Post on 10-Feb-2016
Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pemilihan Metode Keluarga Berencana (KB)
1. Faktor usia ibu
Berdasarkan penelitian di Kabupaten Karanganyar oleh Sari dan Utami didapatkan bahwa
responden penelitian terbanyak pada usia 31-40 tahun sebanyak 27 responden (67,5%),
kemudian umur 20-30 tahun sebanyak 13 responden (32,5%).
Pada penelitian Hobungan Karakteristik Ibu (usia, pendidikan dan paritas) Dengan
Pemilihan Kontrasepsi Suntik Di Puskesmas Sukodono Sidoarjo, kebanyakan ibu berusia
lebih dari 30 tahun dibandingkan dengan ibu yang berusia 20-30 tahun. Hal ini
kemungkinan dikarenakan ibu-ibu kelompok usia lebih daripada 30 tahun sudah tidak
menginginkan atau menambah jumlah keluarga lagi sehingga mereka memilih
menggunakan alat kontrasepsi sebagai untuk mendukung keinginannya. Ibu dengan usia
30 tahun lebih dianjurkan untuk tidak hamil lagi atau tidak punya anak lagi karena alasan
medis, pilihan utama adalah kontrasepsi mantap. Pada kondisi darurat, kontap cocok
dipakai dan relatif lebih baik dibandingkan susuk KB atau AKDR dan pil kurang
dianjurkan karena usia ibu relatif tua dan mempunyai kemungkinan timbulnya efek
samping dan komplikasi. Amirul A. Hobungan Karakteristik Ibu (usia, pendidikan dan paritas) Dengan Pemilihan Kontrasepsi Suntik Di
Puskesmas Sukodono Sidoarjo. Vol. 1, No, 1, September 2008.
2. Jumlah Anak Yang Hidup
Jumlah anak yang dimiliki, paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
kematian matemal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal.
Risiko pada paritas I dapat ditangani dengan asuhan obscetri lebih baik, sedangkan risiko
pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dcngan keluarga bereneana yang salah
satunya menggunalcan kontrasepsi mantap yaitu vasektomi dan tubekcomi.
(Wiknjosano.1999) Hasil penelitian Pranita (2002) menyatakan terdapat hubungan
bermakna antara jumlah anak masih hidup dengan pemakaian kontrasepsi mantap. Dengan
interpretasi bahwa responden yang mempunyai anak kurang dari 3 orang yang masih
hidup mempunyai peluang 7,5 kali lebih tinggi untuk memilih non kontap(kontrasepsi
mantap) dibandingkan dengan responden yang mempunyai anak masih hidup lebih dari
sama dengan 3 orang. Noor (2002) menyatakan ada hubungan yang bermakna antara
jumlah anak yang masih hidup dengan pemakaian kontrasepsi mantap. Akseptor KB yang
mempunyai anak lebih dari 3 orang cenderung lebih banyak menggunakan
kontap(kontrasepsi mantap) dibandingkan dengan anak hidup sebanyak 2 atau kurang.
Hasil penelitian Purwoko (2000) dalam Ekarini (2008) jumlah anak hidup mempengaruhi
pasangan usia subur dalam menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Pada
pasangan dengan jumlah anak hidup masih sedikit terdapat kecenderungan untuk
menggunakan metode kontrasepsi dengan efektivitas rendah, sedangkan pada pasangan
dengan jumlah anak hidup banyak terdapat kecenderungan menggunakan metode
kontrasepsi dengan efektivitas tinggi. Hasil penelitian Yusuf (2001) rnenyatakan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara proporsi penggunaan MKJP dengan kelompok
responden yang memiliki jumlah anak hidup yang kecil dengan kelompok responden yang
memiliki jumlah anak yang lebih besar. Responden yang memiliki jumlah anak > 2 orang
mempunyai kemungkinan 20x lebih besar untuk menggunakan MKJP dibandingkan
dengan ibu yang mempunyai anak kurang dari 2 orang. Menurut BKKBN (1999) dalam
Amiranty (2003), umur dan jumlah anak yang pemah dilahirkan seorang wanita akan
mempengaruhi tingkat pemakaian kontrasepsi. Wanita dengan umur tinggi yang pada
umumnya mempunyai anak lebih banyak akan cenderung memakai kontrasepsi, terutama
untuk membatasi kelahiran. Sebaliknya pemakaian kontrasepsi pada wanita muda yang
belum mempunyai anak atau yang baru mempunyai anak daIam jumlah sedikit cenderung
ditujukan uniuk menjarangkan dan atau menunda kehamilan. Fienalia RA. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan penggunaan jangka panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesma Pancoran Mas Kota Depok tahun 2011. FKUI. Januari 2012.
