Post on 10-Apr-2016
description
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk
bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok (George
P Terry). Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar ikut
serta dalam mencapai tujuan umum (H.Koontz dan C. O'Donnell).
Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada suatu
keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah tercapainya
sesuatu tujuan (R. Tannenbaum, Irving R, F. Massarik). Gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang
pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain
(Miftah Thoha, 1994 : 12)
Secara umum para pemimpin dan manajer melakukan sejumlah
pekerjaan dengan amat tekun. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin dalam
memimpin sebuah organisasi atau perusahaan sangatlah penting untuk
menunjang kinerja pegawai dalam perusahaan. Dengan adanya gaya
kepemimpinan yang efektif tersebut diharapkan dapat membuat kinerja
pegawai meningkat, yang nantinya dapat mencapai visi dan misi yang
maksimal. Instansi memerlukan jajaran pimpinan yang bertugas pokok untuk
memimpin dan mengelola organisasi yang bersangkutan. Kondisi organisasi
yang sedang dipimpin akan berpengaruh terhadap kondisi organisasinya.
Keberadaan pemimpin sebagai fungsi manajemen merupakan hal yang sangat
1
penting untuk mencapai tujuan organisasi (Wahjosumidjo, 2002 : 15).
Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena
tanpa kepemimpinan yang baik akan akan sulit untuk mencapai tujuan
organisasi.
Kepemimpinan yang efektif dapat memberikan pengarahan terhadap
usaha-usaha bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Tanpa
kepemimpinan, hubungan antara tujuan perseorangan dan tujuan organisasi
mungkin menjadi lemah. Keadaan seperti ini akan menimbulkan situasi di
mana pegawai bekerja untuk mencapai tujuan pribadinya, sementara itu
keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam mencapai sasaran.
Meskipun bukan merupaka satu-satunya faktor yang dapat menumbuhkan
motivasi dalam diri pegawai, pimpinan adalah pihak yang memiliki kewajiban
untuk memotivasi bawahannya, karena motivasi merupakan potensi
pengembangan diri untuk memikul tanggung jawab. Sebab, kepemimpinan
selain berkaitan erat dengan penyelesaian tugas juga berkaitan erat pula
dengan orang-orang yang dipimpinnya. Dalam lingkungan kerja, peran
pemimpin sangat penting dalam mempengaruhi kinerja, moral dan kepuasan
kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja, loyalitas, dan terutama dalam
memotivasi bawahannya dalam rangka meningkatkan produktifitas kerja
pegawai. Jika seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku
orang lain, maka perlu memikirkan gaya kepemimpinannya termasuk di PT.
Bara Jaya Kalianda.
Untuk lebih mempermudah dalam memahami kepemimpinan tersebut
perlu digunakan beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut antara
2
lain adalah pendekatan kepemimpinan berdasarkan sifat, pendekatan
kepemimpinan berdasarkan tingkah laku, dan pendekatan kepemimpinan
berdasarkan teori situasional, serta pendekatan kepemimpinan berdasarkan
teori penerimaan.
PT. Bara Jaya adalah perusahan swasta yang bergerak dibidang …….
yang mempunyai tugas menyelenggarakan………. Gaya kepemimpinan yang
diterapkan di PT. Bara Jaya disesuaikan dengan kondisi perusahaan terkait
baik dari sisi kewenangan, peran unit kerja yang lain serta kemampuan dari
personil aparat. Gaya kepemimpinan yang diterapkan adalah gaya
kepemimpinan situasional,
Pada makalah ini penulis akan memaparkan pendekatan situasional
terhadap gaya kepemimpinan di PT. Bara Jaya
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Kepemimpinan Situasional?
2. Jelaskan model dasar kepemimpinan situasional di PT. Bara Jaya ?
3. Bagaimana penerapan model kepemimpinan situasional di PT Bara Jaya?
4. Jelaskan perilaku, motif dan tujuan dari kepemimpinan situasionan di PT.
Bara Jaya?
5. Jelaskan determinan situasi makro dan situasi mikro di PT Bara Jaya?
6. Bagaimana mengidentifikasi lingkungan organisasi di PT Bara Jaya?
3
C. Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, makalah ini disusun dengan
tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Definisi kepemimpinan situasional;
2. Model dasar kepemimpinan situasional;
3. Penerapan model kepemimpinan situasional;
4. Determinan situasi makro dan situasi mikro;
5. Mengidentifikasi lingkungan organisasi.
D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat bagi
penulis, pembaca, dan pihak-pihak yang terkait didalamnya. Secara teoritis
makalah ini disusun agar si pembaca atau pihak lainnya mendapatkan ilmu
pengetahuan dan wawasan yang luas pada makalah ini.
4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Definisi Kepemimpinan Situasional
Teori kepemimpinan situasional adalah suatu pendekatan terhadap
kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya,
sifat-sifat bawhannya, dan situasi sebelum menggunakan gaya kepemimpinan
tertentu. Pendekatan ini menyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan
diagnostik dalam perilaku manusia.
Gaya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku
yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan
individu untuk mencapai tujuan tertentu (Heidjrachman Ranupandojo,
1996 : 224). Setiap pemimpin dapat mempunyai gaya kepemimpinan yang
berbeda antara satu dengan yang lain dan tidak selalu gaya kepemimpinan
lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan lainnya.
Kepemimpinan yang berbeda menghendaki gaya yang berbeda, namun
gaya kepemimpinan seseorang dibentuk dan kombinasi perilaku tugas,
hubungan, kematangan atas pengikut baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama. Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai gaya
kepemimpinan antara lain: Sondang P. Siagian yang mendefinisikan gaya
kepemimpinan sebagai suatu pola perilaku yang dirancang untuk memadukan
kepentingan organisasi dan personalia guna mengejar sasaran (Sondang P.
