Post on 24-Dec-2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti
kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Untuk pendekatan terhadap pasien
ikterus perlu ditinjau kembali patofisiologi terjadinya peninggian bilirubin indirek
atau direk. 1
Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat
ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga
perlu dipikirkan berbagai pemeriksaan lanjutan. Ikterus merupakan suatu
sindroma yang dikarakteristikkan oleh adanya hiperbilirubinemia dan deposit
pigmen empedu pada jaringan termasuk kulit dan membran mukosa. Secara garis
besar ikterus dapat digolongan menjadi ikterus fisiologis maupun patologis.
Ikterus patologis sering didapatkan pada dewasa, dan terbagi menjadi beberapa
tipe, yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika (parenkimatosa) dan
ikterus post hepatika (obstruksi). Terdapat dua bentuk ikterus obstruksi yaitu
obstruksi intra hepatal dan ekstra hepatal. Ikterus obstruksi intra hepatal dimana
terjadi kelainan di dalam parenkim hati, kanalikuli atau kolangiola yang
menyebabkan tanda-tanda stasis empedu sedangkan ikterus obstruksi ekstra
hepatal terjadi kelainan diluar parenkim hati (saluran empedu di luar hati) yang
menyebabkan tanda-tanda stasis empedu.1 Yang merupakan kasus bedah adalah
1
ikterus obstruksi ekstra hepatal sehingga sering juga disebut sebagai “surgical
jaundice”, ikterus obstruksi ini terbanyaknya disebabkan oleh batu kandung
empedu, dimana morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari diagnosis dini
dan tepat.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Hepar
Gambar 2.1 Anatomi Hepar
(http://benviemedicshop.com/wp-content/uploads/2014/01/anatomi-hepar.jpg.
Diakses tanggal 6 Februari 2015 pukul 19.00 WIB)
Hepar merupakan organ atau kelenjar terbesar yang terletak di intra
peritoneum. Berbentuk sebagai suatu piramida tiga sisi dengan dasar menuju ke
kanan dan puncak menuju ke kiri. . Permukaan ke caudo dorsal menunjuk ke alat-
alat dalam perut sehingga disebut fascies visceralis. Tepi kaudal antara fascies
diaphragmatica dan fascies visceralis disebut margo inferior. Hepar yang normal
tidak melewati arcus costarum dan pada saat inspirasi kadang-kadang dapat
teraba.1
Berat hepar berkisar antara 1,2– 1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan
orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat
kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Batas
atas hepar sejajar dengan ICS V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari
3
iga IX kanan ke iga VII kiri. Permukaan posterior hepar berbentuk cekung dan
terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum
minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatika, vena
porta, dan duktus koledokus. Sistem porta terletak di depan vena kava dan di balik
kandung empedu.2
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya
perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran
kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan
kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan sebuah daerah
yang disebut sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava
inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior.2,3
Organ ini penting untuk sekresi empedu, namun juga memiliki fungsi lain
antara lain :
1. Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein setelah penyerapan dari GIT.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing.
3. Sintesis protein plasma mencakup: pembekuan darah, mengangkut hormon
tiroid, steroid, dan kolesterol.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan oleh hati dan ginjal
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang sudah rusak
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin.3
2.2 Anatomi Dan Fisiologi Kandung Empedu
Kandung empedu merupakan kantong kecil yang berfungsi umtuk
menyimpan empedu. Empedu adalah cairan pencernaan berwarna kuning
4
kehijauan yang dihasilkan oleh hati. Kandung empedu memiliki bentuk seperti
buah pir dengan panjang 7-10 cm dan merupakan membran berotot yang terletak
di dalam fossa dari permukaan visceral hati.3,4
Bagian-bagian dari kandung empedu terdiri dari: 5
1. Fundus vesikafelea dengan bentuk bulat, merupakan bagian kandung
empedu yan paling akhir setelah korpus vesikafelea.
2. Korpus vesikafelea yaitu merupakan bagian terbesar dari kandung
empedu, di dalamnya berisi getah empedu. Getah empedu adalah suatu
cairan yang disekresi setiap hari oleh hati yang dihasilkan setiap hari 500-
1000 cc, sekresinya berjalan terus menerus, jumlah produksi meningkat
sewaktu mencerna lemak.
3. Kolum yaitu bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak
antara korpus dan daerah duktus sistika.
4. Infundibulum dikenal juga sebagai kantonr Hartmann, merupakan bulbus
divertikulum kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung
kemih.
5. Duktus sistikus yang menghubungkan kandung empedu ke duktus
koledokus. Berjalan dari leher kandung empedu dan bersambung dengan
duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke duodenum.
6. Duktus hepatikus saluran yang keluar dari leher kandung empedu.
7. Duktus koledokus saluran yang membawa empedu ke duodenum.
5
Gambar 2.2 Anatomi Kantung Empedu 1
(http://adamimages.com/Abdominal-organs-Illustration/PI27498/F4. Diakses
tanggal 6 Februari 2015 pukul 19.00 WIB)
Gambar 2.3 Anatomi Kantung Empedu 2
(http://adamimages.com/Gallbladder-Illustration/PI11087/F4. Diakses tanggal
6 Februari 2015 pukul 19.00 WIB)
6
Kandung empedu memiliki beberapa fungsi, antara lain: 3
1. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada
didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini
adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati. Untuk membuang limbah
tubuh tertentu (terutama pigmen hasil pemecahan sel darah merah dan kelebihan
kolesterol) serta membantu pencernaan dan penyerapan lemak.
2. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus.
Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dirubah menjadi
bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
2.3 Ikterus
2.3.1 Definisi
Ikterus adalah gejala kuning pada sklera, kulit, dan mata akibat bilirubin
yang berlebihan di dalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang
dari 9µmol/L (0,5mg%). Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat
diatas 35 µmol/ L (2 mg).1
Gambar 2.4 Ikterus
(http://www.gponline.com/red-flag-symtoms-jaundice-adult/haematology/article/
893041. Diakses tanggal 6 Februari 2015 pukul 19.00 WIB)
2.3.2 Fisiologi Metabolisme Bilirubin
7
Berikut ini akan dijelaskan mengenai metabolisme pembentukan bilirubin,
meliputi:6
1. Eritrosit yang sudah tua akan difagosit oleh monosit dan makrofag dan
sebagiannya lagi akan didestruksi/katabolisasi di sistem retikuloendotelial
seperti hati dan limfa, sementara sel darah yang telah difagosit itu akhirnya
juga akan dibawa menuju sre untuk mengalami katabolisasi lebih lanjut.
