Post on 16-Nov-2020
BAB II
LANDASAN TEORI
(PENDEKATAN HOLISTIK DALAM KONSELING
PASTORAL)
2.1. Pengantar
Dalam bab II ini akan dideskripsikan landasan teoritis mengenai pendekatan
holistik (menyeluruh) serta penerapannya dalam konteks pastoral bagi pengungsi
Buru di Lembah Agro. Selain itu, akan disajikan pula landasan teologi dan
landasan teori analisis permasalahan.
2.2. Pengertian Holistik
Holistik adalah suatu pendekatan praktis dari konsep holism yang menjelaskan
fenomena yang berkaitan dengan fungsi (maksud, kegiatan) dari keseluruhan
(bentuk, totalitas, kesatuan) yang menjadi prinsip penuntu bagian-bagiannya.
Menjelaskan kegiatan bagian-bagian dari suatu keseluruhan dalam kaitan dengan
fungsi keseluruhan itu1.
Fay dalam bukunya yang berjudul Contemporary Philosophy of Social
Sciences, ia mendefinisikan holism sebagai paham-paham yang menjelaskan,
bahwa pengalaman individu merupakan suatu bagian dari fungsi mereka didalam
masyarakat atau suatu bagian dari beberapa sistem makna yang lebih luas. Dalam
pandangan holism, identitas individu ditentukan oleh identitas keseluruhan
keanggotaan kelompoknya, sebab identitas individu pada dasarnya dihasilkan oleh
kekuatan sosial dan kebudayaan disekitar individu tersebut. Individu ada dan
1 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (1996), 293
menjadi dirinya karena dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Paham holism seperti
ini menekankan bahwa masyarakat dan kebudayaan menjadi sumber sekaligus
yang “membatasi” aktifitas individu. Dengan kata lain, dapat dijelaskan juga
bahwa kebudayaan dan masyarakatlah yang menentukan karakter atau hakekat
anggotanya.2
Metodologikal holism ini adalah mengutamakan mengamati fenomena sosial
sebagai dasar untuk mendapatkan teori atau penjelasan dasar tentang individu.
Alasannya adalah karena individu hanya dapat dimengerti atau dipahami dalam
konteks dan konstruksi lingkungan sosialnya.3 Masyarakat dan kebudayaan ini
merupakan elemen-elemen esensial yang memelihara seluruh sistem pendukung
kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengalaman menyeluruh
dan komprehensif tentang manusia, kita harus mempelajari lingkungan tempat
manusia itu hidup. Jadi pada dasarnya, pandangan holism, yang memahami dan
mempelajari manusia, alam dan lingkungannya secara interdependen merupakan
studi yang “berpusat pada manusia”.4
Holism adalah cara pandang yang juga melihat individu sebagai suatu system
organisme. Sebagai suatu organisme, maka individu dianggap lebih daripada
kumpulan dari bagian-bagiannya. Menurut prinsip ini, sebuah gangguan kecil
pada bagian tubuh manusia dapat mengganggu perkembangan dan tingkah laku.5
Holism memiliki daya tarik dalam ilmu-ilmu sosial karena fokusnya bukan
pada individu tetapi pada satu kelompok, dengan demikian, mendukung
2 Bryan Fay, Contemporary Philosophy of Social Sciences. ( Massachusetts : Blackwell
Publishers, 1997) , 50 3 Ibid. 4 Robert Gwinn (Ed), The New Encyclopedia Britanica. Vol17, (Chicago : The University of
Chicago, 1989) , 979 5 Robert Gwinn, Contemporary Philosophy of Social Sciences, 686
pendekatan holistik dan bukan hanya fenomena individu semata. Sehingga
hasilnya, ilmu tidak hanya menggambarkan objek studinya tetapi menjelaskan
mengapa mereka berada atau berkelakuan seperti itu.
Selanjutnya, dalam bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, paham ini
menyadarkan para ahli kebudayaan dan komunitas tempat manusia itu berada
memiliki kuasa untuk mengubah individu-individu yang diam didalamnya. Sebab
kebudayaan manusia pada dasarnya dibentuk atau disusun oleh system holistik
yakni teknologi, ekonomi, struktur sosial dan politik, agama, bahasa, nilai dan
lainnya yang saling berhubungan erat.
