Burn Wound

38
Luka Bakar: Bagaimana membedakannya dari luka yang lain? V. K. Tiwari ( Indian J Plast Surg. 2012 May-Aug; 45(2): 364–373) Abstrak Manajemen luka bakar selalu menjadi domain dari spesialis luka bakar. Sejak zaman kuno, obat local dan sistemik telah dianjurkan untuk mengobati luka bakar dan sebagai pencegahan bekas luka. Manajemen luka bakar yang ditimbulkan oleh agen fisik dan kimia yang berbeda membutuhkan regimen yang berbeda, yang mana kutub terpisah dari regimen yang digunakan untuk salah satu luka traumatik lainnya. Dalam luka bakar yang luas, karena peningkatan permeabilitas kapiler, terjadi kehilangan plasma yang luas menyebabkan syok sekaligus kehilangan seluruh darah adalah penyebab syok pada luka akut lainnya. Meskipun pada awalnya luka bakar steril dibandingkan dengan sebagian besar luka lainnya, namun, luka bakar yang luas dapat menimbulkan kematian terutama karena infeksi luka dan septicemia, karena status immunocompromised” pasien luka bakar. Keropeng dan lepuhan yang spesifik untuk luka bakar memerlukan 1

description

burn wound

Transcript of Burn Wound

Page 1: Burn Wound

Luka Bakar: Bagaimana membedakannya dari luka yang lain?

V. K. Tiwari

(Indian J Plast Surg. 2012 May-Aug; 45(2): 364–373)

Abstrak

Manajemen luka bakar selalu menjadi domain dari spesialis luka bakar. Sejak zaman

kuno, obat local dan sistemik telah dianjurkan untuk mengobati luka bakar dan

sebagai pencegahan bekas luka. Manajemen luka bakar yang ditimbulkan oleh agen

fisik dan kimia yang berbeda membutuhkan regimen yang berbeda, yang mana kutub

terpisah dari regimen yang digunakan untuk salah satu luka traumatik lainnya. Dalam

luka bakar yang luas, karena peningkatan permeabilitas kapiler, terjadi kehilangan

plasma yang luas menyebabkan syok sekaligus kehilangan seluruh darah adalah

penyebab syok pada luka akut lainnya. Meskipun pada awalnya luka bakar steril

dibandingkan dengan sebagian besar luka lainnya, namun, luka bakar yang luas dapat

menimbulkan kematian terutama karena infeksi luka dan septicemia, karena status

“immunocompromised” pasien luka bakar. Keropeng dan lepuhan yang spesifik

untuk luka bakar memerlukan protocol khusus. Krim antimikroba dan agen pengganti

yang lain yang digunakan untuk luka traumatik tidak efektif pada luka bakar yang

dalam dengan keropeng. Banyak agen mikroorganisme yang tidak mampu menembus

keropeng. Bahkan setelah epitelisasi yang lengkap pada luka bakar, terdapat fase

remodeling berkepanjangan. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk pematangan

jaringan parut luka bakar. Artikel ini menekankan pada bagaimana patofisiologi,

penyembuhan, dan pengelolaan luka bakar berbeda dengan luka lainnya.

Pendahuluan

Berdasarkan definisinya, luka terbuka adalah trauma apa pun yang merusak

kontinuitas kulit dan jaringan di bawahnya. Contusio adalah luka tertutup dan

merupakan pengeculian dari definisi di atas. Klasifikasi luka sangat penting baik

1

Page 2: Burn Wound

untuk tujuan medico-legal maupun untuk penatalaksanaannya. Klasifikasi luka

terutama berdasarkan atas jenis perlukaan dan agen penyebabnya sebagaimana

digambarkan berikut ini [1]

Luka tertutup: Contusio, fraktur tertutup, dll.

Luka terbuka

Luka iris

Laserasi

Abrasi

Avulsi

Crush wound

Luka tusuk

Luka gigitan

Luka bakar

Masing-masing luka di atas saling berbeda dalam hal patofisiologinya maupun

penanganannya. Luka gigitan mungkin saja terlihat bersih namun sangat

terkontaminasi di dalamnya dan harus ditangani secara berbeda dibandingkan luka

iris yang bersih akibat pisau atau potongan kaca. Terbakar atau luka bakar sangat

berbeda dibandingkan seluruh luka di atas sehingga suatu bidang medis superspesial

dibentuk khusus untuk itu. Meskipun luka bakar yang luas terutama hanya melibatkan

satu organ saja, namun, hampir seluruh system dalam tubuh terkena dampaknya

sehingga menjadi kelainan yang bersifat menyeluruh. Tidak seperti luka lainnya,

keterlibatan ahli perawatan intensif dan dokter sangat tampak dalam penanganan luka

bakar.

2

Page 3: Burn Wound

Klasifikasi luka bakar

Berdasarkan agen penyebabnya luka bakar diklasifikasikan sebagai berikut [2]:-

Fisik

Luka bakar thermal

o By dry heat - Flame burns

o By wet heat - Scalds

Luka bakar karena listrik

o Luka bakar akibat kontak listrik

Voltase tinggi

Voltase rendah

o Luka bakar karena petir

Luka bakar karena radiasi

Luka bakar karena laser

Kimiawi

Luka bakar karena asam

Luka bakar karena basa

Lainnya

Setiap jenis luka bakar pada klasifikasi di atas berbeda satu sama lain dan sangat

berbeda dibandingkan jenis luka lainnya yang umum terjadi. Meskipun diketahui

bahwa kerusakan kulit terjadi pada semua luka bakar di atas, penanganan local dan

sistemik masing-masing luka tidaklah sama.

PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR DIBANDINGKAN JENIS LUKA

LAINNYA

Panas tidak hanya merusak kulit secara lokal namun memiliki banyak efek

menyeluruh pada tubuh. Perubahan ini sangat spesifik pada luka bakar dan biasanya

tidak terjadi pada jenis luka akibat cedera yang lain.[3]

3

Page 4: Burn Wound

Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler secara menyeluruh

akibat efek dan kerusakan oleh panas. Ini menyebabkan plasma

keluar dari kapiler dan masuk ke dalam ruang interstisiel.

