Evans Syndrome

22
BAB I PENDAHULUAN Evans syndrome merupakan suatu keadaan kelainan imun yang ditandai adanya kombinasi Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) dan anemia hemolitik autoimun (AIHA) yang terjadi secara bersamaan atau bergantian, tanpa etiologi yang jelas. Kondisi ini umumnya berlangsung kronis dan ditandai eksaserbasi dan remisi. Evans syndrome ditegakkan bila penyebab lain sitopenia autoimun seperti kondisi rheumatologic, keganasan, sepsis dan sindrom imunodefisiensi telah disingkirkan. 1,2 Evans syndrome merupakan suatu diagnosis yang jarang dan angka kejadian yang pasti tidak diketahui. Evans syndrome pertama kali digambarkan pada tahun 1951 oleh Robert Evans ketika menyatakan bukti adanya hubungan antara acquired haemolytic anemia dan primary thrombocytopenic purpura. Syndrome ini dapat dialami baik laki-laki maupun perempuan, semua etnis dan semua usia. 1

description

Evans Syndrome

Transcript of Evans Syndrome

Page 1: Evans Syndrome

BAB I

PENDAHULUAN

Evans syndrome merupakan suatu keadaan kelainan imun yang ditandai

adanya kombinasi Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) dan anemia

hemolitik autoimun (AIHA) yang terjadi secara bersamaan atau bergantian, tanpa

etiologi yang jelas. Kondisi ini umumnya berlangsung kronis dan ditandai

eksaserbasi dan remisi. Evans syndrome ditegakkan bila penyebab lain sitopenia

autoimun seperti kondisi rheumatologic, keganasan, sepsis dan sindrom

imunodefisiensi telah disingkirkan.1,2

Evans syndrome merupakan suatu diagnosis yang jarang dan angka

kejadian yang pasti tidak diketahui. Evans syndrome pertama kali digambarkan

pada tahun 1951 oleh Robert Evans ketika menyatakan bukti adanya hubungan

antara acquired haemolytic anemia dan primary thrombocytopenic purpura.

Syndrome ini dapat dialami baik laki-laki maupun perempuan, semua etnis dan

semua usia. Pendekatan terapi hampir sama dengan AIHA dan ITP namun pada

pasien ini memiliki kejadian relaps yang sangat sering dan membutuhkan terapi

multi-agent.2

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai patofisiologi, manifestasi

klinis, diagnosis dan penatalaksanaan Evans syndrome.

1

Page 2: Evans Syndrome

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Evans syndrome merupakan suatu keadaan kelainan imun yang ditandai

adanya kombinasi Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) dan anemia

hemolitik autoimun (AIHA) yang terjadi secara bersamaan atau bergantian, tanpa

etiologi yang jelas. Kondisi ini umumnya berlangsung kronis dan ditandai

eksaserbasi dan remisi. Evans syndrome ditegakkan bila penyebab lain sitopenia

autoimun seperti kondisi rheumatologic, keganasan, sepsis dan sindrom

imunodefisiensi telah disingkirkan.1,2

SEJARAH

Evans syndrome pertama kali digambarkan pada tahun 1951 oleh Robert

Evans ketika menyatakan bukti adanya hubungan antara acquired haemolytic

anemia dan primary thrombocytopenic purpura. Pada 24 pasien yang berumur 3-

78 tahun, 4 anemia hemolitik disertai dengan trombositopenia namun tidak ada

purpura, 6 dengan trombositopenia purpura primer dengan sensitisasi eritrosit

namun tidak ada hemolisis dan 4 dengan hemolitik autoimun dan trombositopenia

purpura (pasien yang lain digambarkan memiliki acquired haemolytic anemia (10

orang) atau trombositopeni purpura (5 orang)). Observasi terhadap kesamaan

respon splenektomi mengarahkan Evans kemungkinan kelainan tersebut memiliki

etiologi yang sama. Acquired haemolytic anemia dikarenakan autoantibodi, Evans

2

Page 3: Evans Syndrome

memperkirakan trombositopenia memiliki kesamaan penyebab yaitu karena

autoantibodi terhadap trombosit, hipotesis ini didukung dengan adanya faktor

platelet-agglutin-acting di dalam serum. Anemia dan trombositopenia dicirikan

dengan variable onset, perjalanan penyakit dan respon terapi dan remisi spontan

dan eksasebasi yang sering.1

EPIDEMIOLOGI

Evans syndrome merupakan suatu diagnosis yang jarang dan angka

kejadian yang pasti tidak diketahui. Penelitian pada pasien dewasa dengan

imunositopenia dari tahun 1950 sampai 1958 termasuk 399 kasus AIHA dan 367

kasus trombositopenia, hanya enam dari 766 pasien mengalami Evans syndrome.

