Post on 11-Aug-2015
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama Pasien : Ny. A
Umur : 23 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : D3 Manajemen Informatika
Agama : Islam
Suku : Jawa
Nama Suami : Tn. AI
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Karyawan swasta
Pendididikan : S-1 Sarjana Informatika
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Graha melati B14 no 21, Tambun
1
II. DATA DASAR
A. Anamnesis
a. Keluhan utama : Keluar air – air dari kemaluan sejak 10 jam
b. Keluhan tambahan : Keluar flek – flek sejak jam 12.30, mules – mules 5 jam
sebelum masuk rumah sakit
c. Perangai pasien : Koopertif
d. Riwayat penyakit sekarang :
G1P0A0H 6 bulan datang dengan keluhan keluar air-air sejak 10 jam
putih keruh tidak berbau, keluar flek – flek sejak 4 jam sebelum masuk
rumah sakit.
Periksa kehamilan di RS Mitra Keluarga pada 3 bulan pertama kehamilan
dan selanjutnya di RS Kartika Husada, belum pernah dilakukan
pemeriksaan USG. Tiap periksa hamil dinyatakan tidak ada kelainan
dalam kehamilan.
HPHT ; 1 Juni 2006, TP ; 8 Maret 2007.
Pasien menyangkal tidak pernah jatuh pada saat kehamilan ini, tidak
pernah terjadi pendarahan, pekerjaan dirumah dibantu pembantu, tidak
pernah mengangkat beban berat tiba-tiba, BAK normal, tidak ada nyeri
pada saat berkemih, kencing pada saat malam hari tidak pernah lebih dari
2 kali, BAB normal tidak ada masalah, tidak ada pusing, mual dan muntah
tidak ada dan tidak merokok.
Tidak pernah menderita daerah pipi merah berbentuk seperti kupu-kupu,
tidak pernah mengalami kebotakan rambut baik selama hamil maupun
sebelum hamil, tidak pernah berat badan turun mendadak, tidak pernah
mengalami gangguan yang berhubungan dengan darah.
2
e. Riwayat penyakit yang dulu
Hipertensi : disangkal
DM : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Asthma : disangkal
TBC : disangkal
Ginjal : disangkal
Penyakit imunologik : disangkal
Riwayat keputihan : disangkal
Penyakit pendarahan : disangkal
Alergi obat : disangkal
f. Riwayat penyakit keluarga
Hipertensi : disangkal
DM : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Asthma : disangkal
TBC : disangkal
Alergi obat : disangkal
g. riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Siklus : teratur 30 hari
Lamanya : 7 hari
Jumlah : 2-3 kali ganti pembalut
3
h. Riwayat pernikahan
Menikah 1 kali saat umur 22 tahun dan suami berumur 27 tahun
Belum mempunyai anak
i. Riwayat Obstetri : Tidak ada
j. Riwayat keluarga berencana : Tidak ada
k. Riwayat kebiasaan
Tidak merokok
Tidak minum kopi
Tidak minum alkohol
Tidak memakai obat-obatan diluar resep dokter
Koitus selama kehamilan nomal tidak memakai kondom
PEMERIKSAAN FISIK DAN LABORATORIUM PADA WAKTU MASUK
B. Pemeriksaan fisik
1. Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi badan : 167 cm
Berat badan : 62 kg
Tanda-tanda vital : TD : 110/80 mmHg
Nadi : 96 kali/ menit
RR : 22 kali/ menit
Suhu : 37° C
Mata : konjungtiva tidak anemis -/-, sklera tidak ikterik -/-
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Pulmo : Suara napas dasar vesikuler, rhonki tidak ada,
wheezing tidak ada
Jantung : BJ I-II reguler, tidak ada murmur, tidak ada
gallop
4
Abdomen : Perut tampak membesar seusia dengan masa ke-
hamilan, keras BU (+), normal, nyeri tekan epigas
trium tidak ada, hati dan limfa tidak teraba
Ekstremitas : - Tidak ada edema di keempat ekstermitas
- Akral hangat
STATUS OBSTETRI
Periksa luar
Tinggi fundus uteri 24 cm
Ballotement +
DJJ 150 x/ menit reguler
His –
Kontraksi –
Periksa dalam
I. : Vulva dan uretra tenang, pendarahan aktif tidak ada, tampak cairan keluar, per
vagina tidak berbau
Io : Porsio licin, ostium tertutup, tampak air ketuban putih keruh, keluar dari
ostium
uteri eksternum tidak berbau dan forniks posterio, fluksus tidak ada, fluor
tidak ada. Test lakmus positif
VT : Tidak dilakukan
5
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
USG
USG pada tanggal 10 januari 2007
Hasil : - Janin tunggal hidup presentasi kepala G1P0A0 hamil 31 minggu + KPD
- Plasenta : Korpus depan
- Amnion : Diameter 4,6 cm
- Jantung : Four chamber view dalam batas normal THR 160x/ menit
reguler
- Anomali : Tidak tampak
- Biometri : DBP 80mm LK 287mm PF 59mm TBJ 1495gram
- Doppler : SDAU 2,00
Penilaian : - Hamil 31 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala +
Oligohidromnion
- Janin dan plasenta dalam batas normal
- FDJP masih baik
6
12/01/07 14/01/07 18/01/07 24/01/07 26/01/07Hb 10,8 11,9 11 12,5 12,7
Ht 3.3 3.6 34 36 37
Eritrosit 4.1 juta/ul 4.5 juta/ul 4.52 juta/ul 4.6 juta/ul 4.7 juta/ul
Leukosit 14500/ul 14200/ul 12.000/ul 12900/ul 15.100/ul
Trombosit 307000/ul 398000/ul 398000/ul 367000/ul 36400/ul
MCV 80 fl 80 fl 80 fl 80 fl 77 fl
MCH 25 pg 26 pg 26 pg 27 pg 27 pg
MCHC 31g/dl 33g/dl 33g/dl 34g/dl 35g/dl
USG pada tanggal 16 januari 2007
Hasil : - Janin tunggal hidup presentasi kepala G1P0A0 hamil 31 minggu + KPD
- Plasenta : Korpus depan
- Amnion : Diameter 4,6 cm
- Jantung : Four chamber view dalam batas normal FHR 160x/ menit
reguler
- Anomali : Tidak tampak
- Biometri : DBP 80mm LK 287mm PF 59mm TBJ 1495gram
- Doppler : SDAU 2,00
Penilaian : - Hamil 31 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala +
Oligohidromnion
- Janin dan plasenta dalam batas normal
- FDJP masih baik
USG pada tanggal 25 januari 2007
Hasil : - Janin tunggal hidup presentasi kepala G1P0A0 hamil 31 minggu + KPD
- Plasenta : Korpus depan
- Amnion : Diameter 3,6 cm
- Jantung : Four chamber view dalam batas normal FHR 160x/ menit
rerguler
- Anomali : Tidak tampak
- Biometri : DBP 77mm LK 279mm PF 59mm TBJ 1950gram
USG pada tanggal 27 januari 2007
Hasil : - Janin tunggal hidup presentasi kepala G1P0A0 hamil 31 minggu + KPD
- Plasenta : Korpus depan
- Amnion : Diameter 3,6 cm
- Jantung : Four chamber view dalam batas normal FHR 160x/ menit
rerguler
- Anomali : Tidak tampak
- Biometri : DBP 82mm LK 279mm PF 64mm TBJ 2093gram LP
285mm ICA 4,1
7
Diagnosis kerja
IBU :
G1P0A0 hamil 31 minggu, belum inpartu (pelvic score 4)
Ketuban pecah 10 jam
JANIN :
Presentasi kepala tunggal hidup
RENCANA PENATALAKSANAAN
1. USG
2. Cek DPL, UL,GDS, BT, CT
3. Observasi TNSP
4. Observasi kontraksi/tanda vital ibu (suhu, nadi, TD)/ djj tiap jam
Rencana terapi : a. Tokolisis : Nifedipin 10 gram tiap 6 jam sampai 4 kali
b. Injeksi : Amoxillin 3x 1 gram IV
c. Pematangan paru : Dexametason 2x6 gram IV 2 hari
Rencana pendidikan :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang rencana terapi dan masalah
tersebut diatas
8
DAFTAR MASALAH KPD Resiko Infeksi Resiko persalinan premature Oligohidroamnion
III. PROGNOSIS
IBU : Dubia ad bonam
JANIN : Dubia ad bonam
IV. FOLLOW UP
Tanggal 9 Januari 2007
G1A31 minggu JPKTH KPD 10 jam Oligohidroamnion (berdasarkan
USG pada tanggal 10 januari 2007)
S : Mules ( –) keluar air ( –) gerak janin (+ ) demam ( –)
Status generalis
TD : 120/80 N : 89x/menit R : 18x/ menit S : 36,7
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 156 dpm I : v/u tenang
A : G1H31 minggu JPKTH KPD 10 jam, riwayat kontraksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU , cek DPL UL GDS
Konservatif : - Nifedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500mg IV
- Dexamethason 2x6 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Tanggal 10 Januari 2007
G1A31 minggu JPKTH KPD 10 jam Oligohidramnion
S : Mules (–) keluar air (–) gerak janin (+) demam (–)
Status generalis
TD : 120/80 N : 89x/menit R : 18x/ menit S : 36,7
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 150 dpm I : v/u tenang
9
A : G1H31 minggu JPKTH KPD 1 hari Oligohidramnion, riwayat
kontarksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS
Konservatif : - Nipedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500mg IV
- Dexamethason 2x6 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Tanggal 11 Januari 2007
S : Mules (–) keluar air (–) gerak janin (+) demam (+)
Status generalis