Dengan interaksi komponen-komponen tersebut diatas, masyarakat akan
berubah melalui satu seri tahapan transformasi struktur dan fungsi dalam
masyarakat tersebut. Termasuk didalamnya produktifitas dan kesehatan sangat
ditentukan oleh ikatan sosial dalam masyarakat tersebut. Itu sebabnya, kerjasama
sosial cenderung dibentuk oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam tiap
individu. Artinya, tiap hubungan antar pribadi dalam masyarakat pada hakekatnya
diatur demi menunjang kebutuhan tiap orang.6
Pada abad 20, psikologi juga sudah diarahkan untuk berinteraksi langsung
dengan ilmu-ilmu lain untuk mengatasi berbagai persoalan manusia. Salah satu
tokoh pelopor psikologi yang berpikir secara holistik adalah William James
seperti yang dikutip oleh Crapps, ia berpendapat bahwa jalan menuju kesehatan
pribadi adalah jalan penyatuan unsur-unsur yang ada dalam pribadi manusia,
termasuk didalamnya unsur kepercayaan (agama).7 Itulah sebabnya, studi
6 David Sills (Ed), International Encyclopedia of The Social Sciences Vol3-4 (New York :
Macmillan Co & The Free Press, 1968), 340-341 7 Roberts W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama Sejak William James hingga Gordon W Allport
(Yogjakarta : Canisius, 1986-Terjemahan), 34
psikologi agama menurut Crapps telah berkembang kepada studi yang melihat
manusia sebagai satu keutuhan. Crapps mengatakan :
Keutuhan kepribadian merupakan konsep penting dalam psikologi agama
yang tugas pokoknya adalah mengadakan analisis rasional. Bagaimana
sesuatu dapat diketahui dengan tepat tanpa memecahkan keseluruhan
menjadi bagian-bagian yang membentuknya? Psikologi agama harus terus
menerus menyadarkan diri bahwa keseluruhan pribadi manusia lebih
daripada kumpulan dari bagian-bagiannya.8
2.3. Pendekatan Holistik Dalam Layanan Pastoral
Bentuk penerapan konsep holism dalam studi layanan pastoral diawali dengan
kesadaran tentang pentingnya ilmu-ilmu sosial diintegrasikan dengan ilmu teologi
untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang manusia. Joe dan Henriot
mengatakan bahwa untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal terhadap
masalah sosial termasuk masalah jiwa yang dihadapi masyarakat dewasa ini,
gereja tidak cukup dengan ilmu teologi tetapi juga ilmu lainnya. Pendekatan ini
dikenal sebagai “lingkaran pastoral” yang menjelaskan bahwa mendekati masalah
manusia tidak hanya dengan analisa teologis (iman) tetapi juga analisa cultural,
analisa sosial analisa personal, analisa teologis dan perencanaan.9
Menyadari pentingnya pelayanan pastoral yang holistik, dewasa ini diseluruh
seminari teologi di Amerika dimasukkan mata kuliah Pastoral Care dan konseling
sebagai mata kuliah utama. Kuliah ini disatukan dengan training dan praktek di
Rumah Sakit dan bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti CPE (Clinic
Pastoral Education).10
8 ibid, 35 9 Joe Holland dan P.Henriot, Analisis Sosial dan Refleksi Teologis : Kaitan Iman dan Keadilan
(Yogyakarta : Canisius, 1985), 9 10
Rotney J Hunter, Dictionary of Pastoral Care and Conseling ( Nashville : Abingdon Press,
1990), 499
Pendekatan holistik ini mulai diterapkan di Amerika sejak Boisen ikut
mencetuskan CPE atau Clinical Pastoral Education (1923-1944). Boisen saat itu
mengkritik gereja yang tidak mampu melayani kebutuhan manusia secara utuh.
Gereja menutup mata terhadap kebutuhan para penderita gangguan jiwa. Ia
berkata :
If a man has a broken leg he cant in almost any part of the country be care for
in a church hospital, at church expense, and under church auspices; but if he
has a broken heart he is sent to estate institution, there to be forgotten by the
church.11
Biosen menegaskan bahwa tujuan dari pelayanan pastoral termasuk pada
mereka yang menderita sakit adalah membawa orang itu kembali pada relasi yang
benar dengan Allah. Untuk itu menurut boisen, yang bermasalah membutuhkan
pendampingan dari seorang konselor yang dapat mendengarkan dan memahami
keautentikan dari klien.12
Aar Martin Van Beek dalam bukunya yang berjudul Konseling Pasoral
membagi hidup manusia menjadi empat aspek yaitu fisik, sosial, mental dan
spiritual dimana dapat digambarkan sebagai berikut.
11 Ibid. 12 Charles Gerkin, Konseling Pastoral dalam Transisi (Canisius Yogjakarta dan BPK Jakarta,
1992), 48-49
Gambar 1. Skema Holistik Umat. 13
Gambar di atas menunjukan bahwa setiap masalah manusia dapat sekaligus
merupakan masalah sosial dan fisik atau merupakan masalah mental dan rohani,
dan seterusnya. Di samping itu, suatu masalah yang pada dasarnya merupakan
masalah sosial dapat menimbulkan masalah psikis atau mental. Suatu masalah
yang jasmani dapat menimbulkan kesulitan psikis atau rohani. Kenyataan ini
dapat digambarkan dan dijelaskan sebagai berikut :
Gambar 2. Skema Hubungan Antar Aspek. 14
13 Aart Martin van Beek, Konseling Patoral (Semarang : Satya Wacana, 1987), 26
Persekutuan
Rasa syukur
Rasa aman
dstr.
SOSIAL
MENTAL
SPIRITUAL
FISIK
Harga diri
Emosi
Pola pemikiran
dstr.
Keluarga
teman
Uang
Pekerjaan
Olah raga
Makan Kesehatan Jasmani
Dstr
SOSIAL
MENTAL
SPIRITUAL
FISIK
Keluarga
teman
Uang
Pekerjaan
Harga diri
Emosi
Pola pemikiran
dstr.
Kesehatan Jasmani
Dstr
Olah raga
Makan
SOSIAL SPIRITUAL
FISIK MENTAL
C
E
A
D
B
A. Masalah fisik menimbulkan masalah mental. Contoh : seorang yang sakit
terus akan lebih cepat depresi dan tersinggung.
B. Masalah mental menimbulkan masalah sosial. Contoh : orang yang tidak
bermotivasi kuat tidak akan berhasil dalam karirnya.
C. Masalah spiritual menimbulkan masalah sosial. Contoh : orang yang tidak
pernah ingin ke gereja tidak merasa diberkati dalam persekutuan yang kuat
D. Masalah sosial menimbulkan masalah fisik. Contoh : seseorang yang tidak
punya gaji yang cukup dan mempunyai keluarga besar akan menderita
kekurangan gizi.
E. Masalah mental yang menimbulkan masalah spiritual. Contoh : seseorang
yang sakit jiwa akan sering mengungkapkan pandangan theologies yang
tidak masuk akal dan seterusnya.
Kecenderungan dari masalah manusia untuk saling mempengaruhi, seringkali
dapat mengakibatkan suatu lingkaran dari persoalan yang menjadi suatu lingkaran
setan yang cukup kompleks. Contoh:
14 Ibid, 27
Gambar 3. Skema Lingkaran Permasalahan. 15
Gambar diatas menunjukkan bahwa nampak sekali suatu persoalan dapat
menyebabkan timbulnya masalah baru yang bersifat sama ataupun yang bersifat
lain sehingga terbentuk suatu lingkaran penderitaan yang tidak dapat diretakkan.
