Post on 21-Mar-2019
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia
1. Definisi Skizofrenia
Istilah skizofrenia berasal dari kata Scihzo yaitu perpecahan atau bercabang
dan phrenos yaitu jiwa. Istilah ini digunakan Euge Bleuler (1911). Karena
penyakit ini menonjolkan gejala utama yaitu jiwa yang terpecah belah. Bleuler
berpendapat bahwa istilah untuk menandakan adanya perpecahan antara pikiran
emosi, dan perilaku pada pasien yang terkena. (Sinaga, 2007).
Adolf Meyer menerangkan bahwa skizofrenia dan gangguan mental lainnya
adalah reaksi terhadap berbagai stress kehidupan yang dinamakannya sindrom suatu
reaksi skizofrenik (Kaplan, dkk 1997).
Skizofrenia adalah adalah suatu gambaran sindrom dengan berbagai penyebab
dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang dipengaruhi oleh
faktor genetik, fisik, dan sosial budaya, ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak
wajar, kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual yang tetap terpelihara
meskipun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Maslim,
2001).
Gangguan skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikiatri dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, waham yang kadang-
kadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang tak terpadu dengan situasi
nyata/sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan
kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu. (Depkes, 1985).
2. Etiologi Skizofrenia
Penyebab Skizofrenia adalah :
a. Biologis
1) Abnormalitas otak yang menyebabkan respons neurobiologik yang maladaktif
yang baru mulai dipahami yaitu bahwa otak terlibat luas dalam perkembangan
skizofrenia, lesi pada daerah area frontal, temperal, dan limbic paling
berhubungan dengan perilaku psikotik.
2) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia yaitu dopamine
neurotransmmiter yang berlebihan, ketidakseimbangan antara dopamine dan
neurotransmmiter lain, masalah-masalah pada system reseptor dopamine.
b. Genetik
Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang
diadopsi telah diupayakan untuk mengidentifikasi penyebab genetik pada
skizofrenia. Sudah ditemukan bahwa kembar identik yang dibesarkan secara
terpisah mempunyai angka kejadian tinggi pada skizofrenia daripada pasangan
saudara sekandung yang tidak identik. Penelitian genetic terakhir memfokuskan
pada “gene maping” (pemetaan gen) dalam keluarga dimana terdapat angka
kejadian skizofrenia yang tinggi. Perlu ditekankan bahwa menjadi saudara kembar
satu telurpun secara otomatis tidak menjadi kepastian predisposisi dai
perkembangan skizofrenia. (Stuart dkk, 1998)
Faktor genetik telah terbukti ada sangkut pautnya dalam perkembangan
penyakit itu, tetapi adanya angka ketidakserasian yang cukup berarti (substantial
discordance rate), didalam anak kembar satu telur sekalipun, memberi petunjuk
akan pentingnya faktor non genetik. (Depkes, 1985)
c. Psikologis
Teori psikodinamika untuk terjadinya respons neurobiologik yang
maladaptive belum didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik terdahulu
menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan ini. Sehingga menimbulkan
kurangnya rasa percaya keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa professional.
d. Sosiobudaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik lain tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan.
(Stuart, dkk 1998 ).
e. Endokrin
Teori ini ditemukan berhubungan dengan sering timbulnya skizofrenia pada
waktu purbertas, kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterum.
f. metabolisme
Banyak orang menyangka penderita skizofrenia di sebabkan oleh gangguan
metabolisme, karena penderita tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstrimitas agak
sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Pada penderita stupor
katatonik, konsumsi zat asam menurun.
g. Kelainan susunan kelainan syaraf pusat, yaitu pada diensefalon atau kortex otak.
h. Teori Adolf Meyer
Teori Adolf Meyer, yang mengatakan bahwa penyakit ini tidak disebabkan
suatu penyakit badaniah, tetapi ia mengakui bahwa suatu konsitusi yang inferior
atau penyakit badaniah dapat mepengaruhi timbulnya skizofrenia.
i. Teori sigmun freud
Menurut teori ini maka pada skizofrenia terdapat :
1) Kelemahan ego yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun
somatik.
2) Super ego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi sehingga yang
berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fasenarsisme.
3) Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (transference). Sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
j. Sebagai suatu sindroma
Skizofrenia merupakan suatu syndrome yang disebabkan keturunan, badaniah
seperti lesi otak, aterosklerosis otak dan penyakit lainnya yang belum diketahui.
k. Gangguan psikomatik
Skizofrenia sebagai suatu gangguan psikosomatik, gejala pada badan hanya
sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik, atau merupakan manifestasi
somatic dari gangguan psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru kesukaran ialah
untuk menentuka mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang
merupakan penyebab dan mana yang akibatnya saja.
Adapun penyebab gangguan skizofrenia, pada tingkat tertentu akan
menghasilkan suatu gangguan biokimia di otak.
1. Gejala Skizofrenia
Menurut Bleuler (1911) membagi gejala skizofrenia menjadi dua kelompok :
a. Gejala primer meliputi gangguan proses pikir, gangguan emosi, gangguan
kemauan, dan otisme.
b. Gejala sekunder meliputi waham, halusinasi, dan gejala katatonik atau gangguan
psikomotorik atau lainnya.
Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik khusus, dalam praktek
ada manfaat untuk membagi gejala tersebut kedalam kelompok-kelompok yang
penting untuk diagnosis dan yang sering terdapatnya bersama-sama. Harus ada satu
gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-
gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a. “Thought echo”, isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau berbema dalam
kepalanya, “thought insertion or withdrawal”, isi pikiran yang asing dari luar
masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal), “thought broadcasting”, isi pikirannya
tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
b. “Delusion of control”, waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu
kekuatan tertentu dari luar, atau “delusion of influence”, waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar, atau “delusion of passivity”,
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari
luar, (tentang “dirinya”, secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak
atau kepikiran, tindakan, atau penginderaan khusus), “delusional perception”,
pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien diantara
mereka sendiri atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu
bagian tubuh
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa.(misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari
dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disetai oleh ide-ide berlebihan (overvalued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus.
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja
social, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih.
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan
penarikan diri secara social. (Maslim, 2001)
2. Tipe – tipe Skizofrenia
a. F.20 Skizofrenia Paranoid
b. F20.1 Skizofrenia hebefrenik
c. F20.2 Skizofrenia katatonik
d. F20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)
e. F20.4 Depresi Pasca Skizofrenia
f. F20.5 Skizofrenia Residual
B. Usia Lanjut
Usia lanjut merupakan masa atau tahap hidup manusia : bayi, kanak-kanak,
dewasa, tua, usia lanjut.
Manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya berlangsung
sepanjang masa hidup sejak bayi hingga dewasa sampai masa tua. Didalam struktur
anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran dalam sel. Proses ini
berlangsung secara alami, terus menerus dan berkesinambungan, yang selanjutnya
akan menyebabkan perubahan anatomi, fisiologi dan biokomia pada jaringan tubuh
dan akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara
keseluruhan. Umur manusia sebagai makhluk hidup terbatas maksimal sekitar 120
tahun, namun pada kenyataannya banyak faktor yang menyebabkan manusia tidak
dapat mencapai usia tersebut (Depkes. RI, 2003).
Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan
perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau
perubahan struktur dan fungsi jaringan sel dan non sel. Telah banyak teori yang
menjelaskan proses menua, salah satunya adalah teori kerusakan akibat radikal
bebas. Kerusakan acak dijaringan akibat terbentuknya radikal bebas pada
metabolisme aerob normal dianggap penyebab proses menua. Radikal bebas juga
menyebabkan disfungsi sel yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit
degeneratif. Tubuh sebenarnya telah menyiapkan pertahanannya, pertahanan berupa
antioksidan terhadap serangan radikal bebas ditingkat sel, membran dan ekstra sel,
sehingga akan ada keseimbangan antara akibat produksi radikal bebas dan
antioksida. (Soejono H, 1996)
Teori yang mencoba menerangkan proses menua tidak sedikit, namun harus
diakui bahwa tidak satupun yang dapat secara mendasar menjelaskan mekanisme
utama terjadinya proses menua (Soejono H, 1996).
Teori radikal bebas dalah salah satu teori yang saat ini paling banyak dianut.
Sebagaimana oleh Harman, teori ini mencoba menerangkan proses menua
berdasarkan timbulnya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas.
Radikal bebas adalah atom atau molekul dengan susunan elektron tak lengkap,
terbentuk dari reaksi transfer elektron tunggal dan merupakan molekul yang sangat
reaktif (Soejono H, 1996).
Radikal bebas dapat dirusak oleh enzim-enzim protektif, yaitu superoksi-
dismutase, katalase dan glutasi peroksidase. Bila terdapat radikal bebas yang tidak
terdestruksi, maka radikal bebas tersebut akan merusak membrane organel
subseluler seperti membran mitokondria dan membran mikrosom. Keadaan tersebut
akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel. Bentuk kerusakan yang tampak
misalnya munculnya proses degeneratif (Soejono H, 1996).
Teori radikal bebas ini lebih dapat memberikan gambaran proses menua
ditingkat selular secara lebih fundamental, yang dapat terjadi pada tiap jenis sel.
Proses menua sangat individual dan berbeda perkembangannya bagi setiap
individu karena dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang saling
mempengaruhi. Asupan gizi atau konsumsi makanan sangat mempengaruhi proses
menjadi tua (age related disease), mengingat seluruh aktifitas sel atau metabolisme
dalam tubuh memerlukan zat gizi yang cukup disamping faktor penyakit dan
lingkungan.
Proses menua dapat dilihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada
tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut.
Perubahan secara biologi ini dapat mempengaruhi status gizi pada masa tua, antara
lain:
a. Massa otot yang berkurang dan masa lemak yang bertambah, mengakibatkan
jumlah cairan tubuh yang berkurang, sehingga kulit kelihatan mengkerut dan
kering, wajah keriput serta muncul garis-garis yang menetap. Oleh karena itu,
pada usia lanjut seringkali terlihat kurus.
b. Penurunan indera penglihatan akibat katarak pada usia lanjut sehingga
dihubungkan dengan kekurangan vitamin A, vitamin C dan asam folat.
Sedangkan gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan
kekurangan kadar Zn dapat menurunkan nafsu makan. Penurunan indera
pendengaran terjadi karena adanya kemunduran fungsi sel syaraf pendengaran.
c. Dengan banyaknya gigi geligi yang sudah tanggal, mengakibatkan gangguan
fungsi mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanut.
d. Penurunan mobilitas usus, menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan
seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut.
Penurunan mobilitas usus dapat juga menyebabkan susah buang air besar yang
dapat menyebabkan wasir.
e Kemampuan motorik yang menurun, selain menyebabkan usia lanjut menjadi
lamban, kurang aktif dan kesulitan untuk menyuap makanan, dapat mengganggu
aktivitas/ kegiatan sehari-hari.
f. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak, yang menyebabkan penurunan
daya ingat jangka pendek, melambatnya proses informasi, kesulitan berbahasa,
kesulitan mengenal benda-benda, kegagalan melakukan aktivitas bertujuan
(apraksia) dan gangguan dalam menyusun rencana, mengatur sesuatu,
mengurutkan, daya abstraksi, yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari yang disebut dimensia atau pikun.
Gejala pertama adalah pelupa, perubahan kepribadian, penurunan
kemampuan untuk pekerjaan sehari-hari dan perilaku yang berulang-ulang,
dapat juga disertai delusi paranoid atau perilaku anti-sosial lainnya.
g. Akibat proses menua, kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah
besar juga berkurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran Natrium sampai
dapat terjadi hiponatremia yang menumbulkan rasa lelah.
h. Incotenensia Urine (UI) adalah pengeluaran urine diluar kesadaran merupakan
salah satu masalah kesehatan yang besar yang sering diabaikan pada kelompok
usia lanjut, sehingga usia lanjut yang mengalami IU seringkali mengurangi
minum yang dapat menyebabkan dehidrasi.
Secara singkat, proses menua adalah kombinasi dari :
a. Suatu proses yang telah ditentukan secara genetik pada setiap spesies.
b. Adanya mutasi somatik yang beruntun secara berantai hingga pada suatu
waktu kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat meledak sebagai katastrop. Disini
tersangkut kesalahan pada proses transkripsi dan translasi (pembentukan RNA
dan protein ).
c. Adanya kerusakan system imun tubuh, terbentuk sebagai proses hetero-imunitas
maupun auto-imunitas.
d. Adanya kerusakan sel, jaringan dan organ tubuh akibat radikal bebas yang dapat
terbentuk dalam badan sendiri. Tubuh sendiri sebetulnya dapat menangkal hal
ini dalam bentuk enzim seperti superoksida, katalase, glutation peroksida dan
sebagainya.ada pula zat-zat penangkal seperti vitamin C, E, beta karoten dan
sebagainya.
e. Peristiwa menua akibat metabolisme badan sendiri, antara lain karena kalori
yang berlebihan atau kurang aktivitas dan sebagainya
1. Penggolongan Lanjut Usia
Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO) yang
dimaksud dengan usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas atau
lebih. Sedangkan menurut Undang-Undang No.13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan usia lanjut, batasan usia lanjut di Indonesia adalah 60 tahun atau
lebih.
Menurut Depkes RI (2003) pengelompokan lanjut usia adalah sebagai berikut :
a. Kelompok pra usia lanjut (45 tahun–59 tahun)
b. Kelompok usia lanjut (60 tahun–69 tahun)
c. Kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu lebih dari 70 tahun atau
usia lanjut berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
2. Keadaan Kesehatan Lanjut Usia
Status kesehatatan lanjut usia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh dalam
penilaian kebutuhan akan gizi. Ada lansia yang tergolong sehat, dan ada pula yang
mengidap penyakit kronis. Di samping itu, sebagian lansia masih mampu mengurus
diri sendiri, sementara sebagian lain sangat bergantung pada “belas kasian” orang
lain. Kebutuhan zat gizi mereka yang tergolong aktif biasanya tidak berbeda dengan
orang dewasa sehat.
a Perubahan fisiologis akibat penuaan
Usia tua hampir selalu datang bersama “Kesengsaraan” fisik, psikis, sosial, dan
ekonomi. Kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang
mengalami pembengkokan ( kifosis ), panggul dan lutut juga terfleksi
sedikit.keadaan tersebut menyebapkan postur tubuh terganggu.
b. Perubahan pada saluran pencernaan
Data mengenai keterpengaruhan sistim saluran cerna akibat kekuatan sangat
terbatas karena kemampuan penyesuaian diri sistim pencernaan tidak
mempengaruhi fungsinya.
Rongga Mulut
Bagian dalam rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi dan ludah.
Tanggalnya gigi bukan hanya disebabkan oleh ketuaan, tetapi juga dikondisikan
oleh pemeliharan yang tidak baik.
Ketidakbersihan mulut menyebabkan gigi dan gusi kerap terinfeksi. Selain itu,
sekresi air ludah berkurang sampai kira- kira 75% sehingga mengakibatkan
pengeringan rongga mulut, dan berkemungkinan menurunkan cita rasa.
Esofagus
Penuaan esophagus berupa pengerasan sfingter bagian bawah sehingga sukar
mengendur (relaksasi) dan mengakibatkan esofagus melebar
(presbyesofagus).Keadaan ini memperlambat pengosongan esofagus, dan tidak
jarang berlanjut sebagai hernia hiatal. Gangguan menelan biasanya berpangkal
pada daerah presofagus, tepatnya didaerah orofaring. Penyebabanya
tersembunyi dalam sistem syaraf sentral atau akibat gangguan neuromuscular,
seperti jumlah ganglion yang menyusut sementara lapisan otot polos menebal.
Dengan manometer akan tampak tanda perlambatan pengosongan esofagus.
Lambung
Lapisan lambung lansia menipis. Diatas usia 60 tahun, sekresi HCl (Asam
Clorida) dan pepsin berkurang. Dampaknya, penyerapan vitamin B12 dan zat
besi menurun.
Usus
Berat total usus (diatas 40 tahun) berkurang, meskipun penyerapan zat gizi pada
umumnya masih dalam batas normal, kecuali kalsium (diatas usia 60 tahun) dan
zat besi.
c. Perubahan pada sistem endokrin
Terjadi perubahan dalam kecepatan dan jumlah sekresi, respon terhadap
stimulasi dan struktur kelenjar endokrin. Pada usia diatas 60 tahun sekresi
testosterone akan menurun. Produksi esterogen dan progesterone pada usia
diatas juga menurun.
d. Perubahan pada sistem pernafasan
Diameter anteroposterior paru membesar sehingga menimbulkan “barrel chest”.
