Leukemia Limfoblastik Akut

32
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT Disusun Oleh: Muhammad Afiq Bin Abd Malek 11.2013.326 Pembimbing: dr. Opy Dyah Paramita, Sp.A FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK 1

description

Leukemia Limfoblastik Akut

Transcript of Leukemia Limfoblastik Akut

Page 1: Leukemia Limfoblastik Akut

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

Disusun Oleh:

Muhammad Afiq Bin Abd Malek

11.2013.326

Pembimbing:

dr. Opy Dyah Paramita, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

2015

1

Page 2: Leukemia Limfoblastik Akut

Daftar Isi Hal

Bab I

Pendahuluan 3

Bab II

Definisi 4

Morfologi Sel Darah Putih 4

Etiologi 8

Patofisiologi 9

Klasifikasi 11

Epidemiologi 13

Gejala Klinis & Diagnosis 18

Penatalaksanaan 19

Faktor Prognostik 23

Bab III

Kesimpulan 26

Daftar Pustaka 27

2

Page 3: Leukemia Limfoblastik Akut

Bab I

Pendahuluan

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang

ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam

darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah

berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal.

Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga

menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia akut dibagi atas leukemia

limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA).1-5

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan dari sel limfoid yang mematikan,

berdampak pada anak-anak dan dewasa, dengan insidens tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.

Kemajuan riset dalam pengobatan penyakit ini telah memberikan keberhasilan pada lebih 80%

anak. 6

Pendekatan yang digunakan pada kasus LLA bisanya sedikit berbeda pada pasien anak-

anak dengan dewasa. Sebagai contoh, transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama lebih

sering dilakukan pada dewasa sedangkan pada anak-anak hanya menggunakan regimen yang

biasanya terdiri dari agen kemoterapi seperti asparaginase, vincristine, kortikosteroid, dan

metotreksat.7

3

Page 4: Leukemia Limfoblastik Akut

Bab II

Pembahasan

I. Definisi Leukemia

Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai “darah putih” pada tahun

1874, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk

hematopoetik.

Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada satu atau

banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan tertekan pada waktu sel

leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan gejala klinis. 1-5,8

Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai gangguan

diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif

kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara

sistemik.

Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk

leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan

kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya meninggi. 1-5,8

II. Morfologi dan Fungsi Normal Sel Darah Putih

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh, yaitu berfungsi

melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah putih berkisar dari 4.000

sampai 10.000/mm3. Berdasarkan jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah

putih digolongkan menjadi 2 yaitu : granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan agranulosit

(leukosit mononuklear). 9

II.1 Granulosit Granulosit merupakan leukosit yang memiliki granula sitoplasma. Berdasarkan warna

granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis granulosit yaitu neutrofil, eosinofil,

dan basofil.9

a. Neutrofil

4

Page 5: Leukemia Limfoblastik Akut

Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh bakteri, sangat

fagositik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi untuk menyerang dan

menghancurkan bakteri, virus atau agen penyebab infeksi lainnya. 9

Neutrofil mempunyai inti sel yang berangkai dan kadang-kadang seperti terpisah- pisah,

protoplasmanya banyak bintik-bintik halus (granula). Granula neutrofil mempunyai afinitas

sedikit terhadap zat warna basa dan memberi warna biru atau merah muda pucat yang dikelilingi

oleh sitoplasma yang berwarna merah muda. Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling

banyak, mencapai 60% dari jumlah sel darah putih. Neutrofil merupakan sel berumur pendek

dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari dalam jaringan ikat,

setelah itu neutrofil mati. 9

Gambar 1. Neutrofil

b. Eosinofil

Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat saat terjadi alergi

atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma yang kasar dan besar. Sel

granulanya berwarna merah sampai merah jingga. 9

Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam sebelum

bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 8-12 hari dari jangka

hidupnya. Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit dari neutrofil, hanya 2-4% dari

jumlah sel darah putih. 9

5

Page 6: Leukemia Limfoblastik Akut

Gambar 2. Eosinofil

c. Basofil

Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang dari 1% dari

jumlah sel darah putih. Basofil memiliki sejumlah granula sitoplasma yang bentuknya tidak

beraturan dan berwarna keunguan sampai hitam. 9

Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk meningkatkan

aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu mencegah pembekuan darah

intravaskular. 9

Gambar 3. Basofil

II.2 Agranulosit

Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit terdiri dari

limfosit dan monosit

6

Page 7: Leukemia Limfoblastik Akut

a. Limfosit

Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil, berkisar 20-35%

dari sel darah putih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas. Limfosit memiliki inti yang bulat

atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma yang sempit berwarna biru. 9

Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T bergantung timus,

berumur panjang, dibentuk dalam timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam

folikel-folikel kelenjar getah bening. Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan

selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang

dengan semestinya, berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin,

sel-sel ini bertanggung jawab atas respons kekebalan humoral. 9

Gambar 4. Limfosit

b. Monosit

Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari sel darah putih,

memiliki waktu paruh 12-100 jam di dalam darah. Intinya terlipat atau berlekuk dan terlihat

berlobus, protoplasmanya melebar, warna biru keabuan yang mempunyai bintik-bintik sedikit

kemerahan. 9

Monosit memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-sel cedera dan mati,

fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme. 9

7

Page 8: Leukemia Limfoblastik Akut

Gambar 5. Monosit

III. Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik

(Trisomi 21, sindrom Bloom, anemia Fanconi, dan ataksia telangiektasia) mempunyai

kerentanan yang tinggi untuk menderita leukemia.1,6,9

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan postnatal. Moskow

melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal atau maternal terhadap

pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko leukemia pada keturunannya.

Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan hubungan yang signifikan.1

Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti yang dilaporkan di Hiroshima dan

Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi in utero

secara signifikan tidak mengarah kepada peningkatan insidens leukemia, demikan juga halnya

dengan radiasi dosis rendah namun hal ini masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-Ray

abdomen selama trimester I kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali.

Selama 40 tahunan metode ini digunakan secara rutin, tetapi saat ini pemeriksaan tersebut amat

jarang dan hanya sedikit kasus yang bias dijelaskan hubungannya dengan faktor ini.1,2,9

Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada. Beberapa studi

tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan peningkatan 2 kali diantara anak-

anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi, namun tidak signifikan karena jumlah anak

yang terpapar sedikit.1,9

8

Page 9: Leukemia Limfoblastik Akut

Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak adalah

peranan infeksi virus dan atau bakteri Ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama selama

kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi

dari respons terhadap infeksi pada umumnya.1

Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder setelah

kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin disebabkan oleh obat

pengalkilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya kelainan kromosom nomer 5 dan 7

dan memiliki FAB tipe M1 atau M2. Terdapat pula hubungan antara penggunaan

epipodofilotoksin dengan LMA sekunder. Diperkirakan bahwa anak-anak dengan LLA yang

mendapat terapi epipodofilotoksin dosis tinggi (VP-16 dan atau VM 26) memiliki risiko

kumulatif 5-12% menjadi LMA sekunder. LMA-nya berbeda dengan yang mendapat terapi obat

pengalkilasi yaitu terdapat periode laten yang lebih pendek dan mayoritas melibatkan perubahan

kromosom 11q23 dan sebagian FAB tipe M4 atau M5. Mielodisplasia dan LMA sekunder juga

meningkat pada pasien yang mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel stem autologus.1

Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia pada anak seperti

yang dilaporkan oleh Cnatingius dkk (1995). Faktor-faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada

ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat badan lahir lebih dari 4500 gram, dan

hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang

mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada bayi terutama LMA.1

IV. Patofisiologi

Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap

infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan

kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang

lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti

biasanya. Sel leukemi memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap

infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel

darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.

9

Page 10: Leukemia Limfoblastik Akut

Gambar 6. Proses Hematopoesis Normal

Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal

yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan

angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur

termasuk translokasi (penyusunan kembali), delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua

kromosom atau lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah

dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.