TD : 120/80 N : 84x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 150 dpm I : v/u tenang
A : G1P0A0 H 31 minggu JPKTH KPD 3 hari Oligohidramnion berat,
riwayat kontraksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
Konservatif : - Nifedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500mg IV
- Dexamethason 2x6 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Tanggal 12 Januari 2007
S : Mules (–) keluar air (–) gerak janin (+) demam (+) keluar air jika
janin bergerak
Status generalis
TD : 110/60 N : 76x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 153 dpm I : v/u tenang
A : G1P0A0 H 31 minggu JPKTH KPD 4 hari Oligohidramnion berat,
riwayat kontraksi
10
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
Konservatif : - Nifedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500 mg IV
- Dexamethason 2x6 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Tanggal 15 Januari 2007
S : Mules (–) keluar air (–) gerak janin (+) demam (+) keluar air jika
janin bergerak
Status generalis
TD : 110/60 N : 76x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 153 dpm I : v/u tenang
A : G1P0A0 H 31 minggu JPKTH KPD 4 hari Oligohidramnion berat,
bebas kontraksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
Konservatif : - Nipedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500 mg IV
- Dexamethason 2x6 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Tanggal 16 Januari 2007
S : Keluar air dari malam hari sampai dengan pagi hari (+), gerak janin
(+)
Status generalis
TD : 110/60 N : 76x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 148 dpm, tampak air ketuban
merembes I : v/u tenang
A : G1P0A0 H 31 minggu JPKTH KPD 5 hari Oligohidramnion berat,
bebas kontraksi
11
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
Konservatif : - Nifedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500 mg IV
- Dexamethason 2x6 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Tanggal 17 Januari 2007
S : Keluar air dari malam hari sampai dengan pagi hari (+), gerak janin
(+)
Status generalis
TD : 110/60 N : 76x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 148 dpm, tampak air ketuban
merembes I : v/u tenang
A : G1P0A0 H 31 minggu JPKTH KPD 6 hari Oligohidramnion berat,
bebas kontraksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU , cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
Konservatif : - Nipedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500 mg IV
- Dexamethason 2x6 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
- Jika tanda-tanda infeksi (+) terminasi
Tanggal 25 Januari 2007
S : Keluar air dari malam hari sampai dengan pagi hari (+), gerak janin
(+), kontraksi (+)
Status generalis
TD : 110/60 N : 76x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (-) djj 148 dpm, tampak air ketuban
merembes I : v/u tenang
12
A : G1P0A0 H 31 minggu JPKTH KPD 14 hari Oligohidramnion
berat, babas kontraksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
Konservatif : - Nifedipin 4x10 mg
- Amoxcillin 3x1 500 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Hasil USG : - Janin dan aktifitasnya baik
- Plasenta fundus depan
- ICA 3,6
- DBR 77
- LK 27,9
- LP 27,9
- TBJ 1950
- PF 6,3
Penilaian : - Hamil sesuai dengan biometri 32 minggu
- Oligohidramnion sedang
Tanggal 26 Januari 2007
S : Mules (+) air ketuban hijau, gerak janin (+), kontraksi (+)
Status generalis
TD : 110/60 N : 100x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (+) djj 148 dpm, I : v/u tenang VT : portio
kenyal, belakang, ketuban (-), kepala diatas PAP
A : G1P0A0 H 32 minggu JPKTH KPD 18 hari Oligohidramnion
berat, bebas kontraksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
13
Konservatif : - Nifedipin 4x10 mg
- Bactrim 2x375 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
Hasil USG : - Janin dan aktifitasnya baik
- Plasenta fundus depan
- ICA 3,6
- DBR 77
- LK 27,9
- LP 27,9
- TBJ 1950
- PF 6,3
Penilaian : - Hamil sesuai dengan biometri 32 minggu
- Oligohidroamnion sedang
Tanggal 27 Januari 2007
S : Mules (-), gerak janin (+), kontraksi (+)
Status generalis
TD : 110/60 N : 84x/menit R : 20x/ menit S : 37,5
Status Obstetri : Kontraksi (+) djj 148 dpm, I : v/u tenang VT : portio
kenyal, belakang, ketuban (-), kepala diatas PAP
A : G1P0A0 H 32 minggu JPKTH KPD 19 hari Oligohidramnion
berat, bebas kontraksi
P : Observasi tanda vital, tanda IIU, cek DPL UL GDS, kultur cairan
ketuban
Konservatif : - Nifedipin 4x10 mg
- Bactrim 2x375 mg IV
- Bed rest
- Hidrasi cukup
14
Hasil USG : - Janin dan aktifitasnya baik
- Plasenta fundus depan
- ICA 3,6
- DBR 77
- LK 27,9
- LP 27,9
- TBJ 1950
- PF 6,3
Penilaian : - Hamil sesuai dengan biometri 32 minggu
- Oligohidramnion sedang
V. LAPORAN PERSALINAN
Tanggal 26 Januari 2007 pukul 11.40 WIB ibu gelisah ingin meneran his
4x10 detik kuat, relaksasi baik, djj positif 148x/menit
Pada pembukaan lengkap, ketuban negatif, presentasi kepala, UUK H3
Ibu dipimpin meneran sesuai dengan datangnya his, kepala maju kemudian
dilakukan episiotomi medialis, kemudian pada saat his ibu dipimpin
meneran kepala maju sampai suboksiput berada dibawah simpisis sampai
hipimoklion. Tangan kanan menahan perinium agar tidak terjadi ruptur
perinei dan tangan kiri menahan belakang kepala bayi agar tidak terjadi
defleksi telalu cepat. Maka lahirlah berturut-turut UUB, dahi, hidung, mulut,
dagu, maka lahirlah seluruh kepala bayi.
Cek tali pusat apakah ada lilitan atau tidak, ternyata tidak ada lilitan.
Tunggu kepala mengadakan putar paksi luar sesuai dengan arah kebawah
untuk menarik bahu kedepan tarik keatas untuk melahirkan bahu belakang,
tangan kiri mengatasi punggung bayi sampai trochanter maka lahirlah bayi
seluruhnya.
Kemudian diletakkan diperut ibu, pukul 12.10 WIB bayi lahir jenis laki-laki
BB 2300gram, PB 40cm, anus (+), cacat (-)
15
Kala 3
Plasenta lahir 12.20 spontan, lengkap
Robekan : Marginal : berat 300 gram : luas 18x13x 2 cm2, panjang tali
pusat 25cm.
Kala 4
TD 110/80 N : 84x/menit R : 18x/menit S : 36 kundus uteri : 2 jari
dibawah pusat, kontraksi : Baik, perdarahan 100cc
16
TINJAUAN PUSTAKA
A. KETUBAN PECAH DINI (KPD)
I. Definisi ketuban pecah dini1Pada prinsipnya normal selaput ketuban pecah yaitu pada akhir kala I dan kala
awal II persalinan. Tetapi dapat juga pecah sampai saat mengedan, sehingga kadang
perlu dipecahkan atau dilakukan amniotomi.
Ketuban pecah dini (early rupture of the membrane) ada bermacam-macam
barasan teori/definisi. Ada teori beberapa jam sebelum inpartu. Ada juga yang
mengatakan dalam ukuran pembukaan serviks pada kala I, misalnya ketuban yang
pecah sebelum pembukaan serviks 3 cm pada primi atau 5 cm pada multipara.
Ketuban dinyatakan pecah dini apabila terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung
Ketuban pecah dini dinyatakan pecahnya cairan amnion sebelum mulainya
persalinan.
II. Struktur dan fungsi selaput ketuban
Selaput ketuban ketebalannya 0,02 – 0,05 mm yang mengikuti pertumbuhan dan
perkembangan janin. 5 lapis selaput ketuban dari dalam keluar:
1. Lapisan epitel yang mengeluarkan kolagen dari glikoprotein non kolagen
membrane basalis.
2. Membrane basalis.
3. Stratum komprakta yang merupakan kolagen yang dikeluarkan oleh sel-sel
oleh lapisan fibroblast yang berfungsi mempertahankan integritas selaput
ketuban.
4. Lapisan fibroblast merupakan lapisan amnion paling tebal yang terdiri dari
sel-sel mesenkin dan makrofag didalam jaringan extraseluler kolagen.
5. Zona spongiosa langsung berhadapan dengan korion yang berfungsi untuk
mengurangi gesekan antara korion dengan amnion.
1
17
III. Fungsi air ketuban
1. Melindungi janin terhadap trauma dari luar/ proteksi
2. Memungkinkan janin bergerak dengan bebas.
3. Melindungi suhu tubuh janin
4. Meratakan tekanan didalam uterus pada patus sehingga serviks membuka.
5. Membersihkan jalan lahir. Jika ketuban pecah dengan cairan steril dan
mempengaruhi keadaan dalam vagina sehingga bayi kurang mengalami
infeksi.
