth” yang selanjutnya akan membawa perbaikan standar kehidupan. Hal
tersebut ditandai dengan kenaikan GNP.3 Namun kenyataannya tidak demikian,
perdagangan bebas hanyalah suatu gerakan perluasan pasar semata dan layaknya
suatu persaingan dalam pasar pasti ada yang menang dan yang kalah. Dan hal ini
akan semakin memperlebar jurang kesenjangan antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang.
Perdagangan bebas adalah situasi dimana batas-batas negara sudah hampir luluh.
Hubungan tanpa batas dalam perdagangan antar negara, lalu lintas transnasional
yang tak lagi menjadi hal yang sulit dilakukan karena adanya prinsip “open
access” saling terbuka bagi negara-negara di dunia.Namun demikian
perdagangan bebas tidak bisa lepas dari prinsip awalnya yakni memajukan
perdagangan antar negara.Demikian gambaran mengenai sistem perdagangan
bebas.
Perlindungan konsumen memang harus mendapatkan perhatian yang lebih, satu
dan lain hal karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi
Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juga berkait dengan ekonomi dunia.
Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi
perlindungan konsumen.4
BAB 33 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung:CV. Mandar Maju, 2000, hal. 34 Ibid hal. 2
9
METODE PENULISAN
A. Teknik Penulisan
Penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan maksud menjelaskan
perlindungan konsumen terhadap produk pangan impor yang merupakan hasil
rekayasa genetika dengan menggunakan literatur-literatur yang sesuai dengan
masalah yang dibahas.
B. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini disusun sebagai berikut:
BAB 1 : Pendahuluan, yang menguaraikan latar belakang masalah, rumusan
masalah serta tujuan dan kegunaan penulisan
BAB 2 : Tinjauan Pustaka, yang menyajikan pengertian-pengertian dasar yang
diperoleh dari literatur-literatur yang telah dikumpulkan
BAB 3 : Metode Penulisan, disajikan dengan menggunakan teknik
penulisan, sistematika penulisan, teknik pengumpulan dan pengolahan data.
BAB 4 : Pembahasan, yang berisi analisis permasalahan berdasarkan data dan
telaah pustaka yang diurakan secara runtut.
BAB 5 : Penutup, berisi kesimpulan dan saran yang diselaraskan dengan
kerangka pemikiran sebelumnya.
C. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung.
Penulis juga menggunakan metode penelitian kepustakaan melalui buku-buku,
media massa, dan jurnal-jurnal ilmiah. Data diolah dan dianalisis dengan teknik
content analysis untuk menghasilkan kesimpulan.
BAB 4
10
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Konsumen di Indonesia
Konsep perdagangan bebas, ekspor impor sudah terjalin dalam bentuk kerjasama
ekonomi negara-negara sejak dahulu. Seiring perkembangan perekonomian
dunia, lahirlah konsep-konsep yang lebih maju dalam bidang ekonomi, yang
dimulai dengan kerjasama ekonomi regional sampai kerja sama ekonomi global.
Perjanjian demi perjanjian dalam bidang ekonomi lahir dan tumbuh, sehingga
negara Indonesia yang sejak dulu terlibat dalam ekspor impor antar negara
meratifikasi perjanjian AFTA. Ratifikasi ini menandai perdagangan bebas se-
kawasan Asia Tenggara segera dimulai, semua hambatan-hambatan non tarif
dalam perdagangan antar negara sudah dilarang. Dalam konteks ini batas-batas
antar negara luluh. Berdasarkan hal tersebut produk-produk impor termasuk
produk pangan akan berlomba-lomba menembus pasar Indonesia. Persaingan
pasar semakin kompetitif. Produk-produk lokal jika tak segera berbenah dengan
meningkatkan kualitas produksi akan segera terdepak dari persaingan pasar.
Masuknya produk-produk impor ini merupakan suatu layanan pasar yang lebih
maju dan menguntungkan konsumen karena tersedianya berbagai produk barang
dan jasa yang lebih beragam.
Bahan pangan dari tanaman transgenik sudah barang tentu masuk pula ke
Indonesia, terutama kedelai dan jagung transgenik. Hingga saat ini pemerintah
belum melakukan kajian untuk menetapkan jenis kedelai, jagung, dan bahan
pangan transgenik apa yang boleh masuk di Indonesia. Negara-negara lain seperti
Jepang, Uni Eropa, Korea, Taiwan, Australia, Singapura, beberapa negara Timur
Tengah, serta Eropa Timur, menetapkan standar dan melakukan sendiri analisis
keamanan pangan terhadap produk-produk transgenik impor. 5
Masuknya produk-produk impor menimbulkan masalah khususnya produk yang
tidak mempunyai label. Kondisi seperti ini harus betul-betul dicermati
pemerintah, karena merupakan pelanggaran yang serius terhadap hak-hak
5 Harian Kompas, Senin, 11 Februari 2002, hal.10
11
konsumen. Konsumen Indonesia cenderung sangat menyukai produk impor.
Angka penjualan yang tinggi pada produk makanan impor baik yang terkemas
dalam kotak maupun kalengan ataupun produk makanan impor yang tersaji dalam
kemasan khusus tampak pada perhatian yang besar dari konsumen. Sebagai
contoh beberapa supermarket di daerah Makassar pada bagian stand makanan
yang menjual produk makanan impor dalam berbagai merek dan cita rasa
makanan sangat laris dan menarik konsumen.
