BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Skizofrenia...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Skizofrenia...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri yang merupakan
sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat
mengganggu, melibatkan proses pikir, emosi, gerakan dan tingkah laku.
Skizofrenia sebagai suatu gangguan kronik dengan konsekwensi fisik,
sosial dan ekonomik. Skizofrenia merupakan masalah utama dalam
kesehatan masyarakat yang berpengaruh pada sebagaian besar orang dan
kerugian ekonomi diseluruh dunia. Kerugian secara ekonomik yang
diakibatkan skizofrenia diperkirakan 33 milyar dolar di Amerika Serikat
pada tahun 1990. Kebanyakan biaya tersebut dihubungkan dengan
konsekwensi gejala psikosis yang mengalami relaps.
Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran,
persepsi yang mendasar dan khas, dan efek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan walaupun defisit
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Gangguan ini melibatkan
fungsi yang paling mendasar yang memberikan kepada orang normal suatu
perasaan individual, keunikan dan pengarahan diri (self-direction).
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang mengakibatkan kerusakan
berat dan mengakibatkan disabilitas. Di Amerika Serikat, prevalensi
skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1-
1.5%, biasanya diawali pada masa remaja atau pada awal dewasa, dengan
usia puncak onset untuk laki laki adalah 10-25 tahun; untuk wanita 25-35
tahun, kurang dari 20% pasien mengalami kesembuhan total (full
recovery) setelah episode pertama. Skizoprenia paranoid adalah jenis
skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran
klinis didominasi oleh waham. Waham yang secara relatif stabil, seringkali
10
bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi, terutama halusinasi
pendengaran dan gangguan persepsi.
a. Skizofrenia paranoid adalah salah satu dari beberapa jenis
skizofrenia, yaitu suatu penyakit mental yang kronis di mana seseorang
kehilangan kontak dengan kenyataan/ realitas (psikosis). Gambaran
umum dari skizofrenia paranoid adalah adanya delusi (waham) dan
mendengar hal-hal yang tidak nyata. Dari semua jenis skizofrenia,
skizofrenia paranoid mungkin yang paling sering didiagnosis. jenis
paranoid memiliki prognosis keseluruhan terbaik.(Lane, 2013)
b. Karakteristik dan Gejala skizofrenia paranoid memiliki syarat untuk
menentukan diagnosis, dua kriteria utama yang harus dipenuhi (Lane,
2013):
1) Pengalaman Sering halusinasi pendengaran atau keasyikan dengan
setidaknya satu khayalan atau delusi.
2) Gejala-gejala berikut tidak menonjol: emosi tumpul atau tidak ada
ekspresi, perilaku tidak teratur, perilaku katatonik, atau berbicara
yang tidak teratur.
c. Delusi dan Halusinasi
1) Delusi sering disebut waham ialah keyakinan yang dipegang teguh
tidak didasarkan pada realitas. Contoh dari khayalan akan menjadi
keyakinan bahwa alien telah menghapus otak seseorang dan
menggantinya dengan otak alien. Pada skizofrenia paranoid, delusi
sering terlibat keyakinan bahwa mereka adalah korban atau sasaran
penganiayaan. Mereka mungkin percaya seseorang memata-matai
mereka atau berencana menyakiti mereka. Khayalan mungkin juga
megah di alam, misalnya, keyakinan bahwa dia memiliki kekuatan
supranatural atau pada misi untuk menyelamatkan dunia. Jenis lain
dari delusi juga dapat terjadi, seperti yang melibatkan tubuh
mereka.
11
Jenis – Jenis Delusi (Keith, Regier, & Rae, 1991)
a) Kebesaran: juga dikenal sebagai delusi keagungan, adalah rasa
berlebihan kepentingan atau diri.Sekarang sering disertai dengan
keyakinan pemikiran magis.
b) Penganiayaan: Orang dengan skizofrenia mungkin mengalami
delusi penganiayaan. Mereka mungkin percaya seseorang sedang
mencoba untuk menyakiti mereka dan, karena itu, kegagalan
pribadi dalam kehidupan adalah kesalahan dari orang lain yang
berbahaya.
c) Delusi kontrol: terjadi ketika orang percaya bahwa perasaan,
impuls, pikiran, atau tindakan tidak seseorang memiliki tetapi
dipaksakan oleh kekuatan eksternal.
d) Waham agama melibatkan keyakinan palsu dengan agama atau
tema spiritual.
e) Waham Erotomanic adalah keyakinan bahwa biasanya seseorang
yang terkenal dan status yang lebih tinggi, jatuh cinta dengan dia
atau dia. Kadang-kadang berubah kekerasan, bukan karena
kebencian orang, tetapi karena orang tidak dapat memenuhi delusi
romantis.
f) Waham Somatik terjadi ketika orang percaya sesuatu abnormal
dan berbahaya yang terjadi pada tubuh mereka.
g) Ide referensi adalah pernyataan atau tindakan oleh seseorang lain
yang sama sekali tidak mengacu pada orang, tetapi yang ditafsirkan
sebagai berkaitan dengan dia atau dia.
h) pemikiran penyiaran terjadi ketika orang percaya bahwa pikiran
mereka dapat didengar oleh orang lain.
i) Penarikan Pikiran adalah keyakinan bahwa orang lain mampu
menghilangkan pikiran dari pikiran seseorang.
j) Pemikiran penyisipan adalah keyakinan bahwa orang lain mampu
menempatkan pikiran ke dalam pikiran seseorang.
12
2) Halusinasi pendengaran biasanya dialami sebagai suara. Suara-suara
mungkin berbicara dengan mereka atau tentang mereka. Kadang-
kadang suara mengomentari aktivitas mereka atau mengatakan bahwa
mereka berada dalam bahaya. Suara-suara juga dapat memerintahkan
mereka untuk melakukan hal-hal tertentu, seperti bunuh diri atau
berhenti minum obat mereka. Sebagian besar waktu, halusinasi terkait
dengan keyakinan delusional.
Halusinasi merupakan keadaan di mana individu/kelompok mengalami
atau berisiko mengalami suatu perubahan dalam jumlah, pola, atau
interpretasi stimulus yang datang (Carpenito, 2001).
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan seseorang mengalami
halusinasi diantaranya panik, isolasi sosial, dan stres berat sehingga
mengancam ego yang lemah.
Tanda dan gejala
a) Data subjektif
Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang mengejek
dan menyinggung perasaannya dan membuatnya kesal
(1) Klien mengatakan dirinya sering mendengar suara-suara yang
menyuruhnya untuk memukul dan mencekik adiknya
(2) Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang tidak
kelihatan sumbernya
b) Data Objektif
(1) Klien tampak berbicara dan tertawa sendiri
(2) Klien tampak gelisah
(3) Klien tampak ketakutan
(4) Ansietas
(5) Klien bersikap seperti mendengarkan sesuatu (memiringkan
kepala ke satu sisi seperti jika seseorang sedang mendengarka
sesuatu)
(6) Klien tiba-tiba berhenti berbicara ditengah-tengah kalimat
untuk mendengarkan sesuatu
13
(7) Disorientasi waktu/ tempat/ orang
(8) Konsentrasi rendah
(9) Respons tidak sesuai
(10) Kekacauan alur piker
Literatur lain yang khas dari skizofrenia paranoid adalah sikap
superioritas atau kecenderungan untuk menggurui terhadap orang lain.
Mereka mungkin menyendiri atau argumentatif. Kemarahan dan perasaan
cemas juga tidak jarang. Mereka bisa menjadi sangat kuat ketika
berinteraksi dengan orang lain, atau biasa formal.skizofrenia paranoid itu
biasanya fungsi kognitif dan ekspresi emosional kurang terganggu dari
pada di beberapa subtipe lain.
Sebuah penurunan dalam fungsi, setelah timbulnya gejala,
setidaknya dalam salah satu aspek utama dari kehidupan seseorang
(misalnya, pekerjaan, sekolah, hubungan, perawatan diri). Tanda-tanda
gangguan yang hadir terus menerus untuk jangka waktu minimal 6 bulan.
Untuk setidaknya satu bulan jangka waktu (tanda dan gejala bekurang jika
mereka mendapatkan pengobatan yang efektif). Gangguan skizoafektif
(gangguan mirip dengan skizofrenia tetapi dengan episode suasana
menonjol) atau gangguan mood lainnya telah dikesampingkan.
Bunuh Diri dan Kekerasan Penderita skizofrenia paranoid mungkin
rentan terhadap bunuh diri sebagai akibat dari keyakinan bahwa mereka
dianiaya atau dilecehkan. Mereka juga mungkin mencoba untuk menyakiti
dirinya sendiri atau orang lain jika mereka mendengar suara-suara
memberitahu mereka untuk melakukannya. Jika mereka memiliki
keyakinan buruk terhadap orang lain mungkin lebih cenderung untuk
menjadi kekerasan terhadap orang lain, seperti menyakiti seseorang yang
mereka anggap sebagai ancaman atau berada di jalan mereka.
