Post on 21-Mar-2022
12
BAB II
TINJAUN TEORI
2.1 Leukemia Limfoblastik Akut
2.1.1 Pengertian LLA
Menurut Kyle dan Susan (2016) leukemia merupakan gangguan utama
pada sumsum tulang, yaitu elemen normal digantikan dengan sel darah
putih abnormal. Normalnya, sel limfoid tumbuh dan berkembang menjadi
limfosit dan sel mieloid tumbuh dan berkembang menjadi sel darah merah,
granulosit, monosit dan trombosit. Pada semua jenis leukemia, sel darah
putih yang abnormal mengambil alih sumsum yang normal. Sel darah
merah dan trombosit juga terganggu. Sel leukemia dapat berprofelasi dan
dilepaskan ke dalam darah perifer yang menginvasi organ tubuh yang
menyebabkan metastasis (Roshdal & Mary 2015).
2.1.2 Jenis Leukemia
Menurut Kyle dan Susan (2016) leukemia dapat diklasifikasikan menjadi
akut atau kronik, limfositik atau mielogenus. Leukemia akut merupakan
penyakit yang berkembang cepat yang menjangkiti sel yang tidak
terdiferensiasi/membelah atau imatur, mengakibatkan sel tanpa
(kehilangan) fungsi normal. Leukemia kronik berkembang lebih lambat,
memungkinkan maturasi dan diferensiasi sel sehingga dapat
13
mempertahankan beberapa fungsi normal mereka. Leukemia akut,
termasuk leukemia limfoblastik akut (LLA), dan leukemia mielogenus akut
(LMA). Sedangkan, leukemia kronik termasuk leukemia limfoblastik
kronik (LLK) dan leukemia mielogenus kronik (LMK).
2.1.3 Insidensi LLA
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah jenis kanker anak yang paling
umum terjadi, LLA bertanggung jawab untuk 80% kasus leukemia pada
anak. Insiden palimg tinggi terjadi anak-anak yang berusi antara 3 dan 5
tahun (Betz & Linda, 2002). LLA merupakan bentuk kanker paling umum
terjadi pada anak. 85 % kasus LLA terjadi pada anak antara usia 2 dan 10
tahun (Kyle & Susan, 2016). Sebagian besar leukemia yang terjadi pada
masa kanak-kanak adalah LLA dan sekitar 25% kanker ini terjadi pada
anak berusia kurang dari 15 tahun, dengan insiden yang paling tinggi
terjadi pada usia antara 2dan 4 tahun. LLA lebih sering terjadi pada anak
laki-laki dan orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam (Axton &
Terry, 2014).
2.1.4 Etiologi LLA
Etiologi leukemia anak tidak diketahui dan kemungkinan bersifat
multifaktoral. Faktor genetik dan lingkungan beperan penting (Marcdante,
dkk, 2014). Menurut Kyle dan Susan (2016) penyebab pasti LLA tidak
diketahui. Faktor genetik dan abnormalitas kromosom dapat berperan
dalam perkembangan LLA. Menurut Tehuteru (2011) penyebab LLA
14
belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan bahwa kanker termasuk
leukemia dapat terjadi akibat infeksi empat faktor, yaitu keturunan, zat
kimia, virus dan radiasi.
2.1.5 Patofisiologi LLA
Penyebab LLA tidak diketahui. Faktor genetik dan abnormalitas dapat
berperan dalam perkembangan LLA. Pada LLA, limfoblast yang abnormal
melimpah dalam jaringan pembentuk darah. Limfoblast bersifat mudah
pecah dan imatur, menurunkan kemampuan terhadap sel darah putih
normal untuk melawan infeksi. Pertumbuhan limfoblast berlebihan dan sel
abnormal menggantikan sel normal dalam sumsum tulang. Sel leukemia
yang berproliferasi menunjukkan kebutuhan metabolik yang besar,
menekan sel tubuh normal terkait kebutuhan zat gizi dan menyebabkan
keletihan, penurunan berat badan atau henti tumbuh dan kelelahan otot.
Pada sumsum, sel darah putih yang abnormal ini juga menggantikan sel
induk yang memproduksi sel darah merah dan produk darah lainnya
(seperti trombosit). Sumsum tulang menjadi tidak mampu mempertahankan
sel darah merah, sel darah putih dan trombosit, sehingga menyebabkan
penurunan jumlah produk tersebut. Pada akhirnya, anak mengalami anemia
dan trombositopenia. Karena sumsum tulang berekspansi atau sel leukemia
menginfiltrasi tulang, nyeri sendi dan tulang dapat terjadi. Sel leukemia
dapat menembus nodus limfe, menyebabkan limfadenopati difus, atau hati
dan limpa, menyebabkan hepatosplenomegali (Axton & Terry, 2014; Kyle
& Susan, 2016).
