Post on 28-May-2018
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Retardasi Mental
2.1.1 Definisi Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan dengan intelegensi kurang (abnormal)
atau dibawah rata-rata sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa
kanak-kanak). Retardasi mental ditandai dengan adanya keterbatasan intelektual
dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Sandra, 2010). Retardasi mental
berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III
adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh,
misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental juga
dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya
(Maslim, 2001).
Klasifikasi menurut DSM IV (American Psychiatric Association,
Washington, 1994) yang dikutip Lumbantobing (2001), bahwa terdapat empat
tingkat gangguan intelektual, yaitu : ringan, sedang, berat dan sangat berat.
A. Retardasi Mental Ringan
Retardasi mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi
yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sebagian besar (sekitar
85%) dan kelompok retardasi mental. Pada usia prasekolah (0-5 tahun) dapat
9
mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit hendaya
dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak dapat dibedakan dan anak yang tanpa
retardasi mental, sampai pada usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka
dapat memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam
(kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan
sosial dan vokasional cukup sekedar untuk berdikari, namun mungkin
membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama bila mengalami
tekanan sosial atau tekanan ekonomi. Dengan bantuan yang wajar, penyandang
retardasi mental ringan biasanya dapat hidup sukses didalam masyarakat, baik
secara berdikari atau dengan pengawasan.
B. Retardasi Mental Sedang
Retardasi mental sedang secara kasar setara dengan kelompok yang biasa
disebut: dapat dilatih (trainable). Kelompok individu dan tingkat retardasi ini
memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak dini. Mereka rnemperoleh
manfaat dan latihan vokasional, dan dengan pengawasan yang sedang dapat
mengurus atau merawat diri sendiri. Anak tersebut dapat memperoleh manfaat
dari latihan kecakapan sosial dan akupasional namun rnungkin tidak dapat
rnelampaui pendidikan akademik lebih dari tingkat dua (kelas dua SD). Mereka
dapat bepergian dilingkungan yang sudah dikenal.
C. Retardasi Mental Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi
mental. Selama masa anak-anak sedikit saja atau tidak mampu berkomunikasi
10
bahasa. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat dilatih dalam
kecakapan mengurus diri yang sederhana. Sewaktu usia dewasa mereka dapat
melakukan kerja yang sederhana bila diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat
menyesuaikan diri pada kehidupan di masyarakat bersama keluarganya, jika tidak
didapatkan hambatan yang menyertai yang membutuhkan perawatan khusus.
D. Retardasi Mental Sangat Berat
Kelompok retardasi mental sangat berat membentuk sekitar 1-2% dan
kelompok retardasi mental. Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini
dapat diidentifikasi kelainan neurologik, yang rnengakibatkan retardasi
rnentalnya. Sewaktu masa anak-anak, menunjukkan gangguan yang berat dalam
bidang sensorimotor. Perkembangan motorik, mengurus diri dan kemampuan
komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang adekuat, Beberapa
diantaranya dapat melakukan tugas sederhana ditempat yang disupervisi dan
dilindungi.
Namun pada penelitian ini hanya khusus membahas tentang retardasi mental
ringan. Karena anak dengan retardasi mental ringan ini tidak mampu mengikuti
pada program sekolah biasa, namun ia masih memiliki kemampuan yang dapat
dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Contoh
kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak retardasi mental ringan, yaitu :
membaca, menulis, mengeja dan berhitung, dan menyesuaikan diri dan tidak
menggantungkan diri pada orang lain. Jadi, anak retardasi mental ringan ini
mampu dididik dan dapat dilatih secara minimal dalam bidang-bidang akademis,
sosial dan pekerjaan.
11
2.1.2 Definisi Retardasi Mental Ringan
Retardasi mental ringan adalah individu yang masih mempunyai
kemungkinan memperoleh pendidikan akademis sampai kelas dasar empat atau
lima dan dapat mempelajari keterampilan sederhana. Anak retardasi mental ringan
memiliki karakteristik fisik yang tidak jauh berbeda dengan anak normal tetapi
motoriknya lebih rendah dibanding anak normal (Mumpuniarti, 2007).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (American
Psychiatric Assosiation, Washington, 1994) dalam penelitian Fadlilah (2008)
menjelaskan individu dengan retardasi mental ringan ini secara kasar setara
dengan kelompok retardasi yang dapat dididik (educable). IQ berkisar 50-55
sampai sekitar 70. Pada usia prasekolah (0-5 tahun) mereka dapat
mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit hendaya
dalam bidang sensorimotor dan sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa
retardasi mental, sampai pada usia yang lebih lanjut. Pada anak usia remaja,
mereka dapat memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat
enam (kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai
kecakapan sosial dan vokasional, bimbingan dan pertolongan, terutama bila
mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.