Disamping itu, setiap kesulitan yang baru cenderung untuk memperkuat kesulitan
yang dulu (lihat garis-garis titik diatas). Seumpamanya masalah sosial-keluarga
mengakibatkan masalah rohani atau spiritual yang mengakibatkan masalah psikis.
Dalam situasi ini, kemungkinan besar bentrokan keluarga akan dipertajam.
Masalah bukan sesuatu yang begitu saja dapat dipotong dari keseluruhan
kehidupan kita. Kehidupan itu tidak bisa dianalisa lapisan demi lapisan. Tetapi
merupakan suatu proses yang berjalan terus. Aart Martin van Beek
mengungkapkan bahwa manusia, dalam hal ini individu, selalu berkembang dari
suatu fase kehidupan ke fase kehidupan yang lain. Hal itu juga harus dipahami
15 Ibid, 28
Masalah sosial : uang (Gaji tidak cukup)
masalah sosial : keluarga (bentrok soal ekonomi)
masalah Rohani/Spiritual (MAlu bergaul dengan
masyarakat lain)
masalah Psikis Mental (rasa minder)
masalah Jasmani : tidak bisa tidur
Masalah Sosial Ekonomi : Pekerjaan
(Hasil pekerjaan menurun)
oleh konselor pastoral secara menyeluruh atau holistik. Manusia berkembang
dalam segi fisik, emosional, pandangan hidup (iman dan moral) dan seterusnya.16
Pendekatan pastoral di Barat didasarkan pada pandangan holisme dan
bertujuan untuk membawa manusia kepada pertumbuhan yang utuh. Sebab
pendekatan pastoral menyadari bahwa hambatan pada satu bidang atau aspek
dapat menimbulkan hambatan pada bidang atau aspek lainnya. Howard Clinebell
dalam bukunya Growth Conceling mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan
layanan pastoral adalah membawa 6 aspek dalam hidup manusia dalam
pertumbuhan yang harmonis dalam interaksinya. Keenam aspek pertumbuhan itu
adalah pertumbuhan dalam pikiran, revitalisasi tubuh, relasi yang kaya dengan
orang lain, hubungan yang akrab dengan alam dan biosphere, bertumbuh dengan
lembaga yang bermakna bagi hidup kita dan dimensi hubungan dengan Allah.17
Tujuan konseling kristen adalah membawa keenam dimensi itu pada
pertumbuhannya yang utuh sehingga individu dapat menjadi agen rekonsiliasi dan
agen keutuhan ditengah keluarga, masyarakat dan gereja. Konsekuensi logis dari
pemahaman diatas menjelaskan bahwa layanan pastoral mau atau tidak mau harus
terbuka pada sumbangan ilmu lainnya. Ketidaksediaan untuk membuka diri
terhadap sumbangan ilmu-ilmu lainnya, maka keputusan dan layanan pastoral
yang dilakukan bagi mereka yang bermasalah tidak pernah akan cukup dalam
memberi solusi. Bahkan dalam banyak hal, ilmu-ilmu sosial lebih mampu
memberikan informasi lengkap tentang realita manusia kepada kita dari pada ilmu
teologi.18
16 Ibid, 29 17 Howard Clinebell, Growth Conceling : Hope-Centered Methods of Actualizing Human
wholeness (Nashville : Parthenon Press, 1982), 17 18 Mesach Krisetya, Teologia Pastoral (Salatiga : Fakultas Teologi UKSW, 1998), 55
Dalam konteks keenam dimensi manusia diatas, Clinebell mengemukanan
bahwa keenam dimensi itu saling terkait satu dengan lainnya. Apabila satu aspek
belum terpenuhi maka akan berdampak pada laju pertumbuhan hidup seseorang.
Dengan demikian pendampingan pastoral yang dilakukan gereja harus membantu
seseorang untuk menemukan keutuhan dalam kehidupannya. Clinebell membuat
formulasi dalam bentuk diagram berkenan dengan pelayanan pendampingan
pastoral yang dilakukan gereja sebagai berikut:
Gambar 4: Diagram Holistik. 19
Dari gambar di atas, Clinebell menjadikan aspek spiritual sebagai kunci dari
pertumbuhan kehidupan manusia. Clinebell berpendapat bahwa “spiritual growth
is the key to all human growth. Because human beings are inherently
transpersonal and transcendent, there is no way to fulfill one self except in
relationship to lenger spiritual reality”.20
dalam konsep ini, Clinebell memberi
pemahaman bahwa agama bukan ditujukan pada lembaga, melainkan sebagai
19 C Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Jogjakarta:
Kanisius dan BPK, 2002), 50 20 Howard Clinebell, Growth Counseling, 101
usaha menumbuh-kembangkan kehidupan spiritualitasnya. Lewat pengalaman
spiritual yang mendalam seseorang dapat menjadikan hidupnya sejahtera secara
utuh.
2.4. Landasan Teologis
Secara teologis dimensi Holistik nampak pada kata syalom yang dikisahkan
dalam kitab Perjanjian Lama. Kata syalom sebenarnya menunjuk pada suatu
keadaan yang sejahtra pada diri seseorang. Dalam buku-buku literature
kebanyakan menjelaskan bahwa syalom memiliki arti sehat, aman, damai dan
sejahtra. Sedangkat menurut kata Ibrani, syalom secara etimologi berasal dari ”
Sh-l-m”. menurut Evans, ada tiga konsep yang terkandung dalam kata syalom
yaitu “totality the adjective syalom istranlated ‘whole’), well –being and
harmony”.21
Konsep ini merupakan cakupan dari kata syalom, dimana mencakup
keseluruhan aspek kehidupan manusia.
