Post on 24-Dec-2015
description
Luka Bakar: Bagaimana membedakannya dari luka yang lain?
V. K. Tiwari
(Indian J Plast Surg. 2012 May-Aug; 45(2): 364–373)
Abstrak
Manajemen luka bakar selalu menjadi domain dari spesialis luka bakar. Sejak zaman
kuno, obat local dan sistemik telah dianjurkan untuk mengobati luka bakar dan
sebagai pencegahan bekas luka. Manajemen luka bakar yang ditimbulkan oleh agen
fisik dan kimia yang berbeda membutuhkan regimen yang berbeda, yang mana kutub
terpisah dari regimen yang digunakan untuk salah satu luka traumatik lainnya. Dalam
luka bakar yang luas, karena peningkatan permeabilitas kapiler, terjadi kehilangan
plasma yang luas menyebabkan syok sekaligus kehilangan seluruh darah adalah
penyebab syok pada luka akut lainnya. Meskipun pada awalnya luka bakar steril
dibandingkan dengan sebagian besar luka lainnya, namun, luka bakar yang luas dapat
menimbulkan kematian terutama karena infeksi luka dan septicemia, karena status
“immunocompromised” pasien luka bakar. Keropeng dan lepuhan yang spesifik
untuk luka bakar memerlukan protocol khusus. Krim antimikroba dan agen pengganti
yang lain yang digunakan untuk luka traumatik tidak efektif pada luka bakar yang
dalam dengan keropeng. Banyak agen mikroorganisme yang tidak mampu menembus
keropeng. Bahkan setelah epitelisasi yang lengkap pada luka bakar, terdapat fase
remodeling berkepanjangan. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk pematangan
jaringan parut luka bakar. Artikel ini menekankan pada bagaimana patofisiologi,
penyembuhan, dan pengelolaan luka bakar berbeda dengan luka lainnya.
Pendahuluan
Berdasarkan definisinya, luka terbuka adalah trauma apa pun yang merusak
kontinuitas kulit dan jaringan di bawahnya. Contusio adalah luka tertutup dan
merupakan pengeculian dari definisi di atas. Klasifikasi luka sangat penting baik
1
untuk tujuan medico-legal maupun untuk penatalaksanaannya. Klasifikasi luka
terutama berdasarkan atas jenis perlukaan dan agen penyebabnya sebagaimana
digambarkan berikut ini [1]
Luka tertutup: Contusio, fraktur tertutup, dll.
Luka terbuka
Luka iris
Laserasi
Abrasi
Avulsi
Crush wound
Luka tusuk
Luka gigitan
Luka bakar
Masing-masing luka di atas saling berbeda dalam hal patofisiologinya maupun
penanganannya. Luka gigitan mungkin saja terlihat bersih namun sangat
terkontaminasi di dalamnya dan harus ditangani secara berbeda dibandingkan luka
iris yang bersih akibat pisau atau potongan kaca. Terbakar atau luka bakar sangat
berbeda dibandingkan seluruh luka di atas sehingga suatu bidang medis superspesial
dibentuk khusus untuk itu. Meskipun luka bakar yang luas terutama hanya melibatkan
satu organ saja, namun, hampir seluruh system dalam tubuh terkena dampaknya
sehingga menjadi kelainan yang bersifat menyeluruh. Tidak seperti luka lainnya,
keterlibatan ahli perawatan intensif dan dokter sangat tampak dalam penanganan luka
bakar.
2
Klasifikasi luka bakar
Berdasarkan agen penyebabnya luka bakar diklasifikasikan sebagai berikut [2]:-
Fisik
Luka bakar thermal
o By dry heat - Flame burns
o By wet heat - Scalds
Luka bakar karena listrik
o Luka bakar akibat kontak listrik
Voltase tinggi
Voltase rendah
o Luka bakar karena petir
Luka bakar karena radiasi
Luka bakar karena laser
Kimiawi
Luka bakar karena asam
Luka bakar karena basa
Lainnya
Setiap jenis luka bakar pada klasifikasi di atas berbeda satu sama lain dan sangat
berbeda dibandingkan jenis luka lainnya yang umum terjadi. Meskipun diketahui
bahwa kerusakan kulit terjadi pada semua luka bakar di atas, penanganan local dan
sistemik masing-masing luka tidaklah sama.
PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR DIBANDINGKAN JENIS LUKA
LAINNYA
Panas tidak hanya merusak kulit secara lokal namun memiliki banyak efek
menyeluruh pada tubuh. Perubahan ini sangat spesifik pada luka bakar dan biasanya
tidak terjadi pada jenis luka akibat cedera yang lain.[3]
3
Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler secara menyeluruh
akibat efek dan kerusakan oleh panas. Ini menyebabkan plasma
keluar dari kapiler dan masuk ke dalam ruang interstisiel.
Peningkatan permeabilitas kapiler dan keluarnya plasma terjadi
hingga 48 jam dan mencapai puncaknya pada 8 jam pertama.
Selama 48 jam permeabilitas kapiler akan kembali menjadi
normal atau kapiler menjadi thrombus dan tidak lagi menjadi
bagian dari sirkulasi. Kehilangan plasma inilah yang menjadi
penyebab syok hipovolemik pada luka bakar. Jumlah cairan yang
hilang tergantung pada luasnya luka. Penghitungan area tubuh
yang terkena luka bakar pada orang dewasa biasanya
menggunakan ‘sistem 9’ dari Wallace dan diagram dari Lund dan
Browder untuk orang dewasa dan anak-anak.Luka bakar apa pun
pada orang dewasa dengan luas lebih dari 15% dan pada anak-
anak dengan luas lebih dari 10% akan mengakibatkan syok
hipovolemik jika tidak dilakukan resusitasi secara adekuat. Pada
luka bakar yang melibatkan 50% area permukaan tubuh cairan
yang mungkin hilang mencapai jumlah maksimum, dan akan tetap
demikian meskipun pada luka bakar yang mengenai lebih dari
50% area permukaan tubuh.