Makanan dan minuman yang beredar dipasaran ini tidak menutup kemungkinan
mengandung bahan dari hasil rekayasa genetika. Karena ketidakjelasan dari label
yang tercantum pada setiap produk mengakibatkan konsumen kesulitan dalam
mengidentifikasi yang mana termasuk pangan hasil rekayasa genetika dan yang
mana tidak. Namun pada umumnya ada tiga kategori yang termasuk pangan hasil
rekayasa genetika. Pertama, pangan yang baru atau berbeda dari rekan alaminya
seperti beras yang diperkaya vitamin A atau strawberi anti-beku. Makanan atau
bahan hasil rekayasa genetika yang telah mengalami pengolahan, yaitu susu
kedelai, tahu dan tempe. Pangan tersebut mengandung protein atau DNA yang
dimodifikasi dari tanaman hasil rekayasa genetika. Hal yang terakhir, produk
olahan yang berasal dari tanaman transgenik, seperti gula dari tebu transgenik.
Produk ini tidak mengandung atau hanya mengandung protein atau DNA
transgenik pada tingkat sangat rendah sehingga sulit dideteksi. 6
Dengan demikian bukan hanya produk impor dalam bentuk kemasan yang dapat
dikategorikan sebagai pangan transgenik, tetapi juga termasuk bahan baku yang
dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Produk yang telah mengalami
pengolahan maupun yang belum diolah yang merupakan bahan impor luar negeri
dapat dikategorikan pangan hasil rekayasa genetika. Peran pemerintah untuk
melindungi konsumen dari timbulnya dampak buruk akibat beredarnya produk
pangan impor transgenik sangat diperlukan. Pemerintah Indonesia hingga kini
belum mempunyai instrumen yang jelas untuk melacak suatu produk pangan hasil
6 YLKI, 2002, Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Makanan Hasil Rekayasa Genetika, Jakarta, hal. 41
12
rekayasa genetika. Oleh sebab itu pemerintah belum mampu melakukan
pengawasan terhadap produk yang diidentifikasi sebagai pangan transgenik.
Persoalan berikutnya, yang lebih rumit bagaimana jika tindakan konsumen
mengkonsumsi produk sudah menimbulkan risiko, misal gangguan kesehatan
seperti alergi, keracunan, dan lain-lain. Bagian-bagian ini merupakan elemen
yang tak terpisahkan dari upaya perlindungan terhadap konsumen .
Perlindungan Konsumen di Indonesia memang masih mempunyai banyak
problem, khususnya terhadap produk pangan impor hasil rekayasa genetika.
Sulitnya pelacakan, masyarakat yang sangat senang terhadap produk–produk
impor, sampai pada masalah alur pertanggung jawaban yang rumit bagi
konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi pangan hasil rekayasa
genetika.
Penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen diwujudkan dengan
penegakan hak-hak dasar konsumen. Hak dasar konsumen dirumuskan dalam
UUPK, sebagaimana diatur dalam pasal 4, sebagai berikut :
a. hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang, dan/atau jasa
b. hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan
e. hak untuk mendapatkan advokasi,perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumeng. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatifh. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
13
Masalah pertanggung jawaban terhadap konsumen atas kerugian yang timbul
sebagai akibat dari mengkonsumsi suatu produk memang masih membingungkan.
Hal ini belum dijelaskan secara pasti dalam UUPK mengenai pihak yang akan
melakukan ganti rugi jika sekiranya produk tersebut terbukti membawa dampak
buruk bagi konsumen. Misal A selaku produsen awal menggunakan bahan dasar
yang merupakan hasil rekayasa genetika, lalu pihak B yang berperan sebagai satu
perusahaan memproduksinya dan menjadikan bahan dasar tersebut produk
pangan dalam kemasan impor. Rumitnya alur pertanggung jawaban terhadap
kerugian konsumen juga tergambar dalam UUPK. Rumusan pelaku usaha dalam
UUPK cukup luas yaitu meliputi orang atau badan baik yang berbentuk badan
hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah RI. Di lain pihak UUPK yang juga
menggolongkan importir sebagai pembuat barang atau penyedia jasa, dalam hal
ini ikut bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Berdasarkan hal tersebut
konsumen akan merasa ringan jika mengalami kerugian akibat mengkonsumsi
produk pangan tersebut sehingga meskipun importir tidak terlibat langsung dalam
proses produksi pangan transgenik, tapi berperan dalam mengedarkan produk
tersebut.
Importir, distributor ataupun pengecer tidak bisa disalahkan karena mengingat
mereka tak berperan secara langsung dalam proses produksi pangan transgenik
Peran mereka hanya sebatas menyampaikan produk tersebut ke tangan konsumen.
Sehingga yang dituntut oleh konsumen atas kerugian dari penggunaan produk
pangan transgenik itu adalah pihak produsen awal yang memproduksi pangan
transgenik tersebut. Masalahnya kemudian, konsumen dalam hal ini konsumen
yang berdiam di wilayah Indonesia tidak dapat menggugat langsung produsen
yang memproduksi pangan hasil rekayasa genetika yang berada diluar negeri.
Misalnya produk pangan transgenik itu berasal dari negara Amerika, maka
konsumen di Indonesia yang dirugikan tidak dapat menggugat langsung produsen
tetapi hanya bisa menggugat importir produk tersebut.