3. Faktor pendidikan dan Pengetahuan
Berdasarkan penelitian di Kecamatan Jatirogo oleh Maiharti dan Kuspriyanto
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah sebanyak 13 orang (13%) responden yang
menggunakan metode kontrasepsi. Sedangkan tingkat pendidikan tinggi sebanyak 45
orang (45%) responden yang menggunakan metode kontrasepsi.
Berdasarkan hasil uji chi-square tingkat pendidikan Kecamatan Jatirogo memiliki nilai p
= 0,000 < 0,05 maka H0 dan H1 diterima ditolak artinya ada hubungan yang signifikan
antara tingkat pendidikan dengan penggunaan metode kontrasepsi pada PUS di Kecamatan
Jatirogo karena tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan dan persepsi
seseorang tentang pentingnya suatu hal, termasuk perannya dalam program KB. Pendapat
dari Broewer (1993) menyatakan bahwa faktor pendidikan seseorang sangat menentukan
dalam pola pengambilan keputusan dan penerimaan informasi daripada seseorang yang
berpendidikan rendah.
Pada penelitian ini, faktor pendidikan memiliki hubungan paling signifikan dengan
penggunaan metode kontrasepsi pada PUS di Kecamatan Jenu dengan nilai α = 0,05
adalah tingkat pengetahuan pasangan usia subur dengan p = 0,000. Berdasarkan hasil
analisis Regresi Logistik Berganda diperoleh variabel yang memiliki hubungan paling
signifikan dengan penggunaan metode kontrasepsi di Kecamatan Jenu adalah variabel
pengetahuan. Hal ini dikarenakan pasangan usia subur di Kecamatan Jenu yang memiliki
pengetahuan tinggi mempengaruhi persepsi mereka tentang kontrasepsi. Tingkat
pengetahuan PUS akan mempengaruhi penerimaan program KB pada PUS. Studi yang
dilakukan oleh Anne R Pebley dan James W Breckett (1982) menemukan bahwa ”Sekali
wanita mengetahui tentang pelayanan kontrasepsi, perbedaan jarak dan waktu bukanlah
hal yang penting dalam menggunakan kontrasepsi, dan mempunyai hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan metode kontrasepsi yang digunakan. HUBUNGAN TINGKAT
PENGETAHUAN, PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN DENGAN PENGGUNAAN METODE KONTRASEPSI PADA PUS DI KECAMATAN JENU
DAN KECAMATAN JATIROGO KABUPATEN TUBAN. Rinda Ika Maiharti ,Kuspriyanto. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. 2012.