Peningkatan permeabilitas kapiler dan keluarnya plasma terjadi

hingga 48 jam dan mencapai puncaknya pada 8 jam pertama.

Selama 48 jam permeabilitas kapiler akan kembali menjadi

normal atau kapiler menjadi thrombus dan tidak lagi menjadi

bagian dari sirkulasi. Kehilangan plasma inilah yang menjadi

penyebab syok hipovolemik pada luka bakar. Jumlah cairan yang

hilang tergantung pada luasnya luka. Penghitungan area tubuh

yang terkena luka bakar pada orang dewasa biasanya

menggunakan ‘sistem 9’ dari Wallace dan diagram dari Lund dan

Browder untuk orang dewasa dan anak-anak.Luka bakar apa pun

pada orang dewasa dengan luas lebih dari 15% dan pada anak-

anak dengan luas lebih dari 10% akan mengakibatkan syok

hipovolemik jika tidak dilakukan resusitasi secara adekuat. Pada

luka bakar yang melibatkan 50% area permukaan tubuh cairan

yang mungkin hilang mencapai jumlah maksimum, dan akan tetap

demikian meskipun pada luka bakar yang mengenai lebih dari

50% area permukaan tubuh.

Peningkatan permeabilitas kapiler secara menyeluruh tidak terlihat pada jenis luka

lainnya. Yang terjadi hanyalah reaksi lokal pada luka karena inflamasi yang

mengarah pada vasodilatasi progresif dan edema yang persisten. Syok hipovolemik

pada luka traumatis yang besar biasanya disebabkan oleh kehilangan darah dan

membutuhkan transfuse darah secepatnya. Sementara pada luka bakar yang luas

penggantian darah diberikan setelah 48 jam.

4

Page 5: Burn Wound

Berikut ini adalah penyebab kehilangan darah pada luka bakar

Kehilangan sel darah merah terjadi pada pembuluh darah yang

rusak yang meliputi seluruh kulit yang terbakar pada fase akut.

Maka, makin dalam luka bakar berarti makin banyak darah yang

hilang. Transfusi darah dilakukan setelah 48 jam kecuali ada

indikasi lain seperti anemia yang telah ada sebelumnya atau

kehilangan banyak darah akibat sebab lain.

Umur sel darah merah dalam sirkulasi berkurang akibat efek

langsung dari pemanasan dan mengalami hemolisis lebih cepat.

Luka bakar yang luas juga menyebabkan depresi sumsum tulang

yang akan mengakibatkan anemia.

Pada fase kronik dari luka bakar, kehilangan darah berasal dari

luka yang bergranulasi, dan anemia disebabkan oleh infeksi. (B)

Tidak seperti jenis luka lainnya, luka bakar biasanya steril pada

saat cedera terjadi. Panas sebagai agen penyebab, juga membunuh

seluruh mikroorganisme di permukaan. Setelah seminggu

permukaan luka cenderung mengalami infeksi, menyebabkan

sepsis sebagai penyebab utama kematian pada luka bakar.

Sementara di sisi lain, luka lainnya seperti luka gigitan, luka

tusuk, cedera berat dan abrasi sangat terkontaminasi pada saat

terjadinya trauma namun jarang menyebabkan sepsis sitemik.

PENYEMBUHAN DAN LUKA BAKAR

Penyembuhan luka bakar tergantung pada kedalaman luka. Luka bakar dapat

diklasifikasi berdasarkan keterlibatan kulit dan jaringan di bawahnya sebagaimana

berikut ini:

5

Page 6: Burn Wound

Luka bakar derajat I atau luka bakar epithelial – Kulit menjadi

eritematous tanpa lepuhan.

Luka bakar derajat II – Melibatkan epidermis dan berbagai

ketebalan dermis. Ini dibagi lagi atas:

Derajat II superfisial – di mana vesikasi dan inflamasi

Nampak pada kulit karena hanya papilla dermis yang

terkena.

Derajat II dalam – terbentuknya keropeng terlihat

karena melibatkan dermis retikuler yang dalam.

Luka bakar derajat III – Juga disebut luka bakar full thickness –

adanya keropeng nampak jelas pada luka luka bakar ini. [4,5]

Jackson (1959) telah menggambarkan ketiga zona jaringan yang rusak karena

terbakar [6] [Gambar 1]

Gambar 1

Luka bakar karena air panas pada seorang anak ini

memperlihatkan ketiga zona yang rusak menurut

Jacson: (a) Zona koagulasi, (b) Zona stasis, (c) Zona

hiperemia.

Pusat zona koagulasi – Di

sini adalah pusat area yang

mengalami luka bakar dengan nekrosis koagulatif yang komplit.

Zona stasis – Zona stasis terletak di perifer zona koagulasi.

Sirkulasi di zona ini sangat lambat tapi dapat pulih setelah

memperoleh resusitasi segera dan memadai, dan penanganan luka

yang tepat.

Zona hiperemia di sebelah luar – Zona ini berada di perifer zona

stasis. Merupakan hasil dari vasodilatasi berlebihan sebagaimana

6

Page 7: Burn Wound

Nampak pada reaksi inflamasi setelah trauma. Zona ini akan pulih

dengan sempurna.

Pada luka bakar derajat I dan derajat II superfisial, penyembuhan terjadi secara

primer. Penyembuhan pada luka bakar derajat II superfisial berasal dari pemulihan

folikel rambut, yang mana terdapat banyak sekali di superfisial dermis. Penyembuhan

sempurna terjadi dalam 5-7 hari dan kebanyakan tanpa bekas luka. Pada luka bakar

derajat II dalam dan luka bakar derajat III, penyembuhan terjadi melalui proses

sekunder, yang melibatkan proses epitelisasi dan kontraksi. [Gambar 2].