Aspek Holistik lain dalam cerita Alkitab, nampak pada cerita penciptaan. Kej
pasal 2 ayat 7 memberi kesaksian yang berkaitan dengan subtansi dari manusia.
Kesatuan dari manusia itu sendiri dari pneuma-psikologi-somatis. Menurut Eka
Darma Putera,, susunan kesatuan manusia itu adalah sebagai berikut:
1. Manusia adalah debu (adama), mengarah pada aspek fisik. Artinya
bahwa manusia mempunyai tubuh, materi. Allah membuat itu! Dan
Allah juga memperhatikan kebutuhan fisik dari manusia (kej 2:9)
2. Manusia memiliki jiwa (psyche), mengarah pada aspek mental. Manusia
diciptakan Allah dengan kebutuhan kejiwaannya. Allah mengerti dan
tidak membiarkan manusia kesepian (Kej 2:18). Manusia diberi
kebebasan (Kej 2:16), manusia diberikan tanggung jawab dan
kepercayaan (Kej 2:15).
3. Manusia memiliki Roh, mengarah pada aspek spiritual. Artinya bahwa
Allah memberikan “nafas hidup”, bahkan menghembuskannya dari
“nafas hidup” Allah sendiri (Kej 2:7). Dengan demikian ada relasi yang
sangat sakral antara Allah dan manusia. Dalam Maz 8:6 dituliskan
21 Evans, C. F. “Peace”, A Theologycal Word Book Of The Bible, 1950), 165
bahwa “Engkau telah membuat hampir sama seperti Allah, dan telah
memahkotanya dengan kemuliaan dan hormat. Manusia pun diciptakan
serupa dan segambar dengan Allah (Kej 1:26,27). Artinya bahwa
manusia adalah representasi dari Allah itu sendiri.
Richard M. Gula, S.S dalam buku yang berjudul Etika Pastoral
mengemukakan berapa pandangan teologisnya berkaitan dengan studi konseling
pastoral. Richard berpendapat bahwa pelayanan pastoral sesungguhnya
merupakan suatu panggilan dan profesi. Dikatakan panggilan karena perayanan
pastoral adalah tanggapan bebas terhadap panggilan Tuhan di dalam dan melalui
komunitas untuk mengabdikan diri dalam cinta demi pelayanan kepada sesama. 22
Selanjutnya Richard juga menjadikan tiga hal penting dalam etika teologis
sebagai akses memahami maksud Tuhan, yaitu Perjanjian, citra Allah, dan
Kemuridan.
1. Perjanjian
Kesaksian alkitab tentang perjanjian membentuk model hubungan-
hubungan pelayanan. Dalam alkitab, konteks perjanjian menyingkapkan
apa yang dikehendaki oleh Tuhan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh
anggota-anggota yang setia dalam hubungan-hubungan perjanjian. Cirri-
ciri dasariah perjanjian adalah cara perjanjian itu dibentuk, yaitu rahmat
adalah langkah pertama. Allah yang memulainya dari cinta kasih
(Keluaran 6:7; 19:4-5). Kita lebih banya dicari daripada mencari. Israel
mengakui bahwa perjanjian adalah suatu anugrah, suatu kehormatan atas
diri mereka (Im 26:9-12; Yer 32:38-41). Citra kita tentang gereja sebagai
umat Allah dikaitkan dengan panggilan Tuhan untuk suatu hubungan
perjanjian (2 Kor 6: 16; Ibr 8: 10; Why 21: 3). Cara untuk memahami
22
Richard M. Gula, S.S, Etika Pastoral, (Yogjakarta: Kanisius, 2009), 25-27
gereja ini mengajarkan kita untuk memahami dan menghargai kodrat
perjanjian pelayanan pastoral berhubungan dengan pelayan bukan hanya
dengan seorang yang mencari pelayanan pastoral, tetapi juga dengan
Tuhan dan seluruh komunitas. Konteks Eklesial pelayanan pastoral akan
selalu mencakup hubungan-hubungan perjanjian ini.
Ciri-ciri lain dari perjanjian adalah bahwa kelayakan dan keluhuran
datang pertama-tama dari cinta Tuhan atas diri manusia dan bukan dari
hasil prestasi pribadi manusia atau peran-peran sosial mereka. Dalam kitab
Ulangan misalnya, pemilihan Allah atas Israel pertama-tama karena
kesetiaan penuh cinta, dan bukan karena kebesaran Israel (Ul 7:7-8).
Dalam kitab Yesaya, dilukiskan tentang Allah yang mencintai umat
perjanjian bagi kepentingan mereka sendiri dan bukan demi keberadaan
mereka yang berguna (Yes 43:1 ;4 ; 41:8-16). Hosea melukiskan cinta
Allah bagi umat yang memberontak melalui wajah orangtua yang lembut
bagi anaknya (Hos 11:1-9). Dalam perjanjian baru, salah satu wajah Yesus
yang disukai oleh mereka yang hidupnya berdasarkan cinta Tuhan, yang
tak bersyarat adalah sang anak (Mat 18:1-5). Apa yang membuat wajah
sang anak begitu cocok adalah keamanan si anak yang berakar dalam
keinginan akan cinta itu dan bukan dalam sesuatu yang dicapai sang anak.
Cirri-ciri lain dari perjanjian adalah kebebasan, bukan hanya
kebebasan Allah untuk mencintai manusia tetapi juga kebebasan manusia
untuk menerima atau menolak cinta itu. Cinta ilahi yang mendukung
manusia tidak menghancurkan kebebasannya. Tawaran cinta Tuhan
menantikan penerimaan dari setiap orang. Berperan serta dalam perjanjian
itu bersifat sukarela. Bagaimanapun juga, sekali kita menerima tawaran
cinta, kita membuktikan diri hidup sesuai tawaran perjanjian.