2. Didalam sel hemoglobin, suatu bentuk protein yang terdapat dalam
eritrosit, akan dipecah menjadi 3 komponen yaitu heme, ferum (besi), dan
globin. Globin akan menuju siklus metabolisme yang lain sedangkan besi
akan digunakan kembali oleh tubuh untuk pembentukan eritrosit baru dan
akhirnya heme akan dikonversi menjadi biliverdin yang berwarna
kehijauan.
3. Biliverdin akan keluar dari sre menjadi bentuk bilirubin tak terkonjugasi
atau bilirubin indirek, karena sifatnya yang tidak larut air maka untuk
ditranspor didalam plasma, dibutuhkan suatu pembawa yaitu albumin.
Bersama dengan albumin bilirubin indirek akan bersirkulasi dan akan
mengalami ambilan oleh hepatosit.
4. Bilirubin inderek akan diikat oleh suatu protein yang dihasilkan hati yaitu
protein y, lalu bilirubin indirek + protein y akan mengalami reaksi
enzimatik, yaitu oleh enzim glukuronil transferase dan kemudian
mengalami pengikatan lagi dengan protein z, maka bilirubin tersebut
menjadi bentuk terkonjugasi/bilirubin direk yang memiliki sifat larut
dalam air.
5. Bilirubin akan dikeluarkan dari hati melalui traktus biliaris dan nantinya
8
akan bercampur dengan garam - garam empedu, dan kemudian memasuki
saluran cerna.
6. Didalam saluran cerna bilirubin akan dimetabolisme lebih lanjut oleh
bakteri usus menjadi sterkobilin (dan juga urobilin) yang mewarnai faeces
sebagian kecil akan diserap dan dibawa ke dalam sirkulasi portal, dan
kemudian ke ginjal dimana bilirubin ini akan mewarnai urine (disini
namanya berganti menjadi urobilin) dan dikeluarkan bersama dengan urine
(serta faeces) dari tubuh.
Gambar 2.5 Metabolisme Bilirubin
(Crawford, M. James. 2010. The Biliary Tract. Robin & Cotran Pathologic Basis
of Disease. Philadelphia)
2.3.3 Patogenesis Ikterus9
Hiperbilirubinemia adalah tanda nyata dari ikterus. Bila kadar bilirubin
sudah mencapai 2–2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning pada sklera dan
mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak berwarna
kuning. 7
Gambar 2.6 Klasifikasi Ikterus
(Silbernagl, Stefan. 2000, Color Atlas of Pathophysiology, New York: Thieme)
1. Ikterus Pra Hepatik 5
Produksi bilirubin yang berlebihan ini diakibatkan karena adanya
abnormalitas pada hemolisis sel darah merah (sehingga disebut juga ikterus
hemolitik).
Kapasitas sel hepar mengadakan konjugasi terbatas, sehingga peningkatan
produksi heme (dari pemecahan hemoglobin) sehingga bilirubin inderek tinggi.
Terjadi akumulasi pembentukan bilirubin inderek, juga akan meningkatkan
jumlah bilirubin direk secara progresif. Sehingga urobilinogen yang dihasilkan
10
melebihi normal yang mengakibatkan peningkatan kandungan urobilinogen dalam
feses tinggi.
Peningkatan produksi bilirubin dapat disebabkan oleh:
a) Kelainan sel darah merah (sferosit herditer, inkompabilitas Rh, HbS pada
anemia sel sabit).
b) Infeksi malaria, sepsis, dll.
c) Toksin dari luar tubuh (obat-obatan) dan dari dalam tubuh (transfuse,
eritroblastosis fetalis).
Gambar 2.7 Ikterus Pra Hepatik
(http://nerdyna.blogspot.com/2011/09/mata-kuning-ikterus.html. Diakses tanggal
6 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
11
2. Ikterus Hepatika / Parenkimatosa 5
Ikterus pada kasus ini terjadi karena adanya kelainan konjugasi pada sel hati
sehingga jumlah bilirubin inderek tinggi. Beberapa penyakit akibat gangguan pada
konjugasi bilirubin yaitu:
Hepatitis A,B,C,D atau E.
Sirosis hepatis.
Kolestasis akibat obat (klorpromazin).
Zat yang meracuni hati seperti fosfor, kloroform dll.
Tumor hati multiple (jarang).
Gambar 2.8 Ikterus Hepatika
(http://nerdyna.blogspot.com/2011/09/mata-kuning-ikterus.html. Diakses tanggal
6 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
12
3. Ikterus Pasca Hepatik / Obtruksi 5
Ikterus obstruksi terjadi bila :
- Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke
sinusoid. Hal ini disebut ikterus obstruksi intra hepatal. Biasanya tidak
disertai dengan dilatasi saluran empedu.
- Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstra hepatal.
Hal ini disebut sebagai ikterus obstruksi ekstra hepatal. Oleh karena
adanya sumbatan maka akan terjadi dilatasi pada saluran empedu. Karena adanya
obstruksi pada saluran empedu maka terjadi refluks bilirubin direk (bilirubin
terkonyugasi atau bilirubin II) dari saluran empedu ke dalam darah sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah. Bilirubin
direk larut dalam air, tidak toksik dan hanya terikat lemah pada albumin. Oleh
karena kelarutan dan ikatan yang lemah pada albumin maka bilirubin direk dapat
diekskresikan melalui ginjal ke dalam urine yang menyebabkan warna urine gelap
seperti teh pekat. Urobilin feses berkurang sehingga feses berwarna pucat seperti
dempul (akholis).
