eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar...

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja pada negara yang selanjutnya disebut dengan pegawai atau bekerja pada orang lain (swasta) yang disebut dengan buruh atau pekerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang merupakan kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja/buruh yang masih aktif bekerja. Hal ini karena kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyaknya industri yang gulung tikar dan tentu saja berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan

Transcript of eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar...

Page 1: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi

kebutuhannya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja.

Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja

kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja pada negara yang

selanjutnya disebut dengan pegawai atau bekerja pada orang lain (swasta)

yang disebut dengan buruh atau pekerja.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang

merupakan kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja/buruh yang masih aktif

bekerja. Hal ini karena kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian

disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada

banyaknya industri yang gulung tikar dan tentu saja berdampak pada

Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana.

Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu ini selalu

dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan

dari pekerjaannya yang menjadi penopang hidup keluarganya.

Faktanya pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha) karena pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari bahwa atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan

1

Page 2: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

dengan pihak pengusaha.1

Dampak krisis moneter 1998 masih dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak perusahaan yang melakukan lock out karena tidak mampu beroperasi dikarenakan nilai tukar rupiah yang jatuh merosot terhadap dollar. Lock out merupakan suatu tindakan yang senantiasa berkaitan dengan mogok. Jadi sebetulnya tidak ada hubungannya dengan pesangon. Kalau ada tindakan-tindakan dalam sebuah perselisihan, maka senjatanya buruh adalah mogok dan senjata perusahaan adalah melakukan PHK. Sehingga selama proses lock out terjadi, perusahaan tetap harus membayar kewajiban-kewajibannya atas buruh.2

Di era globalisasi ini, permasalahan tentang sumber daya manusia

dalam suatu perusahaan menuntut untuk lebih diperhatikan, sebab secanggih

apapun teknologi yang dipergunakan dalam suatu perusahaan serta sebesar

apapun modal yang diputar perusahaan, karyawan dalam perusahaan yang

pada akhirnya akan menjalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa

didukung dengan kualitas yang baik dari karyawan dalam melaksanakan

tugasnya, dengan adanya modal dan teknologi yang canggih mustahil akan

membuahkan hasil yang maksimal, sebab termasuk tugas pokok karyawan

adalah menjalankan proses produksi yang pada akhirnya dapat mencapai

keberhasilan perusahaan. Oleh karena itu konstribusi karyawan pada suatu

perusahaan akan menentukan maju mundurnya perusahaan.

Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam

suatu sistem kerja, karyawan tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan

masalah. Salah satu permasalahan yang sedang marak saat ini adalah karena

krisis ekonomi yang terjadi sehingga banyak perusahaan di Indonesia harus

1Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.177

2Asfinnawati. makalah “Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dari Hukum Perburuhan”, diakses 21 Agustus 2017

2

Page 3: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

melakukan restrukturisasi.

Perusahaan harus mengurangi karyawannya dengan alasan efisiensi. Kondisi seperti ini diikuti oleh meningkatkanya pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga setiap karyawan yang tidak mempunyai kompetensi tinggi harus memikirkan alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.3

Pertambahan penduduk yang berlangsung di Negara-negara

berkembang cenderung mempertajam kepincangan dalam pembagian

pendapatan. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga justru lebih bertambah di

antara golongan masyarakat dengan pendapatan rendah. Selama ini tingkatan

kematian di Negara-negara berkembang pada umumnya berkurang berkat

kebijaksanaan kesehatan umu, akan tetapi tingkata kelahiran tetap konstan.

Dalam hubungan ini tingkat fertilitas atau kesuburan yang tinggi dengan lingkungan sosial ekonomis yang bersangkutan. Diantara para keluarga yang termasuk golongan yang berpenghasilan rendah terdapat pandangan dan perasaan bahwa adanya anak kelak sehingga merupakan jaminan hari tua untuk menunjang kebutuhan orang tua pada hari depan. Jika hal ini terus berlangsung maka kita akan diibaratkan berada dalam suatu lingkaran yang tak berpangkal. Sebab satu sma lain hanya menambah cadangan angkatan kerja yang akan menekan tingkat upah tenaga kerja di sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada. Sehingga akan menimbulkan beban pengangguran secara terbuka maupun terselebung4.