IV. Kalifikasi Indeks cairan amnion
1. Kurang dari 5 cm > Oligohidroamnion berat
2. 5-10 cm > Oligohidramnion ringan
3. 10-25 cm > Normal
4. Lebih dari 25 cm > Polidramnion
B. PATIFISIOLOGI KETUBAN PECAH DINI/ PREMATURE REPTURE OF
MEMBRANE (PROM)2Kejadian ketuban pecah dini sekitar 15% dari seluruh persalinan dengan
ketuban pecah sebelum persalinan dimulai (berupa tetesan atau semburan).
Sedangkan menurut Eastman dan Mochtar (1998) insiden ketuban pecah dini 12%
dari semua kehamilan.
Banyak teori penyebab KPD mulai dari efek kromosom, kelainan kolagen,
sampai infeksi (sampai 65%) high virulence : Bacteroides dan low virulence :
Lactobacillus.
Kolagen (makro molekul utama pada sebagian besar jaringan ikat dan
merupakan protein paling banyak di tubuh) terdapat pada lapisan kopakta amnion,
fibroblast jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi
jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibishi interleukin- I (IL-I)
dan prostagladin, menghasilkan kolagenese jaringan, sehingga terjadi
2
18
depolimerisasi kolagen pada selaput amnion/ korion, menyebabkan selaput ketuban
tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
Kolagen interstitial (kolagen I) terdapat di jaringan-jaringan yang memiliki daya
regang tinggi, misalnya tulang dan tendon. Di jaringan lain kolagen III dipercaya
memiliki kontribusi untuk terhadap integritas jaringan, berfungsi untuk
meningkatkan ekstenbilitas serta daya regang.
C. FAKTOR PREDISPOSISI / FAKTOR RESIKO KETUBAN PECAH DINI
Ketuban pecah dini berhubungan erat dengan persalinan preterm dan infeksi
ante partum. Beberapa faktor predisposisi tersebut diantaranya :
1. Multiparitas
2. Meningkatnya tekanan intra uterin/ ketegangan rahim berlebihan misalnya
pada kehamilan ganda (janin relatif lebih besar dan kantong relatif lebih
kecil sedangkan dibawah tidak ada yang menahan) dan hidramnion ( Cairan
amnion banyak fetus kecil)
3. Incompetensi serviks
4. Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang dan letak lintang
5. Kemungkinan panggul sempit : perut gantung, bagian terendah belum
masuk PAP (sehingga ketuban bagian bawah menggembung dan mudah
pecah), dan Cephalopelvik disproporsional (CPD)
6. Kelainan bawaan dari selaput ketuban (selaput ketuban terlalu tipis)
7. Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban
bagian dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah :
korioamnionotis
8. Trauma : Pekerjaan berat menyebabkan uterus berkontraksi, amniosentesis,
dan koitus
9. Kadar CRH (Corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya
pada stress psikilogis, dbs dapat menjadi stimulasi persalinan preterm.
10. Berkurangnya kekuatan membran.
11. Preterm (<37 minggu) janin relatif lebih kecil, mudah menekan kebawah .
19
12. Pecah ketuban pretern ternyata berkaitan dengan komplikasiobstetric yang
mempengaruhi hasil perinatal antara lain kehamilan multijanin, presentasi
bokong, korioamnionitis dan gawat janin intrapartum
D. KOMPLIKASI KETUBAN PECAH DINI
Ketuban menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam
rahim. Sehingga memudahkan terjadinya infeksi ascenden. Salah satu fungsi selaput
ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim,
persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi atua janin dalam rahim. (Manuaba, 1998).
Disamping itu, ketuban pecah dini yang disertai dengan kelainan letak akan
mempersulit pertolongan persalinan yang dilakukan di tempat dengan fasilitas yang
belum memadai. Komplikasi ketuban pecah dini diantaranya :
A. Terhadap Ibu
Karena jalan lahir telah terbuka maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalgi
terlalu sering diperiksa dalam (VT), selain itu dapat juga dijumpai infeksi puerpuralis,
peritonitis, dan septicemia.
Ibu akan merasa lelah karena berbaring di tempat tidur, partus akan terjadi lama
maka suhu badan akan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala infeksi. Hal ini kan
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas ibu.
B. Terhadap janin
1. Persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm
Ketuban yang pecah dapat merangsang janin untuk keluar dan ini dapat dicegah
dengan tokolitik.
2. Prolaps tali pusat, bisa sampai gawat janin dan kematian janin akibat hipoksia
(sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang)
3. Distosia (partus kering / dry labor)
Menyebabkan gesekan anak dan jalan lahir serta kontraksi uterus tidak sesuai
dengan bentuk janin yang akibatnya banyak cairan yang keluar.
20
4. Infeksi (terbanyak).
Walaupun ibu belum menujukkan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin
sudah terkena infeksi karena infeksi intrauterine lebih dulu terjadi seperti amnionitis,
vaskulitis yaitu gejala yang ibu belum rasakan. Infeksi ini melalui ascending
fetoplasental infection atau melalui darah, usus tuba. Infeksi dapat pula terjadi melalui
infeksi intra uterine : Staphylococcus, Streptoccocuc, E.Coli, Klebsiella, jamur, virus,
bakteri, dan anaerob.
PROM berpengaruh pada kehamilan dan persalinan jarak antara pecahnya
ketuban dan persalinan disebut periode laten/PL/lag period. Makin muda umur
kehamilan makin panjang LP-nya. Sedangkan lamanya persalinan lebih pendek dari
biasanya yaitu permi 10 jam atau multipara 6 jam. Bila jarak antara pecahnya ketuban
dan partus 24 jam kematian perinatal meningkat menjadi 3 kali. Ketuban pecah dini
berhubungan erat dengan persalinan preterm karena adanya esiko peningkatan
morbidatas perinatal akbat imaturitas janin.
Bila kelahiran tidak terjadi dalam 24 jam maka terjadi resiko peningkatan
infeksi intra uterin. Pada ketuban pecah 6 jam resiko infeksi meningkat menjadi 1 kali,
sedangkan ketuban yang pecah 24 jam resiko infeksi menjadi 2 kali.
Protocol : paling lama 1 x 24 jam setelah ketuban pecah sudah harus partus.
E. DIAGNOSA 3 Daya subyektif : Anamnesa
Keluar air-air ( bening keputihan mengandung verniks kaseosa ), tidak ada nyeri
maupun kontak uterus. Jika sudah terjadi infeksi intarpartum ( misalnya
amnionitis) didapat keluhan demam tinggi, nyeri abdomen dan keluar cairan
pervagianam berbau.
Riwayat haid
Ketuban pecah sebelum taksiran kelahiran. Umur kelahiran diperkirakan dari
haid terakhir
3
21
Data obyektif :
Pemerikasaan fisik
Pemeriksaan umum : Tanda-tanda vital dapat seperti tensi, nadi, suhu dan
respirasi rate normal kecuali ada infeksi intra uterin
Pemeriksaan Abdomen
4 Pemeriksaan penunjang
- USG : Untuk menilai jumlah air ketuban, menentukan umur kehamilan, letak
plasenta, letak janin dan berat janin
- Amniosentesis : Cairan dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kamatangan
paru janin (rasio L/S : fosfatidilgliserol, fosfatidi (kolin jenuh).
Pewarnaan gram dan hitung koloni kuantitatif membuktikan
adanya infeksi intra uterin
- Protein C-reaktif : Serum menunjukkan peningkatan peringatan awal
korioamnionitis
Pada kasus ketuban pecah dini yang disertai infeksi intrauterine ditemukan :
Ibu febris > 38° C
Ibu Takikardia (> 160 denyut permenit)
Nyeri abdomen, nyeri tekan usus
Cairan amnion berwarna merah keruh atau hijau dan berbau
Leukositosis pada pemeriksaan darah tepi (>15000-20000/mm)
Pemeriksaan penunjang lain : leukosit esterse (+) hasil degradasi leukosit normal/
negatif ), pemeriksaan gram, kultur dareah, protein C- reaktif
Langkah pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah dini (Cornelia dan
Tessy, 2006)
1. Kelurnya cairan njernih dari vagina secara tiba-tiba
2. Inspekulo : keluarnya cairan dari orificium uteri eksternal saat fundus uteri ditekan
atau digerakkan
3. Adanya perubahan kertas lakmus merah (nitrazine merah) menjadi biru
4
22
4. Periksa dalam vagina : ketuban tidak ada
5. Tidak ada his dalam 1 jam
Bahaya ketuban pecah dini adalah kemungkinan infeksi dalam rahim dan persalinan
prematuritas yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Oleh
karena itu pemeriksaan dalam perlu dibatasi sehingga resiko infeksi dapat dikurangi
dengan berbagai upaya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (man
Penilaian klinik
- Tentukan pecahnya selaput ketuban
Ditentukan dengan adanya cairan ketuban vagina, jika ada dapat dicoba dengan
menggerakkan sedikit bagian terbawah janijn atau meminta pasien untuk batuk,
penetuan cairan ketuban dapat ditentukan dengna tes lakmus menjadu biru
- Tentukan usia kehamilan bila perlu dengn pemeriksaan USG
- Tentukan dengn tidak adanya infeksi
- Tentukan dengan tanda-tandanya inpartu
Tentukan adanya kontraksi yang teratur , periksa dalam dilakukan bila akan
dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor
pelvic
5 Komplikasi Infeksi intrapartum
- Komplikasi pada ibu
Endometritis , penurunan aktifitas miometrium (diastonia, atonia), sepsis CEPET
(karena daerah uterus dan intraamnion memiliki vaskularisasi sangant banyak),
dapat terjadi shock septik sampai kematian ibu
- Kompllikasi pada janin
Asfiksia jainin, sepsis perinatal sampai kematian janin
5
23
Diagnosis banding
Diagnosis banding : inkontisia urine
Cara membedakan inkontinesia urin dengan ketuban pecah dini yaitu dengnan
membandingkan PH urin dan PH vagina
PH urin biasanya asam, sedangkan pH vagina pada kasus ketuban pecah adalah basa,
yang disebabkan oleh cairan amnion pengubah PH asam normal vagian menjadi basa.