2. Citra Allah
Manusia pada dasarnya diciptakan menurut citra Allah. Pandangan
teologis tentang “menjadi manusia” merupakan pusat dari tradisi etis
kekristenan. dalam perjanjian, terdapat dasar teologis untuk memahami
posisi Allah dalam hidup moral dan manusia sebagai panutann wajah
Allah. Inisiatif Allah untuk mengadakan perjanjian dengan manusia
mendukung keluhuran martabat manusia dan kodrat sosial manusia yang
merupakan kriteria kunci untuk menilai semua aspek moral. Tindakan-
tindakan yang benar adalah tindakan yang mendukung dan
mengembangkan kemajuan pribadi-pribadi manusia dalam komunitas.
Memahami pribadi manusia dalam kaitan dengan Allah menggaris
bawahi dua dimensi manusia, yaitu suci dan sosial.
Melalui tema citra Allah (Maz 8:5; 1 Kor 11:7; Yak 3:9), dengan
tegas kitab suci menegaskan kesucian atau keluhuran tiap pribadi. Tiap
pribadi adalah suci berarti mengatakan bahwa Allah telah menjalin
hubungan dengan manusia dan bahwa manusia tidak bisa memahami
pribadinya terlepas dari keberadaannya dalam Allah.
Kisah penciptaan memberitahukan bahwa puncak penciptaan adalah
pria dan wanita dan diciptakan sesuai dengan citra Allah (Kej :26-27).
Secara implist, kisah penciptaan itu mengungkapkan bahwa setiap pribadi
manusia mempunyai keluhuran yang tak terpisahkan dari berkat cinta
Allah. Keluhuran manusia itu terdapat didalam dirinya bahkan sebelum dia
mampu meraih prestasi atau kedudukan sosial (Kej 4-11).
3. Kemuridan
Pengertian pemuridan diarahkan pada suatu wujud penerimaan
terhadap Yesus Kristus sebagai norma pelayanan dan hidup moral.
Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang memasuki jalan kemuridan.
Hal ini bertujuan untuk menanggapi undangan Yesus : “Datang, ikutilah
Aku” (Mat 19:21). Mengikuti Yesus berarti hidup dalam semangat Yesus,
ambil bagian dalam hidup dan nasibnya, berbagi pengalaman dalam
ketaatan-Nya yang bebas dan cinta kasihnya kepada kehendak Bapa.
Menjadi seoran pengikut Yesus berarti menyesuaikan diri dengan-Nya
yang menjadi seorang hamba dan bahkan memberikan diri-Nya pada salib
(Fil 2:5-8).
Tantangan panggilan kemuridan bagi hubungan manusia dengan
pelayanan pastoral adalah untuk menjadikan cara hidup Yesus sebagai
patokan. Setiap orang yang percaya pada Yesus dipanggil untuk
mencerminkan apa yang dilakukan-Nya, dibentuk oleh sabda dan
perbuatan-Nya untuk tetap setia kepada Tuhan dan hadir ditengah-tengah
orang lain dalam zaman sekarang seperti Yesus berada pada zaman-Nya.23
2.5.Fungsionalisasi Layanan Pastoral.
Agar layanan pastoral dapat berfungsi dengan baik, maka pengertian tentang
layanan pastoral perlu diperhatian dengan baik. Clebsch dan Jaekle
mengemukakan defenisi layanan Pastoral sebagai berikut:
23 Richard M Gulo, S.S, Etika Pastoral, 31-54
“ The ministry of the cure of soul, or pastoral care, consist of helping acts,
done by representative Christian persons. Directed toward the healing,
sustaining, guiding, and reconciling of traubled persons whose troubles
arise in the context of ultimate meanings and concerns.”24
Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dari defenisi di atas adalah:
1. Pekerjaan pelayanan pastoral gereja dilakukan oleh orang-orang yang disebut
representatif (Pendeta, Presbyters, Diaken, Para Tua-tua, dll). Pendekatan
yang seperti itu memberi peluang yang sangat besar bagi peran aktif orang-
orang tertentu dalam suatu komunitas gereja dan mengabaikan peran aktif dari
komponen yang lain dalam pelayanan gereja. Dengan demikian pendekatan
seperti ini sudah harus ditinjau, dalam rangka memberikan peran kepada
semua komponen dalam persekutuan jemaat untuk melakukan tanggung jawab
bersama.
2. Pelayanan Pastoral ditujukan kepada orang-orang yang bermasalah. Konsepsi
ini mengandung pengertian bahwa layanan pastoral hanya akan dilakukan jika
seseorang mengalami masalah dalam kehidupannya. Itu artinya jika seseorang
tidak bermasalah maka sudah barang tentu ia tidak memerlukan pelayanan
pastoral. Layanan Pastoral yang seperti ini tidak mencakup aktifitas kepada
orang-orang yang sekalipun tidak bermasalah tetapi membutuhkan
pendampingan dalam rangka pertumbuhan. Jadi seharusnya suatu layanan
pastoral tidak terbatas bagi orang-orang yang mengalami masalah saja.
3. Pelayanan Pastoral berorientasi induvidualistik. Dengan demikian fokus utama
pelayanan pastoral adalah masalah pribadi saja. Kelemahannya adalah
masalah-masalah pastoral tidak hanya bersifat pribadi saja tetapi juga bersifat
komunal (kelompok).
24
William A. Clebsch,Charles R. Jaekle, Pastoral Care In Historical Peerspective,( USA: Harper
dan Row,1967),p.4-10.
4. Layanan Pastoral mengabaikan aktivitas menolong yang lain di dalam gereja.
Artinya orang-orang yang melakukan pekerjaan memberi pertolongan di
dalam layanan pastoral tidak harus terbatas pada masalah-masalah yang ultima
saja.
Terkait dengan itu maka Perintah melayani dalam bentuk penggembalaan
memiliki fungsi penyembuhan (healing), penopangan (sustaining),
pembimbingan (guiding), dan pendamaian (reconciling).
