Wound Manajemen
-
Upload
williemharvey -
Category
Documents
-
view
61 -
download
1
Transcript of Wound Manajemen
BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny n / wanita/ 50 tahun
b. Pekerjaan : IRT
c. Alamat : RT 07 kelurahan olak kemang
d. Tanggal Berobat : 26 Januari 2015
II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga
a. Status Perkawinan : menikah
b. Jumlah anak/saudara : memiliki 2 orang anak
c. Status ekonomi keluarga : menengah ke bawah
d. Kondisi Rumah :
Pasien tinggal di sebuah rumah panggung nonpermanen berukuran
5x3 m, berdinding papan , beratap genteng. Di dalam rumah terdapat 1
ruang tamu,1 ruang keluarga, 3 kamar tidur, 1 dapur sekaligus ruang
makan, Lantai rumah terbuat dari papan. Sumber air bersih keluarga di
peroleh dari Air PDAM. Air ini digunakan untuk mencuci pakaian,
mencuci piring, mandi, memasak dan air minum. Kamar mandi
menggunakan wc jongkok. Kondisi rumah cukup pencahayaan ventilasi
yang kurang baik, tata ruang dan pakaian yang berantakan . Secara
keseluruhan rumah tampak kurang nyaman.
e. Kondisi Lingkungan pesantren:
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya, tidak ada masalah
antara satu santri dan santri lainnya
III. Aspek Psikologis di Rumah : baik
1
IV. Keluhan Utama :
Os mengeluh terdapat luka cakaran kucing
V. Riwayat Penyakit Sekarang :
Os mengeluh ± 1 jam yang lalu di cakar oleh kucing liar yang masuk
kerumahnya, keluhan demam(-), sakit kepala(-), lemas, lelah dan nyeri otot (-),
sulit menelan (-), mual muntah (-), nyari tenggorokan dan batuk (-), keluhan kebas
pada area cakaran (-)
VI. Riwayat Penyakit Dahulu/keluarga :
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama
ada keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama.
Alergi makanan/ obat-obatan (-)
VII. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS 15)
2. Tanda vital
Suhu : 37°C
Nadi : 100 x/menit
Pernafasan
- Frekuensi : 19 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : abdominothorakal
3. Kulit
- Turgor : baik
- Lembab / kering : lembab
- Lapisan lemak : ada
4. Status gizi
BB : 58 kg
2
TB : 160 cm
Cukup
Riwayat Imunisasi : -
Pemeriksaan Organ
1. Kepala Bentuk : normocephal
2. Mata Conjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-
Reflek cahaya : +/+
Telinga : Kanan Kiri
Daun telinga N N
Liang telinga hiperemis (-) hiperemis (-)
edema (-) edema (-)
jar.granulasi (-) jar.granulasi (-)
furunkel (-) furunkel (-)
Discharge - -
Membran Timpani intak intak
Mastoid N N
Pendengaran Berkurang N
Nyeri (-) (-)
Hidung : Kanan Kiri
Deformitas - -
Septum deviasi (-) deviasi (-)
Sekret - -
Mukosa hiperemi (-) hiperemi (-)
Konka hipertropi (-) hipertropi (-)
Sinus nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Polip - -
3
Mulut
Hasil
Selaput lendir mulut Normal
Bibir Mukosa bibir basah
Lidah Ulkus (-), Warna merah muda
Gigi Karies (+)
Bau pernafasan Normal
Tenggorokan :
Mukosa : hiperemi (-)
Dinding belakang Faring : hiperemi (-)
Palatum : hiperemis (-)
Tonsil :
Pembesaran T1 T1
Hiperemis - -
Permukaan mukosa rata rata
Kripta melebar (-) melebar (-)
Detritus - -
Laring : tidak ada kelainan
Suara : serak (-)
3. Leher : Pembesaran KGB (-)
4. Thorak
Jantung : BJ I/II reguler normal, murmur(-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+, ronki (-), wheezing(-)
6. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-) diseluruh lapang perut,
BU(+) normal
7. Ekstremitas sup/inf : akral hangat, edema (-)
4
Status lokalis regio manus dorsal :
Terdapat luka gores pada regio dorsal manus, jumlah luka 3 buah.
Luka pertama Panjang ±8 cm, lebar ±0,5 cm, kedalaman ±0,3 cm.
luka kedua panjang ±4 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. luka
kedua panjang ±3 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. tepi ketiga
luka tidak rata terdapat jembatan jaringan dan daerah sekitar luka
tidak terdapat kelainan.
VIII.Diagnosis :
Luka Terbuka (S51 )
IX. Diagnosis Banding
-
X. Pemeriksaan Penunjang :
-
XI. Manajemen
a. Promotif :
Penyediaan makanan sehat cukup kualitas maupun kuantitasnya.
Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan
Pelaporan hewan- hewan yang dicurigai menderita rabies k dinas
peternakan
b. Preventif :
Memberikan serum anti rabies pada pasien yang di gigit hewan
tersangka rabies
Isolasi terhadap penderita penyakit menular
Vaksinasi hewan peliharaan secara berkala
5
c. Kuratif :
Non Farmakologi
Asupan kalori dan cairan yang adekuat
Perawatan luka septik dan antiseptik
Farmakologi 1
Paracetamol tab 3x 500 mg
Metronidazole 3 x 500 mg
Amoxicillin tab 3x 500 mg
CTM tab 3 x 4 mg
Inj. ATS
Farmakologi 2
Ibuprofen tab 3x 400 mg
Cotrimoksazole 2 x 960 mg
Inj anti rabies
Vit B com 3x 1
Farmakologi 3
Asam Mefenamat 3x 500 mg
Rimpampicin
Inj anti rabies
Inj Neurobion 5000 3 mg
Tradisional:
1. Ageratii Herba (Herba Bandotan)
Spesies : Ageratum conyzoides Linn.