2.1.3 Penyebab Retardasi Mental Ringan
Menurut Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memaparkan bahwa
30% dari anak-anak yang cacat mental serius disebabkan oleh ketidaknormalan
genetik, seperti down syndrom, 25% disebabkan oleh cerebrum palsy, 30%
disebabkan oleh meningitis dan masalah prenatal sedangkan 15% sisanya belum
12
dapat ditemukan (Muhammad, 2008). Anak yang mengalami retardasi mental
dapat disebabkan beberapa faktor diantara faktor genetik atau juga kelainan dalam
kromosom, faktor ibu selama hamil dimana terjadi gangguan dalam gizi atau
penyakit pada ibu seperti rubella, atau adanya virus lain atau juga faktor setelah
lahir dimana dapat terjadi kerusakan otak apabila terjadi infeksi seperti terjadi
meningitis, ensefalitis, dan lain-lain (Hidayat, 2005).
Retardasi mental disebabkan karena faktor keturunan (retardasi mental
genetik), dan mungkin juga tidak diketahui (retardasi mental simplex). Kedua-
duanya ini dinamakan juga retardasi mental primer. Retardasi mental sekunder
disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi otak mungkin pada waktu
prenatal, perinatal atau postnatal (Maramis, 1994). Lebih lanjut dalam Maramis,
1994 dikemukankan bahwa penyebab retardasi mental sebagai berikut :
A. Akibat infeksi dan atau intoxikasi
Yaitu retardasi mental yang disebabkan oleh kerusakan jaringan otak akibat
infeksi intraktrand karena serum, obat atau zat tosik lainnya.
B. Akibat rupadaksa dan atau sebab fisik lainnya
Rupadaksa sebelum lahir serta trauma seperti sinar X, bahan kontrasepsi dan
usaha melakukan abortus dapat menyebabkan kelainan retardasi mental.
C. Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi
Pada kasus gangguan gizi berat dan berlangsung lama sebelum usia individu
empat tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak yang dapat menyebabkan
kelainan retardasi mental.
13
D. Akibat penyakit otak yang nyata (post natal)
Hal ini dapat dikarenakan neoplasma (tidak termasuk tumbuhan sekunder
karena rudapaksa atau keradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata,
tetapi belum diketahui etiologinya (diduga hereditas/familial)
E. Akibat penyakit dan atau pengaruh prenatal yang tidak jelas
Keadaan ini biasanya sudah ada sejak sebelum lahir, namu tidak diketahui
secara jelas etiologinya.
F. Akibat kelainan kromosom
Terjadi kelainan kromosom dalam jumlah ataupun bentuknya.
G. Akibat prematurasi
Keadaan bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, panjang
kurang atau sama dengan 45 cm, lingkaran dada kurang dari 30 cm, lingkar kepala
kurang dari 33 cm. Masa gestasi kurang dari 37 minggu. Kepala relatif besar dari
pada badannya, kulit tipis transparan. Rambut biasanya tipis. Tulang rawan dan
daun telinga belum cukup sehingga elastisitas daun telinga masih kurang. Kondisi
ini menunjukkan bahwa organ-organ tubuh pada bayi premature belum terbentuk
secara sempurna sehingga keadaan bayi seperti ini dapat mengalami retardasi
mental.
H. Akibat gangguan jiwa yang berat
Gangguan jiwa yang terjadi ketika masa kanak-kanak
I. Akibat deprivasi psikososial
Akibat faktor-faktor biomedik atau sosio budaya (uang berhubungan dengan
deprivasi sosial dan penyesuaian diri).
14
2.1.4 Ciri-ciri Anak dengan Retardasi Mental Ringan
Menurut klasifikasi retardasi mental berdasarkan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III (PPDGJ-III) yang diterbitkan oleh
Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI tahun 1993 tercantum pada F70 sampai
dengan F79, dengan penjabaran, retardasi mental ringan bila menggunakan tes IQ
dengan baku yang tepat, angka IQ berkisaran antara 50 sampai 69. Ciri anak
retardasi mental ringan ini dalam pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung
terlambat pada berbagai tingkat dan masalah kemampuan berbicara yang
mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa, akan
tetapi mayoritas penderita retardasi mental ringan dapat mencapai kemampuan
berbicara dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan juga mandiri penuh dalam
merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah
tangga, walau perkembangannya agak lambat dari anak normal. Secara umum
anak retardasi mental ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut :
A. Karakteristik fisik anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya
sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.
B. Karakteristik psikis anak tunagrahita ringan meliputi: kemampuan berpikir
rendah, perhatian dan ingatannya lemah, sehingga mengalami kesulitan untuk
mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan fungsi mental dan intelektualnya,
kurang memiliki perbendaharaan kata, serta kurang mampu berpikir abstrak.
C. Karakteristik sosial anak tunagrahita ringan yaitu mampu bergaul,
menyesuaikan diri dilingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun
15
ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan
yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.