1. Penyembuhan (healing) : merupakan suatu fungsi pastoral yang bertujuan
untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu
pada suatu keutuhan dan menuntun dia kearah yang lebih baik dari kondisi
sebelumnya.
2. Penopangan (sustaining) berarti, menolong orang yang terluka untuk bertahan
dan melewati suatu keadaan yang di dalamnya pemulihan kepada kondisi
semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis
kemungkinannya.
3. Pembimbingan (guiding), berarti membantu orang-orang yang kebingungan
untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti di antara berbagai pikiran dan
tindakan alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang
mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan akan datang.
4. Pendamaian (reconciling), berupaya membangun ulang relasi manusia dengan
sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi gereja,
pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan disiplin.
Tentunya dengan didahului dengan pengakuan.25
25
William A. Clebsch, Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspekttif, 33-66
Dalam buku Sang Terluka yang Menyembuhkan, stres adalah ketegangan
beban yang menarik kita dari segala penjuru, tekanan yang kita rasakan pada saat
menghadapi tuntutan atau harapan yang menantang kemampuan kita untuk
mengatasi dan mengelola hidup. Stres bisa dipahami dan dilihat dalam dua
bentuk yaitu stres biasa dan stres traumatik. Tidak semua stres bersifat traumatik.
Malahan pada kenyataannya sebagian besar stres merupakan stres biasa yang
akibatkan oleh berbagai tekanan hidup sehari-hari. 26
Ciri-ciri umum kedua jenis
stres ini berbeda. Perbedaannya yaitu:
Table 1. Ciri-ciri Umum Stres Biasa dan Stres Traumatik
Stres Biasa Stres Traumatik
Bertahap
Menjadi rapuh bagaikan baju yang
dipakai dan dicuci serta digilas keras-
keras untuk waktu yang lama,
Menumpuk semakin lama semakin
berat, bagaikan tumpukan jerami yang
membebani punggung unta
Dampak pada setiap orang berlainan
Mendadak, tiba-tiba
Menusuk tajam (menyakitkan sekali)
bagaikan kain tipis yang dikoyak
sebilah pisau
Kejadiannya mendadak namun bisa
mendatangkan efek jangka panjang
Menakutkan hampir bagi siapa saja.
Namun tidak semua orang mengalami stres dengan cara yang sama. Orang
mengalami stres tergantung kepada beberapa hal yaitu
1. Faktor Biologis / Genetik:
Usia dan kematangan.
Warisan genetik yang mereka miliki
2. Pemicu Stres:
Tekanan dan harapan orang lain atas diri mereka.
26
Karl dan B Evelin., Sang Terluka Yang Menyembuhkan (Stres & Trauma Healing), Pustaka
Muria, Semarang, 2005), 6-22
Seberapa banyak dukungan ataupun kritik yang mereka dapatkan dari
keluarga atau teman.
3. Kapasitas Menangani Stres
Kemampuan untuk mengatasi berdasarkan pada pengalaman masa lalu
mereka. Harkat diri Iman dan harapan mereka kepada Tuhan.
Menurut Norman Wright, ada 10 hal yang bisa menimbulkan stres, yaitu :
1. Rasa bosan atau merasa semua hal yang dilakukan tidak berarti.
2. Tekanan-tekanan waktu dan batas waktu yang harus dipenuhi
3. Beban kerja yang berlebihan dapat menciptakan tekanan pada hidup seseorang
dan sekali lagi hal ini sering ditimbulkan oleh diri sendiri.
4. Harapan-harapan yang tidak realistis terhadap diri sendiri atau terhadap orang
lain.
5. Konflik dalam peranan kita dapat menyebabkan ketegangan.
6. Masalah keuangan dan ketidakpastian pekerjaan.
7. Terhalangnya pengungkapan emosi dan macetnya komunikasi yang terbuka
dalam suatu hubungan.
8. Orang-orang yang membangun rasa jati diri dan rasa harga diri mereka atas
dasar yang tidak mantap, misalnya dalam pekerjaan, akan mengalami stres.
9. Kurangnya pengertian tentang tahap-tahap perkembangan orang dewasa yang
normal dapat menyebabkan tekanan pribadi maupun tekanan dalam
pernikahan.
10. Kepribadian Tipe-A yaitu kerpibadian yang didominasi oleh rasa tidak aman
dalam batin mengenai status dan oleh sifat hiperagresif.27
27
Norman Wright, konseling Krisis,,(Malang: Gandum Mas, 2006), 257-258
Untuk mengatasi setiap stres, maka patutlah diperhitungkan apa yang jadi
pemicu stres tersebut. 28
Stres pada seseorang akan tampak lewat berbagai gejala tubuh dan
penampilan fisik. Dalam bukunya, Karl dan Evelin Barth mengatakan ada
berbagai dampak stres yang bisa diamati pada diri orang yang mengalami stres.
