BAB II TINJAUN TEORI 2.1 Leukemia Limfoblastik Akut

28
12 BAB II TINJAUN TEORI 2.1 Leukemia Limfoblastik Akut 2.1.1 Pengertian LLA Menurut Kyle dan Susan (2016) leukemia merupakan gangguan utama pada sumsum tulang, yaitu elemen normal digantikan dengan sel darah putih abnormal. Normalnya, sel limfoid tumbuh dan berkembang menjadi limfosit dan sel mieloid tumbuh dan berkembang menjadi sel darah merah, granulosit, monosit dan trombosit. Pada semua jenis leukemia, sel darah putih yang abnormal mengambil alih sumsum yang normal. Sel darah merah dan trombosit juga terganggu. Sel leukemia dapat berprofelasi dan dilepaskan ke dalam darah perifer yang menginvasi organ tubuh yang menyebabkan metastasis (Roshdal & Mary 2015). 2.1.2 Jenis Leukemia Menurut Kyle dan Susan (2016) leukemia dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronik, limfositik atau mielogenus. Leukemia akut merupakan penyakit yang berkembang cepat yang menjangkiti sel yang tidak terdiferensiasi/membelah atau imatur, mengakibatkan sel tanpa (kehilangan) fungsi normal. Leukemia kronik berkembang lebih lambat, memungkinkan maturasi dan diferensiasi sel sehingga dapat

Transcript of BAB II TINJAUN TEORI 2.1 Leukemia Limfoblastik Akut

12

BAB II

TINJAUN TEORI

2.1 Leukemia Limfoblastik Akut

2.1.1 Pengertian LLA

Menurut Kyle dan Susan (2016) leukemia merupakan gangguan utama

pada sumsum tulang, yaitu elemen normal digantikan dengan sel darah

putih abnormal. Normalnya, sel limfoid tumbuh dan berkembang menjadi

limfosit dan sel mieloid tumbuh dan berkembang menjadi sel darah merah,

granulosit, monosit dan trombosit. Pada semua jenis leukemia, sel darah

putih yang abnormal mengambil alih sumsum yang normal. Sel darah

merah dan trombosit juga terganggu. Sel leukemia dapat berprofelasi dan

dilepaskan ke dalam darah perifer yang menginvasi organ tubuh yang

menyebabkan metastasis (Roshdal & Mary 2015).

2.1.2 Jenis Leukemia

Menurut Kyle dan Susan (2016) leukemia dapat diklasifikasikan menjadi

akut atau kronik, limfositik atau mielogenus. Leukemia akut merupakan

penyakit yang berkembang cepat yang menjangkiti sel yang tidak

terdiferensiasi/membelah atau imatur, mengakibatkan sel tanpa

(kehilangan) fungsi normal. Leukemia kronik berkembang lebih lambat,

memungkinkan maturasi dan diferensiasi sel sehingga dapat

13

mempertahankan beberapa fungsi normal mereka. Leukemia akut,

termasuk leukemia limfoblastik akut (LLA), dan leukemia mielogenus akut

(LMA). Sedangkan, leukemia kronik termasuk leukemia limfoblastik

kronik (LLK) dan leukemia mielogenus kronik (LMK).

2.1.3 Insidensi LLA

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah jenis kanker anak yang paling

umum terjadi, LLA bertanggung jawab untuk 80% kasus leukemia pada

anak. Insiden palimg tinggi terjadi anak-anak yang berusi antara 3 dan 5

tahun (Betz & Linda, 2002). LLA merupakan bentuk kanker paling umum

terjadi pada anak. 85 % kasus LLA terjadi pada anak antara usia 2 dan 10

tahun (Kyle & Susan, 2016). Sebagian besar leukemia yang terjadi pada

masa kanak-kanak adalah LLA dan sekitar 25% kanker ini terjadi pada

anak berusia kurang dari 15 tahun, dengan insiden yang paling tinggi

terjadi pada usia antara 2dan 4 tahun. LLA lebih sering terjadi pada anak

laki-laki dan orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam (Axton &

Terry, 2014).

2.1.4 Etiologi LLA

Etiologi leukemia anak tidak diketahui dan kemungkinan bersifat

multifaktoral. Faktor genetik dan lingkungan beperan penting (Marcdante,

dkk, 2014). Menurut Kyle dan Susan (2016) penyebab pasti LLA tidak

diketahui. Faktor genetik dan abnormalitas kromosom dapat berperan

dalam perkembangan LLA. Menurut Tehuteru (2011) penyebab LLA

14

belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan bahwa kanker termasuk

leukemia dapat terjadi akibat infeksi empat faktor, yaitu keturunan, zat

kimia, virus dan radiasi.