Nama Daerah : Ketumbit (Melayu), babadotan, leutik, babandotan, jukut
bau, kibau, bandotan, berokah, wedusan, dus bedusan, dus wedusan
Efek Farmakologi :
6
Pemberian ekstrak etanol daun bandotan (Ageratum conyzoides) dengan
dosis berulang 1 g/kg BB secara oral pada tikus putih jantan memberikan
efek antiradang yang berarti. Pemberian secara oral ekstrak daun
bandotan (dalam etanol 95%, dikentalkan) dengan dosis berulang 0,5
g/kg BB yang disuspensikan dengan gom arab 5% memberikan inhibisi
radang sebesar 52,32% dengan efek yang bertahan sampai 360 menit
pada pengujian terhadap tikus putih jantan. Pemberian secara oral ekstrak
daun bandotan (Ageratum conyzoides) (dalam etanol 95%, dikentalkan)
dengan dosis berulang 0,8 g/kg BB yang disuspensikan dengan gom arab
5% memberikan inhibisi radang dapat mencapai lebih dari 85% pada
pengujian terhadap tikus putih jantan.
2. Graptophyllii Folium (Daun Ungu)
Spesies: Graptophyllum pictum (L.) Griff..
Nama Daerah
Pudin, dangora, daun putri, puding pereda, daun ungu, daun temen
temen, handeuleum, demung, tulak, wungu, karaton, karatong, temen,
kabi-kabi, dango-dango
Efek Farmakologi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap mencit. Ekstrak
etanol daun Graptophyllum pictum difraksinasi dengan eter dan air.
Fraksi larut air diekstraksi dengan 1-butanol, kloroform-aseton dan
metanol panas-air. Fraksi yang larut dalam metanol-panas air. Ketiga
fraksi ini diujikan terhadap mencit untuk mengetahui aktivitas anti
inflamasinya. Pemberian secara oral ketiga fraksi dan ekstrak etanol
memperlihatkan efek anti inflamasi yang signifikan.4)
d. Rehabilitatif
Tirah baring
7
8
DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI
PUSKESMAS PAKUAN BARU
DOKTER : Putut Malindra
SIP : STR:
Tanggal: 28 jnuari 2015
Pro : Alamat :
DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI
PUSKESMAS PAKUAN BARU
DOKTER : Putut Malindra
SIP : STR:
Tanggal: 28 jnuari 2015
Pro : Alamat :
DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI
PUSKESMAS PAKUAN BARU
DOKTER : Putut Malindra
SIP : STR:
Tanggal: 28 jnuari 2015
Pro : Alamat :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Luka
1.1 Definisi
Luka adalah keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan.
1.2 Jenis-jenis luka
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka
itu dan menunjukan derajat luka
1.2. 1 Berdasarkan derajat kontaminasi
a. Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan
infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka
tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan
orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan
demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan
terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam
kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun
luka tidak menunjukkan tanda infeksi.Kemungkinan timbulnya infeksi
luka sekitar 3% - 11%.
9
c. Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi
spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka
menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka
karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun
luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d. Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung
jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka
ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk
luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.
1.2.2 Berdasarkan Penyebab
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada
permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda
berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada
kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun
benturan benda tajam ataupun tumpul.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan
tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum
biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau
dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka
teratur .
c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang
tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan
atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada
kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan
dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga
lapisan otot.
10
d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda
runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.
Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku
dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek
tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan
hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi
hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga
menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan
panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki
bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang
lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula
karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
g. Tetanus pround wound yaitu luka yang cenderung menyebabkan
penyakit tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka
tembus, luka dengan berisi benda asing, terutama pecahan kayu,
luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan
yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superficial yang
nyata berkintaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang
dimana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat topical
desinfektansia atau pembersihan secara bedah, abortus dengan
septis, melahirkan dengan pertolongan persalinan yang tidak
adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat tidak adekuat,
gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit
dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe ganggren, operasi
bedah pada saluran cerna mulai dari mulut sampai anus, otitis
media puralenta.
1.3 Penyembuhan
11
Luka Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi
dan mamulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah kedaerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing serta perkembangan awal seluluer bagian dari
proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa
bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung
proses penyembuhan. Sebagai contoh melindungi area luka yang bebas dari
kotoran dengan menjaga kebersihan,dapat membantu untuk meningkatkan
penyembuhan jaringan. Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing
Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari
pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu
penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi dan
anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan
lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa berlangsung
cepat. Pada luka bedah dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat
adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan
penyembuhan ini muncul pada hari kelima sampai ketujuh post operasi .
Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya tensil strengt
yang mendekatkan tepi luka. Pengangkatan jahitan ini tergantung usia, status
nutrisi dan lokasi luka. Jahitan biasanya diangkat pada hari ke enam sampai
ketujuh post operasi untuk menghindari terbentuknya bekas jahitan (suture marks)
walaupun pembentukan kolagen sampai jahitan menyatu berakhir hari ke-21.
Kolagen sebagai jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke-5 sampai ke-7
post operasi. Bila lebih dari 7 hari berarti terjadi perlambatan sintesis kolagen
yang berarti penyembuhan luka lambat.
Suatu luka bersih akan tetap bersih bila dilakukan persiapan operasi yang
baik dan tehnik pembedahan yang baik serta perawatan luka post operasi yang
baik pula. Pemberian antibiotik peroral yang adekuat mampu mencegah terjadinya
infeksi sehingga meski tanpa cairan antiseptik proses penyembuhan luka dapat
tetap terjadi.
1.3.1. Proses penyembuhan luka yang alami
12
a. Fase inflamasi atau lag Phase Berlangsung pada hari ke-5.
Akibat luka terjadi pendarahan. Ikut keluar trombosit dan sel-sel
radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia
tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah,
mengatur tonus dingding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.
Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel redang keluar
dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara
kemotaksis. Sel mast mengeluarkan Serotonin dan histamlin yang
meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi aksudasi cairan edema. Dengan
demikian timbul tanda-tanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit
menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman (proses pagositosis).