Siagian, 1996 : 23).
5
Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam mengkaji gaya
kepemimpinan adalah pendekatan situasional. Menurut Wahjosumidjo,
pendekatan ini mengacu pada teori-teori kontingensi, di mana teori ini
menitikberatkan analisisnya pada faktor situasi dan menegaskan bahwa
kepemimpinan yang efektif adalah penerapan perilaku kepemimpinan yang
tepat pada situasi yang tepat (Wahjosumidjo, 2002 : 23). Kepemimpinan
situasional didasarkan atas hubungan antara (1) kadar bimbingan dan
arahan (perilaku tugas) yang diberikan pemimpin; (2) kadar dukungan
sosioemosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin; dan (3) level
kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas,
fungsi, atau tujuan tertentu. Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang-
orang yang melakukan proses kepemimpinan, tanpa mempersoalkan peranan
mereka, agar lebih efektif dalam hubungan mereka sehari-hari dengan orang
lain. Konsep ini menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan yang
efektif dengan level kematangan para pengikut bagi para pemimpin (Paul
Hersey dan Kenneth Blanchard, 1986 : 178).
Dengan demikian, meskipun semua variabel situasi (pemimpin,
pengikut, atasan, sejawat, organisasi, desakan pekerjaan, dan waktu) adalah
penting dalam kepemimpinan situasional. Penekanan dalam kepemimpinan
situasional terletak pada perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan
pengikut. Penekanan pada pengikut merupakan faktor yang paling penting
dalam situasi apapun, tidak hanya karena secara individual mereka menerima
atau menolak pemimpin, tetapi juga karena sebagai kelompok mereka secara
6
aktual menentukan kuasa pribadi yang dimiliki pemimpin (Paul Hersey dan
Kenneth Blanchard, 1986 : 178).
Dalam kepemimpinan situasional, kematangan (maturity) didefinisikan
sebagai kemampuan dan kemauan (ability dan willingness) orang-orang
untuk memikul tanggung jawab dalam mengarahkan perilaku mereka sendiri.
Variabel-variabel kematangan tersebut hendaknya hanya dipertimbangkan
dalam kaitannya dengan tugas tertentu yang perlu dilaksanakan. Artinya,
seseorang atau suatu kelompok tidak dapat dikatakan matang atau tidak
matang dalam arti menyeluruh. Semua orang cenderung lebih atau kurang
matang dalam hubungannya dengan tugas, fungsi, atau sasaran spesifik yang
diupayakan pemimpin untuk diselesaikan melalui upaya mereka (Paul Hersey
dan Kenneth Blanchard, 1986 : 178). Menurut kepemimpinan situasional,
tidak ada satu cara terbaik untuk mempengaruhi perilaku orang-orang. Gaya
kepemimpinan mana yang harus diterapkan seseorang terhadap orang-
orang atau sekelompok orang tergantung pada level kematangan dari orang-
orang yang akan dipengaruhi pemimpin
B. Model Dasar Kepemimpinan Situasional
Teori kepemimpinan situasional merupakan pengembangan lanjutan dari
teori kepemimpinan trait dan behavior yang dianggap gagal menjelaskan
model kepemimpinan yang terbaik untuk berbagai situasi. Kunci untuk
efektivitas kepemimpinan dipandang oleh sebagian besar varian Teori
Kontingensi dengan memilih gaya yang benar dari pemimpin. Gaya ini
tergantung pada interaksi faktor internal dan eksternal dengan organisasi.
Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi merupakan suatu
7
teori yang berusaha mencari jalan tengah antara pandangan yang mengatakan
adanya asas-asas organisasi dan manajemen yang bersifat universal, dan
pandangan yang berpendapat bahwa tiap organisasi adalah unik dan memiliki
situasi yang berbeda- beda sehingga harus dihadapi dengan gaya
kepemimpinan tertentu. Dari berbagai teori yang berkembang, berikut ini akan
diuraikan empat model kepemimpinan situasional yang paling banyak diteliti
dalam beberapa tahun terakhir.
1. Model kepemimpinan kontijensi fielder
Teori Kontingensi Fiedler menunjukan hubungan antara orientasi
pemimpin atau gaya dan kinerja kelompok yang berbeda dibawah kondisi
situasional. Teori ini didasarkan pada penentuan orientasi pemimpin
(hubungan atau tugas), unsur-unsur situasi (hubungan pemimpin-anggota,
tugas struktur, dan kekuasaan pemimpin posisi), dan orientasi pemimpin
yang ditemukan paling efektif karena situasi berubah dari rendah sampai
sedang untuk kontrol tinggi. Fiedler menemukan bahwa tugas pemimpin
beriorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol rendah dan moderat dan
hubungan manajer berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol moderat.
2. Model kepemimpinan vroom – Yetton
Model kepemimpinan ini menetapkan prosedur pengambilan
keputusan yang paling efektif dalam situasi tertentu. Dua gaya
kepemimpinan yang disarankan adalah autokratis dan gaya konsultatif, dan
satu gaya berorientasi keputusan bersama. Dalam pengembangan model ini,
Vroom dan Yetton membuat beberapa asumsi yaitu:
8
a) Model ini harus dapat memberikan kepada para pemimpin, gaya yang
harus dipakai dalam berbagai situasi
b) Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai dalam segala situasi
c) Fokus utama harus dilakukan pada masalah yang akan dihadapi dan
situasi dimana masalah ini terjadi
d) Gaya kepemimpinan yang digunakan dalam satu situasi tidak boleh
membatasi gaya yang dipakai dalam situasi yang lain
e) Beberapa proses social berpengaruh pada tingkat partisipasi dari
bawahan dalam pemecahan masalah.