Gambar 7. Proses Proliferasi Abnormal pada Leukemia

10

Page 11: Leukemia Limfoblastik Akut

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih

mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut

seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang

kompleks). Translokasi kromosom mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel,

sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai

sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang

normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati, limpa, kelenjar

getah bening, ginjal, dan otak

V. Klasifikasi Leukemia Limfoblastik Akut

LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi

sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-

alat dalam) dan kegagalan organ. 1,9

LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%).

Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-

anak akan hidup 2-3 bulan setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari

sumsum tulang. 1,9

Gambar 8. Leukemia Limfositik Akut

Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian

besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini

member dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena

homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk lebih memudahkan

pemakaiannya dalam klinik sebagai berikut1:

11

Page 12: Leukemia Limfoblastik Akut

L–1 terdiri dari sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak inti umumnya

tidak tampak dan sitoplasma sempit

L–2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih

kasar dengan satu atau lebih anak inti

L–3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak

ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak akan

menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun dampak

karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.1

VI. Epidemiologi

i. Umur

Berdasarkan data The Leukemia and Lymphoma Society (2009) di Amerika Serikat, leukemia

menyerang semua umur. Pada tahun 2008, penderita leukemia 44.270 orang dewasa dan 4.220

pada anak-anak. Biasanya jenis leukemia yang menyerang orang dewasa yaitu LMA dan LLK

sedangkan LLA paling sering dijumpai pada anak-anak.

Menurut penelitian Kartiningsih L.dkk (2001), melaporkan bahwa di RSUD Dr. Soetomo

LLA menduduki peringkat pertama kanker pada anak selama tahun 1991-2000. Ada 524 kasus

atau 50% dari seluruh keganasan pada anak yang tercatat di RSUD Dr. Soetomo, 430 anak

(82%) adalah LLA, 50 anak (10%) menderita nonlimfoblastik leukemia, dan 42 kasus

merupakan leukemia mielositik kronik.

Penelitian Simamora di RSUP H. Adam Malik Medan tahun2004-2007 menunjukkan bahwa

leukemia lebih banyak diderita oleh anak-anak usia <15 tahun khususnya LLA yaitu 87%. Pada

usia 15-20 tahun 7,4%, usia 20-60 tahun 20,4%, dan pada usia >60 tahun 1,8%.

Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens rata-

rata 4 - 4,5 kasus pertahun per 100000 anak dibawah 15 tahun. Di negara berkembang 83%

leukemia limfoblastik akut, 17% leukemia mieloblastik akut, lebih tinggi pada anak kulit putih

dibandingkan dengan kulit hitam. Di Jepang mencapai 4 per 100000 anak dan diperkirakan tiap

tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mendapai 2,76

per 100000 anak usia 1 – 4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5 – 6 pasien leukemia baru setiap

12

Page 13: Leukemia Limfoblastik Akut

bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun

2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.1

Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia akut pada anak dan terdiri

dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) sebanyak 82% dan leukemia mieloblastik akut

(LMA) sebanyak 18%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh leukemia pada anak. Di

RSUP Dr. Sardjito LLA 79%, LMA 9%, dan sisanya leukemia kronik. Sementara itu, di RSU

Dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88% dan, LMA 8%, dan leukemia kronik 4%.1

ii. Jenis Kelamin

Insiden rate untuk seluruh jenis leukemia lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan.

Pada tahun 2009, diperkirakan lebih dari 57% kasus baru leukemia pada laki-laki. Berdasarkan

laporan dari Surveillance Epidemiology And End Result (SEER) di Amerika tahun 2009,

kejadian leukemia lebih besar pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan

57,22%:42,77%.

Menurut penelitian Simamora (2009) di RSUP H. Adam Malik Medan, proporsi penderita

leukemia berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan

(58%:42%).

Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1 untuk LMA.

Puncak kejadian pada umur 2 – 5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan ALL, hal ini

disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian ini tidak tampak pada

kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan di

negara industri yang belum diketahui.1

iii. Ras

IR di negara barat adalah 4 per 100.000 anak-anak di bawah usia 15 tahun. Angka kejadian

terendah terdapat di Afrika (1,18-1,61/100.000) dan tertinggi di antara anak-anak Hispanik

(Costa Rica 5,94/100.000 dan Los Angeles 5,02/100.000). IR ini lebih umum pada ras kulit putih

(42,1 per 100.000 per tahun) daripada ras kulit berwarna (24,3 per 100.000 per tahun).