Peningkatan permeabilitas kapiler secara menyeluruh tidak terlihat pada jenis luka
lainnya. Yang terjadi hanyalah reaksi lokal pada luka karena inflamasi yang
mengarah pada vasodilatasi progresif dan edema yang persisten. Syok hipovolemik
pada luka traumatis yang besar biasanya disebabkan oleh kehilangan darah dan
membutuhkan transfuse darah secepatnya. Sementara pada luka bakar yang luas
penggantian darah diberikan setelah 48 jam.
4
Berikut ini adalah penyebab kehilangan darah pada luka bakar
Kehilangan sel darah merah terjadi pada pembuluh darah yang
rusak yang meliputi seluruh kulit yang terbakar pada fase akut.
Maka, makin dalam luka bakar berarti makin banyak darah yang
hilang. Transfusi darah dilakukan setelah 48 jam kecuali ada
indikasi lain seperti anemia yang telah ada sebelumnya atau
kehilangan banyak darah akibat sebab lain.
Umur sel darah merah dalam sirkulasi berkurang akibat efek
langsung dari pemanasan dan mengalami hemolisis lebih cepat.
Luka bakar yang luas juga menyebabkan depresi sumsum tulang
yang akan mengakibatkan anemia.
Pada fase kronik dari luka bakar, kehilangan darah berasal dari
luka yang bergranulasi, dan anemia disebabkan oleh infeksi. (B)
Tidak seperti jenis luka lainnya, luka bakar biasanya steril pada
saat cedera terjadi. Panas sebagai agen penyebab, juga membunuh
seluruh mikroorganisme di permukaan. Setelah seminggu
permukaan luka cenderung mengalami infeksi, menyebabkan
sepsis sebagai penyebab utama kematian pada luka bakar.
Sementara di sisi lain, luka lainnya seperti luka gigitan, luka
tusuk, cedera berat dan abrasi sangat terkontaminasi pada saat
terjadinya trauma namun jarang menyebabkan sepsis sitemik.
PENYEMBUHAN DAN LUKA BAKAR
Penyembuhan luka bakar tergantung pada kedalaman luka. Luka bakar dapat
diklasifikasi berdasarkan keterlibatan kulit dan jaringan di bawahnya sebagaimana
berikut ini:
5
Luka bakar derajat I atau luka bakar epithelial – Kulit menjadi
eritematous tanpa lepuhan.
Luka bakar derajat II – Melibatkan epidermis dan berbagai
ketebalan dermis. Ini dibagi lagi atas:
Derajat II superfisial – di mana vesikasi dan inflamasi
Nampak pada kulit karena hanya papilla dermis yang
terkena.
Derajat II dalam – terbentuknya keropeng terlihat
karena melibatkan dermis retikuler yang dalam.
Luka bakar derajat III – Juga disebut luka bakar full thickness –
adanya keropeng nampak jelas pada luka luka bakar ini. [4,5]
Jackson (1959) telah menggambarkan ketiga zona jaringan yang rusak karena
terbakar [6] [Gambar 1]
Gambar 1
Luka bakar karena air panas pada seorang anak ini
memperlihatkan ketiga zona yang rusak menurut
Jacson: (a) Zona koagulasi, (b) Zona stasis, (c) Zona
hiperemia.
Pusat zona koagulasi – Di
sini adalah pusat area yang
mengalami luka bakar dengan nekrosis koagulatif yang komplit.
Zona stasis – Zona stasis terletak di perifer zona koagulasi.
Sirkulasi di zona ini sangat lambat tapi dapat pulih setelah
memperoleh resusitasi segera dan memadai, dan penanganan luka
yang tepat.
Zona hiperemia di sebelah luar – Zona ini berada di perifer zona
stasis. Merupakan hasil dari vasodilatasi berlebihan sebagaimana
6
Nampak pada reaksi inflamasi setelah trauma. Zona ini akan pulih
dengan sempurna.
Pada luka bakar derajat I dan derajat II superfisial, penyembuhan terjadi secara
primer. Penyembuhan pada luka bakar derajat II superfisial berasal dari pemulihan
folikel rambut, yang mana terdapat banyak sekali di superfisial dermis. Penyembuhan
sempurna terjadi dalam 5-7 hari dan kebanyakan tanpa bekas luka. Pada luka bakar
derajat II dalam dan luka bakar derajat III, penyembuhan terjadi melalui proses
sekunder, yang melibatkan proses epitelisasi dan kontraksi. [Gambar 2].
Gambar 2
Penyembuhan pada luka bakar dalam melalui proses
sekunder dengan kontraksi dan pembentukan parut yang
hipertropik.
Inflamasi (reaktif), proliferasi (reparative) dan
maturasi (remodeling) merupakan tiga fase
penyembuhan luka. Hal ini sama untuk semua jenis luka, yang membedakannya
hanyalah durasi dari masing-masing fase.
Fase Inflamatorik
Fase ini sama pada semua luka traumatik. Segera setelah cedera, tubuh memberikan
respon inflamatorik yang terdiri dari komponen vaskuler dan seluler. [7–9]
Respon vaskuler: Segera setelah terbakar terjadi vasodilatasi lokal
dengan ekstravasasi cairan di dalam ruang interstisiel. Pada luka
bakar yang luas peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi
secara menyeluruh, menyebabkan ekstravasasi plasma yang
massif sehingga membutuhkan penggantian cairan.