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan
mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Oleh karena itu orang yang berpendidikan
akan lebih mudah menerima gagasan baru. Demikian pula halnya dengan menentukan
pola perencanaan keluarga dan pola dasar penggunaan kontrasepsi serta peningkatan
kesejahteraan keluarga. Pendidikan menunjukkan hubungan yang positif dengan
pemakaian jenis kontrasepsi artinya semakin tinggi pendidikan cenderung memakai
kontrasepsi efektif. Hal itu dikarenakan pendidikan dapat memperluas pengetahuan
mengenai alat kontrasepsi, mengetahui keuntungan yang diperoleh dengan memakai
kontrasepsi, meningkatkan kecermatan dalam memilih alat kontrasepsi yang dibutuhkan
dan juga kemampuan untuk mengetahui akibat sampingan dari masing-masing alat
kontrasepsi. Menurut BKKBN dalam Kusurnaningrunt pendidikan merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya
sesuatu hal termasuk pentingnya keikutsertaan dalam KB. Ini disebabkan seseorang yang
berpendidikan tinggi akan lebih luas pandangannya dan lebih mudah menerima ide dan
tata cara kehidupan baru. Purwoko (2000) dalam Ekarini (2008), mengemukakan
pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap
tentang metode kontrasepsi. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon
yang lebih rasional daripada mereka yang berpendidikan rendah, lebih kreatif dan lebih
terbuka terhadap usaha-usaha pembaharuan. la juga lebih dapat menyesuaikan diri
terhadap perubahan-perubahan sosial secara langsung maupun tidak langsung dalam hal
Keluarga Berencana (KB) karena pengetahuan KB secara umum diajarkan pada
pendidikan formal di sekolah dalam mata pelajaran kesehatan, pendidikan kesejahteraan
keluarga dan kependudukan. Semakin tinggi tingkat pendidikan pasangan yang ikut KB,
makin besar pasangan suami istri memandang anaknya sebagai alasan penting untuk
melakukan KB, sehingga semakin meningkatnya pendidikan semakin tinggi proporsi
mereka yang mengetahui dan menggunakan kontrasepsi untuk membatasi jumlah anaknya.
Penelitian yang dilakukan Ananta (1992) menyatakan bahwa tingkat pendidikan lebih baik
mempunyai hubungan yang positif dengan lama masa menggunakan kontrasepsi. Hasil
penelitian Yusuf (2001) menyatakan bahwa ada hubungan antara proporsi penggunaan
MKJP oleh responden yang berpendidikan rendah dan berpendidikan tinggi. Ibu yang
berpendidikan tinggi mempunyai kemungkinan 3 kali lebih besar untuk menggunakan
kontrasepsi MKJP dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. Fienalia RA. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan penggunaan jangka panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesma Pancoran Mas Kota Depok tahun 2011. FKUI. Januari 2012.
4. Pekerjaan Ibu
Penelitian yang dilakukan oleh BKKBN status pekerjaan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap pemakaian kontrasepsi besar kemungkinan wanita yang bekerja akan
lebih menyadari kegunaan dan manfaat KB dan lebih mengetahui berbagai metode
kontrasepsi dari wanita yang tidak bekerja. Hasil penelitian Pranita (2002) menyatakan
terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan pemakaian kontrasepsi mantap.
Responden yang tidak bekerja mempunyai peluang 1,9 kali lebih tinggi untuk memilih non
kontrasepsi mantap dibandingkan dengan responden yang bekerja. Amiranty (2013)
menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara status pekerjaan dengan
penggunaan MKJP. lbu yang bekerja memiliki peluang sebesar 2 kali untuk mernakai
MKJP dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Fienalia RA. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
penggunaan jangka panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok tahun 2011. FKUI. Januari 2012.
Berdasarkan suatu penelitian di Kota Semarang, menurut kriteria statistic dalam analisis
logit binary, variabel status kerja ini mempunyai nilai statistik Wald sebesar 0,619 dan
nilai koefisien sebesar negatif 0,2178825 dan tidak signifikan secara statistic (p-value =
0,434). Sesuai hipotesis yang dibangun, koefisien status kerja semestinya positif. Artinya
apabila seseorang bekerja produktif dengan maksud untuk membantu mencari nafkah bagi
keluarga mestinya probabilitas permintaan kontrasepsi modem juga akan semakin besar.