15
2.1.6 Manifestasi Klinis LLA
Gejala leukemia disebabkan oleh anemia, neutropenia dan trombositopenia-
kerusakan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Gejalanya
meliputi demam, malaise, anoreksia, keletihan, nyeri tulang, memar dan
perdarahan. Klien juga akan mengalami anemia, pembesaran nodus limfe,
berkeringat malam, sesak napas, penurunan berat badan, nyeri tekan pada
sternum dan limpa dan keterlibatan liver (Roshdal & Mary, 2015).
Tanda dan gejala lainnya dapat meliputi anoreksia, iritabilitas, keletihan,
letargi, sakit kepala, demam, pucat, nyeri tulang, memar dan perdarahan.
Triad neutropenia, anemia dan trombositopenia tampak pada hitung sel
darah lengkap (complete blood cell count, CBC) (Axton & Terry, 2014).
2.1.7 Komplikasi LLA
Komplikasi yang terjadi apabila pasien dengan ALL tidak tertangani adalah
gagal sumsum tulang, infeksi, hepatomegali, splenomegali dan
limfadenopati (Betz & Linda, 2002).
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang LLA
Jika seorang anak dicurigai menderita leukemia berdasarkan manifestasi
klinis dan pemeriksaan fisik, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan labotarium dan diagnostik
umumyang diprogramkan untuk LLA antara lain (Kyle & Susan, 2016;
Marcdante, dkk, 2014):
16
2.1.8.1 Hitung darah lengkap: temuan abnormal mencakup kadar
hemoglobin dan hematocrit yang rendah, penurunan hitung sel
darah merah, penurunan hitung trombosit dan hitung sel darah
puti yang rendah, normal atau tinggi; 15-20% pasien memiliki
hitung leukosit lebih dari 50.000/mm3.
2.1.8.2 Apus darah perifer dapat menunjukkan blast.
2.1.8.3 Aspirasi sumsum tulang akan menunjukkan lebih dari 25%
limfoblast. Aspirasi sumsum tulang juga diperiksa untuk
mengetahui imunofenotip (limfoid vs mieloid dan kadar maturitas
sel kanker) dan anlisis sitogenetik (menentukan abnormalitas pada
jumlah dan struktur kromosom). Imunofenotip dan analisis
sitogenetik digunakan untuk menetukan klasifikasi leukemia,
yang membantu memandu terapi. Analisis sitogenik pada LLA
mengidentifikasi kelainan kromosom pada t(12;21) lebih sering
terjadi (sekitar 20% dari seluruh kasus) dan dihubungkan dengan
prognosis baik, serta t(9;22) terjadi pada kurang dari 5% kasus
dan dihubungkan dengan prognosis yang baik.
2.1.8.4 Pungsi lumbal akan menunjukkan apakah sel leukemik telah
menginfiltrasi SSP.
2.1.8.5 Pemeriksaan fungsi hati dan BUN serta kadar kreatinin
menentukan fungsi hati dan ginjal yang jika abnormal dapat
menghindarkan terapi dengan agens kemoterapi tertentu.
2.1.8.6 Radiografi dada dapat menunjukkan pneumonia atu massa
mediastinal.
17
2.1.9 Pengobatan LLA
Manajemen terapeutik anak yang mengalami LLA berfokus pada
pemberian kemoterapi untuk mengeradikasi sel leukemik dan
mengembalikan fungsi normal sumsum tulang. Terapi kemoterapi terbagi
melalui empat tahap, yaitu: (Kyle & Susan, 2016)
Tabel 2.1 Tahap terapi leukemia
Tahap Tujuan Lama Medikasi yang Biasa
Induksi Induksi cepat remisi
sempurna
3 hingga 4
minggu
Steroid oral, vinkristin IV, L-
asparginase IM, daunomisin
(risiko tinggi)
Konsolidasi
(intensifikasi)
Memperkuat remisi,
mengurangi jumlah
sel leukemik
Beragam Metotreksat dosis tinggi, 6-
merkaptopurin; kemungkinan
siklofosfamid, sitarabin,
asparaginase, tioguanin,
epipodofilotoksin
Rumatan Mengeliminasi
semua sel leukemik
residu
2 hingga 3
tahun
Dosis rendah: 6-merkaptopurin
setiap hari, metotrkesat setiap
minggu, vinkristin IV dan
steroid oral intermiten
Profilaksis SSP Mengurangi risiko
perkembangan
penyakit SSP
Diberikan
secara berkala
pada semua
tahap
Kemoterapi intratekal; radiasi
kranial digunakan secara jarang
Sumber: Tahap terapi leukemia (Kyle & Susan, 2016)
2.2 Kemoterapi
2.2.1 Pengertian Kemoterapi
Menurut Roshdal dan Mary (2015) istilah kemoterapi menyatakan
penggunaan agens kimiawi untuk menghancurkan sel yang bersifat kanker.