Penatalaksanaan
Bedrest
Sedative fenobarbital 3x30mg/ hari (emosi merangsang kontraksi uterus)
Minum 2 liter air /hari sehingga sekresi adh dan oksitosin menirun
Antibiotika (untuk menghindari jika adanya infeksi)
Dexametason 3x5mg/ hari selama 2 hari untuk menantang paru
Bila ada kontraksi uterus berikan tokolitik untuk mencegah partus prematurus
B-mimetik : terbutalin, insoksuprin
Antiprostagladin : aspirin
Progesteron E
Jika terjadi infeksi (leukosit > 15000, suhu > 38 derajat celcius, air ketuban
keruh) akhiri kehamilan
Bila kehamilan 33-35 minggu dengan BB>2500 gram :
Theraphy konservatif 24 jam
Induksi dengan okistosin (sintosinon) drips
Bila kehamilan > 36 minggu dengan BB >25000gram dilakukan Management Aktif
Bila His (+), maka pimpin persalinan
Bila His (-) :
- Untuk KPD <6 jam, pelvic score <5 maka dilakukan induksi dengan
sintosinon
- Untuk KPD > 6 jam, pelvic score< 5 dilakukan SC
- Untuk KPD >6 jam, pelvic sore>5, dilakukan induksi
24
Persalinan diinduksi dengan oksitosin selama presentasi janin adalah presentasi
kepala, bila induksi gagal dilakukan Seksiosesarea
Bila ada infeksi intaruterin berikan antibiotok spectrum luas secara iv. Persalinan
juga diinduksi dengan oksitosin selama presentasinya kepala. Bila diinduksi gagal
dianjurkan Seksiocesarea. Berikan pendidikan kepada pasien berupa dukungan emosi
dan anjuran pasien untuk tidak melakkuakn pencucian vagian ataupun senggama
terutama bila janin pretern dan dipilih tanpa tindakan.
6Prinsip penatalaksanaan kasus ketuban pecah dini
1. Pada ketuban pecah terminasi batas waktu 1x24 jam
2. Jika ada tanda infeksi intrapartum terminasi kehamilan/ persalinan batas waktu 2
jam
3. Jangan terlalu sering periksa dalam
4. Bila perlu induksi persalinan
5. Observasi dan optimalisasi keadaan ibu (oksigen)
6. Antibiotik spektrum luas : Gentamicin iv 2x8o mg ampicillin iv 4x 1mgg,
amoxillin iv 3x1mg, penicillin 3x1,2 juta IU, metronidazol trip
7. Uterotonika : methergin 3x1 ampul drip
8. Pemberian kortikosteroid bersamaan dengan antibiotika spektrum luas untuk
menstimulasi pematangan paru janin (surfaktan)
KEHAMILAN PRETERM7Terdapat peningkatan insiden solusio pada ketuban pecah dini preterm. Gonen
dkk. (1998) melaporkan insiden 6,5 % pada 143 kehamilan berusia kurang dari 34
minggu yang ketubannya pecah lebih dari 24 jam.
Penatalaksanaan menunggu pada kehamilan prematur
6
7
25
Menunda pelahiran mungkin bermanfaat apabila janin masih imatur. Shill
(1987) melaporkan pada 72 wanita dengan kehamilan antara 26 dan 37 minggu secara
klinis didiagnosa solusio plasenta. Sekitar separuh melahirkan dalam 3 hari setelah
dirawat karena semakin parahnya pendarahan, gawat janin, atau keduanya. Yang
menarik angka seksio seksarea adalah sekitar 50% bagi mereka yang melahirkan segera
setalah dirawat serta pada mereka yang pelahirannya ditunda selama paling sedikit 3
hari. Pada studi lain Bond dkk (1989) menerapkan panatalaksanaan menunggu terhadap
43 wanita dengan solusio palsenta sebelum 35 minggu; 31 dari mereka mendapat terapi
tokolisis. Rerata waktu sampai pelahiran pada -43 kasus tersebut adalah sekitar 12 hari
dan tidak ada kelahiran mati. Seksio seksarea dilakukan pada 75% kasus.
Wanita dengan tanda-tanda solusio dini sering manglami oligohidramnion,
dengan atau tanpa ketuban pecah dini. Elliot dkk (1998) melaporkan dengan 24 wanita
yang mengalami solusio dengan rerata usia gestasi 20 minggu dan juga mengalami
oligohidramnion. Mereka melahirkan pada usia gestasi rerat 28 minggu.
Tidak adanya deselarasi yang merugikan tidak menjamin lingkungan intrauterin
aman. Plasenta dapat mengalami pemisahan lebih lanjut setiap dan sangat
membahayakan yaitu mematikan janin kecuali apabila janin segera dilahirkan.
Beberapa kausa langsung rawat janin akibat solusio plasenta diperlihatkan digambar
25-6. harus segera dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki hipovolemia, anemia
dan hipoksia ibu, sehingga fungsi plasenta ynag masih berimplantasi dapat dipulihkan
dan dipertahankan demi kesejahteraan janinyang mengalami kegawatan. Tidak banyak
yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kausa lain penyebab gawat janin kecuali
dengan melahirkan janin.
TOKOLISIS
26
Terapi tokolisis pada persalinan preterm
8Persalinan preterm didefinisikan secara klinis sebagai dilatasi serviks progresif
dan atau pendataran dengan kontraksi uterus reguler sebelum kehamilan 37 minggu
lengkap atau kurang dari 259 hari dari hari pertama haid terakhir. Kelahiran preterm
kurang dari 37 minggu lengkap terjadi pada 5-10% kehamilan, sehingga diperkirakan
terjadi 13 juta kelahiran preterm di seluruh dunia. Persalinan preterm merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal di seluruh dunia. Kelahiran ini
mewakili 70% morbiditas dan mortalitas perinatal.9Diagnosis klinik persalinan preterm secara tradisional didasarkan oleh adanya
kontraksi uterus dan perubahan serviks. American College of Obstetricians and
Gynecologists (1997) telah mengusulkan kriteria untuk menentukan persalinan preterm
pada kehamilan antara 20-37 minggu :
1. Kontraksi dengan frekuensi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit
dengan perubahan progresif pada serviks.
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.
3. Pendataran serviks 80% atau lebih.
Patogenesis10Membran dan desidua sebagai respon terhadap rangsangan radang-biasanya
infeksi atau iskemia, namun bisa juga traumatik- akan memproduksi sitokin (tumor
necrosis factor alfa, interleukin 1 (IL-1) dan interleukin 6 (IL-6)). Sitokin ini akan
merangsang elaborasi lipid uterotonik (prostaglandin E2, Prostaglandin F2,
thromboxane A2, leukotrienes B4 dan C4, dan yang lainnya) yang menstimulasi
kontraksi miometrium dan dapat menginisiasi pelepasan protease yang mampu merusak
membran dan desidua di bawahnya, yang pada akhirnya melalui stimulasi
prostaglandin mengakibatkan pematangan serviks, dilatasi dan atau ketuban pecah.
Apakah suatu rangsangan radang akan mengakibatkan kelahiran prematur
dipengaruhi oleh intensitas dan durasi rangsangan tersebut, usia kehamilan saat
terjadinya rangsangan tersebut dan respons host terhadap kerusakan yang ada. Usia
8
9
10
27
kehamilan adalah penting, karena respon uterus terhadap stimulasi meningkat seiring
dengan meningkatnya usia kehamilan terutama setelah 30-32 minggu.
Mekanisme kontraktilitas miometrium11Pemahaman mekanisme kontraksi uterus sangat penting dalam pembahasan
agen tokolisis. Dua determinan utama kontraktilitas miometrium adalah konsentrasi
intraseluler kalsium dan aktivitas miosin light chain kinase, suatu enzim yang juga
bergantung pada kalsium. Gambar 1 menunjukkan mekanisme regulasi dua deterninan
tersebut.
Kalsium intraseluler yang meningkat mengikat diri dengan calmodulin.
Kompleks ini mengaktivasi enzim miosin light chain kinase, yang kemudian akan
memfosforilasi miosin. Miosin yang telah difosforilase akan berinteraksi dengan aktin
menghasilkan kontraksi uterus.
Terdapat 2 tempat utama dimana kalsium diregulasi, pertama pada membran
sel dan kedua pada penyimpanan intraseluler. Retikulum sarkoplasma adalah tempat
utama penyimpanan intraseluler.