13
Gambar 2.9 Ikterus Pasca Hepatik / Obstruksi
(http://nerdyna.blogspot.com/2011/09/mata-kuning-ikterus.html. Diakses tanggal
6 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis ikterus obstruksi beserta penyebabnya dapat ditegakan berdasarkan
Anamnesis (gambaran klinis), pemeriksaan fisis, laboratorium dan pemeriksaan
penunjang diagnostik.3
2.3.5 Gambaran Klinis
1. Anamnesis 3
a. Riwayat ikterus yang terlihat dalam inspeksi bila kadar bilirubin serum >
2,5 mg/dl.
14
b. Perubahan warna urine, urine jadi gelap seperti warna teh.
c. Perubahan warna feses, menjadi pucat seperti dempul dalam minimal 3x
pemeriksaan berturut-turut.
d. Riwayat anemia, terkadang kolelitiasis dapat disertai dengan anemia
hemolitik.
e. Nyeri perut terutama di regio perut kanan atas, lebih sering diakibatkan
oleh obstruksi mekanis. Kolik bilier merupakan gejala yang umum terjadi
berupa nyeri hilang timbul pada area epigastrium (subxyphoid) yang
menjalar ke subcostal dextra, scapula dextra, dan leher. Waktu
munculnya nyeri pada obstruksi bilier terutama dirasakan setelah makan
makanan berlemak yang diikuti mual, muntah.
f. Gejala anoreksia dan kaheksia lebih sering terjadi pada keganasan (Ca
caput pankreas atau Ca hepar) daripada obstruksi batu bilier.
g. Demam. Pada obstruksi mekanik muncul setelah nyeri timbul.
Sedangkan pada inflamasi demam muncul bersamaan dengan nyeri
h. Usia. Pada usia muda kebanyakan hepatitis, sedangkan usia tua lebih
sering keganasan
i. Riwayat tansfusi darah, penggunaan jarum suntik bergantian, tatoo,
promiskuitas, pekerjaan beresiko tinggi terhadap hepatitis B,
pembedahan sebelumnya.
j. Makanan dan obat. Contohnya Clofibrate akan merangsang pembentukan
batu empedu; alkohol, CCl4, makanan tinggi kolesterol juga akan
merangsang pembentukan batu empedu. Disamping itu alkohol juga akan
15
menyebabkan fatty liver disease.
k. Gejala-gejala sepsis lebih sering menyertai ikterus akibat sumbatan batu
empedu, jarang pada keganasan.
l. Gatal-gatal. Karena penumpukan bilirubin direk pada kolestasis.
2. Pemeriksaan Fisik 3
a) Ikterus pada sklera atau kulit
b) Dicari stigmata sirosis (rontoknya rambut aksila dan pubis, spider naevi,
gynekomastia, asites, caput medussae, palmar eritem, liver nail, pitting
edema), scratch effect.
c) Hepar teraba atau tidak. Hepar membesar pada hepatitis, Ca hepar,
obstruksi bilier, bendungan hepar akibat kegagalan jantung. Hepar
mengecil pada sirosis.
d) Kandung empedu membesar atau tidak (Courvoisier sign). Positif bila
kantung empedu tampak membesar, biasanya pada keganasan karena
dilatasi kandung empedu. Negatif bila kantung empedu tidak tampak
membesar, biasanya pada obstruksi batu karena adanya proses inflamasi
pada dinding kantung empedu.
e) Murphy’s sign. Positif pada kolangitis, kolesistitis, koledokolelitiasis
terinfeksi.
←3. Pemeriksaan Laboratorium 3
a) Pemeriksaan darah lengkap, amilase, albumin, faktor pembekuan, serum
transaminase (SGOT/SGPT), AFP, LDH, Alkali Fosfatase, γ-Glutamil
Transpeptidase)
b) Urinalisis terutama bilirubin direk (terkonjugasi) dan total.
16
c) Marker serologis hepatitis untuk hepatitis.3
4. Pemeriksaan penunjang 3
1. Pemeriksaan USG. Pemeriksaan USG perlu dilakukan untuk menentukan
penyebab obstruksi. Yang perlu diperhatikan adalah:
a) Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung
empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2–3x6cm, dengan
ketebalan sekitar 3 mm.
b) Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. Bila diameter
saluran empedu lebih dari 5 mm berarti ada dilatasi. Bila ditemukan
dilatasi duktus koledokus dan saluran empedu intra hepatal disertai
pembesaran kandung empedu menunjukan ikterus obstrusi ekstra hepatal
bagian distal. Sedangkan bila hanya ditemukan pelebaran saluran empedu
intra hepatal saja tanpa disertai pembesaran kandung empedu menunjukan
ikterus obstruksi ekstra hepatal bagian proksimal artinya kelainan tersebut
di bagian proksimal duktus sistikus.
c) Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas
tinggi disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak pada
perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor
akan terlihat massa padat pada ujung saluran empedu dengan densitas
rendah dan heterogen.
d) Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti
menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal.
e) Bertujuan untuk mencari dan menentukan ukuran lumen saluran bilier
17
serta mencari ada atau tidaknya massa dalam kandung empedu.
2. Pemeriksaan CT scan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya
dilatasi duktus intra hepatik yang disebabkan oleh oklusi ekstra hepatik
dan duktus koledokus akibat kolelitiasis atau tumor pankreas. Selain itu
juga ditujukan untuk mencari dan menentukan ukuran lumen saluran bilier
serta mencari ada atau tidaknya massa dalam kandung empedu.
3. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography). Pemeriksaan
ERCP dilakukan untuk menentukan penyebab dan letak sumbatan. ERCP
memberi gambaran langsung tentang keadaan duktus biliaris dan sangat
berguna mencari etiologi obstruksi ekstrahepatal dan mengekstraksi batu
empedu.