Pengapuran tulang rawan menyebabkan kelenturan tulang iga berkurang.
Disamping itu, osteoporosis yang progresif dan kifosis menyebebkan gangguan
kelenturan (fleksibilitas) paru yang selanjutnya menurunkan kapasitas vital.
Sakus paru membesar, sementara dindingnya menipis, untuk kemudian bersatu
sama lain membentuk sakus baru yang lebih besar. Semua perubahan ini
berujung pada penurunan fungsi paru, dan tampak sebagaiemfisema pada klise
foto rontgen.
e. Perubahan pada sistem kardiovaskular
Perubahan yang terkait dengan ketuaan sulit dibedakan dengan perubahan yang
diakibatkan oleh penyakit. Pembesaran bilik kiri jantung disertai oleh fibrosisi
dan skerosis di endokardium. Katub mitral mengeras (fibrosis dan kalsifikasi).
Jumlah jaringan ikat meningkat sehingga efisiensi fungsi pemompaan jantung
berkurang. Pembuluh darah membesar, terutama aorta, menebal dan menjadi
fibrosis. Pengerasan ini selai mengurangi aliran darah dan meningkatkan kerja
bilik kiri jantung, juga mengakibatkan ketidakefisienan baroreseptor (tertanam
pada dinding aorta, arteri pulmonalis, sinus karotikus, dan pembuluh darah
didaerah dada), mengurangi kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah.
Itulah sebabnya para lansia cenderumg menderita hipotensi postural. Curah
jantung menyusut sebesar 50% pada usia 80 tahun, sementara tekanan sisitolik
dan diastolic cenderung meningkat.
3. Menaksir Kebutuhan Basal dengan Perhitungan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan alat pernafasan telah
dikembangkan cara menaksir angka metabolisma basal (AMB) dengan perhitungan.
Untuk sebagian besar manusia,kebutuhan energi dasar yang ditentukan melalui
kalorimetri langsung atau tidak langsung hanya berbeda sebesar +10 % dari angka
yang di peroleh dengan cara perhitungan.
Kebutuhan energi basal atau AMB pada dasarnya ditentukan oleh ukuran dan
komposisi tubuh serta umur. Hubungan antara tiga perubahan ini sangat
kompleks. AMB per satuan berat badan berbeda menurut umur, yaitu lebih tinggi
dari anak-anak dan lebih rendah pada orang dewasa dan tua. AMB per unit berat
badan juga berbeda juga berbeda menurut tinggi badan. AMB per kg berat badan
lebih tinggi pada orang pendek dan kurus serta lebih rendah dari orang tinggi dan
gemuk.
Menurut Cera (1984) dan Stump (1992) secara umum kebutuhan energi total
(TEE) sehari dapat dihitung dari perkalian resting metabolic expenditure (RME),
dengan factor stress (FS), dan activity energy expenditure (AEE) dengan
persamaan sebagai berikut (Titus, 2000) :
TEE = RME x FS x AEE
Dengan perhitungan berat badan,tinggi badan dan umur,Harris dan benedict
menentukan rumus untuk menghitung kebutuhan basal sebagai berikut :
Laki-laki : RME = 66 + (13,7 X BB) + (5 X TB) – (6,8 X U)
Perempuan : RME = 655 + (9,6 X BB) + (1,8 X TB) – (4,7 X U)
BB adalah berat badan dalam kg; TB adalah tinggi badan dalam cm; U adalah
umur dalam tahun (Almatsier, 2003)
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap angka metabolisme basal :
- Ukuran tubuh. Ukuran tubuh merupakan perubah utama dalam menentukan
pengeluaran energi seseorang yang memberi sumbangan lebih dari separuh
AMB. Tubuh yang besar mempunyai AMB lebih tinggi daripada tubuh yang
kecil. Perbedaan berat sebanyak 10 kg pada orang dewasa laki-laki atau
perempuan menyebabkan perbedaan AMB sebanyak kurang lebih120 kkal
sehari.
- Komposisi tubuh. Semua jaringan tubuh aktif secara metabolik. Ada jaringan
yang pecah dan diganti dan melakukan fungsi-fungsi vital. Namun
kecepatannya berbeda-beda. Otot, organ tubuh, dan kelenjar secara metabolik
lebih aktif daripada lemak dan tulang.
- Jenis Kelamin. Laki-laki dan permpuan dengan umur, tinggi badan, dan berat
badan yang sama mempunyai komposisi tubuh yang berbeda.
- Umur. AMB lebih tinggi pada usia muda dari pada usia tua. Pada usia muda
tubuh lebih banyak mengandung jaringan tanpa lemak atau otot.
- Tidur. Selama tidur, otot-otot tubuh dan emosi mengalami relaksasi. Ini akan
menurunkan AMB sebanyak kurang lebih 10%.
- Suhu tubuh. Suhu bertindak sebagai katalisator terhadap sebagian besar
reaksi kimia. Oleh karena itu, AMB meningkat dengan peningkatan suhu
tubuh.
- Suhu lingkungan/iklim. Iklim berpengaruh terhadap AMB karena kebutuhan
tubuh akan energi untuk mempertahankan suhu tubuh.
- Sekresi kelenjar endokrin. Sekresi kelenjar-kelenjar tiroid dan adrenal
meningkatkan AMB. Kekurangan sekresi kelenjar tiroid berupa hormon
tiroksin (hipotiroidisme) menurunkan AMB. Sebaliknya kebanyakan tiroksin
(hipertiroidisme) meningkatkan AMB. Sekresi kelenjar adrenalin berupa
epinefrin atau adrenalin terjadi sebagai akibat stimuli emosional yang
berlebihan misalnya terjadi pada waktu marah, ketakutan atau dibawah
tekanan (stres). Akibatnya AMB akan meningkat.
- Status gizi. Keadaan gizi kurang, menurunkan AMB sampai 20%. Ini
merupakan upaya tubuh untuk beradaptasi mempertahankan berat badan pada
konsumsi makanan dibawah kebutuhan, sebagaimana terjadi didaerah yang
konsumsi energinya rata-rata rendah. Konsumsi energi rendah menurunkan
AMB sebesar 10%-20%.
Fator Aktifitas fisik :
1. Bedrest = RME x 1,2
2. Ringan = RME x 1,3
3. Sedang = RME x 1,4
4. Berat = RME x 1,5 (Titus,2000)
Aktifasi
1. Aktifitas berat yaitu aktifitas yang banyak menggunakan tenaga otot, seperti
gaduh, gelisah, banyak bicara, main tennis, main bulu tangkis, dan lain-lain.
2. Aktifitas sedang yaitu aktifitas yang menggunakan tenaga otot agak banyak
seperti senam, mencuci piring, menyapu, menjahit, dan lain-lain.
3. Aktifitas ringan yaitu aktifitas yang sedikit menggunakan tenaga otot seperti
banyak tidur, banyak melamun, merawat diri, dan lain-lain. Faktor stress
1. Stress ringan = 1,2
2. Stress sedang = 1,3
3. Stress berat = 1,5 (Titus, 2000)
Keadaan emosi dan mental menurut Harris Bennedict dapat meningkatkan
kebutuhan energi 4% (Suharjo dkk, 1992).
4. Asupan Energi Protein
a. Keseimbangan Energi
Keseimbangan energi bergantung pada asupan dan keluaran energi. Besarnya
asupan bisa diperkirakan berdasarkan jumlah energi yang dikeluarkan, bukan
menghitung langsung asupan perorangan. Total asupan merupakan penjumlahan
langsung dari BMR/AMB,energi yang dihabiskan untuk kegiatan fisik, dan
pengaruh termis dari makanan. Kebutuhan akan kalori menurun sejalan dengan
pertambahan usia,karena metabolisma seluruh sel dan kegiatan otot berkurang
secara umum terjadi penurunan asupan energi sebesar 5% per dekade.
Penyusutan BMR 10 % sampai 20 %, antara usia 30 dan 75 tahun merupakan
cermin dari perubahan komposisi tubuh: penambahan massa lemak, dan
penyusutan massa otot. Yang pertama di sebabkan oleh berkurangnya kekurangan
fisik.