2.1.5 Patofisiologi LLA

Penyebab LLA tidak diketahui. Faktor genetik dan abnormalitas dapat

berperan dalam perkembangan LLA. Pada LLA, limfoblast yang abnormal

melimpah dalam jaringan pembentuk darah. Limfoblast bersifat mudah

pecah dan imatur, menurunkan kemampuan terhadap sel darah putih

normal untuk melawan infeksi. Pertumbuhan limfoblast berlebihan dan sel

abnormal menggantikan sel normal dalam sumsum tulang. Sel leukemia

yang berproliferasi menunjukkan kebutuhan metabolik yang besar,

menekan sel tubuh normal terkait kebutuhan zat gizi dan menyebabkan

keletihan, penurunan berat badan atau henti tumbuh dan kelelahan otot.

Pada sumsum, sel darah putih yang abnormal ini juga menggantikan sel

induk yang memproduksi sel darah merah dan produk darah lainnya

(seperti trombosit). Sumsum tulang menjadi tidak mampu mempertahankan

sel darah merah, sel darah putih dan trombosit, sehingga menyebabkan

penurunan jumlah produk tersebut. Pada akhirnya, anak mengalami anemia

dan trombositopenia. Karena sumsum tulang berekspansi atau sel leukemia

menginfiltrasi tulang, nyeri sendi dan tulang dapat terjadi. Sel leukemia

dapat menembus nodus limfe, menyebabkan limfadenopati difus, atau hati

dan limpa, menyebabkan hepatosplenomegali (Axton & Terry, 2014; Kyle

& Susan, 2016).

15

2.1.6 Manifestasi Klinis LLA

Gejala leukemia disebabkan oleh anemia, neutropenia dan trombositopenia-

kerusakan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Gejalanya

meliputi demam, malaise, anoreksia, keletihan, nyeri tulang, memar dan

perdarahan. Klien juga akan mengalami anemia, pembesaran nodus limfe,

berkeringat malam, sesak napas, penurunan berat badan, nyeri tekan pada

sternum dan limpa dan keterlibatan liver (Roshdal & Mary, 2015).

Tanda dan gejala lainnya dapat meliputi anoreksia, iritabilitas, keletihan,

letargi, sakit kepala, demam, pucat, nyeri tulang, memar dan perdarahan.

Triad neutropenia, anemia dan trombositopenia tampak pada hitung sel

darah lengkap (complete blood cell count, CBC) (Axton & Terry, 2014).

2.1.7 Komplikasi LLA

Komplikasi yang terjadi apabila pasien dengan ALL tidak tertangani adalah

gagal sumsum tulang, infeksi, hepatomegali, splenomegali dan

limfadenopati (Betz & Linda, 2002).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang LLA

Jika seorang anak dicurigai menderita leukemia berdasarkan manifestasi

klinis dan pemeriksaan fisik, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan

untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan labotarium dan diagnostik

umumyang diprogramkan untuk LLA antara lain (Kyle & Susan, 2016;

Marcdante, dkk, 2014):

16

2.1.8.1 Hitung darah lengkap: temuan abnormal mencakup kadar

hemoglobin dan hematocrit yang rendah, penurunan hitung sel

darah merah, penurunan hitung trombosit dan hitung sel darah

puti yang rendah, normal atau tinggi; 15-20% pasien memiliki

hitung leukosit lebih dari 50.000/mm3.

2.1.8.2 Apus darah perifer dapat menunjukkan blast.

2.1.8.3 Aspirasi sumsum tulang akan menunjukkan lebih dari 25%

limfoblast. Aspirasi sumsum tulang juga diperiksa untuk

mengetahui imunofenotip (limfoid vs mieloid dan kadar maturitas

sel kanker) dan anlisis sitogenetik (menentukan abnormalitas pada

jumlah dan struktur kromosom). Imunofenotip dan analisis

sitogenetik digunakan untuk menetukan klasifikasi leukemia,

yang membantu memandu terapi. Analisis sitogenik pada LLA

mengidentifikasi kelainan kromosom pada t(12;21) lebih sering

terjadi (sekitar 20% dari seluruh kasus) dan dihubungkan dengan

prognosis baik, serta t(9;22) terjadi pada kurang dari 5% kasus

dan dihubungkan dengan prognosis yang baik.

2.1.8.4 Pungsi lumbal akan menunjukkan apakah sel leukemik telah

menginfiltrasi SSP.

2.1.8.5 Pemeriksaan fungsi hati dan BUN serta kadar kreatinin

menentukan fungsi hati dan ginjal yang jika abnormal dapat

menghindarkan terapi dengan agens kemoterapi tertentu.

2.1.8.6 Radiografi dada dapat menunjukkan pneumonia atu massa

mediastinal.