2.1.5 Penanganan Retardasi Mental Ringan
Menurut jevuska (2010), latihan dan pendidikan yang diberikan kepada anak
retardasi mental yaitu:
A. Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas yang ada
B. Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang anti sosial
C. Mengajarkan suatu keahlian (skill) agar anak itu dapat mencari nafkah kelak
Latihan anak-anak ini lebih sulit dari pada anak-anak biasa karena perhatian
mereka mudah sekali tertarik kepada hal-hal yang lain. Harus diusahakan untuk
mengikat perhatian mereka dengan merangsang panca indera, misalnya dengan
alat permainan yang berwarna atau yang berbunyi, dan semuanya harus konkrit,
artinya dapat dilihat, didengar dan diraba. Prinsip-prinsip ini yang mula - mula
dipakai oleh Fiabel dan Pestalozzi, sehingga sekarang masih digunakan ditaman
kanak-kanak (Judarwanto, 2009). Latihan diberikan secara kronologis dan
meliputi :
A. Latihan rumah, yaitu pelajaran-pelajaran mengenai makan sendiri, berpakaian
sendiri, kebersihan badan.
B. Latihan sekolah, yaitu penting dalam hal ini ialah perkembangan sosial.
C. Latihan teknis, yaitu berikan sesuai dengan minat, jenis kelamin dan
kedudukan sosial.
D. Latihan moral, yaitu sejak kecil anak harus diberitahukan apa yang baik dan
apa yang tidak baik. Agar ia mengerti maka tiap-tiap pelanggaran disiplin
16
perlu disertai dengan hukuman dan tiap perbuatan yang baik perlu disertai
hadiah.
2.1.6 Pencegahan Retardasi Mental Ringan
Secara umum menurut Judarwanto (2009) pencegahan anak retardasi mental
yaitu:
A. Pencegahan primer
Dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan
keadaan sosio-ekonomi, konseling genetik dan tindakan kedokteran (umpamanya
perawatan prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, kehamilan pada
wanita adolesen dan diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan peradangan otak
pada anak-anak).
B. Pencegahan sekunder
Yang meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak, perdarahan
subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu cepat, dapat dibuka
dengan kraniotomi; pada mikrosefali yang kogenital, operasi tidak menolong).
C. Pencegahan tersier
Yang meliputi pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya di sekolah
berkebutuhan khusus. Dapat diberi neuroleptika kepada yang gelisah, hiperaktif
atau dektrukstif.
Konseling kepada orang tua dilakukan secara fleksibel dan pragmatis dengan
tujuan antara lain membantu mereka dalam mengatasi frustrasi oleh karena
mempunyai anak dengan retardasi mental. Orang tua sering menghendaki anak
diberi obat, oleh karena itu dapat diberikan penjelasan bahwa sampai sekarang
17
belum ada obat yang dapat membuat anak menjadi pandai, hanya ada obat yang
dapat membantu pertukaran zat (metabolisme) sel-sel otak.
2.2 Mekanisme Koping
Menurut Nursalam (2003), menjelaskan mekanisme koping terbentuk melalui
proses belajar dan mengingat. Belajar yang dimaksud adalah kemampuan
menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor eksternal dan internal.
2.2.1 Definisi Mekanisme Koping
Penyesuaian diri dalam menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental
dikenal dengan istilah koping. Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh
individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/ancaman.
Koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-
tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata
lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan
Mekanisme koping adalah cara penyesuaian diri yang digunakan seseorang
untuk menghadapi perubahan yang diterima. Menurut Lazarus (1984) koping
merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah
yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari
masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha
secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap
tuntutan-tuntutan (Safaria dan Saputra 2009).
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon
18
terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Apabila mekanisme koping
berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan yang
terjadi. Mekanisme koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stressor
sehingga individu tersebut menyadari dampak dari stressor tersebut. Kemampuan
koping individu tergantung dari tempramen, persepsi, dan kognisi serta latar
belakang budaya/norma tempatnya dibesarkan.
2.2.2 Proses Terjadinya Mekanisme Koping
Menurut Safaria dan Saputra (2009) yang mengutip pendapat Lazarus (1984),
mengatakan bahwa ketika individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau
perubahan lingkungan (situasi yang penuh tekanan), maka akan melakukan
penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut.
Kejadian tersebut dapat diartikan sebagai hal positif, netral, atau negatif. Setelah
penilaian awal terhadap hal-hal yang mempunyai potensi untuk terjadinya
tekanan, maka penilaian sekunder (secondary appraisal) akan muncul. Penilaian
sekunder adalah pengukuran terhadap kemampuan individu dalam mengatasi
tekanan yang ada.
Penilaian sekunder mengandung makna pertanyaan, seperti apakah saya
dapat menghadapi ancaman dan sanggup menghadapi tantangan terhadap
kejadian. Setelah memberikan penilaian primer dan sekunder, individu akan
melakukan penilaian ulang (re-appraisal) yang akhirnya mengarah pada
pemilihan strategi koping untuk penyelesaian masalah yang sesuai dengan situasi
yang dihadapinya.
