Post on 08-Aug-2015
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK JIWA
SKENARIO 1
GANGGUAN PSIKOTIK SKIZOFRENIA, FAKTOR RESIKO
SERTA PENATALAKSANAANNYA
Disusun Oleh
Kelompok 18:
Annisa Pertiwi G0010024 M. Maulana Shofri G0010116
Aryo Seno G0010030 Maulidina Kurniawati G0010122
Chumaidah Nur Aini G0010044 Nurul Dwi Utami G0010144
Endang Susilowati N G0010072 Rukmana Wijayanto G0010170
Firza Fatchya G0010082 Wahyu Aprillia G0010194
TUTOR:
Arsita Eka P., dr., M.Kes.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
Sdr. A, 18 tahun, laki-laki, pelajar SMU kelas III, dibawa ke UGD Rumah
Sakit Jiwa oleh kedua orang tuanya karena tampak bingung, sering
mondar-mandir dan bila diajak bicara sering tidak sambung. Dari
pemeriksaan status mental diketahui bahwa pasien mengalami halusinasi
auditorik dan thought insertion. Pasien juga merasa dimusuhi oleh teman-
teman dan tetanggannya. Menurut orang tuanya, saat ini pasien sedang
mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir nasional, sehingga
mereka menduga pasien mengalami stress yang berat. Dari riwayat
keluarga diketahui bahwa adik laki-laki ibunya juga pernah mengalami
gangguan serupa.
B. Rumusan Masalah
a. Apa saja jenis gangguan kejiwaan? Apa penyebab dari gangguan jiwa
tersebut?
b. Bagaimanakah kriteria seseorang dapat disebut mengalami gangguan
kejiwaan?
c. Apakah definisi kelainan organik dan psikotik dan bagaimana
membedakannya?
d. Apakah stress dapat menyebabkan gangguan kejiwaan? Apa saja
macam stres?apakah terdapat tingkatan stress?
e. Bagaimanakah manajemen stress? Mengapa tiap orang berbeda-beda
dalam menghadapi stress?
f. Bagaimana penjelasan simtom gangguan kejiwaan pada kasus?
g. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus kejiwaan?
h. Apa saja yang dapat dijadikan diagnosis banding?
i. Apa saja yang menjadi faktor resiko?
j. Apakah terdapat hubungan antara riwayat penyakit keluarga dg
penyakit sekarang?
k. Bagaimana Prognosis pasien dan terapi apakah yang harus diberikan?
l. Apa komplikasi yang dapat diderita oleh pasien?
C. Tujuan
a. Dapat mengetahui macam gangguan kejiwaan dan penyebabnya
b. Dapat mengetahui kriteria seseorang dapat disebut mengalami
gangguan kejiwaan
c. Dapat mengetahui definisi kelainan organik dan psikotik dan
bagaimana membedakannya
d. Dapat mengetahui efek stress, macam, tingkatan, dan manajemen
stress
e. Dapat mengetahui simtom gangguan kejiwaan
f. Dapat mengetahui cara penegakkan diagnosis, diagnosis banding,
faktor risiko, riwayat penyakit dahulu, prognosis, terapi, dan
komplikasi pada pasien dalam kasus ini
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stress
1. Definisi
Stress adalah respon seseorang pada suatu hal atau suatu kejadian
yang mengancam atau menantang individu tersebut. Sedangkan suatu hal
atau suatu kejadian yang menimbulkan stress disebut dengan stressor
(Feldman, 2009).
Kehidupan manusia dipenuhi dengan kondisi stress. Meskipun
demikian, munculnya stress dapat bervariasi pada masing-masing orang dan
bersifat sangat personal dan dipengaruhi oleh multifaktor. Faktor-faktor itu
di antara lain persepsi, interpretasi, dan peran seseorang dalam suatu
hal/kejadian yang berpotensi menjadi stressor (Feldman, 2009).
Stressor yang berupa kejadian-kejadian dalam hidup dapat
dikategorikan menjadi:
a. Cataclysmic events
Merupakan stressor yang kuat, muncul tiba-tiba, dan
mempengaruhi banyak orang. Contohnya adalah bencana alam dan
kondisi konflik. Akan tetapi, terdapat perbedaan dari kedua contoh
tersebut. Pada kejadian bencana alam, munculnya stress cenderung
tidak setinggi kondisi konflik. Hal ini disebabkan oleh pada
kejadian bencana alam, terdapat resolusi yang jelas, sehingga
orang-orang dapat kembali memandang ke masa depan karena
kejadian yang buruk telah terlewati. Selain itu juga rasa simpati
antarindividu dapat lebih terbentuk, sehingga ada fungsi sosial
yang mengurangi stressor.
b. Personal stressors
Stressor personal melibatkan kejadian-kejadian pada hidup yang
khusus, seperti meninggalnya anggota keluarga, kehilangan
pekerjaan, bahkan hal positif seperti pernikahan. Biasanya respon
stress yang timbul bersifat sedang, namun cenderung membaik
seiring berjalannya waktu.
c. Background stressors
Merupakan stressor yang ringan dan biasa terjadi pada kehidupan
sehari-hari dan dapat menimbulkan stress ringan. Akan tetapi,
dapat pula timbul efek merugikan jangka panjang apabila
berlangsung dalam jangka waktu lama dan stressor yang beragam.
2. General Adaptation Syndrome Model
General adaptation syndrome model (GAS) adalah suatu model yang
mengilustrasikan tahap-tahap dari efek stress jangka panjang pada suatu
individu. Penggagasnya adalah Hans Seyle. Model ini mengemukakan
bahwa respon fisiologis terhadap stress terdiri dari suatu pola tertentu tanpa
memperhatikan sumber stressornya. Fase-fase dari (GAS) terdiri dari:
a. Alarm and mobilization
Muncul ketika seseorang menyadari adanya suatu stressor. Pada
tahap ini sistem saraf simpatis menajdi aktif, hal ini membantu
individu untuk menangani stressor yang ada.
b. Resistance (adaptation to stress)
Apabila stressor tetap ada, maka individu akan menginjak tahap
kedua, resistensi. Pada tahap ini, tubuh akan bersiap untuk
menghadapi stressor tersebut (Feldman, 2009), dikarakterisasikan
oleh adanya sekresi hormon atau zat-zat kimia tertentu (Jiloha dan
Bhatia, 2010).
c. Exhaustion
Merupakan tahap terakhir dari GAS, dimana kemampuan individu
untuk beradaptasi terhadap stressor menurun menuju suatu titik
dimana muncul konsekuensi negatif dari stress, dapat berupa
keluhan fisik dan gejala psikologis (tidak dapat berkonsentrasi,
perasaannya menjadi lebih sensitif, atau pada tingkat yang lebih
lanjut dapat muncul disorientasi dan lepas dari realitas) (Feldman,
2009).
Apabila seseorang telah mencapai tahap exhaustion, hal ini dapat
menjadi suatu proses pemulihan diri, dimana keluhan yang muncul akan
‘memaksa’ individu untuk lepas dari stressor, hal ini akan memberikan
waktu untuk mengurangi stress yang muncul.
3. Stress dan Psikoneuroimmunologi
Psikoneuroimmunologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antara faktor psikologis, sistem imun, dan otak. Konsekuensi stress pada
tubuh dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Efek fisiologis langsung, seperti meningkatnya tekanan darah,
menurunnya fungsi sistem imun, meningkatnya aktivitas hormon,
dan munculnya kondisi psikofisiologis.
b. Kecenderungan melakukan kegiatan yang membahayakan
kesehatan, seperti meningkatnya kebiasaan merokok dan konsumsi
minuman beralkohol, menurunnya asupan gizi, kurang tidur, dan
meningkatnya penggunaan obat.
c. Sikap yang berkaitan tidak langsung dengan kesehatan, seperti
berkurangnya kepatuhan terhadap pengobatan, penundaan untuk
berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, dan kurangnya minat
untuk menemui tenaga kesehatan (Feldman, 2009).
Stress dapat mempengaruhi sistem imun karena adanya pergantian
fungsi dari sistem imun, dimana sistem imun mendapat stimulasi berlebihan.
Hal ini menyebabkan sistem imun yang seharusnya menghadapi patogen
yang memasuki tubuh menjadi menyerang tubuh itu sendiri dan merusak
jaringan tubuh yang sehat. Selain itu juga respon sistem imun akan
menurun, mempermudah terjadinya infeksi dan penyebaran dari sel tumor
(Feldman, 2009).