17

2.1.9 Pengobatan LLA

Manajemen terapeutik anak yang mengalami LLA berfokus pada

pemberian kemoterapi untuk mengeradikasi sel leukemik dan

mengembalikan fungsi normal sumsum tulang. Terapi kemoterapi terbagi

melalui empat tahap, yaitu: (Kyle & Susan, 2016)

Tabel 2.1 Tahap terapi leukemia

Tahap Tujuan Lama Medikasi yang Biasa

Induksi Induksi cepat remisi

sempurna

3 hingga 4

minggu

Steroid oral, vinkristin IV, L-

asparginase IM, daunomisin

(risiko tinggi)

Konsolidasi

(intensifikasi)

Memperkuat remisi,

mengurangi jumlah

sel leukemik

Beragam Metotreksat dosis tinggi, 6-

merkaptopurin; kemungkinan

siklofosfamid, sitarabin,

asparaginase, tioguanin,

epipodofilotoksin

Rumatan Mengeliminasi

semua sel leukemik

residu

2 hingga 3

tahun

Dosis rendah: 6-merkaptopurin

setiap hari, metotrkesat setiap

minggu, vinkristin IV dan

steroid oral intermiten

Profilaksis SSP Mengurangi risiko

perkembangan

penyakit SSP

Diberikan

secara berkala

pada semua

tahap

Kemoterapi intratekal; radiasi

kranial digunakan secara jarang

Sumber: Tahap terapi leukemia (Kyle & Susan, 2016)

2.2 Kemoterapi

2.2.1 Pengertian Kemoterapi

Menurut Roshdal dan Mary (2015) istilah kemoterapi menyatakan

penggunaan agens kimiawi untuk menghancurkan sel yang bersifat kanker.

18

2.2.2 Prinsip Kemoterapi

Prinsip kerja agen kemoterapi yaitu mengganggu salah satu siklus sel baik

itu sel kanker maupun sel yang dapat tumbuh cepat. Siklus sel merupakan

siklus yang dibutuhkan oleh sel yang terdiri dari beberapa fase untuk

bereproduksi, menggantikan sel yang rusak atau mati dan menambah

jumlah sel pada jaringan yang tumbuh. Siklus sel terdiri dari 2 periode,

yaitu interfase dimana sel tidak membelah dan fase mitosis dimana sel

membelah (Hapsari, 2012).

2.2.3 Tujuan Kemoterapi

Menurut Roshdal dan Mary (2015) tujuan kemoterapi adalah merusak

DNA di dalam sel abnormal dan menyebabkan sel menghancurkan dirinya

sendiri (apoptosis). Terdapat beberapa indikasi terapeutik untuk

kemoterapi, termasuk:

2.2.3.1 Untuk mengatasi penyebaran atau metastasis penyakit karena

kemoterapi merupakan terapi sistemik bukan terapi lokal.

2.2.3.2 Untuk memberikan penyembuhan pada klien jenis kanker

tertentu, bahkan dalam kanker stadium lanjut; misalnya leukemia

akut, beberapa jenis limfoma dan kanker testis.

2.2.3.3 Untuk mengontrol atau mengurangi kesulitan yang berhubungan

dengan tumor secara temporer-terapi paliatif bukan terapi untuk

menyembuhkan.

19

2.2.3.4 Untuk digunakan sebagai terapi adjuvan (bantuan) setelah

pembedahan untuk mengatasi metastasis atau berupaya mencegah

terjadinya metastasis.

Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki jumlah sel yang secara

proporsional lebih tinggi dan membelah kapanpun karena mengalami

replikasi yang tidak terbatas dan pertumbuhan yang progresif. Agens

kemoterapeutik dirancang agar efektif selama satu fase atau lebih

pembelahan sel. Karena proses replikasi abnormalnya, sel ganas sangat

rentan terhadap agens kemoterapeutik (Roshdal & Mary, 2015).

2.2.4 Cara Kemoterapi

Menurut Langhorne, dkk (2007) kemoterapi dapat digunakan dalam lima

cara:

2.2.4.1 Terapi adjuvant: suatu kemoterapi yang digunakan bersamaan

dengan modalitas pengobatan lain (operasi, terapi radiasi, atau

bioterapi) dan ditayangkan dalam mengobati micrometastases.

2.2.4.2 Kemoterapi neo-adjuvant: pemberian kemoterapi untuk

mengecilkan tumor sebelum diangkat melalui pembedahan.

2.2.4.3 Kemoterapi induksi: terapi obat diberikan sebagai pengobatan

utama untuk pasien yang menderita kanker dimana tidak ada

pengobatan alternative.

2.2.4.4 Kombinasi kemoterapi: penguasaan dua atau lebih agen

kemoterapi untuk mengobati kanker. Hal ini memungkinkan

setiap obat untuk meningkatkan tindakan lain atau bertindak

20

secara sinergis dengannya (contoh kombinasi kemoterapi adalah

rejimen MOPP yang diketahui secara luas dari nitorgen mustard,

vincristine (oncovin), procarbazine dan prednison, yang

digunakan untuk mengobati pasien dengan Hodgin's penyakit).

2.2.4.5 Terapi myeloblative: terapi dosis intensif yang digunakan untuk

persiapan transplantasi sel induk darah perifer.