Gambar 2

Penyembuhan pada luka bakar dalam melalui proses

sekunder dengan kontraksi dan pembentukan parut yang

hipertropik.

Inflamasi (reaktif), proliferasi (reparative) dan

maturasi (remodeling) merupakan tiga fase

penyembuhan luka. Hal ini sama untuk semua jenis luka, yang membedakannya

hanyalah durasi dari masing-masing fase.

Fase Inflamatorik

Fase ini sama pada semua luka traumatik. Segera setelah cedera, tubuh memberikan

respon inflamatorik yang terdiri dari komponen vaskuler dan seluler. [7–9]

Respon vaskuler: Segera setelah terbakar terjadi vasodilatasi lokal

dengan ekstravasasi cairan di dalam ruang interstisiel. Pada luka

bakar yang luas peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi

secara menyeluruh, menyebabkan ekstravasasi plasma yang

massif sehingga membutuhkan penggantian cairan.

Respon seluler: Netrofil dan monosit adalah sel-sel yang pertama

bermigrasi ke daerah inflamasi. Kemudian netrofil dibersihkan

7

Page 8: Burn Wound

dan digantikan oleh makrofag. Migrasi sel-sel ini diinisiasi oleh

faktor kemotaktik seperti kallikrein dan fibrin peptide yang

dilepaskan dari proses koagulasi dan substansi yang dilepaskan

oleh sel mast seperti factor nekrosis tumor, histamine, protease,

leukotrein dan sitokin. Respon seluler membantu dalam proses

fagositosis dan pembersihan jaringan yang mati serta racun yang

dilepaskan oleh jaringan yang terbakar.

Fase Proliferatif

Pada luka bakar yang mengenai sebagian tebal lapisan jaringan, re-epitelisasi dimulai

dengan terjadinya migrasi keratinosit dari kulit yang masih sehat ke dermis yang

tersisa beberapa jam setelah cedera, ini biasanya menutupi luka dalam 5-7 hari.

Setelah re-epitelisasi terbentuk zona membrane basalis di antara dermis dan

epidermis. Angiogenesis dan fibrogenesis membantu rekonstitusi dermis.

Penyembuhan setelah eksisi luka bakar dan pencangkokan kulit: Pada luka bakar

yang dalam setelah tindakan primer berupa eksisi dan pencangkokan, penyembuhan

terjadi penyembuhan primer yang tertunda. Penggunaan skin graft setelah eksisi

primer merupakan fase proliferatif dari proses penyembuhan luka.

Fase Remodelling

Fase remodeling adalah fase ketiga dari proses penyembuhan luka di mana maturasi

dari cangkokan kulit atau bekas luka berperan. Di fase terakhir dari penyembuhan

luka ini diawali oleh terbentangnya struktur protein fibrosa seperti kolagen dan elastin

di sekitar epithelial, endothelial, dan jaringan otot sebagai matriks ekstraseluler.

Kemudian di akhir fase ini matriks ekstraseluler tersebut berubah menjadi jaringan

parut dan fibroblast menjadi fenotip myofibroblast yang bertanggung jawab atas

terjadinya kontraksi jaringan parut.

8

Page 9: Burn Wound

Pada luka bakar derajat II dermal yang dalam dan luka bakar full thickness yang

dibiarkan sembuh sendiri, resolusi dari fase ini berlangsung lebih panjang dan

mungkin berlangsung sampai bertahun-tahun dan menyebabkan parut yang

hipertropik serta kontraktur. [Gambar 2].Hiperpigmentasi yang terlihat pada luka

bakar superfisial disebabkan oleh respon interaktif melanosit terhadap trauma

terbakar dan hipopigmentasi yang Nampak pada luka bakar yang dalam disebabkan

oleh rusaknya melanosit pada kulit yang terkena. Pada area skin-graft ketika inervasi

mulai terjadi, syaraf yang bertumbuh mengambil alih kontrol terhadap melanosit yang

biasanya menyebabkan hiperpigmentasi pada cangkokan kulit untuk mereka yang

berkulit gelap dan hipopigmentasi pada mereka yang berkulit putih.

PENATALAKSANAAN

Aspek Medikolegal

Semua luka bakar dianggap mediko-legal sampai terbukti sebaliknya. Selanjutnya,

ketika terjadi luka bakar yang luas, meskipun riwayat kecelakaan telah diperoleh dari

pasien, selalu dicurigai adalah kasus mediko-legal karena selalu ada keraguan tentang

apa sebenarnya yang terjadi. [10]

Di lain pihak, untuk semua luka traumatik lainnya jenis cedera biasanya ditentukan

berdasarkan jenis cedera dengan merujuk pada riwayat yang diceritakan oleh pasien.

Penanganan luka bakar tergantung pada beratnya cedera.

Klasifikasi luka bakar minor adalah jika kurang dari 15% TBSA pada orang dewasa

dan kurang dari 10% pada anak-anak.

Luka bakar mayor jika mengenai lebih dari 35% pada orang dewasa dan lebih dari

30% pada anak-anak.

Luka bakar kritis atau luka bakar yang mengancam jiwa adalah luka bakar yang

meliputi lebih dari 35% pada orang dewasa dan 30% pada anak-anak.

9

Page 10: Burn Wound

Luka bakar minor pada wajah dan perineum membutuhkan persetujuan untuk

diobservasi. Luka bakar pada kelopak mata dan daun telinga membutuhkan

penanganan khusus karena mempertimbangkan pentingnya struktur di bawahnya.

Luka bakar mayor dan luka bakar kritis membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa syok hipovolemik terjadi karena plasma

yang keluar ke ruang interstisiel.

Sebaliknya, syok hipovolemik terjadi karena kehilangan darah yang akut dan

substansial pada semua kondisi trauma yang lain.