4. Manajemen Stress dan Mekanisme Koping Stress
Mekanisme koping stress adalah suatu usaha untuk mengontrol,
mengurangi, atau belajar untuk menoleransi suatu ancaman yang
menyebabkan stress. Mekanisme ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Koping yang berfokus pada emosi, dimana individu akan mencoba
untuk mengatur emosinya dalam menghadapi stress, berusaha
untuk mengubah perasaan yang dialaminya tentang suatu masalah.
b. Koping yang berfokus pada masalah, dimana individu akan
berusaha untuk memodifikasi masalah atau sumber yang
menyebabkan stress (Feldman, 2009).
Terdapat pula mekanisme koping lainnya yang tidak sesuai untuk
menghadapi stress karena mekanisme koping ini cenderung menghindari
kenyataan dan masalah, bukannya menghadapi dan menyelesaikan
masalahnya, seperti:
a. Avidant coping, dimana individu akan cenderung menghindari
stressor. Hal ini bisa dilakukan dengan berharap sesuatu yang
cenderung ‘mustahil’, atau dengan mengonsumsi obat, meminum
minuman beralkohol, atau makan berlebihan.
b. Defense mechanism, dimana individu akan berusaha untuk
mengurangi kecemasan dengan menyembunyikan stressor dari
dirinya sendiri dan orang lain. Mekanisme ini akan memberi
kesempatan individu tersebut untuk menghindari stress dengan
berpura-pura bahwa stressor itu tidak ada.
c. Emotional insulation, dimana individu berhenti merasakan emosi
apapun, sehingga individu tetap tidak akan terpengaruh dan
tergerak oleh suatu pengalaman positif maupun negatif (Feldman,
2009).
Orang-orang yang berhasil menghadapi stress adalah orang-orang
dengan hardiness (ketabahan hati, ketahanan, daya tahan). Orang-orang
dengan sifat ini memandang stress dengan sikap yang optimis dan
mengambil suatu tindakan untuk mengatasi stressor. Hardiness ini terdiri
dari tiga komponen, yaitu:
a. Komitmen, yaitu tendensi untuk bersikap total dalam apapun yang
sedang individu itu lakukan disertai dengan perasaan dan
keyakinan bahwa apa yang dilakukan itu penting dan berarti.
b. Tantangan. Orang-orang dengan hardiness yakin bahwa
perubahan adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan. Bagi
mereka, perubahan bukanlah suatu ancaman bagi kehidupan
mereka.
c. Kontrol, yaitu persepsi bahwa individu tersebut dapat
mempengaruhi kejadian-kejadian dalam hidupnya.
Pada orang-orang yang menghadapi masalah yang sangat berat, hal
utama dalam pemulihan psikologis adalah derajat dari resilience. Resilience
adalah kemampuan untuk tetap bertahan, mengatasi, dan berkembang
setelah mengalami kemalangan yang sangat besar (Feldman, 2009).
Terdapat lima keterampilan untuk manajemen stress, yaitu:
a. Self Observation
Observasi diri penting dalam memahami penyebab dari stress
dalam hidup. Selain itu juga memberikan pandangan tentang
bagaimana diri bereaksi terhadap stress dan membantu
mengidentifikasi pada tingkat stress mana yang dapat ditangani.
b. Cognitive Restructuring
Kemampuan kognitif berperan penting dalam stress dan proses
koping. Terapi sikap kognitif dapat membantu individu untuk
menyadari dan dapat mengubah pikiran, keyakinan, dan ekspektasi
yang mempersulitt adaptasi.
c. Relaxation Training
Kemampuan seseorang untuk menenangkan diri sangat penting
dalam manajemen stress. Orang dengan kemampuan relax yang
baik akan dapat berfikir dengan lebih rasional dan mampu untuk
merestrukturisasi kognisi yang negatif ketika dihadapkan dengan
kejadian yang memicu stress.
d. Time Management
Hal ini penting dalam menentukan prioritas, sehingga individu
dapat belajar untuk memfokuskan diri dalam tanggung jawab yang
paling penting dan paling urgent. Selain itu juga mencegah
individu untuk terlarut dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak
penting dan tidak urgent (prioritas terendah). Hal ini akan
membantu individu untuk menjaga beban kerjanya lebih
terkontrol.
e. Problem Solving
Pemecahan masalah meliputi beberapa tahap, yaitu identifikasi
masalah, menciptakan beberapa alternatif, dan mengevaluasi
alternatif yang ada kemudian menemukan solusi terbaik (Jiloha
dan Bhatia, 2010).
B. Skizofrenia
1. Definisi
Merupakan sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis atau
deteorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (PPDGJ III,2003)
Pada umunya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciusness) dan kemampuan intelektual biasanyan tetap terpelihara,
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian
(PPDGJ III,2003).
2. Gejala-gejala
a. Penampilan umum dan Perilaku Umum
Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas pada
skizofrenia. Beberapa bahkan dapat berpenampilan dan berperilaku
“normal”. Pasien dengan skizofrenia kronis cenderung menelantarkan
penampilannya.
b. Gangguan Pembicaraan
Inti gangguan pada skizofrenia terdapat pada proses pikiran,
yang terganggu utama adalah asosiasi. Terdapat asosiasi longgar
berarti tidak adanya hubungan antar ide. Kalimat-kalimatnya tidak
saling berhubungan. Bentuk yang lebih parah adalah inkoherensi.
Tidak jarang terdapat asosiasi bunyi karena pikiran sering tidak
mempunyai tujuan tertentu. Hal ini menyebabkan perjalanan pikiran
pada pasien skizofrenia sulit untuk diikuti dan dimengerti.
Kadang-kadang pasien dengan skizofrenia membentuk kata-
kata baru untuk menyatakan arti yang hanya dipahami oleh dirinya
sendiri atau yang dikenal dengan neologisme. Pada pasien dengan
skozofrenia ketatonik sering tampak mutisme.
c. Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada pasien skizofrenia
adalah gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh gelisah
(excitement). Gangguan perilaku lain adalah stereotipi (berulang-
ulang melakukan suatu gerakan) dan manerisme (stereotipi tertentu
pada skizofrenia yang dapat dilihat dalam bentuk grimas pada
mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan).
d. Gangguan Afek
1) Kedangkalan respon emosi , misalnya penderita
menjadi tak acuh terhadap hal yang penting bagi
dirinya sendiri.
2) Parathimi, apa yang seharusnya menimbulkan rasa
senang dan
gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
3) Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan
tetapi dia
menangis.
a. Yang penting dari skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk
mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena
itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.
b. Gangguan Persepsi
Pada skizofrenia gangguan persepsi yang sering muncul adalah
halusinasi, khususnya halusinasi pendengaran (auditorik atau
akustik). Halusinasi penglihatan (optik) agak jarang pada skizofrenia,
lebih sering pada psikosis akut yang berhubungan dengan sindrom
otak organik.
c. Gangguan Pikiran
Gangguan pikiran yang sering muncul adalah waham. Pada
skizofrenia waham sering tidak logis dan sangat bizar. Penderita tidak
menginsafi hal ini dan baginya wahamnya merupakan fakta yang
tidak dapat diubah oleh siapapun.
(Maramis,2009)
3. Jenis-Jenis Skizofrenia
a. Skizofrenia Paranoid
Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai
dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan
yang teliti terdapat gangguan proses berpikir, gangguan afek, emosi dan
kemauan. Jenis skizofrenia ini sering muncul setelah umur 30 tahun.
Permulaanya mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian
penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid. Mereka
mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak dan kurang percaya
pada orang lain.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Permulaanya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality.
Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologism atau perilaku
kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik. Terdapat
waham dan halusinasi.
c. Skizofrenia Ketatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya
akut sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh-
gelisah katatonik atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Simpleks
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali.
Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan
keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
e. Skizofrenia Residual
Jenis ini merupakan jenis kronis dari skizofrenia dengan riwayat
sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang
ke arah gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari
kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek, pasif dan
tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekpresi non verbal yang
menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
(Maramis, 2009)
4. Penegakan Diagnosis
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang jelas :
1) Thougth echo (isi pikiran dirinya sendiri yang berulang dan bergema
dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda), Thought insertio/withdrawl (isi pikiran yang asing
dari luar masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya), Thougth broadcasting (isi pikirannya tersiar
keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya)
2) Delusion of control (waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu
dari luar), Delusion of influence (waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar), Delusion of passivity (waham tentang
dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar),
Delusional perception (pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat).