14
Rumitnya alur pertanggungjawaban terhadap konsumen tersebut dapat
dipecahkan dengan adanya model pertanggung jawaban yang dikenal dengan
istilah “tanggung jawab renteng”. Tanggung jawab renteng memungkinkan
konsumen untuk melakukan penuntutan terhadap importir, distributor, ataupun
pengecer produk pangan transgenik tersebut. Hal ini lebih memudahkan
konsumen dalam memperoleh hak- haknya.
Pihak yang bertanggung jawab terhadap konsumen seperti yang termuat dalam
UUPK Pasal 7 yaitu memberi kompensasi/ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang diperdagangkan. Dalam hal ini konsumen dapat langsung meminta
pertanggung jawaban atas kerugian yang dialami kepada toko/pedagang eceran
tempat ia membeli produk tersebut. Pedagang eceran juga memiliki kewenangan
untuk meminta ganti rugi kepada distributor yang mensuplai produk tersebut.
Demikian seterusnya sampai tuntutan atas kerugian tersebut sampai kepada
produsen awal. Dengan adanya model tanggung jawab renteng memudahkan
konsumen dalam meminta pertanggung jawaban produsen dan konsumen tidak
harus menuntut langsung ke tempat dimana barang tersebut diproduksi.
Menurut ‘teori kontrak’ hubungan produsen dan konsumen sebaiknya dipandang
sebagai sebuah kontrak dimana kewajiban produsen terhadap konsumen
didasarkan atas kontrak. Apabila konsumen membeli sebuah produk, maka ia
seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjual atau
memproduksinya. Dalam konteks demikian, secara langsung hukum memberikan
perlindungan karena antara pembeli/konsumen dengan produsen seolah-olah
berada dalam sebuah ikatan kontrak yang memungkinkan pihak lainnya mudah
menuntut perlindungan melalui upaya- upaya tertentu termasuk upaya hukum. 7
Teori ini secara praktis yuridis sebenarnya masing-masing mengandung risiko
pembuktian yang agak sulit karena hanya berpatokan pada pengandaian seolah-
olah telah terjadi kontrak. Akan tetapi, bagaimanapun lemahnya kontrak tersebut,
7 K. Bartens, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal.233-235
15
pihak produsen tidak dapat lepas tangan atas produk pangan yang telah
dihasilkannya, produsen asing tetap bertanggung jawab penuh atas segala
tindakan hingga mampu memproduksi produk.8
Langkah kongkrit yang harus ditempuh pemerintah guna mencegah semakin
meluasnya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen adalah menetapkan batasan
tegas produk pangan impor yang boleh dipasarkan di Indonesia. Pemerintah
melalui badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) perlu merumuskan
mekanisme yang jelas terhadap alur suplai produk-produk pangan impor,
misalnya uji sertifikasi yang ketat terhadap produk-produk pangan impor.
Hal yang fenomenal bagi konsumen adalah gengsi yang tinggi manakala mereka
mampu membeli dan mencicipi produk impor. Tanpa disadari konsumen tidak
memikirkan bahwa produk yang mereka konsumsi terdiri dari komposisi dan
bahan yang beragam. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya informasi
yang jelas atas suatu produk yang dipasarkan. Akibatnya konsumen main asal
beli saja.
Pengawasan pemerintah Indonesia terhadap peredaran produk impor, khususnya
makanan hingga saat ini memang masih lemah. Keluhan konsumen akibat
mengkonsumsi produk pangan impor sering terjadi. Hal ini perlu diantisipasi
dengan menerapkan instrumen-instrumen hukum yang ada. Instrumen hukum
tersebut seperti PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada
Pasal 2 menyatakan bahwa “setiap orang yang memproduksi atau menghasilkan
pangan yang dikemas ke dalam wilayah RI untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan mencantumkan label, di dalam, dan atau di kemasan pangan”,
Label yang dicantumkan berisikan keterangan yang menurut Pasal 3 ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup: nama produk, daftar bahan yang digunakan,
berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia hingga tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Masih
dalam PP No. 69/99 Pasal 35 menyebutkan bahwa pangan hasil rekayasa 8 M. Arfin Hamid, Pengantar Hukum Ekonomi Indonesia, Materi Perkuliahan Hukum Ekonomi, Makassar, 2000, hal. 151
16
genetika wajib mencantumkan tulisan Pangan Rekayasa genetika dan dalam
bentuk logo.
Selanjutnya dalam Undang-undang Pangan Pasal 13 ayat (1) dan (2) memuat
pengaturan tentang kegiatan produksi pangan dan penggunaan bahan baku, bahan
tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetika dan juga mengatur persyaratan dan prinsip penelitian,
pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Sebuah kesepakatan di tingkat Internasional yang sadar akan potensi bahaya
rekayasa genetika adalah Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati yang
berada dibawah Konvensi PBB. Protokol tersebut memuat pengendalian yang
memadai dalam hal transfer, penanganan, dan penggunaan yang aman dari
organisme hasil rekayasa genetika yang mungkin berpengaruh merugikan
terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati,
dengan juga mempertimbangkan risiko terhadap kesehatan manusia, dan
khususnya berfokus pada pergerakan lintas batas. Protokol Kartagena juga
mensyaratkan pelabelan, dan memperbolehkan negara-negara pengimpor untuk
melarang dan membatasi masuknya produk hasil rekayasa genetika, jika terdapat
ketidakpastian ilmiah tentang risiko yang ditimbulkan.