Berdasarkan data The Leukemia and Lymphoma Society (2009), leukemia merupakan salah

satu dari 15 penyakit kanker yang sering terjadi dalam semua ras atau etnis. Insiden leukemia

paling tinggi terjadi pada ras kulit putih (12,8 per 100.000) dan paling rendah pada suku Indian

Amerika/penduduk asli Alaska (7,0 per 100.000).

13

Page 14: Leukemia Limfoblastik Akut

VII. Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia, neutropenia,

infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme. Gejala klinis LLA sangat

bervariasi. Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan

dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain

itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi, hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa

dijumpai terutama pada sternum, tibia dan femur. 1,2

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis

leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang,

dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa

pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan

sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan

biologi molekuler.1,2,4,5,8

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis

leukosit dan trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat apus

darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional

(protokol Jakarta) pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah lekosit

>50000/µL, ada massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah

sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3. Massa

mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus

dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.1

Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi sumsum tulang

(BMA) secara morfologis, immunofenotip dan karakter genetik. Leukemia dapat menjadi kasus

gawat darurat dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi secara

sebagai akibat leukostasis.1,2,4,5,8

Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa permasalahan,

baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang tua atau keluarga. Aspirasi

sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat menimbulkan nyeri dan ketakutan pada anak dan

kekhawatiran pada orang tua, sehingga perlu penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang

14

Page 15: Leukemia Limfoblastik Akut

dan pendekatan psikologi. Tindakan tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi

perkembangan penyakit atau kemajuan pengobatan, sesuai jadwal yang sudah ditentukan.

Edukasi dan pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan

pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan

rasa percaya diri pasien.1

VIII. Penatalaksanaan Medikamentosa

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi

pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara lain

berupa pemberian transfusi darah atau trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk

meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek

psikososial. 1,2,4,5,9

Terapi kuratif atau spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa

kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susuan saraf pusat dan

rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi akan menentukan protokol kemoterapi. Saat

ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu

protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.1

Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda

(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat

dicapai remisi komplit, remisi parsial, atau gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif

tambahan setelah remisi komplit dan untuk profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil

yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada

pasien risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih

dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara langsung

diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infus

berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2).

Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan

memberikan radiasi cranial 18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis

tinggi.1,2,4,5,9

15

Page 16: Leukemia Limfoblastik Akut

Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkeptopurin tiap hari dan

metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun pertama.

Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2 – 2,5 tahun dan tidak ada

keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau

dengan melihat leukosit atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan.1

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis

leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas kurang 5% dari sel berinti,

hemoglobin lebih dari 12g/dL tanpa transfusi, jumlah leukosit lebih dari 3000/µL dengan hitung

jenis leukosit normal, jumlah granulosit lebih dari 2000/µL, jumlah trombosit lebih dari

100000/µL, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.1

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien, 2-3% dari pasien

anak akan meninggal dalam CCR (continuous complete remission) dan 25-30% akan kambuh.

Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsun tulang yang terjadi

(dalam 18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival)

sementara relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis yang

lebih baik, khususnya relaps testis dimana long-term survival 50-60%. Tetapi relaps harus lebih

agresif untuk mengatasi resistensi obat.1

Kemoterapi

Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase yang

digunakan untuk semua orang.

a. Tahap 1 (terapi induksi)

Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar sel-sel

leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan

perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal

dalam proses membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi

yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.

b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)

Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan

untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang

resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.

16

Page 17: Leukemia Limfoblastik Akut

c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)

Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang

digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah. Pada tahap ini

menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi

radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.

d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)

Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini biasanya

memerlukan waktu 2-3 tahun.

Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak

dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai

remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang dicapai dengan

kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP.