12Gambar 1. Mekanisme Kontraktilitas Miometrium
11
12
28
Terapi tokolisis13Terdapat berbagai pendekatan dalam pencegahan persalinan preterm, namun
selama ini terapi utama yang digunakan adalah menggunakan tokolisis. Sifat dari
tokolisis adalah mengurangi gejala, jadi bukan merupakan pengobatan maupun
pencegahan. Tokolisis menghentikan kontraksi, namun kontraksi bukan merupakan
penyebab persalinan preterm, mereka adalah langkah akhir kejadian kompleks dari
perubahan biokimia dan hormonal.
Terapi tokolisis dapat memberikan keuntungan jangka pendek dalam menangani
persalinan preterm, dimana persalinan yang dihambat dapat dimanfaatkan untuk
pemberian kortikosteroid untuk meningkatkan pematangan paru dan mengurangi
beratnya sindrom gawat nafas dan mengurangi resiko perdarahan intraventrikular.
Insidens morbiditas neonatus meningkat seiring dengan usia kehamilan yang lebih
kecil. Pada kehamilan yang sangat preterm, memperpanjang kehamilan bahkan hanya
beberapa hari dapat memperbaiki survival neonatus, dimana sebelum usia 26 minggu
meningkat 3% setiap harinya. 14Tokolisis paling berguna sebelum usia kehamilan 32 minggu dan bekerja
dengan baik bila tidak ada infeksi. Efektif atau tidaknya tokolisis tergantung dari
kematangan dan dilatasi serviks. Bila serviks belum matang, tokolisis lebih mungkin
untuk berhasil. Dilatasi serviks 4 cm atau lebih berhubungan dengan pengobatan yang
tidak efektif. Untuk memperkirakan keberhasilan dari tokolisis, dapat digunakan skor
tokolisis Baumgarten seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Skor Tokolisis Baumgarten
Tanda Jumlah Angka
0 1 2 3 4
Kontraksi uterus
Tidak ada Ireguler Reguler
Selaput ketuban
Utuh Pecah di
atas
Pecah di
bawah
Perdarahan Tidak ada Bercak Perdarahan
13
14
29
Dilatasi serviks
Tidak ada Satu angka untuk setiap 1 sentimeter
Skor tokolisis didapat dengan menjumlah semua tanda yang ada dengan,
Skor 1 : Keberhasilan 97%
Skor 2 : Keberhasilan 90%
Skor 3 : Keberhasilan 84%
Skor 4 : Keberhasilan 38%
Skor 5 : Keberhasilan 11%
Skor 6 : Keberhasilan 7%
Skor 7 atau lebih gagal
Pendekatan lainnya adalah kemungkinan adanya etiologi yang mendasari
terjadinya kontraksi yang membuat tokolisis menjadi tidak efektif bahkan berbahaya.
Terdapat resiko dalam penggunaan tokolisis, dimana termasuk disamarkannya dasar
dari persalinan preterm, seperti infeksi. Untuk mengurangi resiko penyamaran tersebut,
evaluasi mendalam terhadap ibu dan janin harus dilakukan sebelum menggunakan
tokolisis, juga status tersebut dievaluasi secara reguler.
Resiko juga terdapat pada diagnosis yang berlebihan tentang persalinan preterm,
sehingga sebenarnya tidak perlu menggunakan tokolisis. Banyak pasien yang
mengalami kontraksi namun sampai 2/3 tidak akan terjadi persalinan preterm. Namun
seorang klinisi tidak dapat yakin 100% pasien mana yang akan terjadi kelahiran
preterm. 15Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, yaitu :
1. Antagonis calcium channel
Nifedipin
2. Magnesium sulfat
3. Beta Agonis
Isoxuprine, Ritodrine, Terbutalin
4. Inhibitor prostaglandin sintetase
Indometasin, ketorolac, Sulindac
5. Antagonis oksitosin
15
30
Atosiban
Antagonis calcium channel16Nifedipin adalah calcium channel blocker yang paling umum digunakan dalam
tokolisis. Mekanisme kerjanya adalah blokade pada channel kalsium. Nifedipin juga
dapat menghambat pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma dan juga
meningkatkan efluks kalsium dari dalam sel. Hasilnya adalah menurunnya kalsium
bebas intraselluler yang mengakibatkan inhibisi fosforilase MLCK sehingga terjadi
relaksasi miometrium.
Farmakokinetik obat ini telah diketahui dengan baik. Konsentrasi serum
maksimum dapat dicapai lebih cepat bila obat dikunyah lebih dahulu sebelum ditelan.
Pemberian sublingual dengan absorpsi melalui mukosa bukkal adalah jelek dan
bervariasi. Metabolisme terjadi di hati, dan metabolit inaktif diekskresikan melalui urin.
Perubahan metabolisme wanita hamil meliputi meningkatnya laju metabolisme dan
ekskresi. Hal ini menyebabkan durasi kerjanya menjadi 4-6 jam. Hal ini mengakibatkan
dosis yang lebih tinggi dan lebih sering pada wanita hamil. 17Pengalaman menunjukkan bahwa nifedipin lebih aman dibandingkan
magnesium sulfat atau beta agonis, terutama karena tidak memerlukan pemberian
cairan intra vena. Obat ini menunjukkan efektifitas 85-95% dalam menghentikan
persalinan untuk 48-72 jam. Dosis yang diberikan adalah 5-10 mg sub lingual setiap
15-20 menit (sampai 4 kali pemberian) kemudian 10-20 mg oral setiap 4-6 jam.
Nifedipin adalah vasodilator perifer dan dapat mengakibatkan gejala mual,
flushing, sakit kepala, pusing dan palpitasi. Nifedipin juga dihubungkan dengan
penurunan tekanan arterial rata-rata karena relaksasi otot polos arteriolar dan refleks
peningkatan denyut jantung. Perubahan ini biasanya ringan.
Nifedipin dikategorikan C pada penggunaan dalam kehamilan. Hal ini berarti
potensi teratogenik masih belum jelas dan rekomendasi diberikan bahwa penggunaan
obat ini pada keuntungan maternal dilihat lebih banyak dibanding potensi efek terhadap
fetus. Tidak ada kelainan kongenital spesifik yang disebabkan penggunaan obat ini.
Namun, kelainan pada jari dapat dilihat pada pemberian dosis tinggi pada hewan
16
17
31
percobaan. Magee dkk melakukan studi prospektif mengenai efek teratogenik terhadap
fetus setelah pajanan terhadap calcium channel blocker pada trimester pertama. Empat
puluh empat wanita diberikan nifedipin pada kehamilannya, dan 43 bayi merupakan
normal saat lahir. Satu wanita melahirkan bayi dengan kelainan kongenital multipel dan
perkembangan terlambat, namun pasien tersebut mempunyai epilepsi dan SLE sehingga
menggunakan carbamazepin, siklofosfamid, prednison, atenolol dan ibuprofen selama
kehamilannya.
Magnesium sulfat18Magnesium sulfat merupakan tokolisis parenteral yang paling sering
digunakan di Amerika Serikat. Mekanisme kerjanya dipikirkan sebagai antagonis
Kalsium di neuromuscular junction.
Efektifitasnya 60-80% dalam menghentikan kontraksi prematur selama 48-72
jam pada wanita dengan selaput ketuban utuh. Magnesium sulfat sama efektif dengan
beta mimetik dalam mencegah kontraksi.
Magnesium diekskresi oleh ginjal. Gejala yang berkaitan dengan pemberian
magnesium adalah flushing, terasa panas, mual, muntah, pusing, penglihatan kabur,
nistagmus dan letargi. Edema paru ditemukan pada 1% pasien yang mendapat
magnesium sebagai tokolisis. Efek samping dapat timbul pada kadar obat yang hanya
sedikti lebih tinggi dari level terapeutik. Refleks tendon menghilang setelah kadar 7-10
meq/l dan depresi pernapasan terjadi pada level 10-12 meq/l. Perhatian khusus perlu
diberikan bila diuresis kurang dari 40 cc/jam atau bila kreatinin lebih dari 0,7 mg/dl.
Oleh karena itu, pasien harus dimonitor secara ketat, meliputi tanda vital, diuresis,
refleks patella dan keadaan paru-paru.
Dosis yang diberikan adalah 4-6 gr loading dose intra vena, dilanjutkan 2-4
gr/jam. Restriksi cairan dan pemantauan status hidrasi sangat dianjurkan. Sediaan oral
18
32
magnesium telah ada, namun dengan efektifitas yang masih belum jelas. Level serum
pada penggunaan oral cenderung di bawah level terapi dan terdapat efek samping diare.
Preparat oral sebaiknya tidak digunakan untuk tokolisis.
Beta agonis19Beta agonis yang sering digunakan sebagai tokolitik adalah terbutalin atau
ritodrin. Beta agonis mengikat diri pada reseptor di membran dan kompleks ini akan
mengaktivasi adenilat siklase. Hasilnya adalah meningkatnya cyclic AMP yang
menurunkan kalsium intraseluler dan menghambat MLCK secara langsung.
Isoxuprine adalah beta agonis yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat.
