Post on 06-Aug-2015
Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi, timbul segera sesudah
terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Urutan kejadian
reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor
spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast
maupun basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh karena
ikatan silang antara antigen dengan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang
di lepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.1
Alergen dipresentasikan ke sel
T CD4+ naïve oleh sel dendritik
(yang menangkap alergen dari
tempat masuknya:selaput lendir
hidung,paru,konjungtiva). Sel T
kemudian berubah menjadi sel
Th2. Sel T CD4+ ini berperan
penting dalam patogenesis
hipersensitivitas tipe I karena
sitokin yang disekresikannya
(khususnya IL-4 dan IL-5)
menyebabkan diproduksinya IgE
oleh sel B, yang bertindak
sebagai faktor pertumbuhan
untuk sel mast, serta merekrut
dan mengaktivasi eosinofil.
Antibodi IgE berikatan pada
reseptor Fc berafinitas tinggi
(Fcε-R1) yang terdapat pada sel
mast dan basofil; begitu sel mast
dan basofil “dipersenjatai”,
individu yang bersangkutan
diperlengkapi untuk
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan
pertautan-silang antara antigen dengan IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel
sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan
mediator sekunder untuk fase lambat.2
Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan
awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamine merupakan komponen utama granul sel mast . histamine yang
merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamine (H1,H2,H3,H4)
dengan distribusi yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine akan menunjukkan berbagai
efek, yaitu meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi
mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan
dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan
kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan
(misalnya, C3a).2
Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui
aktivitas fosfolipase A2, yang memecah fosfolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat.
Selanjutnya asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.
Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekusor asam arakhidonat dan sangat penting
pada patognesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik
yang dikenal paling poten, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan
permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat
kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast.
Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit,
pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator
ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan
eosinofil.meskipun produksinya diawali oleh
aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan
produk metabolisme asam arakhidonat.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-
1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF
merupakan mediator yang sangat poten dalam
adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga
merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan
diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE
oleh sel B. IL-5 mengaktifkan eosinofil.1,2
Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis,
vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi
hipersensitivitas tipe 1. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan
bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis
sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel
radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga
menyebabkan kerusakan epitel setempat.
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini
ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin)
secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan
penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan
diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk
tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik yang terlokalisasi. Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang
terlokalisasi sepertinya dikendalikan secara genetic dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan
kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi semacam itu. Pasien yang menderita alergi nosobronkial
sering kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti
secara jelas, namun suatu studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q
yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.2
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Secara klinis reaksi ini menyerupai
reaksi tipe 1 yaitu syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, dlltetapi tidak berdasarkan atas reaksi
imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, penisilin, pelemas otot,
dll.1
Alergi Pseudoalergi (anafilaktoid)
Perlu sensitasi Tidak perlu sensitasi
Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada pajanan pertama
Jarang (<5%) Sering (>5%)
Gejala Klinis khas Gejala tidak khas
Dosis pemicu kecil Tergantung dosis
Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga