Post on 26-Feb-2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi
kebutuhannya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja.
Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja
kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja pada negara yang
selanjutnya disebut dengan pegawai atau bekerja pada orang lain (swasta)
yang disebut dengan buruh atau pekerja.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang
merupakan kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja/buruh yang masih aktif
bekerja. Hal ini karena kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian
disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada
banyaknya industri yang gulung tikar dan tentu saja berdampak pada
Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana.
Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu ini selalu
dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan
dari pekerjaannya yang menjadi penopang hidup keluarganya.
Faktanya pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha) karena pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari bahwa atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan
1
dengan pihak pengusaha.1
Dampak krisis moneter 1998 masih dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak perusahaan yang melakukan lock out karena tidak mampu beroperasi dikarenakan nilai tukar rupiah yang jatuh merosot terhadap dollar. Lock out merupakan suatu tindakan yang senantiasa berkaitan dengan mogok. Jadi sebetulnya tidak ada hubungannya dengan pesangon. Kalau ada tindakan-tindakan dalam sebuah perselisihan, maka senjatanya buruh adalah mogok dan senjata perusahaan adalah melakukan PHK. Sehingga selama proses lock out terjadi, perusahaan tetap harus membayar kewajiban-kewajibannya atas buruh.2
Di era globalisasi ini, permasalahan tentang sumber daya manusia
dalam suatu perusahaan menuntut untuk lebih diperhatikan, sebab secanggih
apapun teknologi yang dipergunakan dalam suatu perusahaan serta sebesar
apapun modal yang diputar perusahaan, karyawan dalam perusahaan yang
pada akhirnya akan menjalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa
didukung dengan kualitas yang baik dari karyawan dalam melaksanakan
tugasnya, dengan adanya modal dan teknologi yang canggih mustahil akan
membuahkan hasil yang maksimal, sebab termasuk tugas pokok karyawan
adalah menjalankan proses produksi yang pada akhirnya dapat mencapai
keberhasilan perusahaan. Oleh karena itu konstribusi karyawan pada suatu
perusahaan akan menentukan maju mundurnya perusahaan.
Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam
suatu sistem kerja, karyawan tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan
masalah. Salah satu permasalahan yang sedang marak saat ini adalah karena
krisis ekonomi yang terjadi sehingga banyak perusahaan di Indonesia harus
1Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.177
2Asfinnawati. makalah “Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dari Hukum Perburuhan”, diakses 21 Agustus 2017
2
melakukan restrukturisasi.
Perusahaan harus mengurangi karyawannya dengan alasan efisiensi. Kondisi seperti ini diikuti oleh meningkatkanya pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga setiap karyawan yang tidak mempunyai kompetensi tinggi harus memikirkan alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.3
Pertambahan penduduk yang berlangsung di Negara-negara
berkembang cenderung mempertajam kepincangan dalam pembagian
pendapatan. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga justru lebih bertambah di
antara golongan masyarakat dengan pendapatan rendah. Selama ini tingkatan
kematian di Negara-negara berkembang pada umumnya berkurang berkat
kebijaksanaan kesehatan umu, akan tetapi tingkata kelahiran tetap konstan.
Dalam hubungan ini tingkat fertilitas atau kesuburan yang tinggi dengan lingkungan sosial ekonomis yang bersangkutan. Diantara para keluarga yang termasuk golongan yang berpenghasilan rendah terdapat pandangan dan perasaan bahwa adanya anak kelak sehingga merupakan jaminan hari tua untuk menunjang kebutuhan orang tua pada hari depan. Jika hal ini terus berlangsung maka kita akan diibaratkan berada dalam suatu lingkaran yang tak berpangkal. Sebab satu sma lain hanya menambah cadangan angkatan kerja yang akan menekan tingkat upah tenaga kerja di sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada. Sehingga akan menimbulkan beban pengangguran secara terbuka maupun terselebung4.
Bagi Pekerja masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan
masalah yang kompleks, karena mempunyai hubungan dengan masalah
ekonomi maupun psikologi. Masalah ekonomi karena PHK akan
menyebabkan hilangnya pendapatan, sedangkan masalah psikologi yang
berkaitan dengan hilangnya status seseorang. Dalam skala yang lebih luas,
dapat merambat kedalam masalah pengangguran dan kriminalitas.