Pemberiannya adalah 5 mg dalam 5-15 menit intra vena, dengan dosis pemeliharaan
0,25-0,5 mg/ menit selama 20-22 jam. Namun penggunaan isoxuprine akhirnya dibatasi
karena efek beta adrenergiknya yang tidak selektif. Insidens yang signifikan akan
hipotensi maternal, perubahan aliran uteroplasenter dan bradikardi fetus sangat
menghawatirkan.20Pada umumnya, beta agonis efektif menghentikan kontraksi untuk 48 jam pada
80-90% wanita dengan membran intak. Obat ini lebih efektif dibandingkan plasebo
dalam menghentikan persalinan dan memperpanjang kehamilan, namun tidak
mengurangi laju persalinan preterm secara umum. Beta agonis dimetabolisme di hati
dan diekskresikan melalui urin.
Dosis ritodrin adalah 0,05 – 0,35 mg/ menit iv. Protokol lain adalah
menggunakan dosis awal 50ug/menit, ditingkatkan 50ug/menit setiap 20 menit sampai
tokolisis dicapai atau dosis maksimum 350 ug/menit telah dicapai, kemudian
mempertahakan dosis tersebut selama 1 jam sebelum menurunkan dosis 50 ug/menit
setiap 30 menit sampai dicapai dosis minimal yang efektif. Pemberian ini kemudian
dipertahankan 12 jam.
Dosis terbutalin adalah 0.25-05 mg sub kutan setiap 3-4 jam. Terbutalin juga
dapat diberikan secara intravena dengan dosis awal 10ug/menit dan ditingkatkan setiap
15-20 menit sampai kontraksi hilang atau efek samping timbul atau dosis maksimum 25
ug/menit telah dicapai. Protokol lain adalah dosis awal 2,5-5 ug/menit dan ditingkatkan
19
20
33
tiap 20 menit dengan peningkatan 5ug/menit sampai dosis maksimum 25 ug/menit.
Ketika kontraksi telah hilang, dosis ini dipertahankan hingga 1 jam dan kemudian
dikurangi 2,5 ug/menit tiap 30 menit sampai dosis efektif terkecil. Pemberian ini
dipertahankan selama 12 jam.
Berbagai efek samping dikarenakan stimulasi reseptor beta di hati dan jantung.
Juga pada reseptor adrenergik dikenal kemampuan untuk meregulasi setelah stimulasi
terus menerus, dikenal sebagai takifilaksis, sehingga memerlukan peningkatan dosis
untuk mencapai efek yang sama. Efek samping pada sistem kardiovaskuler ibu
termasuk hipotensi, takikardia dan aritmia jantung. Aktivasi reseptor beta-2
mengakibatkan hipotensi diastolik. Hal ini mengakibatkan refleks peningkatan denyut
jantung, stroke volume, curah jantung dan meningkatnya tekanan sistolik. Di masa
lalu, insidens edema paru dilaporkan mencapai 5% dengan terapi beta agonis
parenteral. Patofisiologi terjadinya edema paru masih belum jelas. Namun insidens
edema paru sangat rendah ketika asupan cairan, dosis obat dan durasi terapi beta agonis
dijaga pada level minimum. Terapi parenteral beta agonis meningkatkan secara akut
konsentrasi glukosa plasma. Mekanismenya mungkin dimediasi oleh stimulasi
langsung pankreas maternal untuk mensekresi glukagon, yang akan mengakibatkan
glukoneogenesis dan glikogenolisis.
Inhibitor prostaglandin sintetase21Prostaglandin berperan pada proses persalinan. Prostaglandin menstimulasi
terbentuknya gap junction dan meningkatkan kadar kalsium bebas intraseluler dengan
meningkatkan masuknya kalsium melalui membran sel dan menstimulasi pelepasan
kalsium dari retikulum sarkoplasma. Prostaglandin dibentuk dari konversi asam
arakidonat oleh enzim siklooksigenase.
Inhibitor sintesis prostaglandin, seperti indometasin, adalah inhibitor reversibel
siklooksigenase, sehingga menurunkan kadar prostaglandin dan menghilangnya
kontraktilitas miometrium.
21
34
Obat ini sama efektif dengan magnesium atau ritodrin dalam menghentikan
persalinan selama 48-72 jam dan mempunyai angka keberhasilan 85-90% pada wanita
dengan membran intak.
Indometasin dapat diberikan per oral atau rektal dengan dosis awal 50-100 mg
diikuti 25 mg setiap 4-6 jam. Indometasin dimetabolisme di hati dan dieksresikan
melalui urin. Waktu paruhnya adalah 4,5 jam. Bila pemberian lebih dari 48 jam,
evaluasi indeks cairan amnion dan fungsi jantung janin perlu dilakukan.
Indometasin mempunyai efek pada sistem kardiovaskular fetus. Sekresi
prostaglandin adalah mekanisme yang mempertahankan terbukanya duktus arteriosus.
Antara 25-50% fetus akan mengalami konstriksi dan potensi untuk tertutupnya duktus
tersebut setelah pajanan terhadap indometasin. Efek ini lebih nyata setelah usia
kehamilan 32 minggu dan meningkat setelah pajanan 48 jam. Pada sebagian besar
kasus, konstriksi duktus tersebut reversibel.
Indometasin merupakan obat utama yang sering digunakan dari golongan
inhibitor prostaglandin sintetase, tapi obat lain seperti ketorolac dan sulindac masih
dalam penelitian.
Pada suatu uji acak yang membandingkan ketorolac intravena dengan MgSO4,
ditemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan waktu yang diperlukan untuk
menghilangkan kontraksi uterus, dimana 2,71 + 2,16 jam pada kelompok ketorolac
dibanding 6,22 + 5,65 jam pada kelompok MgSO4. Namun waktu yang didapat
sebelum terjadinya persalinan tidak disebutkan. Ketorolac diberikan dengan dosis awal
60 mg inta muskuler, diikuti oleh dosis lanjutan 30 mg setiap 6 jam.
Carlan dkk membandingkan sulindac dan indometasin dalam pengobatan
persalinan preterm yang refrakter setelah 2 jam terapi dengan MgSO4. Respon terhadap
tokolisis dikatakan sama. Pemberian sulindac adalah 200 mg per oral setia 12 jam
selama 48 jam.
Asam mefenamat sendiri telah diteliti pada suatu uji acak dengan plasebo
sebagai kontrol. Pada uji dengan 160 pasien ini didapatkan bahwa pada kelompok asam
mefenamat angka persalinan yang ditunda sampai lebih dari 37 minggu adalah 85%
sedangkan pada kelompok plasebo 60%.
35
Atosiban22Atosiban adalah antagonis resptor oksitosin-vasopresin yang dapat
menghambat kontraksi moimetrium. Mekanismenya tampaknya adalah inhibisi
kompetitif reseptor oksitosin. Oksitosin sendiri menstimulasi kontraksi melalui
stimulasi pelepasan kalsium intraseluler dari retikulum sarkoplasma. Jadi antagonis
oksitosin mengakibatkan menurunnya kalsium bebas intraseluler yang mengakibatkan
menurunnya kontraktilitas miometrium.23Keuntungan dari atosiban adalah sangat spesifik untuk miometrium sehingga
meminimalisir efek samping. Pada studi dengan kontrol plasebo, efek samping sama
baik di grup atosiban maupun plasebo.
Atosiban diberikan secara intravena pada tokolisis. Rejimen yang digunakan
adalah bolus 6,75 mg diikuti oleh 300 ug/menit untuk 3 jam dan kemudian 100ug/menit
untuk 45 jam.
Atosiban telah dibandigkan dengan beta agonis pada suatu studi multisenter,
dimana ditemukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara atosiban dan beta
agonis dalam menunda persalinan selama 48 jam (88,1% vs 88,9%) atau untuk 7 hari
(79,7% vs 77,6%). Namun efek samping lebih sering ditemukan pada kelompok beta
agonis. Namun tidak ditemukan perbedaan bermakna pada luaran neonatal pada kedua
grup.
Tokolisis kombinasi
Dalam menghadapi dilatasi serviks yang lanjut, atau kontraksi yang tidak
responsif terhadap obat tunggal, beberapa klinisi menambahkan obat baru. Namun
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan obat kombinasi.
Nifedipin sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan magnesium, karena
kedua obat ini mempunyai dasar kerja yang sama sebagai antagonis kalsium. Juga
sering digunakan terbutalin sub kutan bersamaan dengan magnesium sulfat intravena;
namun, terapi kombinasi jangka panjang mempunyai resiko tinggi terjadinya edema
paru. Indometasin dapat ditambahkan pada terapi magnesium bila kehamilan di bawah
22
23
36
32 minggu. Seperti telah disebutkan NSAID jangan diberikan lebih dari 48 jam atau
pada kehamilan di atas 32 minggu. 24Nifedipin dapat digunakan bersamaan dengan indometasin. Penggunaan beta
agonis dan nifedipin mempunyai masalah lebih sedikit dibandingkan nifedipin dan
magnesium; namun, observasi ketat kelainan kardiovaaskuler harus dilakukan.
Nifedipin dan beta agonis dapat menyebabkan hipotensi diastolik maternal sehingga
volume intravaskuler yang cukup perlu dipertahankan. Namun pada saat yang
bersamaan pemberiaan volume intravaskuler yang berlebihan akan mengakibatkan
edema paru.