Upaya perlindungan konsumen harus disadari bukan hal yang mudah dalam
penegakan hukum bagi perlindungan konsumen di Indonesia. Khusus terhadap
pelabelan produk pangan hasil rekayasa genetika terletak pada belum adanya
petunjuk pelaksanaan (Juklak) yang dapat dijadikan pegangan bagi pemerintah
dan produsen. Petunjuk Pelaksanaan yang dimaksud adalah Petunjuk pelaksanaan
terhadap pada PP RI No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada
Pasal 35. Pemerintah dalam hal ini BPPOM (Badan Pemerintah Pengawasan
Obat dan Makanan) menyatakan bahwa peraturan pelabelan belum ada pada
pangan rekayasa genetika karena belum adanya Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)
yang dapat menjadi pegangan bagi pemerintah dan produsen. Badan POM, yang
17
diwakili oleh Dedi Fardiaz menyatakan bahwa pihaknya akan mengeluarkan
Juklak tersebut bulan Maret 2002, tetapi hingga saat ini juklak tersebut belum
diterbitkan.
Proses pengujian izin pelepasan produk hasil rekayasa genetika berdasarkan Tim
Keanekaragam Hayati Departemen Pertanian dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Proses pengajuan izin pelepasan produk hasil rekayasa genetika
Kendala lain adalah sulitnya menerapkan suatu ketentuan hukum, untuk
mengefektifkan berlakunya suatu produk peraturan perundang-undangan. Hal
tersebut membutuhkan sosialisasi dengan jangka waktu yang sangat lama.
Apalagi tipe ketaaatan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang
memang masih rendah.
Aturan dan kesepakatan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen harus
diterapkan secara berkelanjutan/konsisten. Para stakeholder harus
bertanggungjawab dalam mewujudkan law enforcement terhadap hak-hak
konsumen.
Secara yuridis pemerintah Indonesia dalam mewujudkan perlindungan hukum
terhadap konsumen, telah dilengkapi dengan instrumen-instrumen hukum, antara
lain:
1). Undang-undang. RI. Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2). Undang-undang RI. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
18
Pemohon
Badan POM
Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Tdk Lengkap Lengkap
Pengujian Lab
Penambahan Data
Tim Teknis Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan
Disetujui dengan syarat DitolakDiterima
3). Undang-undang RI. No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
4). Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan
Instrumen-instrumen hukum ini sebenarnya sudah sangat memadai untuk
melindungi hak-hak konsumen, hanya saja terbentur pada masalah penegakannya.
Solusi atas masalah ini tentu saja dengan mengefektifkan berlakunya kesemua
instrumen-instrumen hukum itu, misalnya dengan pemberlakuan sanksi secara
tegas atas pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum tersebut.
Bentuk sanksi dapat berupa menarik izin peredaran pasar suatu produk yang
bermasalah atau tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Produk yang dibiarkan beredar di pasaran hanyalah produk yang
betul-betul menjamin keselamatan konsumen. Sesuai dengan standar mutu
kesehatan, dan dengan melewati proses uji sertifikasi yang bisa menjamin
keamanan dan mutu.
Upaya lain yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan kesadaran hukum
utamanya bagi pelaku usaha/produsen. Pelaku usaha juga harus mengutamakan
prinsip persaingan yang jujur sehingga tak perlu menghalalkan segala cara untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Pelaku usaha harus menjalankan
metode perusahaan yang fair.
Selain upaya-upaya tersebut di atas yang tak kalah pentingnya adalah dengan
membangun kerja sama, koordinasi antara pihak-pihak yang berkepentingan,
seperti pengawasan dan pemberlakuan UU Pangan, PP tentang Label dan Iklan
Pangan serta UU Perlindungan Konsumen, yang utama adalah pengaplikasiannya
dalam memperlancar arus pasar perekonomian guna menghindari
penyalahgunaan UU tersebut. Peran serta pemerintah tidak hanya terbatas pada
pengecekan dan pengawasan ketika produk pangan impor tersebut siap di lempar
ke pasar lokal, namun dengan penelusuran lebih lanjut dengan mencari data di
lapangan misal menjajaki keluhan-keluhan konsumen. Pelaku usaha harus jujur,
19
mengutamakan peningkatan kualitas produksi, dan menjalankan metode
perusahaan yang fair, serta konsumen juga harus aktif memperjuangkan hak-
haknya sebagai konsumen. Dengan demikian penegakan hukum terhadap
konsumen dapat diwujudkan.
B. Peredaran Pangan Impor Hasil Rekayasa genetika
Indonesia sebagai negara berkembang harus mengakui keunggulan negara-negara
maju dalam bidang mutu dan kualitas produksi. Namun kenyataan ini bukannya
merupakan akhir dari perjuangan bangsa kita untuk mensejajarkan diri dengan
bangsa–bangsa lain. Bangsa kita punya potensi yang cukup besar untuk maju dan
berkembang asal saja kita mau berusaha dengan keras. Keunggulan produksi
negara-negara lain khususnya negara-negara anggota AFTA yang masih
mengungguli Indonesia sangat berpengaruh terhadap kondisi pasar Indonesia.
Konsumen-konsumen lebih cenderung memilih produk–produk impor ketimbang
produk lokal. Selain karena memang mutunya lebih bagus juga merupakan
ukuran gengsi/prestise bagi sebagian konsumen di Indonesia.
