Post on 08-Dec-2015
description
LAPORAN PENDAHULUAN
GERIATRIC SYNDROME
Untuk Memenuhi Tugas Clinical Studies 2
Disusun Oleh:
MARETTA SEKAR DEWI
115070207111017
REGULER 1
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
A. DEFINISI GERIATRIC SYNDROME
Istilah geriatri (geros=geriatri, iatreia=merawat/merumat), pertama
kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher, seorang dokter Amerika pada tahun
1909. Tetapi ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada
tahun 1935 di Inggris oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari
West-Middlesex Hospital yang dianggap sebagai pelopornya (Pranarka,
2011).
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan
angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua
yang lemah. Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ.
Sindrom geriatrik mungkin memiliki kesamaan patofisiologi meskipun
presentasi yang berbeda,dan memerlukan intervensi dan strategi yang fokus
terhadap faktor etiologi (Panitaetal., 2011).
Menurut Kane RL (2008), sindrom geriatri memiliki beberapa
karakteristik, yaitu: usia >60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas,
polifarmasi, fungsi organ menurun, gangguan status fungsional, dan
gangguan nutrisi. Hal ini sesuai dengan karakteristik pasien dengan usia 80
tahun, memiliki gangguan hepar dan ginjal, status fungsional di keluarga
yang sudah menurun dan ditemukan adanya gangguan nutrisi pada pasien
karena menurunnya fungsi menelan.
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang
sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut
Solomon dkk:The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability
(instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti
demensia dan delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation
(depresi), Impotence (impotensi), Immuno-deficiency (penurunan imunitas),
Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia
(gangguan tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement
of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan
penciuman) (Setiati dkk., 2006).
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari
atau lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologis. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan
pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Inkontinensia urin
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang
tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga
mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia urin seringkali
tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu atau tabu untuk
diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar
pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin
di Indonesia pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 28,3%. Biaya yang
dikeluarkan terkait masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp
2.850.000,- per tahun per pasien. Insomnia merupakan gangguan tidur yang
sering dijumpai pada pasien geriatri. Umumnya mereka mengeluh bahwa
tidurnya tidak memuaskan dan sulit memertahankan kondisi tidur. Sekitar
57% orang usia lanjut di komunitas mengalami insomnia kronis, 30% pasien
usia lanjut mengeluh tetap terjaga sepanjang malam, 19% mengeluh bangun
terlalu pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur. Gangguan depresi
pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali.
Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari
proses menua. Prevalensi depresi pada pasien geriatri yang dirawat
mencapai 17,5%. Deteksi dini depresi dan penanganan segera sangat
penting untuk mencegah disabilitas yang dapat menyebabkan komplikasi
lain yang lebih berat. Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi
sistem imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi
saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti
kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut
terkena infeksi. Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering
dianggap sebagai hal yang biasa akibat proses menua. Prevalensi gangguan
penglihatan pada pasien geriatri yang dirawat di Indonesia mencapai
24,8%.Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan
waktu senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan
penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup,
meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul,
dan mortalitas. Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif.
Masalah yang muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama
diderita sehingga tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif
yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes
melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian
multisenter di Indonesia terhadap 544 pasien geriatri yang dirawat inap
mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes melitus sebesar 50,2% dan
27,2%.
B. KLASIFIKASI GERIATRIC SYNDROME
1. Klasifikasi Demensia
Klasifikasi demensia vaskuler secara klinis menurut Kelompok Studi
Fungsi Luhur PERDOSSI adalah:
a. Demensia pasca stroke
- Demensia infark serebri
- Demensia perdarahan intraserebral
b. Demensia vaskuler subkortikal
- Lesi iskemik substansia alba
- Infark lakuner subkortikal
- Infark non lakuner subkortikal
- Demensia vaskuler tipe campuran (Demensia Alzheimer dan
Demensia Vaskuler)
Klasifikasi demensia (Sjahrir,1999) terbagi atas 2 dimensi:
a. Menurut umur; terbagi atas:
- Demensia senilis onset > 65 tahun
- Demensia presenilis < 65 tahun
b. Menurut level kortikal:
- Demensia kortikal
- Demensia subkorti
2. Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol
atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada
tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau
obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia
urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis
dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu
terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria.
Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan
edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium
Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic,
psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
b. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk
kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
1) Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan
intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau
berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot
dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih
sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-
laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri.
Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
2) Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan
sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin
urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia
dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup
waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu
variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.
3) Inkontinensia urin luapan/overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan
distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini
disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran
prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau
sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-
obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin
tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4) Inkontinensia urin fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang
mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin
(Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi
saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti
gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau
gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin
menjangkau toilet untuk melakukan urinasi
5) Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang
mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).
6) Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).
C. ETIOLOGI GERIATRIC SYNDROME
Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai
berikut:
1. Sindroma serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30
mL/100gram jaringan otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena
terjadi atrofi neuron. Normal pada dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit.
Penurunan aliran darah otak hingga 23 mL/100 gram/menit dapat
menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh darah
otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan
refleks, tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah
yang diperdarahi karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler (drop
attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh
sebab mekanik maupun akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak.
Secara mekanik didapatkan bahwa pada lansia terbentuk osteofit pada
vertebra sehingga menimbulkan jepitan pada arteri vertebralis yang
menyuplai darah ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu
degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi
berkelok-kelok dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan
demikian gerakan leher dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah
otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami
penurunan, sedikit perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan
mengurangi aliran darah otak yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan
vaskuler arteriosklerosis mengurangi perfusi otak yang menimbulkan infark
lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi atau kardiovaskuler (gagal
jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan aliran darah
otak. Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan
timbulnya angiopati.
2. Konfusio Akut dan Dementia
A. Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang
ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadarah dan
kewaspadaan dan proses berpikir yang berakibat terjadinya
disorientasi. Hampir semua penyakit dan obat-obatan menyebabkan
konfusi akut, yaitu:
Hipoperfusi serebral (mis: hipotensi, infark miokardial, kondisi curah
jantung rendah, aritmia)
Hipoxia serebral (mis: pneumonia, PPOK, gagal jantung kongestif,
emboli paru) atau hiperkarbia
Dehidrasi (dehidrasi ringan , kekurangan volume intravascular)
Gangguan elektrolit ( mis: hipo dan hipernatremia, hipo dan
hipercalcemia, hipo dan hipermagnesemia)
Hipo dan hipercalcemia dan kondisi hiperosmolar
Infeksi ( mis: sistitis, urosepsis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi
SSP s2perti meningitis dan encephalitis)
Demam atau hipotermia
Nyeri atau ketidaknyamanan ( termasuk retensi urin atau konstipasi
atau impaksi fecal berat)
Proses intrakranial (mis: stroke, hematoma subdural, neoplasma,
infeksi)
Intoksikasi atau “withdrawal states” (mis: alkohol, dan obat lainnya)
Efek obat yang tidak diinginkan (mis: efek kolinergik sentral,
antihistamin)
Daftar kemungkinan penyebab termasuk kondisi yang biasa terjadi
pada lanjut usia ini kemungkinan tidak menyeluruh. Pada kebanyakan
kasus konfusi akut atau delirium, tidak mungkin untuk mengidentifikasi
atau memastikan penyebab tunggalnya. Lebih sering, mengidentifikasi
denga faktor-faltor multipel yang mengakibatkan, membatu ataupun
memperburuk konfusi.
Pada hakekatnya semua obat yang mempengaruhi fungsi SSP
mempunyai kemungkinan mengakibatkan konfusi:
Obat-obatan Sedatif atau hinoptik (mis: benzodiazepine,
barbiturat)
Analgesik (mis: opiat, OAINS?)