Faktor-faktor lain orang yang mengembangkan skizofrenia paranoid
sering mulai mengalami gejala pada usia lanjut dibandingkan dengan jenis
lain. Literature lain mendefinisikan gangguan ini juga cenderung tetap
14
cukup stabil dari waktu ke waktu. Dibandingkan dengan subtipe lain,
penderita skizofrenia paranoid sering lebih mungkin untuk dapat hidup
mandiri dan dan dapat mempertahankan bekerjan.
2. Konsep Keluarga
Sullivan (2003) mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia
paranoid adalah gangguan kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, lingkungan terutama keluarga, keluarga memegang peran penting
dalam proses terjadinya skizofrenia paranoid. Pernyataan ini juga berlaku
sebaliknya, lingkungan dan keluarga memegang peran penting dalam
penyembuhan skizofrenia paranoid. Sebab skizofrenia paranoid
merupakan hasil dari kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam
hubungannya dengan lingkungan selama masa perkembangan individu
(Kaplan & Sadock, 2005)
a. Definisi Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil didalam masyarakat.
Kehidupan berkeluarga saling mempengaruhi antara anggota keluarga
yang satu dengan anggota keluarga yang lain. Menurut Burgess dan
koleganya (1963, dalam Friedman, 1998) keluarga terdiri dari orang-
orang yang disatukan dalam ikatan perkawinan, darah dan ikatan
adopsi yang hidup hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau
jika mereka hidup terpisah mereka menganggap rumah tangga tersebut
sebagai rumah mereka, serta saling berinteraksi dan berkomunikasi
satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri,
ayah dan ibu,anak laki-laki dan perempuan, saudara dan saudari yang
menggunakan kultur yang diambil dari masyarakat dengan berapa ciri
unik tersendiri.
Keluarga juga diartikan dua orang atau lebih dimana mereka
hidup bersama dan saling berbagi ekonomi yang mempuyai hubungan
dengan kelahiran, perkawinan atau adopsi dan mempunyai komitmen
untuk setiap anggotanya dalam waktu yang tak terbatas dan tugas
utamanya adalah memelihara pertumbuhan psikososial anggota-
15
anggotanya dan kesejahteraan selama hidupnya secara umum (Murray
& Huelskoetter, 1995, Friedman, 1998). Merujuk dari pengertian dari
beberapa teori keluarga adalah dua orang atau lebih yang hidup
bersama yang diikat oleh perkawinan, ikatan darah, dan adopsi yang
terdiri dari ayah, ibu, anak dan saudara yang tinggal dalam satu rumah
yang saling berbagi dalam hal ekonomi dan mempunyai suatu
komitmen serta menjalankan perannya masing-masing, tidak hanya
hanya memperhatikan pertumbuhan fisik tetapi juga memilhara
pertumbuhan psikososial anggota keluarganya.
b. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga di definisikan sebagai hasil atau konsekuensi
dari struktur keluarga. fungsi-fungsi dasar keluarga untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anggota individu keluarga dan masyarakat yang
lebih luas (Friedman, 1998). Fungsi keluarga sangat penting dalam
menjalan kehidupan berkeluarga. Jika ada salah satu fungsi yang tidak
berjalan dengan baik akan mempengaruhi fungsi-fungsi lainnya.
Lima fungsi keluarga yang paling berhubungan erat saat mengkaji dan
mengintervensi keluarga menurut Friedman (1998) adalah:
1) Fungsi Afektif
Menurut Duvall(1977, dalam Friedman, 1998) kebahagian di
ukur dengan kekuatan dan cinta kasih keluarga. Keluarga harus
memenuhi kebutuhan-kebutuhan afeksi atau kasih sayang dari
anggotanya karena respon afektif dari seorang anggota keluarga
memberikan penghargaan terhadap kehidupannya. Peran sebagai
orang tua, fungsi ini berkaitan dengan persepsi keluarga dan
perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan sosio-emosional para
anggota keluarga, meliputi pengurangan tekanan dan penjagaan
terhadap moral.
Pada keluarga yang anggota keluarganya mengalami
gangguan jiwa peran ini sangat penting dalam memberikan
perawatan, perhatian dan kasih sayang yang diberikan keluarga
16
akan sangat membantu dalam proses penyembuhan secara
psikologis yang juga akan berpengaruh kepada fisik. Jika ada
anggota keluarga yang sakit diharapkan anggota keluarga yang lain
memberikan perhatian dan kasih sayang kepada yang sakit, bila
anggota keluarga yang sehat tidak dapat menjalankan fungsi ini
tentu akan berpengaruh terhadap masalah psikososial keluarga
seperti ansietas dan beban keluarga dalam merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
2) Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi anggota keluarga merupakan syarat fungsional
silang budaya bagi keberlangsung masyarakat (Lislie & Korman,
1989, dalam Friedman, 1998). Fungsi ini menyatakan begitu
banyak pengalaman belajar yang ada dalam keluarga dengan tujuan
untuk mengajarkan anak-anak dapat berfungsi dan menerima
peran-peran sosial dewasa seperti suami-ayah dan istri-ibu. Dengan
kata lain fungsi sosialisasi ini membuat anggota keluarga menjadi
anggota masyarakat yang produkitf, dan sebagai penganugerahan
status anggota keluarga.
Keluarga dengan anggotanya yang mengalami penyakit
gangguan jiwa tentu akan mengalami masalah dalam peran ini.
Penyakit gangguan jiwa dapat menimbulkan kecacatan bagi
penderitanya misalnya ketidakmampuan bicara, kelemahan dan
kelumpuhan, hal ini tentu membuat anggota yang sakit gangguan
jiwa ini tidak dapat bersosialisasi karena keterbatasan tersebut.
Lamanya waktu perawatan serta dampak dari penyakit gangguan
jiwa ini tentu akan membuat keluarga tidak banyak waktu untuk
bersosialisasi dengan orang-orang disekitarnya akibat waktu yang
digunakan tersita oleh perawatan yang diberikan kepada anggota
yang sakit, sehingga fungsi sosialisasi menjadi menurun.
17
3) Fungsi Reproduktif
Fungsi reproduksi ini adalah untuk menjamin kontinuitas
keluarga antar generasi dan masyarakat yaitu menyediakan tenaga
kerja bagi masyarakat (Lislie & Korman, 1989, dalam Friedman,
1998). Penyakit gangguan jiwa dapat menyebabkan kelumpuhan
termasuk kemampuan untuk berproduksi. Kelumpuhan pada alat
reproduksi yang terjadi pada seorang suami yang diharapkan dapat
memberikan keturunan tentu akan berpengaruh terhadap
kemampuan dalam meneruskan keturunan. Sehingga bila hal ini
terjadi tentu fungsi ini akan terganggu.
4) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi meliputi tersedianya sumber-sumber dari
keluarga secara cukup-finansial, ruang gerak dan materi dan
pengalokasian sumber-sumber tersebut yang sesuai melalui proses
pengambilan keputusan (Friedman, 1998). Penyakit gangguan jiwa
tentu akan menguras ekonomi keluarga dalam memberikan
perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit. Jika seorang
suami atau ayah yang berfungsi sebagai tulang punggung keluarga
dan pencari nafkah yang menderita gangguan jiwa maka
pendapatan keluarga akan berkurang sehingga peran ini akan
digantikan oleh anggota keluarga yang lain, sehingga ini akan
menimbulkan beban bagi keluarga. Keluarga dapat memanfaatkan
sumber-sumber yang tersedia dalam anggota keuarganya agar
fungsi ekonomi ini dapat berjalan dengan baik.
5) Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi-fungsi fisik keluarga di penuhi oleh orang tua dengan
menyediakan pangan, papan, sandang dan perlindungan terhadap
bahaya. Perawatan kesehatan dan praktik-praktik sehat (yang
mempengaruhi status kesehatan anggota keluarga secara
individual) merupakan bagaian yang paling relevan dari fungsi
keluarga bagi perawatan keluarga (Friedman, 1998).
18
Anggota keluarga yang sakit gangguan jiwa tentu
membutuhkan anggota keluarga yang lain untuk merawatnya.
Anggota keluarga membutukan informasi dan pengetahuan tentang
penyakit gangguan jiwa dalam merawat anggotanya, karena tanpa
pengetahuan yang cukup dalam merawat anggota yang menderita
gangguan jiwa tentu akan menyulitkan dalam memberikan
perawatan.