Hadirnya pangan transgenik di pasar Indonesia jika hanya didasarkan pada
produk-produk impor sangat sulit. Mengingat belum ada informasi yang jelas
tentang pangan hasil rekayasa genetika. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam
produk makanan yang ada di pasaran, tidak satu pun mencantumkan informasi
keberadaan pangan hasil rekayasa genetika sehingga konsumen tidak memiliki
jaminan keamanan ketika mengkonsumsi produk makanan tersebut. Kondisi/hal
ini memberi peluang bagi peredaran produk pangan transgenik impor yang akan
dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat tanpa mengetahui dampak dari
produk tersebut bagi kesehatan.
Karakter konsumen di Indonesia dalam memilih produk pada dasarnya terbagi
atas dua kecenderungan. Pembagian ini berdasarkan strata atau daya beli
masyarakat. Pertama, konsumen cenderung lebih memilih produk impor tanpa
informasi atau label yang dapat berisiko produk transgenik yang harganya relatif
20
murah dan bergengsi. Kedua, konsumen tetap memilih produk lokal.
Kecenderungan pertama pada konsumen strata menegah ke bawah dan
kecenderungan kedua pada konsumen strata atas. Konsumen dengan daya beli
tinggi risiko atas pemakaian produk pangan transgenik impor lebih rendah
dibandingkan dengan konsumen berdaya beli rendah. Konsumen yang daya
belinya rendah lebih sering mengkonsumsi produk impor transgenik yang
harganya relatif murah.
Jumlah/kuantitas produk lokal lebih tinggi daripada produk impor di pasaran, dan
masih lebih disukai oleh konsumen. Produk impor yang jumlahnya masih terbatas
belum mengungguli jumlah produk lokal. Kecenderungan konsumen dalam
memilih produk lokal masih lebih besar. Namun, risiko timbulnya dampak atas
pemakaian produk pangan impor masih sangat memungkinkan di kalangan
masyarakat. Kekhawatiran pakar kesehatan semakin tinggi terhadap konsumen
yang mengkonsumsi produk pangan impor seiring dengan terbukanya era
perdagangan bebas. Perdagangan lintas negara sangat memungkinkan masuknya
produk pangan impor hasil rekayasa genetika ke Indonesia tanpa proses
pelabelan dan deteksi keamanan pangan. Hal ini tentu saja sangat merugikan
konsumen, dimana pihak konsumen tidak diberikan informasi tentang produk
yang mereka konsumsi. Konsumen juga belum mendapat informasi tentang
pangan hasil rekayasa genetika secara terbuka.
Kekhawatiran ini sangatlah wajar mengingat pangan hasil rekayasa
genetika/Genetically Modified Organism (GMO) mengintroduksi unsur toksin,
bahan-bahan asing dan berbagai sifat yang belum dapat dipastikan dan berbagai
karakteristik lainnya. Pada produk pangan hasil rekayasa genetika terkandung
gen yang membawa ketahanan terhadap antibiotik (antibiotik resisten) yang
diduga dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotik yang digunakan untuk
merakit organisme transgenik. Menurut Yuliawati (2003), gen penanda antibiotik
yang disisipkan pada tanaman kedelai herbisida resisten masih terdeteksi pada
produk turunan kedelai seperti tempe, tahu, kecap, susu, dan biskuit yang terbuat
dari tanaman transgenik”. Lebih lanjut YLKI (2002) telah melakukan deteksi
21
terhadap beberapa produk pangan yang diduga mengandung gen dari tanaman
transgenik yaitu: kecap ABC, kecap Bango, kecap Indofood, Corn Flake Simba,
Isomil Soy dan Pringleys. Masyarakat awam yang belum mengerti tentang
dampak pangan hasil rekayasa genetika terhadap kesehatan belum
mempermasalahkan hal ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi praktisi
perlindungan konsumen terhadap GMO. Mereka mengkhawatirkan adanya
eksploitasi terhadap GMO untuk kepentingan bisnis tanpa melihat potensi
keamanan pangan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Berikut
akan diuraikan bahaya potensial yang dikhawatirkan para kritisi GMO.9
1. Bahaya terhadap keseimbangan lingkungan.
- Kematian yang tidak dikehendaki pada organisme lain
Pengembangan B-t corn ternyata mempengaruhi keseimbangan alam.
Kenyataan B-t corn tidak saja kebal terhadap serangga bor jagung tetapi polen
B-t corn yang terbang menghinggapi bunga-bungaan telah termakan oleh
kupu-kupu, akibatnya kupu-kupu juga mati.
- Mengurangi efektifitas pestisida
Kemampuan serangga beradaptasi terhadap lingkungan sangat cepat, sebagai
contoh nyamuk generasi baru yang resisten terhadap DDT. Fenomena ini
sangat dikhawatirkan pemerhati lingkungan yaitu apabila terjadi mutasi gen
serangga menjadi antibiotik yang terkandung dalam B-t corn.
- Transfer gen pada pestisida lain
Kekhawatiran terhadap mutasi gen menimbulkan dugaan akan timbulnya
gulma/tanaman penganggu. Dugaan ini dikhawatirkan karena adanya
persilangan polen antar spesies tanaman yang terserap oleh gulma.