Respon seluler: Netrofil dan monosit adalah sel-sel yang pertama
bermigrasi ke daerah inflamasi. Kemudian netrofil dibersihkan
7
dan digantikan oleh makrofag. Migrasi sel-sel ini diinisiasi oleh
faktor kemotaktik seperti kallikrein dan fibrin peptide yang
dilepaskan dari proses koagulasi dan substansi yang dilepaskan
oleh sel mast seperti factor nekrosis tumor, histamine, protease,
leukotrein dan sitokin. Respon seluler membantu dalam proses
fagositosis dan pembersihan jaringan yang mati serta racun yang
dilepaskan oleh jaringan yang terbakar.
Fase Proliferatif
Pada luka bakar yang mengenai sebagian tebal lapisan jaringan, re-epitelisasi dimulai
dengan terjadinya migrasi keratinosit dari kulit yang masih sehat ke dermis yang
tersisa beberapa jam setelah cedera, ini biasanya menutupi luka dalam 5-7 hari.
Setelah re-epitelisasi terbentuk zona membrane basalis di antara dermis dan
epidermis. Angiogenesis dan fibrogenesis membantu rekonstitusi dermis.
Penyembuhan setelah eksisi luka bakar dan pencangkokan kulit: Pada luka bakar
yang dalam setelah tindakan primer berupa eksisi dan pencangkokan, penyembuhan
terjadi penyembuhan primer yang tertunda. Penggunaan skin graft setelah eksisi
primer merupakan fase proliferatif dari proses penyembuhan luka.
Fase Remodelling
Fase remodeling adalah fase ketiga dari proses penyembuhan luka di mana maturasi
dari cangkokan kulit atau bekas luka berperan. Di fase terakhir dari penyembuhan
luka ini diawali oleh terbentangnya struktur protein fibrosa seperti kolagen dan elastin
di sekitar epithelial, endothelial, dan jaringan otot sebagai matriks ekstraseluler.
Kemudian di akhir fase ini matriks ekstraseluler tersebut berubah menjadi jaringan
parut dan fibroblast menjadi fenotip myofibroblast yang bertanggung jawab atas
terjadinya kontraksi jaringan parut.
8
Pada luka bakar derajat II dermal yang dalam dan luka bakar full thickness yang
dibiarkan sembuh sendiri, resolusi dari fase ini berlangsung lebih panjang dan
mungkin berlangsung sampai bertahun-tahun dan menyebabkan parut yang
hipertropik serta kontraktur. [Gambar 2].Hiperpigmentasi yang terlihat pada luka
bakar superfisial disebabkan oleh respon interaktif melanosit terhadap trauma
terbakar dan hipopigmentasi yang Nampak pada luka bakar yang dalam disebabkan
oleh rusaknya melanosit pada kulit yang terkena. Pada area skin-graft ketika inervasi
mulai terjadi, syaraf yang bertumbuh mengambil alih kontrol terhadap melanosit yang
biasanya menyebabkan hiperpigmentasi pada cangkokan kulit untuk mereka yang
berkulit gelap dan hipopigmentasi pada mereka yang berkulit putih.
PENATALAKSANAAN
Aspek Medikolegal
Semua luka bakar dianggap mediko-legal sampai terbukti sebaliknya. Selanjutnya,
ketika terjadi luka bakar yang luas, meskipun riwayat kecelakaan telah diperoleh dari
pasien, selalu dicurigai adalah kasus mediko-legal karena selalu ada keraguan tentang
apa sebenarnya yang terjadi. [10]
Di lain pihak, untuk semua luka traumatik lainnya jenis cedera biasanya ditentukan
berdasarkan jenis cedera dengan merujuk pada riwayat yang diceritakan oleh pasien.
Penanganan luka bakar tergantung pada beratnya cedera.
Klasifikasi luka bakar minor adalah jika kurang dari 15% TBSA pada orang dewasa
dan kurang dari 10% pada anak-anak.
Luka bakar mayor jika mengenai lebih dari 35% pada orang dewasa dan lebih dari
30% pada anak-anak.
Luka bakar kritis atau luka bakar yang mengancam jiwa adalah luka bakar yang
meliputi lebih dari 35% pada orang dewasa dan 30% pada anak-anak.
9
Luka bakar minor pada wajah dan perineum membutuhkan persetujuan untuk
diobservasi. Luka bakar pada kelopak mata dan daun telinga membutuhkan
penanganan khusus karena mempertimbangkan pentingnya struktur di bawahnya.
Luka bakar mayor dan luka bakar kritis membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa syok hipovolemik terjadi karena plasma
yang keluar ke ruang interstisiel.
Sebaliknya, syok hipovolemik terjadi karena kehilangan darah yang akut dan
substansial pada semua kondisi trauma yang lain.
Kebutuhan Cairan pada Luka Bakar
Tidak ada formula tunggal yang diterima secara universal untung menghitung
kualitas dan kuantitas cairan yang dibutuhkan pada luka bakar yang luas. Semua unit
penanganan luka bakar di seluruh dunia menggunakan formulanya sendiri atau
memodifikasi formula yang diterima. [11] Ini jelas menunjukkan bahwa semua
formula tersebut adalah panduan kasar untung menghitung kebutuhan cairan untuk
24-48 jam pertama. Kualitas dan kuantitas kebutuhan sebenarnya dimodifikasi
berdasarkan output urine per jam dan parameter tanda vital lainnya pada pasien.
Berikut adalah beberapa formula yang populer dan diterima secara internasional:
1. Formula Evans – kebutuhan cairan adalah 2ml/kg/% luka bakar
untuk 24 jam pertama yang ditambah kebutuhan cairan pasien
perhari. Setengah dari cairan ini diberikan pada 8 jam pertama,
dan setengahnya lagi pada 16 jam berikutnya. Tipe cairannya
adalah kristaloid seperti Ringer laktat dan setengahnya adalah
plasma.