3. Teori jalur tujuan kepemimpinan
Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena efek positif
yang mereka berikan terhadap motivasi para pengikur, kinerja dan
kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena terfokus pada
bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang
tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205). Dasar dari path goal
adalah teori motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan
bahwa pemimpin efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan
imbalan pada bawahan dan membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan
(contingent) dengan pencapaian bawahan terhadap tujuan sepsifik.
Perkembangan awal teori path goal menyebutkan empat gaya perilaku
spesifik dari seorang pemimpin meliputi direktif, suportif, partisipatif, dan
berorientasi pencapaian dan tiga sikap bawahan meliputi kepuasan kerja,
9
penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan mengenai hubungan antara
usaha–kinerja-imbalan
Model kepemimpinan jalur tujuan (path goal) menyatakan
pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan mengenai
tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan. Dasar
dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan
ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-
efektifan kepemimpinan dalam berbagai situasi.
4. Model kepemimpinan situasional hersey – blanchard
Model kepemimpinan situasional ini, dikembangkan oleh Hersey dan
Blanchard.Robbins dan Judge (2007) menyatakan bahwa pada dasarnya
pendekatan kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard
mengidentifikasi empat perilaku kepemimpinan yang khusus dari sangat
direktif, partisipatif, supportif sampai laissez faire. Perilaku mana yang
paling efektif tergantung pada kemampuan dan kesiapan pengikut.
Sedangkan kesiapan dalam konteks ini adalah merujuk pada sampai dimana
pengikut memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas
tertentu.
10
Gambar 1 Model Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard
Gambar 1 berusaha menggambarkan hubungan antara kematangan
yang berkaitan antara tugas dengan gaya kepemimpinan yang sesuai ditetapkan
pada saat pengikut bergerak dari keadaan tidak matang ke level yang lebih
matang. Gaya kepemimpinan yang sesuai (gaya pemimpin) bagi level
kematangan tertentu dari pengikut digambarkan dengan kurve preskriptif yang
bergerak melalui keempat kuadran kepemimpinan. Kurve berbentuk lonceng itu
disebut kurve preskriptif karena hal itu menunjukkan gaya kepemimpinan
yang sesuai langsung di atas level kematangan yang berkaitan. Masing-masing
dari keempat gaya kepemimpinan tersebut adalah memberitahukan (telling),
menjajakan (selling), mengikutsertakan (participating), dan mendelegasikan
(delegating), seperti yang terlihat dalam gambar 1, merupakan kombinasi
dari perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perilaku hubungan adalah kadar
11
sejauhmana pemimpin melakukan hubungan dua arah dengan orang-
orangnya, yaitu menyediakan dukungan, dorongan, dan memudahkan
perilaku. Ini berarti pemimpin secara aktif menyimak dan mendukung upaya
orang-orangnya dalam pelaksanaan pekerjaan mereka (Paul Hersey dan
Kenneth Blanchard, 1986 : 181).
Kematangan pengikut adalah persoalan kadar. Seperti yang terdapat
dalam gambar 1, terdapat tanda-tanda untuk menentukan gaya kepemimpinan
yang sesuai dengan memilah kadar kematangan di bawah model kepemimpinan
situasional, yang terbagi ke dalam empat level: rendah (M1), rendah ke sedang
(M2), sedang ke tinggi (M3), dan tinggi (M4). Gaya kepemimpinan yang
sesuai bagi masing-masing level kematangan mencakup kombinasi perilaku
tugas (direktif) dan perilaku hubungan (suportif) yang tepat (Paul Hersey
dan Kenneth Blanchard, 1986 : 18).
“Memberitahukan” adalah bagi tingkat kematangan yang rendah. Orang-
orang yang tidak mampu dan tidak mau (M1) memikul tanggung jawab
untuk melakukan sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak yakin. Dalam
banyak hal, ketidakmauan mereka adalah karena ketidakyakinan mereka
dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas tertentu. Dengan demikian, gaya
“memberitahukan” yang direktif (M1) yang menyediakan arahan dan supervise
yang spesifik dan jelas memiliki kemungkinan efektif paling tinggi dengan
orang-orang yang berada pada level kematangan seperti itu. Gaya ini diacu
sebagai “memberitahukan” karena dicirikan oleh perilaku pemimpin yang
menetapkan peranan dan memberitahukan orang-orangnya tentang apa,
bagaimana, kapan, dan di mana melakukan berbagai tugas. Terlalu banyak
12
perilaku suportif terhadap orang-orang pada level kematangan seperti itu boleh
jadi dipandang sebagai permisif, gampangan, dan yang paling penting lagi
adalah sebagai perilaku yang memperkenankan adanya prestasi jelek. Dalam
gaya ini tercakup perilaku tinggi tugas dan rendah hubungan (Paul Hersey dan
Kenneth Blanchard, 1986 : 181-182).
“Menjajakan” adalah bagi tingkat kematangan rendah ke sedang. Orang-
orang yang tidak mampu tetapi mau (M2) memikul tanggung jawab untuk
melakukan sesuatu tugas adalah yakin tetapi kurang memiliki keterampilan pada
saat sekarang. Dengan demikian gaya “menjajakan” (S2) yang menyediakan
perilaku direktif, karena mereka kurang mampu, tetapi juga perilaku suportif
untuk memperkuat kemauan dan antusias mereka merupakan gaya yang paling
sesuai dengan orang-orang yang berada pada level kematangan ini. Gaya ini
disebutkan sebagai “menjajakan” karena pemimpin masih
menyediakan hampir seluruh arahan. Tetapi, melalui komunikasi dua arah dan
penjelasan, pemimpin berusaha agar secara psikologis pengikut turut andil
dalam perilaku yang diinginkan. Para pengikut pada level kematangan ini
biasanya akan menyetujui suatu keputusan apabila mereka memahami alasan
adanya keputusan itu dan apabila pemimpin mereka juga menawarkan bantuan
dan arahan. Dalam gaya ini tercakup perilaku yang tinggi tugas dan tinggi
hubungan (Paul Hersey dan Kenneth Blanchard, 1986 : 182).