2. Bahaya terhadap kesehatan
- Timbulnya alergi
Banyak anak-anak Amerika dan Eropa rentan terhadap alergen kacang tanah.
Oleh sebab itu pengembangan variasi kedele dengan transplantasi gen kacang
Brazil mendapatkan tantangan keras para ahli kesehatan. Penelitian
mendalam terhadap efek tanaman terhadap alergen harus dilakukan9 pangan Rekayasa genetika dalam perspektif filsafat teknologi, Makalah PPP S3 IPB, Oktober 2000
22
- Timbulnya efek yang belum diketahui akibat modifikasi gen
Para ahli kesehatan Eropa banyak mempertentangkan kemungkinan-
kemungkinan dampak negatif yang terjadi akibat introduksi DNA asing pada
rantai pangan. Percobaan terakhir yang dilakukan pada tikus, seperti yang
dilansir majalah Lancet, memaparkan bahwa kentang yang diberikan pada
tikus telah menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan tikus. Ketika
dikonfirmasikan ternyata GM kentang tersebut dibuat dengan transplantasi
gen Lectin yang memang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan.
3. Pertimbangan sosio-ekonomi
Mengingat riset GMO banyak dilakukan negara maju, ada kekhawatiran
timbulnya monopoli dan ketergantungan. Hukum Supply-Demand tidak lagi
bersifat fertil. Oleh sebab itu pemerhati sosio-ekonomi mengusulkan agar
akses informasi terhadap paten dipermudah sehingga peneliti di negara
berkembang mampu mngembangkan dan menyesuaikannya dengan kondisi
negara yang bersangkutan.
Selain menimbulkan kerugian, ternyata pangan rekayasa genetika dianggap
sebagai alternatif dalam memenuhi tantangan dimana kita dituntut untuk
mencukupi permintaan yang beraneka ragam jenis dan mutunya, melalui :
1. Tanaman pangan yang tahan terhadap pestisida
Kehilangan hasil panen akibat hama sangat merugikan petani dan mengurangi
cadangan pangan khususnya di negara dunia ke tiga. Petani menggunakan
pestisida dalam jumlah yang banyak, padahal disisi lain konsumen menghendaki
pangan yang aman. Belum lagi penggunaan pestisida yang potensial mencemari
lingkungan. Penemuan B-t corn sangat berarti dalam menjawab kegundahan
diatas.
2. Tanaman pangan yang tahan terhadap herbisida
Dalam produksi tanaman pangan, disamping tanaman yang dikehendaki, gulma
juga tumbuh. Untuk mengatasi gulma, herbisida selektif harus digunakan. Seperti
halnya problem pertama, herbisida berlebih akan mencemari lingkungan dan
23
berbahaya bagi manusia. penemuan kedele varietas tahan herbisida mampu
menjawab tantangan.
3. Tanaman pangan yang tahan terhadap penyakit
4. Tanaman pangan yang tahan terhadap pergantian musim
5. Tanaman pangan yang tahan terhadap musim panas kering
6. Tanaman pangan yang tahan terhadap tanah bergaram tinggi
Melalui teknologi rekayasa genetika mampu dihasilkan tanaman dengan karakter
yang dikehendaki.
7. Tanaman dengan kandungan zat gizi tertentu
Masalah gizi yang tidak kunjung reda yang menimpa negara dunia ketiga,
diperparah dengan kenyataan umumnya mereka mengkonsumsi sereal yang
notabene miskin zat gizi mikro seperti vit.A dan zat besi (Fe). Dengan GM Food,
sangat dimungkinkan untuk memanipulasi gen beras guna menghasilkan beras
kaya vit.A dan kedele kaya omega 3. Sayangnya isu negatif GMO yang beredar
akhir-akhir ini menyebabkan pengembangan beras kaya vit.A dan kedele kaya
omega 3 tersendat.
8. Tanaman pangan dengan karakter yang diinginkan
Berbagai masalah produksi yang berkaitan dengan teknologi pengawetan pasca
panen juga lebih dapat diatasi melalui teknologi rekayasa genetika. Sebagai
contoh pengembangan tomat yang dapat matang seragam dan mengandung
licopen warna merah yang stabil terhadap panas sehingga pulp tomat yang
diawetkan dapat tetap berwarna merah.
Contoh kasus pada tahun 1989, sebuah epidemi penyakit baru yang aneh
menyerang AS. Para korban menderita nyeri otot yang parah dan tingginya sel
darah putih. Selain itu, mereka mengalami kelumpuhan, masalah syaraf dan
jantung kronis, kulit bengkak yang menyakitkan dan pecah-pecah, gangguan
kekebalan diri, kepekaan terhadap cahaya. Dalam beberapa bulan, 5000 orang di
rawat di rumah sakit, 37 orang meninggal dunia, dan 1.500 orang cacat tetap.
Para dokter menyebut gangguan darah yang menyakitkan dan bahkan fatal ini
sindroma eosinophilia myalgia, namun mereka bingung hingga pusat
24
pengendalian penyakit menemukan bahwa semua korban pernah mengkonsumsi
makanan tambahan yang di jual oleh toko makanan kesehatan yaitu asam amino
yang di sebut L-tryptophan. Riset selanjutnya mempersempit kemungkinan dan
mengarah kesejumlah tryptophan transgenik yang dibuat oleh satu perusahaan
Jepang yaitu Showa Denko, yang pada saat itu merupakan perusahan kimia
terbesar ketiga di Jepang.10
Dampak dari risiko yang timbul dari pemakaian produk pangan impor transgenik
hendaknya dijadikan pelajaran berharga bagi pemerintah untuk meningkatkan
pengawasan terhadap masuknya produk-produk impor khususnya pangan. Hal
tersebut untuk menghindari masuknya produk pangan hasil rekayasa genetika
yang tidak berlabel.