Kebutuhan Cairan pada Luka Bakar

Tidak ada formula tunggal yang diterima secara universal untung menghitung

kualitas dan kuantitas cairan yang dibutuhkan pada luka bakar yang luas. Semua unit

penanganan luka bakar di seluruh dunia menggunakan formulanya sendiri atau

memodifikasi formula yang diterima. [11] Ini jelas menunjukkan bahwa semua

formula tersebut adalah panduan kasar untung menghitung kebutuhan cairan untuk

24-48 jam pertama. Kualitas dan kuantitas kebutuhan sebenarnya dimodifikasi

berdasarkan output urine per jam dan parameter tanda vital lainnya pada pasien.

Berikut adalah beberapa formula yang populer dan diterima secara internasional:

1. Formula Evans – kebutuhan cairan adalah 2ml/kg/% luka bakar

untuk 24 jam pertama yang ditambah kebutuhan cairan pasien

perhari. Setengah dari cairan ini diberikan pada 8 jam pertama,

dan setengahnya lagi pada 16 jam berikutnya. Tipe cairannya

adalah kristaloid seperti Ringer laktat dan setengahnya adalah

plasma.

2. Formula Brooke – sama seperti Formula Evans. Hanya 3/4 cairan

yang digunakan adalah kristaloid dan 1/4 sisanya adalah plasma.

10

Page 11: Burn Wound

3. Formula Parkland – Jumlahnya adalah 4 ml/kg/% luka bakar,

sudah termasuk kebutuhan cairan perhari pasien. Semua cairan

yang diberikan adalah kristaloid.

Kita menggunakan Formua Brooke yang dimodifikasi di mana total cairan yang

diberikan dalam bentuk kristaloid dan koloid biasanya tidak digunakan kecuali ada

indikasi klinis.

Lepuhan dan Keropeng

Hal ini umum untuk luka bakar. Lepuhan terjadi pada luka bakar derajat II superfisial

karena terkumpulnya plasma di antara dermis dan epidermis yang mati. Isi cairannya

adalah plasma kaya protein dan merupakan media kultur yang sangat baik untuk

bakteri dan organisme lainnya dan tidak boleh dibiarkan berlama-lama. [12]

Lepuhan juga bisa terjadi akibat gesekan berulang seperti karena gesekan sepatu yang

mungkin saja pada awalnya dianggap sebagai luka bakar gesekan spectrum luas.

Gelembung yang berisi cairan mungkin juga terlihat pada luka tertutup yang terjadi di

atas fraktur dan hematoma.

Kulit dengan ketebalan penuh menjadi keras, nonelastis dan membentuk lembaran

tebal dan kering yang disebut keropeng. Keropeng yang meliputi seluruh ekstremitas

mungkin mengurangi vaskularitas distal karena terjadinya kompresi pada pembuluh

darah proksimal.

Escahrotomy dan fasciotomy

Luka bakar dalam yang luas mungkin mempengaruhi sirkulasi di ekstremitas atau di

tubuh. Keropeng mungkin mengganggu pernapasan ketika terjadi meliputi dada.

Harus dilakukan escharotomi untuk memulihkan pasien dari semua komplikasi

tersebut. Di ekstremitas, insisi longitudinal terhadap seluruh ketebalan kulit hingga

jaringan subkutan dilakukan pada kedua sisi dari garis netral agar dapat dilepaskan.

11

Page 12: Burn Wound

Di dada pola insisi seperti kisi-kisi dilakukan, di mana dibuat kombinasi antara insisi

vertikal dan transversal di sisi anterior, lateral dan posterior untuk memfasilitasi

pengembangan paru di semua sisi.

Fasiotomi umumnya dilakukan pada cedera yang menyababkan sindrom

kompartemen. Pada prosedur ini insisi dibuat untuk memisahkan fasia hingga bagian

terdalam dan membuka seluruh kompartemen di ekstremitas untuk memungkinkan

tekanan dilepas dan menghindari komplikasi terkait iskemia yang ditimbulkannya.

Biasnaya seluruh kompartemen dari ekstremitas harus dibebaskan dari tekanan.

Telah lama ditengarai bahwa sindrom kompartemen hanya tampak pada luka bakar

listrik di mana otot menjadi edematous dan tekanan pada kompartemen meningkat

sehingga membutuhkan fasiotomi secepatnya. Luka bakar karena suhu yang tinggi

diyakini tidak menyebabkan cedera yang membutuhkan fasiotomi namun penelitian

terakhir [13-17] membuktikan sebaliknya. Telah didokumentasikan bahwa terjadi

peningkatan tekanan kompartemen secara definitif pada ekstremitas setelah

mengalami luka bakar akibat suhu yang tinggi.

Peningkatan tekanan intra-abdominal adalah bentuk lain dari sindrom kompartemen

yang menjadi salah satu komplikasi yang ditakuti. Penelitian membuktikan adanya

peningkatan simtomatik tekanan intra-abdominal hingga level kritis sehingga

membutuhkan pembebasan dengan laparotomi.

Anastesia, Eksisi Bedah dan Penutupan Luka

Untuk penutupan secara bedah pada jenis luka lainnya dikatakan bahwa golden

period berlangsung selama 6 jam pertama [Gambar 3] sementara pada eksisi luka

bakar yang luas biasanya hingga 72 jam. Luka bakar keadaannya steril saat onsetnya

dan butuh beberapa hari bagi mikroorganisme untuk mengkontaminasi dan

menginvasi luka sementara pada luka lainnya terjadi kontaminasi berat sejak awal

dan membutuhkan debridement menunda penutupan luka dapat mengakibatkan

12

Page 13: Burn Wound

infeksi serta dampak lanjutannya. Oleh karena itu eksisi pada luka bakar yang luas

hanya dapat dilakukan ketika pasien telah diresusitasi secara penuh serta stabil dan

perubahan fisiologis yang terjadi telah dikembalikan ke keadaan normal sehingga

dapat menjalani trauma akibat tindakan bedah nantinya. Waktu ideal dilakukannya

tindakan tersebut adalah pada periode ketiga hingga periode kelima pasca luka bakar.