3Ibid, hal.24Sunindhia Y.W. dan Ninik Widyanti ”Masalah PHK dan Pemogokan Kerja” PT
Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 1.
3
Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya
Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar
1945. Pasal 27 menyebutkan “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Setelah 65 tahun Republik Indonesia merdeka, Pasal 27 tersebut tak
kunjung terwujud. Bukannya semakin sejahtera, semakin lama rakyat semakin
menderita. Petani kehilangan tanah pertaniannya, nelayan kehilangan
tangkapan ikan, kaum miskin kota tergusur dan buruh kehilangan
pekerjaannya. Sementara pemerintah tidak mampu menyediakan pekerjaan
yang layak bagi seluruh rakyat.
Akibatnya angka pengangguran tetap tinggi. Pemutusan Hubungan
Kerja dengan alasan Pasal 164 ayat (3), Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 yang menyatakan bahwa: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2
(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majuer)
tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uan pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) ”.
Pada praktiknya, penerapan hukum untuk pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tersebut lebih dikenal dengan PHK karena efisiensi. Definisi efisiensi tidak dijelaskan dalam ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan, tetapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “efisiensi” diartikan sebagai ketetapan cara usaha dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang
4
waktu, tenaga, dan biaya.5
Pada saat ini PHK karena alasan efisiensi masih menjadi polemik karena terdapat dua penafsiran berbeda yang disebabkan karena ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, dalam praktik peradilan ketentuan Pasal yang mengatur mengenai efisiensi, masih melakukan efisiensi maka perusahaan dalam kondisi tutup. Namun ada yang menafsirkan bahwa perusahaan tidak perlu tutup untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perubahan tersebut justru dapat menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja yang lainnya.6
Sehubungan dengan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung
menimbulkan perselisihan, maka mekanisme prosedur PHK diatur sedemikian
rupa agar pekerja/buruh telah mendapatkan perlindungan yang layak dan
memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan.
Perlindungan pekerja tersebut dalam Bahasa Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan perlindungan buruh atau perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat dilindungi dari perlakuan pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada umumnya posisi pekerja masih lemah, sehingga perlindungan kerja dan kesalamatan kerja akan dapat mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan, kesehatan, kedisplinan pekerja yang berada di bawah pimpinan pengusaha. 10
Mengenai perlindungan hak-hak pekerja/buruh ini yaitu apakah
pesangon yang diberikan pengusaha sudah memadai atau belum. Apablia
pemberian uang pesangon sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka tidak ada permasalahan. Tetapi apabila dilihat dari
keadaan si buruh, maka ketika si buruh yang besangkutan mengalami PHK,
maka untuk ke depannya buruh tersebut sudah tidak mendapat pemasukan
lagi. Maka disini terlihat bahwa pesangon bukan merupakan hal utama,
5Ferianto & Darmanto ”Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum” PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 263.
6Ibid, hal.263
5
melainkan keamanan dalam bekerja, yang dalam artian bahwa ketika buruh
bekerja buruh tersebut merasa khawatir bahwa sewaktu-waktu dia akan
mendapat PHK. Disinilah peranan undang-undang memainkan peranan
penting, yaitu sebagai pelindung buruh. Namun sayangnya UU Nomor 13
Tahun 2003 sebagai regulasi perburuhan terbaru justru tidak mampu
mengakmodsikan hal ini. Justru undang-undang sebelumnya secara tegas
menyatakan bahwa PHK merupakan hal yang dilarang.
Pada kenyataannya, jangankan untuk memperoleh kehidupan yang
layak. Untuk memperoleh pekerjaan, jaminan hidup ataupun perlindungan
masih jauh dari harapan. Malahan, buruh atau pekerja yang sudah memiliki
pekerjaan (walau ala kadarnya) dalam prakteknya sangat mudah kehilangan
pekerjaan dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Tetapi tidak jarang dapat kita temukan banyak pekerja/buruh setelah
mereka terkena PHK, pekerja/buruh kadang meminta kepada pihak
pengusaha/perusahaan untuk dibayarkan hak-hak mereka melebihi apa yang
diatur dalam ketentuan yang berlaku. Dengan kondisi inilah yang membuat
persoalan penyelesaian perselisihan PHK sulit diselesaikan.
