Wound Manajemen

72
BAB I STATUS PASIEN I. Identitas Pasien a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny n / wanita/ 50 tahun b. Pekerjaan : IRT c. Alamat : RT 07 kelurahan olak kemang d. Tanggal Berobat : 26 Januari 2015 II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan- keluarga a. Status Perkawinan : menikah b. Jumlah anak/saudara : memiliki 2 orang anak c. Status ekonomi keluarga : menengah ke bawah d. Kondisi Rumah : Pasien tinggal di sebuah rumah panggung nonpermanen berukuran 5x3 m, berdinding papan , beratap genteng. Di dalam rumah terdapat 1 ruang tamu,1 ruang keluarga, 3 kamar tidur, 1 dapur sekaligus ruang makan, Lantai rumah terbuat dari papan. Sumber air bersih keluarga di peroleh dari Air PDAM. Air ini digunakan untuk mencuci pakaian, mencuci piring, mandi, memasak dan air minum. Kamar mandi menggunakan wc jongkok. Kondisi rumah cukup pencahayaan ventilasi yang kurang baik, tata 1

Transcript of Wound Manajemen

Page 1: Wound Manajemen

BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien

a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny n / wanita/ 50 tahun

b. Pekerjaan : IRT

c. Alamat : RT 07 kelurahan olak kemang

d. Tanggal Berobat : 26 Januari 2015

II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga

a. Status Perkawinan : menikah

b. Jumlah anak/saudara : memiliki 2 orang anak

c. Status ekonomi keluarga : menengah ke bawah

d. Kondisi Rumah :

Pasien tinggal di sebuah rumah panggung nonpermanen berukuran

5x3 m, berdinding papan , beratap genteng. Di dalam rumah terdapat 1

ruang tamu,1 ruang keluarga, 3 kamar tidur, 1 dapur sekaligus ruang

makan, Lantai rumah terbuat dari papan. Sumber air bersih keluarga di

peroleh dari Air PDAM. Air ini digunakan untuk mencuci pakaian,

mencuci piring, mandi, memasak dan air minum. Kamar mandi

menggunakan wc jongkok. Kondisi rumah cukup pencahayaan ventilasi

yang kurang baik, tata ruang dan pakaian yang berantakan . Secara

keseluruhan rumah tampak kurang nyaman.

e. Kondisi Lingkungan pesantren:

Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya, tidak ada masalah

antara satu santri dan santri lainnya

III. Aspek Psikologis di Rumah : baik

1

Page 2: Wound Manajemen

IV. Keluhan Utama :

Os mengeluh terdapat luka cakaran kucing

V. Riwayat Penyakit Sekarang :

Os mengeluh ± 1 jam yang lalu di cakar oleh kucing liar yang masuk

kerumahnya, keluhan demam(-), sakit kepala(-), lemas, lelah dan nyeri otot (-),

sulit menelan (-), mual muntah (-), nyari tenggorokan dan batuk (-), keluhan kebas

pada area cakaran (-)

VI. Riwayat Penyakit Dahulu/keluarga :

Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama

ada keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama.

Alergi makanan/ obat-obatan (-)

VII. Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum

1. Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis (GCS 15)

2. Tanda vital

Suhu : 37°C

Nadi : 100 x/menit

Pernafasan

- Frekuensi : 19 x/menit

- Irama : reguler

- Tipe : abdominothorakal

3. Kulit

- Turgor : baik

- Lembab / kering : lembab

- Lapisan lemak : ada

4. Status gizi

BB : 58 kg

2

Page 3: Wound Manajemen

TB : 160 cm

Cukup

Riwayat Imunisasi : -

Pemeriksaan Organ

1. Kepala Bentuk : normocephal

2. Mata Conjungtiva : anemis -/-

Sklera : ikterik -/-

Reflek cahaya : +/+

Telinga :                           Kanan              Kiri

Daun telinga                           N                    N

Liang telinga                    hiperemis (-)             hiperemis (-)

edema (-) edema (-)

jar.granulasi (-) jar.granulasi (-)

furunkel (-) furunkel (-)

Discharge                               -                      -

Membran Timpani    intak               intak

Mastoid                                 N                    N

Pendengaran           Berkurang                    N

Nyeri (-) (-)

Hidung :                            Kanan                          Kiri

Deformitas - -

Septum                               deviasi (-) deviasi (-)

Sekret                                     -                                 -

Mukosa                              hiperemi (-)              hiperemi (-)

Konka                                hipertropi (-)                        hipertropi (-)

Sinus                                  nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Polip                                   -                                 -

3

Page 4: Wound Manajemen

Mulut

Hasil

Selaput lendir mulut Normal

Bibir Mukosa bibir basah

Lidah Ulkus (-), Warna merah muda

Gigi Karies (+)

Bau pernafasan Normal

Tenggorokan :                 

Mukosa                              : hiperemi (-)

Dinding belakang Faring   : hiperemi (-)

Palatum : hiperemis (-)

Tonsil :

Pembesaran                           T1                             T1

Hiperemis                               -                                -

Permukaan mukosa           rata                   rata

Kripta                                melebar (-)               melebar (-)

Detritus                                  -                                   -

Laring : tidak ada kelainan

Suara : serak (-)

3. Leher : Pembesaran KGB (-)

4. Thorak

Jantung : BJ I/II reguler normal, murmur(-), gallop (-)

Paru : Vesikuler +/+, ronki (-), wheezing(-)

6. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-) diseluruh lapang perut,

BU(+) normal

7. Ekstremitas sup/inf : akral hangat, edema (-)

4

Page 5: Wound Manajemen

Status lokalis regio manus dorsal :

Terdapat luka gores pada regio dorsal manus, jumlah luka 3 buah.

Luka pertama Panjang ±8 cm, lebar ±0,5 cm, kedalaman ±0,3 cm.

luka kedua panjang ±4 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. luka

kedua panjang ±3 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. tepi ketiga

luka tidak rata terdapat jembatan jaringan dan daerah sekitar luka

tidak terdapat kelainan.

VIII.Diagnosis :

Luka Terbuka (S51 )

IX. Diagnosis Banding

-

X. Pemeriksaan Penunjang :

-

XI. Manajemen

a. Promotif :

Penyediaan makanan sehat cukup kualitas maupun kuantitasnya.

Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan

Pelaporan hewan- hewan yang dicurigai menderita rabies k dinas

peternakan

b. Preventif :

Memberikan serum anti rabies pada pasien yang di gigit hewan

tersangka rabies

 Isolasi terhadap penderita penyakit menular

Vaksinasi hewan peliharaan secara berkala

5

Page 6: Wound Manajemen

c. Kuratif :

Non Farmakologi

Asupan kalori dan cairan yang adekuat

Perawatan luka septik dan antiseptik

Farmakologi 1

Paracetamol tab 3x 500 mg

Metronidazole 3 x 500 mg

Amoxicillin tab 3x 500 mg

CTM tab 3 x 4 mg

Inj. ATS

Farmakologi 2

Ibuprofen tab 3x 400 mg

Cotrimoksazole 2 x 960 mg

Inj anti rabies

Vit B com 3x 1

Farmakologi 3

Asam Mefenamat 3x 500 mg

Rimpampicin

Inj anti rabies

Inj Neurobion 5000 3 mg

Tradisional:

1. Ageratii Herba (Herba Bandotan)

Spesies : Ageratum conyzoides Linn.

Nama Daerah : Ketumbit (Melayu), babadotan, leutik, babandotan, jukut

bau, kibau, bandotan, berokah, wedusan, dus bedusan, dus wedusan

Efek Farmakologi :

6

Page 7: Wound Manajemen

Pemberian ekstrak etanol daun bandotan (Ageratum conyzoides) dengan

dosis berulang 1 g/kg BB secara oral pada tikus putih jantan memberikan

efek antiradang yang berarti. Pemberian secara oral ekstrak daun

bandotan (dalam etanol 95%, dikentalkan) dengan dosis berulang 0,5

g/kg BB yang disuspensikan dengan gom arab 5% memberikan inhibisi

radang sebesar 52,32% dengan efek yang bertahan sampai 360 menit

pada pengujian terhadap tikus putih jantan. Pemberian secara oral ekstrak

daun bandotan (Ageratum conyzoides) (dalam etanol 95%, dikentalkan)

dengan dosis berulang 0,8 g/kg BB yang disuspensikan dengan gom arab

5% memberikan inhibisi radang dapat mencapai lebih dari 85% pada

pengujian terhadap tikus putih jantan.

2. Graptophyllii Folium (Daun Ungu)

Spesies: Graptophyllum pictum (L.) Griff..

Nama Daerah

Pudin, dangora, daun putri, puding pereda, daun ungu, daun temen

temen, handeuleum, demung, tulak, wungu, karaton, karatong, temen,

kabi-kabi, dango-dango

Efek Farmakologi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap mencit. Ekstrak

etanol daun Graptophyllum pictum difraksinasi dengan eter dan air.

Fraksi larut air diekstraksi dengan 1-butanol, kloroform-aseton dan

metanol panas-air. Fraksi yang larut dalam metanol-panas air. Ketiga

fraksi ini diujikan terhadap mencit untuk mengetahui aktivitas anti

inflamasinya. Pemberian secara oral ketiga fraksi dan ekstrak etanol

memperlihatkan efek anti inflamasi yang signifikan.4)

d. Rehabilitatif

Tirah baring

7

Page 8: Wound Manajemen

8

DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI

PUSKESMAS PAKUAN BARU

DOKTER : Putut Malindra

SIP : STR:

Tanggal: 28 jnuari 2015

Pro : Alamat :

DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI

PUSKESMAS PAKUAN BARU

DOKTER : Putut Malindra

SIP : STR:

Tanggal: 28 jnuari 2015

Pro : Alamat :

DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI

PUSKESMAS PAKUAN BARU

DOKTER : Putut Malindra

SIP : STR:

Tanggal: 28 jnuari 2015

Pro : Alamat :

Page 9: Wound Manajemen

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Luka

1.1 Definisi

Luka adalah keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang

disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,

ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan.

1.2 Jenis-jenis luka

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka

itu dan menunjukan derajat luka

1.2. 1 Berdasarkan derajat kontaminasi

a. Luka bersih

Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan

infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka

tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan

orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan

demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan

terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

b. Luka bersih terkontaminasi

Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana

saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam

kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun

luka tidak menunjukkan tanda infeksi.Kemungkinan timbulnya infeksi

luka sekitar 3% - 11%.

9

Page 10: Wound Manajemen

c. Luka terkontaminasi

Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi

spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka

menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka

karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun

luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

d. Luka kotor

Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung

jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka

ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk

luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.

1.2.2 Berdasarkan Penyebab

a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada

permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda

berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada

kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun

benturan benda tajam ataupun tumpul.

b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan

tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum

biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau

dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka

teratur .

c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang

tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan

atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada

kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan

dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga

lapisan otot.

10

Page 11: Wound Manajemen

d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda

runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.

Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku

dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek

tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.

e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan

hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi

hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga

menyesuaikan gigitan hewan tersebut.

f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan

panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki

bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang

lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula

karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.

g. Tetanus pround wound yaitu luka yang cenderung menyebabkan

penyakit tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka

tembus, luka dengan berisi benda asing, terutama pecahan kayu,

luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan

yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superficial yang

nyata berkintaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang

dimana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat topical

desinfektansia atau pembersihan secara bedah, abortus dengan

septis, melahirkan dengan pertolongan persalinan yang tidak

adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat tidak adekuat,

gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit

dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe ganggren, operasi

bedah pada saluran cerna mulai dari mulut sampai anus, otitis

media puralenta.

1.3 Penyembuhan

11

Page 12: Wound Manajemen

Luka Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi

dan mamulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah kedaerah yang rusak,

membersihkan sel dan benda asing serta perkembangan awal seluluer bagian dari

proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa

bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung

proses penyembuhan. Sebagai contoh melindungi area luka yang bebas dari

kotoran dengan menjaga kebersihan,dapat membantu untuk meningkatkan

penyembuhan jaringan. Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing

Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari

pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu

penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi dan

anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan

lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa berlangsung

cepat. Pada luka bedah dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat

adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan

penyembuhan ini muncul pada hari kelima sampai ketujuh post operasi .

Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya tensil strengt

yang mendekatkan tepi luka. Pengangkatan jahitan ini tergantung usia, status

nutrisi dan lokasi luka. Jahitan biasanya diangkat pada hari ke enam sampai

ketujuh post operasi untuk menghindari terbentuknya bekas jahitan (suture marks)

walaupun pembentukan kolagen sampai jahitan menyatu berakhir hari ke-21.