Mengikutsertakan adalah bagi tingkat kematangan sedang ke tinggi.
Orang-orang pada tingkat kematangan ini mampu tetapi tidak mau (M3)
melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Ketidakmauan mereka
seringkali karena kurang yakin atau tidak merasa aman. Tetapi, apabila
13
mereka kompeten namun tidak mau, keengganan mereka lebih merupakan
masalah motivasi. Terhadap bawahan dengan tingkat kematangan ini perlu
membuka saluran komunikasi dua arah untuk mendukung upaya pengikut dalam
menggunakan kemampuan yang telah mereka miliki. Dengan demikian,
gaya “partisipatif” yang suportif dan tidak direktif memiliki kemungkinan
efektif paling tinggi dengan orang-orang pada tingkat kematangan ini. Gaya
ini disebut “mengikutsertakan” karena pemimpin dan pengikut berbagi
tanggung jawab pengambilan keputusan, sedangkan peranan pemimpin yang
utama dalam gaya ini adalah memudahkan dan berkomunikasi. Gaya ini
mencakup perilaku tinggi hubungan dan rendah tugas (Paul Hersey
dan Kenneth Blanchard, 1986 : 182).
“Mendelegasikan” adalah bagi tingkat kematangan tinggi. Orang- orang
dengan tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau, atau yakin untuk
memikul tanggung jawab. Dengan demikian, gaya “mendelegasikan” yang
berprofil rendah (G4), yang menyediakan arahan atau dukungan yang rendah,
memiliki kemungkinan efektif paling tinggi dengan orang-orang yang berada
pada level kematangan tinggi. Meskipun pemimpin boleh jadi masih
mengidentifikasi masalah, tetapi tanggung jawab untuk melaksanakan rencana
diberikan kepada para pengikut yang matang. Mereka diperkenankan
melaksanakan sendiri pekerjaan dan memutuskan ikhwal bagaimana, bilamana,
dan di mana pelaksanaan pekerjaan itu. Pada saat yang sama, mereka
secara psikologis matang dan karenanya tidak membutuhkan kadar komunikasi
dua arah atau perilaku suportif di atas rata-rata. Dalam gaya ini tercakup
14
perilaku yang rendah hubungan dan rendah tugas (Paul Hersey dan Kenneth
Blanchard, 1986 : 182-183).
Pada intinya, teori ini menekankan bahwa efektifitas kepemimpinan
seseorang tergantung pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan
yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa
(kedewasaan) para bawahan yang dipimpin. Kematangan dalam hubungan ini
berkaitan dengan derajat pengalaman, kemampuan dan kemauan para bawahan
untuk menerima tanggung jawab atas tugas tertentu. Dua dimensi
kepemimpinan yang digunakan dalam teori ini adalah perilaku seorang
pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-
bawahan. Hal itu tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan sifat
hubungan atasan dan bawahan yang digunakan (Paul Hersey dan Kenneth
Blanchard, 1986 : 183).
Penjelasan dari teori kepemimpinan situasional ini adalah bahwa tingkat
kematangan bawahan secara terus menerus meningkat dalam melaksanakan
tugas yang spesifik, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas mereka dan
meningkatkan perilaku hubungan sampai individu atau kelompok mencapai
taraf kematangan yang moderat. Apabila bawahan mulai pindah pada taraf
kematangan di atas rata-rata, hal itu akan menjadi sesuai bagi pemimpin untuk
mengurangi tidak hanya perilaku tugas, tetapi juga perilaku hubungan.
Hal itu disebabkan bawahan tersebut tidak hanya matang dalam melaksanakan
tugas, tetapi juga matang secara psikologis (Paul Hersey dan Kenneth
Blanchard, 1986 : 183).
15
Bawahan dapat memberikan penguatan pada diri mereka, maka dukungan
sosioemosional yang besar dari pemimpin kurang diperlukan lagi. Pada taraf
kematangan tersebut bawahan menghendaki peningkatan delegasi wewenang
pemimpin sebagai indikasi dari kepercayaan dan keyakinan yang positif. Jadi,
teori ini berpusat pada kesesuaian dan efektifitas pedoman kepemimpinan serta
sesuai dengan kedewasaan yang relevan dengan tugas bawahan. Taraf
kematangan bawahan terentang pada suatu kontinium dari ketidakmatangan
sampai ke taraf kematangan (immaturity – maturity). Semakin dewasa
bawahan, semakin matang seseorang melakukan tugas dan melaksanakan
hubungan, demikian pula sebaliknya (Paul Hersey dan Kenneth Blanchard,
1986 : 183).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan
kepemimpinan situasional Direktur PT. Bara Jaya adalah kegiatan pimpinan
dalam usahanya untuk mengarahkan, memberikan dukungan, pendelegasian
tugas serta partisipasi pemimpin dengan melakukan pendekatan sesuai dengan
situasi tertentu. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan situasional mempunyai arti
penting bagi suatu organisasi. Arti penting gaya kepemimpinan situasional
adalah titik beratnya pada para pengikut (bawahan/pegawai). Tekanan pada
pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan kenyataan bahwa
merekalah yang menerima baik atau menolak pemimpin. Tidak peduli apa yang
dilakukan oleh pemimpin itu, keefektifan bergantung pada tindakan dari
pengikutnya. Hal ini berarti bahwa pengikut (pegawai) mempunyai andil
besar dalam keberhasilan organisasi.