Yaitu:
Table 2. Gejala-gejala Stres
Gejala Fisik Emosi
Jantung berdebar
Meningkatnya tekanan darah
Nafas memburu
Otot-otot menegang
Sakit kepala
Pening
Sakit ditulang punggung
Infeksi kronis
Gangguan kesehatan kulit
Gangguan menstruasi
Maag
Gemetar
Mimpi buruk
Marah
Cepat gusar
Tindak kekerasan
Takut kepada orang
Serangan rasa panik
Mati rasa
Tegang
Mudah curiga
Tidak berdaya
Depresi
Rasa bersalah berlebihan
Gejolak perasaan
Kehilangan minat
28
Karl dan B Evelin., Sang Terluka Yang Menyembuhkan (Stres & Trauma Healing) 6-22
Table 3. gejala-gejala Stres. 29
Tindakan Hubungan-hubungan
Leah, kekurangan tenaga, terus
menerus merasa lelah
Jorok
Menurunnya disiplin diri
Minum alcohol dan obat
berlebihan
makan terlalu banyak atau
terlalu sedikit
Tidak bisa tidur atau sebaliknya
Kurang bisa mengendalikan
dorongan sesaat
Menarik diri dari teman,
keluarga dan lingkunan sekitar
Kesulitan berhubungan intim
dalam konteks seksual dan sosial
sulit menjalankan peranan sosial
dalam pernikahan keluarga
maupun pekerjaan sosial dalam pernikahan keluarga
Percakapan Pastoral merupakan pelayanan yang dilakukan oleh gereja dan
melalui gereja oleh Yesus kristus. Di mana para pelayan sebagai utusan Allah
bertindak sebagai pelaksananya.30
Perlu untuk memahami bahwa penggembalaan selalu bersifat holistik,
artinya bahwa memandang pribadi yang bermasalah itu tidak secara terpecah-
pecah, tetapi harus didekati sebagai kesatuan, keutuhan yaitu secara fisik, mental,
sosial, spiritual.31
Gereja lebih dari pada hanya lembaga manusia atau lembaga sosial saja; ia
adalah suatu “gamaiden atau gemeinschaften” yang artinya komunitas itu adalah
“persatuan antara orang-orang (umat) yang dihasilkan dari dan dikonstitusikan
oleh yang menjadikan mereka rohani dan pribadi-pribadi yang merdeka”.32
Jadi
gereja adalah persekutuan rohani yang terjadi dengan suatu kesadaran bersama
sebagai milik Allah. Gereja terdiri dari persekutuan orang-orang yang telah 29
Ibid. 30 Ch. J. L Abineno. Percakapan Pastoral dalam Praktik, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), 5 31
Mesach Krisetya, Clinical Pastoral Education in Java ; theological and Cultural Consideration.
Thesis 1990), 15-20 32
Karl Rahner , Theology and Pastoral Action, (Neo York:Herder dan Herder, 1968), 26
diperbarui oleh Kristus atau tepatnya, telah mengalami trasformasi. Basis
persekutuan mereka adalah spiritual dan tidak ada yang lain kecuali Kristus
sendiri. Konsep tentang gereja sebagai suatu komunitas rohani didukung oleh
beberapa gambaran alkitabiah. Tetapi gambaran yang paling dalam adalah gereja
sebagai Tubuh Kristus. Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus yang terdapat di
dalam I Korintus 12:12-31 adalah organis, dari pada sosiologis atau organisasi.
Gereja dianalogikan dengan tubuh manusia yang dilengkapi dengan berbagai
macam organ tubuh. Dan tubuh Kristus yang berbeda dengan organisme biasa
apapun, memiliki suatu prinsip kehidupan Ilahi-roh Kudus.33
Gambaran ini
mempunyai tujuan utama yaitu untuk menjelaskan persatuan mutualitas, perhatian
timbal balik, solidaritas dan yang lebih penting dari semuanya adalah
interdependensi dari semua anggota tubuh, satu kepada yang lain.
Dalam paparannya tentang proses memberikan pertolongan kepada orang
yang mengalami masalah, Wright34
mengemukakan delapan langkah.
Langkah yang pertama adalah intervensi segera. Langkah ini ditempuh
dengan cara menciptakan suatu keseimbangan, -menggunakan teknik memberi
dukungan, -menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan malapetaka.
Langkah kedua adalah Aksi. Langkah ini ditempuh dengan cara sebagai
berikut: - melihat ke masa depan, -mengeksplorasi kekuatan dan kelemahan
orang tersebut, - menetapkan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, -
melakukan klarifikasi, - memfasilitasi atau memberi petunjuk, -
mempertimbangkan alternatif-alternatif baru.
33
Every Dulles. Models Of the Church (New York: Image Book, 1978), 46 34
H. Norman Wright, Konseling Krisis , 75-99.
Langkah ketiga adalah menghindari katastrophe. Langkah ini ditempuh
dengan menetapkan tujuan konseling dan merestorasi orang yang mengalami
krisis serta menciptakan keseimbangan.
Langkah keempat adalah membantu menciptakan harapan bagi orang yang
mengalami krisis. Upaya ini ditempuh dengan memberikan informasi dan
interaksi.
Langkah kelima adalah memberikan dukungan. Langkah ini dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut: jika karena adanya suatu situasi yang
mendesak, klien dapat menghubungi konselor melalui telepon. Selain itu
diperlukan juga sistim dukungan yang diperluas. Hal lain yang diperlukan
adalah menjadikan konseling sebagai sesuatu yang bernilai.
Langkah keenam adalah fokus pada pemecahan masalah. Untuk maksud ini
diperlukan adanya tawaran akan hal-hal yang nyata, fokus pada kenyataan,
mengembangkan teknik mendengarkan, mendeteksi level kegelisahan klien,
mengeksplorasi perasaan klien.
Langkah ketujuh adalah membangun rasa menghargai diri sendiri. Hal
pertama yang diperlukan dalam langkah ini adalah konsistensi dan kemudian
menanamkan kepercayaan terhadap proses konseling. Langkah kedelapan
adalah menanamkan kepercayaan diri sendiri. Dalam tahapan ini upaya yang
perlu dilakukan adalah: - membangun mekanisme kelompok, -mendorong
keyakinan pada diri klien bahwa ia dapat menolong dirinya sendiri.
2.6. Model Developmental
Gerard Egan35
dengan model Developmental mengemukakan langkah-
langkah yang akan ditempuh dalam upaya melaksanakan layanan konseling
pastoral. Model Developmental mengagas tiga langkah / stage dalam upaya
memberi pertolongan itu sendiri.
Stage I : Helper response and client self-exploration.
Stage II : Intergrative Understanding / dynamic self – understanding.
Stage III: Action Programs.