2. Formula Brooke – sama seperti Formula Evans. Hanya 3/4 cairan
yang digunakan adalah kristaloid dan 1/4 sisanya adalah plasma.
10
3. Formula Parkland – Jumlahnya adalah 4 ml/kg/% luka bakar,
sudah termasuk kebutuhan cairan perhari pasien. Semua cairan
yang diberikan adalah kristaloid.
Kita menggunakan Formua Brooke yang dimodifikasi di mana total cairan yang
diberikan dalam bentuk kristaloid dan koloid biasanya tidak digunakan kecuali ada
indikasi klinis.
Lepuhan dan Keropeng
Hal ini umum untuk luka bakar. Lepuhan terjadi pada luka bakar derajat II superfisial
karena terkumpulnya plasma di antara dermis dan epidermis yang mati. Isi cairannya
adalah plasma kaya protein dan merupakan media kultur yang sangat baik untuk
bakteri dan organisme lainnya dan tidak boleh dibiarkan berlama-lama. [12]
Lepuhan juga bisa terjadi akibat gesekan berulang seperti karena gesekan sepatu yang
mungkin saja pada awalnya dianggap sebagai luka bakar gesekan spectrum luas.
Gelembung yang berisi cairan mungkin juga terlihat pada luka tertutup yang terjadi di
atas fraktur dan hematoma.
Kulit dengan ketebalan penuh menjadi keras, nonelastis dan membentuk lembaran
tebal dan kering yang disebut keropeng. Keropeng yang meliputi seluruh ekstremitas
mungkin mengurangi vaskularitas distal karena terjadinya kompresi pada pembuluh
darah proksimal.
Escahrotomy dan fasciotomy
Luka bakar dalam yang luas mungkin mempengaruhi sirkulasi di ekstremitas atau di
tubuh. Keropeng mungkin mengganggu pernapasan ketika terjadi meliputi dada.
Harus dilakukan escharotomi untuk memulihkan pasien dari semua komplikasi
tersebut. Di ekstremitas, insisi longitudinal terhadap seluruh ketebalan kulit hingga
jaringan subkutan dilakukan pada kedua sisi dari garis netral agar dapat dilepaskan.
11
Di dada pola insisi seperti kisi-kisi dilakukan, di mana dibuat kombinasi antara insisi
vertikal dan transversal di sisi anterior, lateral dan posterior untuk memfasilitasi
pengembangan paru di semua sisi.
Fasiotomi umumnya dilakukan pada cedera yang menyababkan sindrom
kompartemen. Pada prosedur ini insisi dibuat untuk memisahkan fasia hingga bagian
terdalam dan membuka seluruh kompartemen di ekstremitas untuk memungkinkan
tekanan dilepas dan menghindari komplikasi terkait iskemia yang ditimbulkannya.
Biasnaya seluruh kompartemen dari ekstremitas harus dibebaskan dari tekanan.
Telah lama ditengarai bahwa sindrom kompartemen hanya tampak pada luka bakar
listrik di mana otot menjadi edematous dan tekanan pada kompartemen meningkat
sehingga membutuhkan fasiotomi secepatnya. Luka bakar karena suhu yang tinggi
diyakini tidak menyebabkan cedera yang membutuhkan fasiotomi namun penelitian
terakhir [13-17] membuktikan sebaliknya. Telah didokumentasikan bahwa terjadi
peningkatan tekanan kompartemen secara definitif pada ekstremitas setelah
mengalami luka bakar akibat suhu yang tinggi.
Peningkatan tekanan intra-abdominal adalah bentuk lain dari sindrom kompartemen
yang menjadi salah satu komplikasi yang ditakuti. Penelitian membuktikan adanya
peningkatan simtomatik tekanan intra-abdominal hingga level kritis sehingga
membutuhkan pembebasan dengan laparotomi.
Anastesia, Eksisi Bedah dan Penutupan Luka
Untuk penutupan secara bedah pada jenis luka lainnya dikatakan bahwa golden
period berlangsung selama 6 jam pertama [Gambar 3] sementara pada eksisi luka
bakar yang luas biasanya hingga 72 jam. Luka bakar keadaannya steril saat onsetnya
dan butuh beberapa hari bagi mikroorganisme untuk mengkontaminasi dan
menginvasi luka sementara pada luka lainnya terjadi kontaminasi berat sejak awal
dan membutuhkan debridement menunda penutupan luka dapat mengakibatkan
12
infeksi serta dampak lanjutannya. Oleh karena itu eksisi pada luka bakar yang luas
hanya dapat dilakukan ketika pasien telah diresusitasi secara penuh serta stabil dan
perubahan fisiologis yang terjadi telah dikembalikan ke keadaan normal sehingga
dapat menjalani trauma akibat tindakan bedah nantinya. Waktu ideal dilakukannya
tindakan tersebut adalah pada periode ketiga hingga periode kelima pasca luka bakar.
[Gambar 4a4a,,bb]. [18] Pada luka bakar yang kecil (kurang dari 10%) eksisi dapat
dilakukan lebih awal, karena luka bakar yang kecil tidak akan menyebabkan
perubahan fisiologis maupun keadaan internal secara signifikan.
Gambar 3
Kasus trauma wajah yang luas dimana tindakan perbaikan dilakukan sesegera mungkin sehingga
mendapatkan hasil pasca operasi yang mengagumkan dengan parut yang minimal.
Gambar 4
(a) Kasus luka bakar pada seluruh lapisan
dermis yang meliputi paha – menjalani eksisi
primer dan grafting setelah 72 jam, (b)
Hasilnya setelah 10 hari pascaoperasi.