[Gambar 4a4a,,bb]. [18] Pada luka bakar yang kecil (kurang dari 10%) eksisi dapat

dilakukan lebih awal, karena luka bakar yang kecil tidak akan menyebabkan

perubahan fisiologis maupun keadaan internal secara signifikan.

Gambar 3

Kasus trauma wajah yang luas dimana tindakan perbaikan dilakukan sesegera mungkin sehingga

mendapatkan hasil pasca operasi yang mengagumkan dengan parut yang minimal.

Gambar 4

(a) Kasus luka bakar pada seluruh lapisan

dermis yang meliputi paha – menjalani eksisi

primer dan grafting setelah 72 jam, (b)

Hasilnya setelah 10 hari pascaoperasi.

Anastesi menjadi perhatian utama dalam luka bakar dan ahli anestesi adalah anggota

penting dari tim penanganan luka bakar. [19] Ahli anestesi dalam tim penanganan

luka bakar harus mampu menangani (a) resusitasi luka bakar dalam fase akut

penatalaksanaan airway dan intubasi seringkali diperlukan, (b) perubahan fisiologis

fase stabilisasi hipermetabolik saat eksisi bedah acap kali dilakukan dan (c)

perubahan anatomik karena kontraktur akibat luka bakar dan deformitas dalam fase

13

Page 14: Burn Wound

bedah rekonstruktif. Anestesi luka bakar kini menjadi spesialisasi terpisah di mana

ahli anestesi adalah tenaga intensif pada fase akut luka bakar dan harus mampu

melakukan intubasi serat optik saat proses bedah korektif pada deformitas berat di

wajah dan ekstremitas akibat terbakar.

Penutupan secara bedah pada luka lainnya seringkali dilakukan dengan anestesi lokal

atau regional dan tidak diperlukan orang yang berkeahlian khusus untuk proses

tersebut [Gambar 5]. Perubahan fisiologis yang terjadi setelah terbakar seringkali

tidak terlihat bahkan pada trauma besar dipisahkan dari syok hipovolemik akibat

kehilangan darah yang mana dapat ditangani dengan transfuse darah. Kenyataannya

adalah bahwa pembedahan dibutuhkan sesegera mungkin pada banyak luka traumatic

untuk menghentikan pendarahan dan mencegah kelainan selanjutnya pada keadeaan

umum pasien.

Gambar 5

(a) Kasus luka terpotong pada aspek

ekstensor pergelangan tangan, (b)

Eksplorasi di bawah pengaruh

anestesia regional dan semua tendon

ekstensor didapati telah terpotong, (c

dan d) Tendon ekstensor telah

direparasi semuanya dan kulit

ditutup secara primer. Pasien

membutuhkan pembidaian dan

fisioterapi pasca operasi.

Cedera Primer Saluran Pernapasan pada Luka Bakar

Cedera saluran pernapasan pada pasien luka bakar dapat berupa:

Kerusakan langsung karena panas – Ini terutama terbatas pada

saluran pernapasan bagian atas dan dapat menyebabkan edema

laring yang membutuhkan intubasi.

14

Page 15: Burn Wound

Cedera saluran pernapasan nonthermal dalam bentuk inhalasi gas

beracun yang mungkin menyebabkan asfiksia (misalnya karbon

monoksida dan sianida) atau iritasi (seperti klorin, ammonia, dll).

Pada kedua hal tersebut terjadi inflamasi dan kerusakan pada

mukosa saluran pernapasan, yang jika tidak ditangani dengan baik

akan berlanjut pada kerusakan sekunder dan infeksi yang akan

melibatkan saluran pernapasan bagian bawah dan alveolus. [20–

23]

Infeksi dan Profil Imun pada Luka Bakar

Resusitasi yang memadai dan penatalaksanaan cairan yang efektif telah menurunkan

angka kematian akibat syok hipovolemik dan gagal ginjal akut, sehingga infeksi

menjadi perhatian utama pada luka bakar. [24] Infeksi pada luka bakar sesuai dengan

luasnya permukaan tubuh yang terkena. [25] Membaiknya penatalaksanaan luka

bakar dalam dekade terakhir secara signifikan telah mengurangi dan menghambat

terjadinya infeksi bakterial pada luka bakar. Pruitt dkk.[26] dalam penelitiannya

terhadap perubahan epidemologispada pasien luka bakar dengan infeksi menemukan

bahwa di samping bakteri, mikroorganisme yang lebih baru seperti virus dan jamur

juga menjadi penyebab terjadinya sepsis pada luka bakar. Pneumonia adalah infeksi

yang paling sering menjadi bagian dari sepsis sistemik pada luka bakar. Dalam

penelitian tersebut 48% infeksi paru disebabkan oleh Staphylococcus aureus,

sementara Pseudomonas hanya 16%. Infeksi selebihnya disebabkan oleh organisme

Gram-negatif seperti Klebsiella, Escherichia coli, Salmonella dan Haemophillus.

Tidak ada perubahan signifikan pada data statistik infeksi bakterial luka bakar dalam

20 tahun terakhir setelah penelitian oleh Pruitt dkk, kecuali bahwa virulensi

organisme yang menginvasi luka kini semakin meningkat. S. aureus secara bervariasi

resisten terhadap methicillin (M.R.S.A.) dan Pseudomonas serta Klebsiella biasanya

memperluas spektrum bakteri yang memproduksi enzim β-laktamase (ESBL). Dalam

15

Page 16: Burn Wound

8 tahun terakhir juga terjadi peningkatan insidens resistensi multi-obat dari basil

Gram-negatif Acetinobacter bomnii.

Infeksi Jamur pada Luka Bakar

Adanya infeksi jamur pada luka bakar [27] dilaporkan secara luas oleh Becker dkk.

dalam penelitian mereka di tahun 1991 dan Candida albicans adalah organisme

penyebab tersering. Dalam penelitian terakhir yang dilakukan oleh Sarabahi dkk. [28]

di tahun 2011 terhadap perubahan pola infeksi jamur pada luka bakar, Candida

albicans telah digeser posisinya oleh Candida nonalbicans, terutama C. krusei dan C.

glabarata dan Aspergillus. Dalam penelitian yang sama terungkap bahwa infeksi

jamur berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi, lebih dari 40% dan resisten

terhadap pengobatan konvensional. Organisme tersebut hanya sensitif terhadap

Echinocandins dan Amphoteracin B.