Syndrome ini dapat dialami baik laki-laki maupun perempuan, semua etnis dan

semua usia. Usia yang terdapat pada anak antara 5,5 – 7,7 tahun.3,4

PATOFISIOLOGI

Meskipun Evans syndrome diperkirakan akibat gangguan regulasi imun,

patofisologi yang pasti belum diketahui. Namun ada bukti yang menyatakan

bahwa Evans syndrome akibat kelainan imunitas seluler dan humoral.2

AIHA merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap

eritrosit sehingga umur erotrosit memendek. Perusakan ini terjadi melalui aktivasi

sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.5

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan

hancurnya membran eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai

3

Page 4: Evans Syndrome

dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan

melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi yang memiliki kemampuan

mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai

aglutinin tipe dingin karena antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida

pada permukaan eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut

aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan eritrosit pada suhu

tubuh.6

Pada aktivasi komplemen jalur klasik, reaksi diawali dengan aktivasi C1

suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan

kompleks imun antigen-antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis

reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2

menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan

memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan

konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang

mengaktifkan komplemen. C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d

dan C3g akan tetap berikatan dengan membran eritrosit dan merupakan produk

final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b,2b menjadi

C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a dan C5b

yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur

membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9.

Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran

transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan

ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.6

4

Page 5: Evans Syndrome

Jika sel darah merah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan

komplemen atau berikatan dengan komplemen namun tidak terjadi aktivasi

komplemen lebih lanjut, maka eritrosit tersebut akan dihancurkan oleh sel

retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan

eritrosit yang diperantarai sel immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-

FcR akan menyebabkan fagositosis.6

ITP merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun

yang mengakibatkan trombositopenia (<150.000/ul) oleh karena adanya

penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya

autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari IgG. Trombosit yang

diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien

dan hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag

jaringan. Adanya trombositopenia pada ITP akan mengakibatkan gangguan pada

sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular dan faktor

koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis

normal.7

Faktor pemicu produksi autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien

mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat

penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali

oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum

terbentuk pada tahap ini. Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan

dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg

kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi. Sel penyaji antigen tidak

5

Page 6: Evans Syndrome

hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari

glikoprotein trombosit yang lain. Sel penyaji antigen yang teraktivasi

mengekspresikan peptide baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi

dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell

clone 1 dan spesifisitas tambahan (T cell clone 2). Reseptor sel immunoglobulin

sel B yang mengenali antigen trombosit dengan demikian akan menginduksi

proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan juga meningkatkan

produksi anti-glikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1.7

Penelitian pada 6 orang anak ditemukan penurunan kadar sel T4 (T-

helper), peningkatan T8 (T-supresor) dan rasio T4:T8 menurun dibandingkan

dengan kontrol normal dan pasien dengan ITP kronik. Pasien anak umur 12 tahun

ditemukan penurunan rasio CD4:CD8 meskipun jumlah limfosit CD4 dan CD8

berkurang bahkan setelah splenektomi. Juga ditemukan peningkatan produksi

interleukin-10 dan interferon-γ yang mengakibatkan aktivasi autoreaktifitas,

antibody-producing B cells. Kelainan imunitas seluler tidak jelas karena mereka

juga ditemukan pada kondisi autoimun yang lain dan berhubungan dengan infeksi

virus dan tidak spesifik Evans syndrome.1

6

Page 7: Evans Syndrome

Gambar 1. Patogenesis Penyebaran Epitop pada ITP

MANIFESTASI KLINIS

Pasien dapat bergejala seperti AIHA atau ITP. Neutropenia terjadi pada

55% pasien atau pansitopenia. Terjadinya sitopenia kedua pada beberapa bulan

sampai beberapa tahun setelah sitopenia akibat rekasi imun yang pertama. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan pucat, ikterik, tanda-tanda gagal jantung pada kasus

yang parah, petekie, perdarahan mukokutaneus, limfadenopati, hepatomegali

dan/atau splenomegali yang mengakibatkan nyeri abdomen. Kondisi

limfadenopati dan organomegali dapat bersifat kronik atau intermiten dan pada

7

Page 8: Evans Syndrome

beberapa kasus hanya muncul pada episode eksaserbasi akut. Urin berwarna gelap

karena terjadi hemoglobinuri.3,4

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan darah lengkap sebagai sarana konfirmasi sitopenia dan