Boleh juga di katakan sebaliknya, penyusutan massa tubuh tak berlemak
merupakan imbas dari kekurangngnya kegiatan fisik.
Penilaian terhadap kebutuhan akan zat gizi di bangsal didasarkan pada keadaan
kesehatan pasien. Untuk lansia yang sehat, besarnya asupan disamakan dengan
asupan orang dewasa sehat. Untuk lansia yang sedang sakit akut, besaran asupan
dihitung berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan untuk merespon keadan
hiperkatabolik yang di sebabkan oleh stress penyakit. Sementara lansia yang
lemah dan telah kehilangan napsu makan, serta asupan zat gizinya rendah,
memerlukan peningkatan zat gizi yang khas.
b. Protein
Jika diacu pada RDA, besaran protein dipatok pada angka 0,8gr/KgBB/hari.
Tanpa penyakit ginjal dan hati, diet protein harus mengkontribusi energi sebesar
12 – 15 % total asupan kalori.
Dengan acuan ini ,jika asupan energi menurua tajam, asupan protein juga
menurun tajam. Dengan demikian jumlah protein yang seharusnya dikonsumsi
harus dihitung berdasarkan orang perorang . Beberapa literatur mengatakan
bahwa kebutuhan protein pada lanjut usia secara umur tidak mengalami
perubahan, namun mengingat kebutuhan energi menurun maka prosentase kalori
yang berasal dari protein dianjurkan sekitar 14-16 % dari total kalori atau 0,8 – 1
gr/kgBB/hari. Jumlah tersebut dianggap cukup untuk mempertahankan
keseimbangan netrogin pada lanjut usia dalam keadan sehat (Purba, 2004). Untuk
kelompok usia lanjut dengan penyakit penyerta yang kronis seperti trauma,
infeksi atau stress dibutuhkan asupan protein yang lebih tinggi yaitu 1-1,5
gr/kgBB/hari agar keseimbangan nitrogen tetap di pertahankan. (Purba, 2004)
c. Lemak
Asupan lemak dalam jumlah cukup yaitu 20–25% dari total energi, sementara
sisanya diupayakan dari karbohidrat.
Pembatasan lemak kurang dari 20% akan mempengaruhi mutu makanan, karena
kandungan asam lemak esensial berkurang. Untuk usia lanjut dianjurkan untuk
mengkonsumsi jenis asan lemak tak jenuh ganda yaitu asam linoleat dan asam
linolenat. Asam linolenat ( asam lemak omega-3) merupakan substrat untuk
sintesis asam eikosapentanoat dan asam dokosaheksanoat yang berperan dalam
agregasi trombosit. Oleh karena itu omega-3 dikatakan factor protektif terhadap
kelainan kardiovaskuler (Purba, 2004).
d. Karbohidrat
Merupakan sumber energi utama didalam menu makanan Indonesia. Penggunaan
karbohidrat relatif menurun pada usia lanjut karena kebutuhan kalori juga
menurun. Untuk usia lanjut dianjurkan mengkonsumsi karbohidrat komplek
karena juga mengandung vitamin, mineral dan serat dari pada mengkonsumsi
karbohidat murni seperti gula. Dianjurkan pada usia lanjut mengkonsumsi 60-65
% karbohidrat sebagai kebutuhan energi.
C. Penilaian Asupan Zat Gizi
Dalam kegiatan pengkajian status gizi individu atau kelompok selalu
dilakukan pengkajian asupan makan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menilai asupan zat gizi yaitu penentuan sisa makanan dengan metode taksiran visual
Comstock.
Sisa makan atau plate waste merupakan makanan yang tidak habis termakan
dan dibuang sebagai sampah ( Azwar, 1990 ). Menurut Muwarni (2001 ) yang
dimaksud sisa makanan pasien adalah semua atau sebagian makanan yang disajikan
kepada pasien dan benar-benar dapat dimakan, tetapi tidak habis dimakan atau tidak
dimakan dan dibuang sebagai sampah.
Sisa makanan diukur dengan menggunakan observasional method, pada
metode ini sisa makanan diukur dengan cara menaksir secara visual banyaknya sisa
makanan untuk setiap jenis hidangan. Hasil taksiran bisa dalam bentuk berat
makanan untuk setiap jenis hidangan.