16
Dengan demikian dimensi dari kepemimpinan situasional oleh Direktur
PT. Bara Jaya dalam makalah ini adalah terdiri dari tiga indikator, yaitu:
a. Kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan
pemimpin.
b. Kadar dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang
disediakan pemimpin
c. Level kesiapan (kematangan) terdiri dari 2 (dua) dimensi, yaitu:
1) kematangan pekerjaan (kemampuan). Hal ini dikaitkan dengan
kemampuan untuk melakukan sesuatu. Kematangan pekerjaan ini
berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Orang- orang yang
memiliki pekerjaan tinggi dalam bidang tertentu memiliki pengetahuan,
kemampuan, dan pengalaman untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu
tanpa arahan dari orang lain.
2) Kematangan psikologis. Hal ini dikaitkan dengan kemauan dan motivasi
untuk melakukan sesuatu. Kematangan psikologis berkaitan dengan rasa
yakin dan keikatan. Ini berarti orang- orang yang matang secara
psikologis dalam bidang atau tanggung jawab tertentu serta memiliki
rasa yakin terhadap diri sendiri dan merasa dirinya mampu dalam aspek
pekerjaan tertentu (Paul Hersey dan Kenneth Blanchard, 1986 : 178).
C. Penerapan Model Kepemimpinan Situasional
1. Penerapan model kepemimpinan Kontijensi Fiedler
Variabel situasional
17
Hubungan antara LPC pemimpin dan efektivitas tergantung pada
sebuah variabel situasional yang rumit disebut “keuntungan situasional”
atau “situational favorability” atau “kendali situasi”. Fiedler
mendefinisikan kesukaan sebagai batasan dimana situasi memberikan
kendali kepada seorang pemimpin atas para bawahannya. Tiga aspek
situasi dipertimbangkan meliputi:
a) Hubungan pemimpin-anggota: adalah batasan dimana pemimpin
memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan, pemimpin
mempengaruhi kelompok dan kondisi di mana ia dapat melakukan
begitu. Seorang pemimpin yang diterima oleh anggota kelompok
adalah dalam situasi yang lebih menguntungkan daripada orang yang
tidak.
b) Kekuasaan posisi: batasan dimana pemimpin memiliki kewenangan
untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan memberikan penghargaan
serta hukuman.
c) Struktur tugas: batasan dimana terdapat standar prosedur operasi
untuk menyelesaikan tugas, sebuah gambaran rinci dari produk atau
jasa yang telah jadi, dan indicator objektif mengenai seberapa
baiknya tugas itu dilaksanakan.
d) Keuntungan ditentukan dengan memberikan bobot dan
mengkombinasikan ketiga aspek situasi tersebut. Prosedur
pemberian bobot mengasumsikan bahwa hubungan pemimpin -
anggota lebih penting daripada struktur tugas, yang pada akhirnya
adalah lebih penting daripada kekuasaan posisi. Kemungkinan
18
kombinasi delapan tingkatan keuntungan yang disebut oktan ini
selanjutnya dijelaskan pada Tabel berikut :
Tabel 1. Hubungan Dalam Model Kontijensi LPC
Oktan Hub P-A ST KP Pemimpin EfektifBaik Yes Kuat LPC RendahBaik No Lemah LPC RendahBaik No Kuat LPC RendahBaik No Lemah LPC RendahBuruk Yes Kuat LPC KuatBuruk Yes Lemah LPC KuatBuruk No Kuat LPC Kuatburuk No Lemah LPC Rendah
Keterangan:
Hub PA = Hubungan pimpinan – anggota
ST = Struktur tugas
KP = Kekuasaan posisi
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa situasi yang paling
menguntungkan untuk pemimpin (oktan 1) adalah jika ada hubungan
yang baik dengan bawahan, sehingga pemimpin memiliki kekuasaan
posisi yang cukup besar dan tugasnya sangat terstruktur. Saat hubungan
pemimpin – anggota baik, para bawahan akn lebih mungkin memenuhi
permintaan dan arahan dari pimpinannya, bukannya mengabaikan atau
meninggalkannya. Saat seorang pemimpin memiliki kekuasaan posisi yang
tinggi, lebih mudah untuk mempengaruhi bawahan. Menurut model ini,
saat situasi amat menguntungkan (oktan 1 – 3) dan yang sangat tidak
menguntungkan (oktan 8), maka pemimpin yang LPC nya rendah akan
19
lebih efektif daripada para pemimpin yang memiliki LPC tinggi. Saat
situasinya menengah dalam keuntungan (Oktan 4 –7), maka para
pemimpin yang memiliki LPC tinggi akan lebih efektif daripada pemimpin
yang memiliki LPC rendah.
2. Penerapan teori jalur tujuan kepemimpinan
Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat
menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para
bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya
peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan
kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model
sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi,
namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang
jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi,
tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
20
Variabel moderator yaitu karakteristik pribadi yang penting adalah
persepsi bawahan mengenai kemampuan mereka sendiri. Semakin
tinggi tingkat persepsi bawahan terhadap kemampuan mereka memenuhi
tuntutan tugas, semakin kecil kemungkinan bawahan menerima gaya
kepemimpinan direktif. Dengan demikian, gaya kepemimpinan direktif
dianggap sebagai hal yang mubazir. Selain itu, ditemukan bahwa locus of
control mempengarui respon. Individu yang memiliki locus of control
internal biasanya akan lebih puas dengan gaya partisipatif, sedangkan
individu dengan locus of control eksternal biasanya lebih puas dengan
gaya kepemimpinan direktif (dalam Ivancevich, dkk, 2007:205).