Keluarga dapat memberikan perawatan kesehatan kepada
anggotanya yang sakit dengan membawa ke tempat-tempat fasilitas
kesehatan untuk perawatan maupun rehabilitasi. Perawatan
kesehatan ini dapat dilakukan oleh semua anggota keluarga secara
secara bergiliran agar selain fungsi ini dapat berjalan baik tentu
saja hal ini akan mengurangi beban bagi keluarga.
Selain dari fungsi perawatan kesehatan, ada faktor lain yang
mempengaruhi kesehatan keluarga. Menurut Notoatmodjo (2003)
faktor umur, jenis kelamin, kelas sosial, pekerjaan,jenis pekerjaan,
penghasilan, etnis atau budaya, status perkawinan, besar keluarga,
struktur keluar dan paritas keluarga dapat mempengaruhi kesehatan
dalam keluarga, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental.
Keterlibatan keluarga dalam setiap perawatan kesehatan
anggota keluarganya yang gangguan jiwa sangat penting. Friedman
(1992, dalam Nies & Mc.Ewen, 2001) mengemukakan enam
alasan pemberdayaan keluarga, yaitu: (1) bila salah satu unit
keluarga mengalami disfungsi maka berdampak pada anggota dan
seluruh keluarga; (2) potensi keluarga tergantung dari peran
keluarga dalam setiap aspek perawatan keluarga secara preventif
dan rehabilitasi; (3) potensi dapat ditingkatkan melalui perawatan
dan mengurangi risiko pada lingkungan dan gaya hidup dengan
cara promosi kesehatan, self care, pendidikan kesehatan, dan
konseling keluarga; (4) diskusi tentang penyakit atau faktor risiko
untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah; (5)
19
fungsi individu yang optimal hanya dapat tercapai bila
mendapatkan bantuan dari sebagian besar keluarga; dan (6)
keluarga merupakan sistem pendukung utama.
Menurut Mohr (2006) ada lima peran dalam keluarga adalah
memberikan respon terhadap kebutuhan anggota keluarga,
membantu mengatasi masalah dan stress dalam keluarga secara
aktif, memenuhi tugas dengan distribusi yang merata dalam
keluarga, menganjurkan interaksi terhadap sesama anggota
keluarga dan komunitas, meningkatkan kesehatan personal.
Keluarga yang anggotanya menderita gangguan jiwa tentu akan
mengalami ansietas dan beban akibat dari penyakit yang diderita
oleh anggotanya. Keluarga dapat bekerja sama antara anggotanya
dalam menjalankan perannya masing-masing, bila peran dalam
keluarga apat berjalan dengan baik tentu fungsi keluarga dapat juga
berjalan dengan baik karena sisem dalam keluarga akan saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan saling
ketergantungan.
c. Respon keluarga terhadap anggota yang skizofrenia
Ketika gangguan jiwa dipandangan sebagai suatu beban sendiri
bagi keluarga, maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat obyektif
dan subyektif. Dikatakan obyektif, maksudnya berupa tingkah laku
pasien, peran pasien, bantuan untuk memenuhi kebutuhan pasien,
masalah keuangan dan lain-lain. Sedangkan beban keluarga dikatakan
bersifat subyektif, maksudnya berupa perasaan pasien karena menjadi
beban bagi keluarga.
Kategori respon keluarga terhadap anggota keluarga dengan gangguan
jiwa menurut Susana (2007):
1) Berduka (grief)
Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi sehubungan
dengan adanya proses kehilangan seseorang yang awalnya dikenal
sebelum sakit, untuk kemudian hilangnya harapan
20
pada pasien, hanya masalahnya, seberapa dalam dan lamanya
respon berduka ini dialami oleh keluarga, seawal mungkin perawat
mampu mengidentifikasinya, sehingga keluarga maupun pasien
sendiri dapat pulih dengan segera.
2) Marah (anger)
Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka akan
berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon tersebut
merupakan hal yang wajar namun jangan sampai perilaku
tersebut membawa keluarga kedalam penderitaan yang justru
semakin parah lagi.
3) Merasa tidak berdaya dan takut
Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk
mengobati atau menyembuhkan pasien skizofrenia. Pada
kenyataanya patologis gangguan jiwa itu sendiri semakin lama
diderita justru semakin sulit kesembuhannya, inilah yang
menyebabkan keluarga merasa tidak berdaya dan takut. Perasaan
keluarga demikian, di negara kita juga didukung oleh rata-rata
keadaan ekonomi yang pas-pasan bahkan kekurangan, sehingga
sangat wajar, apabila tidak sedikit mereka yang terganggu jiwanya
menjadi gelandangan atau keluyuran dimana-mana atau tersangkut
oleh razia dinas sosial (Susana,2007).
d. Penerimaan keluarga
Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia ditandai dengan
adanya perhatian dan kasih sayang, memberikan waktu berperan serta
dalam kegiatan sehari-hari, tidak mengharapkan terlalu banyak pada
penderita. Penerimaan keluarga terhadap skizofrenia yang sebenarnya
sesuai dengan pemahaman yang dimiliki keluarga akan menerima
kondisi penderita baik secara mental maupun fisik serta memberikan
kasih-sayang, perhatian yang banyak dan mampu untuk memahami
perkembangan sejak dini. Menerima seseorang dengan ikhlas, tepat
21
serta apa adanya orang tersebut, adalah faktor kritis dalam membantu
mengembangkan perubahan konstruktif orang tersebut, dalam memberi
kemudahan pemecahan problemnya, dan mendorong usaha menuju
kesehatan jiwa yang lebih besar atau belajar produktif
(Gordon, 1996).
e. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan pasien skizofrenia
oleh keluarga
Rivai (1996) mengatakan bahwa rumah sakit jiwa seringkali
mengalami kesulitan memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab
setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh kembali,
selain itu keluarga pasien sering menolak menerima kembali dengan
berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap
penanganan dan perawatan pasien mantan gangguan jiwa. Pasien
dengan perawatan pasien dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa
memang memerlukan waktu yang lama, terutama pasien dengan
gangguan jiwa kronis (menahun), disebabkan kurangnya keterlibatan
keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga
keluarga tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi.
Proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari Unit
Psikiatri di awali dengan pertemuan yang pada proses keperawatan
disebut dengan proses pangkajian. Proses pengkajian ini penting
dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan keluarga sehingga
dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga
berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di
rumah. Biasanya yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan
dengan kesiapan mereka menerima kepulangan pasien gangguan jiwa
dan faktor-faktor tersebutlah yang paling banyak menjadi alasan
keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa ditengah-tengah
keluarga mereka (Depkes RI, 1994).
22
f. Peran serta keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien
skizofrenia. Umumnya, keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan
jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab kambuhnya gangguan
jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di
rumah. Keluarga merupakan tempat individu memulai hubungan
interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi”
pendidikan utama bagi individu
untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan
perilaku. Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan
umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi
perilaku tersebut. Semua ini merupakan persiapan individu untuk
berperan di masyarakat (Keliat, 1996).
Menurut Hawari (2003) salah satu kendala dalam upaya
penyembuhan pasien gangguan jiwa adalah pengetahuan masyarakat
dan keluarga. Keluarga dan masyarakat menganggap gangguan jiwa
penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi keluarga. Penilaian
masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai akibat dari dilanggarnya
larangan, guna –guna, santet, kutukan dan sejenisnya berdasarkan
kepercayaan supranatural. Dampak dari kepercayaan masyarakat dan
keluarga, upaya pengobatan pasien gangguan jiwa dibawa berobat ke
dukun atau paranormal. Kondisi ini diperberat dengan sikap keluarga
yang cenderung memperlakukan pasien dengan disembunyikan,
diisolasi, dikucilkan bahkan sampai ada yang dipasung.
g. Faktor-faktor yang perlu dikaji dikeluarga :
1) Pengetahuan keluarga
Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang
peran dan tanggung jawab dalam proses keperawatan yang
direncanakan untuk perawatan klien dirumah. Faktor ini adalah
23
salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak keluarga
padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan
peran yang paling penting (Depkes RI, 1994).
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan
awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota
keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat
menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami
persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi
dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga
dapat memperlakukan mereka dalam keluarga secara baik dan
memadai, bersifat terapeutik dan membawa anggota keluarga
tersebut kepada kesembuhan yang seteru. Perlakuan-perlakuan
keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap
perilaku kekerasan, apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap
yang benar dapat mengakibatkan kekambuhan kembali (Chandra,
2004).
Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu
menegetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil
keputusan untuk menetukan bagaimana sikap yang sebaiknya
diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak
keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum
obat (berobat) apabila gejala-gejala suda menghilang/berkurang,
juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan
jiwa hanya perlu medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat
proses pemulihanny dirumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi
penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan
rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna
resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan (Vijay, 2005).
24
1) Peran serta keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang
memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit)
pasien skizofrenia. Umumnya, keluarga meminta bantuan
tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor
penyebab kambuhnya gangguan jiwa adalah keluarga yang
tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah. Keluarga
merupakan tempat individu memulai hubungan interpersonal
dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi”
pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan
mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku. Individu
menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik
keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku
tersebut. Semua ini merupakan persiapan individu untuk
berperan di masyarakat (Keliat, 1996).
2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2003) pengetahuan dipengaruhi oleh
faktor :
(a) Pendidikan
Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang
lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri
individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil
penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap
perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidkan
itu mempertinggi taraf intelegensi keluarga dalam merawat
pasien skizofrenia agar pasien skizofrenia mampu kembali
ke keluarga dan beradaptasi dengan lingkungan.
25
(b) Persepsi
Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil. Persepsi keluarga tentang
skizofrenia merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kesembuhan pasien skizofrenia tersebut.
Keluarga menganggap skizofrenia merupakan penyakit
yang memalukan dan membawa aib bagi keluarga maka hal
ini juga akan mempengaruhi kesembuhan pasien
skizofrenia.
(c) Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga
penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk
melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang
dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan
munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari
dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni adalah
motivasi yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu
perilaku akan dirasakan suatu kebutuhan. Motivasi keluarga
dalam mencari informasi tentang skizofrenia
mempengaruhi cara keluarga melakukan perawatan pada
pasien skizofrenia. Tingginya motivasi keluarga untuk
mendapatkan informasi menunjang tingginya pengetahuan
dan informasi yang diperoleh keluarga mengenai
skizofrenia
(d) Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui,
dikerjakan) juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang
tertangkap oleh indera manusia. Faktor eksternal yang
mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi :
lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi.
Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi
26
pengembangan sifat dan perilaku individu. Sosial ekonomi,
penghasilan sering dilihat untuk memiliki hubungan antar
tingkat penghasilan dengan pemanfaatan. Kecenderungan
perawatan berulang pada pasie skizofrenia merupakan
pengalaman keluarga dalam merawat pasien skizofrenia.
Pengalaman tersebu merupakan pembelajaran kepada
keluarga tentang bagaimana cara yang tepat merawat pasien
skizofrenia
h. Struktur keluarga
Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang
memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya,
sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat
menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling
percaya menghargai, memperhatikan dan menerima. Pelaksanaan
peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut
keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial
yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga
(Depkes RI, 1994).
Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuahan
atau pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap
menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita.
Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat
penderita skizofrenia semakin depresi bahkan cenderung bersikap
kasar. Akan tetapi, terlal memanjakan juga tidak baik (Chandra, 2004).
Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga
menjadi emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat
yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan penderita memicu
kekambuhan (Sumarjo, 2004). Penelitian tentang faktor psikologis
sebagai sebab skizofrenia berfokus pada hubungan orang tua dan anak,
pola komunikasi dalam keluarga. Penelitian keluarga penderita
skizofrenia mengidentifikasikan dua tipe keluarga yang tampaknya
27
dapat menyebabkan gangguan tersebut. Pada keluarga pertama orang
tua sangat menarik batas dan tidak mau bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama, masing-masing tidak menghargai dan mencoba
mendominasi yang lain serta berlomba memperoleh kesetiaan anaknya.
Kedua tidak terdapat perselisihan yang terbuka, orang tua yang
dominan menunjukkan psikopatologi yang serius sehingga orang tua
yang satunya secara pasif menerimanya sebagai hal normal. Kedua
keluarga di atas mengambarkan keluarga yang aneh, tidak dewasa, dan
yang memanfaatkan anaknya untuk memenuhi kebutuhan mereka dan
dengan mudah menyebabkan anak-anak merasa bingung, terasing dan
tidak yakin akan perasaan yang sebenarnya. Dalam arti tertentu anak-
anak tumbuh dan belajar menerima distorsi-distorsi realita orang
tuanya sebagai hal yang normal (Otong, 1994).
i. Dukungan Keluarga
Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan,
mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini
adalah gangguan jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh
karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai
pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka
dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting
(Depkes RI, 1994).
Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada
penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
menderita gangguan menta menyembungikannya sehingga tidak terlihat
oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat
dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan. Yang harus
dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan
perhatian agar mereka tidak disingkirkan (Chandra, 2004).
Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya
sebagai bagian dari orang yang disayangi sangatlah diperlukan agar
mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia
28
layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat
penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya
kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin
pasien dan keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan
klien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam
mengatasi gejala yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya
masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan penderita
gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga
terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang
membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh
keluarganya sendiri, akhirnya factor lingkungan dalam keluarga justru
tidak mendukung kesembuhan pasien (Sumarjo, 2004).
Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai
penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan
keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada
tingkat yang paling parah seperti “gila”, sehingga penderita harus
disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan
oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis
untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita
kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk
kondisi penderita itu sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan
jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi
dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada di tengah-tengah
keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka
butuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih
sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orang-orang
terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi
jiwanya (Tarjum, 2004).
Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan
syarat ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga
dan orang-orang terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya
29
penerimaan merupakan hal tersulit yang dapat diperoleh seorang
penderita. Masih banyak orang tua yang malu mengakui anaknya adalah
pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin menjauhkan
penderita dari kemungkinan untuk sembuh
(Sumarjo, 2004).
Jenis-jenis dukungan keluarga:
1) Dukungan emosional : pasien skizofrenia membutuhkan empati dari
orang lain. Bila mana orang dapat menghargai, mempercayai dan
mengerti dirinya lebih baik, pasien skizofrenia akan menjadi lebih
terbuka terhadap aspek-aspek baru dalam pengalaman hidupnya.
2) Dukungan penghargaan : pasien skizofrenia membutuhkan
penghargaan yang positif. Penilaian atas usaha-usaha yang dilakukan
dan peran sosial yang terdiri atas umpan balik merupakan alat yang
digunakan untuk memberikan masukanmasukan agar seseorang
mengurangi perasaan-perasaan negative yang dirasakan, dan
mengembangakan harga diri pasien skizofrenia yang positif.
3) Dukungan informatif : pemberian informatif dimaksudkan agar
informasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah pribadi maupun
masalah lain. Informasi ini mencangkup pemberian nasehat,
pengarahan, saran-saran dan keterangan-keterangan yang dibutuhkan
oleh pasien skizofrenia.
4) Dukungan instrumental : dukungan yang berupa batuan langsung
seperti ketika orang lain memberikan bantuan tenaga atau pikiran
atau membantu mengeluarkan dari stres pada pasien skizofrenia
(Kartono, 1989).
j. Karakteristik Sistem Keluarga
Keluarga (Caregive) di pandang sebagai suatu unit perawatan dan
patner pada intervensi maupun rehabilitas (Fountaine, 2003). Oleh
karena itu perawat perlu memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi karakteristik keluarga. Menurut Stuart & Laria (2005).
30
Beberapa faktor sosiokultural yang dapat berfungsi sebagai factor
resiko atau pendukung dalam system keluarga yaitu :
a. Usia
Usia akan mempengaruhi cara individu membuat keputusan,
semakin bertambah usia seseorang biasanya semakin menambah
keyakinan untuk mencari pertolongan ke petugas kesehatan. Usia
yang matang biasanya dicapai pada usia 25-44 tahun. Setelah usia
tersebut maka dapat terjadi penurunan kepercayaan terhadap
sesuatu. Hal ini diakibatkan pengalaman hidup dan kematangan
jiwa seseorang
b. Etnis
Istilah etnis berhubungan dengan ras, kebangsaan, suku, bahasa
asal, kebudayaan. Etnis turut berkontrubusi terhadap
perkembangan dan pemulihan gangguan jiwa. Factor kebudayaan
biasanya menjadi penghambat untuk mencari pertolongan
kesehatan. Bangsa Amerika dan kulit hitam lebih tinggi
memanfaatkan fasilitas kesehatan di banding bangsa asia
c. Jenis kelamin
Umumnya laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi yang sama
terhadap gangguan jiwa, perbedaan hanya pada jenis gangguannya.
Pada laki-laki lebih kepada kekerasan, sedangkan perempuan pada
gangguan efektif dan kecemasan.
d. Pendidikan
Beberapa study menjelaskan pentingnya pendidikan sebagai
sumber koping dan pencegahan terhadap gangguan jiwa. Individu
dengan pendidikan tinggi lebih sering mengguanakan kesehatan
jiwa di banding pendidikan rendah
e. Pendapatan
Faktor resiko yang menentukan seseorang mencari pertolongan dan
dalam pengambilan keputusan menentukan fasilitas kesehatan.
31
f. System keyakinan
Keyakinan seseorang meliputi semua aspek kehidupan meliputi
system keyakinan, pandangan, agama, atau spiritualitas yang dapat
memberikan efek positif atau negative terhadap kesehatan jiwa.
System keyakinan yang adaptif dapat meningkatkan kesejahteraan
dan kwalitas hidup, sedangkan system keyakinan yang maladaptif
dapat berperan terhadap perubahan status kesehatan dan penolakan
terhadap intervensi yang dianjurkan
c. Konsep Kecemasan
1. Pengertian
Kecemasan merupakan pengalaman individu yang bersifat
subyektif yang sering bermanifestasi sebagai prilaku yang
disfungsionalkan yang diartikan sebagai perasaan “kesulitan” dan
kesusahan terhadap kejadian yang tidak diketahui dengan pasti
(Varcarolis, 2007). Kecemasan menurut Kaplan (2005), sebagai
“kesulitan” atau “kesusahan” dan merupakan konsekuensi yang normal
dari pertumbuhan, perubahan, pengalaman baru, penemuan identitas
dan makna hidup. Kecemasan adalah perasaan tidak khas, disebabkan
oleh dugaan akan bahaya atau frustasi yang akan membahayakan rasa
aman, keseimbangan atau kehidupan seseorang atau kelompok
sosialnya.boyd (2008) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan
suatu perasaan tidak nyaman sebagai ungkapan atau dread yang di
tunjukan dengan gejala fisik, emosi, kognitif dan prilaku. Fortinash
dan Warret (2006) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan bagian
integral dalam kehidupan manusia. Hampir sebagian individu dalam
kehidupannya pernah mengungkapkan secara subyektif terhadap
perasaan yang tidak spesifik berupa kesulitan dan kesusahan akibat
ancaman eksternal yang berbahaya. Kecemasan merupakan sinyal
peringatan terhadap situasi yang mengancam, konflik dan bahaya.
32
Comer (1992, dalam Videbeck, 2008) menggambarkan kecemasan
sebagai perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika mengalami perasaan kecemasan, individu mungkin memiliki
firasat akan ditimpa petaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi
yang mengancam tersebut terjadi. Kecemasan merupakan alat
peringatan internalyang memberikan tanda bahaya bagi individu.
Kecemasan memiliki dua aspek yakni aspek sehat dan aspek
membahayakan, yang bergantung pada tingkat, lama kecemasan
dialami dan beberapa baik individu melakukan koping terhadap
kecemasan. Bersarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kecemasan merupakan reaksi emosional terhadap penilaian individu
yang subyektif yang sangat akrap dengan kehidupan sehari-hari yang
menggambarkan keadaan kuatir, gelisah, tidak tentram, dan disertai
ketidakseimbangan fisik, kognitif, psikologis dan prilaku.
Kecemasan merupakan respon terhadap stress atau sesuatu
kondisi keletihan dan kelelahan pada tubuh yang disebabkan oleh
peristiwa dalam hidup (Seyle, 1956, dalam Videbeck, 2008).
Kecemasan terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam
beradaptasi terhadap situasi kehidupan, masalah dan tujuan hidup.
System saraf otonom berespon terhadap kecemasan secara tidak sadar
dalam tubuh. Saraf otonom menyebabkan perubahan pada tanda-tanda
vital sebagai persiapan mekanisme pertahanan tubuh. Glanda adrenal
mengeluarkan adrenalin atau epinephrine yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen, dilatasi pupil dan peningkatan tekanan
arteri dan denyut jantung dan peningkatan glikogenolisis. Jika kondisi
berbahaya atau kecemasan sudah selesai, maka saraf parasimpatis yang
bekerja dan mengembalikan tubuh dalam kondisi normal kembali
(Videbeck, 2008).
33
2. Proses Terjadinya Cemas
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi
stress (Stuart & Laria, 2005). Berbagai teori telah di kembangkan
untuk menjelaskan proses terjadinya kecemasan antara lain :
1) Biologi
Otak memiliki reseptor khusus terhadap
benzodiaszepin. Reseptor tersebut berfungsi membantu
regulasi kecemasan. Regulasi tersebut berhubungan dengan
aktifitas neutrotransmiter gamma amino butyric acid
(GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di bagian otak
yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan. Bila
GABA bersentuhan dengan sinaps dan berkaitan dengan
reseptor GABA pada membran post-sinaps akan membuka
aliran atau pintu eksitasi sel dan memperlambat aktifitas sel.
Teori ini menjelaskan bahwa individu yang sering mengalami
kecemasan mempunyai masalah dengan proses
neurotransmitter
2) Psikologis
Stuart dan Laria (2005) menjelaskan bahwa aspek
psikologis memandang kecemasan adalah konflik emosional
yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id mewakili
dorongan insting dan implus primitive, sedangkan superego
mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma
budaya. Ego berfungsi menengani tuntutan dari dua elemen
yang bertentangan tersebut dan fungsi kecemasan adalah
untuk mengingatkan ego bahwa ada ancaman berbahaya.
Sullivan (1953, dalam Stuart dan Laria, 2005)
mempercayai bahwa kecemasantidak dapat muncul sampai
seseorang mempunyai kesadaran terhadap lingkungannya.
34
Kecemasan pertama kali ditentukan oleh hubungan ibu dan
anak pada awal kehidupannya, bayi berespon seolah-olah ia
dan ibunya adalah asatu unit. Seiring dengan bertambahnya
usia, anak melihat ketidaknyamanan yang timbul akibat
tindakannya sendiri. Anak meyakini bahwa ibunya setuju
atau tidak setuju dengan prilakunya itu.
Menurut Tarwo dan Wartonah (2003), maturitas
individu, tipe kepribadian dan pendidikan juga
mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang. Individu yang
memiliki kepribadian matang akan lebih sukar mengalami
gangguan akibat stress, sebab mempunyai daya adaptasi yang
besar terhadap stressor yang timbul, sebaliknya individu yang
berkepribadian tidak matang yaitu individu yang sikapnya
sangat ketergantungan dan peka terhadap rangsangan
sehingga sangat mudah mengalami gangguan akibat adanya
stress. Orang dengan kepribadian tipe A mudah mengalami
gangguan stress dari pada orang dengan kepribadian B.
Sedangkan status pendidikan yang rendah pada
seseorang, akan menyebabkan orang tersebut lebih muda
mengalami stress dibanding dengan mereka yang status
pendidikannya tinggi. Factor pendidikan seseorang sangat
mempengaruhi kecemasan. Klien dengan pendidikan tinggi
akan lebih mampu mengatasi, menggunakan koping efektif
dan konstruktif dari pada seseorang dengan pendidikan
rendah. Pendidikan adalah salah satu usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan
luar sekolah dan berlangsung sepanjang hidup.
Siswati, dkk (2005) memaparkan bahwa ketegangan
dalam kehidupan yang dapat menimbulkan kecemasan
diantaranya adalah peristiwa traumatic individu baik krisis
perkembangan maupun situasional seperti peristiwa bencana,
35
konflik emosional individu yang tidak terselesaikan dengan
baik, konsep diri terganggu yang akan menimbulakan
ketidakmampuan diri terganggu yang akan menimbulkan
ketidakmampuan individu berfikir secara realistis, frustasi
atau rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang
dampak terhadap ego serta pola mekanisme koping keluarga
atau pola keluarga menangi stres yang akan mempengaruhi
individu dalam berespon terhadap konflik.
3) Sosial budaya
Suliswati, dkk (2005) menerangkan bahwa riwayat
gangguan kecemasan dalam keluarga (caregiver) akan
mempengaruhi respon individu dalam berespon terhadap
konflik dan cara mengatasi kecemasan. Tarwoto dan
wartonah (2003) memaparkan jika sosial budaya, potensi
stres serta lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi
terjadinya kecemasan. Cara hidup orang di masyarakat
berdampak pada timbulnya stress. Individu yang mempunyai
falsafah hidup yang jelas maka pada umumnya lebih sukar
mengalami stress, sedangkan orang yang berada di tempat
atau lingkungan asing ternyata lebih muda mengalami stress.
3. Stresor Presipitasi
Stressor presipitasi adalah ketegangan dalam kehidupan yang
dapat mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stuart dan
Laria (2005) menggambarkan stressor pencetus sebagai stimulus yang
di persepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan
yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Stressor pencetus dapat
berasal dari sumber internal ataupun eksternal. Struat dan Lria (2005)
menjelaskan bahwa stressor pencetus ini dapat disebabkan karena
adanya ancaman terhadap integritas fisik yang meliputi disabilitas
fisiologis atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktifitas hidup
36
sehari-hari dan adanya ancaman terhadap system diri yang dapat
membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang integritas
pada individu. Stressor pencetus kecemasan dapat di kelompokkan
dalam tiga kategori yaitu :
a. Biologis
Menurut Stuart dan Laria (2005), kecemasan dapat
mengancam integritas seseorang baik berupa ancaman secara
eksternal. Ancaman eksternal. Ancaman ekternal yaitu masuknya
kuman, virus, polusi lingkungan, rumah tidak memadai, pakaian,
makanan atau trauma injuri, sedangkan ancaman internal yaitu
kegagalan mekanisme fisiologi tubuh seperti jantung, sistem
kekebalan, pengaturan suhu dan kehamilan. Situasi keluarga yang
memiliki anggota keluarga dengan penyakit terminal membuat
kondisi ketidakteraturan dalam memenuhi kehidupan sehari-hari
dapat menimbulkan kecemasan.
b. Psikologis
Ancaman terhadap integritas fisik dapat mengakibatkan
ketidakmampuan psikologis atau penurunan aktivitas sehari-hari
seseorang. Apabila pengancaman tersebut menyangkut identitas
diri dan harga diri seseorang maka dapat mengakibatkan ancaman
terhadap self system. Ancaman eksternal yang terkait dan kondisi
psikologis dan dapat mencetuskan terjadinya kecemasan
diantaranya adalah peristiwa kematian, perceraian, dilemma etik,
pindah kerja, perubahan dalam status kerja. Sedangkan yang
termasuk ancaman internal yaitu gangguan hubungan interpersonal
di rumah, di tempat kerja atau ketika menerima peran baru (istri,
suami, murud, dan sebagainya).
4. Tanda dan Gejala
Pemahaman tentang kecemasan perlu integrasi banyak faktor,
termasuk pengetahuan dari perspektif psikoanalitis, interpersonal,
prilaku, genetic dan biologis. Begitu juga manusia sebagai individu
37
yang unik memiliki kemampuan penialaian terhadap stressor yang
menyebabkan terjadinya kecemasan yang berbeda pula. Menurut
Stuart (2005) penilaian terhadap stressor adalah evaluasi bagi
kesejahteraan individu, dimana di dalamnya stressor memiliki arti,
intensitas dan kepentingan. Peplau (1963, dalam Stuart & Laria, 2005),
Issacs (2005) serta Videback (2008) mengkatagorikan kecemasan
menjadi empat tindakan beserta tanda dan gejalanya yakni :
a. Kecemasan ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari. Selama tahap ini, individu menjadi waspada
dan meningkatkan lapang persepsinya. Individu melihat,
mendengar dan menyerap lebih dari sebelumnya. Kecemasan ini
dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreativitas.
b. Kecemasan sedang merupakan perasaan yang menganggu bahwa
ada sesuatu yang benar-benar berbeda dan individu menjadi
gugup/agitasi. Kecemasan sedang memungkinkan individu
berfokus pada hal yang penting dan mempersempit lapang
persepsi. Individu melihat, mendengar dan menyerap lebih sedikit.
Individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat
melakukannya jika diarahkan.
c. Kecemasan berat dinilai dengan lapang pandang yang berkurang.
Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik
serta tidak berfikir tentang hal lain. Semua prilaku diarahkan pada
pengurangan kecemasan dan memerlukan banyak arahan untuk
berfokus pada area lain.
d. Panik, berhubungan dengan terpengarah, ketakutan dan terror serta
tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panic
mencakup disororganisasi kepribadian dan dapat mengancam
kehidupan. Meningkatnya aktivitas motorik, menurunnya
kemampuan unatuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
38
menyimpang dan kehilangan pikiran yang rasional adalah semua
gejala panic
5. Tingkat Cemas
Table dibawah ini adalah hasil modifikasi tingkat kecemasan
berdasarkan respon fisiologis, kognitif, prilaku dan emosional yang
dimodifikasi dari Austarika dan Sutejo (2009berdasarkan teori yang
dikembangkan oleh Peplau (1963, dalam Stuart & Laria, 2005), Issacs
(2005) serta Videback (2008)
Tabel 2.1
Tingkat Respon Kecemasan
Tingkat kecemasan
Ringan Sedang Berat Panik
Fisiologis TTV Tekanan darah Nadi Pernafasan Ketegangan otot Pola makan Pola tidur Pola eliminasi Kulit
Tekanan darah tidak ada perubahan Nadi tidak ada perubahan Pernafasan tidak ada perubahan Rileks Masih ada nafsu makan Pola tidur teratur Pola eliminasi teratur Tidak ada keluhan
Tekanan darah meningkat Nadi cepat Pernafasan meningkat Wajah tampak tegang Meningkat atau menurun Sulit untuk mengawali tidur Frekuensi BAK dan BAB meningkat Mulai berkeringat akral dingin dan pucat
Tekanan darah meningkat Nadi cepat Pernafasan meningkat Rahang menegang menggertakan gigi Kehilangan nafsu makan Sering terjaga Frekuensi BAK dan BAB meningkat Keringat berlebihan
Tekanan darah meningkat kemudian menurun Nadi cepat kemudian lambat Pernafasan cepat dan dangkal Wajah menyeringai mulut ternganga Mual atau muntah Insomnia Retensi urin konstipasi Keringat berlebihan kulit teraba panas dingin
39
Kognitif Fokus perhatian Proses belajar Proses piker Orientasi
Cepat berespon terhadap stimulasi Motivasi belajar tinggi Pikiran logis Baik
Fokus pada hal penting Perlu arahan Perhatian menurun Ingatan menurun
Fokus pada hal rinci yang spesifik Perlu banyak arahan Egosentris Pelupa
Fokus perhatian pecah Tidak biasa berfikir Halusinasi Disorientasi waktu, orang dan tempat
Prilaku Motorik Komunikasi Produktifitas Interaksi sosial
Rileks Koheren Kreatif Memerlukan orang lain
Gerakan mulai tidak agitasi Koheren Menurun Memerlukan orang lain
Agitasi Bicara cepat Bicara cepat Interaksi sosial berkurang
Aktifitas motorik kasar meningkat Inkoheren Tidak produktif Menarik diri
Emosional Konsep diri Penguasaan diri
Ideal diri tinggi Tergesa-gesa
Tidak percaya diri Tidak sabar
Merasa bersalah Bingung
Putus asa Lepas kendali
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa respon klien
terhadap kecemasan dimanifestasikan sebagai tanda dan gejala
kecemasan berbeda untuk setiap tingkatan. Hal ini menunjukan
semakin berat gejala kecemasan yang dialami individu maka semakin
berat pula tingkat kecemasannya.
Seorang akan mengalami stres dan ansietas berkaitan dengan
sumber koping dalam diri internal individu maupun dari lingkungan
sekitarnya. Sumber-sumber tersebut meliputi asset ekonomi,
kemampan diri (kemampuan pemecahan masalah), dukungan sosial
dan keyakinan diri (Stuart & Laria, 2005). Kemampuan diri yang
dimiliki individu akan menetukan prilaku individu tersebut. Bloom
(1908, dalam Tufik, 2007) mengatakan ada tiga ranah atau domain
prilaku yang cognitive, affective, dan psychomotor . kogmitif berkaitan
dengan knowledge (pengetahuan) merupakan pengindraan manusia,
40
atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra. Psikomotor
berhubungan dengan tindakan (practice) yaitu kecenderungan untuk
bertindak
Derajat kecemasan seseorang dapat dilakukan pengukuran
dengan menggunakan alat ukur (instrument). Menurut Stuart & Laria
(2005) membagi kecemasan berdasarkan respon klien yang terdiri dari
4 (empat) respon yaitu : fsiologis, prilaku, kognitif, dan afektif
sedangkan Vicebeck (2008) membagi derajat kecemasan dibagi 3
(tiga) bagian yaitu berdasar respon fisik, kognitif dan emosional.
Instrument pengukuran kecemasan lainnya adalah Hamilton
Rating Scale for Anxiety atau HRS-A (Hawari, 008). Hamilton Rating
Scale for Anxiety adalah skala penilaian yang dikembangkan untuk
mengukur tingkat keparahan kecemasan berdasarkan simtomatologi.
Alat ukur terdiri dari 14 kelompok gejala yaitu perasaan cemas,
ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan
depresi (murung), gejala somatik (otot), gejala somatic (sensorik),
gejala pernafasan, gejala pencernaan, gejala perkemihan dan kelamin,
gejala autonom dan prilaku. Masing-masing kelompok dirinci lagi
dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Nilai setiap item pada skala 5
titik, mulai dari nol (tidak ada) sampai 4 (parah).
6. Tindakan untuk Mengatasi Kecemasan
Penanganan terhadap masalah kecemasan pada individu dapat
dilakukan dengan berbagai macam pendekatan antara lain dapat
dilakukan dengan mekanisme koping, tindakan keperawatan dan
tindakan medis.
a. Mekanisme Koping
Individu yang mengalami kecemasan akan menggunakan
berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya.
Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif
merupakan penyebab utama terjadinya prilaku patologis (Stuart &
Laria, 2005). Kecemasan ringan sering ditanggulangi tanpa
41
pemikiran yang sadar. Kecemasan sedang dan berat menimbulkan
dua jenis mekanisme koping yang berorientasi pada petugas dan
mekanisme pertahanan ego.
Reaksi yang berorientasi pada petugas yaitu upaya yang
disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi tuntutan
situasi stress secara realistic. Perilaku menyerang digunakan untuk
menghilangkan atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.
Prilaku menarik diri digunakan untuk menjauhkan diri dari sumber
ancaman, baik secara fisik maupun psikologis. Prilaku kompromi
digunakan untuk mengubah cara yang biasa dilakukan individu,
mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal.
Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi kecemasan
ringan dan sedang. Tetapi karena mekanisme tersebut berlangsung
secara relative pada tingkat sadar dan mencakup penipuan diri dan
distori realistis, maka mekanisme ini merupakan respons
maladaptive terhadap stress.
Menurut Doenges, dkk (1995) tindakan keperawatan yang
dilakukan untuk mengatasi koping indivudu tidak efektif pada
diagnosa keperawatan ansietas antara lain mengkaji kapasitas
fungsi saat ini, mengembangkan tingkat fungsi dan tingkat koping,
menentukan mekanisme pertahanan yang digunakan (misalny :
penolakan, represi, koversi, disosiasi, pembentukan reaksi, tidak
melakukan apa-apa, displacement proyeksi), mengidentifikasi
metode koping sebelumnya terhadap masalah kehidupan,
mendengarkan secara aktif terkait dengan masalah klien dan
identifikasi persepsi tentang apa yang sedang terjadi, membantu
klien mengidentifikasi efek maladaptife mekanisme koping yang
sekarang, member informasi tentang cara lain untuk menghadapi
ansietas (misalnya : pengenalan dan ekspresi perasaan yang sesuai
serta keterampilan dan ekspresi perasaan yang sesuai serta
keterampilan penyelesaian masalah).
42
g. Penanganan Medis
Menurut PPDGJ III (2001), kecemasan diklasifikasikan
sebagai gangguan kecemasan fobik seperti agoraphobia, fobia
sosial dan fobia khas : gangguan kecemasan lainnya seperti
gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh (GAD),
gangguan campuran kecemasan dengan depresi serta gangguan
obsesif kompulsif. Terapi obat untuk gangguan kecemasan
diklasifikasikan menjadi antikecemasan yang terdiri dari ansiolitik,
transquilizer minor, sedative, hipnotik dan antikonfulsan (Stuart,
2005). Mekanisme kerja dari obat ini adalah mendepresi susunan
saraf pusat (SSP). Meskipun mekanisme kerja yang tepat tidak
diketahui, obat ini diduga menimbulkan efek yang diinginkan
melalui interaksi dengan serotonin, dapanin dan reseptor
neurotransmitter lain (Halloway, 1996). Obat antiansetas
digunakan dalam penatalaksanaan gangguan kecemasan, gangguan
somatoform, gangguan disosiatif, gangguan kejang, dan untuk
pemulihan sementara gejala insomnia dan kecemasan.
Efek samping yang umum dari penggunaan obat anti
kecemasan yakni pada SSP (pelambat mental, mengantuk, vertigo,
bingung, tremor, letih, depresi, sakit kepala, kecemasan, insomnia,
kejang, delirium, kaki lemas, ataksia, bicara tidak jelas) :
kardiovaskuler (hipotensi ortostatik, takikardia, perubahan
elektrokardiogram / EKG) mata dan THT (pandangan kabur,
midriasis, tinnitus) : gastro intestinal (anoreksia, mual, mulut
kering, muntah, diare, kontivasi) : kulit (kemerahan, dermatis,
gatal-gatal). Kontra indikasinya yaitu penyakit hati klien lansia,
penyakit ginjal, glaucoma, kehamilan atau menyusui, psikologis
penyakit pernafasan yang telah ada serta reaksi hipersensitivitas
(Copel, 2007)
43
h. Tindakan Keperawatan
Menurut Konsorsium Ilmu Kehatan (1989, dalam Mubarak,
(2011), peran perawat jiwa meliputi pemberian asuhan
keperawatan, advokat klien, educator, kordinator, kolaborator,
konsultan dan pembaharu. Pemberian asuhan keperawatan
memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan
melalui pemberian pelayanan keperawatan. Peran advokat
dilakukan perawat dalam memfasilitasi klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan
atau informasi khususnya dalam pengambilan persetujuan atas
tindakan keperawatan yang diberikan kepada kliennya.
Peran educator di lakukan untuk meningkatkan pengetahuan
kesehatan dan kemampuan klien mengatasi kesehatannya, peran ini
sangat membantu dalam mengatasi kecemasan klien dan keluarga
dimana informasi di berikan berupa pengetahuan tentang masalah
yang dihadapi dan diajarkan untuk menggunakan kemampuan diri
secara maksimal sebagai pemecah masalah. Peran koordinator
dilakukan dengan mengarahkan, merencanakan dan
mengoganisasikan pelayanan kesehatan dengan tim kesehatan.
Peran kalaborator dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan. Peran konsultan di lakukan terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tepat untuk di berikan. Peran pembaru
di lakukan dengan mengadakan perencanaan, kerjasama,
perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode
pemberian pelayanan keperawatan.
Filosofi keperawatan yang mendeskripsikan individu sebagai
mahluk biopsikososial yang memiliki karakteristik unik dan
berespon terhadap orang lain dan dunia dengan berbagai cara.
Manusia mempunyai sifat yang holistik mempunyai pengertian
bahwa manusia adalah makluk fisik, psikologis, sosial dan
spiritual. Aspek-aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain dan
44
saling mempengaruhi (Videbeck, 2008). Definisi diatas
menunjukan bahwa ancaman terhadap fisik dapat mempengaruhi
kondisi aspek lainnya sehingga penanganan pada keluarga
(caregiver) yang mengalami kecemasan harus diberikan secara
holistic.
Pergeseran konsep pelayanan kesehatan jiwa dari berbasis
rumah sakit jiwa menjadi berbasis komunitas memberikan dampak
terhadap peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan jiwa di setting pelayanan rumah sakit umum (Jhonston
dan Cowman, 2008). Diagnosa keperawatan untuk klien dengan
kecemasan terdiri dari diagnosa keperawatan keperawatan primer
dan diagnosa keperawatan terkait. Diagnosa keperawatan primer
meliputi kecemasan, deficit pengetahuan terhadap kecemasan
(Copel, 2007). Sedangkan diagnosa keperatan terkait meliputi
konflik pengambilan keputusan, ketakutan, ketidakefektifan koping
individu (Wilkinson, 2007 : Stuart & Laria, 2005)
Menurut Nursing intervensi classification (2008),
mengidentifikasi anxiety reduction sebagai upaya untuk
meminimalkan kondisi ketegangan, ketakutan, kekuatiran atau
kesulitan tentang ancaman berbahaya yang sumbernya tidak
diketahui. Tindakan yang dilakukan dalam menurunkan kecemasan
yaitu coba untuk tenang, gunakan pendekatan yang menentramkan
hati. Jelaskan harapan harapan dengan jelas tentang perlakuan
pasien, jelaskan semua prosedur dan apa yang akan terjadi pada
saat tindakan / prosedur dilakukan, gali pemahaman klien terhadap
situasi yang penuh stress, berikan informasi yang berkaitan dengan
diagnosis, treatment dan pronogsis, damping klien untuk
kenyamanan, keselamatan dan untuk menurunkan ketakutan dan
libatkan keluarga, bantu klien untuk mengenali situasi yang
menyebabkan kecemasan, ciptakan lingkungan yang nyaman dan
control stimulus yang meningkatkan ketidak nyamanan klien,
45
anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi, kaji tanda
verbal dan non verbal kecemasan dan berikan terapi pengobatan
jika diperlukan.