Kolagen sebagai jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke-5 sampai ke-7

post operasi. Bila lebih dari 7 hari berarti terjadi perlambatan sintesis kolagen

yang berarti penyembuhan luka lambat.

Suatu luka bersih akan tetap bersih bila dilakukan persiapan operasi yang

baik dan tehnik pembedahan yang baik serta perawatan luka post operasi yang

baik pula. Pemberian antibiotik peroral yang adekuat mampu mencegah terjadinya

infeksi sehingga meski tanpa cairan antiseptik proses penyembuhan luka dapat

tetap terjadi.

1.3.1. Proses penyembuhan luka yang alami

12

Page 13: Wound Manajemen

a. Fase inflamasi atau lag Phase Berlangsung pada hari ke-5.

Akibat luka terjadi pendarahan. Ikut keluar trombosit dan sel-sel

radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia

tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah,

mengatur tonus dingding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.

Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel redang keluar

dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara

kemotaksis. Sel mast mengeluarkan Serotonin dan histamlin yang

meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi aksudasi cairan edema. Dengan

demikian timbul tanda-tanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit

menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman (proses pagositosis).

Pertautan pada fase ini hanya oleh Fibrin, belum ada kekuatan

pertautan luka sehingga di sebut fase tertinggal (lag phase).

b. Fase proliferasi atau fibroBlast

Berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses

proliferasi dan pembentukan fibroblast (menghubungkan sel-sel) yang berasal

dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarid dan serat

kolangen yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin.

Mukopolisekarid mengatur deposisi serat-serat kolangen yang akan

mempertautkan tepi luka.

Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan

dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut/mengecil.

Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat

kolagen, kapiler-kapiler baru; membentuk jaringan kemerahan dengan

permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.

Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi

dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya

berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik

pembentukan orignan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka

tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka :

penyatuhan kembali, penyerapan yang berlebih.

13

Page 14: Wound Manajemen

c. Fase remondeling atau fase resorpsi.

Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang

sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa

sakit maupun gatal.

Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblas hingga struktur

luka menjadi utuh.Penyembuhan luka sebagai suatu proses yang kompleks dan

dinamis sebagai akibat dari penyembuhan kontinuitas dan fungsi anatomi.

Penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normal strukturnya,

fungsinya dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka di

tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound

Healing Society).

Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan

melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu.

Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi.

Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya hasil yang

mendekati tepi luka. Pengangkatan jahitan itu tergantung usia, status nutrisi

dan lokasi luka.

Jahitan biasa diangkat pada hari ke 6-7 proses operasi untuk

menghindari terbentuknya bekas jahitan walaupun pembentukan kollagen

samapai jahitan menyatu berakhir hari ke-21.

Suatu luka yang bersih bila dilakukan persiapan dan pembedahan yang

baik serta perawatan pasca operasi yang baik pula maka luka akan tetap

bersih. Pemberian antibiaotik peroral yang adekuat mampu mencegah

terjadinya infeksi sehingga meski tanpa cairan anti septik proses

penyembuhan luka tetap dapat terjadi.

1.4 Prinsip Penyembuhan Luka

Prinsip penyembuhan luka mengikuti fase penyembuhan luka menurut

Schwatz (2000) yaitu :

a. Koagulasi

14

Page 15: Wound Manajemen

Terjadinya luka baik yang bersifat traumatic atau yang terbentuk pada

pembedahan menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah yang rusak.

Vasokonstriksi segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya katekolamin

kedalam lingkungan cedera. Brakinin, serotonin, dan histamine merupakan

senyawa vasoaktif lain yang dilepas oleh sel mast kejaringan sekitar.

Senyawa-senyawa ini mengawali peristiwa Diapedesis yaitu keluarnya sel-sel

intravascular kedalam ruang ekstravaskular yang rusak. Suatu bekuan darah

terbentuk dari trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah.

Faktor-faktor pembekuan yang dilepaskan dari trombosit

menghasilkan fibrin yang bersifat hemostatik dan membentuk suatu jaringan

yang akan menampung migrasi lebih lanjut sel-sel inflamasi dan fibroblast.

Fibrin merupakan produk akhir dari aliran proses pembekuan. Tanpa kerja

fibrin ini maka kekuatan akhir dari suatu luka akan berkurang. Trombosit juga

penting dalam menghasilkan sitokin esensial yang dapat mempengaruhi

peristiwa penyembuhan luka.

b. Inflamasi

Fase inflamasi dimulai dengan migrasi leukosit kedalam luka. Leukosit

polimorfonuklear akan mendominasi luka dalam 24 jam pertama, diikuti oleh

makrofag dalam jumlah yang banyak, dan kemudian limfosit. Sel-sel radang

ini mengatur perbaikan matriks jaringan ikat dengan melepaskan berbagai

macam sitokin, yang sebelumnya dikenal sebagai “faktor pertumbuhan”.

c. Fibroplasia

Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis

kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun tidak

akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesi kolagen

akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodeling luka mengacu pada

keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat

serabut kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut baru dibentuk

dengan kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan

meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut.

d. Sitokin

15

Page 16: Wound Manajemen

Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh interaksi antar sel. Mereka

juga berperan penting dalam penatalaksanaan penyembuhan luka. Contohnya

sitokin ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka

kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan

tulang setelah perbaikan.

e. Metabolisme matriks ekstraseluler

Matriks ekstraseluler merupakan suatu struktur yang kompleks,

dimana berbagai jenis sel dan komponen berinteraksi. Kolagen merupakan

komponen utama dari matriks ekstraseluler, dari semua jaringan lunak,

tendon, ligament dan matriks tulang.

f. Sintesis kolagen

Sintesis kolagen dimulai dengan transkrip DNA menjadi mRNA.

Translasi mRNA berlangsung pada ribosom di reticulum endoplasma yang

kasar. Kolagen berbeda dengan protein lain karena kolagen akan mengalami

beberapa modifikasi jika telah mencapai lingku ngan ekstraseluler. Disini

terjadi pengerutan kolagen untuk membentuk fibril dan serabut kolagen. Lisil

oksidase merupakan enzim yang diperlukan untuk pengerutan kolagen. Jadi

pada sintesis kolagen terjadi sintesa protein tingkat tinggi, sehingga tubuh

memerlukan asupan protein yang banyak dalam makanan yang dimakan.

g. Degradasi kolagen

Degradasi kolagen atau penguraian kolagen diawali oleh enzim-enzim

yang sangat spesifik yang disebut kolagenase jaringan yang dihasilkan oleh

berbagai sel, termasuk sel radang, fibroblast dan sel epitel. Kolagenase masih

dalam bentuk tidak aktif dan harus diaktifkan oleh protein seperti plasmin.