3. Penerapan model kepemimpinan situasional hersey – blanchard
a. Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard
Situational leadership model (SLM) memberi penekanan lebih
pada pengikut dan tingkat kematangan mereka. Para pemimpin
harus bisa menilai dengan tepat atau menilai secara intuitif tingkat
kematangan pengikut mereka dan menggunakan gaya kepemimpinan
yang sesuaai dengan tingkat kematangan tersebut. Kesiapan disini
didefinisikan sebagai kemampuan dan kesediaan seorang pengukut
untuk mengambil tanggung jawab perilaku mereka.
Ada dua tipe kesiapan yang dipandang penting : pekerjaan dan
psikologis. Seorang yang memiliki kesiapan kerja tinggi memiliki
pengetahuan dan kemampuan melakukan tugas mereka tanpa perlu
arahan dari manajer. Seorang yang tingkat kesiapan psikologis yang
21
tinggi memiliki tingkat motivasi diri dan keinginan untuk melakukan
kerja berkualitas tinggi. Orang ini juga tidak membutuhkan supervise.
Hersey dan Blanchard mengggunakan penelitian OSU (Ohio
State University) untuk kemudian mengembangkan 4 gaya
kepemimpinan yang bisa dipakai oleh para pemimpin, antara lain :
1) Telling – menyuruh, pemimpin menetapkan peran yang diperlukan
untuk melakukan suatu tugas dan memerintahkan para pengikutnya
apa, dimana, bagaimana dan kapan melakukan tugas tersebut.
2) Selling – menjual, yaitu pemimpin memberikan intruksi
terstruktur, tetapi juga bersifat supportif.
3) Participating–berpartisipasi, yaitu pemimpin dan para pengikutnya
bersama-sama memutuskan bagaimana cara terbaik
menyelesaikan suatu pekerjaan.
4) Delegating – delegasi, yaitu pemimpin tidak banyak memberikan
arahan yang jelas dan spesifik ataupun dukungan pribadi kepada
para pengikutnya.
Gaya kepemimpinan yang tepat akan tergantung pada orang atau
kelompok yang dipimpin. Teori Kepemimpinan Situasional Hersey-
Blanchard mengidentifikasi empat tingkat Kematangan M1 melalui M4:
1) M1 – Adalah karyawan yang tidak memiliki keterampilan
khusus yang diperlukan untuk pekerjaan, tidak mampu dan
tidak mau melakukan atau mengambil tanggung jawab untuk
pekerjaan atau tugas.
22
2) M2 – Adalah bawahan yang tidak dapat mengambil tanggung
jawab untuk tugas yang dilakukan, namun mereka bersedia bekerja
pada tugas. Mereka adalah pemula tapi memiliki antusiasme dan
motivasi.
3) M3 – Adalah karyawan yang berpengalaman dan mampu
melakukan tugas tetapi tidak memiliki keyakinan atau kemauan
untuk mengambil tanggung jawab.
4) M4 - Mereka berpengalaman pada tugas, dan nyaman dengan
kemampuan mereka sendiri untuk melakukannya dengan baik.
Mereka mampu dan bersedia untuk tidak hanya melakukan
tugas, tetapi untuk mengambil tanggung jawab untuk tugas
tersebut.
b. Situasional Leadership II
Hersey dan Blanchard terus bekerjasama dalam pengembangan
teori sampai dengan tahun 1977. Setelah keduanya sepakat untuk
menjalankan masing masing perusahaannya, pada akhir tahun 1970,
Hersey berubah nama dari Situational Leadership® Theory menadi
Situational Leadership, sedangkan Blanchard menawarkan
Kepemimpinan Situasional menjadi “Pendekatan Situasional untuk
Mengelola Orang / Situational Approach to Managing People”.
Blanchard dan rekan-rekannya terus merevisi Pendekatan Situasional
untuk Mengelola Orang, dan pada tahun 1985 diperkenalkan
Kepemimpinan Situasional II (SLII).
23
Blanchard merespon beberapa kritik terhadap SLT dengan
merevisi model awalnya dan mengubah beberapa istilah. Sebagai
contoh, perilaku tugas, perilaku direktif, dan relasi dirubah menjadi
perilaku supportif. Keempat gaya kepemimpinan tersebut sekarang
disebut sebagai S1 = directing, S2 = Coaching, S3 = Supporting, dan S4
= Delegating. Kesiapan (maturiry) selanjutnya disebut tingkat
perkembangan dari pengikut yang selanjutnya dimaknakan sebagai
tingkat kompetensi dan komitmen pengikut untuk melakukan tugas.
D. Perilaku, Motif dan Tujuan
Perilaku, Motif dan Tujuan seorang pemimpin menentukan menjadi
pemimpin seperti apa mereka nantinya. Semakin jelas tujuan yang dimiliki,
semakin tajam fokusnya, demikian sebaliknya. Perilaku kepemimpinan
seseorang menghadapi kelompok secara keseluruhan harus berbeda beda
dengan menghadapi individu anggota kelompok, demikian pula perilaku
kepemimpinan manajer dalam menghadapi tiap- tiap individu harus berbeda -
beda tergantung kematangannya. Masing- masing punya perbedaan tingkat
kematangan. Menurut teori ini pemimpin haruslah situasional, setiap
keputusan yang dibuat didasarkan pada tingkat kematangan anak buah,
berarti keberhasilan seorang pemimpin adalah apabila mereka
menyesuaiakan gaya kepemimpinanya dengan tingkat kedewasaan atau
kematangan anak buah. Tingkat kedewasaan atau kematangan anak buah dapat
dibagi menjadi empat tingkat yaitu:
1. Gaya Telling ( Pemberitahu )
24
Gaya Pemberitahu adalah gaya pemimpin yang selalu
memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi
pekerjaan dari jarak dekat. Gaya Pemberitahu membantu untuk memastikan
pekerja yang baru untuk menghasilkan kinerja yang maksimal, dan akan
menyediakan fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa
datang.