Ide yang terkandung dalam langkah-langkah yang dikemukakan Egan adalah
bahwa keberhasilan sangat ditentukan secara timbal balik. Peran aktif harus
dimainkan bukan saja oleh penolong tetapi juga oleh orang yang ditolong. Orang
yang memberi pertolongan harus dapat menciptakan atmosfir sedemikian rupa
agar orang yang sedang ditolong dapat mengeksplorasi dirinya sendiri. Dengan
mengeksplorasi dirinya sendiri, maka klien kemudian akan ditolong untuk
menemukan “pemahaman diri yang dinamis”. Pada akhirnya harus dirumuskan
program-program aksi. 36
Beberapa unsur dari pemikiran Egan yang perlu dikemukakan selanjutnya:
(1). Attending - hadir-. Konseling adalah sebuah aktifitas pertolongan yang
bertujuan agar orang yang ditolong dapat menolong dirinya sendiri dan
kemudian dapat pula menolong orang lain. Dalam upaya memberi
pertolongan itulah aspek human Relation sangat menentukan. Suatu
konseling yang konstruktif tidak akan tercipta tanpa adanya suatu relasi baik.
Relasi yang baik memerlukan keterbukaan dan saling mempercayai. Relasi
35
Gerard Egan, The Skilled Helper – A Model for Systematic Helping and Interpersonal Relating-,
(California : Brooks/Cole,1975), 2-7, 28-54. 36 Ibid.
dalam konseling Pastoral diawali dengan kehadiran orang yang akan
memberi pertolongan (konselor/helper). Kehadiran seorang penolong harus
diwujudkan baik secara fisik maupun Psykologis. Kehadiran adalah wujud
keprihatinan dan kesediaan penolong untuk memberikan pertolongannya.
Dengan kehadiran A Shared Compassion telah dimulai. Hadir secara fisik
menunjuk pada pengertian bahwa penolong melalui fosturnya menunjukkan
kepada klein bahwa ia “ada dengan dan siap sedia” bagi klien. Dengan
kehadiran penolong menciptakan kehangatan agar sekalipun dalam situasi
yang “kritis” dimana klien “sulit untuk diajak bicara” tetap tercipta peluang
bagi klien untuk mengeksplorasi pengalamannya.
(2). Empaty. Empaty mununjuk kepada kemampuan untuk mengerti klien dan
dunianya dari dalam diri klien (seolah-olah helper berada dalam diri orang
yang ditolong) dan kemampuan untuk melihat seolah-olah menggunakan
mata klien untuk melihat dunianya dan dirinya seperti apa adanya supaya
dapat melihat apa yang “diperjuangkan” klien dan apa yang “dituntut” untuk
dapat “bertumbuh”. Empaty membantu helper untuk melihat dunia dalam
klien dengan perspektif klien dan bukan dengan perspektif helper. Empaty
memungkinkan sebuah masalah dapat dibedakan apakah masalah klien atau
masalah orang lain. Dalam hal ini helper akan membantu klien untuk melihat
dan menanggapi masalahnya (masalah klien) dari perspektif yang berbeda.
Selain itu helper akan mengkomunikasikan pengertiannya bahwa ia mengerti
“perasaan, pikiran, tingkah laku serta pengalaman” klien. Dalam proses
konseling aspek “perasaan dan tingkah laku” sangat penting untuk
diperhatiakn jika klien sedang mengungkapkan pengalamannya. Dalam
konseling pastoral masalah bukanlah yang menjadi prioritas melainkan
orangnya, tetapi menolong orang untuk mengeksplorasi dirinya sendiri
supaya dapat menolong diri sendiri - Helped for self help-.37
Selain hal diatas, konseling pastoral perlu juga memperhatiakn apa yang
disebut dengan istilah trialog. Kalau dalam dialog komunikasi berlangsung dua
arah yakni antara helper dan klien, maka dalam Trialog komunikasi komunikasi
berlangsung tiga arah, yakni antara Allah, klien dan helper. Dengan Trialog klien
ditempatkan dalam relasi dengan Allah agar ia dapat merasakan kehadiran Allah
yang memperhatikan dan peduli dengan persoalan yang sedang dihadapinya.
Dalam konseling yang demikian, maka Allah akan dapat disadari sebagai realita
(yang realita bukan saja yang dapat diindrawi). Konsepsi ini menunjuk pada
pemahaman bahwa wilayah kerja dan kompetensi konselor pastoral adalah
pertumbuhan spiritual.
Di atas telah dikemukakan bahwa konseling Pastoral merupakan aktifitas
memberi pertolongan yang berlangsung di atas Realisme kasih Allah yang telah
dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Sama seperti Allah di dalam Yesus Kristus
telah hadir di tengah realisme keberadaan dunia dan manusia, maka konseling
sebagai aktifitas memberikan pertolongan harus dimulai dengan “kehadiran” itu
sendiri (baik secara fisik maupun psyke). Orang-orang yang berada di dalam krisis
memerlukan kehadiran seorang penolong untuk “mendengarkan” apa yang
dialami dalam situasi keprihatinan itu. Dalam konseling, seorang penolong akan
mendengarkan seluruh pengalaman klien baik yang diungkapkan secara verbal,
non verbal maupun paralinguistik. Upaya mengeksplorasi pengalaman klien
37 Ibid.
memerlukan bantuan penolong dan untuk maksud itu diperlukan Empaty. Empaty
memungkinkan penolong dapat mengenal klien dari “dunia” klien dan kemudian
memberikan respons secara konstruktif. Dengan mekanisme seperti ini, maka
konseling telah berlangsung dalam suasana dialogis. Bukan saja dialogis, tetapi
konseling krisis memerlukan juga mekanisme trialogis, sebab kesadaran akan
kehadiran Allah oleh klien akan memungkinkan klien memaknai realisme
pergumulannya.
Dengan mekanisme seperti ini dimungkinkanlah pencapaian tahap-tahap
dalam model Developmental. Tahap-tahap itu adalah klien dibantu untuk
mengeksplorasi pengalamannya dan kemudian memahaminya secara dinamis
serta dapat merumuskan program aksi.