18
2.2.2 Prinsip Kemoterapi
Prinsip kerja agen kemoterapi yaitu mengganggu salah satu siklus sel baik
itu sel kanker maupun sel yang dapat tumbuh cepat. Siklus sel merupakan
siklus yang dibutuhkan oleh sel yang terdiri dari beberapa fase untuk
bereproduksi, menggantikan sel yang rusak atau mati dan menambah
jumlah sel pada jaringan yang tumbuh. Siklus sel terdiri dari 2 periode,
yaitu interfase dimana sel tidak membelah dan fase mitosis dimana sel
membelah (Hapsari, 2012).
2.2.3 Tujuan Kemoterapi
Menurut Roshdal dan Mary (2015) tujuan kemoterapi adalah merusak
DNA di dalam sel abnormal dan menyebabkan sel menghancurkan dirinya
sendiri (apoptosis). Terdapat beberapa indikasi terapeutik untuk
kemoterapi, termasuk:
2.2.3.1 Untuk mengatasi penyebaran atau metastasis penyakit karena
kemoterapi merupakan terapi sistemik bukan terapi lokal.
2.2.3.2 Untuk memberikan penyembuhan pada klien jenis kanker
tertentu, bahkan dalam kanker stadium lanjut; misalnya leukemia
akut, beberapa jenis limfoma dan kanker testis.
2.2.3.3 Untuk mengontrol atau mengurangi kesulitan yang berhubungan
dengan tumor secara temporer-terapi paliatif bukan terapi untuk
menyembuhkan.
19
2.2.3.4 Untuk digunakan sebagai terapi adjuvan (bantuan) setelah
pembedahan untuk mengatasi metastasis atau berupaya mencegah
terjadinya metastasis.
Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki jumlah sel yang secara
proporsional lebih tinggi dan membelah kapanpun karena mengalami
replikasi yang tidak terbatas dan pertumbuhan yang progresif. Agens
kemoterapeutik dirancang agar efektif selama satu fase atau lebih
pembelahan sel. Karena proses replikasi abnormalnya, sel ganas sangat
rentan terhadap agens kemoterapeutik (Roshdal & Mary, 2015).
2.2.4 Cara Kemoterapi
Menurut Langhorne, dkk (2007) kemoterapi dapat digunakan dalam lima
cara:
2.2.4.1 Terapi adjuvant: suatu kemoterapi yang digunakan bersamaan
dengan modalitas pengobatan lain (operasi, terapi radiasi, atau
bioterapi) dan ditayangkan dalam mengobati micrometastases.
2.2.4.2 Kemoterapi neo-adjuvant: pemberian kemoterapi untuk
mengecilkan tumor sebelum diangkat melalui pembedahan.
2.2.4.3 Kemoterapi induksi: terapi obat diberikan sebagai pengobatan
utama untuk pasien yang menderita kanker dimana tidak ada
pengobatan alternative.
2.2.4.4 Kombinasi kemoterapi: penguasaan dua atau lebih agen
kemoterapi untuk mengobati kanker. Hal ini memungkinkan
setiap obat untuk meningkatkan tindakan lain atau bertindak
20
secara sinergis dengannya (contoh kombinasi kemoterapi adalah
rejimen MOPP yang diketahui secara luas dari nitorgen mustard,
vincristine (oncovin), procarbazine dan prednison, yang
digunakan untuk mengobati pasien dengan Hodgin's penyakit).
2.2.4.5 Terapi myeloblative: terapi dosis intensif yang digunakan untuk
persiapan transplantasi sel induk darah perifer.