3) Halusinasi auditorik
4) Waham-waham lain yang menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dinaggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.
b. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
1) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja
2) Inkoherensi
3) Perilaku katatonik
4) Gejala-gajala negatif
c. Adanya gejala-gejala tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal)
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseleruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, tujuan hidup, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri
sendiri dan penarikan diri secara sosial.
(PPDGJ III,2003)
5. Terapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah : pertama
untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan
(Maramis,2009).
Prinsip-prinsip terapi :
a. Tentukan target gejala
b. Gunakan AP (antipsikotik) yang telah terbukti di masa lalu
c. Gunakan AP yang minim efek samping
d. Lama uji coba AP : 4-6 minggu, bila gagal, coba dengan AP lain.
e. Single drug
f. Pertahankan pada dosis efektif yang terendah.
Indikasi rawat inap di RS : diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan
pasien dan lingkungan.
Terapi somatik : Psikofarmaka dan Non psikofarmaka
Terapi psikososial : terapi perilaku, keluarga, kelompok dan psikoterapi
individual
Terapi Psikofarmaka : Antipsokotik (AP)
a. AP golongan I (klasik / konvensional) : antagonis reseptor dopamin
b. AP golongan II (Atipik) : antagonis reseptor dopamin 2 (D2) dan
serotonin 2 (5-HT2), misal : Haloperidol, Clozapine , Olanzapine
C. Skizoafektif SKIZOAFEKTIF
1. Definisi
Seperti yang diartikan oleh istilahnya, gangguan skizoafektif memiliki
cirri baik skizofrenia dan gangguan afektif (sekarang disebut gangguan
mood). Kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif telah berubah
seiring dengan berjalannya waktu, sebagian besar karena perubahan kriteria
untuk skizofrenia dan gangguan mood. Terlepas dari sifat diagnosis
yangdapat berubah, diagnosis ini tetap merupakan diagnosis yang terbaik
bagi pasien yang sindromaklinisnya akan terdistorsi jika hanya dianggap
skizofrenia atau hanya suatu gangguan mood saja. (Shadock,2003)
3. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif adalah kurang
dari 1 persen,kemungkinan dalam rentang 0,5 sampai 0,8 persen. Tetapi
angka tersebut adalah angka pekiraan,karena berbagai penelitian terhadap
gangguan skizoafektif telah menggunakan kriteria diagnostik yang
bervariasi. Prevalensi gangguan telah dilaporkan lebih rendah pada laki-
laki dibandingkan wanita, khususnya wanita yang menikah. Usia onset
untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki. Laki-laki
dengan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku antisosial dan
memiliki pendataran atau ketidaksesuaian afek yang nyata.
(Shadock,2003)
4. Gejala Klinis
Tanda dan gejala kinis gangguan skizoafektif adalah termasuk
semua tanda dan gejala skizofrenia, episode manik, dan gangguan
depresif. Gejala skizofrenik dan gangguan mood dapat ditemukan
bersama-sama atau dalam cara yang bergantian. Perjalanan penyakit dapat
bervariasi dari satu eksaserbasi dan remisi sampai satu perjalanan jangka
panjang yang memburuk. Banyak peneliti dan klinisi berspekulasi tentang
ciri psikotik yang tidak sesuai dengan mood (mood-incongruent), isi
psikotik (yaitu halusinasi atau waham) adalah tidak konsisten dengan
mood yang lebih kuat. Pada umumnya adanya ciri psikotik yang tidak
sesuai dengan mood pada suatu gangguan mood kemungkinan merupakan
indikator dari prognosis yang buruk. Hubungan tersebut kemungkinan
berlaku untuk gangguan skizoafektif, walaupun data-datanya terbatas.
(Shadock,2003).
5. Kriteria Diagnosis
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol
pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari
yang satu sesudah yang lain, dalam episode penyakit yang sama, bilamana,
sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria
baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif. Tidak dapat
digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda. Bila
seseorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, diberi diagnosis F20.4 (Depresi pasca-
skizofrenia)
(PPDGJ III,2003)
Skozoafektif dibagi menjadi 2 tipe yanitu tipe manik dan tipe depresif.
Gejala manik :
a. Afek meningkat
b. Hiperaktifitas fisik dan mental:
1) Hiperaktif
2) Percepatan dan banyak bicara
3) Kebutuhan tidur berkurang
4) Grandiose ideas (ide kebesaran)
c. Terlalu optimis
Gejala depresi :
a. Gejala utama :
1) Afek depresif
2) Hilang minat dan gembira
3) Berkurangnya energi
b. Gejala tambahan :
1) Konsentrasi dan perhatian kurang
2) Harga diri dan PD berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan suram dan pesimis
5) Gagasan / perbuatan yang membahayakan diri /badan
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang.
6. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif
mempunyai prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan
skizofrenia dan pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok,
pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis yang jauh
lebih buruk dibandingkan pasien dengan gangguan depresif, memiliki
prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan gangguan bipolar, dan
memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia.
Hal tersebut diatas telah dibuktikan dengan beberapa penelitian.
Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan
skizoafektif, tipe bipolar, mempunyai prognosis yang mirip dengan pasien
dengan gangguan bipolar I dan bahwa pasien dengan gangguan pramorbid
yang buruk; onset yang perlahan-perlahan; tidak ada factor pencetus;
menonjolnya gejala psikotik, khususnya gejala deficit atau gejala negative;
onset yangawal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan riwayat
keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masing-masing karakteristik
tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik. Adanya ataut idak adanya
gejala urutan pertama dari Scheneider tampaknya tidak meramalkan
perjalanan penyakit. (Shadock,2003)
7. Terapi
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah
perawatan di rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip
dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah
bahwa protokol antidepresan dan antimanik diikuti jika semuanya
diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan
untuk pengendalian jangka pendek. Jika protokol thymoleptic tidak efektif
dalam mengendalikan gejala atas dasar berkelanjutan, medikasi
antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan gangguan skizoafektif,
tipe bipolar, harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine
(Tegretol), valporate (Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut
jika satu obat saja tidak efektif. Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe
depresif, harus diberikan percobaan antidepresan dan terapiel
ektrokonvulsan (ACT) sebelum mereka diputuskan tidak responsive
terhadap terapi antidepresan.(Shadock,2003)
Penatalaksanaan Psikosis yaitu:
1. Terapi biologis(psikofarmaka).
a. neuroleptika (obat anti psikotik).
b. bila ada gejala manik:ditambah anti manik.
c. bila ada gejala depresi: ditambah anti depresi.
d. pada gangguan mental organik : ditambah terapi kausal gangguan
organiknya.
2. ECT(Electro Convulsive Therapy / TKL)
3. Psikoterapi : Suportif
4. Terapi Lingkungan : Manipulasi keluarga.
5.Konseling pasien dan keluarga
Beberapa topik yang dapat menjadi fokus konseling adalah :
1. Pengobatan dan dukungan keluarga terhadap pasien
2. Membantu pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam
pekerjaan dan kegiatan sehari-hari
3. Kurangi stress dan kontak dengan stres
D. Delusional Disorder
1. Definisi
Gangguan delusional didefinisikan sebagai suatu gangguan yang
diklasifikasikan karena tidak diketahui penyebabnya dan memiliki gejala
utama adalah waham. Mekipun isi yang spesifik dari waham ini dapat
bervariasi pada suatu kasus ke kasus yang lain, timbulnya waham,
persistensi, pengaruhnya pada perilaku serta prognosisnya memberikan
suatu diagnosa yang berbeda.
Sebelumnya gangguan ini disebut juga sebagai “gangguan
paranoid” atau “paranoia”. Namun sekarang tidak lagi digunakan karena isi
waham pada gangguan ini ternyata bervariasi yaitu dapat bersifat
kebesaran/grandiose, cemburu, kejar atau persekutorik, somatic campuran.