4. Biopsi Hepar, biasanya untuk memastikan etiologi obstruksi intrahepatal.
2.3.6 Penatalaksanaan 3
Pada dasarnya penatalaksanaan penderita ikterus obstruksi bertujuan untuk
menghilangkan penyebab obstruksi atau mengalihkan aliran empedu. Bila
penyebabnya adalah batu maka dilakukan tindakan pembedahan. Bila
penyebabnya adalah tumor dan tindakan bedah tidak dapat menghilangkan
penyebab obstruksi karena tumor tersebut maka dilakukan tindakan drainase
untuk mengalihkan aliran empedu tersebut. Pembedahan terhadap batu sebagai
penyebab obstruksi, yang dapat dilakukan antara lain:
a) Kolesistektomi terbukaadalah mengangkat kandung empedu beserta
seluruh batu. Indikasi paling umum untuk kolesistektomia adalah biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopik, indikasi awal hanya pasien dengan batu
18
empedu simptomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
c) Sfingterotomi/papilotomi. Bila letak batu sudah pasti hanya dalam duktus
koledokus, dapat dilakukan sfingterotomi/papilotomi untuk mengeluarkan
batunya. Cara ini dapat digunakan setelah ERCP kemudian dilanjutkan
dengan papilotomi. Tindakan ini digolongkan sebagai surgical Endoscopy
Treatment (SET).
d) Pembedahan terhadap striktur/ stenosis; striktur atau stenosis dapat terjadi
dimana saja dalam sistem saluran empedu, apakah itu intra hepatik atau
ekstra hepatik. Tindakan yang dilakukan yaitu :Mengoreksi striktur atau
stenosis dengan cara dilatasi atau sfingterotomi, Dapat juga dilakukan
tindakan dilatasi secara endoskopi (Endoscopic Treatment) setelah
dilakukan ERCP. Bila cara-cara di atas tidak dapat dilaksanakan maka
dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki drainase misalnya dengan
melakukan operasi rekonstruksi atau operasi bilio-digestif (by-pass).
e) Pembedahan terhadap tumor; tumor sebagai penyebab obstruksi maka
perlu dievaluasi lebih dahulu apakah tumor tersebut dapat atau tidak dapat
direseksi. Bila tumor tersebut dapat direseksi perlu dilakukan reseksi
kuratif. Hasil reseksi perlu dilakukan pemeriksaan PA. Bila tumor tersebut
tidak dapat direseksi maka perlu dilakukan pembedahan paliatif saja yaitu
terutama untuk memperbaiki drainase saluran empedu misalnya dengan
anastomosis bilo-digestif atau operasi by-pass.
19
2.4 Gangguan Saluran Empedu
2.4.1 Kolestasis
a. Definisi
Kolestasis adalah penyumbatan aliran empedu dari hati ke usus, yang dapat
disebabkan oleh kelainan pada saluran intra hepatik dan/atau ekstra hepatik. 5
Gambar 2.10 Kolestasis
20
(http://www.netteranatomy.com/common/showimage.cfm?
bFlag=1&imgFile=268-X7746.jpg(online). Diakses tanggal 7 Februari 2015
pukul 20.00 WIB)
Penyebab kolestasis dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut :
1. Berasal dari hati (Intrahepatik):1
Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke
sinusoid. Hal ini disebut sebagai ikterus obstruksi intrahepatal. Biasanya
tidak disertai dengan dilatasi saluran empedu. Obstruksi ini bukan
merupakan kasus bedah. Contoh :
a. Hepatitis
b. Penyakit hati alkoholik
c. Sirosis bilier primer
d. Akibat obat- obatan
e. Akibat perubahan hormon selama kehamilan (kolestasis pada
kehamilan)
2. Berasal dari luar hati (Ekstrahepatik):1
a. Batu saluran empedu
b. Penyempitan saluran empedu o.k tumor saluran empedu (pertemuan
antara saluran empedu dan saluran pancreas), tumor kaput pancreas,
atresia saluran empedu.
c. Tumor ganas empedu.
Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstrahepatal. Hal ini disebut
sebagai ikterus obstruksi estrahepatal. Oleh karena adanya sumbatan maka
akan terjadi dilatasi pada saluran empedu. Karena adanya obtruksi pada
21
saluran empedu maka terjadi refluks biliribun direk (bilirubin terkonyugasi
atau bilirubin II) dari saluran empedu ke dalam darah sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah.
Bilirubin direk larut dalam air, tidak toksik dan hanya terikat lemah pada
albumin. Oleh karena kelarutan dan ikatan yang lemah pada albumin maka
pada bilirubin direk dapat diekskresikan melalui ginjal ke dalam urine
yang menyebabkan warna urine gelap seperti teh pekat. Urobilin feses
berkurang sehingga feses berwarna pucat seperti dempul. Karena terjadi
peningkatan kadar garam-garam empedu maka kulit terasa gatal-gatal
(pruritus). Batu kandung empedu bisa menyumbat aliran empedu dari
kandung empedu, dan menyebabkan nyeri (kolik bilier) atau peradangan
kandung empedu (kolesistitis). Batu juga bisa berpindah dari kandung
empedu ke dalam saluran empedu, sehingga terjadi kuning (jaundice)
karena menyumbat aliran empedu yang normal ke usus. Penyumbatan
aliran empedu juga bisa terjadi karena adanya suatu tumor.1
b. Gejala Klinis 8
a. Jaundice dan urine yang berwarna gelap merupakan akibat dari bilirubin
yang berlebihan di dalam kulit dan urine.
b. Feses terkadang tampak pucat karena kurangnya bilirubin dalam usus.
c. Feses juga bisa mengandung terlalu banyak lemak (steatore) karena dalam
usus tidak terdapat empedu untuk membantu mencerna lemak dalam
makanan.
d. Berkurangnya empedu dalam usus juga menyebabkan berkurangnya
penyerapan kalsium dan vitamin D.
22
e. Jika kolestasis menetap, kekurangan kalisium dan vitamin D akan
menyebabkan pengeroposan tulang dan dapat menyebabkan rasa nyeri di
tulang serta patah tulang.
f. Terjadi gangguan penyerapan dari bahan- bahan yang diperlukan untuk
pembekuan darah sehingga pasien cenderung mudah mengalami
perdarahan Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan
gatal- gatal (disertai penggarukan dan kerusakan kulit).
g. Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis, menyebabkan
kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan kuning karena
lemak.
h. Gejala lainnya bergantung pada penyebab kolestasis, bisa berupa nyeri
perut, hilangnya nafsu makan, muntah atau demam.
c. Diagnosis 8,9
1. Jika penyebabnya adalah penyakit hati, maka pada pemeriksaan fisik akan
ditemukan;
a. Pembuluh darah yang memberikan gambaran seperti laba-laba
b. Pembesaran limfa
c. Pengumpulan cairan dalam perut (asites).