apusan darah tepi dapat menunjukkan adanya polikromasia dan sferosit, dan dapat

menyingkirkan diagnosis lain seperti keganasan, microangiopathic haemolytic

anemia, hemolitik kongenital dan kondisi trombositopenia. Gambaran adanya

hemolisis dapat terlihat dari peningkatan jumlah retikulosit, hiperbilirubinemia

yang tidak terkonjugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin dijumpai di

bawah 7 g/dl. Direct Antiglobulin Test (DAT)/ Direct Coomb’s Test sebagian

besar menunjukkan hasil positif, bahkan jika tidak ditemukan anemia hemolitik,

dan IgG dan/atau C3 positif. Antibodi antiplatelet dan antibodi antigranulosit

dapat positif, namun hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis.3,4

Gambar 2. Morfologi Darah Tepi ditemukan Mikrosferosit dan Sel Polikromatik

8

Page 9: Evans Syndrome

DIAGNOSIS BANDING

SLE, defisiensi IgA, CVID (Common Variable Immunodeficiency),

acquired immunodeficiency syndrome, ALPS, PNH (Paroxysmal Nocturnal

haemoglobinuria), acquired thrombotic thrombocytopenia purpura, defisiensi

ADAMTS-13, haemolytic uremic syndrome (HUS) dan Kasabach-Merritt

syndrome.1,2

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana Evans syndrome masih merupakan suatu tantangan. Terapi

lini pertama ialah kortikosteroid dan/atau immunoglobulin intravena (IVIG). Pada

kondisi akut yang mengancam jiwa, transfusi dapat diberikan. Dosis prednisolon

1-4 mg/kg/hari, metilprednisolon IV 30 mg/kg/hari selama 3 hari kemudian 20

mg/kg/hari selama 4 hari, kemudian tiap 1 minggu diturunkan menjadi 10,5,2,1

mg/kg/hari. Steroid akan menurunkan kosumsi antibody-coated platelet oleh

limpa dan sumsum tulang, menurunkan produksi antibodi, dan meningkatkan

produksi trombosit, menurunkan protein reseptor Fcr pada makrofag.7

Bagi pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi steroid

dapat diberikan IVIG. Pemberian IVIG 0,4 g/kg/hari selama 4 hari, bahkan

beberapa ahli menyarankan 5 g/kg untuk meningkatkan respon pada AIHA.

Pemberian berulang monoterapi IVIG atau kombinasi dengan steroid

menunjukkan hasil yang baik. Juga pada anak di bawah dua tahun, dimana

pemberian steroid dapat menyebabkan supresi imun dan gangguan pertumbuhan.

IVIG bersifat menghambat reseptor Fc sel retikuloendotelial, supresi produksi

9

Page 10: Evans Syndrome

antibodi. Sebagian besar pasien akan mengalami relaps jika terapi dihentikan

sehingga memerlukan terapi lini kedua.8

Terapi lini kedua berupa agen imunosupresi (siklosporin, mycophenolate

mofetil dan danazol), antibodi monoklonal: rituximab dan kemoterapi

(vincristine). Splenektomi juga merupakan terapi lini kedua. Penggunaan terapi

lini kedua berdasarkan kriteria klinis, umur pasien, keparahan penyakit dan

riwayat perjalanan penyakit yang berhubungan dengan efek samping terapi.1

Gambar 3. Tatalaksana Evans Syndrome

Siklosporin untuk Evans syndrome ialah 5-10 mg/kg/hari diberikan dua

kali sehari. Siklosporin digunakan sebagai pendekatan multi-agent, protocol

menurut Scaradavou dan Bussel tahun 1995:1,2

I. steroid + IVIG

II. pulsed IV steroid, IVIG, vincristine IV dan danazol oral

10

Page 11: Evans Syndrome

III. oral siklosporin (5-6 mg/kg/hari)

Williams dan Boxer tahun 2003 mengobati 4 orang anak dengan Evans

syndrome yang refrakter dengan pemberian steroid dan IVIG, sehingga diberikan

vincristine (1,5 mg/m2/minggu) dan metilprednisolon (100 mg/m2/minggu) sampai

jumlah trombosit >50x109/L yang diberikan bersama oral siklosporin 5-7 mg/kg

dua kali sehari. Hasilnya tiga dari empat anak mencapai respon komplit setelah 4-