19
Keputusan pemilihan strategi koping dan respon yang dipakai individu untuk
menghadapi situasi yang penuh tekanan tergantung dari dua faktor, yaitu faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal termasuk didalamnya adalah ingatan
pengalaman dari berbagai situasi dan dukungan sosial, serta seluruh tekanan dari
berbagai situasi yang penting dalam kehidupan. Dan faktor internal, yang
termasuk didalamnya adalah gaya koping yang biasa dipakai seseorang dalam
kehidupan sehari-hari dan kepribadian dari seseorang tersebut.
Setelah keputusan dibuat untuk menentukan strategi koping yang dipakai,
dengan mempertimbangkan dari faktor eksternal dan internal, individu akan
melakukan pemilihan strategi koping yang sesuai dengan situasi tekanan yang
dihadapinya untuk penyelesaian masalah, terdapat dua strategi koping yang
dipakai, yaitu pertama apakah strategi koping yang berfokus pada permasalahan
ataupun pemilihan strategi koping untuk mengatur emosi. Dan kedua strategi
koping tersebut dapat bertujuan untuk mereduksi ketegangan yang disebabkan
oleh situasi tekanan dari lingkungan maupun dapat mengatur hal-hal negatif,
sehingga hasil dari proses koping tersebut dapat menciptakan berfungsinya
kembali aktivitas yang biasa dilakukan oleh individu.
2.2.3 Jenis Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart
dan Sundeen, 1995) yaitu :
20
A. Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi terintegrasi, pertumbuhan,
belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain,
memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan
aktivitas konstruktif. Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Safaria dan
Saputra, 2009), pada dasarnya mekanisme koping ada dua macam yaitu problem-
focused coping dan emotional-focused coping, yaitu usaha yang kuat melalui
pemikiran dan perilaku untuk mengurangi atau mereduksi tekanan berat dari luar
apapun dan dari dalam diri sendiri sehingga dapat mencari solusi, yaitu :
1. Koping yang berfokus untuk mengatur emosi (emotion-focused coping).
Adalah suatu usaha untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi yang
sangat menekan. Emotion–focused coping cenderung dilakukan apabila individu
tidak mampu atau merasa tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, yang
dilakukan individu adalah mengatur emosinya. Sebagai contoh, ketika seseorang
yang dicintai meninggal dunia, dalam situasi ini, orang biasanya mencari
dukungan emosi dan mengalihkan diri atau menyibukkan diri dengan melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah atau kantor. Aspek-aspek emotion focused coping
yaitu :
a. Seeking social emotional support
Mencoba memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang
lain.
21
b. Distancing
Mengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau
membuat sebuah harapan positif.
c. Escape avoidance
Menghayal mengenai situasi atau melakukan tindakan atau menghindar dari
situasi yang tidak menyenangkan. Individu melakukan fantasi andaikan
permasalahannya pergi dan mencoba untuk tidak memikirkan mengenai masalah
dengan tidur atau menggunakan alkohol yang berlebih.
d. Self control
Mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau tindakan dalam
hubungannya untuk menyelesaikan masalah.
e. Accepting responsibility
Menerima untuk menjalankan masalah yang dihadapinya sementara mencoba
untuk memikirkan jalan keluarnya.
f. Positive reappraisal
Mencoba untuk membuat suatu arti positif dari situasi dalam masa
perkembangan kepribadian, kadang-kadang dengan sifat yang religius.
2. Koping yang berfokus pada permasalahan (problem-focused coping)
Koping yang berfokus pada permasalahan (problem-focused coping) adalah
suatu usaha untuk mengurangi stressor, dengan mempelajari cara-cara atau
keterampilan-keterampilan yang baru untuk digunakan mengubah situasi,
keadaan, atau pokok permasalahan. Individu akan cenderung menggunakan
strategi ini apabila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi (Smet, 1994).
22
Setiap hari dalam kehidupan kita secara tidak langsung problemed-focused
coping telah sering digunakan, saat kita bernegosiasi untuk membeli sesuatu di
toko, saat kita membuat jadwal pelajaran, mengikuti treatment-treatment
psikologis, atau belajar untuk meningkatkan keterampilan. Aspek-aspek problem
focused coping yaitu :
a. Confrontive coping
Melakukan penyelesaian masalah secara konkrit.
b. Planful problem solving
Menganalisis setiap situasi yang menimbulkan masalah serta berusaha
mencari solusi secara langsung terhadap masalah yang dihadapi. (Safaria dan
Saputra, 2009).
B. Mekanisme Koping Maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, dan lain-
lain. Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan
kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak
efektif berakhir dengan maladapatif yaitu perilaku yang menyimpang dari
keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau
lingkungan.