2. Jika penyebabnya di luar hati, bisa ditemukan:
a. Demam
b. Nyeri yang berasal dari saluran empedu atau pancreas
c. Pembesaran kandung empedu
3. Kadar enzim alkalin fosfatase sangat tinggi
23
4. Jika hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya kelainan, maka hampir
selalu dilakukan pemeriksaan USG atau CT scan untuk membantu
membedakan penyakit hati dengan penyumbatan pada saluran empedu.
5. Jika penyebabnya adalah penyakit hati, maka dilakukan biopsi hati.
6. Jika penyebabnya adalah penyumbatan saluran empedu, maka dilakukan
pemeriksaan endoskopi.
d. Penatalaksanaan 10
1. Penyumbatan di luar hati biasanya dapat di obati dengan cara pembedahan
atau endoskopi terapeutik
2. Penyumbatan di dalam hati bisa diobati dengan berbagai cara, bergantung
pada penyebabnya.
a. Jika penyebabnya adalah obat, maka hentikan obat.
b. Jika penyebabnya adalah hepatitis, maka biasanya kolestatis dan
jaundice akan menghilang sejalan dengan membaiknya penyakit.
3. Cholestyramine, diberikan per-oral (ditelan), bisa digunakan untuk
mengobati gatal-gatal. Obat ini terkait dengan produk empedu tertentu
dalam usus, sehingga tidak dapat diserap kembali dan menyebabkan iritasi
kulit.
4. Pemberian vitamin K bisa memperbaiki proses pembekuan darah.
5. Kalsium dan vitamin D tambahan sering diberikan jika kolestasis menetap,
tetapi tidak terlalu efektif dalam mencegah penyakit tulang.
6. Jika terlalu banyak lemak yang dibuang ke dalam feses, maka diberikan
tambahan trigliserida.
2.4.2 Penyakit Batu Empedu (Kolelitiasis)
24
a. Definisi
Gallstones dan biliary calculus merupakan istilah kolelitiasis dimaksudkan
untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu
yang terbentuk di dalam kandung empedu.10
b. Patofisiologi
Gambar 2.11 Patofisiologi Kolelitiasis
(Silbernagl, Stefan. 2000, Color Atlas of Pathophysiology, New York: Thieme)
Berdasarkan komposisi kimiawi dan gambaran mikroskopiknya, batu
empedu dibagi menjadi tiga tipe utama, yaitu batu kolesterol (batu kolesterol
25
murni, batu kombinasi, batu campuran), batu pigmen (batu kasium bilirubinat,
batu hitam atau pigmen murni), dan batu empedu yang jarang (batu kalsium
karbonat, dan batu kalsium asam lemak), yaitu:11
1. Batu Kolesterol
a. Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto
rontgen terlihat intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan
permukaan licin atau noduler. Batu ini tidak mengandung kalsium sehingga tidak
dapat dilihat pada pemotretan sinar X biasa.
b. Batu kolesterol campuran
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu
yaitu mengandung batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada
permukaannya terdapat endapan pigmen kalsium.
c. Batu kolesterol ganda
Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.
2. Batu pigmen
Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam
kalsium dan matriks dari bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, keras,
amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau tua. Alasannya ± 10 % radioopaque.
3. Batu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80 %), dan terdiri
atas kolesterol, pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein.
Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat
radioopaque.
26
Menurut Sjamsuhidajat (2010), Batu kolesterol mengandung paling sedikit
70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit dan
kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen.
Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin atau
multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.12
Batu pigmen mengandung kurang dari 25% kolesterol, sering ditemukan
kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat,
kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.13
Gambar 2.12 Batu Kolelitiasis
( Crawford, M. James. 2010. The Biliary Tract. Robin & Cotran Pathologic Basis
of Disease. Philadelphia )
Secara normal, kolesterol tidak mengendap dalam empedu, karena
mengandung garam empedu terkonjugasi dan phosphatidylcholine secukupnya
dalam bentuk micellar solution. Jika rasio konsentrasi kolesterol : garam empedu
dan phosphatidylcholine meningkat, kelebihan kolesterol dalam batas minimal,
kejenuhannya akan meningkat (supersaturasi) dalam larutan lumpur. Adanya
supersaturasi oleh peningkatan rasio kolesterol, akan menyebabkan hepar
mensekresi kolesterol konsentrasi tinggi sebagai inti vesikel unilamelar dalam
27
kandung empedu dimana phosphatidylcholine menjadi kulit luar pembungkus
vesikel dengan diameter 50-100 nm. Jika jumlah kandungan kolesterol relatif
meningkat, vesikel multilamelar akan terbentuk (diameter melebihi 1000 nm).
Vesikel-vesikel ini tidak stabil dan mengendap lingkungan cairan dalam bentuk
kristal kolesterol. Kristal kolesterol ini merupakan prekursor batu empedu.14
Penyebab penting peningkatan rasio kolesterol : garam empedu dan
phosphatidylcholine adalah: 15
Peningkatan sekresi kolesterol, baik oleh karena peningkatan sintesis
kolesterol (peningkatan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl
[HMG]-CoA-kolesterol reduktase) ataupun penghambatan esterifikasi
kolesterol seperti progesterone selama kehamilan.
Penurunan sekresi garam empedu oleh karena penurunan simpanan garam
empedu pada penyakit Crohn’s atau setelah reseksi ataupun selama puasa
dan nutrisi parenteral.
Penurunan sekresi phosphatidylcholine sebagai penyebab batu kolesterol
ditemukan pada wanita Chili yang hidup hanya memakan sayuran.
Batu pigmen terdiri atas sebagian besar kalsium bilirubinat (50%) yang
memberikan warna hitam atau coklat pada empedu. Batu hitam juga mengandung
kalsium karbonat dan fosfat, dimana batu coklat juga mengandung stearat,
palmitat dan kolesterol. Peningkatan jumlah bilirubin tak terkonjugasi pada
empedu, yang dipecahkan hanya dalam micelles, ini merupakan penyebab utama
pembentukan batu empedu, dimana normalnya mengandung hanya 1-2% dalam
empedu.16
28
Adapun sebagai penyebab meningkatnya konsentrasi bilirubin tidak
terkonjugasi adalah:7
Meningkatnya pemecahan hemoglobin seperti pada anemia hemolitik, yang
mana terdapat banyak bilirubin yang akan mengalami proses konjugasi dengan
perantara enzim glukorunidase dalam hepar, ditemukan kelainan sebagai berikut:
Penurunan kapasitas konjugasi dalam hepar seperti pada sirosis hepar.