Gangguan delusional adalah suatu gangguan pada alam pikiran
yaitu isi pikir, wahamnya biasanya bersifat sistematis yang biasanya berasal
dari pola sentral dan bila ditentang, orang tersebut akan menunjukkan
gejala waham non bizarre dengan paling sedikit durasi penyakitnya
berlangsung selama 1 bulan yang tidak dapat digabungkan dengan
gangguan psikiatri yang lain. Waham nonbizarre
artinya adalah suatu waham yang harus dapat terjadi pada kehidupan yang
nyata, seperti merasa diikuti, terinfeksi, dicintai dari kejauhan, dan mereka
terlihat seolah-olah mempunyai fenomena yang meskipun tidaknyata tetapi
juga tidak mustahil. Ada banyak tipe dari waham dan yang predominan
itulah yang akan menentukan tipe dari waham pada diagnosis.
2. Epidemiologi
Usia onset rata-rata adalah kira-kira 40 tahun, tetapi rentang usia
untuk onset adalah dari 18 tahun sampai 90 tahunan. Terdapat sedikit lebih
banyak pasien perempuan. Banyak yang sudah menikah dan bekerja, tetapi
mungkin terdapat hubungan dengan status sosioekonomi yang rendah.
3. Etiologi
Penyebab gangguan delusional tidak diketahui. Gangguan
delusional terjadi jauh lebih jarang daripada skizofrenia atau gangguan
afektif, jadi menyatakan bahwa gangguan ini adalah gangguan yang
terpisah. Di samping itu, gangguan delusional mempunyai onset yang lebih
lambat daripada skizofrenia dan mempunyai predominasi perempuan yang
jauh lebih kurang daripada yang ditemukan pada gangguan afektif.
Gangguan ini bukan semata-mata suatu stadium dini dalam perkembangan
salah satu atau kedua gangguan tersebut.
Faktor Biologis
Keadaan neurologis yang paling sering berhubungan dengan
waham adalah kelainan yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia
basalis. Pasien yang memiliki waham yang disebabkan oleh kondisi
neurologis tanpa adanya gangguan kecerdasan cenderung memiliki waham
yang kompleks yang mirip dengan yang ditemukan pada pasien dengan
gangguan delusional.
Sebaliknya, pasien yang menderita gangguan neurologis dengan
gangguan kecerdasan seringkali memiliki waham yang sederhana yang
tidak sama dengan yang ditemukan pada pasien dengan gangguan
delusional. Jadi mungkin gangguan delusional melibatkan patologi dalam
sistem limbik atau ganglia basalis pada pasien dengan fungsi kortikal
serebral yang intak. Hipotesis bergantung pada adanya pengalaman mirip
halusinasi yang perlu dijelaskan. Adanya pengalaman halusinasi tersebut
pada gangguan delusional belum dibuktikan.
4. Patogenesis
Walaupun patogenesis waham tidak diketahui dengan pasti, namun
ada beberapa teori yang sudah dikembangkan. Pada hipotesis
pembentukan waham, kiranya perlu dipertimbangkan beberapa hal yang
berikut ini, yaitu :
1) Waham terdapat pada penyakit-penyakit umum dan
psikiatrik.
2) Tidak semua orang dengan gangguan tersebut mengalami
waham.
3) Isi waham menentukan tipe-tipe waham.
4) Waham dapat hilang bila diberi pengobatan terhadap
gangguan yang mendasar.
5) Waham dapat menetap atau menjadi sistematik.
6) Waham dapat menyertai perubahan persepsi seperti
halusinasi dan gangguan sensorik.
7) Keberadaan waham dapat dikaburkan bila fungsi sosial,
intelektual dan emosional tidak terganggu.
Ada 3 kategori dari Teori Pembentukan Waham :
a) Waham yang timbul pada sistem kognitif muncul karena
adanya pola yang berbeda dari motivasi yang ada
(mekanisme psikodinamika dan teori fungsi sosial).
b) Waham timbul sebagai akibat dari defek kognitif
fundamental yang mengakibatkan kapasitas pasien untuk
membuat kesimpulan dari bukti-bukti (gangguan hubungan
sebab akibat).
c) Waham yang timbul dari proses kognitif yang normal
menunjukkan adanya pengalaman persepsi abnormal
(mekanisme psikobiologik, hipotesis pengalaman yang
menyimpang)
Teori-teori ini penting untuk tidak saling mengistimewakan satu
dengan yang lainnya. Keyakinan delusional yang demikian merupakan
hasil yang berbeda dan melibatkan 1 atau lebih dari mekanisme
psikodinamika.
5. Gambaran klinis
Status mental
a. Deskripsi Umum
Pasien biasanya berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, tanpa
adanya bukti-bukti adanya disintegrasi nyata pada kepribadian atau
aktifitas harian. Tetapi, pasien mungkin terlihat eksentrik, aneh,
pencuriga atau bermusuhan. Pasien seringkali cerdik dan membuat
kecenderungan yang jelas bagi pemeriksa. Apa yang biasanya paling
luar biasa, tentang pasien dengan gangguan delusional adalah bahwa
pemeriksaan status mental menunjukkan bahwa mereka adalah sangat
normal kecuali
adanya sistem waham abnormal yang jelas.
b. Mood, Perasaan, dan Afek
Mood pasien sejalan dengan isi waham. Seorang pasien dengan waham
kebesaran adalah euforik; seorang pasien dengan waham kejar adalah
pencuriga. Adapun sifat sistem wahamnya, pemeriksa mungkin
merasakan adanya kualitas depresif ringan.
c. Gangguan Persepsi
Menurut definisinya, pasien dengan gangguan delusional tidak
memiliki halusinasi yang menonjol atau menetap. Menurut DSM IV,
halusinasi raba dan cium mungkin ditemukan jika hal tersebut adalah
sejalan dengan wahamnya. Beberapa pasien dengan gangguan
delusional mengalami halusinasi lain, hampir semua adalah halusinasi
dengar, bukan visual.
d. Pikiran
Gangguan isi pikiran terutama dalam bentuk waham merupakan gejala
utama dari gangguan. Waham biasanya sistematis dan karakteristiknya
adalah sesuatu yang mungkin, contohnya, waham dikejar-kejar,
pasangan tidak jujur, terinfeksi oleh virus,dicintai orang terkenal.
Contoh isi pikiran itu berbeda dengan waham bizzare pada pasien
skizofrenia.
e. Sensorium dan kognisi
Orientasi : Pasien dengan gangguan delusional biasanya tidak memiliki
gangguan dalam orientasi, kecuali bila mereka memiliki waham
spesifik tentang orang, tempat, waktu.
Daya ingat : Daya ingat dan proses kognitif pada pasien dengan
gangguan delusional tidak terganggu.
f. Pertimbangan dan tilikan
Pasien dengan gangguan delusional hampir seluruhnya tidak memiliki
tilikan terhadap kondisi mereka dan hampir selalu dibawa ke rumah
sakit oleh orang lain. Keputusan terbaik dapat diperoleh dengan
menilai perilaku pasien di masa lalu, sekarang dan perilaku yang
direncanakan.
g. Kejujuran
Pasien dengan gangguan delusional, biasanya dapat dipercaya
informasinya, kecuali jika hal tersebut membahayakan sistem
wahamnya.
6. Tipe-tipe dari gangguan delusional
1. Tipe erotomanik
Di dalam tipe erotomanik waham inti adalah bahwa pasien yang
terkena dicintai mati-matian oleh orang lain-biasanya seorang yang
terkenal, seperti bintang film, atau atasan ditempat kerja. Pasien
dengan waham erotik adalah sumber gangguan bermakna terhadap
tokoh masyarakat. Gangguan delusional tipe erotomanik juga
dinamakan erotomania, psychose passionelle, dan sindroma de
Clerambault. Onset gejala dapat mendadak dan seringkali menjadi
pusat perhatian utama pada kehidupan seseorang yang terkena.
Usaha untuk berhubungan dengan obyek wahamnya biasanya
dilakukan pertelepon, surat, mengirim hadiah, mengawasi atau
mengintai, walaupun pasien biasanya merahasiakan wahamnya.
2. Tipe Grandios (kebesaran)
Gangguan delusional tipe ini disebut juga dengan istilah
megalomania. Bentuk yang paling umum dari waham kebesaran
adalah keyakinan bahwa seseorang memiliki bakat atau wawasan
yang luar biasa tetapi tidak diketahui atau membuat penemuan
penting. Waham kebesaran mungkin memiliki isi religius dan
orang dengan waham dapat menjadi pemimpin sekte religius.