Pertautan pada fase ini hanya oleh Fibrin, belum ada kekuatan
pertautan luka sehingga di sebut fase tertinggal (lag phase).
b. Fase proliferasi atau fibroBlast
Berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses
proliferasi dan pembentukan fibroblast (menghubungkan sel-sel) yang berasal
dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarid dan serat
kolangen yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin.
Mukopolisekarid mengatur deposisi serat-serat kolangen yang akan
mempertautkan tepi luka.
Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan
dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut/mengecil.
Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat
kolagen, kapiler-kapiler baru; membentuk jaringan kemerahan dengan
permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.
Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi
dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya
berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik
pembentukan orignan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka
tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka :
penyatuhan kembali, penyerapan yang berlebih.
13
c. Fase remondeling atau fase resorpsi.
Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang
sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa
sakit maupun gatal.
Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblas hingga struktur
luka menjadi utuh.Penyembuhan luka sebagai suatu proses yang kompleks dan
dinamis sebagai akibat dari penyembuhan kontinuitas dan fungsi anatomi.
Penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normal strukturnya,
fungsinya dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka di
tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound
Healing Society).
Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan
melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu.
Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi.
Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya hasil yang
mendekati tepi luka. Pengangkatan jahitan itu tergantung usia, status nutrisi
dan lokasi luka.
Jahitan biasa diangkat pada hari ke 6-7 proses operasi untuk
menghindari terbentuknya bekas jahitan walaupun pembentukan kollagen
samapai jahitan menyatu berakhir hari ke-21.
Suatu luka yang bersih bila dilakukan persiapan dan pembedahan yang
baik serta perawatan pasca operasi yang baik pula maka luka akan tetap
bersih. Pemberian antibiaotik peroral yang adekuat mampu mencegah
terjadinya infeksi sehingga meski tanpa cairan anti septik proses
penyembuhan luka tetap dapat terjadi.
1.4 Prinsip Penyembuhan Luka
Prinsip penyembuhan luka mengikuti fase penyembuhan luka menurut
Schwatz (2000) yaitu :
a. Koagulasi
14
Terjadinya luka baik yang bersifat traumatic atau yang terbentuk pada
pembedahan menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah yang rusak.
Vasokonstriksi segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya katekolamin
kedalam lingkungan cedera. Brakinin, serotonin, dan histamine merupakan
senyawa vasoaktif lain yang dilepas oleh sel mast kejaringan sekitar.
Senyawa-senyawa ini mengawali peristiwa Diapedesis yaitu keluarnya sel-sel
intravascular kedalam ruang ekstravaskular yang rusak. Suatu bekuan darah
terbentuk dari trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah.
Faktor-faktor pembekuan yang dilepaskan dari trombosit
menghasilkan fibrin yang bersifat hemostatik dan membentuk suatu jaringan
yang akan menampung migrasi lebih lanjut sel-sel inflamasi dan fibroblast.
Fibrin merupakan produk akhir dari aliran proses pembekuan. Tanpa kerja
fibrin ini maka kekuatan akhir dari suatu luka akan berkurang. Trombosit juga
penting dalam menghasilkan sitokin esensial yang dapat mempengaruhi
peristiwa penyembuhan luka.
b. Inflamasi
Fase inflamasi dimulai dengan migrasi leukosit kedalam luka. Leukosit
polimorfonuklear akan mendominasi luka dalam 24 jam pertama, diikuti oleh
makrofag dalam jumlah yang banyak, dan kemudian limfosit. Sel-sel radang
ini mengatur perbaikan matriks jaringan ikat dengan melepaskan berbagai
macam sitokin, yang sebelumnya dikenal sebagai “faktor pertumbuhan”.
c. Fibroplasia
Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis
kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun tidak
akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesi kolagen
akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodeling luka mengacu pada
keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat
serabut kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut baru dibentuk
dengan kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan
meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut.
d. Sitokin
15
Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh interaksi antar sel. Mereka
juga berperan penting dalam penatalaksanaan penyembuhan luka. Contohnya
sitokin ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka
kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan
tulang setelah perbaikan.
e. Metabolisme matriks ekstraseluler
Matriks ekstraseluler merupakan suatu struktur yang kompleks,
dimana berbagai jenis sel dan komponen berinteraksi. Kolagen merupakan
komponen utama dari matriks ekstraseluler, dari semua jaringan lunak,
tendon, ligament dan matriks tulang.
f. Sintesis kolagen
Sintesis kolagen dimulai dengan transkrip DNA menjadi mRNA.
Translasi mRNA berlangsung pada ribosom di reticulum endoplasma yang
kasar. Kolagen berbeda dengan protein lain karena kolagen akan mengalami
beberapa modifikasi jika telah mencapai lingku ngan ekstraseluler. Disini
terjadi pengerutan kolagen untuk membentuk fibril dan serabut kolagen. Lisil
oksidase merupakan enzim yang diperlukan untuk pengerutan kolagen. Jadi
pada sintesis kolagen terjadi sintesa protein tingkat tinggi, sehingga tubuh
memerlukan asupan protein yang banyak dalam makanan yang dimakan.
g. Degradasi kolagen
Degradasi kolagen atau penguraian kolagen diawali oleh enzim-enzim
yang sangat spesifik yang disebut kolagenase jaringan yang dihasilkan oleh
berbagai sel, termasuk sel radang, fibroblast dan sel epitel. Kolagenase masih
dalam bentuk tidak aktif dan harus diaktifkan oleh protein seperti plasmin.
Setelah kolagenase menjadi aktif, enzim dapat dihambat dengan
menggabungkannya dengan protein plasma dan jaringan yaitu makroglobulin
alfa-2.
h. Substansi dasar
Substansi dasar terdiri dari proteoglikan dan glikosaminoglikan.