Setelah kolagenase menjadi aktif, enzim dapat dihambat dengan

menggabungkannya dengan protein plasma dan jaringan yaitu makroglobulin

alfa-2.

h. Substansi dasar

Substansi dasar terdiri dari proteoglikan dan glikosaminoglikan.

Kombinasi kartilago dan proteoglikan berfungsi sebagai peredam syok

molekuler. Keduanya juga berperan menjaga kelembapan dan mengeluarkan

16

Page 17: Wound Manajemen

sitokin. Asam hialuronat memberikan linkungan yang cair untuk

mempermudah gerakan sel yang cepat dan diferensiasi sel. Asam ini timbul

dini dan bertahan untuk sementara waktu setelah cedera pada orang dewasa,

namun bertahan lebih lama pada kulit dan luka di janin.

i. Kontraksi luka

Kontraksi luka merupakan salah satu tenaga mekanis tubuh yang

paling kuat. Pada luka terbuka ditemukan sel-sel mirip fibroblast yang

berkontraksi. Sel-sel ini memiliki komponen otot polos dalam sitoplasmanya

serta memiliki sifat-sifat Fibroblast lainnya.

j. Epitelisasi

Sel epitel berfungsi untuk menutupi semua permukaan kulit yang

terpapar dengan lingkungan luar. Kulit merupakan suatu contoh dari proses

epitelisasi tetapi mekanisme perbaikan epitel adalah sama diseluruh tubuh.

Lapisan luar kulit yaitu epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng yang

melindungi kulit dari kehilangan cairan, invasi bakteri dan trauma. Luka

ketebalan partial akan sembuh melalui proses epitelisasi. Terdapat dua

fenomena utama dalam proses epitelisasi yaitu : migrasi dan mitosis. Setelah

epitel rusak akan terbentuk bekuan darah. Keropeng merupakan bekuan darah

yang mengering yang melindungi dermis dibawahnya. Migrasi sel epitel

mengawali proses perbaikan dan tidak bergantung pada mitosis epitel. Sel-sel

yang bermigrasi berasal dari tepi luka dan polikel rambut serta kelenjar

sebasea didasar luka. Luka superficial dan tidak melewati membrane basalis

akan sembuh dengan regenerasi yang cepat. Luka yang menembus membrane

basalis seperti luka bakar akan sembuh melalui proses epitelisasi tapi lama dan

hasilnya seringkali memuaskan.

Proses migrasi selalu dimulai dari stratum basalis dari epitel dan

kelenjar sebasea serta folikel rambut yang terletak lebih dalam. Sel-sel akan

memipih dan membentuk tonjolan-tonjolan kesekitarnya. Sel ini akan

kehilangan perlekatan dengan sel basal disekitarnya dan mulai bermigrasi.

Beberapa hari setelah migrasi dimulai, sel akan istirahat dan membelah diri.

17

Page 18: Wound Manajemen

Setelah permukaan kulit ditutupi oleh sel-sel epitel, sel-sel ini akan

kembali kefenotipik yang normal. Epetelisasi yang berhasil, diperluas dengan

mempertahankan permukaan kulit agar tetap lembab dan tidak kering.

Keropeng alami mungkin cukup baik untuk tujuan ini, bahan penutup yang

tidak lengket sangat baik untuk mempertahankan permukaan kulit tetap

lembab dan dapat meningkatkan proses epitelisasi secara bermakna.

k. Nutrisi

Nutrisi yang tidak adekuat dapat mengganggu proses penyembuhan.

Misalnya penghambatan respon imun dan opsonisasi bakteri. Defisiensi asam

askorbat merupakan penyebab gangguan penyembuhan luka yang paling

sering. Asam askorbat merupakan suatu kofaktor dalam hidroksilasi Prolin

menjadi asam aminohidroksi prolin pada sintesis kolagen dalam penambahan

molekul oksigen. Jaringan parut lama, memiliki aktifitas Kolagenase yang

lebih tinggi dari pada kulit normal. Oleh sebab itu pada pasien skorbut,

jaringan parut akan retak lebih dahulu dibandingkan kulit normal. Terapi

penggantian vitamin c secara agresif harus segera dilakukan setelah tauma

mayor unutk mencegah komplikasi penyembuhan luka.

Zat besi merupakan unsure yang penting untuk penyembahan luka

yang sesuai. Besi jaga diperlukan untuk berlangsungnya hidroksilase reisdu

prolin. Kalsium dan magnesium dibutuhkan untuk aktivasi kolagenase dan

sintesis protein secara umum. Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka

adalah suplai oksigen yang adekuat. Kebanyakan penyembuhan luka yang

kronik dapat diatasi secara efektif dengan meningkatkan oksigenisasi jaringan.

1.5. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

a. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari :

1) Pertimbangan perkembangan

Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan luka

daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis,

penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor

pembekuan darah

18

Page 19: Wound Manajemen

2) Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian.

Metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein,

Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe,Zn) Bila kurang nutrisi

diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah pembedahan

jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan

penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekwat.

3) Infeksi

Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam

percepatan penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri.

Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan

terhambat.

4) Sirkulasi dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.

Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan

sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan

jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh

terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang

gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit

menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat

terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah

prifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang

menderita anemia atau ganggua n pernafasan kronik pada perokok.

5) Keadaan luka

Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas

penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan

cepat. Misalnya luka kotor akan lambat penyembuhannya dibanding

dengan luka bersih.

6) Obat

Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan anti

neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik

19

Page 20: Wound Manajemen

yang lama dapat membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka.

Dengan demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan

membutuhkan waktu yang lebih lama.

b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka

Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau

lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini Diklasifikasikan menjadi faktor

Intrinsik dan ekstrinsik.

1) Faktor Intrinsik

Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan

penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi.

Infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi

jika nilai kultur luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48

jam dan selama menunggu pasien diberi antibiotika spektrum luas. Kadang-

kadang benda asing dalam luka adalah sumber infeksi.

Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. Suplai

darah dapat terbatas karena kerusakan pada pembulu darah Jantung/ Paru.

Hipoksia mengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari

sel pertumbuhan tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan

oksigen peroksida untuk membunuh patogen. Demikian juga fibroblast dan

fagositosis terbentuk lambat. Satu-satunya aspek yang dapat meningkatkan

penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah angiogenesis.

2) Faktor ekstrinsik

Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi

malnutrisi, perubahan usia dan penyakit seperti diabetes melitus. Malnutrisi

dapat mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. Kekurangan

protein menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. Kekurangan lemak dan

karbonhidrat memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein di

rubah menjadi energi selama malnutrisi. Kekurangan Vitamin menyebabkan

terlambatnya produksi dari kolagen, respon imun dan respon koagulasi.

20

Page 21: Wound Manajemen

Pasien tua yang mengalami penurunan respon inflamatari yang

memperlambat proses penyembuhan. Usia tua menyebabkan penurunan

sirkulasi migrasi sel darah putih pada sisa luka dan fagositasis terlambat.

Ditambah pula kemungkinan Pasien mengalami gangguan yang secara

bersamaan menghambat penyembuhan luka seperti Diabetes Melitus.

Diabetes Melitus adalah gangguan yang menyebabkan banyak pasien

mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan karena gangguan sintesa

kolagen, angiogenesis dan fagositosis. Peningkatan kadar glucosa

mengganggu transport sel asam askorbat kedalaman bermacam sel termasuk

fibroblast dan leukosit. Hiperglikemi juga menurunkan leukosit kemotaktis,

arterosklerosis, kususnya pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai

oksigen jaringan.

Neurapati diobotik mrupakan gangguan penyembuhan lebih lanjut

dengan mengganggu komponen neurologis dari penyembuhan. Kontrol dari

gulu darah setelah operasi memudahkan penyembuhan luka secara normal.

Merokok adalah gangguan Vasokontriksi dan Hipoksia karena kadar

Co2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan. Merokok

meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini

membatasi jumlah oksigen dalam luka.

Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat

kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami penurunan strenght

luka, menghambat kontraksi dan menghalangi epitilisasi.

Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan luka

yang terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.

1.6 Jenis-jenis penyembuhan luka

a. Healing by Primary Intention (Penutupan luka primer)

Penutupan ini akan merapatkan jaringan yang terputus dengan

bantuan benang, klip dan verban perekat. Setelah beberapa waktu, maka

sintesis,penempatan dan pengerutan jaringan kolagen akan memberikan

kekuatan dan integritas pada jaringan tersebut. Pertumbuhan kolagen tersebut

21

Page 22: Wound Manajemen

sangat penting pada tipe penyembuhan ini. Pada penutupan primer tertunda,

perapatan jaringan ditunda beberapa hari setelah luka di buat atau terjadi.

Penundaan penutupan luka ini bertujuan mencegah infeksi pada luka-luka

yang jelas terkontaminasi oleh bakteri atau yang mengalami trauma jaringan

yang hebat.

Fase-fase dalam intention primer :

1. Fase Inisial berlangsung 3-5 hari

2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel,mulai pertumbuhan sel

3. Fase granulasi (5 hari–4 mg)

Fibroblas bermigrasi kedalam bagian luka dan mensekresi kolagen.

Selama fase granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung

pembuluh darah. Tampak granula-granula merah. Luka beresiko

dehiscence dan resisten terhadap infeksi. Epitelium pada permukaan tepi

luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari lapisan epithelium yang tipis

akan bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel menebal dan mulai

matur dan luka mulai merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi terjadi

3-5 hari.

4. Fase kontraktur scar (7 hari – beberapa bulan)

Serabut-serabut Kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling.

Pergerakan Miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area

penyembuhan, menutup defek dan membawa ujung kulit tertutup

bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya terbentuk. Skar yang matur

tidak mengandung pembuluh darah dan pucat, serta lebih terasa nyeri

dari pada fase granulasi.

b. Healing by Secondary Intention (Penutupan luka sekunder)

Luka yang terjadi dari trauma, ulserasi dan infeksi dan memiliki sejumlah

besar eksudat dan luas, batas luka ireguler dengan kehilangan jaringan yang cukup

luas menyebabkan tepi luka tidak merapat. Reaksi inflamasi dapat lebih besar dari

22

Page 23: Wound Manajemen

pada penyembuhan luka. Kegagalan penutupan sekunder dari luka terbuka akan

berakibat terbentuknya luka terbuka kronis.

c. Healing by Tertiary Intention (Penutupan luka tertier)

Adalah intension primer yang tertunda. Terjadi karena dua lapisan jaringan

granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang terkontaminasi,

terbuka dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan. Juga dapat terjadi ketika

luka primer mengalami infeksi, terbuka dan dibiarkan tumbuh jaringan granulasi

dan kemudian dijahit. Intension tersier biasanya mengakibatkan skar yang lebih

luas dan lebih dalam dari pada intension primer atau sekunder.

1.7. Komplikasi penyembuhan luka

Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan Evicerasi

a. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama

pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering muncul

dalam 2-7 hari setelah pembedahan. gejalanya berupa infeksi termasuk adanya

purulent, peningkatan drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling

luka, peningkatan suhu, dan peningkatan leukosit.

b. Pendarahan

Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis

jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti

darain). Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika

mungkin harus sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan

tiap 8 jam setelah itu. Jika terjadi perdarahan yang berlegihan, penambahan

tekanan luka steril mungkin diperluk an. Pemberian cairan & intervensi

pembedahan mungkin diperlukan.

c. Dehiscence dan Eviscerasi

Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi postoperasi yang serius.

Dehiscence yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi yaitu keluarnya

pembulu kapiler melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi ; kegemukan,

23

Page 24: Wound Manajemen

kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, bentuk yang berlebihan,

muntah dan dehidrasi dapat mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence

luka. Ketika dehiscence & eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan

balutan steril yang lebar kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk

segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

1.8. Prinsip penanganan luka

Mengontrol infeksi, Isolasi substansi tubuh dan tehnik cuci tangan yang

baik dan benar. Sarung tangan yang bersih atau steril dan balutan steril. Instrumen

steril untuk mengganti balutan. Krasher dan Kennedi (1994) melakukan metode

alternatif dalam mengganti balutan dengan kombinasi tehnik steril dan non steril.