17

Page 18: Leukemia Limfoblastik Akut

18

Page 19: Leukemia Limfoblastik Akut

Gambar 10. Protokol Terapi LLA

Radioterapi

Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sinar

berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya

sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan

sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan

karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.

Transplantasi Sumsum Tulang

Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak

dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis

tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk

mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80%

angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah

terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai. Pada penderita

LMA transplantasi bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap

pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap

pengobatan.

Terapi Suportif

Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan penyakit

leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia

dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk

mengatasi infeksi.

IX. Faktor Prognostik

Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam kelompok risiko

biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik

itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance.1

Faktor prognostik LLA adalah sebagai berikut:

1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin merupakan faktor

prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier antara jumlah

19

Page 20: Leukemia Limfoblastik Akut

leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah

leukosit lebih dari 50000/µL mempunyai prognosis yang buruk. 1

2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat didiagnosis dan hasil

pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai

prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara itu. Khusus pasien

dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling

buruk. Hal ini dikatakann karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler tertentu.

Leukemia bayi berhubungan dengan gen re-arrangement pada kromosom 11q23 seperti

t(4;11) atau t(11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi. 1

3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfoblas saat diagnosis juga mempunyai

nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi “kappa” dan

“lambda” pada permukaan blas diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Dengan

adanya protokol spesifik untuk sel-B, prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia

juga mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai risiko tinggi. Dengan

terapi intensif, sel-T leukemia murni tanpa faktro prognostik buruk yang lain, mempunyai

prognosis yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi deng protokol risiko

tinggi. 1

4. Nilai prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai penelitian, sebagian

besar menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik dari

anak laki-laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-

T yang tinggi, hiperleukositosis dan organomegali serta serta massa mediastinum pada

anak laki-laki. Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan

metabolisme merkaptopurin dan metotreksat. 1

5. Respons terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1 minggu

terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang pada induksi hari ke

7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk. 1

6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperpolid (lebih dari 50

kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang baik. LLA

hipodiploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t(1;19). Translokasi t(9;22)

pada 5% anak atau t(4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk. 1

20

Page 21: Leukemia Limfoblastik Akut

Bab III

Kesimpulan

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang

ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam

darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah

berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal.

Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga

menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia akut dibagi atas leukemia

limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA).

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan dari sel limfoid yang mematikan,

berdampak pada anak-anak dan dewasa, dengan insidens tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.

Kemajuan riset dalam pengobatan penyakit ini telah memberikan keberhasilan pada lebih 80%

anak. Pendekatan yang digunakan pada kasus LLA bisanya sedikit berbeda pada pasien anak-

anak dengan dewasa. Sebagai contoh, transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama lebih

sering dilakukan pada dewasa sedangkan pada anak-anak hanya menggunakan regimen yang

biasanya terdiri dari agen kemoterapi seperti asparaginase, vincristine, kortikosteroid, dan

metotreksat.

21

Page 22: Leukemia Limfoblastik Akut

Daftar Pustaka

1. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia akut. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak

IDAI. 2012. Hal 236-45.

2. Acute Lymphoblastic Leukemia. Leukemia and Lymphoma Society. 2014. Hal 6-20.

3. Roboz GJ, et all. Advances in Treatment of Relapsed/Refractory Acute Lymphoblastic

Leukemia. Hematology & Oncology A Peer-Reviewed Journal. 2014 Hal 8-18.

4. Blood Cancer Acute Lymphoblastic Leukemia. College of American Pathologists. 2011.

Hal 1-2.

5. Acute lymphoblastic leukaemia (ALL) in children. Macmillan Cancer Support. 2013. Hal

1-5.

6. Pui CH, et all. Acute Lymphoblastic Leukemia. www.thelancet.com Vol 371 March 22,

2008. Hal 1030-9.

7. Sallan SE. Acute Lymphoblastic Leukemia in Adults and Children. American Society of

Hematology. 2006. Hal 128-31.

8. Gokbuget N et all. Acute Lymphoblastic Leukemia. Onkopedia. 2012. Hal 2-14

9. Childhood Leukemia. American Cancer Society. 2015. Hal 1-49.

22