Kombinasi kartilago dan proteoglikan berfungsi sebagai peredam syok
molekuler. Keduanya juga berperan menjaga kelembapan dan mengeluarkan
16
sitokin. Asam hialuronat memberikan linkungan yang cair untuk
mempermudah gerakan sel yang cepat dan diferensiasi sel. Asam ini timbul
dini dan bertahan untuk sementara waktu setelah cedera pada orang dewasa,
namun bertahan lebih lama pada kulit dan luka di janin.
i. Kontraksi luka
Kontraksi luka merupakan salah satu tenaga mekanis tubuh yang
paling kuat. Pada luka terbuka ditemukan sel-sel mirip fibroblast yang
berkontraksi. Sel-sel ini memiliki komponen otot polos dalam sitoplasmanya
serta memiliki sifat-sifat Fibroblast lainnya.
j. Epitelisasi
Sel epitel berfungsi untuk menutupi semua permukaan kulit yang
terpapar dengan lingkungan luar. Kulit merupakan suatu contoh dari proses
epitelisasi tetapi mekanisme perbaikan epitel adalah sama diseluruh tubuh.
Lapisan luar kulit yaitu epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng yang
melindungi kulit dari kehilangan cairan, invasi bakteri dan trauma. Luka
ketebalan partial akan sembuh melalui proses epitelisasi. Terdapat dua
fenomena utama dalam proses epitelisasi yaitu : migrasi dan mitosis. Setelah
epitel rusak akan terbentuk bekuan darah. Keropeng merupakan bekuan darah
yang mengering yang melindungi dermis dibawahnya. Migrasi sel epitel
mengawali proses perbaikan dan tidak bergantung pada mitosis epitel. Sel-sel
yang bermigrasi berasal dari tepi luka dan polikel rambut serta kelenjar
sebasea didasar luka. Luka superficial dan tidak melewati membrane basalis
akan sembuh dengan regenerasi yang cepat. Luka yang menembus membrane
basalis seperti luka bakar akan sembuh melalui proses epitelisasi tapi lama dan
hasilnya seringkali memuaskan.
Proses migrasi selalu dimulai dari stratum basalis dari epitel dan
kelenjar sebasea serta folikel rambut yang terletak lebih dalam. Sel-sel akan
memipih dan membentuk tonjolan-tonjolan kesekitarnya. Sel ini akan
kehilangan perlekatan dengan sel basal disekitarnya dan mulai bermigrasi.
Beberapa hari setelah migrasi dimulai, sel akan istirahat dan membelah diri.
17
Setelah permukaan kulit ditutupi oleh sel-sel epitel, sel-sel ini akan
kembali kefenotipik yang normal. Epetelisasi yang berhasil, diperluas dengan
mempertahankan permukaan kulit agar tetap lembab dan tidak kering.
Keropeng alami mungkin cukup baik untuk tujuan ini, bahan penutup yang
tidak lengket sangat baik untuk mempertahankan permukaan kulit tetap
lembab dan dapat meningkatkan proses epitelisasi secara bermakna.
k. Nutrisi
Nutrisi yang tidak adekuat dapat mengganggu proses penyembuhan.
Misalnya penghambatan respon imun dan opsonisasi bakteri. Defisiensi asam
askorbat merupakan penyebab gangguan penyembuhan luka yang paling
sering. Asam askorbat merupakan suatu kofaktor dalam hidroksilasi Prolin
menjadi asam aminohidroksi prolin pada sintesis kolagen dalam penambahan
molekul oksigen. Jaringan parut lama, memiliki aktifitas Kolagenase yang
lebih tinggi dari pada kulit normal. Oleh sebab itu pada pasien skorbut,
jaringan parut akan retak lebih dahulu dibandingkan kulit normal. Terapi
penggantian vitamin c secara agresif harus segera dilakukan setelah tauma
mayor unutk mencegah komplikasi penyembuhan luka.
Zat besi merupakan unsure yang penting untuk penyembahan luka
yang sesuai. Besi jaga diperlukan untuk berlangsungnya hidroksilase reisdu
prolin. Kalsium dan magnesium dibutuhkan untuk aktivasi kolagenase dan
sintesis protein secara umum. Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka
adalah suplai oksigen yang adekuat. Kebanyakan penyembuhan luka yang
kronik dapat diatasi secara efektif dengan meningkatkan oksigenisasi jaringan.
1.5. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
a. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari :
1) Pertimbangan perkembangan
Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan luka
daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis,
penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor
pembekuan darah
18
2) Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian.
Metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein,
Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe,Zn) Bila kurang nutrisi
diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah pembedahan
jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan
penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekwat.
3) Infeksi
Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam
percepatan penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri.
Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan
terhambat.
4) Sirkulasi dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan
sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan
jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh
terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang
gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit
menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat
terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah
prifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang
menderita anemia atau ganggua n pernafasan kronik pada perokok.
5) Keadaan luka
Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan
cepat. Misalnya luka kotor akan lambat penyembuhannya dibanding
dengan luka bersih.
6) Obat
Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan anti
neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik
19
yang lama dapat membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka.
Dengan demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan
membutuhkan waktu yang lebih lama.
b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau
lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini Diklasifikasikan menjadi faktor
Intrinsik dan ekstrinsik.
1) Faktor Intrinsik
Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan
penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi.
Infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi
jika nilai kultur luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48
jam dan selama menunggu pasien diberi antibiotika spektrum luas. Kadang-
kadang benda asing dalam luka adalah sumber infeksi.
Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. Suplai
darah dapat terbatas karena kerusakan pada pembulu darah Jantung/ Paru.
Hipoksia mengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari
sel pertumbuhan tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan
oksigen peroksida untuk membunuh patogen. Demikian juga fibroblast dan
fagositosis terbentuk lambat. Satu-satunya aspek yang dapat meningkatkan
penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah angiogenesis.