Hasil susuran menunjukkan bahwa di Indonesia Corn Flakes impor dideteksi
mengandung gen transgenik yang telah dibeli di Carrefour (nama swalayan besar
di daerah Jabotabek) positif mengandung gen transgenik. Data lain adalah Kasus
‘Starlink’ di AS dimana jagung yang khusus untuk ternak dan potensial
menimbulkan dampak negatif bagi manusia, justru dikonsumsi oleh manusia.
Akhirnya FDA (Food and Drug Administration = Badan Pengawasan Obat dan
Makanan AS) menarik produk Starlink. Meskipun korbannya belum ada tetapi
masyarakat di AS yang mengkonsumsi jagung tersebut sempat panik.
Implementasi UU pangan dalam melindungi hak-hak konsumen yang secara
umum masih lemah segera diefektifkan berlakunya. Peredaran produk pangan
yang sudah positif merupakan hasil rekayasa genetika di pasaran harus ditindak
tegas. Produk pangan transgenik yang menurut hasil uji YLKI (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia) positif mengandung Genetically Modified
Organism (GMO) adalah Kecap ABC produksi PT. Heinz ABC Indonesia..11
Produk impor misalnya terdapat beberapa produk pangan yang tidak diketahui
bahan dasar dari produk tersebut yang disebabkan oleh keterangan mengenai
komposisi dan bahan dasar yang tercantum dalam label menggunakan bahasa 10 YLKI, 2002, Yang Perlu Anda Ketahui tentang Rekayasa genetika, Jakarta, hal.2011 Ibid, hal. 39
25
asing sehingga masyarakat tidak mengerti kandungan dari produk tersebut.
Akibatnya konsumen diluar pengetahuannya tetap mengkonsumsi produk pangan
impor tersebut tanpa mengenali apakah produk pangan itu merupakan produk
pangan transgenik atau bukan.
Konsumen pada dasarnya tidak peduli akan dampak buruk dari makanan (produk
pangan) yang mereka konsumsi. Hal ini disebabkan oleh belum
terimplementasikannya UU Pangan dan PP tentang Label dan Iklan Pangan
secara maksimal. UU Pangan yang mengatur tentang pangan rekayasa genetika
masih bersifat umum dan belum mencantumkan secara detail pengaturan pangan
rekayasa genetika. PP Nomor 69/1999 juga belum memuat petunjuk lengkap
tentang pelabelan suatu produk pangan impor hasil rekayasa genetika. Belum
adanya aturan yang lebih spesifik tersebut membuat pihak produsen masih
setengah hati untuk mencantumkan secara jelas bahan indikator dalam pembuatan
produknya serta bagaimana aturan dalam mengkonsumsi.
Pelanggaran lain yang juga kita temui adalah beredarnya produk-produk pangan
impor di pasaran Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Padahal
dalam PP No.69/1999 menekankan bahwa semua produk harus menggunakan
bahasa Indonesia, angka arab, dan huruf latin diperbolehkan sepanjang tidak ada
padanan katanya. Setiap produk yang ingin dipasarkan di Indonesia harus
mengikuti aturan pelabelan yang terdapat pada PP No.69/1999, oleh karena itu
produk pangan impor juga harus mengikuti aturan penggunaan bahasa Indonesia
pada labelnya.
Hasil advokasi YLKI selama tahun (2000-2002) untuk penerapan label rekayasa
genetika pada pangan menyatakan respon pemerintah sangat lambat. Akibatnya
produk impor hasil rekayasa genetika dipastikan masuk ke Indonesia tanpa
kontrol dan uji keamanan hayati.
26
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada bulan Desember 2002 diketahui beberapa produk
makanan turunan kedelai, jagung, dan kentang mengandung rekayasa genetika.
Tabel 1 Produk yang positif mengandung rekayasa genetika
N
O
Jenis
Prooduk
Merk
Produk
No. batch No. Depkes RI Nama Produsen Alamat
Produsen
1 Kecap ABC 3/07.11.03 Md 245409009002 PT Heinz ABC
Indonesia
PO.Box
4608/ JKT
10001
2 Kecap Indo food 08FICII6/
08 Jun 03
MD 245410011226 PTCakrapangan
Sejati U/ Indosentra
Pelangi
PO Box NO.
4520 JKTF
11045
3 Kecap Bango 100804 MD 245409004172 PT Sakura Aneka
Food Jakarta
Telp.
5480376
4 Jagung Corn
Flake
Simba
060902 MD 862210056365 PT Simba Indosnack
Makmur
Gunung
Putri Bogor
16964
5 Susu
Formula
Isomil soy
Infant
Formula
72086NR/
12 2003
ML 510502001060 PT Abbot Indonesia
Jakarta
Po Box
2387/ Jkt
10001
6 Kentang Pringleys L1180166
200 0113
/Nov-02
ML 362204004321 The Protect &
Gamble Co, INA
Jakarta
(Sumber : Warta Konsumen, Maret 2002)
Deteksi produk pangan hasil rekayasa genetika yang dilakukan YLKI tersebut
tidak berhenti sampai pada uji kandungan GMO saja. Pihak YLKI kemudian
melakukan kontak produsen kepada produsen yang produknya dinyatakan
mengandung rekayasa genetika. Namun hasilnya, tidak semua produsen
memberikan jawaban atas kontak produsen yang dilakukan oleh YLKI tersebut,
termasuk diantaranya produsen dari produk kecap merek Indofood dan ABC
serta kentang impor merk ‘Pringley’ (P&G).