Penghambat histamin ( untuk gangguan GI, insomnia, pruritus,
alergi)
Agen antisekretorik ( obat-obatan yang menyerupai atropinik)
Antidiare
Agen inkontinensia
Antidepresan trisiklik
Antipsikotik ( mis: chlorpromazine, thioridazine, mesoridazine)
Obat-obatan antiaritmia (mis: lidokain, prokainamid)
obat-obatan antineoplasma
B. Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan
disfungsi hidup sehari-hari. Perjalanannya bertahap dan tidak ada
gangguan kesadaran. Biasanya dementia tidak didiagnosis karena
dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun
tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive
Impairment. Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi
dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
Mini Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan
pemeriksaan patologi. Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia
degeneratif primer/Alzheimer (50-60%), dementia multi infark (10-20%),
dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan gangguan lain
(5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan
keledai berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien,
mengenali dan mengatasi komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada
keluarga, dan nasihat pada keluarga.
3. Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor
kolin yang berakibat penurunan fungsi otonom.Beberapa gangguannya
adalah hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih,
gerakan esofagus dan usus besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak
20 mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2
menit.Hal ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup jantung dan
perpindahan darah ke posisi bawah tubuh.Biasanya tidak menimbulkan
gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat terjadi
adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks
akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat
hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson, CVD,
diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau
jatuh.Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi
farmakologis dapat menggunakan hormon mineralokortikoid,
simpatomimetik, atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison,
kafein, pindolol.
Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka
rentan mengalami hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia adalah
suhu inti tubuh > 40,6oC, disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium,
koma).Sementara itu hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di
bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari,
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal
dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan
urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma
medula spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan).
Inkontinensia dapat akut di saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi
dengan akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas
retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan
akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis,
Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output, Restricted
mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor
berlebih (over active bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow),
kegagalan uretra (stress type), atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder
training, pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang
digunakan dapat meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk
tipe urgensi/stres, α-adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin)
untuk tipe stres atau urgensi, estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres
atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), α-arendergik antagonis
(terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran prostat.
Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau
menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama
tingginya. Sebanyak 30% lansia ≥ 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi
jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem sensorik
(penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf
pusat, kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor
ekstrinsik seperti pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh
ada beragam, antara lain kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo,
hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik, antihipertensi, antidepresan
trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses penyakit
(aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack,
penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan
fraktur (terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko
meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan identifikasi semua faktor risiko
intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan keseimbangan
(tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus
ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana
jatuh adalah pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi
risiko terjadinya jatuh.
6. Kelainan tulang dan patah tulang
Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause
dan pria > 80 tahun menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula.
Kelainan tulang yang timbul dapat berupa osteoporosis, osteomalasia,
osteomielitis, dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3
jenis yang terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur
pergelangan tangan (colles), dan kolumna vertebralis (crush, multipel,
atau baji).
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit,
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada
suatu area secara terus menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi
darah setempat.Ulkus dekubitus terjadi terutama pada tonjolan
tulang.Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak
subkutan berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi
kapiler pada kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan jaringan
akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul iskemi dan nekrosis.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan
kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya
ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit,
mengurangi gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi
yang cukup, menjaga kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus
dekubitus adalah sepsis.
D. MANIFESTASI KLINIS GERIATRIC SYNDROME
1. Imobilisasi
- Kerusakan imobilisasi
a. Tidak mampu bergerak atau beraktifitas sesuai kebutuhan
b. Keterbatasan menggerakkan sendi
c. Adanya kerusakan aktivitas
d. Penurunan ADL dibantu orang lain
e. Malas untuk bergerak atau latihan mobilitas
- Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Ketidakmampuan bergerak dengan tujuan dalam lingkungan fisik
b. Kerusakan koordinasi
c. Keterbatasan rentang gerak
d. Penurunan kekuatan atau kontrol otot
2. Inkontinensia
a. Inkontinensia stress: keluarnya urin selama batuk, mengejan, dan
sebagainya.
b. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nokturnal: keluarnya urin saat tidur malam hari.