2. Gaya Selling ( Penjual )
Gaya Penjual adalah gaya pemimpin yang menyediakan pengarahan,
mengupayakan komunikasi dua-arah, dan membantu membangun motivasi
dan rasa percaya diri pekerja. Gaya ini muncul tatkala kesiapan pengikut
dalam melakukan pekerjaan meningkat, sehingga pemimpin perlu terus
menyediakan sikap membimbing akibat pekerja belum siap mengambil
tanggung jawab penuh atas pekerjaan. Sebab itu, pemimpin perlu mulai
menunjukkan perilaku dukungan guna memancing rasa percaya diri
pekerja sambil terus memelihara antusiasme mereka.
3. Gaya Participating ( Partisipatif )
Gaya Partisipatif adalah gaya pemimpin yang mendorong pekerja
untuk saling berbagi gagasan dan sekaligus memfasilitasi pekerjaan bawahan
dengan semangat yang mereka tunjukkan. Mereka mau membantu pada
bawahan. Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam
melakukan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap
sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi
kini melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang
baik serta siap membantu pengikutnya.
25
4. Gaya Delegating ( Pendelegasi )
Gaya Pendelegasi adalah gaya pemimpin yang cenderung mengalihkan
tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan pelaksanaannya.
Gaya ini muncul tatkala pekerja ada pada tingkat kesiapan tertinggi
sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut dianggap
telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung
jawab atas pekerjaannya.
E. Determinasi Situasi Makro dan Situasi Mikro
Secara makro, pemimpin lebih berfokus pada keseluruhan organisasi,
melampaui individu dan tugas – tugas. Pemimpin bekerja untuk menciptakan
budaya organisasi, iklim, nilai – nilai serta strategi yang melingkupi seluruh
organisasi. Faktor-faktor makro meliputi:
1. Organisasional
2. Kondisi Perekonomian
3. Industri
4. Sosial dan Kebudayaan.
Secara mikro, kepemimpinan situasional dipandang sebagai proses
mempengaruhi antar individu, yang meliputi pembentukan, pernyataan dan
penengahan konlikdiantara kelompok untuk meningkatan motivasi
individu. Disini, pemimpin menekankan aspek khusus maupun situasi terbatas,
seperti tugas – tugas atau individu. Fokusnya pada satu tugas atau seorang
individu pada waktu tertentu. Faktor-Faktor Mikro meliputi :
1. Kepribadian dan latar belakang pemimpin
26
2. Pengharapan dan perilaku bawahan
3. Pengharapan dan perilaku atasan
4. Tingkatan organisasi dan besarnya kelompok
F. Mengidentifikasi Lingkungan Organisasi
1. Pengertian lingkungan organisasi
Secara luas, lingkungan mencakup semua faktor ekstern yang
mempengaruhi individu, perusahaan, dan masyarakat. Selanjutnya Stoner
dan Freeman (1996) memberikan pengertian lingkungan organisasi sebagai
lingkungan eksternal dan internal yang mempengaruhi baik langsung
maupun tidak langsung terhadap organisasi. Lingkungan organisasi tidaklah
statis namun bersifat dinamis dan kompleks.
Sedangkan lingkungan perusahaan menurut Basu Swastha (1991)
adalah keseluruhan dari faktor-faktor ekstern yang mempengaruhi
perusahaan baik organisasi maupun kegiatannya. Lingkungan organisasi
adalah segala sesuatu yang dapat mempengaruhi kelangsungan,
eksistensi, keberadaan, dll yang menyangkut organisasi baik dari dalam
maupun dari luar. Lingkungan organisasi meliputi :
a. Lingkungan Eksternal
Lingkungan Eksternal adalah lingkungan yang berada di luar
organisasi saling mempertukarkan sumber dayanya dengan organisasi
tersebut dan tergantung satu sama lain, perusahaan yang berpengaruh
tidak langsung terhadap kegiatan perusaan. Lingkungan eksternal
meliputi variabel-variabel di luar organisasi yang dapat berupa tekanan
27
umum dan tren di dalam lingkungan societal ataupun faktor-faktor
spesifik yang beroperasi di dalam lingkungan kerja (industri) organisasi.
Variabel-variabel eksternal ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu ancaman
dan peluang. Adapun beberapa hal yang termasuk dalam lingkungan
eksternal organisasi yaitu :
1) Politik
Politik meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan
pemerintahan, organisasi-organisasi politik (kepartaian). pengertian
politik dibedakan menjadi 3 macam, yaitu politik praktir
(prachtische politiek), yaitu cara menjalankan dan mewujudkan
politik dalam suatu negara/pemerintahan ; politik teori (teoretische
politiek), yaitu politik untuk pengajaran yang bersendi atas
pengetahuan dalam sosiale structuur, dan kekuasaan politik
(politiek-match), yaitu politik untuk mendapatkan pengaruh atau
kekuasaan. Barangsiapa dapat menguasai politik dalam suatu
masyarakat atau negara, dialah yang mempunyai kekuasaan untuk
membuat hitam-putihnya masyarakat. Yang mempunyai pengaruh
langsung terhadap organisasi adalah politik praktis dan kekuasaan
politik.