Contohnya di Jepang adanya sekte Aum Shin Rikyo dimana
pemimpinnya adalah Asahara. Asahara mengaku dirinya sebagai
Tuhan, diapun mengatakan bahwa perbuatan dosa yang paling
besar adalah membunuh hewan khususnya yang berjenis serangga.
Sedangkan bila pengikut sekte melakukan pembunuhan itu bukan
dosa. Mungkin dinegara Jepang setiap warga negara diberikan
kebebasan untuk percaya atau tidak kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dan pada pendidikan tingkat dasar, sampai tingkat tinggi tidak
terdapat pendidikan Agama secara formal. Sehingga hal tersebut
mungkin menjadi faktor pencetus timbulnya waham kebesaran
yang memiliki isi religius.
3. Tipe cemburu
Gangguan delusional tipe cemburu juga dikenal, jika waham
mempermasalahkan kesetiaan pasangan, maka tipe ini dikenal
sebagai paranoia konjugal dan sindrom othello. Laki-laki lebih
sering terkena dibandingkan wanita. Gangguan ini adalah jarang,
mengenai kemungkinan kurang dari 0,2 persen dari semua pasien
psikiatrik. Onset sering kali mendadak, dan gejala menghilang
hanya setelah perpisahan atau kematian pasangan. Waham
cemburu dapat menyebabkan penyiksaan verbal dan fisik yang
bermakna terhadap pasangan dan bahkan dapat menyebabkan
pembunuhan pasangan. Jika seseorang terkena gangguan
delusional tipe cemburu, kumpulan “bukti-bukti“ seperti pakaian
yang kusut dan noda pada seperai, dapat dikumpulkan dan
digunakan untuk memutuskan waham.
4. Tipe kejar
Tipe ini adalah tipe dari gangguan delusional yang paling sering
ditemukan, dan merupakan tipe yang terasing. Bentuk waham
presekutoriknya mungkin sederhana atau lebih rumit dan biasanya
menyangkut tema tunggal atau seri tema yang berhubungan seperti,
komplotan perlawanan, diburu, ditipu, dibicarakan orang,
dibuntuti, diracuni, difitnah dengan penuh kebencian, dihalangi
dalam mencapai tujuan jangka panjang. Hinaan kecil dapat
diperbesar dan menjadi pusat sistem waham. Orang dengan waham
kejar seringkali membenci dan marah, dan mereka mungkin
melakukan kekerasan terhadap orang lain yang diyakininya akan
menyerang dirinya.
5. Tipe somatik
Gangguan delusional tipe somatik juga dikenal sebagai psikosis
hipokondriakal monosimptomatik. Perbedaan antara
hipokondriasis dan gangguan delusional tipe somatik terletak pada
derajat keyakinan yang dimiliki pasien dengan gangguan
delusional tentang anggapan adanya penyakit pada dirinya. Waham
yang paling sering diderita adalah infeksi, infestasi serangga di atas
atau di dalam kulit, dismorfobia, waham tentang bau badan yang
berasal dari kulit, mulut, atau vagina, dan waham bahwa bagian
tubuh tertentu seperti usus besar tidak berfungsi. Tipe ini mengenai
kedua jenis kelamin dengan persentasi yang sama dan diperkirakan
jarang ditemui, walaupun sebagian besar pasien kemungkinan
pergi berobat ke dokter nonpsikiatrik. Riwayat penyalah gunaan
zat atau cedera kepala mungkin sering ditemukan pada pasien
dengan ganggguan ini. Frustasi yang disebabkan oleh gejala dapat
menyebabkan beberapa pasien bunuh diri.
7. Diagnosis
Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Delusional :
1. Waham yang tidak aneh (yaitu melibatkan situasi yang terjadi
dalam kehidupan nyata seperti sedang diikuti, diracuni, ditulari
infeksi, dicintai dari jarak jauh, atau dikhianati oleh pasangan atau
kekasih, atau menderita suatu penyakit) selama sekurangnya satu
bulan.
2. Kriteria A untuk skizofrenia tidak pernah terpenuhi. Halusinasi
taktil dan cium mungkin ditemukan pada gangguan delusional jika
berhubungan dengan tema waham.
3. Terlepas dari pengaruh waham-waham atau percabangannya,
fungsi adalah tidak terganggu dengan jelas dan perilaku tidak jelas
aneh atau kacau.
4. Jika episode mood telah terjadi secara bersama-sama dengan
waham, lama totalnya adalah relatif singkat dibandingkan dengan
lama periode waham.
5. Gangguan adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu
zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau
suatu kondisi medis umum.
Sebutkan tipe (tipe berikut ini disusun berdasarkan tema waham yang
menonjol) :
1. Tipe erotomanik : Waham bahwa orang lain, biasanya dengan
status yang lebih tinggi adalah mencintai pasien.
2. Tipe kebesaran : Waham peningkatan kemampuan, kek uatan,
pengetahuan, identitas atau hubungan khusus dengan dewa atau
orang terkenal.
3. Tipe cemburu : Waham bahwa pasangan seksual pasien adalah
tidak jujur.
4. Tipe kejar : Waham bahwa pasien (atau seseorang dekat dengan
pasien) adalah diperlakukan secara dengki.
5. Tipe somatik : Waham bahwa pasien memiliki suatu cacat fisik
atau kondisi medis umum.
6. Tipe campuran : Karakteristik waham salahsatu atau lebih tipe
diatas tetapi tidak ada satu tema yang menonjol.
7. Tipe tidak ditentukan
8. Terapi
a. Perawatan di rumah sakit
Pada umumnya pasien dengan gangguan delusional dapat
diobati dengan rawat jalan, tetapi ada sejumlah alasan tertentu
dimana diperlukan perawatan di rumah sakit . Yaitu : Pertama
diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap
menunjukkan kondisi medis nonpsikiatris yang menyebabkan
gangguan delusional. Kedua jika pasien tidak mampu
mengendalikan impulsnya, sehingga dapat melakukan tindakan-
tindakan kekerasan. Ketiga, jika perilaku pasien tentang waham
telah mempengaruhi fungsi kehidupannya, sehingga
kemampuannya untuk dapat berfungsi dalam keluarga dan
masyarakat berkurang. Dengan demikian memerlukan intervensi
profesional untuk menstabilkan hubungan sosial atau pekerjaan.
Jika dokter yakin bahwa pasien akan lebih baik jika diobati di
rumah sakit, harus diusahakan untuk membujuk pasien supaya
menerima perawatan di rumah sakit; jika hal tesebut gagal,
komitmen hukum mungkin diindikasikan. Seringkali, jika dokter
meyakinkan pasien bahwa diperlukan perawatan di rumah sakit,
pasien akan secara sukarela masuk ke rumah sakit untuk
menghindari komitmen hukum.
b. Farmakoterapi
Dalam keadaan gawat darurat, pasien yang teragitasi parah
harus diberikan suatu obat antipsikotik secara intramuskular.
Walaupun percobaan klinik yang dilakukan secara adekuat dengan
sejumlah pasien belum ada, sebagian besar klinisi berpendapat
bahwa obat antipsikotik adalah obat terpilih untuk gangguan
delusional.
Pasien gangguan delusional kemungkinan menolak
medikasi karena mereka dapat secara mudah menyatukan
pemberian obat ke dalam sistem wahamnya. Dokter tidak boleh
memaksakan medikasi segera setelah perawatan di rumah sakit,
malahan, harus menggunakan beberapa hari untuk mendapatkan
rapot dengan pasien. Dokter harus menjelaskan efek samping
potensial kepada pasien, sehingga pasien kemudian tidak
menganggap bahwa dokter berbohong.
Riwayat pasien tentang respon medikasi adalah pedoman
terbaik dalam memilih suatu obat. Biasanya obat diberikan dalam
dosis rendah dan ditingkatkan secara perlahan-lahan. Jika respon
gagal dalam masa percobaan selama 6 minggu, dapat dicoba
antipsikotik dari golongan lain.
Adakalanya pasien dengan gangguan psikotik menolak
pemberian medikasi ini, karena mereka memasukkan hal ini ke
dalam sistem wahamnya, misalnya pasien curiga ada racun di
dalam obat yang diberikan. Dalam hal ini perlu kebijaksanaan
dokter untuk menjelaskan kepada pasien secara perlahan-lahan,
bahwa sama sekali tidak ada niat untuk berbuat jahat pada dirinya
Beberapa dokter menyatakan bahwa pimozide (oral) atau
serotonin-dopamin antagonis mungkin efektif dalam mengatasi
gangguan delusional terutama pada pasien dengan waham
somatik.