Tokolisis jangka panjang25Mungkin kontroversi paling besar pada terapi tokolisis adalah penggunaan
jangka panjang setelah dosis awal dihentikan. Pada beberapa kasus, tokolisis
dilanjutkan hingga kehamilan 36 minggu. Tokolisis jangka panjang termasuk adalah
oral terbutalin, ritodrin dan nifedipin. Pada saat ini tidak ada bukti bahwa penggunaan
tokolisis jangka panjang memperpanjang usia kehamilan, menurunkan kelahiran
preterm atau meningkatkan luaran neonatal. Banyak studi menunjukkan bahwa jumlah
pasien yang memerlukan tokolisis ulang sama baik pada pasien yang menerima
tokolisis jangka panjang dan yang tidak.
Tokolisis pada dilatasi serviks yang sudah lanjut26 Ketika seorang klinisi dihadapkan pada wanita dengan persalinan preterm
dengan dilatasi serviks lebih dari 3 cm, tokolisis masih berguna. Ketika menimbang
rasio untung/rugi, penggunaan tokolisis masih berguna pada situasi seperti ini.
Keuntungannya adalah penggunaan tokolisis akan memberikan waktu untuk pemberian
kortikosteroid. Meskipun peluang untuk menunda selama 48 jam lebih kecil (pada
beberapa studi 50%), efek kortikosteroid dimulai dalam beberapa jam.
Tokolisis pada ketuban pecah
24
25
26
37
27Literatur menunjukkan bahwa tokolisis berguna pada wanita dengan ketuban
pecah. Meta analisis menunjukkan bahwa terdapat keuntungan signifikan dari
kortikosteroid antenatal dalam mengurangi sindrom gawat nafas pada wanita dengan
ketuban pecah. Terdapat kekhawatiran bahwa infeksi merupakan etiologi ketuban
pecah dan penggunaan steroid dapat meningkatkan morbiditas. Namun, pada review
studi terapi glukokortikoid pada pasien dengan ketuban pecah, tidak terdapat
peningkatan angka infeksi perinatal.
Perbandingan antara obat tokolitik
Sewaktu keputusan dibuat untuk menggunakan obat tokolitik, pilihan apakah
yang terbaik? Sebagai bahan pertimbangan adalah efektifitas dan efek samping yang
timbul pada penggunaan obat tersebut. 28Dari Cochrane Review yang meliputi 12 uji acak dengan kontrol melibatkan
1029 wanita, disebutkan bahwa dibandingkan dengan obat tokolitik lainnya (terutama
beta mimetik), antagonis channel calcium mengurangi jumlah wanita yang melahirkan
dalam 7 hari setelah pengobatan. (resiko relatif (RR) 0.76) dan sebelum usia kehamilan
34 minggu (RR 0.83). Antagonis channel calcium juga mengurangi jumlah wanita yang
perlu menghentikan pengobatan akibat efek samping obat (RR 0.14), frekuensi sindrom
gawat nafas neonatus (RR 0.63), necrotizing enterocolitis (RR 0.21), perdarahan
intraventrikular (RR 0.59) dan neonatal jaundice (RR 0.73).
OLIGOHIDROAMNION
Pada kasus-kasus yang jarang, volume air ketuban dapat turun dibawah batas
normal dan kadang-kadang menyusut hingga beberapa ml cairan kental. Penyebab
kenyataan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum oligohidramnion yang timbul
pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering memiliki prognosis buruk. Marks dan
divon (1992) menemukan oligohidramnion yang didefinisikan sebagai indeks cairan
amnion sebesar 5 cm atau kurang pada 12% dari 511 kehamilan berusia 41 minggu atau
lebih. Pada 121 wanita yang diteliti secara longitudional terjadi penurunan rata-rata
indeks cairan amnion sebesar 25% per minggu setalah 41 minggu. Akibat berkurangnya
27
28
38
cairan, resiko kompresi tali pusat, dan pada gilirannya gawat janin, meningkat pada
semua persalinan, tetapi terutama pada kehamilan posttrem (Grubb dan Paul, 1992;
Leveno dkk 1984)
Oligohidramnion awitan dini29Sejumlah kaedaan dilaporkan berkaitan dengan berkurangnya cairan amnion.
Oligohidramnion hampir selalu nyata apabila selalu terjadi obstruksi saluran kemih
janin atau agrenesis ginjal. Oleh karena itu anuria hampir pasti merupakan etiologo
pada kasus-kasus seperti itu. Kebocoran kronik suatu defek diselaput ketuban dapat
mengurangi volume cairan dalam jumlah bermakna tetapi sering kali kemudian segera
terjadi persalinan. Pajanan ke inhibutor enzim pengubah angitensin (ACEI) dilaporkan
berkaitan dengan ologohidramnion. Sebanyak 12-25 % kasus berkaitan dengan animali
janin. Pryde dkk (2000) mampu menvisualisasikan struktur-struktur janin pada hanya
separuh pada wanita yang dirujuk pada evaluasi ultrasonografi terhadap
oligohidramnion midtrimester. Mereka melakukan amnioinfusi dan kemudian mampu
melihat 77% dari struktur-struktur yang dicitrakan secara rutin. Identifikasi animali
terkait meningkat 12 menjadi 31%
30Prognosis
Hasil janin dari olohidramnion awitan dini buruk. Shenker dkk (1991)
melaporkan 80 kehamilan semacam itu dan hnaya separuh dari janin-janin ini yang
selamat. Mercer dan Brown (1986) melaporkan 34 kehamilan midtrimester yang
mengalami penulit oligihidramnion dan diagnosis secara ultrasonografis berdasarkan
tidak adanya kantung cairan amnio yang besarnya lebih dari 1 cm dari semua bidang
vertikal. 9 dari janin-janin yang menalami anomali, dan 10 dari 25 dari yang secara
fenotipe normal mengalami abortus spontan atau lahir mati karena hipertensi ibu yang
parah, hambatan pertumbuhan janin, atau solusio plasenta. Dari 14 bayi lahir hidup,
delapan lahir peterm dan tujuh meninggal. Enam bayi yang lahir aterm tumbuh
normal. Garmell dkk (1997) mengamati bahwa oligohidramnion sebelum minggu ke 37
pada janin yang tumbuh pada masa kehamilan memperlihatkan peningkatan angka
29
30
39
kelahiran peterm sebesar tiga kali lipat, tetapi tidak untuk hambatan pertumbuhan atau
kematian janin.
Newbould dkk (1994) melaporkan temuan otopsi pada 89 bayi dengan sekusesi
ologohiramnion hanya 3% ynag memiliki saluran ginjal normal; 34% penderita agnesis
ginjal unilateran dan displasia kistik bilateral; dan 10% kelainan saluran kemih minor,
Bayi tadinya normal dapat mengalami akibat dari olihgohidramnion awitan dini
yang parah. Perlekatan antar amnion dan bagian-bagian janin yang yang dapat
menyebabkan kecacatan serius termasuk amputasi. Selain itu akibat tekanan dari semua
sisi, penampakan janin menjadi aneh, dan kelainan otot-rangka, misalnya kaki gada
(clugfoot) sering terjadi.
Hipoplasia paru31Insidensi hipoplasia paru saat lahir tidak banyak berubah berkisar dari 1,1
sampai 1,4 per 1000 bayi (Moessinger dkk 1989). Apabila cairan amnion sedikit, sering
terjadi hipopalsia paru, Winn dkk (2000) melakukan suatu studi kohort prospektif pada
163 kasus oligohidramnion yang terjadi pada selaput ketuban pecah dini pada gestasi
15 sampai 28 minggu. Hampir 13% janin mengalami hipoplasi paru. Penyulit ini lebih
sering terjadi seiring berkurangnya usia gestasi. Kilbride dkk (1996) mempelajari 115
wanita dengan ketuban pecah dini sebelum minggu ke 29. terjadi tujuh kelahiran mati
dan 40 kematian neonatus sehingga mortalitas perinatal menjadi 409/1000. Resiko
hipopalsia paru letal adalah 20%. Hasil yang merugikan lebih besar kemungkinannya
apabila pecah ketuban terjadi lebih dini serta durasi melebihi 14 hari.
Menurut fox dan Badalian (1994) serta Luria (1994) terdapat tiga kemungkinan
yang menjadi penyebab hipoplasi paru. Pertama tertekannya toraks mungkin
menghambat pergerakan diding dada dan ekspansi paru. Kedua, berkurangnya gerakan
napas janin aliran masuk keparu. Ketiga dan model yang paling luas diterima adalah
kegagalan mempertahankan cairan amnion atau meningkatnya aliran keluar pada paru
yang tumbuh kembangnya terhambat.
Cukup banyaknya cairan amnion yang dihirup oleh janin normal, seperti
dibuktikan oleh Duenhoelther dan Pritchard (1976) mengisyaratkan bahwa cairan yang
31
40
terhirup tersebut berperan dalam ekspasi, dan pada gilirannya, pertumbuhan paru.
Manun Fisk dkk (1992) menyimopulkan bahwa gangguan pernapasan janin tidak
menyebabkan hipoplasi paru dan pada ologohidramnion. Dalam suatu eksperimen unik,
Menamara dkk (1995) melaporkan temuan-temuan dari dua set kembar monoamnionik
dengan anomali ginjal berlawanan. Mereka menjanjikan bukti bahwa volume cairan
amnion yang normal memungkinkan perkembangan paru normal walaupun terdapat
obstruksi ginjal janin.