McRae dan Costa (dalam Carver, Scheier & Weintraub 1989) memandang
perilaku koping yang demikian merupakan perilaku yang tidak efektif,
diantaranya :
23
1. Focus and venting of emotion
Berupa kecenderungan untuk memusatkan diri pada pengalaman yang
menekan atau kekecewaan yang dirasakan. Respon ini terkadang berfungsi bila
individu menggunakan masa berkabung untuk mengakomodasi rasa kehilangan
dan selanjutnya melangkah maju. Mencurahkan emosi pada taraf tertentu dapat
membantu individu dalam mengurangi tekanan yang dirasakan namun jika
dilakukan secara berlebihan (terlalu berlarut-larut) maka akan memperoleh stress
itu sendiri. Selain itu akan menganggu perhatian individu dari usaha koping yang
aktif.
2. Behavior disengagement
Tampil dalam bentuk mengurangi atau berkurangnya usaha individu dalam
mengatasi stressor, bahkan menyerah/menghentikan usahanya. Perilaku ini
mencerminkan gejala yang dikenal dengan istilah ketidakberdayaan (helplessness)
yang biasanya terjadi pada sebagian besar orang yang kurang tidak percaya bahwa
koping aktif akan berhasil menyelesaikannya.
3. Mental disengagement
Usaha yang diilakukan individu dengan pengalihan perhatian dari masalah
yang dialami. Jenis koping ini merupakan variasi dari behavior disengagement,
dan terjadi bila kondisi individu tidak memungkinkan untuk melakukan behavior
disengagement. Dalam bentuk antara lain melamun/menghayal, tidur, terpaku,
menonton TV, dsb, sebagai cara individu untuk melarikan diri dari masalah yang
dialami.
24
4. Alcohol-drug disengagement
Individu yang berusaha mengalihkan perhatian dari masalah dengan
menyalahgunakan alkhohol atau obat-obatan terlarang.
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Koping
Menurut Ahyar (2010) ada beberapa faktor yang memengaruhi strategi
koping, yaitu :
A. Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama usaha mengatasi stres
individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.
B. Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumberdaya psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada
penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan
strategi koping tipe problem-solving focused coping.
C. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa
situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif
tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan
hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan
melakukan suatu tindakan yang tepat.
25
D. Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah
laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di
masyarakat.
E. Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain,
saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
F. Materi
Meliputi sumberdaya berupa uang, barang, atau layanan yang biasanya dapat
dibeli.
Berdasarkan pemaparan jenis mekanisme koping diatas dapat ditarik
kesimpulan, mekanisme koping dibagi menjadi dua menurut Stuart dan Sundeen
(1998), yaitu : mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif.
Dalam kuisioner mekanisme koping membedakan antara koping adaptif dan
koping maladaptif ini dengan pertanyaan favorable dan unfavorable kemudian
skor yang digunakan merupakan skor yang dibuat oleh peneliti sendiri.
2.3 Pola Asuh Orang Tua
Pendidikan anak dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh
pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa, dengan demikian
menjadi hak dan kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab yang utama
dalam mendidik anak-anaknya. Tugas orang tua adalah melengkapi anak dengan
memberikan pengawasan yang dapat membantu anak agar dapat menghadapi
26
kehidupan dengan sukses. Pola asuh pada dasarnya diciptakan oleh adanya
interaksi antara orang tua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang berevolusi
sepanjang waktu, sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak sealiran,
karena orang tua tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata tetapi juga dengan
contoh-contoh (Shochib, 1998).
2.3.1 Definisi Pola Asuh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) kata pola berarti cara kerja,
bentuk (struktur yang tetap), sistem. Selanjutnya kata asuh atau mengasuh artinya
menjaga (merawat dan membimbing anak). Mengasuh juga mengandung
pengertian membimbing yang meliputi membantu dan melatih supaya dapat
berdiri.
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai
kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola asuh
orang tua adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua yang termasuk
pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma
yang berlaku di masyarakat (Gunarsah, 2002).
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku interaksi yang digunakan orang tua
untuk berhubungan dengan anak yang meliputi mendidik, membimbing,
mendisiplinkan dan melindungi anak sampai dewasa sesuai dengan norma-norma
yang ada dalam masyarakat (Hidayat, 2005).
27
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa orang tua sebagai pengasuh dan
pembimbing dalam keluarga sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar
perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua sehari-hari
akan dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anak-anaknya yang kemudian semua itu
secara sadar atau tidak sadar akan diresapi dan menjadi kebiasaan pula bagi anak-
anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri dengan
orang lain. Walaupun tidak dapat disangkal bahwa faktor lingkungan juga
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan tingkah laku individu
khususnya masa kanak-kanak sampai remaja, sebab pada masa itu mereka mulai
berpikir kritis.
2.3.2 Jenis Pola Asuh
Pola asuh orang tua ada bermacam-macam sebagaimana dikemukakan oleh
Baumrind (1971) dalam Santrock (2007) menjelaskan empat jenis gaya
pengasuhan. Keempat pola tersebut adalah:
A. Pola Asuh Otoriter
Adalah pola asuh yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua
mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan
upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batasan dan kendali yang
tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Pola asuh otoriter ditandai
dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat
dibatasi, orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkannya.
Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak, biasanya
28
hukuman yang bersifat fisik. Tapi bila anak patuh, orang tua tidak memberikan
hadiah karena dianggap sudah sewajarnya bila anak menuruti kehendak orang tua.
Menurut Danny I. Yatim dan Irwanto (1991) ciri-ciri orang tua yang berpola asuh
otoriter menurut adalah sebagai berikut:
1. Suka menghukum
2. Kurang kasih sayang
3. Amat berkuasa
4. Semua perintahnya harus ditaati
5. Tak ada toleransi / kaku
6. Kontrol terhadap perilaku anak sangat ketat
7. Suka mendikte
8. Anak tidak boleh berpendapat
9. Pelit pujian
10. Banyak larangan
B. Pola Asuh Demokratis
Adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak
ragu-ragu mengendalikan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima
dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Pola
asuh demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan
anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi
kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan, dan keinginannya dan
belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Dengan pola asuh ini, anak
mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal
29
yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu
berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya
kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang
anaknya untuk mampu berinisiatif. Menurut Danny I. Yatim dan Irwanto (1991)
ciri-ciri orang tua berpola asuh demokratis adalah sebagai berikut:
1. Suka berdiskusi dengan anak
2. Mendengarkan keluhan anak
3. Memberi tanggapan
4. Menghargai pandangan / pendapat anak
5. Keputusan dipertimbangkan dengan anak-anak
6. Tidak kaku / luwes
C. Pola Asuh Permisif
Adalah pola asuh dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak
terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan apa
yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya
sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Pola asuh ini ditandai
dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan
keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan
kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa adanya
pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah
karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya
anak berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu
sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Keadaan lain pada pola asuh ini
30
adalah anak-anak bebas bertindak dan berbuat. Sifat-sifat pribadi anak yang
permisif biasanya agresif, tidak dapat bekerjasama dengan orang lain, sukar
menyesuaikan diri, emosi kurang stabil, serta mempunyai sifat selalu curiga.
Menurut Danny I. Yatim dan Irwanto (1991) ciri-ciri orang tua berpola asuh
permisif adalah sebagai berikut :
1. Memberi kebebasan penuh
2. Bersikap longgar ( berbuat serba boleh )
3. Tidak pernah menghukum ataupun memberi ganjaran pada anak
4. Kurang kontrol terhadap anak
5. Kurang membimbing
6. Anak lebih berperan dari pada orang tua
7. Kurang tegas
8. Hanya berperan sebagai pemberi fasilitas
9. Kurang komunikasi
10. Tidak peduli terhadap kelakuan anak
D. Pola Asuh Penelantar
Adalah pola asuh dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain
kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung
tidak memiliki kemampuan mandiri. Mereka seringkali memiliki harga diri yang
rendah, tidak dewasa dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja,
mereka mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan nakal.
31
Keempat klasifikasi pola asuh ini melibatkan kombinasi antara penerimaan
dan sikap responsif disatu sisi serta tuntutan dan kendali disisi lain (Sacharin,
1996) :
A. Kendali orang tua
Cara yang digunakan orang tua dengan memberikan aturan-aturan yang tegas
dalam proses pengasuhan.
B. Sikap demokrasi
Orang tua menetapkan batas dan kontrol dengan bersikap mendukung anak
pada tindakan konstruktif, pendengar aktif bagi anaknya.
C. Tuntutan berprestasi
Suatu kewajiban yang harus dipenuhi anak untuk mendapatkan reward dari
orang tuanya
D. Kasih sayang
Kasih sayang sebagai sebuah ikatan psychobiology antara anak dengan orang
tua, kecenderungan pada anak diekspresikan dalam pola perilakunya. Pengasuh
harus seseorang yang berkarakter lembut, hangat, dan memberikan rasa aman
yang sering digambarkan sebagai cinta.
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan latar belakang
berbeda. Entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal ataupun
pengalaman pribadinya selama ini. Perbedaan ini sangat memungkinkan
terjadinya pola asuh yang berbeda terhadap anak. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi orang tua dalam memilih pola asuh (Hurlock, 1992), yaitu :
32
A. Usia orang tua
Usia orang tua muda (< 20 tahun) lebih memilih pola asuh permisif
dibandingkan orang tua yang usianya lebih tua.
B. Persamaan pola asuh orang tua masa lalu
Orang tua yang merasa bahwa pengalaman masa lalu, dimana telah dididik
dan diasuh dengan baik, maka mereka akan menggunakannya kepada anak-anak
mereka.
C. Penyesuaian diri dalam kelompok
Orang tua dalam memberikan pendidikan dan pengasuhan pada anak-anak
dapat dipengaruhi dari kelompoknya (teman-temannya).
D. Pelatihan pada orang tua
Orang tua yang pernah mengikuti pelatihan mengenai perawatan anak lebih
mengerti tentang anak-anak dan kebutuhannya. Kebanyakan mereka
menggunakan pola asuh yang lebih demokratis dibandingkan orang tua yang tidak
pernah mengikuti pelatihan.