2.2.5 Agens Kemoterapeutik

Agens kemoterapeutik diklasifikasikan ke dalam lima katagori, yaitu

(Roshdal & Mary, 2015):

Tabel 2.2 Agens kemoterapeutik

Agens Tujuan Terapi Obat

Agens alkilase

(Nitrosurea)

Mengganggu sintesis DNA Carboplatin (paraplatin)

Cisplatin (Platinol)

Siklofosfamid (Cytoxan),

Dakarbazin (DTIC)

Ifosfamid (Ifex)

Tiotepa (TESPA, TSPA)

Antibiotik Mencegah replikasi DNA Bleomisin (blenoxane)

Doksorubisin HCl (Adriamycin)

Idarubisin (Idamycin)

mitomisin-C (mutamycin)

plikamisin, mitramisin (Mitchracin)

Antimetabolit Menghambat fungsi mentabolit

yang diperlukan untuk sintesis

atau replikasi DNA

Sitarabin (Ara-C)

Fludarabin

Fluorouracil, 5-Fluorouracil, 5-FU

(Adrucil, Efudex)

Gemitabicin (Gemzar)

Metotreksat, natrium metotreksat

(Folex, Mexate)

Antimitotik Mengganggu mitosis sel Vinblastine sulfat (Velban, Velsar)

Vinkristin sulfat (Oncovin)

Vinorelbin (nNavelbin)

Agens hormonal Menghasilkan regresi kanker

metastatatik secara sementara

Finasterid (Proscar)

Flutamid (Eulexin)

Leuprolid (Lupron)

Tamosikfen (Nolvadex)

Sumber: Agens kemoterapeutik (Roshdal & Mary, 2015)

21

2.2.6 Efek Samping Kemoterapi

Menurut Wong, dkk (2009); Roshdal dan Mary (2015); Hapsari (2012)

kemoterapi akan menimbulkan efek samping, yaitu:

2.2.6.1 Mual dan muntah.

Mual dan muntah terjadi setelah sesaat setelah pemberian obat

kemoterapi dan disebabkan oleh terapi radiasi kranium.

2.2.6.2 Alopesia

Kemoterapi dapat merusak sel normal, terapi tersebut

mempengaruhi semua sel yang sering melakukan pembelahan

(termasuk pada sel folikel rambut selain pada sel kanker) yang

menyebabkan rambut menjadi rontok.

2.2.6.3 Stomatitis

Klien menerima kemoterapi atau radiasi rentan terhadap stomatitis

(inflamasi mulut).

2.2.6.4 Anoreksia

Penurunan selera makan merupakan akibat langsung yang

ditimbulkan oleh kemoterapi, serta ulkus pada mulut

menyebabkan memperberat gejala anoreksia.

2.2.6.5 Keletihan

Keletihan hampir menyerang semua penderita kanker, keletihan

mungkin berasal dari penyakit, terapi atau distres psikologik.

22

2.2.6.6 Neutropenia

Agen siktoksik merupakan salah satu penyebab anak mengalami

neutropenia. Neutropenia menyebabkan pasien berisiko lebih

tinggi terjadinya infeksi.

2.2.6.7 Anemia

Pertumbuhan limfoblast berlebihan dan sel abnormal

menggantikan sel normal dalam sumsum tulang. Sumsum tulang

menjadi tidak mampu mempertahankan kadar normal sel darah

merah, trombosit dan sel darah putih.

2.2.6.8 Trombositopenia

Pertumbuhan limfoblast berlebihan dan sel abnormal

menggantikan sel normal dalam sumsum tulang. Sumsum tulang

menjadi tidak mampu mempertahankan kadar normal sel darah

merah, trombosit dan sel darah putih.

2.2.6.9 Infeksi

Kemoterapi sering mengubah klien menjadi lebih rentan terhadap

infeksi karena hitung sel darah putih rendah (neutropenia).

2.2.6.10 Diare

Salah satu efek samping yang paling menimbulkan distres dalam

pemberian obat-obatan kemoterapeutik adalah kerusakan sel

mukosa GI, yang dapat menimbulkan ulkus dimana pun

disepanjang saluran pencernaan. Ulkus atau mukosa yang

terinflamasi akan menghasilkan lendir yang merangsang

peristaltik, hal ini lah yang menyebabkan diare.

23

2.2.7 Penatalaksanaan Efek Samping Kemoterapi

Kemoterapi menimbulkan sejumlah efek samping, untuk penatalaksanaan

efek samping menurut Roshdal & Mary (2015), Wong, dkk (2009) dan

Hapsari (2012) adalah:

2.2.7.1 Mual muntah

Agens antagonis reseptor-serotonin (missal ondansentron

[Zofran]) merupakan obat yang efektif untuk mengendalikan mual

dan muntah sesudah terapi kemoterapi dan radioterapi yang

bersifat emetogenetik.

2.2.7.2 Alopesia

Beri anak topi dari kain katun yang lembut merupakan tuutp

kepala yang nyaman bagi anak. Pilihan tutup kepalanya yang lain

adalah kerudung dan wig (rambut palsu) untuk rambut palsu

anjurkan anak atau pilih rambut palsu sesuai dengan gaya rambut

asli anak sebelumnya.