2.2.5 Agens Kemoterapeutik
Agens kemoterapeutik diklasifikasikan ke dalam lima katagori, yaitu
(Roshdal & Mary, 2015):
Tabel 2.2 Agens kemoterapeutik
Agens Tujuan Terapi Obat
Agens alkilase
(Nitrosurea)
Mengganggu sintesis DNA Carboplatin (paraplatin)
Cisplatin (Platinol)
Siklofosfamid (Cytoxan),
Dakarbazin (DTIC)
Ifosfamid (Ifex)
Tiotepa (TESPA, TSPA)
Antibiotik Mencegah replikasi DNA Bleomisin (blenoxane)
Doksorubisin HCl (Adriamycin)
Idarubisin (Idamycin)
mitomisin-C (mutamycin)
plikamisin, mitramisin (Mitchracin)
Antimetabolit Menghambat fungsi mentabolit
yang diperlukan untuk sintesis
atau replikasi DNA
Sitarabin (Ara-C)
Fludarabin
Fluorouracil, 5-Fluorouracil, 5-FU
(Adrucil, Efudex)
Gemitabicin (Gemzar)
Metotreksat, natrium metotreksat
(Folex, Mexate)
Antimitotik Mengganggu mitosis sel Vinblastine sulfat (Velban, Velsar)
Vinkristin sulfat (Oncovin)
Vinorelbin (nNavelbin)
Agens hormonal Menghasilkan regresi kanker
metastatatik secara sementara
Finasterid (Proscar)
Flutamid (Eulexin)
Leuprolid (Lupron)
Tamosikfen (Nolvadex)
Sumber: Agens kemoterapeutik (Roshdal & Mary, 2015)
21
2.2.6 Efek Samping Kemoterapi
Menurut Wong, dkk (2009); Roshdal dan Mary (2015); Hapsari (2012)
kemoterapi akan menimbulkan efek samping, yaitu:
2.2.6.1 Mual dan muntah.
Mual dan muntah terjadi setelah sesaat setelah pemberian obat
kemoterapi dan disebabkan oleh terapi radiasi kranium.
2.2.6.2 Alopesia
Kemoterapi dapat merusak sel normal, terapi tersebut
mempengaruhi semua sel yang sering melakukan pembelahan
(termasuk pada sel folikel rambut selain pada sel kanker) yang
menyebabkan rambut menjadi rontok.
2.2.6.3 Stomatitis
Klien menerima kemoterapi atau radiasi rentan terhadap stomatitis
(inflamasi mulut).
2.2.6.4 Anoreksia
Penurunan selera makan merupakan akibat langsung yang
ditimbulkan oleh kemoterapi, serta ulkus pada mulut
menyebabkan memperberat gejala anoreksia.
2.2.6.5 Keletihan
Keletihan hampir menyerang semua penderita kanker, keletihan
mungkin berasal dari penyakit, terapi atau distres psikologik.
22
2.2.6.6 Neutropenia
Agen siktoksik merupakan salah satu penyebab anak mengalami
neutropenia. Neutropenia menyebabkan pasien berisiko lebih
tinggi terjadinya infeksi.
2.2.6.7 Anemia
Pertumbuhan limfoblast berlebihan dan sel abnormal
menggantikan sel normal dalam sumsum tulang. Sumsum tulang
menjadi tidak mampu mempertahankan kadar normal sel darah
merah, trombosit dan sel darah putih.
2.2.6.8 Trombositopenia
Pertumbuhan limfoblast berlebihan dan sel abnormal
menggantikan sel normal dalam sumsum tulang. Sumsum tulang
menjadi tidak mampu mempertahankan kadar normal sel darah
merah, trombosit dan sel darah putih.
2.2.6.9 Infeksi
Kemoterapi sering mengubah klien menjadi lebih rentan terhadap
infeksi karena hitung sel darah putih rendah (neutropenia).
2.2.6.10 Diare
Salah satu efek samping yang paling menimbulkan distres dalam
pemberian obat-obatan kemoterapeutik adalah kerusakan sel
mukosa GI, yang dapat menimbulkan ulkus dimana pun
disepanjang saluran pencernaan. Ulkus atau mukosa yang
terinflamasi akan menghasilkan lendir yang merangsang
peristaltik, hal ini lah yang menyebabkan diare.
23
2.2.7 Penatalaksanaan Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi menimbulkan sejumlah efek samping, untuk penatalaksanaan
efek samping menurut Roshdal & Mary (2015), Wong, dkk (2009) dan
Hapsari (2012) adalah:
2.2.7.1 Mual muntah
Agens antagonis reseptor-serotonin (missal ondansentron
[Zofran]) merupakan obat yang efektif untuk mengendalikan mual
dan muntah sesudah terapi kemoterapi dan radioterapi yang
bersifat emetogenetik.
2.2.7.2 Alopesia
Beri anak topi dari kain katun yang lembut merupakan tuutp
kepala yang nyaman bagi anak. Pilihan tutup kepalanya yang lain
adalah kerudung dan wig (rambut palsu) untuk rambut palsu
anjurkan anak atau pilih rambut palsu sesuai dengan gaya rambut
asli anak sebelumnya.
2.2.7.3 Stomatitis
Anjurkan orang tua untuk menggunakan sikat gigi halus dan
membersihkan mulut secara menyeluruh setelah makan dan
sebelum tidur kepada anak tersebut. Alternatif lainnya berikan
vitamin E ke area yang terganggu di mulut.
2.2.7.4 Anoreksia
Sediakan makanan yang tidak merangsang, lunak dan berkuah
yang cocok dengan usia anak dan pilihan anak.