2) Hukum
Hukum meliputi semua ketentuan yang berlaku yang harus ditaati
oleh setiap orang baik secara individu maupun secara kelompok, mulai
dari ketentuan hukum yang tertinggi sampai dengan ketentuan hukum
yang terendah. Kebudayaan, meliputi kebudayaan material dan
28
kebudayaan non-material. kemajuan dalam bidang teknologi modern
melahirkan industri-indutri raksasa. kebudayaan material mengenal
berbagai macam alat dan barang- barang yang cara kerjanya secara
mekanis, elektris, atau secara elektronis, merupakan faktor yang
berpengaruh cukup besar terhadap kehidupan organisasi. Dalam hal
ini organisasi harus mampu menyesuaikan diri dengan hasil kebudayaan
tersebut.
3) Teknologi
Teknologi, ialah segenap hasil kemajuan dan teknik
perkembangan industri peralatan modern. ada pula yang memberikan
definisi bahwa teknologi merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang
terhadap suatu obyek dengan mempergunakan alat-alat yang bekerja
secara mekanis, elektris, maupun secara elektronis, untuk mengadakan
perubahan tertentu terhadap obyek tersebut.
4) Sumber Daya Alam
Sumber daya alam , meliputi segenap potensi sumber alam baik
di darat, laut maupun udara berupa tanah, air, energi, flora, fauna, dan
lain-lain termasuk pula geografi dan iklim. Demografi, meliputi sumber
tenaga kerja yang tersedia dalam masyarakat, yang dapat diperinci
menurut jenis kelamin, tingkat umur, jumlah dan bagaimana sistem
penyebarannya.
5) Sosiologi
Sosiologi, adalah ilmu tentang kehidupan manusia dalam
lingkungan kelompok atau ilmu tentang masyarakat. Sosiologi sebagai
29
salah satu faktor lingkungan ekstern meliputi struktur sosial, struktur
golongan, lembaga-lembaga sosial (bagaimana sifat dan pengembangan
lembaga-lembaga tersebut). Dalam menghadapi berbagai macam faktor
yang menyebabkan perubahan, organisasi dapat menyesuaikan diri
dengan mengadakan berbagai perubahan dalam dirinya, seperti
mengadakan perubahan struktur organisasi. Struktur organisasi
merupakan salah satu komponen organisasi yang sering menjadi
sasaran perubahan. Perubahan struktur organisasi tersebut antara lain
dapat dilakukan dengan jalan :
a) Menambah/mengurangi personil/pegawai,
b) Menambah/mengurangi pejabat,
c) Menambah/mengurangi satuan organisasi,
d) Mengubah kedudukan satuan organisasi,
e) Mengubah sistem desentralisasi menjadi sentralisasi atau
sebaliknya,
f) Mengadakan peninjauan kembali tentang pembagian tugas,
g) Mengubah beberapa prinsip organisasi yang dianggap perlu,
h) Mengubah sikap dan perilaku pegawai dengan mengadakan
pembinaan, pengembangan, pendidikan dan pelatihan pegawai.
b. Lingkungan Internal
Lingkungan internal adalah lingkungan yang berada di
dalam organisasi tersebut dan secara langsung memiliki implikasi yang
30
langsung dan khusus pada perusahaan. Faktor-faktor intern yang
mempengaruhi organisasi dan kegiatan organisasi antara lain :
1) Perubahan kebijakan pimpinan
2) Perubahan tujuan
3) Pemekaran/perluasan wilayah operasi organisasi
4) Volume kegiatan yang bertambah banyak
5) Tingkat pengetahuan dan keterampilan dari para anggota organisasi
6) Sikap dan perilaku dari para anggota organisasi
7) Berbagai macam ketentuan atau perarturan baru yang berlaku dalam
organisasi
31
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pendekatan situasional yaitu pendekatan yang menganggap bahwa
kondisi yang menentukan efektifitas kepemimpinan bervariasi dengan
situasitugas- tugas yang dilakukan, keterampilan dan penghargaan
bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan
bawahan.
2. Model dasar kepemimpinan situasional terdiri atas empat yaitu: Model
kepemimpinan kontingensi, Model partisipasi pemimpin oleh Vroom dan
Yetton, Model jalur-tujuan, Teori kepemimpinan situasional
Hersey- Blanchard yang merupakan model kepemimpinan yang ditrapkan
di PT Bara Jaya
3. Dimensi dari kepemimpinan situasional oleh Direktur PT. Bara Jaya dalam
makalah ini adalah terdiri dari tiga indikator, yaitu: a. kadar bimbingan
dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan pemimpin. b. kadar
dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang disediakan
pemimpin dan c. level kesiapan (kematangan
32
4. Faktor-faktor makro meliputi: Organisasional, Kondisi
Perekonomian, Industri, Sosial dan Kebudayaan.
5. Faktor-Faktor Mikro meliputi :Kepribadian dan latar belakang pemimpin,
Pengharapan dan perilaku bawahan, Pengharapan dan perilaku atasan,
Tingkatan organisasi dan besarnya kelompok.
6. Lingkungan organisasi adalah segala sesuatu yang dapat mempengaruhi
kelangsungan, eksistensi, keberadaan, dll yang menyangkut organisasi
baik dari dalam maupun dari luar. Lingkungan organisasi meliputi :
lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
33
DAFTAR PUSTAKA
Rivai, Veithzal dan Deddy Mulyadi. 2009. Kepemimpinan dan Perilaku
Organisasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Hendri. Model-model Teori Kepemimpinan. http//teorionline.wodpress.com/.
Diakses pada 28September 2014.