E. Jenis kelamin orang tua
Dimana seorang wanita lebih mengerti tentang kebutuhan dan kondisi
anaknya.
F. Status sosial ekonomi
Orang tua menengah kebawah cenderung lebih keras dan lebih memaksa dan
sedikit toleransinya dibandingkan keluarga menengah keatas.
33
G. Konsep mengenai peran orang tua
Orang tua yang memiliki konsep tradisional mengenai peran orang tua
cenderung lebih authoritative dibandingkan orang tua yang menerima konsep
modern.
H. Jenis kelamin anak
Orang tua kebanyakan lebih keras terhadap anak perempuannya
dibandingkan terhadap anak laki-laki.
I. Usia anak
Pola asuh otoriter lebih banyak digunakan untuk mendidik anak pada masa
kanak-kanak.
J. Situasi
Seorang anak yang mengalami ketakutan dan kecemasan seringkali ditangani
oleh orang tua dengan lebih ringan dan tidak pernah diberi hukuman.
Menurut Gunarsah (2006), dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orang
tua ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :
A. Pengalaman masa lalu
Yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap orang tua mereka.
Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk mengulangi sikap
atau pola asuh orang tua mereka dahulu apabila hal tersebut dirasakan
manfaatnya. Sebaliknya mereka cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap
atau pola asuh orang tua mereka bila tidak dirasakan manfaatnya.
34
B. Tipe kepribadian dari orang tua
Misalnya : orang tua yang selalu cemas dapat mengakibatkan sikap yang
terlalu melindungi terhadap anak
C. Nilai-nilai yang dianut oleh orang tua
Contoh : orang tua yang mengutamakan segi intelektual dalam kehidupan
mereka, atau segi rohani dan lain-lain. Hal ini tentunya akan berpengaruh pula
dalam usaha mendidik anak-anaknya.
D. Kehidupan perkawinan orang tua
E. Alasan orang tua mempunyai anak
Menurut Petranto (2006) Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
diantaranya adalah :
A. Sosial ekonomi
Orang tua yang berasal dari kelas sosial ekonomi menengah cenderung lebih
bersifat hangat dibandingkan orang tua yang berasal dari sosial ekonomi rendah
dimana cenderung menggunakan hukuman fisik dan menunjukkan kepuasan
mereka. Orang tua dengan sosial ekonomi menengah lebih menekankan pada
perkembangan keingintahuan anak, kontrol dalam diri anak, kemampuan untuk
menunda keinginan, bekerja untuk jangka panjang dan kepekaan anak dalam
hubungannya dengan orang lain. Orang tua dari golongan ini lebih bersikap
terbuka terhadap hal-hal yang baru (Prasetyo, 2003).
B. Tingkat pendidikan
Orang tua yang demokratis cenderung memiliki pandangan mengenai
persamaan hak antara orang tua dengan anak yang cenderung berkepribadian
35
tinggi. Orang tua dengan latar belakang pendidikan yang tinggi dalam praktek
pola asuhnya tampak sering membaca artikel ataupun mengikuti kemajuan
mengenai perkembangan anak dalam mengasuh anak mereka menjadi lebih siap
dalam memiliki latar belakang pengetahuan luas. Sedangkan orang tua dengan
latar belakang pendidikan rendah memiliki pengetahuan dan pengertian yang
terbatas tentang kebutuhan perkembangan anak, kurang menunjukkan pengertian
dan cenderung mendominasi anak (Prasetyo, 2003).
C. Jumlah anak
Orang tua yang hanya mempunyai dua atau tiga anak akan menunjukkan pola
asuh otoriter, dengan digunakannya pola asuh ini orang tua beranggapan dapat
tercipta ketertiban dalam rumah tangga (Petranto, 2006).
D. Nilai-nilai yang dianut
Paham equilitarium menempatkan kedudukan anak sama dengan orang tua,
dianut oleh banyak orang tua dengan latar belakangnya budaya barat, sedangkan
pada budaya timur orang tua masih menghargai kepatuhan anak (Petranto, 2006).
Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, faktor-faktor
yang mempengaruhi pola asuh orang tua antara lain hubungan orang tua dan anak,
sikap penolakan orang tua, figur orang tua, ketergantungan berlebihan terhadap
orang tua, pengalaman masa lalu, kehidupan perkawinan orang tua, tingkat sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, jumlah anak dan nilai yang dianut.
2.3.4 Aspek – aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua
Menurut Iswantini (2002) dalam (Setianingsih, 2007) pola asuh orang tua
dapat ditunjukkan melalui aspek-aspek :
36
A. Peraturan, penerapan aturan yang harus dipatuhi dalam kegiatan sehari-hari.
B. Hukuman, pemberian sanksi terhadap ketentuan atau aturan yang dilanggar.
C. Hadiah, pemberian hadiah terhadap kegiatan yang dilakukan anak.
D. Perhatian, tingkat kepedulian orang tua terhadap aktivitas dan kehendak anak.
E. Tanggapan, cara orang tua menanggapi sesuatu dalam kaitannya dengan
aktivitas dan keinginan anak.