24
2.2.7.5 Keletihan
Optimalkan nutrisi beserta suplemen, rencanakan periode istirahat
dan aktivitas, beri dukungan untuk distres psikologi seperti
depresi dan ansietas, serta berikan tranfusi darah apabila keletihan
berhubungan dengan penatalaksanaan medis.
2.2.7.6 Neutropenia
Penatalaksanaan anak dengan neutropenia secara farmakologi
adalah pemberian antibiotik oleh dokter untuk mengatasi infeksi
dan sepsis. Selain itu, cuci tangan yang benar, menjauhi orang
yang sedang sakit, cuci sayur-sayuran dan buah-buahan serta
makan-makanan bergizi dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
2.2.7.7 Anemia
Memberikan banyak istirahat, membatasi aktivitas terutama yang
menguras tenaga dan berikan makanan yang bernutrisi, serta
berikan terapi suportif yang diberikan pada anak adalah tranfusi
darah jika kadar hemoglobin anak dibawah normal.
2.2.7.8 Trombositopenia
Sikat gigi dengan sikat gigi yang lembut, hindari anak dari benda
tajam dan hindari aktivitas anak yang berisiko untuk terluka.
Tindakan yang tepat jika terjadi perdarahan adalah tekan dengan
lembut daerah yang mengalami perdarahan sampai perdarahannya
berhenti.
25
2.2.7.9 Infkesi
Mencegah keruskan kulit atau membrane mukosa, jangan
memberikan obat melalui naus, hindari apapun yang
mengakibatkan cedera, hindari orang atautempat yang berisiko
menimbulkan infeksi dan lakukan teknik mencuci tangan yang
tepat.
2.2.7.10 Diare
Penuhi kebutuan cairan tubuh untuk mencegah dehidrasi adan
gangguan keseimbangan elektrolit, berikan anak makanan yang
tinggi kalium dan natrium dan berikan makanan rendah serat serta
bersihkan area perineal dengan hati-hati setelah buang air besar.
2.3 Anak Usia Prasekolah dan Usia Anak Sekolah
2.3.1 Pengertian
Anak-anak prasekolah adalah mereka yang berusia 3-6 tahun, sedangkan
anak-anak sekolah adalah anak yang berusia 6-12 tahun (Kyle & Susan,
2015).
2.3.2 Pertumbuhan dan Perkembangan
Kecepatan pertumbuhan fisik pada anak prasekolah melambat dan semakin
stabil selama masa prasekolah. Postur anak prasekolah lebih langsing tetapi
kuat, anggun tangkas dan tegap (Wong, dkk, 2009). Menurut Wong, dkk
(2009) perkembangan anak usia prasekolah adalah:
26
2.3.2.1 Perkembangan psikososial (Erikson) anak prasekolah adalah
inisiatif versus bersalah. Mereka bermain, bekerja dan hidup
sepenuhnya serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang
sebenarnya dalam aktivitas mereka. Konflik timbul ketika anak
mengalami rasa bersalah karena tidak berperilaku atau bertindak
dengan benar.
2.3.2.2 Perkembangan kognitif (Piaget) anak prasekolah adalah fase
praoperasional meliputi fase prakonseptual (usia 2-4 tahun) dan
fase pikiran intuitif (usia 4-7 tahun) yaitu perpindahan egosentris
total menjadi kesadaran sosial dan kemampuan untuk
mempertimbangkan sudut pandang orang lain.
2.3.2.3 Perkembangan moral (Kohlberg) anak prasekolah adalah
prakonvensional meliputi pada orientasi hukuman dan kepatuhan
(usia 2-4 tahun) anak menilai suatu tindakan baik atau buruk
bergantung dari hasilnya berupa hukuman atau penghargaan dan
pada orientasi instrumental naïf, segala tindakan ditujukan kea rah
pemuasaan kebutuhan mereka dan lebih jarang ditujukan pada
orang lain.
Pada anak sekolah pertumbuhan tinggi dan berat badan terjadi lebih lambat.
Proporsi tubuh mereka tampak lebih ramping dengan kaki yang lebih
panjang dan proporsi tubuh bervariasi (Wong, dkk, 2009). Menurut Wong,
dkk (2009) perkembangan anak usia prasekolah adalah:
27
2.3.2.1 Perkembangan psikososial (Erikson) anak sekolah adalah rasa
industri versus rasa inferioritas. Pada rasa industri anak-anak usia
sekolah ingin sekali mengembangkan keterampilan dan
berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna bagi
sosial, sedangkan rasa inferioritas terjadi jik anak tidak mampu
atau tidak dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang
terkait dengan rasa pencapaian.
2.3.2.2 Perkembangan kognitif (Piaget) anak sekolah adalah operasional
konkret, ketika anak mampu menggunakan proses berpikir untuk
mengalami peristiwa dan tindakan.