Merujuk ke teknik “tidak boleh disentuh” adalah sebagai berikut :

1. Gunakan dua pasang sarung tangan tidak steril, kasa steril ukuran 4×4 ,

normal salin (Nacl 0,9%) steril.

2. Sarung tangan pertama digunakan untuk membuka bantuan luka yang

kotor, kemudian lepaskan dan cuci tangan.

3. Buka peralatan steril menggunakan tehnik steril.

4. Kenakan sarung tangan kedua, tuang normal salinedi atas luka dengan

menampung waskom dibawah luka .

5. Pegang kasa steril pada sisanya/pinggir luka, bagian depan (yang

menyentuh luka) jangan samapai tersentuh oleh tangan yang mengenakan

sarung tanga tidak steril.

6. Bersihkan luka dengan gerakan sirkuler/ melingkar diawali dari bagian

dalam luka kearah luar. Untuk tiap putaran kasa diganti dengan yang baru.

7. Bersihkan dan keringkan juga disekeliling luka.

8. Tutup kembali luka dengan meletakkan balutan di atasnya, pegang

sisi/sudut balutan penutup dan letakkan bagian yang tidak tersentuh di atas

permukaan luka.

24

Page 25: Wound Manajemen

9. Tutup dengan balutan transparan, tulis tunggal, jam dan initial balutan.

Gunakan Sodium Clorida 0,9% untuk irigasi dan bersihkan luka.

Minimalkan trauma dengan gosokan luka secra hati-hati. Ganti balutan

baru setiap kali membersihkan luka.

1.9. Pengkajian luka

a. Lokasi

Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak

semua lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari

prinsip fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang

banyak akan mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan mendukung

penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dari bagian tubuh yang lebih

sedikit mendapat aliran darah.

b. Ukuran luka

Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat dengan

sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar transparan yang

telah dicatat berpola kotak-kotak berukuran sentimeter.

c. Kedalaman luka

Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah

dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hati-hati kedalam luka

dengan posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar luka. Beri tanda pada lidi

sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan sentimeter.

d. Gowa atau terowongan

Gowa dan terowongan dapat diketahui dengan melakukan palpasi

jaringan disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba tenderness/perlukan.

Masukan saline melalui mulut lubang ke dasar luka/ujung terowongan. Beri

tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Beri tekanan

/palpasi dengan hati-hati dan kaji saluran yang abnormal tersebut.

Jangan pernah menggunakan kekuatan dorongan yang berlebilan bila

menggunakan kapas lidi. Ukur lokasi dan kedalaman lubang/penetrasi. Untuk

penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah jarum jam dengan pusat pada

25

Page 26: Wound Manajemen

tengah luka dan jam 12 sesuai garis anatomis sumbu tubuh manusia. Misalnya

lokasi mulut lubang terdapat pada posisi jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau

dapat dibuatkan gambar jam dengan tanda pada posisi jam 8.

e. Warna dasar Luka

Warna dasar luka sangat penting dikaji karena berhububungan dengan

penentuan terapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa macam warna

dasar luka yang membutuhkan perlakuan spesifik terhadap masing-masing

sesuai warna dasar tersebut.

1) Nekrotik

Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut

keropeng. Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak terinfeksi atau

tidak ada sksudat, ini tidak dapat dipastikan tanpa dilakukan palpasi

terlebih dahulu. Dengan melakukan palpasi dapat dirasakan ada

Tenderness atau tidak dibawah jaringan keropang tersebut dan disekitar

luka teraba panas dan tampak tanda radang disekelilingnya yang perlu

diperhatikan. Dan juga tidak terlepas dari keluhan penderita apakah

merasa nyeri berdenyut dibawah jaringan nekroit tersebut. Untuk luka

seperti ini membutuhkan suasana yang lembab sehingga nekrotik yang

kering tersebut dapat lepas dengan sendirinya. Jenis balutan yang baik

adalah hidrogel. Diatasnya diletakan kasa dan balutan transparan.

2) Sloughy.

Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau

tampak berair/basah. Sloughy ini harus diangkat dari permukaan luka

karena jaringan ini juga sedang mengalami nekrotik, dengan demikian

pada dasar luka akan tumbuh jaringan granulasi buntuk proses

penyembuahan. Untuk luka seperti ini dibutuhkan hydrogen untuk

melepas jaringan nekroit. Gunakan hydrofiber untuk menyerap eksudat

yang berlebihan sehingga tercipta lingkungan yang konduksif.

(moist/lembab) untuk proses panyembuhan luka. Bila luka mudah

berdarah lebih baik digunakan calcium alginate. Hydrofiber yang

26

Page 27: Wound Manajemen

mengandung calcium alginato dapat menghentikan pendarahan dengan

segera.

3) Granulasi.

Warna dasar luka ini adalah merah. Perlu diketahui bahwa ini

merupakan pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapay dibiarkan

tanpa pambalut. Tetap harus diberi pelindung sebagai pengganti kulit utuk

mencegah kontaminasi dari dunia luar dan menciptakan kondisi

lingkungan luka yang baru untuk pertumbuhan sel granulasi tersebut.

Biasanya luka ini sangat mudah berdarah. Boleh diberikan balutan

hydrogen dan apabila eksudat banyak dapat digunakan hydrofiber yang

mengandung calcium alginate labih efektif.

4) Epitelisasi.

Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini

masih dalam proses glanulasi.Untuk itu perlu pemilihan balutan yang

dapat mendukung mutasi sel yaitu douderm tipis (extrathin). Balutan ini

berbentuk wafer/padat, tidak berbentuk seruk, namun cukup lunak dan

nyaman diletakan diatas permukaan luka dan tidak menimbulkan trauma

terghadap luka, dapat juga menyetap eksudut yang minimal melindungi

luka dari kontaminasi.

2. Rabies

2.1 DEFINISI

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.1

Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia

(Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.4

27

Page 28: Wound Manajemen

2.2 SEJARAH

Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 Sebelum Masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pastuer mendemostrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pastuer pada tahun 1885. pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960.4

2.3 ETIOLOGI

Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus. Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibody yang mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif. Antibody antirabies digunakan pada analisis imunofluororescent diagnostic yang umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat antigenic dan biologic. Variasi – variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang progresif.1

28

Page 29: Wound Manajemen

Gambar 1 Rhabdovirus

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.4

2.4 DISTRIBUSI DAN INSIDENSI

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun 2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21 orang. Sedangkan di Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29 November 2008 terdapat beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan status bebas rabies perlu ditinjau kembali.