Anastesi menjadi perhatian utama dalam luka bakar dan ahli anestesi adalah anggota
penting dari tim penanganan luka bakar. [19] Ahli anestesi dalam tim penanganan
luka bakar harus mampu menangani (a) resusitasi luka bakar dalam fase akut
penatalaksanaan airway dan intubasi seringkali diperlukan, (b) perubahan fisiologis
fase stabilisasi hipermetabolik saat eksisi bedah acap kali dilakukan dan (c)
perubahan anatomik karena kontraktur akibat luka bakar dan deformitas dalam fase
13
bedah rekonstruktif. Anestesi luka bakar kini menjadi spesialisasi terpisah di mana
ahli anestesi adalah tenaga intensif pada fase akut luka bakar dan harus mampu
melakukan intubasi serat optik saat proses bedah korektif pada deformitas berat di
wajah dan ekstremitas akibat terbakar.
Penutupan secara bedah pada luka lainnya seringkali dilakukan dengan anestesi lokal
atau regional dan tidak diperlukan orang yang berkeahlian khusus untuk proses
tersebut [Gambar 5]. Perubahan fisiologis yang terjadi setelah terbakar seringkali
tidak terlihat bahkan pada trauma besar dipisahkan dari syok hipovolemik akibat
kehilangan darah yang mana dapat ditangani dengan transfuse darah. Kenyataannya
adalah bahwa pembedahan dibutuhkan sesegera mungkin pada banyak luka traumatic
untuk menghentikan pendarahan dan mencegah kelainan selanjutnya pada keadeaan
umum pasien.
Gambar 5
(a) Kasus luka terpotong pada aspek
ekstensor pergelangan tangan, (b)
Eksplorasi di bawah pengaruh
anestesia regional dan semua tendon
ekstensor didapati telah terpotong, (c
dan d) Tendon ekstensor telah
direparasi semuanya dan kulit
ditutup secara primer. Pasien
membutuhkan pembidaian dan
fisioterapi pasca operasi.
Cedera Primer Saluran Pernapasan pada Luka Bakar
Cedera saluran pernapasan pada pasien luka bakar dapat berupa:
Kerusakan langsung karena panas – Ini terutama terbatas pada
saluran pernapasan bagian atas dan dapat menyebabkan edema
laring yang membutuhkan intubasi.
14
Cedera saluran pernapasan nonthermal dalam bentuk inhalasi gas
beracun yang mungkin menyebabkan asfiksia (misalnya karbon
monoksida dan sianida) atau iritasi (seperti klorin, ammonia, dll).
Pada kedua hal tersebut terjadi inflamasi dan kerusakan pada
mukosa saluran pernapasan, yang jika tidak ditangani dengan baik
akan berlanjut pada kerusakan sekunder dan infeksi yang akan
melibatkan saluran pernapasan bagian bawah dan alveolus. [20–
23]
Infeksi dan Profil Imun pada Luka Bakar
Resusitasi yang memadai dan penatalaksanaan cairan yang efektif telah menurunkan
angka kematian akibat syok hipovolemik dan gagal ginjal akut, sehingga infeksi
menjadi perhatian utama pada luka bakar. [24] Infeksi pada luka bakar sesuai dengan
luasnya permukaan tubuh yang terkena. [25] Membaiknya penatalaksanaan luka
bakar dalam dekade terakhir secara signifikan telah mengurangi dan menghambat
terjadinya infeksi bakterial pada luka bakar. Pruitt dkk.[26] dalam penelitiannya
terhadap perubahan epidemologispada pasien luka bakar dengan infeksi menemukan
bahwa di samping bakteri, mikroorganisme yang lebih baru seperti virus dan jamur
juga menjadi penyebab terjadinya sepsis pada luka bakar. Pneumonia adalah infeksi
yang paling sering menjadi bagian dari sepsis sistemik pada luka bakar. Dalam
penelitian tersebut 48% infeksi paru disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
sementara Pseudomonas hanya 16%. Infeksi selebihnya disebabkan oleh organisme
Gram-negatif seperti Klebsiella, Escherichia coli, Salmonella dan Haemophillus.
Tidak ada perubahan signifikan pada data statistik infeksi bakterial luka bakar dalam
20 tahun terakhir setelah penelitian oleh Pruitt dkk, kecuali bahwa virulensi
organisme yang menginvasi luka kini semakin meningkat. S. aureus secara bervariasi
resisten terhadap methicillin (M.R.S.A.) dan Pseudomonas serta Klebsiella biasanya
memperluas spektrum bakteri yang memproduksi enzim β-laktamase (ESBL). Dalam
15
8 tahun terakhir juga terjadi peningkatan insidens resistensi multi-obat dari basil
Gram-negatif Acetinobacter bomnii.
Infeksi Jamur pada Luka Bakar
Adanya infeksi jamur pada luka bakar [27] dilaporkan secara luas oleh Becker dkk.
dalam penelitian mereka di tahun 1991 dan Candida albicans adalah organisme
penyebab tersering. Dalam penelitian terakhir yang dilakukan oleh Sarabahi dkk. [28]
di tahun 2011 terhadap perubahan pola infeksi jamur pada luka bakar, Candida
albicans telah digeser posisinya oleh Candida nonalbicans, terutama C. krusei dan C.
glabarata dan Aspergillus. Dalam penelitian yang sama terungkap bahwa infeksi
jamur berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi, lebih dari 40% dan resisten
terhadap pengobatan konvensional. Organisme tersebut hanya sensitif terhadap
Echinocandins dan Amphoteracin B.
Penyebab utama sepsis luka bakar yang invasif adalah imunosupresi yang dalam.