12 bulan terapi.9

Mycophenolate mofetil (MMF) suatu inhibitor poten inosine

monophosphate dehydrogenase, menghambat proliferasi limfosit. Dosis yang

diberikan 500 mg dua kali sehari, setelah dua minggu dosis dinaikkan menjadi 1

gram dua kali sehari. Obat ini digunakan jika tidak efektif dengan terapi

siklosporin.1,2

Vincristine menghambat microtubule-dependent. Vincristine diberikan 1,5

mg/m2/minggu IV selama 3 minggu. Digunakan sebagai terapi multi-agent

bersama dengan imunosupresan yang lain.7

Rituximab merupakan antibodi monoklonal dengan target CD20 pada

limfosit B, dapat diberikan 375 mg/m2/dosis, pemberian 4 kali (1 kali tiap

minggu). Remisi parsial dan remisi komplit terjadi 40%, sedangkan remisi minor

terjadi 12%. Efek samping terapi ini antara laindemam, mual, hipotensi.10

Splenektomi sebagai terapi lini kedua pada pasien yang tidak berespon

atau mengalami relaps terhadap pemberian terapi standar steroid dan IVIG.

Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran eritrosit. Hemolisis

masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah

11

Page 12: Evans Syndrome

eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih banyak untuk menimbulkan

kerusakan eritrosit yang sama. Splenektomi tidak boleh dilakukan pada anak <6

tahun.1,7

Terapi lini ketiga digunakan untuk pasien dengan penyakit yang sangat

parah, relaps setelah terapi lini kedua. Agen yang digunakan siklofosfamid,

alemtuzumab atau stem cell transplantation (SCT). Bagi pasien dewasa tua SCT

bukanlah pilihan karena mortalitas yang tinggi dan angka kegagalan pada Evans

syndrome, namun bagi pasien anak-anak dengan relaps kronik dan keadaan

mengancam nyawa. SCT dari human leucocyte antigen (HLA) merupakan suatu

pilihan yang memberikan prospek yang nyata.1

Siklofosfamid menginduksi remisi trombositopenia pada pasien refrakter

dengan dosis 1-2 mg/kg/hari selama 2-3 bulan. Alemtuzumab merupakan antibodi

monoklonal IgG yang spesifik terhadap antigen CD52 pada limfosit T dan B,

monosit, dan eosinofil. Alemtuzumab diberikan dengan dosis 10 mg/hari selama

10 hari melalui infus intravena. Haemopoietic stem cell transplantation (SCT).

Autolog dan allogenik SCT telah digunakan pada beberapa orang pasien dengan

Evans syndrome dan 50% pasien tersebut bertahan hidup dengan remisi

komplit.1,7

12

Page 13: Evans Syndrome

Gambar 4. Pendekatan Terapi ITP

Pada umumnya obat yang digunakan untuk terapi awal ITP menghambat

terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg

pada makrofag jaringan. Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian

mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel T dan sel B yang

terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat pula

meningkatkan produksi trombosit dengan cara mengalangi kemampuan makrofag

dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin

13

Page 14: Evans Syndrome

berperan merangsang progenitor megakariosit. Beberapa imunosupresan

nonspesifik seperti siklosforin bekerja pada tingkat sel T. Antibodi monoklonal

terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi

molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T makrofag dan interaksi sel

T dan sel B yang terlibat dalam produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang

mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian.

Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma. Transfusi

trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan.7

PROGNOSIS

Evans syndrome memiliki episode rekuren relaps dan remisi baik untuk

ITP maupun AIHA. Episode terjadinya ITP lebih sering dibandingkan AIHA.

Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar

memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik. Penyebab kematian pada

pasien ialah akibat perdarahan atau sepsis.6

14

Page 15: Evans Syndrome

BAB III

PENUTUP

Pendekatan terapi hampir sama dengan AIHA dan ITP namun pada pasien

ini memiliki kejadian relaps yang sangat sering dan membutuhkan terapi multi-

agent. Terapi lini pertama digunakan untuk kondisi akut dapat diberikan

kortikosteroid dan IVIG. Terapi lini kedua dapat digunakan multi-agent,

siklosporin, MMF dan rituximab. Splenektomi hanya memberikan respon jangka

pendek namun dapat menurunkan terjadinya relaps. Stem Cell Transplantation

(SCT) dilakukan pada kasus yang sangat parah dan bersifat refrakter. Allogenic

SCT lebih baik jika dibandingkan autolog SCT namun keduanya memiliki risiko

morbiditas dan mortalitas akibat reaksi transplantasi. Terapi dengan dosis tinggi

dan dukungan stem cell memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.

15