Maka dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai
Perlindungan Hukum Terhadap hak-hak pekerja/buruh yang terkena
PHK akibat efisiensi dalam perusahaan Ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Analisa Putusan
Mahkamah Agung Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014)
6
B. Identifikasi Masalah
Suatu kegiatan penelitian/penulisan untuk menfokuskan permasalahan yang
akan dikaji diperlukan rumusan masalah. Sebab dengan adanya rumusan
masalah akan memudahkan peneliti untuk melakukan pembahasan searah
dengan tujuan yang ditetapkan. Adapun identifikasi masalah dalam skripsi ini
adalah:
1. Apakah proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi sudah
ditentukan diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
2. Apakah argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak
pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat
dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014?
C. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi sudah
ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
2. Bagaimana argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak
pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat
dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
7
a. Untuk mengetahui proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi
sudah ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
b. Untuk mengetahui argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap
hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan
efisiensi dilihat dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014.
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat
memperoleh penjelasan tentang Perlindungan hukum bagi
buruh/tenaga kerja yang terkena PHK akibat efisiensi perusahaan.
Selain itu penulis berharap pembahasan ini bermanfaat untuk
menambah wawasan penulis dalam bidang hukum perburuhan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, kegunaaan dari pembahasan ini adalah sebagai
tambahan bahan kajian bagi perusahaan sehingga dapat memperluas
ilmu pengetahuan, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi
pekerja/buruh . Selain itu juga bermanfaat bagi pekerja/buruh pada
umumnya dan mahasiswa pada khususnya yang ingin menegetahui dan
mendalami masalah-masalah ketengakerjaan Indonesia.
E. Kerangka Teori
Menurut H. Zainal Asikin pemutusan hubungan kerja antara buruh dengan majikan (pengusaha) lazimnya dikenal dengan istilah PHK atau pengakiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjiakn sebelumnya dan dapat pula
8
terjadi karena adanya perselisihan buruh dan majikan, meninggalnya buruh atau karena terjadi sebab lainnya. 7
Beberapa literatur hukum perburuhan tidak satupun kita jumpai
rumusan ataupun defenisi tentang Pemutusan hubungan kerja, namun dari
uraian diatas dapat diartikan bahwa, pemutusan hubungan kerja adalah
langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan
(pengusaha) yang disebabkan karena keaadaan tertentu.
Dalam praktik, pemutusn hubungan kerja yang terjadi karena
berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak menimbullan
permasalahan kedua belah pihak (buruh maupun majikan) karena pihak- pihak
yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat
berakhirnya hubungan kerja tersebut, sehingga masing-masing telah berupaya
telah mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya
dengan pemutusan yang telah nterjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini
akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih bagi buruh
yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika
dibandingkan dengan pihak pengusaha.
Menurut Ridwan Halim Karena pemutusan hubungan kerja bagi pihak buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial sebab :a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi buruh telah kehilangan
mata pencaharian.b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak
mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan disamping biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan lamaran dan fotocopi surat-surat lainya.)
c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan baru sebagai penggantinya.
d. Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya pemutusan
7 H. Zainal Asikin, H. Agusfian Waahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhadie , Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 173
9
hubungan kerja itu khususnya bagi buruh dan keluarganya. Karena itulah pemutusan hubungan kerja ini harus dihindari terjadinya bahkan jika mungkin ditiadakan sama sekali.8
Sejak bergulirnya tuntutan demokrasi, maka pemerintah telah melakukan
reformasi peratura perundang-undangan ketenagakerjaan sebagai dasar hukum
pemutusan hubungan kerja yaitu; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969,
tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, telah diganti dengan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan perburuhan di Perusahaan
Swasta, telah diganti dengan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
Perselisihan hubungan Industrial yang selanjutnya disebut dengan UU PPHI.
Disamping peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pemutusan
Hubungan Kerja, juga dapat diatur di Perjanjian Kerja (PK), Peraturan
Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Dengan lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial , maka tidak ada lagi pembatasan atau diskrimnasi antara perusahaan swasta dengan perusahaan milik negara, karena perusahaan dalam undang-undang ini meliputi :a. Badan Usaha yang berbadan hukum atau tidak,b. Milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum
milik swasta atau milik negara.c. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dalam mempekerjakan orang lain dengan membayar upah ayau imbalan dalam bentuk lain.9
Dr. Payaman J. Simanjuntak APU: hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa disuatu perusahaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang aman dan harmonis anatar pihak-pihak tersebut,
8Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 45
9Mitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses tanggal 23 Juli 2017.