Cedera luka bakar mempengaruhi komponen nonspesifik dan spesifik dari sistem
imun. Pertahanan nonspesifik mencakup sirkulasi dan sel fagositik serta jumlah
protein plasma yang memediasi respon inflamasi. Pada pasien dengan luka bakar
yang luas, sel fagosit polimorfonuklear menjadi tidak efektif fungsi kemotaktik,
fagositik dan intraselulernya. Begitu pula sistem fagositik mononuklear tidak mampu
melakukan fungsi fagositosis dan pelepasan sitokin. [29–32] Pada komponen spesifik
sistem imun, respon imun cell-mediated ditekan oleh adanya homograft yang
berkepanjangan pada pasien luka bakar.
Respon imun humoral juga ditekan ditandai dengan menurunnya konsentrasi semua
jenis serum imunoglobulin secara signifikan pada pasien luka bakar berat. [33,34]
Bukan hanya penurunan kadar kuantitatif dari immunoglobulin yang terjadi pada
pasien luka bakar, tetapi juga sirkulasi immunoglobulin yang masih ada juga menjadi
tidak efisien secara kualitatif. Produksi antibodi T-cell-dependent ditekan untuk
16
waktu yang lama karena terjadi defisiensi sekresi interleukin-2-regulated dan faktor
helper T-cell-derived yang penting bagi diferensiasi sel B kee dalam sel pensekresi
antibodi. [35] Insidens tertinggi septikemia pada luka bakar timbul dalam 10 hari
pertama ketika titer immunoglobulin sangat tidak menentu. Yang mengherankan
adalah pasien dengan trauma jaringan yang luas tidak berada dalam keadaan
immunocompromised seperti pada pasien luka bakar.
Terapi Antibakterial Topikal dan Sistemik pada Luka Bakar dibandingkan
Terapi pada Luka Lainnya
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa luka bakar adalah steril pada awalnya.
Organisme yang ada hanyalah organisme yang memang hidup di epitel bagian dalam
seperti pada folikel rambut dan kelenjar sebasea. Beberapa dari organisme ini
mungkin berkembang biak dan muncul ke permukaan area kulit yang terbakar. Oleh
sebab itu, pemberian agen antimikroba pada luka bakar akan membantu membunuh
organisme tersebut dan mempertahankan keadaan steril untuk waktu yang lebih lama.
Agen topikal yang digunakan pada luka bakar juga mencegah masuknya
mikroorganisme baru dari luar. Proliferasi bakterial dimulai di bawah permukaan
keropeng luka bakar setelah hari ke-5. Keropeng sebagai jaringan mati berperan
menjadi media kultur dan membantu pertumbuhan bakteri. Bakteri yang
bermultiplikasi ini kemudian dapat menginfasi jaringan yang lebih dalam dan
menyebabkan sepsis. Agen antimikroba normal yang biasanya digunakan pada
permukaan jenis luka lainnya seperti povidone iodine, mupirocin dan neomycin dll.
tidak dapat menembus keropeng sehingga tidak efektif untuk mengontrol invasi
bakteri di bawahnya. Sehingga, pada luka bakar harus digunakan agen antimikroba
yang dapat mempenetrasi keropeng dan membunuh organisme yang ada di bawahnya.
Pada luka bakar yang luas, jumlah krim antibakteri yang digunakan seringkali cukup
besar. Agen tersebut diabsorbsi dari kulit ke dalam sirkulasi. Maka agen antimikroba
17
yang digunakan pada luka bakar haruslah bersifat non-toksik dengan efek samping
yang minimal pada absorbs sistemik.
Luka bakar mungkin membutuhkan waktu beberapa minggu untuk sembuh sempurna
dan akan memerlukan beberapa kali penggantian perban selama periode tersebut
dengan menggunakan krim antibacterial yang sama. Maka sedapat mungkin
organisme yang ada memiliki resistensi minimal terhadap agen antimikroba.
Berdasarkan criteria di atas, krim sulfadiazine perak 1% merupakan salah satu krim
terbaik yang tersedia untuk digunakan pada luka bakar yang luas.
Antibiotik sistemik berperan sangat kecil pada perawatan luka bakar kecuali pada
sepsis luka bakar. Pada luka infeksi lainnya antibiotik sistemik digunakan dengan
maksud terapeutik atau profilaksis berdasarkan kultur dan sensitivitas bakteri di
permukaan. Pada luka bakar tidak ada atuaran penggunaan antibiotic profilaksis
karena tidak akan mencapai lapisan di bawah keropeng, di mana mikroorganisme
berkembang biak. [36–41]
Nutrisi
Luka bakar yang luas merupakan cedera katabolik berat pada tubuh yang berlangsung
dalam waktu yang lama sampai semua luka bakar sembuh, tidak seperti trauma
lainnya di mana fase katabolik berlangsung singkat karena sering kali lukanya tidak
luas dan penutupan luka berlangsung lebih cepat. Karena itu, nutrisi merupakan aspek
penting yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan luka bakar. Kebutuhan
protein dan kalori sangat tinggi sehingga suplementasi harus dilakukan.
Bekas Luka akibat Luka Bakar dan Trauma
Seseorang yang mengalami luka bakar akan dicap sebagai pasien luka bakar
selamanya karena bekas lukanya akan berlangsung seumur hidup. Bekas parut dan
kontraktur merupakan dua cacat yang disebabkan oleh kebakaran. Maturasi parut pad
18
luka bakar adalah suatu fase remodelling pada penyembuhan luka. Luka bakar dermis
yang dalam, jika tidak dieksisi dan diberi cangkok kulit secara primer akan
membentuk parut yang hipertropik. [42]
Dibanding luka traumatic lainnya, permukaan yang terkena pada luka bakar lebih
luas, sehingga pembentukan parut juga lebih luas, tandanya nyata dan gejala gatal dan
nyerinya juga berat sehingga mengganggu aktivitas harian. Maka sebagian besar
pasien membutuhkan penanganan jangka panjang dalam bentuk balut tekan,
perangkat silikon gel dan pijatan untuk meringankan mereka dari gejala yang diderita.
Karena itu, rehabilitasi dan fisioterapi menjadi sangat mendasar dalam
penatalaksanaan luka bakar yang luas. Semua deformitas dan kontraktur dapat
dicegah. Pembidaian dan fisioterapi pada area luka bakar yang memotong garis sendi
harus dilakukan secepat mungkin dan diteruskan hingga bekas luka matur.
Ekstremitas atas sepanjang lengan dan leher merupakan dua area terpenting di mana
paling sering terjadi disabilitas fungsional karena kontraktur. Luka bakar yang dalam
pada lengan harus dibalut dan diimobilisasi dalam posisi cock-up untuk mencegah
deformitas Z. Collar servikal dipakai di atas seluruh balutan luka pada luka bakar di
leher atau diletakkan bantal di bawah bahu untuk menjaga leher tetap dalam posisi
ekstensi. Begitu pula di ekstremitas bawah bidai digunakan untuk mencegah
deformitas equinus dan kontraktur sendi lutut.
Fisioterapi dan bidai terutama dibutuhkan pada luka bakar yang mengenai tendon dan
syaraf. Penatalaksanaan parut pada luka lainnya biasanya dilakukan untuk alasan
estetis belaka karena tidak terjadi keterbatasan fungsional.
Psikosis pasca luka bakar diketahui sering terjadi pada pasien dan yang dikuatirkan
bukan hanya aspek fisiknya tetapi juga aspek mentalnya. Bekas luka bakar yang luas
terutama yang mengenai muka dan daerah terbuka di badan diyakini sebgai hal yang
tabu pada masyarakat bahkan hingga hari ini, dan pasien tersebut sering kali ditolak
ketika mencari kerja atau menikah terutama pada para wanita. Hasilnya adalah orang
19
yang memiliki bekas luka bakar di wajah biasanya hanya tinggal di dalam rumah dan
jarang bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya sehingga sering menderita
depresi. Karenanya, mereka membutuhkan pendampingan dan konseling
berkelanjutan.
KESIMPULAN
Luka bakar adalah bagian dari fenomena yang lebih dari sekedar luka terisolasi.
Meskipun proses penyembuhan pada luka bakar kini mengalami kemajuan
sebagaimana luka lainnya namun terdapat peran serta faktor sistemik yang besar
dalam prosesnya. Luka bakar secara langsung dipengaruhi oleh kondisi umum pasien
dan juga memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi umum pasien yang dapat
berujung pada keadaan seperti septikemia dan kematian. Luka bakar merupakan
gambaran langsung bagaimana penatalaksanaan terhadap penderitanya. Penyembuhan
pada luka bakar berhubungan secara timbal balik dengan keadaan umum pasien. Luka
bakar serupa dengan luka lainnya dalam hal bahwa pada dasarnya penyembuhan luka
dan bentuk penanganannya sama namun memiliki perbedaan karena luka bakar
memiliki dampak yang nyata pada keadaan umum pasien, yang berperan penting
dalam keselamatan, terjadinya deformitas, dan rehabilitasi pada pasien.
Catatan Kaki
Sumber Pendukung: Tidak ada
Conflict of Interest: Tidak ada
20
REFERENSI
1. Mohil RS. Classification of wounds. In: Sarabahi S, Tiwari VK, editors. Principles
and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee Publishers; 2012. pp.
42–52.
2. Bhattacharya S. Etiology and classification. In: Sarabahi S, Tiwari VK, Goel A,
editors.Principles and practice of burn care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee
Publishers; 2010. pp. 25–36.
3. Vartak A. Pathophysiology of Burn shock. In: Sarabahi S, Tiwari VK, Goel A,
editors.Principles and practice of burn care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee
Publishers; 2010. pp. 37–41.
4. Deodhar AK, Rana RE. Surgical physiology of wound healing: A review. J
Postgrad Med.1997;43:52–6. [PubMed]
5. Ethridge RT, Leong M, Phillips L. Wound healing. In: Touensend CM,
Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, editors. Sabiston Textbook of surgery. 18th
ed. Philadephia: Saunders; 2009. pp. 191–216.
6. Arturson G. In: Cross reference from ‘Local effects: Principles and Practice of burn
management. 1st ed. Setle JAD, editor. New York: Churchill Livingstone; 1996.
7. Werner S, Grose R. regulation of wound healing by growth factors and
cytokines. Physiol Rev. 2003;83:835–70. [PubMed]
8. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Tissue renewal, repair and regeneration.
In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC, editors. Robbins and Cotran. 8th ed.
Pensylvannia: Saunders; 2009. pp. 191–216.
9. Sephel GC, Woodward SC. Repair, regeneration and fibrosis. In: Rubin E,
Gorstein F, Rubin R, Schwarting R, Strayer D, editors. Rubin's pathology.
Clinicopathologic foundations of medicine. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2001. pp. 85–116.
21
10. Chandrakant SS. Medicolegal aspects in burn injuries. In: Sarabahi S, Tiwari VK,
Goel A, editors. Principles and practice of burn care. 1st ed. New Delhi (India):
Jaypee Publishers; 2010. pp. 516–23.
11. Caison's JS. Treatment of burns. London: Chapman and Hall; 1981. pp. 14–57.
12. Williams WG, Phillips L. Pathophysiology of burn wound. In: Herndon DN,
editor. Total burn care. WB Saunders Co Ltd; 1996. p. 64.