Dekonjugasi non-enzimatik bilirubin dalam empedu khususnya
monoglukoronat.
Dekonjugasi enzimatik (β-glucosidase) oleh bakteri.
Bakteri juga tidak mengkonjugasi secara enzimatik garam empedu
sehingga terjadi pembebasan palmitat dan stearat (dari phoshatidylcholine) dalam
presipitat sebagai garam kalsium. Batu hitam dibentuk oleh tiga mekanisme
pertama diatas, mengandung komponen tambahan, kalsium karbonat dan fosfat,
inilah yang akan menurunkan kapasitas keasaman dalam kandung empedu.16
Kandung empedu, dimana komponen spesifik (kolesterol, garam empedu,
phoshatidylcholine) terkonsentrasi dalam waktu yang lama keterikatan dalam air,
juga merupakan bagian penting dalam pembentukan batu empedu. Gangguan
pengosongan kandung empedu bisa menjadi salah satu penyebab baik karena
insufisiensi CCK (tidak ada asam lemak bebas yang dilepaskan dalam lumen pada
insufisiensi pancreas) sehingga rangsangan kontraksi ke kandung empedu
melemah, ataupun karena vagotomy nonselektif tidak terdapat sinyal kontraksi
dan asetilkolin. Kontraksi kandung empedu melemah juga pada keadaan
29
kehamilan. Saat itu menjadi waktu yang sangat cukup terjadi endapan kristal
untuk membentuk batu yang besar. Peningkatan sekresi mukus (dirangsang oleh
prostaglandin) bisa memicu peningkatan jumlah inti kristalisasi.1
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada kolelitiasis adalah kolik. Jika
terjadi penghambatan saluran empedu oleh sumbatan batu empedu, tekanan akan
meningkat dalam saluran empedu dan peningkatan kontraksi peristaltik di daerah
sumbatan menyebabkan nyeri viseral pada daerah epigastrik, mungkin dengan
penyebaran nyeri ke punggung dan disertai muntah. 6
c. Faktor Resiko 1
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2.Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
30
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
4.Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi
yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla
spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral
(TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan
pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung).
Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta
meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin
muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi
pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi
kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
31
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik
fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat
presipitasi.
9.Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen
pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan
konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.
c. Signs and symptoms 17
Penyakit batu empedu memiliki 4 tahapan sebagai berikut:
32
- Lithogenic state, di mana kondisi mendukung pembentukan batu empedu
- Batu empedu asimtomatik
- Batu empedu simtomatik, ditandai dengan episode kolik bilier
- Penyakit batu empedu dengan berbagai penyulit
Karakteristik kolik bilier meliputi hal – hal berikut ini: 17
- Episode sporadis dan tak terduga
- Nyeri yang terlokalisasi pada epigastrium atau kuadran kanan atas, kadang-
kadang menjalar ke ujung kanan scapular.
- Rasa sakit yang dimulai postprandially, biasanya berlangsung 1-5 jam,
meningkat terus selama 10-20 menit, dan kemudian berkurang secara bertahap.
- Nyeri yang konstan yaitu tidak berkurang dengan emesis, antasid, buang air
besar, kentut, atau perubahan posisi, dan kadang-kadang disertai dengan
diaforesis, mual, dan muntah
- Gejala nonspesifik (misalnya, gangguan pencernaan, dispepsia, bersendawa, atau
kembung)
d. Diagnosis
1. Anamnesis 1
- Asimtomatik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang
benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara
tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada
33
saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan
sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti
rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas
abdomen dapat terjadi.
- Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa
nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam
waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali
serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan
intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak
mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri
bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh
batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
34
dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian
kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran
kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat
pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
- Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.
- Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
- Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K
yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu proses pembekuan darah normal. Bilamana batu empedu terlepas
35
dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan
isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif
singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini
dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.
Gambar 2.13 Skema Kolelitiasis 1
(http://2013/03/kolelitiasis-batu-kantung.html. Diakses tanggal 7 Februari 2015
pukul 20.00 WIB)
36
Gambar 2.14 Skema Kolelitiasis 2
(http://2013/03/kolelitiasis-batu-kantung.html. Diakses tanggal 7 Februari 2015
pukul 20.00 WIB)
37
e. Pemeriksaan Fisik 1,7,21
Batu kandung empedu apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan
dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,
hidrop kandung empedu, empiyema kandung empedu, atau pankreatitis. Pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak
anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu – batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam
fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila
kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
f. Pemeriksaan Penunjang
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST
(SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila
obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.7
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
38
Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X. Pemeriksaan radiologis – foto
polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatika. 18
Gambar 2.15 Gambaran Radiologi Kolelitiasis
(http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMicm030898. Diakses tanggal
7 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping 39
itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur
ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra
sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan
maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit
dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas
daripada di palpasi biasa.1
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.1
40
Gambar 2.16 Gambaran USG Kolelitiasis
(http://2013/03/kolelitiasis-batu-kantung.html. Diakses tanggal 7 Februari 2015
pukul 20.00 WIB)
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun
untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk
mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan
isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu
yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayangannya akan nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada
keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl,
obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada
keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
41
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara
ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan
ultrasonografi.19
Gambar 2.17 Gambaran Kolesistografi Kolelitiasis
(http://2013/03/kolesistografi.html. Diakses tanggal 8 Februari 2015 pukul 20.00
WIB)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden. Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus
koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke
dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi
percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini
dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk
mengambil batu empedu.19
42
Gambar 2.18 Gambaran ERCP Kolelitiasis
(http://alfianfreezone.blogspot.com/2013/03/makalah-kmb-i-kolelitiasis-batu-
kantung.html. Diakses tanggal 8 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US. 14
Gambar 2.19 Gambaran CT Scan Kolelitiasis
(http://alfianfreezone.blogspot.com/2013/03/makalah-kmb-i-kolelitiasis-batu-
kantung.html. Diakses tanggal 8 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
43
Gambar 2.20 Gambaran MRI Kolelitiasis
(http://alfianfreezone.blogspot.com/2013/03/makalah-kmb-i-kolelitiasis-batu-
kantung.html. Diakses tanggal 8 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
g. Penatalaksanaan 6,7,15
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak.19 Pilihan penatalaksanaan antara lain :20
- Kolesistektomi terbuka – operasi ini merupakan standar terbaik untuk
penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling
bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2%
pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.