2.2.7.3 Stomatitis

Anjurkan orang tua untuk menggunakan sikat gigi halus dan

membersihkan mulut secara menyeluruh setelah makan dan

sebelum tidur kepada anak tersebut. Alternatif lainnya berikan

vitamin E ke area yang terganggu di mulut.

2.2.7.4 Anoreksia

Sediakan makanan yang tidak merangsang, lunak dan berkuah

yang cocok dengan usia anak dan pilihan anak.

24

2.2.7.5 Keletihan

Optimalkan nutrisi beserta suplemen, rencanakan periode istirahat

dan aktivitas, beri dukungan untuk distres psikologi seperti

depresi dan ansietas, serta berikan tranfusi darah apabila keletihan

berhubungan dengan penatalaksanaan medis.

2.2.7.6 Neutropenia

Penatalaksanaan anak dengan neutropenia secara farmakologi

adalah pemberian antibiotik oleh dokter untuk mengatasi infeksi

dan sepsis. Selain itu, cuci tangan yang benar, menjauhi orang

yang sedang sakit, cuci sayur-sayuran dan buah-buahan serta

makan-makanan bergizi dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

2.2.7.7 Anemia

Memberikan banyak istirahat, membatasi aktivitas terutama yang

menguras tenaga dan berikan makanan yang bernutrisi, serta

berikan terapi suportif yang diberikan pada anak adalah tranfusi

darah jika kadar hemoglobin anak dibawah normal.

2.2.7.8 Trombositopenia

Sikat gigi dengan sikat gigi yang lembut, hindari anak dari benda

tajam dan hindari aktivitas anak yang berisiko untuk terluka.

Tindakan yang tepat jika terjadi perdarahan adalah tekan dengan

lembut daerah yang mengalami perdarahan sampai perdarahannya

berhenti.

25

2.2.7.9 Infkesi

Mencegah keruskan kulit atau membrane mukosa, jangan

memberikan obat melalui naus, hindari apapun yang

mengakibatkan cedera, hindari orang atautempat yang berisiko

menimbulkan infeksi dan lakukan teknik mencuci tangan yang

tepat.

2.2.7.10 Diare

Penuhi kebutuan cairan tubuh untuk mencegah dehidrasi adan

gangguan keseimbangan elektrolit, berikan anak makanan yang

tinggi kalium dan natrium dan berikan makanan rendah serat serta

bersihkan area perineal dengan hati-hati setelah buang air besar.

2.3 Anak Usia Prasekolah dan Usia Anak Sekolah

2.3.1 Pengertian

Anak-anak prasekolah adalah mereka yang berusia 3-6 tahun, sedangkan

anak-anak sekolah adalah anak yang berusia 6-12 tahun (Kyle & Susan,

2015).

2.3.2 Pertumbuhan dan Perkembangan

Kecepatan pertumbuhan fisik pada anak prasekolah melambat dan semakin

stabil selama masa prasekolah. Postur anak prasekolah lebih langsing tetapi

kuat, anggun tangkas dan tegap (Wong, dkk, 2009). Menurut Wong, dkk

(2009) perkembangan anak usia prasekolah adalah:

26

2.3.2.1 Perkembangan psikososial (Erikson) anak prasekolah adalah

inisiatif versus bersalah. Mereka bermain, bekerja dan hidup

sepenuhnya serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang

sebenarnya dalam aktivitas mereka. Konflik timbul ketika anak

mengalami rasa bersalah karena tidak berperilaku atau bertindak

dengan benar.

2.3.2.2 Perkembangan kognitif (Piaget) anak prasekolah adalah fase

praoperasional meliputi fase prakonseptual (usia 2-4 tahun) dan

fase pikiran intuitif (usia 4-7 tahun) yaitu perpindahan egosentris

total menjadi kesadaran sosial dan kemampuan untuk

mempertimbangkan sudut pandang orang lain.

2.3.2.3 Perkembangan moral (Kohlberg) anak prasekolah adalah

prakonvensional meliputi pada orientasi hukuman dan kepatuhan

(usia 2-4 tahun) anak menilai suatu tindakan baik atau buruk

bergantung dari hasilnya berupa hukuman atau penghargaan dan

pada orientasi instrumental naïf, segala tindakan ditujukan kea rah

pemuasaan kebutuhan mereka dan lebih jarang ditujukan pada

orang lain.

Pada anak sekolah pertumbuhan tinggi dan berat badan terjadi lebih lambat.

Proporsi tubuh mereka tampak lebih ramping dengan kaki yang lebih

panjang dan proporsi tubuh bervariasi (Wong, dkk, 2009). Menurut Wong,

dkk (2009) perkembangan anak usia prasekolah adalah:

27

2.3.2.1 Perkembangan psikososial (Erikson) anak sekolah adalah rasa

industri versus rasa inferioritas. Pada rasa industri anak-anak usia

sekolah ingin sekali mengembangkan keterampilan dan

berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna bagi

sosial, sedangkan rasa inferioritas terjadi jik anak tidak mampu

atau tidak dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang

terkait dengan rasa pencapaian.