13. Jensen AR, Hughes WB, Grewal H. Secondary abdominal compartment
syndrome in children with burns and trauma: A potentially lethal complication. J
Burn Care Res.2006;27:242–6. [PubMed]
14. Greenhalgh DG, Warden GD. The importance of intra-abdominal pressure
measurements in burned children. J Trauma. 1994;36:685–90. [PubMed]
15. Ivy ME, Atweh NA, Palmer J, Possenti PP, Pineau M, D’Aiuto M. Intra-
abdominal hypertension and abdominal compartment syndrome in burn patients. J
Trauma. 2000;49:387–91. [PubMed]
16. Hobson KG, Young KM, Ciraulo A, Palmieri TL, Greenhalgh DG. Release of
abdominal compartment syndrome improves survival in patients with burn injury. J
Trauma.2002;53:1129–33. discussion 1133-4. [PubMed]
17. Latenser BA, Kowal-Vern A, Kimball D, Chakrin A, Dujovny N. A pilot study
comparing percutaneous decompression with decompressive laparotomy for acute
abdominal compartment syndrome in thermal injury. J Burn Care
Rehabil. 2002;23:190–5. [PubMed]
18. Kumar P. Surgical excision of burn wound and skin grafting. In: Sarabahi S,
Tiwari VK, editors. Principles and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India):
Jaypee Publishers; 2012. pp. 196–207.
19. Verma PK. Anaesthesia for the thermally injured. In: Sarabahi S, Tiwari VK,
editors.Principles and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee
Publishers; 2012. pp. 208–22.
20. Gamer JP, Jenner J, Parkhouse DA. Prediction of upper airway closure in
inhalation injury.Mil Med. 2005;170:677–82. [PubMed]
22
21. Gueugniaud PY, Carsin H, Bertin-Maghit M, Petit P. Current advances in the
initial management of major thermal burns. Intensive Care Med. 2000;26:848–
56. [PubMed]
22. Haponik EF. Respiratory injury. In: Haponik EF, Munster AM, editors. Smoke
inhalation and burns. New York: McGraw-Hill Inc; 1990.
23. Haponik EF, Summer W. Respiratory complications in burned patient:
Pathogenesis and spectrum of inhalation injury. J Crit Care. 1987;2:49.
24. Pruitt BA., Jr Advances in fluid therapy and the early care of the burn
patient. World J Surg. 1978;2:139–50. [PubMed]
25. Pruitt BA Jr. The diagnosis and treatment of infection in the burn patient. Burns
Incl Therm Inj. 1984;11:79–91. [PubMed]
26. Pruitt BA, Jr, McManus AT. The changing epidemiology of infection in burn
patients.World J Surg. 1992;16:57–67. [PubMed]
27. Becker WK, Cioffi WG, McManus AT. Fungal burn wound infection. Arch
Surg.1991;126:44–8. [PubMed]
28. Sarabahi S, Tiwari VK, Arora S, Capoor M, Pandey A. Changing pattern of
fungal infection in burn in a large burn unit in Asia. Burns. 2012;38:520–8. [PubMed]
29. Arturson G. Neutrophil granulocyte function in severly burned patients. Burns
Incl Therm Inj. 1985;11:309–19. [PubMed]
30. Schmidt K, Bruchelt G, Kistler D, Koslowski L. phagocytic activity of
granulocyte anf alveolar macrophages after burn injury measured by
chemiluminescence. Burns Incl Therm Inj.1983;10:79–85. [PubMed]
31. Stephan RN, Ayala A, Harkema JM, Dean RE, Border JR, Chaudhry IH.
Mechanisms of immunosuppression following hemorrhage: Defective antigen
presentation by macrophages. J Surg Res. 1989;46:553–56. [PubMed]
32. Zembola M, Uracz W, Ruggiero I. Isolation and functional characteristics of
FcR+ and FcR- human monocyte subsets. J Immunol. 1984;133:1293–9. [PubMed]
33. Daniels JC, Larson DL, Abston S, Ritzmann SE. Serum protein profiles in
thermal burns. J Trauma. 1974;14:137–52. [PubMed]
23
34. Munster AM, Hoacland HC, Pruitt BA., Jr The effect of thermal injury on serum
immunoglobulin. Ann Surg. 1970;172:965–9. [PMC free article] [PubMed]
35. Teodorczyk JA, Sparkes BG, Peters WJ. Regulation of IgM production in
thermally injured patients. Burns. 1989;15:241–7. [PubMed]
36. Saffle R, Schnebly WA. Burn wound care. In: Richard RL, Staley MJ,
editors. Burn care and rehabilitation: Principles and Practice. Philadephia: FA Davis
Company; 1994. pp. 119–67. Chapter 7.
37. Monafo WF, Fredman B. Topical therapy for burns. Surg Clin North
Am. 1987;67:133–45. [PubMed]
38. Moncreif JA, Lindberg RB, Switzer WE, Pruitt BA. Use of topical antibacterial
therapy in the treatment of burn wound. Arch Surg. 1966;92:558–65. [PubMed]
39. Pruitt BA., Jr Diagnosis and treatment of infection in the burn patient:
Presidential address.Arch Surg. 1986;121:13–22. [PubMed]
40. Lindberg RB, Moncreif JA. The successful control of burn wound sepsis. J
Trauma.1965;5:601–16. [PubMed]
41. Stone HH, Kolb LD, Petit J, Smith RB. The systemic absorption of antibiotic
from the burned wound surface. Am Surg. 1968;34:639–43. [PubMed]
42. Goel A. Post burn sequelae and their management. In: Sarabahi S, Tiwari VK,
editors.Principles and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee
Publishers; 2012. pp. 468–515.
24