2) Faktor ekstrinsik
Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi
malnutrisi, perubahan usia dan penyakit seperti diabetes melitus. Malnutrisi
dapat mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. Kekurangan
protein menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. Kekurangan lemak dan
karbonhidrat memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein di
rubah menjadi energi selama malnutrisi. Kekurangan Vitamin menyebabkan
terlambatnya produksi dari kolagen, respon imun dan respon koagulasi.
20
Pasien tua yang mengalami penurunan respon inflamatari yang
memperlambat proses penyembuhan. Usia tua menyebabkan penurunan
sirkulasi migrasi sel darah putih pada sisa luka dan fagositasis terlambat.
Ditambah pula kemungkinan Pasien mengalami gangguan yang secara
bersamaan menghambat penyembuhan luka seperti Diabetes Melitus.
Diabetes Melitus adalah gangguan yang menyebabkan banyak pasien
mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan karena gangguan sintesa
kolagen, angiogenesis dan fagositosis. Peningkatan kadar glucosa
mengganggu transport sel asam askorbat kedalaman bermacam sel termasuk
fibroblast dan leukosit. Hiperglikemi juga menurunkan leukosit kemotaktis,
arterosklerosis, kususnya pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai
oksigen jaringan.
Neurapati diobotik mrupakan gangguan penyembuhan lebih lanjut
dengan mengganggu komponen neurologis dari penyembuhan. Kontrol dari
gulu darah setelah operasi memudahkan penyembuhan luka secara normal.
Merokok adalah gangguan Vasokontriksi dan Hipoksia karena kadar
Co2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan. Merokok
meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini
membatasi jumlah oksigen dalam luka.
Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat
kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami penurunan strenght
luka, menghambat kontraksi dan menghalangi epitilisasi.
Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan luka
yang terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.
1.6 Jenis-jenis penyembuhan luka
a. Healing by Primary Intention (Penutupan luka primer)
Penutupan ini akan merapatkan jaringan yang terputus dengan
bantuan benang, klip dan verban perekat. Setelah beberapa waktu, maka
sintesis,penempatan dan pengerutan jaringan kolagen akan memberikan
kekuatan dan integritas pada jaringan tersebut. Pertumbuhan kolagen tersebut
21
sangat penting pada tipe penyembuhan ini. Pada penutupan primer tertunda,
perapatan jaringan ditunda beberapa hari setelah luka di buat atau terjadi.
Penundaan penutupan luka ini bertujuan mencegah infeksi pada luka-luka
yang jelas terkontaminasi oleh bakteri atau yang mengalami trauma jaringan
yang hebat.
Fase-fase dalam intention primer :
1. Fase Inisial berlangsung 3-5 hari
2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel,mulai pertumbuhan sel
3. Fase granulasi (5 hari–4 mg)
Fibroblas bermigrasi kedalam bagian luka dan mensekresi kolagen.
Selama fase granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung
pembuluh darah. Tampak granula-granula merah. Luka beresiko
dehiscence dan resisten terhadap infeksi. Epitelium pada permukaan tepi
luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari lapisan epithelium yang tipis
akan bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel menebal dan mulai
matur dan luka mulai merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi terjadi
3-5 hari.
4. Fase kontraktur scar (7 hari – beberapa bulan)
Serabut-serabut Kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling.
Pergerakan Miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area
penyembuhan, menutup defek dan membawa ujung kulit tertutup
bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya terbentuk. Skar yang matur
tidak mengandung pembuluh darah dan pucat, serta lebih terasa nyeri
dari pada fase granulasi.
b. Healing by Secondary Intention (Penutupan luka sekunder)
Luka yang terjadi dari trauma, ulserasi dan infeksi dan memiliki sejumlah
besar eksudat dan luas, batas luka ireguler dengan kehilangan jaringan yang cukup
luas menyebabkan tepi luka tidak merapat. Reaksi inflamasi dapat lebih besar dari
22
pada penyembuhan luka. Kegagalan penutupan sekunder dari luka terbuka akan
berakibat terbentuknya luka terbuka kronis.
c. Healing by Tertiary Intention (Penutupan luka tertier)
Adalah intension primer yang tertunda. Terjadi karena dua lapisan jaringan
granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang terkontaminasi,
terbuka dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan. Juga dapat terjadi ketika
luka primer mengalami infeksi, terbuka dan dibiarkan tumbuh jaringan granulasi
dan kemudian dijahit. Intension tersier biasanya mengakibatkan skar yang lebih
luas dan lebih dalam dari pada intension primer atau sekunder.
1.7. Komplikasi penyembuhan luka
Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan Evicerasi
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering muncul
dalam 2-7 hari setelah pembedahan. gejalanya berupa infeksi termasuk adanya
purulent, peningkatan drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling
luka, peningkatan suhu, dan peningkatan leukosit.
b. Pendarahan
Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis
jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti
darain). Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika
mungkin harus sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan
tiap 8 jam setelah itu. Jika terjadi perdarahan yang berlegihan, penambahan
tekanan luka steril mungkin diperluk an. Pemberian cairan & intervensi
pembedahan mungkin diperlukan.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi postoperasi yang serius.
Dehiscence yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi yaitu keluarnya
pembulu kapiler melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi ; kegemukan,
23
kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, bentuk yang berlebihan,
muntah dan dehidrasi dapat mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence
luka. Ketika dehiscence & eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan
balutan steril yang lebar kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk
segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
1.8. Prinsip penanganan luka
Mengontrol infeksi, Isolasi substansi tubuh dan tehnik cuci tangan yang
baik dan benar. Sarung tangan yang bersih atau steril dan balutan steril. Instrumen
steril untuk mengganti balutan. Krasher dan Kennedi (1994) melakukan metode
alternatif dalam mengganti balutan dengan kombinasi tehnik steril dan non steril.
Merujuk ke teknik “tidak boleh disentuh” adalah sebagai berikut :
1. Gunakan dua pasang sarung tangan tidak steril, kasa steril ukuran 4×4 ,
normal salin (Nacl 0,9%) steril.