Penyebab utama sepsis luka bakar yang invasif adalah imunosupresi yang dalam.

Cedera luka bakar mempengaruhi komponen nonspesifik dan spesifik dari sistem

imun. Pertahanan nonspesifik mencakup sirkulasi dan sel fagositik serta jumlah

protein plasma yang memediasi respon inflamasi. Pada pasien dengan luka bakar

yang luas, sel fagosit polimorfonuklear menjadi tidak efektif fungsi kemotaktik,

fagositik dan intraselulernya. Begitu pula sistem fagositik mononuklear tidak mampu

melakukan fungsi fagositosis dan pelepasan sitokin. [29–32] Pada komponen spesifik

sistem imun, respon imun cell-mediated ditekan oleh adanya homograft yang

berkepanjangan pada pasien luka bakar.

Respon imun humoral juga ditekan ditandai dengan menurunnya konsentrasi semua

jenis serum imunoglobulin secara signifikan pada pasien luka bakar berat. [33,34]

Bukan hanya penurunan kadar kuantitatif dari immunoglobulin yang terjadi pada

pasien luka bakar, tetapi juga sirkulasi immunoglobulin yang masih ada juga menjadi

tidak efisien secara kualitatif. Produksi antibodi T-cell-dependent ditekan untuk

16

Page 17: Burn Wound

waktu yang lama karena terjadi defisiensi sekresi interleukin-2-regulated dan faktor

helper T-cell-derived yang penting bagi diferensiasi sel B kee dalam sel pensekresi

antibodi. [35] Insidens tertinggi septikemia pada luka bakar timbul dalam 10 hari

pertama ketika titer immunoglobulin sangat tidak menentu. Yang mengherankan

adalah pasien dengan trauma jaringan yang luas tidak berada dalam keadaan

immunocompromised seperti pada pasien luka bakar.

Terapi Antibakterial Topikal dan Sistemik pada Luka Bakar dibandingkan

Terapi pada Luka Lainnya

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa luka bakar adalah steril pada awalnya.

Organisme yang ada hanyalah organisme yang memang hidup di epitel bagian dalam

seperti pada folikel rambut dan kelenjar sebasea. Beberapa dari organisme ini

mungkin berkembang biak dan muncul ke permukaan area kulit yang terbakar. Oleh

sebab itu, pemberian agen antimikroba pada luka bakar akan membantu membunuh

organisme tersebut dan mempertahankan keadaan steril untuk waktu yang lebih lama.

Agen topikal yang digunakan pada luka bakar juga mencegah masuknya

mikroorganisme baru dari luar. Proliferasi bakterial dimulai di bawah permukaan

keropeng luka bakar setelah hari ke-5. Keropeng sebagai jaringan mati berperan

menjadi media kultur dan membantu pertumbuhan bakteri. Bakteri yang

bermultiplikasi ini kemudian dapat menginfasi jaringan yang lebih dalam dan

menyebabkan sepsis. Agen antimikroba normal yang biasanya digunakan pada

permukaan jenis luka lainnya seperti povidone iodine, mupirocin dan neomycin dll.

tidak dapat menembus keropeng sehingga tidak efektif untuk mengontrol invasi

bakteri di bawahnya. Sehingga, pada luka bakar harus digunakan agen antimikroba

yang dapat mempenetrasi keropeng dan membunuh organisme yang ada di bawahnya.

Pada luka bakar yang luas, jumlah krim antibakteri yang digunakan seringkali cukup

besar. Agen tersebut diabsorbsi dari kulit ke dalam sirkulasi. Maka agen antimikroba

17

Page 18: Burn Wound

yang digunakan pada luka bakar haruslah bersifat non-toksik dengan efek samping

yang minimal pada absorbs sistemik.

Luka bakar mungkin membutuhkan waktu beberapa minggu untuk sembuh sempurna

dan akan memerlukan beberapa kali penggantian perban selama periode tersebut

dengan menggunakan krim antibacterial yang sama. Maka sedapat mungkin

organisme yang ada memiliki resistensi minimal terhadap agen antimikroba.

Berdasarkan criteria di atas, krim sulfadiazine perak 1% merupakan salah satu krim

terbaik yang tersedia untuk digunakan pada luka bakar yang luas.

Antibiotik sistemik berperan sangat kecil pada perawatan luka bakar kecuali pada

sepsis luka bakar. Pada luka infeksi lainnya antibiotik sistemik digunakan dengan

maksud terapeutik atau profilaksis berdasarkan kultur dan sensitivitas bakteri di

permukaan. Pada luka bakar tidak ada atuaran penggunaan antibiotic profilaksis

karena tidak akan mencapai lapisan di bawah keropeng, di mana mikroorganisme

berkembang biak. [36–41]

Nutrisi

Luka bakar yang luas merupakan cedera katabolik berat pada tubuh yang berlangsung

dalam waktu yang lama sampai semua luka bakar sembuh, tidak seperti trauma

lainnya di mana fase katabolik berlangsung singkat karena sering kali lukanya tidak

luas dan penutupan luka berlangsung lebih cepat. Karena itu, nutrisi merupakan aspek

penting yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan luka bakar. Kebutuhan

protein dan kalori sangat tinggi sehingga suplementasi harus dilakukan.