2.3.2.2 Perkembangan kognitif (Piaget) anak sekolah adalah operasional

konkret, ketika anak mampu menggunakan proses berpikir untuk

mengalami peristiwa dan tindakan.

2.3.2.3 Perkembangan moral (Kohlberg) anak usia sekolah mulai berubah

dari egosentrisme ke pola piker rasional yang lebih logis, mereka

juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan

standar moral yang didapatkan dari orang tua mereka.

2.3.3 Tugas Perkembangan Anak Prasekolah dan Anak Sekolah

Tugas perkembangan pada usia anak-anak dimulai dari usai 2-13 tahun.

Usia anak-anak dibagi menjadi dua periode yaitu usia prasekolah disebut

dengan anak-anak awal (early childhood) dan usia sekolah disebut dengan

anak-anak akhir (late childhood) (Jannah, 2015). Menurut Robert J.

Havighurts (Jannah, 2015) tugas perkembangan anak-anak awal adalah:

2.3.3.1 Toilet training, hakikat tugas yang harus dipelajari anak yaitu

buang air kecil dan buang air besar yang dapat diterima secara

sosial.

28

2.3.3.2 Belajar membedakan jenis kelamin. Melalui observasi, maka anak

akan tingkah lau yang berbeda jensi kelamin satu dengan yang

lain.

2.3.3.3 Belajar mencapai stabilitas fisiologis, anak akan cepat sekali

merasakan perubahan dari panas ke dingin, oleh karena itu anak

harus belajar keseimbangan terhadap perubahan.

2.3.3.4 Pembentukan konsep-konsep yang sederhana tentang realitas fisik

dan sosial.

2.3.3.5 Belajar membedakan mana yang baik dan yang buruk.

Tugas perkembangan anak-anak usia akhir menurut Robert J. Havighurts

(Jannah, 2015) adalah:

2.3.3.1 Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk

permainan-permainan yang umum.

2.3.3.2 Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai

makhluk yang sedang tumbuh.

2.3.3.3 Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya.

2.3.3.4 Mulai mengembangkan peran sosial pria dan wanita yang tepat.

2.3.3.5 Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial.

2.3.3.6 Mencapai kebebasan pribadi.

29

2.3.4 Masalah Kesehatan Anak Prasekolah dan Anak Sekolah

Masalah kesehatan anak prasekolah menurut Wong, dkk (2009) adalah:

2.3.4.1 Gangguan infeksi, yaitu penyakit menular, konjungtivitis dan

stomatitis.

2.3.4.2 Penyakit parasite intestinal, yaitu giardiasis dan enterobiasis

(cacing kremi).

2.3.4.3 Menelan agnes pencedera, yaitu keracunan logam berat dan

keeacunan timbal.

2.3.4.4 Perlakuan salah pada anak.

2.3.4.5 Pengabaian anak.

2.3.4.6 Penganiayaan fisik.

2.3.4.7 Penganiayaan seksual.

Menurut Wong, dkk (2009) masalah kesehatan anak sekolah adalah:

2.3.4.1 Masalah kesehatan umum, yaitu infeksi mononucleosis.

2.3.4.2 Sindrom overuse.

2.3.4.3 Fraktur akibat penekanan.

2.3.4.4 Perubahan pertumbuhan dan kematangan, yaitu postur tubuh

tinggi atau pendek dan abnomarlitas kromososm seks.

2.3.5 Aspek Penyakit Kronis Jangka-Panjang Kanak-Kanak

Ada dua masalah yang penting untuk memahami keterlibatan

perkembangan penyakit jangka-lama dimasa anak-anak yaitu

perkembangan pemahaman terhadap mekanisme penyakit anak dan

30

dampak penyakit tersebut pada berbagai tahap perkembangan anak. Anak

usia prasekolah atau anak usia sekolah cenderung memiliki pemahaman

yang nyata dan relatif dangkal mengenai penyakitnya yang terus

berlangsung sampai mereka dewasa. Mereka memandang penyakitnya

sebagai respon perilaku buruknya atau karena tidak menuruti peraturan,

anak pada usia tersebut percaya bahwa mereka akan sembuh bila menuruti

aturan. Pada kelompok usia ini, teori kuman tampaknya agak penting

dengan pengertian bahwa kuman menyebabkan hampir semua penyakit,

penyakit dicegah dengan menghindari kuman dan hasil yang baik dapat

diperbesar dengan minum obat, yang dianggap sebagai pembunuh kuman

(Behrman, dkk, 2000).

Rawat inap berulang kali di rumah sakit dapat mengganggu perkembangan

normal hubungan saling percaya dalam keluarga. Pada tahun-tahun

prasekolah akhir, ketika anak mengembangkan autonomi, mobilitas dan

pengendalian diri penyakit juga dapat menganggu fungsi perkembangan

penting ini. Pada awal usia sekolah, anak dapat menjadi sasaran godaan

teman-teman sekelasnya, mereka mungkin perlu absen dari sekolah karena

penyakti atau pengobatannya dan dapat kehilangan kesempatan untuk

bersosialisasi awal secara normal (Behrman, dkk, 2000).