Penyebab kegagalan tersering adalah ketidakpatuhan. Jika
pasien tidak merespon terhadap pengobatan antipsikotik, obat
harus dihentikan. Dapat digunakan anti depresan atau anti
konvulsan. Percobaan dengan obat-obat tersebut dipertimbangkan
jika pasien memiliki ciri suatu gangguan afektif.
Hasil dari pengobatan dengan serotonin-dopamin
antagonis (contoh : clozapin [Clozaril] dan risperidone olanzapine
[Zyprexa]) berhyubungan dengan pengobatan sebelumnya.
Pada beberapa kasus berespon baik terhadap SSRIs
(selective serotonin reuptake inhibitors), terutama pada
kasuskasus gangguan morfologi tubuh.
c. Psikoterapi
Elemen terpenting dari suatu psikoterapi adalah menjalin
hubungan yang baik antar pasien dengan ahli terapinya. Terapi
individual tampaknya lebih efektif daripada terapi kelompok.
Terapi suportif berorientasi tilikan, kognitif dan perilaku
seringkali efektf. Ahli terapi tidak boleh setuju atau menantang
waham pasien, walaupun ahli terapi harus menanyakan waham
untuk menegakkan diagnosis. Dokter dapat menstimulasi motivasi
untuk mendapatkan bantuan dengan menekankan kemauannya
untuk membantu pasien mengatasi kecemasan dan iritabilitasnya,
tanpa menyatakan bahwa waham yang diobati. Ahli terapi tidak
boleh secara aktif mendukung gagasan bahwa waham adalah
kenyataan.
Kejujuran ahli terapi sangat penting. Ahli terapi harus
tepat waktu dan terjadwal, tujuannya adalah agar tercipta suatu
hubungan yang kuat dengan pasien dan pasien dapat percaya
sepenuhnya pada ahli terapinya. Kepuasan yang berlebihan
malahan dapat meningkatkan permusuhan dan kecurigaan pasien
karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi.
Ahli terapi dapat menghindari kepuasan yang berlebihan dengan
tidak memperpanjang periode perjanjian yang telah ditentukan,
dengan tidak memberikan perjanjian ekstra kecuali mutlak
diperlukan, dan tidak toleran terhadap bayaran.
Ahli terapi tidak boleh membuat tanda-tanda yang
meremehkan waham atau gagasan pasien, tetapi dapat secara
simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasyikan mereka
dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan
mengganggu kehidupannya yang konstruktif. Jika pasien mulai
ragu-ragu dengan wahamnya, ahli terapi dapat meningkatkan tes
realitas dengan meminta pasien memperjelas masalah mereka.
d. Terapi keluarga
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat memutuskan
untuk melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan. Tanpa
menjadi terlihat berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha
mendapatkan keluarga sebagai sekutu di dalam proses
pengobatan. Sebagai akibatnya, baik pasien dan anggota
keluarganya perlu mengerti ahwa konfidensialitas dokter-pasien
akan dijaga oleh ahli terapi dan dengan demikian membantu
pasien.
Hasil terapi yang baik tergantung pada kemampuan dokter
psikiatrik untuk berespon terhadap ketidakpercayaan pasien
terhadap orang lain dan konflik interpersonal, frustasi, dan
kegagalan yang dihasilkannya. Tanda terapi yang berhasil
mungkin adalah suatu kepuasan penyesuaian sosial, bukannya
menghilangkan waham pasien.
9. Perjalanan penyakit dan prognosis
Beberapa klinisi dan beberapa data riset menyatakan bahwa
stresor psikososial yang dapat diidentifikasi seringkali ditemukan pada
saat onset gangguan. Sifat stresor dapat sedemikian rupa sehingga
diperlukan suatu tingkat kecurigaan atau permasalahan pada pihak
pasien. Contoh dari stresor tersebut adalah imigrasi yang baru
dilakukan, konflik sosial dengan anggota keluarga atau teman, dan
isolasi sosial. Pada umumnya, suatu onset yang tiba-tiba diperkirakan
lebih sering terjadi daripada suatu onset yang perlahan-lahan. Beberapa
klinisi percaya bahwa kepribadian pramorbid seorang pasien dengan
gangguan delusional kemungkinan ekstrovert, dominan dan
hipersensitif.
Beberapa klinisi juga percaya bahwa seorang pasien dengan
gangguan delusional kemungkinan memiliki kecerdasan yang dibawah
rata-rata. Kecurigaan atau permasalahan awal pasien secara bertahap
menjadi besar sehingga menyita sebagian besar perhatian pasien, dan
akhirnya menjadi waham. Pasien mungkin mulai berselisihan dengan
teman kerjanya, mungkin mencari perlindungan dari FBI atau polisi,
atau mungkin mulai mendatangi banyak dokter medis atau bedah
untuk berkonsultasi. Jadi, kontak awal dengan pasien mungkin bukan
dengan seorang dokter psikiatrik, tetapi malahan dengan ahli hukum
tentang gugatan, dokter pelayanan primer tentang keluhan medis, atau
polisi tentang kecurigaan yang bersifat waham.
Gangguan delusional diperkirakan merupakan diagnosis yang
cukup stabil. Kurang dari 25% dari semua pasien dengan gangguan
delusional menjadi skizofrenia, kurang dari 10% pasien gangguan
delusional menjadi gangguan afektif. Kira-kira 50% pasien pulih
dalam follow-up jangka panjang, 20% mengalami penurunan gejala
dan 30% lain tidak mengalami perubahan dalam gejalanya. Faktor-
faktor berikut ini berikut ini berhubungan dengan prognosis yang
baik : tingkat pekerjaan yang baik, kehidupan sosial dan penyesuaian
fungsional yang tinggi, jenis kelamin wanita, onset dibawah umur 30
tahun, onset yang tiba-tiba, lama penyakit yang singkat, dan adanya
faktor pencetus. Walaupun data yang dapat dipercaya adalah terbatas,
pasien dengan waham kejar, somatik dan erotik diperkirakan memiliki
prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan waham kebesaran
dan cemburu.
E. Sehat Mental
1. Definisi
Menurut WHO (2011) kesehatan mental didefinisikan sebagai
keadaan kesejahteraan di mana setiap individu menyadari potensinya sendiri,
dapat mengatasi tekanan yang normal dari kehidupan, dapat bekerja secara
produktif dan baik, dan mampu memberikan kontribusi bagi komunitasnya
nya. (http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/)
Sedangkan ciri-ciri sehat mental menurut WHO adalah sebagai
berikut:
1. Mempunyai kemampuan menyesuaikan diri secara
konstruktif pada kenyataan , meskipun kenyataan itu buruk ;
2. Mempunyai rasa kepuasan dari
3. Usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Mempunyai kesenangan untuk memberi dari pada
menerima;
5. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan
6. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong
dan saling memuaskan;
7. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran
dikemudian hari ;
8. Mengarahkan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang
kreatif dan konstruktif;
9. Mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu
mendidik.
a. Faktor-Faktor Penentu Kesehatan Mental
WHO memaparkan ada beberapa faktor yang dapat menetukan
kesehatan mental seseorang, diantaranya adalah faktor-faktor sosial,
psikologis, dan biologis menentukan tingkat kesehatan mental seseorang
pada setiap titik waktu. Misalnya, tekanan sosio-ekonomi yang terus-
menerus diakui sebagai risiko terhadap kesehatan mental bagi individu
dan masyarakat. Bukti yang paling jelas dikaitkan dengan indikator
kemiskinan, termasuk tingkat pendidikan yang rendah. Kesehatan mental
yang buruk juga terkait dengan perubahan sosial yang cepat, kondisi kerja
stres, diskriminasi gender, pengucilan sosial, gaya hidup tidak sehat,
risiko kekerasan dan pelanggaran HAM. Ada juga faktor psikologis dan
kepribadian tertentu yang membuat orang rentan terhadap gangguan
mental. Terakhir, ada beberapa penyebab biologis dari gangguan mental,
termasuk faktor genetik dan ketidakseimbangan dalam hal kimia di otak.