2. Sarung tangan pertama digunakan untuk membuka bantuan luka yang
kotor, kemudian lepaskan dan cuci tangan.
3. Buka peralatan steril menggunakan tehnik steril.
4. Kenakan sarung tangan kedua, tuang normal salinedi atas luka dengan
menampung waskom dibawah luka .
5. Pegang kasa steril pada sisanya/pinggir luka, bagian depan (yang
menyentuh luka) jangan samapai tersentuh oleh tangan yang mengenakan
sarung tanga tidak steril.
6. Bersihkan luka dengan gerakan sirkuler/ melingkar diawali dari bagian
dalam luka kearah luar. Untuk tiap putaran kasa diganti dengan yang baru.
7. Bersihkan dan keringkan juga disekeliling luka.
8. Tutup kembali luka dengan meletakkan balutan di atasnya, pegang
sisi/sudut balutan penutup dan letakkan bagian yang tidak tersentuh di atas
permukaan luka.
24
9. Tutup dengan balutan transparan, tulis tunggal, jam dan initial balutan.
Gunakan Sodium Clorida 0,9% untuk irigasi dan bersihkan luka.
Minimalkan trauma dengan gosokan luka secra hati-hati. Ganti balutan
baru setiap kali membersihkan luka.
1.9. Pengkajian luka
a. Lokasi
Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak
semua lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari
prinsip fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang
banyak akan mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan mendukung
penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dari bagian tubuh yang lebih
sedikit mendapat aliran darah.
b. Ukuran luka
Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat dengan
sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar transparan yang
telah dicatat berpola kotak-kotak berukuran sentimeter.
c. Kedalaman luka
Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah
dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hati-hati kedalam luka
dengan posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar luka. Beri tanda pada lidi
sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan sentimeter.
d. Gowa atau terowongan
Gowa dan terowongan dapat diketahui dengan melakukan palpasi
jaringan disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba tenderness/perlukan.
Masukan saline melalui mulut lubang ke dasar luka/ujung terowongan. Beri
tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Beri tekanan
/palpasi dengan hati-hati dan kaji saluran yang abnormal tersebut.
Jangan pernah menggunakan kekuatan dorongan yang berlebilan bila
menggunakan kapas lidi. Ukur lokasi dan kedalaman lubang/penetrasi. Untuk
penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah jarum jam dengan pusat pada
25
tengah luka dan jam 12 sesuai garis anatomis sumbu tubuh manusia. Misalnya
lokasi mulut lubang terdapat pada posisi jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau
dapat dibuatkan gambar jam dengan tanda pada posisi jam 8.
e. Warna dasar Luka
Warna dasar luka sangat penting dikaji karena berhububungan dengan
penentuan terapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa macam warna
dasar luka yang membutuhkan perlakuan spesifik terhadap masing-masing
sesuai warna dasar tersebut.
1) Nekrotik
Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut
keropeng. Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak terinfeksi atau
tidak ada sksudat, ini tidak dapat dipastikan tanpa dilakukan palpasi
terlebih dahulu. Dengan melakukan palpasi dapat dirasakan ada
Tenderness atau tidak dibawah jaringan keropang tersebut dan disekitar
luka teraba panas dan tampak tanda radang disekelilingnya yang perlu
diperhatikan. Dan juga tidak terlepas dari keluhan penderita apakah
merasa nyeri berdenyut dibawah jaringan nekroit tersebut. Untuk luka
seperti ini membutuhkan suasana yang lembab sehingga nekrotik yang
kering tersebut dapat lepas dengan sendirinya. Jenis balutan yang baik
adalah hidrogel. Diatasnya diletakan kasa dan balutan transparan.
2) Sloughy.
Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau
tampak berair/basah. Sloughy ini harus diangkat dari permukaan luka
karena jaringan ini juga sedang mengalami nekrotik, dengan demikian
pada dasar luka akan tumbuh jaringan granulasi buntuk proses
penyembuahan. Untuk luka seperti ini dibutuhkan hydrogen untuk
melepas jaringan nekroit. Gunakan hydrofiber untuk menyerap eksudat
yang berlebihan sehingga tercipta lingkungan yang konduksif.
(moist/lembab) untuk proses panyembuhan luka. Bila luka mudah
berdarah lebih baik digunakan calcium alginate. Hydrofiber yang
26
mengandung calcium alginato dapat menghentikan pendarahan dengan
segera.
3) Granulasi.
Warna dasar luka ini adalah merah. Perlu diketahui bahwa ini
merupakan pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapay dibiarkan
tanpa pambalut. Tetap harus diberi pelindung sebagai pengganti kulit utuk
mencegah kontaminasi dari dunia luar dan menciptakan kondisi
lingkungan luka yang baru untuk pertumbuhan sel granulasi tersebut.
Biasanya luka ini sangat mudah berdarah. Boleh diberikan balutan
hydrogen dan apabila eksudat banyak dapat digunakan hydrofiber yang
mengandung calcium alginate labih efektif.
4) Epitelisasi.
Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini
masih dalam proses glanulasi.Untuk itu perlu pemilihan balutan yang
dapat mendukung mutasi sel yaitu douderm tipis (extrathin). Balutan ini
berbentuk wafer/padat, tidak berbentuk seruk, namun cukup lunak dan
nyaman diletakan diatas permukaan luka dan tidak menimbulkan trauma
terghadap luka, dapat juga menyetap eksudut yang minimal melindungi
luka dari kontaminasi.
2. Rabies
2.1 DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.1
Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia
(Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.4
27
2.2 SEJARAH
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 Sebelum Masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pastuer mendemostrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pastuer pada tahun 1885. pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960.4
2.3 ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus. Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibody yang mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif. Antibody antirabies digunakan pada analisis imunofluororescent diagnostic yang umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat antigenic dan biologic. Variasi – variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang progresif.1
28
Gambar 1 Rhabdovirus
Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.4
2.4 DISTRIBUSI DAN INSIDENSI
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun 2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21 orang. Sedangkan di Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29 November 2008 terdapat beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan status bebas rabies perlu ditinjau kembali.