44
Gambar 2.21 Metode Operasi Kolelitiasis
(http://medicastore.com/images/metode operasi kolesistektomi.jpg&imgref.
Diakses tanggal 8 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
- Kolesistektomi laparaskopi – indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis
simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledukus. Secara teoritis,
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat
cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan
insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih
sering pada kolesistektomi laparaskopi.
Obat dapat diberikan dalam bentuk pil untuk melarutkan batu empedu
kolesterol. Namun, obat ini dapat berlangsung 2 tahun atau lebih untuk bekerja,
dan batu dapat kembali setelah perawatan berakhir. Bahan kimia juga dapat
dilewatkan ke dalam kandung empedu melalui kateter. Perawatan ini sulit untuk
melakukan, sehingga tidak dilakukan lagi. Shock wave lithotripsy (ESWL) dari
45
kantong empedu juga telah digunakan untuk orang yang tidak dapat menjalani
operasi. Perawatan ini tidak digunakan sesering dulu karena batu empedu sering
datang kembali. 21
h. Komplikasi 16,17
Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
- Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh
efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.
- Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh
batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam
empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses
peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian
dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan
perforasi.
46
- Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik,
demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
- Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local.
Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
- Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
2.4.3 Kolesistitis
a. Definisi
Kolesistitis adalah peradangan akut pada dinding kandung empedu yang
terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu empedu. Terbagi 2 tipe,
kolesistitis akut sebagian besar disebabkan adanya obstruksi di duktus sistikus
oleh batu, sedangkan kurang lebih 10% tanpa disertai batu, sedangkan kolesistitis
kronik hampir selalu disertai batu. 19,21
47
b. Faktor Pencetus
1. Peradangan mekanis akibat tekanan intralumen dan regangan yang
menimbulkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu.
2. Peradangan kimiawi akibat pelepasan lisolesitin (akibat kerja fosfolipase
pada lesitin dalam kandung empedu) dan faktor jaringan lokal lainnya.
3. Peradangan bakteri yang mungkin berperan pada 50-85% pasien
kolesistitis akut. Penyebab paling sering adalah Escherichia coli. Klebsiela
sp, Streptococcus grup D,Stapilococcus sp, dan Clostridium sp. 22
Gambar 2.22 Patofisiologi Kolesistitis
(Silbernagl, Stefan. 2000, Color Atlas of Pathophysiology, New York: Thieme)
48
c. Gejala Klinis 23
1. Serangan kolik biliaris (awal)
2. Nyeri abdomen kanan atas sesudah makan-makanan yang mengandung
banyak lemak.
3. Nyeri kolesistitis dapat menyebar ke antarscapula, scapula kanan, atau
bahu.
4. Ikterus (jarang), hanya akan tampak bila ada hambatan aliran empedu.
5. Mual muntah
6. Demam ringan
d. Pemeriksaan Fisik 21
Triad nyeri kuadran kanan atas abdomen, demam, leukositosis berkisar
antara10.000-15.000 sel/µL, dengan pergeseran ke kiri.
e. Pemeriksaan Laboratorium 21
Pada hitung jenis, bilirubin serum sedikit meningkat (<85,5 µmol/L);
peningkatan sedang aminotransferase serum (dari 5 kali lipat).
f. Pemeriksaan Radiologis 21
USG; keuntungan relatif mudah dikerjakan, cepat dan non-invasif, dapat
mendeteksiadanya penebalan dinding kandung empedu, gambaran batu (90-95%),
dan komplikasi perforasi. CT Scan; jauh lebih mahal dibanding USG.
g. Penatalaksanaan 2, 21
Pengobatan umum meliputi istirahat, pemberian cairan parenteral, diit
ringan tanpa lemak serta obat menghilangkan nyeri seperti petidin dan anti
spasmodik. Terapi definitif kolesistitis akut yang sekarang banyak dianjurkan
adalah kolesistektomi dini dalam 72 jam pertama, sedangkan terapi medik hanya
49
dianjurkan untuk pasien dengan risiko operasi tinggi atau yang menolak operasi.
Pada sebagian besar pasien dengan kolesistitis kronik tindakan kolesistektomi
akan memberikan hasil yang sangat baik dengan komplikasi yang sangat rendah.
2.4.4 Tumor Ganas Kandung Empedu
Karsinoma kandung empedu jarang ditemukan. Biasanya didapatkan pada usia
lanjut. Kebanyakan berhubungan dengan batu kandung empedu. Resiko timbulnya
keganasan sesuai dengan lamanya menderita batu kandung empedu. Tumor ganas
primer kandung empedu adalah jenis adenokarsinoma dengan penyebaran invasi
langsung ke dalam hati dan porta hati.23 Ini adalah jenis kanker yang paling umum
melibatkan traktus biliaris ekstrahepatik. Kandung empedu yang berkalsifikasi
atau seperti porselen berkaitan dengan insiden 20% dari kanker kandung empedu.
Metastasis terjadi ke kelenjar getah bening regional, hati, dan paru. Kadang
karsinoma ditemukan secara tidak sengaja sewaktu melakukan kolesistektomi
untuk kolelitiasis, dan sering terjadi penyebaran. Patogenesisnya masih belum
jelas. 22
Gambar 2.23 Tumor Ganas Saluran Empedu
(http://www.asiancancer.com/indonesian/cancer-symptoms/bile-duct-cancer-
symptoms/. Diakses tanggal 8 Februari 2015 pukul 20.00 WIB)
50
a. Gejala Klinis 23
Sering ditemukan nyeri menetap di perut kuadran kanan atas, mirip kolik
bilier. Apabila terjadi obstruksi duktus sistikus, akan timbul kolesistitis akut.