31

2.4 Motivasi

2.4.1 Pengertian Motivasi

Menurut Notoatmodjo (2010) motivasi berasal dari bahasa Latin yang

berarti to move. Motivasi mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang

menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu. Motivasi adalah

didefinisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk

bertindak, mendorong kita mencapai tujuan tertentu dan membuat kita tetap

tertarik dalam kegiatan tertentu (Nursalam & Ferry, 2008). Motivasi adalah

segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu

(Nursalam, 2014).

2.4.2 Tujuan Motivasi

Menurut Taufik (2007) secara umum tujuan motivasi adalah untuk

menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan

kemaunnya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil dan

atau mencapai tujuan tertentu. Setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan.

makin jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, maka semakin

jelas pula bagaimana tindakan memotivasi itu dilakukan. Tindakan

memotivasi akan lebih dapat berhasil apabila tujuannya jelas dan didasari

oleh yang dimotivasi.

32

2.4.3 Jenis Motivasi

Menurut Nursalam (2014) jenis motivasi dibagi dua, yaitu:

2.4.3.1 Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri

individu.

2.4.3.2 Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang datangnya dari luar

individu.

2.4.5 Komponen Motivasi

Menurut Sarina & Madalena (2017) motivasi memiliki tiga komponen

pokok, yaitu:

2.4.5.1 Menggerakkan. Hal ini motivasi menimbulkan kekuatan pada

individu, membawa seseorang untuk bertindak dengan cara

tertentu.

2.4.5.2 Mengarahkan. Berarti motivasi mengarahkan tingkah laku dengan

demikian ia menyediakan suatu orientasi tujuan. tingkah laku

individu diarahkan terhadap sesuatu.

2.4.5.3 Menopang. Artinya, digunakan untuk menjaga dan menopang

tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan intensitas arah

dorong-dorongan dan kekuatan-kekuatan tertentu individu.

2.4.6 Unsur Motivasi

Motivasi mempunyai tiga unsur utama yaitu kebutuhan, dorongan dan

tujuan. kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan

antara apa yang mereka miliki dengan apa yang mereka harapkan.

33

Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan

harapan atau pencapaian tujuan. tujuan adalah akhir dari satu siklus

motivasi (Nursalam, 2014).

Pada dasarnya motivasi mempunyai sifat siklus (melingkar), yaitu motivasi

timbul, memicu perilaku tertuju kepada tujuan (goal) dan akhirnya setelah

tujuan tercapai, motivasi itu terhenti. Tapi itu akan kembali pada keadaan

semula apabila ada suatu kebutuhan lagi (Nursalam, 2014).

2.4.7 Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi, yaitu:

2.4.7.1 Kebutuhan

Kebutuhan berhubungan dengan apa yang dilakukan seseorang

untuk memenuhi kebutuhannya. Motivasi dimiliki seseorang pada

saat belum mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam

kehidupannya, kebutuhan yang telah terpuaskan tidak akan lagi

menjadi motivator (Nursalam, 2015).

2.4.7.2 Penguatan

Sesorang akan termotivasi jika dia memberikan respon pada

rangsangan terhadap pola tingkah laku yang konsisten sepanjang

waktu (Nursalam, 2015).

2.4.7.3 Harapan

Harapan menyatakan cara memilih dan bertindak dari berbagai

alternatif tingkah laku berasarkan harapannya (apakah ada

34

keuntungan yang diperoleh dari tiap lingkah lau) (Nursalam,

2015).

2.4.7.4 Dorongan keluarga

Dukungan atau dorongan dari anggota keluarga mengarahkan

perilaku ke arah kebutuhan atau pencapaian tujuan, mendorong

seseorang melakukan atau mencapai sesuatu (Taufik, 2007).

2.4.7.5 Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman

orang lain dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia, yakni pengelihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari

penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan seseorang terhadap

objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.

Secara garis besar dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu

tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi

(Notoadmojo, 2014).

2.4.7.6 Ketersediaan fasilitas kesehatan

Fasilitas ini hakikatnya mendukung atau menmungkinkan

terwujudnya perilaku kesehatan (Notoadmojo, 2012).

2.4.7.7 Tingkat pendidikan

Pendidikan mempunyai pengaruh postif terhadap pemeliharaan

dan peningkatan kesehatan. (Notoadmojo, 2012).

35

2.4.7.8 Sikap dan perilaku petugas kesehatan

Masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan

sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan

perilaku contoh dari para petugas kesehatan untuk berperilaku

sehat (Notoadmojo, 2012).

2.4.8 Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Orang Tua

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi orang tua, yaitu:

2.4.8.1 Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman

orang lain dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia, yakni pengelihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari

penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan seseorang terhadap

objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.