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs220/en/)
F. Status Mental
Pemeriksaan status mental merupakan bagian dari pengkajian
klinis yang mendeskripsikan keseluruhan observasi yang dilakukan oleh
pemeriksa dan kesan yang didapatkan dari pasien psikiatri saat dilakukan
wawancara. Status mental pasien dapat berubah setiap hari atau setiap
jam. Garis besar pemeriksaan status mental adalah sebagai berikut:
1. Penampilan
2. Gaya bicara
3. Mood
a. Subjektif
b. objektif
4. Pikiran
a. Bentuk
b. Isi
5. Persepsi
6. Sensorium
a. Kewaspadaan
b. Orientasi (orang, tempat, waktu)
c. Konsentrasi
d. Ingatan (segera, jangka pendek, jangka panjang)
e. Kemampuan berhitung
f. Dasar pengetahuan
g. Penalaran abstrak
7. Tilikan
8. Penilaian
(Sadock dan Sadock, 2010)
PEMERIKSAAN STATUS
MENTAL
HAL YANG HARUS DIKERJAKAN
I. Deskripsi Umum
A. Penampilan (istilah yang biasa
digunakan :
tampak sehat, sakit, agak sakit,
kelihatan tua, kelihatan muda, kusut,
seperti anakanak, kacau dsb.)
Mengamati bentuk tubuh, postur,
ketenangan, pakaian, dandanan, rambut,
dan kuku, tanda kecemasan
B. Perilaku dan aktivitas psikomotor
(termasuk di sini adalah manerisme,
tiks, gerakan stereotipik,
hiperaktivitas, agitasi, retardasi,
fleksibilitas, rigiditas dll.)
Mengamati dan/atau memeriksa cara
berjalan, gerakan dan aktivitas pasien.
C. Sikap terhadap pemeriksa (bekerja
sama, bersahabat, menggoda, apatis,
bermusuhan, merendahkan, dll.)
Mengamati dan merasakan sikap dan
jawaban pasien saat wawancara
psikiatrik.
II. Mood dan Afek
A. Mood (adalah emosi yang meresap
dan terus-menerus mewarnai
persepsi seseorang terhadap dunia.
Digambarkan dengan depresi,
kecewa, mudah marah, cemas,
euforik, meluap-luap, ketakutan
dsb.)
Menanyakan tentang suasana perasaan
pasien.
B. Afek (adalah respon emosional
pasien yang tampak, digambarkan
sebagai meningkat, normal,
menyempit, tumpul dan datar)
“Bagaimana perasaan anda akhir-akhir
ini?” (pertanyaan terbuka)
“Apakah anda merasa sedih ?”
(pertanyaan tertutup)
C. Keserasian (serasi afek atau tidak
serasi afek)
Mengamati variasi ekspresi wajah,
irama dan nada suara, gerakan tangan,
dan pergerakan tubuh.
Mengamati keserasian respon
emosional (afek) terhadap masalah
subjektif yang didiskusikan pasien.
III. Pembicaraan
(digambarkan dalam kecepatan
produksi bicara, dan kualitasnya,
seperti banyak bicara, tertekan, lambat,
gagap, disprosodi, spontan, keras,
monoton, mutisme, dsb.)
Mengamati selama proses wawancara
Logorrhea: bicara yang banyak sekali,
bertalian dan logis.
Flight of idea: pembicaraan dengan
kata-kata yang cepat dan terdapat
loncatan dari satu ide ke ide yang lain,
ide-ide cenderung meloncat/ sulit
dihubungkan.
Asosiasi longgar: pergeseran
gagasangagasan dari satu subjek ke
subjek lain yang tidak berhubungan,
jika berat, pembicaraan menjadi kacau
atau membingungkan (inkoheren).
IV. Gangguan Persepsi
(Halusinasi, ilusi, depersonalisasi,
derealisasi)
Menanyakan tentang gangguan persepsi
yang pernah atau sedang dirasakan oleh
pasien.
“Apakah anda pernah mendengar suara
atau bunyi lain yang tidak dapat
didengar oleh orang lain?”
“Apakah anda dapat atau pernah
melihat sesuatu yang tampaknya tidak
dilihat orang lain?”
V. Pikiran
A. Proses atau bentuk pikiran (termasuk
disini realistik, nonrealistik, autistik,
irasional, dll.)
B. Isi pikiran (termasuk waham,
preokupasi, obsesi, fobia, dsb.)
Menanyakan sesuatu permasalahan
untuk menilai bentuk dan isi pikiran
pasien.
Waham kejar : “Apakah anda merasa
orang-orang memata-matai anda?”
Waham cemburu : “Apakah anda
takut pasangan anda tidak jujur? bukti
apa yang anda miliki?”
Waham bersalah : “Apakah anda
merasa bahwa anda telah melakukan
kesalahan yang berat?” Apakah anda
merasa pantas mendapat hukuman?”
“Apakah anda merasa pikiran anda
disiarkan sehingga orang lain dapat
mendengarnya?” (waham siar pikir).
“Apakah anda merasa pikiran atau
kepala anda telah dimasuki oleh
kekuatan atau sumber lain di luar?”
(waham sisip pikir)
“Apakah anda merasa bahwa pikiran
anda telah diambil oleh kekuatan atau
orang lain?” (waham penarikan
pikiran)
VI. Sensorium dan kognitif
A. Kewaspadaan dan tingkat kesadaran
(sadar, pengaburan, somnolen,
stupor, koma, letargi,keadaan
fugue/fugue state)
Pengamatan dan pemeriksaan secara
objektif (kuantitatif dengan Glasgow
Coma Scale)
B. Orientasi (terhadap waktu, tempat,
orang dan situasi)
Menanyakan tentang waktu, tempat,
orang dan situasi: “Sekarang hari apa?
Tanggal berapa ? Siang/malam ? Jam
berapa sekarang? Di mana kita saat ini?
Kerjanya apa ?”
“Siapa yang mengantar/ menunggui
anda?anda kenal mereka ?”
“Bagaimana suasana saat ini? ramai?”
C. Daya ingat (daya ingat jauh/ remote
memory, daya ingat masa lalu yang
belum lama/ recent past memory,
daya ingat yang baru saja/ recent
memory serta penyimpanan dan
daya ingat segera/ immediate
retention and recall memory).
Menilai daya ingat dengan menanyakan
data masa anak-anak, peristiwa penting
yang terjadi pada masa muda.
Peristiwa beberapa bulan yang lalu,
Peristiwa beberapa hari yang lalu, apa
yang dilakukan kemarin, apa yang
dimakan untuk sarapan, makan siang
dsb.
D. Konsentrasi dan perhatian Meminta pasien untuk mengulangi
enam angka maju kemudian mundur.
Mengulang tiga kata, segera dan tiga
sampai lima menit kemudian.
Pasien diminta mengurangi 7 secara
berurutan dari angka 100. Pasien
diminta mengeja mundur suatu kata
sederhana.
E. Kapasitas membaca dan menulis Pasien diminta membaca dan mengikuti
apa yang diperintahkan serta menulis
kalimat sederhana tapi lengkap.
Pasien diminta mencontoh suatu
gambar, seperti jam atau segilima.
Menanyakan arti peribahasa sederhana,
persamaan dan perbedaan benda.
F. Kemampuan visuospasial Pasien diminta menghitung uang
kembalian setelah dibelanjakan, jarak
antar kota.
G. Pikiran abstrak
H. Sumber informasi dan kecerdasan
(dengan memperhitungkan tingkat
pendidikan dan status social
ekonomi pasien)
VII. Pengendalian impuls
(Impuls seksual, agresif, atau lainnya) Menanyakan tentang riwayat pasien
sekarang dan mengamati perilaku
pasien
selama wawancara
VIII. Pertimbangan dan tilikan
Derajat tilikan (kesadaran dan
pengertian pasien bahwa mereka sakit):
1. Penyangkalan penyakit sama sekali
2. Agak menyadari tetapi sekaligus
menyangkal
3. Menyadari tetapi melemparkan
kesalahan pada orang lain
4. Menyadari bahwa penyakitnya
disebabkan oleh sesuatu yang tidak
diketahui pada diri pasien
5. Tilikan intelektual : menerima bahwa
pasien sakit dan disebabkan oleh
perasaan irasional atau gangguan
tertentu pada diri pasien sendiri
tanpa menerapkan pengetahuan
tersebut untuk pengalaman masa
depan
6. Tilikan emosional sesungguhnya :
kesadaran emosional tentang motif
dan perasaan dalam diri pasien dan
Menanyakan kemampuan pasien dalam
aspek pertimbangan sosial, misalnya
saat terjadi kebakaran (pertimbangan).