Oligohidarmnion pada kehamilan tahap lanjut 32Casey dkk (2000) mendapatkan insiden ologohramnion pada 2,3% dari 6400
kehamilan lebih yang menjalani sonografi setelah minggu ke 34 di Parklane Hospital.
Mereka memastikan pengamatan-pengamatan sebelum bahwa hal ini berkaitan dengan
peningkatan resiko hasil perinatal yang merugikan. Pada kehamilan yang terpilih
karena ”resiko tinggi”, Magan dkk (1999) tidak mendapatkan bahwa oligohidramnion
(indeks cairan amnion kurang dari 5 cm) meningkatkan resiko penyulit intrapartum
seperti mekonium kental, deselarasi variabel frekuensi denyut jantung, sesio sesarea
atas indikasi gawat janin, atau asidemia neonatus.
Chauhan dkk (1999) melakukan meta analisis terhadap 18 penelitian yang
meliputi lebih dari 10.500 kehamilan yang indeks cairan amnion intrapatum yang
kurang dari 5cm. Dibandingkan dengna kontrol indeksnnya wanita dengan
oligohidramnion memperllihatkan peningkatan resiko bermakna untuk sesio sesarea
untuk indikasi gawat janin (rasio resiko (RR)2,2 dan skor Apgar 5 menit kurang dari 7
(RR 5,2)
Kompresi tali pusat selama persalinan sering terjadi pada oligohidramnion.
Sarno dkk (1989,1990) melaporkan bahwa indeks 5 cm atau kurang menyebabkan
peningkatan angka seksio sesarea sebesar lima kali lipat. Baron dkk (1995) melaporkan
peningkatan deselersai variabel selama persalinan sebesar 50% dan peningkatan 70 kali
lipat angka seksio sesarea pada para wanita ini. Sebaliknya, Case dkk (1999)
memperlihatkan peningkatan 25% dalam pola frekuesi denyut jantung janin ynag
mengkhawatirkan saat wanita dengan oligohidramnion dibandingkan dengna kontrol
normal; namun angka seksio untuk hal ini hanya meningkat dari 3 menjadi 5%
32
41
Divon dkk (1995) meneliti 638 kehamilan posterm inpartum dan mengamati
bahwa hanya wanita yang indeks cairan yang amnion 5 cm atau kurang yang
mengalami deselerasi frekuensi denyut jantung, janin dan mekonium. Yang menarik,
Chauhan dkk (1995) memperlihatkan bahwa berkurangnya indeks cairan amnion
meningkatkan angka amnion, meningkatkan angka sesio sesarea hanya pada wanita
yang penolong persalinannya temuan-temuan ini.
Amnionifusi33Infus kristaloid untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang secara
patologis paling sering digunakan secara persalinan untuk mencegah kompresi tali
pusat. Hasi-hasil amnioinfusi intrapartum untuk mencegah mordibitas janin akibat air
ketuban tercemar mekonium – sering berkaitan dengan oligohidramnion - masih
simpang siur. Pierce dkk (2000) melakukan meta-analisis terhadap 13 penelitian
dengna 1924 wanita yang dibagi secara acak untuk mendapat amnionfus atau tanpa
terapi. Mereka mendapatkan penurunan bermakna hasil yang merugikan; mekonium
dibawah tali pusat (odds ratio, OR 0,18), sindrom aspirasi mekonium (OR 0,30),
asedemia neonatus (OR 0,24), dan angka seksio sesarea (OR 0,74) . Westron dkk
(1995) mensurvei departement - departement obstetri di fakultas kedokteran dan
melaporkan bahwa amnionfusi digunakan secara luas dengan penyulit yang relatif
sedikit.
33
42
ANALISIS KASUS
Berdasarkan tinjauan pustaka untuk mendapatkan diagnosa dari ketuban pecah
dini adalah berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
seperti USG. Dari anamnesa didapatkan data seorang ibu hamil bernama Ny. A,
23 tahun datang ke ruang bersalin RSPAD-GS pada tgl 8 Januari 2007 dengan
keluhan keluar air-air dari kemaluan sejak 10 jam smrs taksiran partus 8 Maret
2007 pemeriksaan selama kehamilan di RS Mitra Keluarga pada trimester I
selanjutnya di RS Kartika Husada, belum pernah dilakukan USG tiap periksa
hamil dinyatakan tidak ada kelainan di dalam kehamilan, pada pemeriksaan
fisik didapat perut membesar sesuai dengan masa kehamilan periksa luar
didapat tinggi fundus uteri 39 cm, presentasi kepala, djj 150 dpm, his (-),
insperksi : cairan yang keluar per vaginam ridak berbau, inspekulo : porsio licin,
ostium tertutup, tampak air ketuban, diforniks fosterior, fluxus (-), fluor (-), tes
lakmus (+), pemeriksaan dalam ketuban (-), kepala di hodge I dan II.
Pada pemeriksaan lab leukosit terjadi peningkatan dari tgl 12 Januari 2007
sampai dengan 26 januari 2007 adalah 14.500/ul – 15.100/ul
Dasar indikasi dilakukan lahir pervaginam atas indikasi presentasi kepala his
4x10/ detik, kuat, relaksasi baik, djj (+) 148x/ menit, pembukaan lengkap. Maka
pada tgl 26 Januari 2007 jam 12.10 bayi lahir laki-laki BB 2300 gram, PB 41
cm, anus (+), cacat (-) selanjutnya pasien dipindahkan keruang perawatan
dengan diberikan terapi amoxcillin 3x500 mg, asammefenamat 3x500 mg.
Setelah perawatan 3 hari diruang perawatan pasien dipulangkan atas indikasi
pendarahan (-), kontraksi baik, kondisi ibu dan janin baik.
Terdapat beberapa hal dibahas disini
Penegakkan diagnosis keuban pecah dini :
- Keluarnya cairan puth keruh dari vagina secara tiba-tiba dan tidak ada
nyeri
43
- Dari inspekulo terlihat tampak air ketuban putih keruh keluar dari
ostium uteri eksternum tidak berbau.
- Cairan tersebut dites dengan menggunakan kertas lakmus dengan hasil
(+)
Penyebab atau etiologi
1. Over distensi
- Tanda inpartu : tidak ada
- Polihidramion : tidak ada
- Gemelli : tidak ada
2. Infeksi
- Riwayat keputihan : tidak ada
- Pada pemeriksaan inspekulo fluor : tidak ada
- Tanda – tanda infeksi
Ibu febris > 38° C : tidak ada
Ibu takikardi : tidak ada
Ibu nyeri abdomen : tidak ada
3. Trauma
- Tidak pernah jatuh
- Tidak pernah mengangkat beban berat
- Pekerjaan ringan, sedang
4. Gangguan kolagenitas
- Riwayat autoimun : tidak ada
- Riwayat imunologi : tidak ada
- Riwayat kebiasaan : tidak merokok, tidak
minum
alkohol, riwayat koitus
riwayat koitus tidak me-
makai kondom
44
5. Oligohidramnion
- Penyebab oligohidramnion belum diketahui secara pasti
Dari data diatas dapat dikatakan ditemukan leukositosis baru bisa dikatakan
mungkin terjadi infeksi, akan tetapi lebih tepat dikatakan penyebab ketuban pecah
adanya infeksi pada cairan amnion, riwayat koitus tidak memakai kondom
sebagaimana kita ketahui koitus pada kehamilan aterm merupakan induksi alami.
Dimana saat ejakulasi terdapat semen, terdiri dari Prostaglandin, Prostaglandin
menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada
selaput amnion/ korion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah, dan mudah pecah
spontan
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Manuaba, IBG. ” Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berecana.
Jakarta ; Penerbit buku Kedokteran EGC. 1998, hal 229-231.
2. Wiknjosatro Hanifa. Ilmu kebidanan. Yayasan bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta ; 2002.
3. Gabbe Gsteven, Niebly R jennifer, Simpson Lieghjoe. Obstetri normal and problem
pregnancies 4th ed Philadelphia churcil living stone 2002. P 389
4. Cunningham, Jenevo, Gant, Gil Strab, Hauth, Wenstrom. William Obstetrik.
Pengkajian intrapartum edisi 21 volumme I. 2006. P 691-695
5. Panduan praktis pelayanan kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan bina pustaka
2002. hal M 112-115
6. The world wide Atosiban versus Beta Agonist Study group. Effectiveness and
safety of the oxytocin antagonist versus beta-adrenergic agonist in the treatment of
preterm labour. Br Journal of Obstetrics and Gynecology 2001; 108; 133-142.
7. Katz VL, Farmer RM. Controversies in tocolytic therapy. Clinical Obstetrics and
Gynecology. 1999; 42;802-819
8. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Clinical green top guidelines :
Tocolytic drug for women in preterm labour. http ://www.rcog.co.uk/guidelines
46
PRESENTASI KASUS
KETUBAN PECAH DINI
( KPD )
Disusun oleh :
Abinowo Arisaputro, S Ked
FKUPN Veteran Jakarta
Pembimbing :
dr. Novi Resistantie, SpOG
Oponen :
Morissa Arizona, S Ked
Lian Syilvia, S Ked
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSPAD GATOT SOEBROTO
JAKARTA
2007
47
48