29

Page 30: Wound Manajemen

Gambar 2. Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia

2.5 EPIDEMIOLOGI

Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : urban, disebarluaskan terutama oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic, disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar infeksi sylvatic, dan manusia dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan tropik adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Pada beberapa area endemik 1 sampai 2% dari pasien yang diotopsi menunjukkan tanda – tanda rabies. Peningkatan penyebaran rabies yang hidup di darat dan peningkatan perjalanan ke negara – negara yang didalamnya terdapat rabies perkotaan telah membuat perhatian mengenai rabies klinis dan pencegahannya. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara – negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.4

30

Page 31: Wound Manajemen

Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika Selatan,Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%. Akan tetapi, sebagian besar kasus profilaksis pasca pemajanan dihubungkan dengan gigitan anjing dan kucing.4

Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga pernah ditemukan.4

2.6 TRANSMISI

Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.4

2.7 PATOGENESIS

Kejadian pertama pengenalan hidup melalui epidermis atau ke dalam membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi. Sistem saraf perifer terpajan pada berkas neurotendinal dan/atau neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer dengan kecepatan 3mm/jam. Secara eksperimen, viremia terbukti terjadi, tetapi tidak dianggap mempunyai peranan pada penyakit yang secara alami didapat. Sekali virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom

31

Page 32: Wound Manajemen

untuk mencapai jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paruparu, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Perjalanan menuju kelenjar saliva menyebabkan transmisi lanjutan penyakit melalui saliva yang terinfeksi. Virus juga tersebar pada air susu dan urine.4

Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun (rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penjamu dan jarak sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi. Respons imun penjamu dan strain viral juga dapat mempengaruhi ekspresi penyakit. Respons imun yang diperantai sel dicatat pada pasien dengan ensefalitis rabies, tetapi tidak ada pasien dengan rabies paralitik.4

Neuropati rabies menyerupai penyakit viral lain pada sistem saraf pusat: hiperemia, berbagai derajat kromatolisis, piknosis nuklear dan neurofagia sel saraf; diinfiltrasi oleh limposit dan sel plasma ruang Virchow-Robin; infiltrasi mikroglia dan area parenkim destruksi sel saraf. Pada model hewan eksperimental, sering terjadi infeksi adenohipofisis karena virus rabies, dengan pengurangan pada hormon pertumbuhan dan pelepasan vasopresin. Lesi rabies yang patognomik adalah badan negri. Massa eosinofilik ini, berukuran sekitar 10nm tersusun atas matriks fibilar halus dan partikel virus rabies. Badan negri tersebar di seluruh otak, terutama kornu Ammon, korteks serebral, otak tengah, hipotalamus, sel purkinje serebelum dan ganglia dorsalis medulla spinalis. Badan negri tidak ditemukan pada sedikitnya 20% kasus rabies dan tidak adanya badan negri ini pada material otak tidak menyingkirkan diagnosis.4

2.8 MANIFESTASI

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4

32

Page 33: Wound Manajemen

Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh.1

Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif. Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien.1

Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.4

Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, peride lucid menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan tiupan yang lembut sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler,lakrimasi meningkat, salivasi, berkeringat dan hipotensi postural. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1

Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, kelumpuhan fsialm neuritis optik dan kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, kontraksi diafragma involunter, kuat dan nyeri, kontraksi otot respirasi tambahan, faringeal, dan laringeal yang dimulai dengan menelan cairan, tampak pada sekitar 50% kasus. Terkenanya nukleus amigdaloideus menyebabkan priapismus dan ejakulasi spontan. Pasien menjadi koma, dan terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya dan

33

Page 34: Wound Manajemen

bertanggung jawab pada perjalanan penyakit yang menurun cepat. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum 20hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1 Kadang - kadang, rabies dapat terjadi sebagai paralisis asenden yang menyerupai sindroma Landry-Guillan-Barré (dumb rabies, rage tranquille). Pola klinis ini terjadi paling sering pada mereka yang digigit kelelawar atau pada mereka yang mendapat profilaksis rabies pasca pemajanan.1

Kesulitan menduga rabies jika disertai dengan paralisis asendens yang digambarkan dengan dokumentasi penularan virus dari orang ke orang pada transplantasi jaringan. Jaringan transplan dari dua donor yang meninggal karena dicurigai sindroma Landry-Guillan-Barré menimbulkan rabies klinis dan kematian pada resipien. Pemeriksaan patologik retrospektif pada otak dari kedua resipien menunjukkan badan negri, dan virus rabies selanjutnya diisolas dari setiap mata donor yang dibekukan.1

Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies

Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis

34

Page 35: Wound Manajemen

Inkubasi

Prodromal

Neurologik akut

• Furious (80%)

• Paralitik

Koma

• < 30 hari (25%)

• 30-90 hari (50%)

• 90 hari – 1 tahun (20%)

• >1 tahun (5%)

2-10 hari

2-7 hari

2-7 hari

0-14 hari

Tidak ada

Parestesi, nyeri pada luka

gigitan, demam, malaise,

anoreksia, mual & muntah,

nyeri kepala, lethargi, agitasi,

anxietas, depresi

Halusinasi, bingung,

delirium, tingkah laku aneh,

agitasi, menggigit,

hidropobia,

hipersalivasi, disfagia, afasia,

inkoordinasi, hiperaktif,

spasme faring, aerofobia,

hiperventilasi, disfungsi saraf

otonom, sindroma

abnormalitas ADH

Paralisis flaksid

Autonomic instability,

hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia/hipertermia, hipotensi, disfungsi pituitari, rhabdomiolisis, aritmia dan henti jantung

2.9 KOMPLIKASI

35

Page 36: Wound Manajemen

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.4

2.10 TEMUAN LABORATORIUM

Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan komplikasi lainnya. Jumlah leukosit perifer agak meningkat (12000 sampai 17000 sel permikroliter) tapi mungkin normal atau setinggi 30000 sel per mikroliter.1

Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1) isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, jarang cairan serebrospinalis (CSF), atau jaringan (otak)], (2) petunjuk serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam jaringan yang terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak. Sampel otak diperoleh dengan pemeriksaan postmortem atau pada biopsi otak yang ditujukan untuk (1) pemeriksaan inokulasi tikus untuk isolasi virus (2) pewarnaan antibodi fluoresen (FA, fluorescent antibody) untuk antigen virus, dan (3) pemeriksaan histologik dan/atau mikroskopik elektron untuk melihat badan Negri.1