Praktik intervensi lanjut untuk mengatasi gangguan
kecemasan berdasarkan beberapa ahli diantaranya adalah terapi
kognitif , terapi prilaku, modeling desensitisasi sistematik,
flooding, pencegah respon, cognitive behavior therapy,
psikoedukasi keluarga, assertive community treatment, logoterapi,
thought stooping dan teknik relaksasi. Varcorolis, dkk, (2006)
menjelaskan bahwa terapi kognitif merupakan terapi yang
didasarkan pada keyakinan klien dalam kesalahan berfikir,
mendorong pada penilaian negative terhadap diri sendiri maupun
orang lain. Selama proses restrukrisasi pikiran, terapis membantu
klien untuk mengidentifikasi pikiran otomatis negative yang
menyebabkan kecemasan, menggali pikiran tersebut, mengevaluasi
kembali situasi yang realistis dan mengganti hal negative yang
telah diungkapkan dengan ide-ide membangun.
Berbagai jenis teknik terapi prilaku digunakan sebagai
pembelajaran dan praktik secara langsung dalam upaya
menurunkan kecemasan atau menghindari kecemasan. Videbeck
(2008) menegaskan bahwa terapi prilaku di pandang efektif dalam
mengatasi gangguan kecemasan, terutama jika dikombinasi dengan
farmakoterapi. Peran terapis secara khusus pada terapi modeling
adalah memberikan role model dan mendemonstrasikan prilaku
yang sesuai dalam situasi yang ditakutkan dan kemudian klien
menirukan. Menurut Issacs (2005) dalam terapi ini prilalu bari
dipelajari dengan menirukan prilaku orang lain. Prinsip
pelaksanaan terapi desensitisasi sistemik yaitu konfrontasi bertahap
dari suatu stimulus yang menimbulkan kecemasan tinggi, terutama
digunakan jika klien menderita fobia tertentu. Terapis mula-mula
mengajarkan kepada klien bagaimana cara rileks dan kemudian
46
mulai dengan stimulus yang menyebabkan kecemasan ringan.
Klien belajar menerapkan proses relaksasi ketika berhadapan
dengan stimulus tersebut. Proses ini berlanjut sampai stimulus
yang menimbulkan kecemasan tinggi tidak lagi menyebabkan klien
merasa cemas.
Gangguan kecemasan bila tidak ditangani akan
mempengaruhi kwalitas klien di masyarakat. Selain masyarakat
dapat menjadi sumber terjadinya kecemasan, masyarakat juga
dapat menjadi system pendukung terhadap pemulihan gangguan
kecemasan. Assertive community treatment (ACT) merupakan
suatu model yang didesain terdiri dari multidisiplin untuk
memberikan pelayanan secara komprehensif termasuk pada
gangguan kecemasan dengan menggunakan sumber-sumber yang
tersedia. Terapi ini penting dilakukan untuk mengurangi dampak
dari gangguan kecemasan di masyarakat seperti timbulnya masalah
kesehatan fisik maupun psikis (Mauro & Murray, 2000). Klien
yang di berikan ACT diharapkan klien dengan kecemasan dapat
mengatasi masalahnya sehingga akan membentuk lingkungan
keluarga dan masyarakat sebagai system pendukung khususnya
dalam mengatasi kecemasan.
Jhonson (2006) menjelaskan bahwa teknik logoterapi
bermanfaat untuk mengatasi fobia, kecemasan, gangguan obsesi
kompulsif dan pelayanan medis lainya, melalui metode konseling,
terapi akan membantu dalam menemukan makna hidup. Menurut
Issacs (2005). Terapi ini berfokus pada masalah-masalah hidup
yang berkaitan dengan kebebasan, ketidakberdayaan, kehilangan,
isolasi, kesepian, kecemasan, dan kematian. Penelitian sutejo
(2009) menunjukan bahwa logoterapi efektif terhadap penurunan
tingkat kecemasan pada penduduk pasca gempa.
Teknik penghentian pikiran negatif, dimana klien mungkin
mengatakan stop keluar dari ide-ide yang muncul. Pengalihan
47
pikiran yang tidak diinginkan secara diubah dank lien memilih
alternatif ide positif. Ankron (1998) menjelaskan bahwa terapi
thought stopping atau disebut juga dengan istilah menghentikan
pikiran merupakan teknik efektif dan cepat membantu menghadapi
pikiran yang membuat stress dimana sering kali menyertakan
serangan panik, kecemasan dan agrofobia. Penjelasan lebih lanjut
tentang terapi thought stopping akan menjelaskan secara rinci pada
pembahasan berikutnya.
Menurut Stuart dan Laria (2005), latihan relaksasi dilakukan
melalui teknik pernafasan atau peregangan otot (progressive
muscle relaxation). Teknik relaksasi dalam mengurangi cemas : 1)
ambil nafas dalam selama 3 detik, 2) tahan nafas selama 3 detik, 3)
keluarkan nafas secara perlahan-lahan lewat mulut, 4) ulangi
selama 3 kali. Seseorang yang mengalami perasaan tidak tentram,
kecemasan dan stress psikilogis, jika diberikan suatu latihan
relaksasi yang terprogram secara baik maka akan menurunkan
denyut nadi, tekanan darah tinggi, mengurangi keringat dan
mengurangi pernafasan sehingga sangat efektif sebagai anti
kecemasan. Stress dan kecemasan berkaitan dengan sumber koping
dalam diri sendiri internal individu maupun dari lingkungan
sekitarnya. Sumber-sumber tersebut meliputi asset ekonomi,
kemampuan diri (kemampuan pemecah masalah), dukungan sosial
dan keyakinan diri.
48
B. Kerangka Teori
Kerangka teori ini merupakan landasan penelitian yang disusun
berdasarkan informasi konsep skizofrenia paranoid, konsep keluarga, konsep
kecemasan, factor predisposisi, stressor, faktor-faktor yang mempengaruhi
cemas, Peplau (1963), Stuart & Laria (2005), Issacs (2005) serta Videbeck
(2006) menjelaskan bahwa kecemasan dikatagorikan menjadi 4 (empat)
tindakan yakni kecemasan ringan, sedang, berat dan panik. Kecemasan
ditentukan oleh respon yang timbul, baik secara psikologis , kognitif, prilaku
maupun emosional. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan
dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan sedang memungkinkan individu
berfokus pada hal yang penting dan memper sempit lapangan persepsi.
Kecemasan berat ditandai lapang pandang yang berkurang, sedangkan pada
tingkatan panik tidak mampu melakukan sesuatu maupun dengan arahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan adalah predisposisi
(Stuart & Laria, 2005) dan stressor presipitasi (Stuart & Sunden, 1996). Faktor
predisposisi dan stressor presipitasi kecemasan meliputi biologis (Stuart &
Laria, 2005), psikologis (freud, 1969, Sullivan, 1953 dan Suliswati, dkk 2005)
Tarwoto & Wartonah (2003), menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi
kecemasan diantaranya adalah potensi stressor, maturitas, status pendidikan
dan ekonomi, keadaan fisik, tipe kepribadian, sosial budaya, lingkungan dan
situasi umur dan jenis kelamin.
49
Skema 2.1 Kerangka Teori
PROSES
C. Kerangka konsep
Kerangka konsep penelitian merupakan landasan pikir untuk melakukan
penelitian. Kerangka konsep dikembangkan berdasarkan teori dan konsep
yang telah penulis paparkan pada tinjauan teori. Kerangka konsep dalam
penelitian ini hanya terdiri variabel tunggal
Variabel tunggal dalam penelitian ini adalah kecemasan keluarga
(caregiver) dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
skizofrenia paranoid. Kecemasan yang meliputi kecemasan ringan, sedang,
berat dan panik (Stuart &Suden 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan keluarga dengan skizofrenia paranoid : Potensi stressor, maturitas, status pendidikan, ekonomi, keadaan fisik, tipe kepribadian sosial budaya, lingkungan, situasi umur, dan jenis kelamin Sumber : Tarwoto & Wartonah (2003)
KECEMASAN Tingkat kecemasan - Kecemasan
keluarga ringan - Kecemasan sedang - Kecemasan berat - Panik
Sumber : Freud (1969), Sullivan (1953), Stuart & Laria (2005), Suliswati, dkk, (2005)
50
Skema kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitian
Skema 2.2 Kerangka konsep penelitian
D. Hipotesis
Menurut Machfoesdz, Marianingsih, Margono, Wahyuningsih (2005)
hipotesis diartikan sebagai dugaan atau jawaban sementara yang kebenarannya
akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini tidak ada
hipotesis, karena jenis penelitiannya adalah deskriptif.
Tingkat kecemasan
pada anggota
keluarga yang
mengalami gangguan
jiwa skizofrenia
paranoid
Tingkat
kecemasan
keluarga dengan
anggota keluarga
yang mengalami
gangguan jiwa
skizofrenia
paranoid
1. Kecemasan
ringan
2. Kecemasan
sedang
3. Kecemasan
berat