3. Demensia
a. Rusaknya seluruh jajaran fungsi kognitif
b. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek
c. Gangguan kpribadian dan perilaku (mood swings)
d. Defisit neurologi dan fokal
e. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi, dan kejang
f. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waha, dan paranoid
g. Keterbatasan dalam ADL
h. Kesulitan mengatur dalam penggunaan keuangan
i. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
j. Lupa meletakkan barang penting
k. Sulit mandi, makan, berpakaian, dan toileting
l. Mudah terjatuh dan keseimbangan buruk
m. Tidak dapat makan dan menelan
n. Inkontinensia urin
o. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi
p. Gangguan orientasi waktu dan tempat
q. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar
r. Ekspresi yang berlebihan
s. Adanya perubahan perilaku, seperti acuh, menarik diri, dan gelisah
4. Penumonia
a. Batuk nonproduktif
b. Nasal discharge (ingus)
c. Suara napas lemah
d. Retraksi intercosta
e. Penggunaan otot bantu nafas
f. Demam
g. Ronchi
h. Cyanosis
i. Leukositosis
j. Thorax photo menunjukkan infiltrasi melebar
k. Batuk
l. Sakit kepala
m. Kekakuan dan nyeri otot
n. Sesak nafas
o. Menggigil
p. Berkeringat
q. Lelah
r. Kulit lembab
s. Mual muntah
5. Konstipasi
a. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
b. Mengejan keras saat BAB
c. Massa feses yang keras dan sulit keluar
d. Perasaan tidak tuntas saat BAB
e. Sakit pada daerah rectum saat BAB
f. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
g. Menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
h. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
6. Depresi
a. Gangguan tidur
b. Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (puyeng), rasa nyeri,
pandangan kabur, gangguan saluran cerna,gangguan nafsu makan
(meningkat atau menurun), konstipasi, perubahan berat badan
(menurun atau bertambah).
c. Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atau
hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau
menurun, tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual
berubah (mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati
dan gejala biasanya lebih buruk di pagi hari.
d. Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia,
letupan menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah,
frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan
sosial, kehilangan kenikmatan & perhatian terhadap kegiatan yang
biasa dilakukan, banyak memikirkan kematian & bunuh diri, perasaan
negatif terhadap diri sendiri, persahabatan serta hubungan sosial.
7. Malnutrisi
a. Kelelahan dan kekurangan energi
b. Pusing
c. Sistem kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan tubuh
kesulitan untuk melawan infeksi)
d. Kulit yang kering dan bersisik
e. Gusi bengkak dan berdarah
f. Gigi yang membusuk
g. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat
h. Berat badan kurang
i. Pertumbuhan yang lambat
j. Kelemahan pada otot
k. Perut kembung
l. Tulang yang mudah patah
m. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh
8. Insomnia
a. Perasaan sulit tidur, bangun terlalu awal
b. Wajah kelihatan kusam
c. Mata merah, hingga timbul bayangan gelap di bawah mata
d. Lemas, mudah mengantuk
e. Resah dan mudah cemas
f. Sulit berkonsentrasi, depresi, ganggua memori, dan mudah
tersinggung
9. Immune Deficeincy
a. Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri
b. Diare kronik umum terjadi (sering disebut gastroenteritis)
c. Infeksi respiratorius dan oral thrushumum terjadi
d. Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
10. Impoten
a. Tidak mampu ereksi sama sekali atau tidak mampu mempertahankan
ereksi secara berulang (paling tidak selama 3 bulan).
b. Tidak mampu mencapai ereksi yang konsisten
c. Ereksi hanya sesaat dalam referensi tidak disebutkan lamanya)
E. PENATALAKSANAAN GERIATRIC SYNDROME
Dalam merawat dan menatalaksana pasien geriatri tercakup dua
komponen penting yakni pendekatan tim dan P3G yang merupakan bagian
comprehensive geriatric management (CGM). Pendekatan paripurna pasien
geriatri merupakan prosedur pengkajian multidimensi. Diperlukan instrumen
diagnostik yang bersifat multidisiplin untuk mengumpulkan data medik,
psikososial, kemampuan fungsional, dan keterbatasan pasien usia lanjut.