Namun temuan hasil penelitian justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya, dimana
responden yang berstatus kerja memutuskan untuk tidak menggunakan kontrasepsi. Ada
kemungkinan kecenderungan ini dikarenakan responden yang bekerja sudah memiliki
pengetahuan dan pemahaman akan side effect yang mungkin akan muncul dengan
pemakaian kontrasepsi.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kontrasepsi di Kota Semarang . Dinamika Pembangunan, Vol. 2 No. 1 / Juli 2005 : 40 – 56
5. Pendapatan
Berdasarkan penelitian di Kecamatan Jenu oleh Maiharti dan Kuspriyanto menunjukkan
bahwa pendapatan rendah sebanyak 15 orang (15%) responden yang menggunakan
metode kontrasepsi. Sedangkan pendapatan tinggi sebanyak 26 orang (26%)responden
yang menggunakan metode kontrasepsI. Berdasarkan hasil uji chi-square dapat diketahui
bahwa tingkat pendapatan Kecamatan Jenu memiliki nilai p = 0,004 < α sehingga
H0ditolak dan H1 diterima, artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat
pendapatan dengan penggunaan metode kontrasepsi pada PUS di Kecamatan Jenu.Rinda Ika Maiharti ,Kuspriyanto.Hubungan tingkat pengetahuan, pendidikan, tingkat pengetahuan, dan pendapatan dengan metode konrrasepsi pada
pasangan usia subur di Kecamatan Jenu dan Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. 2012.
Menurut kriteria statistik dari hasil estimasi yang telah dilakukan dalam penelitian
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kontrasepsi di Kota Semarang ,
pendapatan rata-rata keluarga per bulan mempunyai nilai statistik Wald sebesar 4,965 dan
nilai koefisien positif yang sebesar 0,0000010 dan signifikan pada taraf alpha 3 persen (p-
value = 0,026). Tanda positif di depan koefisien ini ternyata konsiten dengan hipotesis
yang telah ditetapkan. Ini memberikan indikasi bahwa semakin besar atau semakin tinggi
pendapatan rata-rata keluarga per bulan maka probabilitas permintaan kontrasepsi juga
semakin besar. Artinya semakin tinggi pendapatan keluarga per bulan maka kemampuan
ekonomi atau daya beli efektif responden terhadap jumlah kontrasepsi yang diminta akan
semakin besar pula. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kontrasepsi di Kota Semarang . Dinamika Pembangunan, Vol. 2
No. 1 / Juli 2005 : 40 – 56
6. Sikap
Sikap menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap sesuatu atau suka atau tidak
suka terhadap sesuatu. Dalam hal ini menyangkut alat kontrasepsi. Sikap responden
sangat berpengaruh terhadap alat kontrasepsi yang akan dipilih. Responden yang
memiliki sikap yang baik terhadap sesuatu dapat disebabkan oleh kepercayaan positif
yang dimiliki oleh responden. Begitupun sebaliknya, jika kepercayaan terhadap sesuatu
bersifat negatif, maka menimbulkan sikap yang negatif pula. Penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa hanya sedikit responden yang sangat setuju dengan
pernyataan kontrasepsi jangka panjang (spiral, implant/susuk, MOW) lebih efektif
daripada non-MKJP (suntik, pil, dan kondom wanita). Sikap negatif responden terhadap
jenis kontrasepsi MKJP disebabkan oleh pengetahuan responden yang tidak menyeluruh
mengenai KB, rasa takut, rasa tidak nyaman, dan adanya pengaruh orang lain yang
diketahui melalui cerita yang menyebabkan timbulnya sikap negatif terhadap alat
kontrasepsi MKJP. Sikap negatif mengenai MKJP ini kemudian menyebabkan
ketidakinginan responden untuk memilih jenis kontrasepsi MKJP. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arief di Kabupaten Lampung Tengah
yang menyatakan terdapat hubungan antara sikap dengan pemilihan alat kontrasepsi
(p=0,026).Anggraeni, Desiyana. Hubungan Karakteristik, Pengetahuan dan Sikap terhadap Pemilihan Kontrasepsi pada Peserta Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang tahun 2004. Universitas Diponegoro. Januari 2010. Diunduh dari :
http://eprints.undip.ac.id/5486/