Bekas Luka akibat Luka Bakar dan Trauma

Seseorang yang mengalami luka bakar akan dicap sebagai pasien luka bakar

selamanya karena bekas lukanya akan berlangsung seumur hidup. Bekas parut dan

kontraktur merupakan dua cacat yang disebabkan oleh kebakaran. Maturasi parut pad

18

Page 19: Burn Wound

luka bakar adalah suatu fase remodelling pada penyembuhan luka. Luka bakar dermis

yang dalam, jika tidak dieksisi dan diberi cangkok kulit secara primer akan

membentuk parut yang hipertropik. [42]

Dibanding luka traumatic lainnya, permukaan yang terkena pada luka bakar lebih

luas, sehingga pembentukan parut juga lebih luas, tandanya nyata dan gejala gatal dan

nyerinya juga berat sehingga mengganggu aktivitas harian. Maka sebagian besar

pasien membutuhkan penanganan jangka panjang dalam bentuk balut tekan,

perangkat silikon gel dan pijatan untuk meringankan mereka dari gejala yang diderita.

Karena itu, rehabilitasi dan fisioterapi menjadi sangat mendasar dalam

penatalaksanaan luka bakar yang luas. Semua deformitas dan kontraktur dapat

dicegah. Pembidaian dan fisioterapi pada area luka bakar yang memotong garis sendi

harus dilakukan secepat mungkin dan diteruskan hingga bekas luka matur.

Ekstremitas atas sepanjang lengan dan leher merupakan dua area terpenting di mana

paling sering terjadi disabilitas fungsional karena kontraktur. Luka bakar yang dalam

pada lengan harus dibalut dan diimobilisasi dalam posisi cock-up untuk mencegah

deformitas Z. Collar servikal dipakai di atas seluruh balutan luka pada luka bakar di

leher atau diletakkan bantal di bawah bahu untuk menjaga leher tetap dalam posisi

ekstensi. Begitu pula di ekstremitas bawah bidai digunakan untuk mencegah

deformitas equinus dan kontraktur sendi lutut.

Fisioterapi dan bidai terutama dibutuhkan pada luka bakar yang mengenai tendon dan

syaraf. Penatalaksanaan parut pada luka lainnya biasanya dilakukan untuk alasan

estetis belaka karena tidak terjadi keterbatasan fungsional.

Psikosis pasca luka bakar diketahui sering terjadi pada pasien dan yang dikuatirkan

bukan hanya aspek fisiknya tetapi juga aspek mentalnya. Bekas luka bakar yang luas

terutama yang mengenai muka dan daerah terbuka di badan diyakini sebgai hal yang

tabu pada masyarakat bahkan hingga hari ini, dan pasien tersebut sering kali ditolak

ketika mencari kerja atau menikah terutama pada para wanita. Hasilnya adalah orang

19

Page 20: Burn Wound

yang memiliki bekas luka bakar di wajah biasanya hanya tinggal di dalam rumah dan

jarang bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya sehingga sering menderita

depresi. Karenanya, mereka membutuhkan pendampingan dan konseling

berkelanjutan.

KESIMPULAN

Luka bakar adalah bagian dari fenomena yang lebih dari sekedar luka terisolasi.

Meskipun proses penyembuhan pada luka bakar kini mengalami kemajuan

sebagaimana luka lainnya namun terdapat peran serta faktor sistemik yang besar

dalam prosesnya. Luka bakar secara langsung dipengaruhi oleh kondisi umum pasien

dan juga memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi umum pasien yang dapat

berujung pada keadaan seperti septikemia dan kematian. Luka bakar merupakan

gambaran langsung bagaimana penatalaksanaan terhadap penderitanya. Penyembuhan

pada luka bakar berhubungan secara timbal balik dengan keadaan umum pasien. Luka

bakar serupa dengan luka lainnya dalam hal bahwa pada dasarnya penyembuhan luka

dan bentuk penanganannya sama namun memiliki perbedaan karena luka bakar

memiliki dampak yang nyata pada keadaan umum pasien, yang berperan penting

dalam keselamatan, terjadinya deformitas, dan rehabilitasi pada pasien.

Catatan Kaki

Sumber Pendukung: Tidak ada

Conflict of Interest: Tidak ada

20

Page 21: Burn Wound

REFERENSI

1. Mohil RS. Classification of wounds. In: Sarabahi S, Tiwari VK, editors. Principles

and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee Publishers; 2012. pp.

42–52.

2. Bhattacharya S. Etiology and classification. In: Sarabahi S, Tiwari VK, Goel A,

editors.Principles and practice of burn care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee

Publishers; 2010. pp. 25–36.

3. Vartak A. Pathophysiology of Burn shock. In: Sarabahi S, Tiwari VK, Goel A,

editors.Principles and practice of burn care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee

Publishers; 2010. pp. 37–41.

4. Deodhar AK, Rana RE. Surgical physiology of wound healing: A review. J

Postgrad Med.1997;43:52–6. [PubMed]

5. Ethridge RT, Leong M, Phillips L. Wound healing. In: Touensend CM,

Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, editors. Sabiston Textbook of surgery. 18th

ed. Philadephia: Saunders; 2009. pp. 191–216.

6. Arturson G. In: Cross reference from ‘Local effects: Principles and Practice of burn

management. 1st ed. Setle JAD, editor. New York: Churchill Livingstone; 1996.

7. Werner S, Grose R. regulation of wound healing by growth factors and

cytokines. Physiol Rev. 2003;83:835–70. [PubMed]

8. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Tissue renewal, repair and regeneration.

In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC, editors. Robbins and Cotran. 8th ed.

Pensylvannia: Saunders; 2009. pp. 191–216.

9. Sephel GC, Woodward SC. Repair, regeneration and fibrosis. In: Rubin E,

Gorstein F, Rubin R, Schwarting R, Strayer D, editors. Rubin's pathology.

Clinicopathologic foundations of medicine. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams

and Wilkins; 2001. pp. 85–116.

21

Page 22: Burn Wound

10. Chandrakant SS. Medicolegal aspects in burn injuries. In: Sarabahi S, Tiwari VK,

Goel A, editors. Principles and practice of burn care. 1st ed. New Delhi (India):

Jaypee Publishers; 2010. pp. 516–23.