Menanyakan kesadaran dan pengertian
pasien tentang penyakitnya (tilikan)
“Tahukah anda kenapa dibawa / datang
ke sini ?”
“Apakah anda membutuhkan
pengobatan / perawatan ?”
“Apakah perawatan anda di Rumah
Sakit ini merupakan kesalahan ?”
orang yang penting dalam
kehidupannya, yang dapat
IX. Reliabilitas Menilai kebenaran atau kejujuran
pasien dalam melaporkan suatu situasi
atau masalahnya
(Skills Lab FK UNS, 2012)
BAB III
PEMBAHASAN
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental yang sejahtera yang
memungkinkan hidup harmonis dan produktif, sebagai bagian yang utuh dari
kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia.
Sedangkan, kriteria sehat jiwa adalah menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya,
mampu menghadapi stress kehidupan yang wajar, mampu bekerja secara
produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat berperan serta dalam
lingkungan hidupnya, menerima baik dengan apa yang ada pada dirinya, serta
merasa nyaman bersama dengan orang lain.
Dalam skenario dikatakan bahwa saudara A, laki-laki yang berumur 18
tahun pelajar SMU klas III dibawa ke UGD rumah sakit jiwa oleh kedua orang
tuanya karena tampak bingung, mondar-mandir, dan bila diajak bicara sering tidak
nyambung. Orang tuanya menduga bahwa anak tersebut mengalami stress karena
akan menghadapi ujian nasional. Dilihat dari perilakunya, orang tersebut di atas
tidak mencerminkan kriteria sehat jiwa yang telah disebutkan sebelumnya,
kemungkinan orang tersebut mengalami stres dan kemudian menjadi depresi.
Adanya stressor yang berat dapat menjadi penyebab dari depresi tersebut. Apabila
keadaan ini terus-menerus berlanjut lebih dari 2 bulan, maka patut dicurigai orang
tersebut mengalami gangguan jiwa.
Stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya. Bila seseorang setelah mengalami stres mengalami
gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi
dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami
distres. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh
keluhan-keluhan fisik, tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis. Tidak
semua bentuk stres mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat
positif, hal tersebut dikatakan eustres. Pasien tersebut di atas termasuk golongan
orang yang mengalami distress, sehingga patut dikhawatirkan. Sedang dilihat dari
gejala-gejalanya, orang tersebut sudah masuk ke tahap depresi.
Depresi adalah suatu keadaan umum dimana terjadinya pengurangan atau
penurunan keadaan emosi dan mood dari suatu individu yang mengakibatkan
gangguan di dalam aktivitasnya sehari-hari atau hilangnya fungsinya sebagai
individu. Tanda-tanda bahwa orang tersebut mengalami depresi adalah terdapat 5
atau lebih gejala yang ditemukan di bawah ini selama periode dua minggu yang
sama dan mewakili perubahan dari fungsinya sebagai individu sebelumnya yaitu
mood depresi hampir sepanjang hari, setiap hari (merasa atau tampak sedih atau
kosong), hilangnya minat atau kesenangan yang jelas pada semua aspek atau
hampir semua aspek sepanjang hari hampir setiap hari, insomnia, perasaan tidak
berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak tepat sehingga
mengurung diri di kamar, serta terdapat gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan
atau fungsi penting lainnya. Gejala bukan efek psikologis langsung dari obat dan
tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita yaitu setelah kehilangan orang yang
dicintai, gejala menetap lebih dari dua bulan atau diikuti oleh gangguan lainnya.
Pada skenario, hasil pemeriksaan status mental di
antaranya adalah, pasien mengalami halusinasi auditorik dan
thought insertion, yang menadakan adanya gangguan persepsi.
Keduanya merupakan salah satu gejala utama dari skizofrenia.
Seseorang yang mengalami halusinasi dapat merasa melihat,
mendengar, membau, atau merasakan sesuatu yang sebenarnya
tidak ada. Halusinasi auditorik, yaitu seolah-olah mendengar
suara yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku
pasien, mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri
(berbagai suara yang berbicara) atau jenis suara halusinasi yang
berasal dari salah satu bagian tubuh dan muncul pada pasien
dalam keadaan sadar (Jiloha et al, 2010; Maslim, 2001). Gejala
lain, pasien juga mengalami thought insertion, yaitu sebuah
delusi di mana pikiran seseorang dipengaruhi oleh pikiran orang
lain (dari luar) atau isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion). Pasien merasa dimusuhi oleh
teman-teman dan tetangganya dapat mengindikasikan adanya
waham curiga, dengan syarat memenuhi kriteria waham, yaitu 1)
pasien percaya 100% bahwa isi pikirannya benar 2) bersifat
egosentris 3) tidak sesuai dengan ratio logika 4) tidak bisa
dikoreksi dengan cara apapun, termasuk dengan cara yang logis
dan realistis 5) pasien hidup atau berperilaku menurut
wahamnya.
Menurut orang tuanya, saat ini pasien sedang mempersiapkan diri untuk
menghadapi ujian akhir nasional, sehingga mereka menduga pasien mengalami
stress yang berat. Dalam hal ini keadaan tersebut bisa jadi merupakan stressor
yang memicu anak sehingga timbullah gejala-gejala ganggujan jiwa. Apabila anak
tidak bisa mengatasi stress yang ada pada dirinya maka akan timbul gejala-gejala
yang bisa mengarah ke gangguan jiwa psikotik.
Stresor dapat diartikan sebagai penghalang, kesukaran, dan aral melintang
yang dihadapi oleh individu dalam mencapai tujuan hidupnya. Usaha penyesuaian
diri untuk mengembalikan keseimbangan badan dan/atau jiwa yang terganggu
disebut stres. Bila individu tidak dapat mengatasi stresor dengan baik, maka akan
muncul gangguan badani, perilaku tidak sehat ataupun gangguan jiwa. Stresor
dapat muncul dari luar individu misalnya tidak lulus ujian, pernikahan yang tidak
harmonis, dan sebagainya. Stresor dapat juga muncul dari dalam individu itu
sendiri, suatu sifat atau ciri yang terlalu menonjol, misalnya terlalu lekas marah,
obsesif, dan sebagainya. Stres patologis terjadi apabila dalam usaha mengatasi
stres individu tidak dapat berfungsi dengan baik, mungkin sampai timbul
gangguan jiwa ataupun badan.
Pada skenario dikatakan bahwa adik laki-laki ibunya juga pernah mengalami
gangguan serupa. Untuk beberapa kasus pada gangguan jiwa, misal scizofrenia
banyak factor-faktor yang menimbulkan gejala, antara lain yaitu stressor
lingkungan dan factor genetik.
Berdasarkan pembahasan yang sudah disampaikan dapat dikatakan bahwa
pasien mengalami gejala-gejala yang mengarah ke diagnosis scizofrenia yaitu
halusinasi auditorik, thought insertion, dan gangguan waham. Dalam PPDGJ III
(2003) untuk pedoman diagnostic scizofrenia dapat ditegakkan bila ada sedikitnya
ada satu gejala seperti yang sudah disebutkan di atas yang sangat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas). Untuk diagnosis scizofrenia juga harus ada suatu perubahan yang konsisten
dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek
perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara social.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari gejala-gejala yang dialami pasien serta onset terjadinya gejala-
gejala tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Gangguan
Psikotik-Skizofrenia Akut.
2. Pada Skizofrenia banyak faktor-faktor resiko, seperti pada skenario
yaitu stressor lingkungan dan faktor genetik.
B. Saran
1. Untuk kondisi pasien adalah perlu diamati terus perkembangan
kejiwaan pasien serta durasi terjadinya gejala-gejala yang dialami
pasien. Hal tersebut perlu dilakukan karena diagnosis bisa berubah jika
gejala pada pasien masih ada pada lebih dari satu bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Feldman R.S. 2009. Understanding Psychology. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Jiloha R.C., Bhatia M.S. 2010. Psychiatry for General Practitioners. New Delhi:
New Age International (P) Ltd., Publishers
Sadock, Benjamin J. and Virginia A. Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Skills Lab FK UNS. 2012. Buku Pedoman Ketrampilan Klinis untuk Semester 5.
Surakarta: FK UNS.
WHO. 2011. Mental health: a state of well-being.
http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/. Diakses
Desember 2012.
WHO. 2010. Mental health: strengthening our response.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs220/en/. Diakses
Desember 2012.