2.3.2.3 Perkembangan moral (Kohlberg) anak usia sekolah mulai berubah
dari egosentrisme ke pola piker rasional yang lebih logis, mereka
juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan
standar moral yang didapatkan dari orang tua mereka.
2.3.3 Tugas Perkembangan Anak Prasekolah dan Anak Sekolah
Tugas perkembangan pada usia anak-anak dimulai dari usai 2-13 tahun.
Usia anak-anak dibagi menjadi dua periode yaitu usia prasekolah disebut
dengan anak-anak awal (early childhood) dan usia sekolah disebut dengan
anak-anak akhir (late childhood) (Jannah, 2015). Menurut Robert J.
Havighurts (Jannah, 2015) tugas perkembangan anak-anak awal adalah:
2.3.3.1 Toilet training, hakikat tugas yang harus dipelajari anak yaitu
buang air kecil dan buang air besar yang dapat diterima secara
sosial.
28
2.3.3.2 Belajar membedakan jenis kelamin. Melalui observasi, maka anak
akan tingkah lau yang berbeda jensi kelamin satu dengan yang
lain.
2.3.3.3 Belajar mencapai stabilitas fisiologis, anak akan cepat sekali
merasakan perubahan dari panas ke dingin, oleh karena itu anak
harus belajar keseimbangan terhadap perubahan.
2.3.3.4 Pembentukan konsep-konsep yang sederhana tentang realitas fisik
dan sosial.
2.3.3.5 Belajar membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Tugas perkembangan anak-anak usia akhir menurut Robert J. Havighurts
(Jannah, 2015) adalah:
2.3.3.1 Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk
permainan-permainan yang umum.
2.3.3.2 Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
makhluk yang sedang tumbuh.
2.3.3.3 Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya.
2.3.3.4 Mulai mengembangkan peran sosial pria dan wanita yang tepat.
2.3.3.5 Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial.
2.3.3.6 Mencapai kebebasan pribadi.
29
2.3.4 Masalah Kesehatan Anak Prasekolah dan Anak Sekolah
Masalah kesehatan anak prasekolah menurut Wong, dkk (2009) adalah:
2.3.4.1 Gangguan infeksi, yaitu penyakit menular, konjungtivitis dan
stomatitis.
2.3.4.2 Penyakit parasite intestinal, yaitu giardiasis dan enterobiasis
(cacing kremi).
2.3.4.3 Menelan agnes pencedera, yaitu keracunan logam berat dan
keeacunan timbal.
2.3.4.4 Perlakuan salah pada anak.
2.3.4.5 Pengabaian anak.
2.3.4.6 Penganiayaan fisik.
2.3.4.7 Penganiayaan seksual.
Menurut Wong, dkk (2009) masalah kesehatan anak sekolah adalah:
2.3.4.1 Masalah kesehatan umum, yaitu infeksi mononucleosis.
2.3.4.2 Sindrom overuse.
2.3.4.3 Fraktur akibat penekanan.
2.3.4.4 Perubahan pertumbuhan dan kematangan, yaitu postur tubuh
tinggi atau pendek dan abnomarlitas kromososm seks.
2.3.5 Aspek Penyakit Kronis Jangka-Panjang Kanak-Kanak
Ada dua masalah yang penting untuk memahami keterlibatan
perkembangan penyakit jangka-lama dimasa anak-anak yaitu
perkembangan pemahaman terhadap mekanisme penyakit anak dan
30
dampak penyakit tersebut pada berbagai tahap perkembangan anak. Anak
usia prasekolah atau anak usia sekolah cenderung memiliki pemahaman
yang nyata dan relatif dangkal mengenai penyakitnya yang terus
berlangsung sampai mereka dewasa. Mereka memandang penyakitnya
sebagai respon perilaku buruknya atau karena tidak menuruti peraturan,
anak pada usia tersebut percaya bahwa mereka akan sembuh bila menuruti
aturan. Pada kelompok usia ini, teori kuman tampaknya agak penting
dengan pengertian bahwa kuman menyebabkan hampir semua penyakit,
penyakit dicegah dengan menghindari kuman dan hasil yang baik dapat
diperbesar dengan minum obat, yang dianggap sebagai pembunuh kuman
(Behrman, dkk, 2000).
Rawat inap berulang kali di rumah sakit dapat mengganggu perkembangan
normal hubungan saling percaya dalam keluarga. Pada tahun-tahun
prasekolah akhir, ketika anak mengembangkan autonomi, mobilitas dan
pengendalian diri penyakit juga dapat menganggu fungsi perkembangan
penting ini. Pada awal usia sekolah, anak dapat menjadi sasaran godaan
teman-teman sekelasnya, mereka mungkin perlu absen dari sekolah karena
penyakti atau pengobatannya dan dapat kehilangan kesempatan untuk
bersosialisasi awal secara normal (Behrman, dkk, 2000).