Baumrind (1971) dalam Setianingsih (2007) mengemukakan ada beberapa
aspek dalam pola asuh orang tua, yaitu :
A. Kontrol, merupakan usaha mempengaruhi aktivitas anak secara berlebihan
untuk mencapai tujuan, menimbulkan ketergantungan pada anak, menjadikan
anak agresif, serta meningkatkan aturan orang tua secara ketat.
B. Tuntutan kedewasaan, yaitu menekan kepada anak untuk mencapai suatu
tingkat kemampuan secara intelektual, sosial dan emosional tanpa memberi
kesempatan pada anak untuk berdiskusi.
C. Komunikasi anak dan orang tua, kurangnya komunikasi anak dan orang tua
yaitu orang tua tidak menanyakan bagaimana pendapat dan perasaan anak bila
mempunyai persoalan yang harus dipecahkan.
D. Kasih sayang, yaitu tidak adanya kehangatan, cinta, perawatan dan perasaan
kasih, serta keterlibatan yang meliputi penghargaan dan pujian terhadap
prestasi anak.
Berdasarkan beberapa uraian diatas ditarik kesimpulan, aspek-aspek dalam
pola asuh orang tua antara lain peraturan, hukuman, hadiah, perhatian dan
tanggapan. Adapun aspek-aspek yang digunakan sebagai indikator alat ukur untuk
37
mengungkap pola asuh orang tua dalam pada penelitian ini mengacu pada
pendapat yang dikemukakan oleh Baumrind (Setianingsih, 2007) yaitu kontrol
yang berlebihan pada anak, tuntutan kedewasaan yang berupa tekanan, kurangnya
komunikasi dan kasih sayang. Kecenderungan pola asuh orang tua yang dinilai
berdasarkan kehidupan sehari-hari. Skor yang digunakan pada penelitian ini
dibuat oleh peneliti.
2.4 Hubungan Mekanisme Koping Dengan Pola Asuh Orang Tua Anak
Retardasi Mental
Mekanisme koping merupakan suatu cara yang digunakan individu dalam
menyesuaikan diri untuk menghadapi suatu perubahan yang terjadi. Setiap orang
tua menggunakan mekanisme koping yang berbeda-beda dalam menghadapi suatu
masalah. Koping adaptif dapat membantu seseorang untuk mengatasi masalah
atau stress secara efektif dan dapat meminimalkan masalah-masalah yang dialami.
Sedangkan koping maladaptif menimbulkan stress bagi individu dan keluarganya.
Sering kali reaksi-reaksi orang tua terhadap anak yang mengalami retardasi
mental dapat menghalangi usaha-usahanya dalam mencapai kemampuan untuk
menyesuaikan diri yang normal.
Terciptanya hubungan yang hangat, memberikan perhatian yang khusus dan
kasih sayang kepada anak yang mengalami retardasi mental ini akan membantu
anak dalam meningkatkan kepercayaan diri dan mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Orang tua dalam pola asuhnya harus dapat menciptakan relasi atau
hubungan sehat dengan anak dan menyediakan kebutuhan fisik, serta keamanan
bagi anak sehingga tercipta keluarga yang harmonis. Orang tua menyadari bahwa
38
anaknya yang mengalami retardasi mental memerlukan tempat aman bagi
perkembangan jiwa anak. Dengan demikian pola asuh orang tua terhadap anak
retardasi mental sangat penting diperhatikan. Pola asuh adalah bentuk perilaku
yang diterapkan orang tua untuk berhubungan dengan anak yang meliputi
mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi anak sampai dewasa
sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian Suri dan Daulay (2012), mekanisme koping
pada orang tua yang memiliki anak Down Syndrome di SDLB Negeri 107708
Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang, menyimpulkan bahwa koping yang
digunakan oleh orang tua yang memiliki anak Down Syndrome mayoritas
menggunakan koping adaptif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mekanisme
koping adaptif (positif) memang sangat diperlukan oleh orang tua dalam mendidik
anaknya. Penelitian lainnya oleh Suriyani (2012), mengenai hubungan pola asuh
orang tua dengan tingkat prestasi akademik anak retardasi mental ringan di
Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) Sumber Dharma Malang, memaparkan bahwa
pola asuh otoriter dan permisif lebih berpengaruh positif dibandingkan dengan
pola asuh demokratis terhadap tingkat prestasi akademik. Namun pola asuh yang
digunakan masih dalam batas-batas yang masih ditolerin oleh anak dan tidak
mengakibatkan efek negatif bagi prestasi belajar anak, atau dapat diartikan bahwa
pola asuh otoriter yang diterapkan pada anak retardasi mental dapat diterima anak
secara wajar dalam tataran menekankan aspek pendidikan dan peningkatan
kedisiplinan belajar.