Produsen yang menanggapi secara serius hasil uji YLKI yang produknya positif
mengandung rekayasa genetika adalah PT Unilever (kecap merek Bango), PT
27
Simba (Simba Corn Flakes) dan PT Abbot (Isomil Soy Infant Formula).12 Salah
satu produsen yang melakukan pembelaan yaitu PT Abbot, yang dalam
pembelaannya mengungkapkan bahwa produknya telah lolos uji keamanan
pangan Uni Eropa. Menurut Indah Sukmaningsih ketua YLKI, “Kadang produsen
juga menerapkan standar ganda, di negara asalnya tidak menggunakan produk
rekayasa genetika, tetapi karena di Indonesia tidak ada perlindungan yang ketat,
sehingga mereka menggunakan produk rekayasa genetika tanpa dilabel”.13 Hal
tersebut merupakan salah satu kendala bagi penegakan hukum dalam melindungi
hak-hak konsumen. Penerapan standar ganda ini merupakan ketidakjujuran
produsen dalam usaha memasarkan produknya kepada masyarakat .
Guna melengkapi pembahasan ini dijelaskan pula cara-cara penyelesaian
sengketa dalam perlindungan konsumen. Aturan mengenai masalah sengketa ini
dimuat dalam UUPK pada pasal 45-58. Penyelesaian sengketa konsumen dapat
ditempuh melalui jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan. Jalur pengadilan
yakni di Pengadilan Negeri dan di luar pengadilan yakni Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen atau BPSK. Namun perlu diketahui bahwa apabila telah
dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan maka gugatan melalui
pengadilan hanya dapat diterima jika upaya tersebut dianggap tidak berhasil oleh
salah satu atau para pihak. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
tetap mengacu pada ketentuan peradilan umum, sedangkan menurut BPSK,
dijelaskan sebagai berikut :
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 UUPk bahwa untuk penanganan dan
penyelesaian sengketa BPSK membentuk majelis yang jumlahnya disebutkan
harus ganjil dan terdiri sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang. Ditentukan pula
bahwa putusan BPSK ini bersifat final dan mengikat.
12 Warta Konsumen, Maret 2002, hal.2313 Suara Merdeka, 20 April 2002
28
BAB 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan point-point yang telah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan :
1. Pengawasan pemerintah terhadap produk pangan impor dilakukan berdasarkan
berbagai perangkat hukum antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan tapi dalam pelaksanaannya belum
dilakukan sesuai dengan aturan pelabelan, sehingga konsumen belum
29
mendapat informasi tentang jenis-jenis produk pangan hasil rekayasa
genetika/GMO. Hal ini disebabkan karena belum adanya Petunjuk
Pelaksanaan (Juklak) tentang peraturan pelabelan pada produk pangan
rekayasa genetika.
2. Pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami
konsumen adalah pelaku usaha. Namun konsumen dalam hal meminta ganti
rugi tidak harus menuntut ke negara tempat produsen suatu produk rekayasa
genetika. Konsumen dapat langsung meminta ganti rugi kepada toko tempat
di mana ia membeli barang tersebut, atau rangkaian pelaku usaha lainnya
sampai kepada importir pangan rekayasa genetika tersebut.
3. Untuk melindungi hak-hak konsumen utamanya hak terhadap
kesehatan, pemerintah telah mengeluarkan UU Pangan, dan UU Kesehatan
dimana produsen wajib memeriksakan keamanan pangan dan melakukan uji
pangan terhadap suatu produk rekayasa genetika. Pemerintah juga telah
menjelaskan bahwa suatu penelitian harus mengikuti syarat-syarat dan
prinsip-prinsip penelitian.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan sebelumnya, penulis memberikan beberapa saran, antara
lain sebagai berikut :
1. Perlunya pelaksanaan pelabelan produk pangan dari luar negeri khususnya
pangan hasil rekayasa genetika, mengenai komposisi bahan dan persentase
kandungan GMO produk tersebut.
2. Pemerintah seharusnya membuat Petunjuk Pelaksanaan (juklak) Pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 pasal 35 dan pembentukan
lembaga yang berwenang untuk mendeteksi produk pangan dari luar negeri
khususnya hasil rekayasa genetika dengan memanfaatkan teknologi tinggi
yang dapat mendeteksi GMO.
30
3. Ketentuan mengenai pangan rekayasa genetika dalam UU Pangan masih
bersifat umum sehingga pemerintah perlu membuat suatu Peraturan
Pemerintah tentang pangan rekayasa genetika sebagai suatu upaya
perlindungan konsumen terhadap produk pangan hasil rekayasa
genetika/GMO.
4. Selanjutnya pendekatan kehati-hatian harus diterapakan dalam melakukan
rekayasa genetika, agar tidak menimbulkan dampak negatif, dengan
memperhatikan segi moral, etika dan agama. Serta melakukan pengembangan
SDM, kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
31