31
2.4 Motivasi
2.4.1 Pengertian Motivasi
Menurut Notoatmodjo (2010) motivasi berasal dari bahasa Latin yang
berarti to move. Motivasi mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang
menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu. Motivasi adalah
didefinisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk
bertindak, mendorong kita mencapai tujuan tertentu dan membuat kita tetap
tertarik dalam kegiatan tertentu (Nursalam & Ferry, 2008). Motivasi adalah
segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu
(Nursalam, 2014).
2.4.2 Tujuan Motivasi
Menurut Taufik (2007) secara umum tujuan motivasi adalah untuk
menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan
kemaunnya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil dan
atau mencapai tujuan tertentu. Setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan.
makin jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, maka semakin
jelas pula bagaimana tindakan memotivasi itu dilakukan. Tindakan
memotivasi akan lebih dapat berhasil apabila tujuannya jelas dan didasari
oleh yang dimotivasi.
32
2.4.3 Jenis Motivasi
Menurut Nursalam (2014) jenis motivasi dibagi dua, yaitu:
2.4.3.1 Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri
individu.
2.4.3.2 Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang datangnya dari luar
individu.
2.4.5 Komponen Motivasi
Menurut Sarina & Madalena (2017) motivasi memiliki tiga komponen
pokok, yaitu:
2.4.5.1 Menggerakkan. Hal ini motivasi menimbulkan kekuatan pada
individu, membawa seseorang untuk bertindak dengan cara
tertentu.
2.4.5.2 Mengarahkan. Berarti motivasi mengarahkan tingkah laku dengan
demikian ia menyediakan suatu orientasi tujuan. tingkah laku
individu diarahkan terhadap sesuatu.
2.4.5.3 Menopang. Artinya, digunakan untuk menjaga dan menopang
tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan intensitas arah
dorong-dorongan dan kekuatan-kekuatan tertentu individu.
2.4.6 Unsur Motivasi
Motivasi mempunyai tiga unsur utama yaitu kebutuhan, dorongan dan
tujuan. kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan
antara apa yang mereka miliki dengan apa yang mereka harapkan.
33
Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan
harapan atau pencapaian tujuan. tujuan adalah akhir dari satu siklus
motivasi (Nursalam, 2014).
Pada dasarnya motivasi mempunyai sifat siklus (melingkar), yaitu motivasi
timbul, memicu perilaku tertuju kepada tujuan (goal) dan akhirnya setelah
tujuan tercapai, motivasi itu terhenti. Tapi itu akan kembali pada keadaan
semula apabila ada suatu kebutuhan lagi (Nursalam, 2014).
2.4.7 Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi, yaitu:
2.4.7.1 Kebutuhan
Kebutuhan berhubungan dengan apa yang dilakukan seseorang
untuk memenuhi kebutuhannya. Motivasi dimiliki seseorang pada
saat belum mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam
kehidupannya, kebutuhan yang telah terpuaskan tidak akan lagi
menjadi motivator (Nursalam, 2015).
2.4.7.2 Penguatan
Sesorang akan termotivasi jika dia memberikan respon pada
rangsangan terhadap pola tingkah laku yang konsisten sepanjang
waktu (Nursalam, 2015).
2.4.7.3 Harapan
Harapan menyatakan cara memilih dan bertindak dari berbagai
alternatif tingkah laku berasarkan harapannya (apakah ada
34
keuntungan yang diperoleh dari tiap lingkah lau) (Nursalam,
2015).
2.4.7.4 Dorongan keluarga
Dukungan atau dorongan dari anggota keluarga mengarahkan
perilaku ke arah kebutuhan atau pencapaian tujuan, mendorong
seseorang melakukan atau mencapai sesuatu (Taufik, 2007).
2.4.7.5 Pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman
orang lain dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni pengelihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari
penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan seseorang terhadap
objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.
Secara garis besar dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu
tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi
(Notoadmojo, 2014).
2.4.7.6 Ketersediaan fasilitas kesehatan
Fasilitas ini hakikatnya mendukung atau menmungkinkan
terwujudnya perilaku kesehatan (Notoadmojo, 2012).
2.4.7.7 Tingkat pendidikan
Pendidikan mempunyai pengaruh postif terhadap pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan. (Notoadmojo, 2012).
35
2.4.7.8 Sikap dan perilaku petugas kesehatan
Masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan
sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan
perilaku contoh dari para petugas kesehatan untuk berperilaku
sehat (Notoadmojo, 2012).
2.4.8 Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Orang Tua
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi orang tua, yaitu:
2.4.8.1 Pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman
orang lain dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni pengelihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari
penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan seseorang terhadap
objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.