Gejala lain yang dapat terjadi adalah ikterus obstruksi dan kolangitis akibat invasi
tumor ke duktus koledokus.
b. Pemeriksaan Fisik 24
Pada pemeriksaan fisik dapat diraba massa di daerah kandung empedu.
Pada pemeriksaan penunjang USG dan CT scan dengan ditunjang pemeriksaan
CEA dan CA 19.9 dapat menemukan tumor.
c. Penatalaksanaan 24
Pencegahan dengan melakukan kolesistektomi pada penderita kolelitiasis
merupakan cara yang paling baik. Cara ini terbukti menurunkan angka kejadian
karsinoma kandung empedu. Apabila ditemukan karsinoma kandung empedu
sewaktu laparatomi, harus dilakukan kolesistektomi dan reseksi baji hepar selebar
3-5 cm disertai diseksi kelenjar limfe regional didaerah ligamentum
hepatoduodenale.
d. Prognosis 24
Prognosis jangka panjang dengan karsinoma kandung empedu adalah
buruk, dengan angka kelangsungan hidup 5 tahun yang dilaporkan adalah kurang
dari 5%. Pasien dengan lesikecil yang ditemukan secara kebetulan pada saat
kolesistektomi, mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk kelangsungan
hidup jangka lama.
51
BAB 3
KESIMPULAN
Ikterus adalah gejala kuning pada sklera, kulit, dan mata akibat bilirubin
yang berlebihan di dalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang
dari 9µmol/L (0,5mg%). Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat
diatas 35 µmol/ L (2 mg).
Secara garis besar ikterus dapat digolongan menjadi ikterus fisiologis
maupun patologis. Ikterus patologis sering didapatkan pada dewasa, dan terbagi
menjadi beberapa tipe, yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika
(parenkimatosa) dan ikterus post hepatika (obstruksi). Terdapat dua bentuk ikterus
obstruksi yaitu obstruksi intra hepatal dan ekstra hepatal. Yang merupakan kasus
bedah adalah ikterus obstruksi ekstra hepatal sehingga sering juga disebut sebagai
“surgical jaundice”, ikterus obstruksi ini terbanyaknya disebabkan oleh batu
kandung empedu, dimana morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari
diagnosis dini dan tepat. Selain disebabkan oleh batu empedu, ikterus jenis ini
juga dapat disebabkan oleh kolesistitis, kanker saluran empedu, kanker kandung
empedu, dan kanker kaput pancreas. Untuk dapat mendiagnosis penyebab ikterus
obstruksi ekstrahepatal, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat
disertai pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologis yang dapat dipilih
antara lain pemeriksaan sinar-X abdomen, USG, CT Scan abdomen,
kolesistografi, ERCP, MRCP, MRI, sehingga dapat ditentukan penatalaksanaan
yang sesuai dengan penyebab ikterus obstruksi ekstrahepatal tersebut.
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. hal: 570-579.
2. Sloane Ethel. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2009. hal 112-117.
3. Brunicardi F, Charles, et al. Gallbladder and the Extrahepatic Biliary
System. Principles of Surgery. 8th ed. New York: McGaw Hill. 2005. Hal
1187-1193.
4. Guyton dan Hall. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2008. hal 843-845.
5. Grant. Metode Anatomi berorientasi Pada Klinik. John V. Basmajian &
Charles E. Slonecker. Ed. 11 Jilid 1. FKUI. 2005. hal 203-204.
6. Kaplain, Lee M, dkk. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. H.A, Ahmad,
eds. EGC : Jakarta. 2009. hal 57-63.
7. Silbernagl S, Florian Lang. Color Atlas of Pathophysiology. New York:
Thieme Stuttgart. 2007. hal 164-169.
8. Spencer SS. Saluran Empedu. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah.
Jakarta:EGC, McGrawHill. 2006. hal 455-469.
9. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell
Science. 2006. hal: 531-534.
10. Lesmana L. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 2006. hal: 479-481.
11. Beckingham, IJ. Gallstone disease. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall
Bladder. London: BMJ Books. 2007. Hal: 271-275.
12. Greenberger NJ, Paumgartner G. Disease of The Gallbladder and Bile
Duct. In: Kasper et all, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
16th ed. London: McGraw-Hill. 2005. Hal 231-232.
13. Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D,
Dupon L, editors. Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th ed. 2013.
hal 367-368.
53
14. Naheed T, Akbar N. Frequency Of Gallstones In Patient Of Liver
Cirrhosis-A Study In Lahore. Pak J Med Sci 20(3). 2005. 215-218.
15. Zhang Y et all. Factor Influencing The Prevalence of Gallstones in Liver
Chirrhosis. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2006. 62(9):
1455-1458.
16. Conte D et all. Close Relation Between Cirrhosis and Gallstones. 2006.
Arc Intern Med ; 159 (11):49-52
17. Heuman M Douglas. Cholelithiasis. Avaliable
from:http://www.emedicine.com/med/topic836.htm . Last update agust,
20th Jan 2015 (diakses pada tanggal 6 Februari 2015 pukul 20.00 WIB).
18. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. Dalam : New England Journal of
Medicine. Avaliable
from : http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318. Last update 25
November 2007 (diakses pada tanggal 6 Februari 2014 pukul 20.00 WIB).
19. Lesmana L. Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2009. 380-384.
20. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles
of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009. 459-
464.
21. Webmaster. Cholelithiasis. Avaliable from
: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000273.htm . Last
update 18 Juli 2013 (diakses pada tanggal 6 Februari 2015 pukul 20.00
WIB).
22. Crawford, M. James. The Biliary Tract. Robin & Cotran Pathologic Basis
of Disease. Philadelphia : Saunders. 2010. hal 165-170.
23. Wibowo Soetamto, Kanadihardja Warko, Sjamsuhidajat R, de JW. Saluran
Empedu dan Hati. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi tiga. Jakarta: EGC. 2010.
hal 663-679.
24. Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Billiary System. 11 th ed.
Oxford: Blacwell Science. 2007. hal 551-57.
54