Hasil taksiran bisa dalam bentuk gram atau dalam bentuk skor bila
menggunakan skala pengukuran.
Comstock mengembangkan metode taksiran visual dengan menggunakan
skala 6 point untuk mengukur sisa makanan. Berat sisa makanan diperkirakan
dengan cara hasil pengukuran dikonversi kedalam persen kemudian dikalikan dengan
berat penyajian. Skala 6 point yang dimaksud yaitu :
0 = Tidak ada sisa makanan atau bila makanan yang disajikan
dikonsumsiseluruhnya
1 = Terdapat sisa seperempat (1/4) atau bila makanan yang disajikan dikonsumsi
75%.
2 = Terdapat sisa setengah (1/2) atau bila makanan yang disajikan dikonsumsi
50%
3 = Terdapat sisa tiga perempat (3/4) atau bila makanan yang disajikan
dikonsumsi 25%
4 = Terdapat banyak sisa makanan atau biala makanan yang disajikan
dikonsumsi hanya 5%.
5 = Terdapat sisa makanan penuh atau bila makanan yang disajikan tidak ada
yang dikonsumsi (Astuti, 2002).
.
D. Penilaian Status Gizi
Status gizi adalah merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan
yang masuk kedalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient
output). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
yang baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu
atau lebih zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksik
yang membahayakan. Baik status gizi kurang maupun status gizi lebih terjadi
gangguan gizi.
Status gizi lansia dapat dinilai dengan cara-cara yang baku bagi berbagai
tahapan umur yakni penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi
secara tidak langsung (Jelliffe, 1966). Penilaian status gizi secara langsung
dilakukan melalui pemeriksaan klinik, antropometrik, biokomia dan biofisik.
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu : survey konsumsi
makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi, faktor eksternal antara lain
konsumsi makanan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, infeksi, aktifitas dan
lain-lain. Faktor internal seperti jaringan tubuh, jenis kelamin, usia, sekkresi
hormone, tonus pada waktu tidur, kondisi emosi dan mental, tonus otot, status
kesehatan, kondisi khusus (Apriliadji, 1986).
Pemeriksaan antropometerik adalah pengukuran variasi berbagai dimensi
fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat
kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan atas dan tebal lemak dibawah kulit.
Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap umur dan jenis
kelamin.
Dalam melakukan intepretasi, digunakan berbagai baku (standar) internasional
maupun nasional seperti baku WHO, NCHS, Harvard dan sebagainya. Perlu
ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada lansia dapat memberikan
nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena telah terjadinya osteoporosis pada
lansia yang akan berakibat pada kompresi tulang-tulang columna vertebral. Untuk itu
para ahli sepakat bahwa sebagai gantinya tinggi badan dapat dipakai panjang rentang
lengan (armspan) dalam penentuan indeks massa tubuh (BMI) (Schultink et al, 1995).
Ternyata korelasi koefisien antara BMI dengan BMA (body mass-armspan) cukup
tinggi yaitu 0,83 dan 0,81 untuk wanita dan pria dengan nilai p-0,001.
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun.
IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak remaja, ibu hamil dan olahragawan.
Disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit)
lainnya seperti adanya oedema, ascites, dan hepatomagali.
Rumus perhitungan IMT adalah :
IMT = _________Berat badan (kg)_________
Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Atau berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter).
TABEL 1
KATEGORI AMBANG BATAS INDEKS MASSA TUBUH UNTUK ORANG INDONESIA
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat
ringan
17,0 – 18,5
Normal > 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan > 25,0 – 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
E. Kerangka Teori
JUMLAH MAKANAN MUTU MAKANAN
KOMSUMSI MAKANAN
STATUS GIZI
PENAMPILAN MENTAL FISIK
SOSIAL
TINGKAT KEBUTUHAN
PENGGUNAAN METABOLIK
1. Faktor jaringan aktif dalam tubuh
2. Besar dan luas bidang permukaan tubuh
3. Komposisi tubuh
4. Jenis Kelamin
5. Usia
GAMBAR 1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI
(APRILIADJI, 1986)