Jika pasien tidak pernah menerima imunisasi antirabies, kenaikan antibodi netralisasi terhadap virus rabies sebanyak 4 kali lipat dalam serangkaian sampel serum merupakan diagnostik. Jika pasien menerima vaksin rabies, petunjuk untuk diagnosis mungkin diperoleh dari titer absolut antibodi netralisasi serum dan adanya antibodi netralisasi terhadap rabies dalam cairan serebrospinal. Profilaksis rabies pasca pemajanan jarang menimbulkan antibodi netralisasi-cairan serebrospinal terhadap rabies. Jika adanya, biasanya dengan titer yang rendah, misalnya kurang dari 1:64, sedangkan titer cairan serebrospinal dalam rabies manusia dapat bervariasi dari 1:200 sampai 1:160000.1

Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit.otak,

36

Page 37: Wound Manajemen

cairan serebrospinal dan kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahanbahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan dengan adanya neuralizing antibodi.4

Deteksi neutralizing antibodi dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi respons antibodi pada serum dan CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi (pada CSS kadarnya 2-25% dari serum).4

Fluororescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, bahkan setelah teknik isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%. FAT pada hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada awal penyakit (minggu I) FAT dari kulit leher merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat terjadi negatif palsu.4

Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.2

Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)4

37

Page 38: Wound Manajemen

2.11 DIAGNOSIS BANDING

Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.4

Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme laring.4

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.4

Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.4

38

s i Bodie Negr.bar 3mGa

Page 39: Wound Manajemen

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga 71. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.1

2.12 PENANGANAN RABIES

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsanganrangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.4

Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.4

2.13 PENCEGAHAN

Setiap tahun lebih dari 1 juta orang Amerika digigit binatang. Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu dalam kepulauan Amerika digigit kelelawar

39

Page 40: Wound Manajemen

yang kemudian lolos sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi. 1

Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap, jika mungkin. Binatang buas atau yang sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau berkeliaran terlibat dalam pemajanan rabies, khususnya binatang yang terlibat gigitan tanpa ada rangsangan, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati. Individu yang terkena binatang buas yang lolos dan mengandung rabies (kelelawar, skunk, serigala padang rumput, rubah, raccoon, dan lain-lain). Dalam area tempat rabies diketahui atau diduga ada maka orang tersebut sebaiknya menerima imunisasi terhadap rabies baik pasif maupun aktif.1

Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus rabies rabies pada waktu menggigit.

Penanganan luka

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%. luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.4

Profilaksis pasca – paparan

Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.1

40

Page 41: Wound Manajemen

Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).4

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.4

Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRCID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.4

Profilaksis pra-pemajanan

Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan pencegahan preexposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.4

41

Page 42: Wound Manajemen

Efek samping/komplikasi vaksinasi

Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4

Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf. Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif. Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikan kortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.4

SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4

Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi miripkompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan adanya β-propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka dengan titer antibodi yang rendah. Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan substansi yang mana saja.1

2.14 PROGNOSIS

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun

42

Page 43: Wound Manajemen

1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

43

Page 44: Wound Manajemen

BAB III

ANALISIS KASUS

Os mengeluh ± 1 jam yang lalu di cakar oleh kucing liar yang masuk

kerumahnya, keluhan demam(-), sakit kepala(-), lemas, lelah dan nyeri otot (-),

sulit menelan (-), mual muntah (-), nyari tenggorokan dan batuk (-), keluhan kebas

pada area cakaran (-)

Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka gores pada regio dorsal manus,

jumlah luka 3 buah. Luka pertama Panjang ±8 cm, lebar ±0,5 cm, kedalaman

±0,3 cm. luka kedua panjang ±4 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. luka

kedua panjang ±3 c m lebar ± 0,5 cm, kedalaman 0,3 cm. tepi ketiga luka tidak

rata terdapat jembatan jaringan dan daerah sekitar luka tidak terdapat kelainan.

Prinsip penatalaksanaan luka diantaranya Mengontrol infeksi, Isolasi

substansi tubuh. tehnik cuci tangan yang baik dan benar. Sarung tangan yang

bersih atau steril dan balutan steril. Instrumen steril untuk mengganti balutan.

Serta pencegahan terhadap tetanus maupun rabies dengan vaksinasi

a. Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar

Berdasarkan hasil pengamatan mengenai keadaan asrama pasien, dapat

disimpulkan bahwa keadaan/ kondisi rumah pasien tidak mempengaruhi atau

memperberat penyakit yang diderita oleh pasien saat ini.

b. Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga

Berdasarkan hasil pengamatan mengenai keadaan keluarga dan hubungan

keluarga, dapat disimpulkan bahwa keadaan/ kondisi rumah pasien tidak

berhubungan dan tidak mempengaruhi atau memperberat penyakit yang

diderita oleh pasien saat ini.

44

Page 45: Wound Manajemen

c. Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan

lingkungan sekitar.

Pada kasus ini, tidakada hubungan antara perilaku kesehatan pasien dengan

diagnosis penyakitnya. Namun di lingkungan sekitar terdapat kucing liar yang

sering masuk ke dalam rumah

d. Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit

Secara keseluruhan dari anamnesis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan

bahwa faktor risiko/etiologi penyakit pasien pada kasus ini adalah kesadaran

PHBS yang rendah

e. Analisis untuk mengurangi paparan dengan faktor risiko atau etiologi

Beberapa langkah untuk bisa mengurangi paparannya ataupun mencegah

terjadinya penyakit:

Memberikan vaksinasi pada hewan peliharaan

Melaporkan kepada dinas peternakan jika terdapat hewan liar yang

mengancam

Bersihkan luka sedini mungkin jika terpapar oleh air liur atau kotoran

binatang

Bersihkan luka sedini mungkin menggunakan cairan antiseptik jika

tergigit atau terkena cakaran binatang

45

Page 46: Wound Manajemen

DAFTAR PUSTAKA

1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. In: Harrison Prinsipprinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta : EGC. 1999. p.938-941

2. Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1736-1740.

3. Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds). Mandell, Douglas amd Bennet’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th ed. Churchill Livingstone, Philadelphia 2000, p 1811 – 1820

4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. American Public Health Association, Jakarta 2000, p 427 - 436

46

Page 47: Wound Manajemen

Lampiran

47