29
Gambar 2. Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia
2.5 EPIDEMIOLOGI
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : urban, disebarluaskan terutama oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic, disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar infeksi sylvatic, dan manusia dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan tropik adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Pada beberapa area endemik 1 sampai 2% dari pasien yang diotopsi menunjukkan tanda – tanda rabies. Peningkatan penyebaran rabies yang hidup di darat dan peningkatan perjalanan ke negara – negara yang didalamnya terdapat rabies perkotaan telah membuat perhatian mengenai rabies klinis dan pencegahannya. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara – negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.4
30
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika Selatan,Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%. Akan tetapi, sebagian besar kasus profilaksis pasca pemajanan dihubungkan dengan gigitan anjing dan kucing.4
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga pernah ditemukan.4
2.6 TRANSMISI
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.4
2.7 PATOGENESIS
Kejadian pertama pengenalan hidup melalui epidermis atau ke dalam membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi. Sistem saraf perifer terpajan pada berkas neurotendinal dan/atau neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer dengan kecepatan 3mm/jam. Secara eksperimen, viremia terbukti terjadi, tetapi tidak dianggap mempunyai peranan pada penyakit yang secara alami didapat. Sekali virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom
31
untuk mencapai jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paruparu, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Perjalanan menuju kelenjar saliva menyebabkan transmisi lanjutan penyakit melalui saliva yang terinfeksi. Virus juga tersebar pada air susu dan urine.4
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun (rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penjamu dan jarak sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi. Respons imun penjamu dan strain viral juga dapat mempengaruhi ekspresi penyakit. Respons imun yang diperantai sel dicatat pada pasien dengan ensefalitis rabies, tetapi tidak ada pasien dengan rabies paralitik.4
Neuropati rabies menyerupai penyakit viral lain pada sistem saraf pusat: hiperemia, berbagai derajat kromatolisis, piknosis nuklear dan neurofagia sel saraf; diinfiltrasi oleh limposit dan sel plasma ruang Virchow-Robin; infiltrasi mikroglia dan area parenkim destruksi sel saraf. Pada model hewan eksperimental, sering terjadi infeksi adenohipofisis karena virus rabies, dengan pengurangan pada hormon pertumbuhan dan pelepasan vasopresin. Lesi rabies yang patognomik adalah badan negri. Massa eosinofilik ini, berukuran sekitar 10nm tersusun atas matriks fibilar halus dan partikel virus rabies. Badan negri tersebar di seluruh otak, terutama kornu Ammon, korteks serebral, otak tengah, hipotalamus, sel purkinje serebelum dan ganglia dorsalis medulla spinalis. Badan negri tidak ditemukan pada sedikitnya 20% kasus rabies dan tidak adanya badan negri ini pada material otak tidak menyingkirkan diagnosis.4
2.8 MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4
32
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh.1
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif. Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien.1
Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.4
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, peride lucid menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan tiupan yang lembut sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler,lakrimasi meningkat, salivasi, berkeringat dan hipotensi postural. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, kelumpuhan fsialm neuritis optik dan kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, kontraksi diafragma involunter, kuat dan nyeri, kontraksi otot respirasi tambahan, faringeal, dan laringeal yang dimulai dengan menelan cairan, tampak pada sekitar 50% kasus. Terkenanya nukleus amigdaloideus menyebabkan priapismus dan ejakulasi spontan. Pasien menjadi koma, dan terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya dan
33
bertanggung jawab pada perjalanan penyakit yang menurun cepat. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum 20hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1 Kadang - kadang, rabies dapat terjadi sebagai paralisis asenden yang menyerupai sindroma Landry-Guillan-Barré (dumb rabies, rage tranquille). Pola klinis ini terjadi paling sering pada mereka yang digigit kelelawar atau pada mereka yang mendapat profilaksis rabies pasca pemajanan.1
Kesulitan menduga rabies jika disertai dengan paralisis asendens yang digambarkan dengan dokumentasi penularan virus dari orang ke orang pada transplantasi jaringan. Jaringan transplan dari dua donor yang meninggal karena dicurigai sindroma Landry-Guillan-Barré menimbulkan rabies klinis dan kematian pada resipien. Pemeriksaan patologik retrospektif pada otak dari kedua resipien menunjukkan badan negri, dan virus rabies selanjutnya diisolas dari setiap mata donor yang dibekukan.1
Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies
Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis
34
Inkubasi
Prodromal
Neurologik akut
• Furious (80%)
• Paralitik
Koma
• < 30 hari (25%)
• 30-90 hari (50%)
• 90 hari – 1 tahun (20%)
• >1 tahun (5%)
2-10 hari
2-7 hari
2-7 hari
0-14 hari
Tidak ada
Parestesi, nyeri pada luka
gigitan, demam, malaise,
anoreksia, mual & muntah,
nyeri kepala, lethargi, agitasi,
anxietas, depresi
Halusinasi, bingung,
delirium, tingkah laku aneh,
agitasi, menggigit,
hidropobia,
hipersalivasi, disfagia, afasia,
inkoordinasi, hiperaktif,
spasme faring, aerofobia,
hiperventilasi, disfungsi saraf
otonom, sindroma
abnormalitas ADH
Paralisis flaksid
Autonomic instability,
hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia/hipertermia, hipotensi, disfungsi pituitari, rhabdomiolisis, aritmia dan henti jantung
2.9 KOMPLIKASI
35
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.4
2.10 TEMUAN LABORATORIUM
Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan komplikasi lainnya. Jumlah leukosit perifer agak meningkat (12000 sampai 17000 sel permikroliter) tapi mungkin normal atau setinggi 30000 sel per mikroliter.1
Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1) isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, jarang cairan serebrospinalis (CSF), atau jaringan (otak)], (2) petunjuk serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam jaringan yang terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak. Sampel otak diperoleh dengan pemeriksaan postmortem atau pada biopsi otak yang ditujukan untuk (1) pemeriksaan inokulasi tikus untuk isolasi virus (2) pewarnaan antibodi fluoresen (FA, fluorescent antibody) untuk antigen virus, dan (3) pemeriksaan histologik dan/atau mikroskopik elektron untuk melihat badan Negri.1