Secara garis besar dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu
tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi
(Notoatmodjo, 2014). Dengan pengetahuan yang diperoleh
seseorang akan mengetahui manfaat dari saran atau nasihat
sehingga akan termotivasi dalam usaha meningkatkan status
kesehatan (Doloksaribu & Risma, 2014).
36
2.4.8.2 Umur
Umur seseorang mempengaruhi status kesehatan, dimana umur
produktif 15-49 tahun merupakan masa berkembangnya
keseriusan bekerja dan mempertahankan keberhasilan sehingga
dalam hal ini memotivasi orang tua udalam menjalani kemoterapi
agar kondisi kesehatan anaknya tetap terjaga sehingga tidak
mengganggu segala aktifitasnya, sedangkan umur yang kurang
produktif 50-59 tahun merupakan masa berkurangnya
kemampuan dan kekuatan terhadap mengatasi stres, berkurangnya
minat dan dan masa penerimaan atas perubahan-perubahan yang
terjadi sehingga mengurangi motivasi untuk dalam menajalani
kemoterapi. Seseorang dengan usia produktif akan lebih mudah
termotivasi untuk berperilaku sehat (Doloksaribu & Risma, 2014).
2.4.8.3 Sikap petugas kesehatan
Dukungan dari petugas kesehatan mempengaruhi tumbuhnya
motivasi baik. Dukungan tersebut dapat berasal dari informasi
atau dari penyuluhan tenaga kesehatan. Dengan penyampaian
pesan akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang ingin
diketahui sehingga dapat menimbulkan motivasi (Handian, dkk,
2017).
2.4.8.4 Penghasilan keluarga
Orang tua dengan penghasilan tinggi atau rendah sangat
mempengaruhi motivasi dalam meningkatkan status kesehatan,
dimana orang tua yang berpenghasilan tinggi akan memenuhi
37
semua pengobatan kemoterapi yang dilakukan anaknya.
Sedangkan orang tua yang berpenghasilan rendah adanya
keterbatasan untuk memenuhi pengobatan kemoterapi anaknya
dikarenakan biaya akomodasi, ketiadaan jaminan kesehatan saat
awal sakit, persepsi biaya pengobatan yang mahal sehingga
menunda untuk menjalani kemoterapi (Handian, dkk, 2017).
2.4.8.5 Pendidikan
Pendidikan merupakan proses kegiatan pada dasarnya melibatkan
tingkah laku individu maupun kelompok. Inti kegiatan pendidikan
adalah proses belajar mengajar. Hasil proses dari belajar mengajar
adalah terbentuknya tingkah laku, kegiatan dan aktivitas. Dengan
belajar formal atau informal, manusia akan mempunyai
pengetahuan, dengan pengetahuan yang diperoleh seseorang akan
mengetahui manfaat dari saran atau nasihat sehingga akan
termotivasi dalam usaha meningkatkan status kesehatan (Handian,
dkk, 2017).
2.4.8.6 Jarak tempuh ke RS
Jarak tempuh ke RS mempengaruhi motivasi orang tua dimana
waktu pengobatan yang lama membuat keluarga mengalami
kesulitan finansial karena orang tua harus berkali-kali ke rumah
sakit sehingga membuat biaya akomodasi juga meningkat
(Handian, dkk, 2017).
38
2.4.8.7 Dukungan keluarga
Dukungan keluarga dapat diperoleh dari orang tua yang dianggap
sudah pengalaman dalam banyak hal, sehingga nasihat atau saran
dari orang tua akan dilaksanakan. Selain itu dukungan keluarga
dapat diperoleh dari saudara yang merupakan orang terdekat dan
akan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
motivasi untuk berperilaku (Mushyama, 2015).
2.4.9 Cara Pengukuran Motivasi
Menurut Taufik (2007) motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung,
namun harus diukur. Beberapa cara mengukur motivasi, yaitu:
2.4.9.1 Tes proyektif
Salah satu teknik proyektif yang sangat dikenal adalah Thematic
Apperception Test (TAT). Dalam tes tersebut klien diberikan
suatu gambar dank lien diminta untuk dapat membuat cerita dari
gambar tersebut. Dari isi cerita tersebut kita dapat menelaah
motivasi yang mendasari diri klien.
2.4.9.2 Kuesioner
Salah satu cara untuk dapat mengukur motivasi seseorang adalah
dengan menggunakan kuesioner dimana klien diminta untuk
mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dapat
memancing motivasi klien. Sebagai contoh adalah EPPS
(Edward’s Personal Preference Schedule). Kuesioner terdiri dari
dua pertanyaan. Klien diminta untuk dapat memilih salah satu dari