11. Caison's JS. Treatment of burns. London: Chapman and Hall; 1981. pp. 14–57.

12. Williams WG, Phillips L. Pathophysiology of burn wound. In: Herndon DN,

editor. Total burn care. WB Saunders Co Ltd; 1996. p. 64.

13. Jensen AR, Hughes WB, Grewal H. Secondary abdominal compartment

syndrome in children with burns and trauma: A potentially lethal complication. J

Burn Care Res.2006;27:242–6. [PubMed]

14. Greenhalgh DG, Warden GD. The importance of intra-abdominal pressure

measurements in burned children. J Trauma. 1994;36:685–90. [PubMed]

15. Ivy ME, Atweh NA, Palmer J, Possenti PP, Pineau M, D’Aiuto M. Intra-

abdominal hypertension and abdominal compartment syndrome in burn patients. J

Trauma. 2000;49:387–91. [PubMed]

16. Hobson KG, Young KM, Ciraulo A, Palmieri TL, Greenhalgh DG. Release of

abdominal compartment syndrome improves survival in patients with burn injury. J

Trauma.2002;53:1129–33. discussion 1133-4. [PubMed]

17. Latenser BA, Kowal-Vern A, Kimball D, Chakrin A, Dujovny N. A pilot study

comparing percutaneous decompression with decompressive laparotomy for acute

abdominal compartment syndrome in thermal injury. J Burn Care

Rehabil. 2002;23:190–5. [PubMed]

18. Kumar P. Surgical excision of burn wound and skin grafting. In: Sarabahi S,

Tiwari VK, editors. Principles and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India):

Jaypee Publishers; 2012. pp. 196–207.

19. Verma PK. Anaesthesia for the thermally injured. In: Sarabahi S, Tiwari VK,

editors.Principles and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee

Publishers; 2012. pp. 208–22.

20. Gamer JP, Jenner J, Parkhouse DA. Prediction of upper airway closure in

inhalation injury.Mil Med. 2005;170:677–82. [PubMed]

22

Page 23: Burn Wound

21. Gueugniaud PY, Carsin H, Bertin-Maghit M, Petit P. Current advances in the

initial management of major thermal burns. Intensive Care Med. 2000;26:848–

56. [PubMed]

22. Haponik EF. Respiratory injury. In: Haponik EF, Munster AM, editors. Smoke

inhalation and burns. New York: McGraw-Hill Inc; 1990.

23. Haponik EF, Summer W. Respiratory complications in burned patient:

Pathogenesis and spectrum of inhalation injury. J Crit Care. 1987;2:49.

24. Pruitt BA., Jr Advances in fluid therapy and the early care of the burn

patient. World J Surg. 1978;2:139–50. [PubMed]

25. Pruitt BA Jr. The diagnosis and treatment of infection in the burn patient. Burns

Incl Therm Inj. 1984;11:79–91. [PubMed]

26. Pruitt BA, Jr, McManus AT. The changing epidemiology of infection in burn

patients.World J Surg. 1992;16:57–67. [PubMed]

27. Becker WK, Cioffi WG, McManus AT. Fungal burn wound infection. Arch

Surg.1991;126:44–8. [PubMed]

28. Sarabahi S, Tiwari VK, Arora S, Capoor M, Pandey A. Changing pattern of

fungal infection in burn in a large burn unit in Asia. Burns. 2012;38:520–8. [PubMed]

29. Arturson G. Neutrophil granulocyte function in severly burned patients. Burns

Incl Therm Inj. 1985;11:309–19. [PubMed]

30. Schmidt K, Bruchelt G, Kistler D, Koslowski L. phagocytic activity of

granulocyte anf alveolar macrophages after burn injury measured by

chemiluminescence. Burns Incl Therm Inj.1983;10:79–85. [PubMed]

31. Stephan RN, Ayala A, Harkema JM, Dean RE, Border JR, Chaudhry IH.

Mechanisms of immunosuppression following hemorrhage: Defective antigen

presentation by macrophages. J Surg Res. 1989;46:553–56. [PubMed]

32. Zembola M, Uracz W, Ruggiero I. Isolation and functional characteristics of

FcR+ and FcR- human monocyte subsets. J Immunol. 1984;133:1293–9. [PubMed]

33. Daniels JC, Larson DL, Abston S, Ritzmann SE. Serum protein profiles in

thermal burns. J Trauma. 1974;14:137–52. [PubMed]

23

Page 24: Burn Wound

34. Munster AM, Hoacland HC, Pruitt BA., Jr The effect of thermal injury on serum

immunoglobulin. Ann Surg. 1970;172:965–9. [PMC free article] [PubMed]

35. Teodorczyk JA, Sparkes BG, Peters WJ. Regulation of IgM production in

thermally injured patients. Burns. 1989;15:241–7. [PubMed]

36. Saffle R, Schnebly WA. Burn wound care. In: Richard RL, Staley MJ,

editors. Burn care and rehabilitation: Principles and Practice. Philadephia: FA Davis

Company; 1994. pp. 119–67. Chapter 7.

37. Monafo WF, Fredman B. Topical therapy for burns. Surg Clin North

Am. 1987;67:133–45. [PubMed]

38. Moncreif JA, Lindberg RB, Switzer WE, Pruitt BA. Use of topical antibacterial

therapy in the treatment of burn wound. Arch Surg. 1966;92:558–65. [PubMed]

39. Pruitt BA., Jr Diagnosis and treatment of infection in the burn patient:

Presidential address.Arch Surg. 1986;121:13–22. [PubMed]

40. Lindberg RB, Moncreif JA. The successful control of burn wound sepsis. J

Trauma.1965;5:601–16. [PubMed]

41. Stone HH, Kolb LD, Petit J, Smith RB. The systemic absorption of antibiotic

from the burned wound surface. Am Surg. 1968;34:639–43. [PubMed]

42. Goel A. Post burn sequelae and their management. In: Sarabahi S, Tiwari VK,

editors.Principles and practice of wound care. 1st ed. New Delhi (India): Jaypee

Publishers; 2012. pp. 468–515.

24