10
sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha. Dengan demikian pembinaan hubungan industrial merupakan bagian atau salah satu aspek dari manajemen sumber daya manusia.10
Drs. Yunus Shamad, M.M., bahwa hubungan industrial dapat diartikan
sebagai suatu corak atau sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang
terbentuk di antara para pelaku proses produksi barang dan jasa, yaitu pekerja,
pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.11
Menurut Soepomo regulasi yang banyak mendapat sorotan adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun Undang-Undang tersebut sebagian besar merupakan pembaharuan atau perpanjangan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lama, namun karena memuat beberapa ketentuan baru banyak mengundang perdebatan menyangkut kepentingan buruh dan pengusaha. Masalah ketenagakerjaan ini tak kalah penting karena merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi dan selalu menarik untuk dibahas karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih kurang 50 % penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar diantaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labour force).12
Antara majikan/pengusaha dengan pekerja/buruh membuat suatu perjanjian kerja yang mana perjanjian ini mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini disadari karena dengan perjanjian kerja yang dibuat dan ditaati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu ketenangan kerja dan memberikan jaminan kepastian hak serta kewajiban bagi para pihak. Pada dasarnya setiap perjanjian harus memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal
Muzni Tambuzai, menyatakan bahwa hubungan industrial pada intinya merupakan pola hubungan interaktif yang terbentuk di antara para pelaku proses produksi barang dan jasa (pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah) dalam suatu hubungan kerja.13
10Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hal. 3
11Soepomo, Iman. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1975, hal. 55
12Sehat Damanik, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003Tentang Ketenagakerjaan sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, DSS Publishing, Jakarta, 2007, hal.1
13 G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 202
11
Hakim memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.
terlebih dahulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang
sebenarnya dapat diketahui dari proses pembuktian. Setelah suatu peristiwa
dinyatakan terbukti, menemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan14
F. Metode Penulisan
1. Metode Penulisan
Dalam menulis skripsi ini digunakan metode deskriptif yaitu penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan
hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder.15
2. Data yang Digunakan
Data sekunder adalah data-data lain yang berhubungan dengan penulisan ,
berupa bahan-bahan pustaka. Fungsi data sekunder untuk mendukung data
primer. Data sekunder yang berkaitan dengan penulisan meliputi:
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945,
Undang-undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang N0.
2 Tahun 2004.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-
undang, hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dengan bahan hukum 14 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
& Di Luar Pengadilan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 2615 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media,
Malang, 2007
12
sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik pengumpulan
data dengan cara Library Research (Penelitian Kepustakaan). Library
Research adalah penelitian melalui perpustakaan dengan cara membaca,
menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari buku- buku, makalah-makalah
seminar, Peraturan-peraturan dan bahan perkuliahan penulis memiliki
keterkaitan untuk mendukung terlaksananya penulisan skripsi ini.
4. Metode Analisis Data
Metode yang dipergunakan untuk menganalisis data adalah analisis
kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis
dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasasn
masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk
skripsi.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran
secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan
yang lainya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN.
Pada bab ini digambarkan secara umum tentang latar belakang,
identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teori, metodelogi penelitian, dan sistematika
penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas
13
dalam skripsi ini.
BAB II PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Pada bab ini dibahas mengenai pengaturan PHK dengan alasan
efisiensi dalam peraturan perundang-undangan, dan apa saja yang
menjadi alasan dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan
kerja, yaitu: Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan oleh
Pengusaha, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan oleh
Pekerja/ buruh, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan demi
hukum, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan karena
Pengadilan.
BAB III TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK
MENURUT UNDANG–UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL.
Pada bab ini akan dibahas mengenai prosedur penyelesaian
pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi serta prosedur
pemutusan hubungan kerja secara umum baik yang dilakukan
diluar persidangan maupun dilakukan melalui persidangan di
Pengadilan Hubungan Industrial.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK
PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT
EFISIENSI DALAM PERUSAHAAN DILIHAT DARI
14
KEPUTUSAN MA NOMOR 518 K/PDT. SUS-PHI/2014 .
Dalam bab ini, akan dibahas mengenai pemahaman pengertian
efisiensi dalam perusahaan, analisis kasus putusan MA Nomor 518
K/Pdt. Sus-PHI/2014 .
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini membahas mengenai Kesimpulan dan saran-saran
penulis.
15