Secara garis besar dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu

tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi

(Notoatmodjo, 2014). Dengan pengetahuan yang diperoleh

seseorang akan mengetahui manfaat dari saran atau nasihat

sehingga akan termotivasi dalam usaha meningkatkan status

kesehatan (Doloksaribu & Risma, 2014).

36

2.4.8.2 Umur

Umur seseorang mempengaruhi status kesehatan, dimana umur

produktif 15-49 tahun merupakan masa berkembangnya

keseriusan bekerja dan mempertahankan keberhasilan sehingga

dalam hal ini memotivasi orang tua udalam menjalani kemoterapi

agar kondisi kesehatan anaknya tetap terjaga sehingga tidak

mengganggu segala aktifitasnya, sedangkan umur yang kurang

produktif 50-59 tahun merupakan masa berkurangnya

kemampuan dan kekuatan terhadap mengatasi stres, berkurangnya

minat dan dan masa penerimaan atas perubahan-perubahan yang

terjadi sehingga mengurangi motivasi untuk dalam menajalani

kemoterapi. Seseorang dengan usia produktif akan lebih mudah

termotivasi untuk berperilaku sehat (Doloksaribu & Risma, 2014).

2.4.8.3 Sikap petugas kesehatan

Dukungan dari petugas kesehatan mempengaruhi tumbuhnya

motivasi baik. Dukungan tersebut dapat berasal dari informasi

atau dari penyuluhan tenaga kesehatan. Dengan penyampaian

pesan akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang ingin

diketahui sehingga dapat menimbulkan motivasi (Handian, dkk,

2017).

2.4.8.4 Penghasilan keluarga

Orang tua dengan penghasilan tinggi atau rendah sangat

mempengaruhi motivasi dalam meningkatkan status kesehatan,

dimana orang tua yang berpenghasilan tinggi akan memenuhi

37

semua pengobatan kemoterapi yang dilakukan anaknya.

Sedangkan orang tua yang berpenghasilan rendah adanya

keterbatasan untuk memenuhi pengobatan kemoterapi anaknya

dikarenakan biaya akomodasi, ketiadaan jaminan kesehatan saat

awal sakit, persepsi biaya pengobatan yang mahal sehingga

menunda untuk menjalani kemoterapi (Handian, dkk, 2017).

2.4.8.5 Pendidikan

Pendidikan merupakan proses kegiatan pada dasarnya melibatkan

tingkah laku individu maupun kelompok. Inti kegiatan pendidikan

adalah proses belajar mengajar. Hasil proses dari belajar mengajar

adalah terbentuknya tingkah laku, kegiatan dan aktivitas. Dengan

belajar formal atau informal, manusia akan mempunyai

pengetahuan, dengan pengetahuan yang diperoleh seseorang akan

mengetahui manfaat dari saran atau nasihat sehingga akan

termotivasi dalam usaha meningkatkan status kesehatan (Handian,

dkk, 2017).

2.4.8.6 Jarak tempuh ke RS

Jarak tempuh ke RS mempengaruhi motivasi orang tua dimana

waktu pengobatan yang lama membuat keluarga mengalami

kesulitan finansial karena orang tua harus berkali-kali ke rumah

sakit sehingga membuat biaya akomodasi juga meningkat

(Handian, dkk, 2017).

38

2.4.8.7 Dukungan keluarga

Dukungan keluarga dapat diperoleh dari orang tua yang dianggap

sudah pengalaman dalam banyak hal, sehingga nasihat atau saran

dari orang tua akan dilaksanakan. Selain itu dukungan keluarga

dapat diperoleh dari saudara yang merupakan orang terdekat dan

akan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada

motivasi untuk berperilaku (Mushyama, 2015).

2.4.9 Cara Pengukuran Motivasi

Menurut Taufik (2007) motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung,

namun harus diukur. Beberapa cara mengukur motivasi, yaitu:

2.4.9.1 Tes proyektif

Salah satu teknik proyektif yang sangat dikenal adalah Thematic

Apperception Test (TAT). Dalam tes tersebut klien diberikan

suatu gambar dank lien diminta untuk dapat membuat cerita dari

gambar tersebut. Dari isi cerita tersebut kita dapat menelaah

motivasi yang mendasari diri klien.

2.4.9.2 Kuesioner

Salah satu cara untuk dapat mengukur motivasi seseorang adalah

dengan menggunakan kuesioner dimana klien diminta untuk

mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dapat

memancing motivasi klien. Sebagai contoh adalah EPPS

(Edward’s Personal Preference Schedule). Kuesioner terdiri dari

dua pertanyaan. Klien diminta untuk dapat memilih salah satu dari

39

kedua pertanyaan yang telah diajukan tersebut dan lebih

mencerminkan keadaan dirinya.

2.4.9.3 Observasi perilaku

Bentuk lain dalam upaya dalam mengukur motivasi seseorang

adalah dengan membuat situasi sehingga klien dapat

memunculkan perilaku yang mencerminkan motivasinya.