Pendekatan multidimensi berusaha untuk menguraikan berbagai masalah
pada pasien geriatri, mengidentifikasi semua aset pasien, mengidentifikasi
jenis pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan rencana asuhan
yang berorientasi pada kepentingan pasien. Pendekatan paripurna pasien
geriatri berbeda dengan pengkajian medik standar dalam tiga hal, yaitu fokus
pada pasien usia lanjut yang memiliki masalah kompleks; mencakup status
fungsional dan kualitas hidup; memerlukan tim yang bersifat interdisiplin
(Soedjono, 2007). Berikut beberapa penatalaksanaan secara umum sindrom
geriatrik, diantaranya :
1. Pemberian asupan diet protein, vitamin C,D,E, & mineral yang cukup.
Orang usia lanjut umumnya mengonsumsi protein kurang dari angka
kecukupan gizi (AKG). Penelitian multisenter di 15 propinsi di Indonesia
mendapatkan bahwa 47% usia lanjut mengonsumsi protein kurang dari
80% AKG. Proporsi protein yang adekuat merupakan faktor penting;
bukan dalam jumlah besar pada sekali makan. Hal penting lainnya adalah
kualitas protein yang baik, yaitu protein sebaiknya mengandung asam
amino esensial. Leusin adalah asam amino esensial dengan kemampuan
anabolisme protein tertinggi sehingga dapat mencegah sarkopenia.
Leusin dikonversi menjadi hydroxy-methyl-butyrate (HMB). Suplementasi
HMB meningkatkan sintesis protein dan mencegah proteolisis (Setiati et
al, 2013)
2. Pengaturan olah raga secara teratur. Perlu pemantauan rutin kemampuan
dasar seperti berjalan, keseimbangan, fungsi kognitif. Aktivitas fisik dapat
menghambat penurunan massa dan fungsi otot dengan memicu
peningkatan massa dan kapasitas metabolik otot sehingga memengaruhi
energy expenditure, metabolise glukosa, dan cadangan protein tubuh.
Resistance training merupakan bentuk latihan yang paling efektif untuk
mencegah sarkopenia dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang tua.
Program resistance training dilakukan selama 30 menit setiap sesi, 2 kali
seminggu (Waters et al, 2010). Aktivitas fisik tanpa asupan nutrisi yang
adekuat menyebabkan keseimbangan protein negatif dan menyebabkan
degradasi otot (Sullivan et al, 2009). Kombinasi resistance training
dengan intervensi nutrisi berupa asupan protein yang cukup dengan
kandungan leusin, khususnya HMB yang adekuat, merupakan intervensi
terbaik untuk memelihara kesehatan otot orang usia lanjut (Setiati et al,
2013)
3. Pencegahan infeksi dengan vaksin
4. Antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya pembedahan
elektif dan reconditioning cepat setelah mengalami stres dengan renutrisi
dan fisioterapi individual (Setiati et al, 2011)
5. Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang
disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-
obatan yang digunakan sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien
geriatri sulit dihindari dikarenakan oleh berbagai hal yaitu penyakit yang
diderita banyak dan biasanya kronis, obat diresepkan oleh beberapa
dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan
pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek
samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip
pemberian obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui
riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan obat sebelum
waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali obat yang
digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati
sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hati-hati
mengguakan obat baru (Setiati dkk., 2006).
Penatalaksanaan Resiko Jatuh:
a. Perhatikan penggunaan alat bantu melihat (kacamata) dan alat bantu
dengar (earphone)
b. Evaluasi dan ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Evaluasi kemampuan kognitif
d. Beri lansia alat bantu berjalan seperti hand rails, walkers, dsb
Penatalaksanaan Gangguan Tidur:
a. Tingkatkan aktifitas rutin setiap hari
b. Ciptakan lingkungan yang nyaman
c. Kurangi konsumsi kopi
d. Berikan benzodiazepine seperti Temazepam (7,5-15 mg)
e. Anti depresan seperti Trazadone untuk insomnia kronik
F. PENCEGAHAN GERIATRIC SYNDROME
Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya
kesehatan yaitu: peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), diagnosis
dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan.
1. Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung
untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya
promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan
dukungan klien, tenaga provesional dan masyarakat terhadap praktik
kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial. Upaya promotif di
lakukan untuk membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal serta mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang
perilaku hidup mereka.
Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut :
a. Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi
kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah,
meningkatkan penggunaan alat pengaman dan mengurangi
kejadian keracunan makanan atau zat kimia.
b. Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan
meningkatkan pengunaan sistem keamanan kerja.
c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk,
bertujuan untuk mengurangi pengunaan semprotan bahan-bahan
kimia, mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan pengolahan
rumah tangga terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi
kontaminasi makanan dan obat-obatan.
d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang
bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara
kebersihan gigi dan mulut.
2. Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia
sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi
kesehatan. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah: program
imunisasi, konseling, berhenti merokok dan minum beralkohol,
dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan sekitar rumah, manajemen
stres, penggunaan medikasi yang tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap
penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit
belum tampak secara klinis dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan
pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut: kontrol
hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening: pemeriksaan
rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala
penyakit dan cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan,
serta perawatan dengan perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien
rawat jalan dan perawatan jangka panjang.
3. Diagnosis dini dan Pengobatan
a. Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas
profesional dan petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan
melakukan tes dini, skrining kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju
Sehat (KMS) Lansia, memanfaatkan Buku Kesehatan Pribadi (BKP),
serta penandatangan kontrak kesehatan.
b. Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang
terjadi meliputi sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan,
pencernaan, urogenital, hormonal, saraf dan integumen.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi
konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia.
hlm. 1335-1340.
John EC, Vincent AC. Vision impairment and hearing loss among community
dwelling older American: implications for health and functioning. Am J of
Pub Health. 2004;94(5):823-9.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical
geriatris. 6th ed. New York, NY:McGraw-Hill.
Kelompok Studi Fungsi Luhur PERDOSSI. Konsensus pengenalan dini dan
penatalaksanaan demensia vaskuler. Edisi 2. Jakarta: Eisai; 2004; 1-7;
30; 40-41
Panita L , Kittisak S, Suvanee S, Wilawan H. 2011. Prevalence and recognition of
geriatri syndromes in an outpatient clinic at a tertiary care hospital of
Thailand. Medicine Department; Medicine Outpatient Department, Faculty
of Medicine, Srinagarind Hospital, Khon Kaen University, Khon Kaen
40002, Thailand. Asian Biomedicine.5(4): 493-497.
Pranarka, Kris. 2011. Simposium geriatric syndromes:revisited. Semarang:Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T. Prevalensi
geriatric giant dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang dirawat di
Indonesia: penelitian multisenter. In Rizka A (editor). Comprehensive
prevention & management for the elderly: interprofessional geriatric care.
Jakarta: Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2013:183.
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Yudho MN, Purwoko Y, et al. Profile
of nutrient intake in urban metropolitan and urban non-metropolitan
Indonesia elderly population and factors associated with energy intake:
multi-centre study. In press. 2013.
Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid
III.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative
disease in elderly: update in diagnostic & management. Jakarta;
Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2011:69-75.
Setiati S, Santoso B, Istanti R. Estimating the annual cost of overactive bladder in
Indonesia. Indones J Intern Med. 2006:38(4):189-92.
Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter JB, Ouslander JG. Tinetti
ME. Studenski S, High KP, Astana S (editors). Hazzard’s geriatric
medicine and gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-
57.
Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary,
exercise-related, and therapeutic interventions to prevent and treat
sarkopenia in adult patients: an update. Clinical Interventions in Aging.
2010(5):259-70.