Jika pasien tidak pernah menerima imunisasi antirabies, kenaikan antibodi netralisasi terhadap virus rabies sebanyak 4 kali lipat dalam serangkaian sampel serum merupakan diagnostik. Jika pasien menerima vaksin rabies, petunjuk untuk diagnosis mungkin diperoleh dari titer absolut antibodi netralisasi serum dan adanya antibodi netralisasi terhadap rabies dalam cairan serebrospinal. Profilaksis rabies pasca pemajanan jarang menimbulkan antibodi netralisasi-cairan serebrospinal terhadap rabies. Jika adanya, biasanya dengan titer yang rendah, misalnya kurang dari 1:64, sedangkan titer cairan serebrospinal dalam rabies manusia dapat bervariasi dari 1:200 sampai 1:160000.1
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit.otak,
36
cairan serebrospinal dan kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahanbahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan dengan adanya neuralizing antibodi.4
Deteksi neutralizing antibodi dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi respons antibodi pada serum dan CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi (pada CSS kadarnya 2-25% dari serum).4
Fluororescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, bahkan setelah teknik isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%. FAT pada hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada awal penyakit (minggu I) FAT dari kulit leher merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat terjadi negatif palsu.4
Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.2
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)4
37
2.11 DIAGNOSIS BANDING
Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.4
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme laring.4
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.4
Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.4
38
s i Bodie Negr.bar 3mGa
Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga 71. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.1
2.12 PENANGANAN RABIES
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsanganrangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.4
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.4
2.13 PENCEGAHAN
Setiap tahun lebih dari 1 juta orang Amerika digigit binatang. Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu dalam kepulauan Amerika digigit kelelawar
39
yang kemudian lolos sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi. 1
Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap, jika mungkin. Binatang buas atau yang sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau berkeliaran terlibat dalam pemajanan rabies, khususnya binatang yang terlibat gigitan tanpa ada rangsangan, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati. Individu yang terkena binatang buas yang lolos dan mengandung rabies (kelelawar, skunk, serigala padang rumput, rubah, raccoon, dan lain-lain). Dalam area tempat rabies diketahui atau diduga ada maka orang tersebut sebaiknya menerima imunisasi terhadap rabies baik pasif maupun aktif.1
Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus rabies rabies pada waktu menggigit.
Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%. luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.4
Profilaksis pasca – paparan
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.1
40
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).4
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.4
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRCID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.4
Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan pencegahan preexposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.4
41
Efek samping/komplikasi vaksinasi
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf. Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif. Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikan kortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.4
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi miripkompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan adanya β-propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka dengan titer antibodi yang rendah. Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan substansi yang mana saja.1
2.14 PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun
42
1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4
43
BAB III
ANALISIS KASUS
Os mengeluh ± 1 jam yang lalu di cakar oleh kucing liar yang masuk
kerumahnya, keluhan demam(-), sakit kepala(-), lemas, lelah dan nyeri otot (-),
sulit menelan (-), mual muntah (-), nyari tenggorokan dan batuk (-), keluhan kebas
pada area cakaran (-)
Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka gores pada regio dorsal manus,
jumlah luka 3 buah. Luka pertama Panjang ±8 cm, lebar ±0,5 cm, kedalaman
±0,3 cm. luka kedua panjang ±4 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. luka
kedua panjang ±3 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. tepi ketiga luka tidak
rata terdapat jembatan jaringan dan daerah sekitar luka tidak terdapat kelainan.
Prinsip penatalaksanaan luka diantaranya Mengontrol infeksi, Isolasi
substansi tubuh. tehnik cuci tangan yang baik dan benar. Sarung tangan yang
bersih atau steril dan balutan steril. Instrumen steril untuk mengganti balutan.
Serta pencegahan terhadap tetanus maupun rabies dengan vaksinasi
a. Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai keadaan asrama pasien, dapat
disimpulkan bahwa keadaan/ kondisi rumah pasien tidak mempengaruhi atau
memperberat penyakit yang diderita oleh pasien saat ini.
b. Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga
Berdasarkan hasil pengamatan mengenai keadaan keluarga dan hubungan
keluarga, dapat disimpulkan bahwa keadaan/ kondisi rumah pasien tidak
berhubungan dan tidak mempengaruhi atau memperberat penyakit yang
diderita oleh pasien saat ini.
44
c. Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan
lingkungan sekitar.
Pada kasus ini, tidakada hubungan antara perilaku kesehatan pasien dengan
diagnosis penyakitnya. Namun di lingkungan sekitar terdapat kucing liar yang
sering masuk ke dalam rumah
d. Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit
Secara keseluruhan dari anamnesis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa faktor risiko/etiologi penyakit pasien pada kasus ini adalah kesadaran
PHBS yang rendah
e. Analisis untuk mengurangi paparan dengan faktor risiko atau etiologi
Beberapa langkah untuk bisa mengurangi paparannya ataupun mencegah
terjadinya penyakit:
Memberikan vaksinasi pada hewan peliharaan
Melaporkan kepada dinas peternakan jika terdapat hewan liar yang
mengancam
Bersihkan luka sedini mungkin jika terpapar oleh air liur atau kotoran
binatang
Bersihkan luka sedini mungkin menggunakan cairan antiseptik jika
tergigit atau terkena cakaran binatang
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. In: Harrison Prinsipprinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta : EGC. 1999. p.938-941
2. Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1736-1740.
3. Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds). Mandell, Douglas amd Bennet’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th ed. Churchill Livingstone, Philadelphia 2000, p 1811 – 1820
4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. American Public Health Association, Jakarta 2000, p 427 - 436
46
Lampiran
47