Bagi Pekerja masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan

masalah yang kompleks, karena mempunyai hubungan dengan masalah

ekonomi maupun psikologi. Masalah ekonomi karena PHK akan

menyebabkan hilangnya pendapatan, sedangkan masalah psikologi yang

berkaitan dengan hilangnya status seseorang. Dalam skala yang lebih luas,

dapat merambat kedalam masalah pengangguran dan kriminalitas.

3Ibid, hal.24Sunindhia Y.W. dan Ninik Widyanti ”Masalah PHK dan Pemogokan Kerja” PT

Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 1.

3

Page 4: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya

Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar

1945. Pasal 27 menyebutkan “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Setelah 65 tahun Republik Indonesia merdeka, Pasal 27 tersebut tak

kunjung terwujud. Bukannya semakin sejahtera, semakin lama rakyat semakin

menderita. Petani kehilangan tanah pertaniannya, nelayan kehilangan

tangkapan ikan, kaum miskin kota tergusur dan buruh kehilangan

pekerjaannya. Sementara pemerintah tidak mampu menyediakan pekerjaan

yang layak bagi seluruh rakyat.

Akibatnya angka pengangguran tetap tinggi. Pemutusan Hubungan

Kerja dengan alasan Pasal 164 ayat (3), Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 yang menyatakan bahwa: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2

(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majuer)

tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas

uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang

penghargaan masa kerja sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),

uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat

(3) dan uan pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) ”.

Pada praktiknya, penerapan hukum untuk pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tersebut lebih dikenal dengan PHK karena efisiensi. Definisi efisiensi tidak dijelaskan dalam ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan, tetapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “efisiensi” diartikan sebagai ketetapan cara usaha dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang

4

Page 5: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

waktu, tenaga, dan biaya.5

Pada saat ini PHK karena alasan efisiensi masih menjadi polemik karena terdapat dua penafsiran berbeda yang disebabkan karena ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, dalam praktik peradilan ketentuan Pasal yang mengatur mengenai efisiensi, masih melakukan efisiensi maka perusahaan dalam kondisi tutup. Namun ada yang menafsirkan bahwa perusahaan tidak perlu tutup untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perubahan tersebut justru dapat menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja yang lainnya.6

Sehubungan dengan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung

menimbulkan perselisihan, maka mekanisme prosedur PHK diatur sedemikian

rupa agar pekerja/buruh telah mendapatkan perlindungan yang layak dan

memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan.

Perlindungan pekerja tersebut dalam Bahasa Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan perlindungan buruh atau perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat dilindungi dari perlakuan pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada umumnya posisi pekerja masih lemah, sehingga perlindungan kerja dan kesalamatan kerja akan dapat mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan, kesehatan, kedisplinan pekerja yang berada di bawah pimpinan pengusaha. 10

Mengenai perlindungan hak-hak pekerja/buruh ini yaitu apakah

pesangon yang diberikan pengusaha sudah memadai atau belum. Apablia

pemberian uang pesangon sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, maka tidak ada permasalahan. Tetapi apabila dilihat dari

keadaan si buruh, maka ketika si buruh yang besangkutan mengalami PHK,

maka untuk ke depannya buruh tersebut sudah tidak mendapat pemasukan

lagi. Maka disini terlihat bahwa pesangon bukan merupakan hal utama,

5Ferianto & Darmanto ”Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum” PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 263.

6Ibid, hal.263

5

Page 6: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

melainkan keamanan dalam bekerja, yang dalam artian bahwa ketika buruh

bekerja buruh tersebut merasa khawatir bahwa sewaktu-waktu dia akan

mendapat PHK. Disinilah peranan undang-undang memainkan peranan

penting, yaitu sebagai pelindung buruh. Namun sayangnya UU Nomor 13

Tahun 2003 sebagai regulasi perburuhan terbaru justru tidak mampu

mengakmodsikan hal ini. Justru undang-undang sebelumnya secara tegas

menyatakan bahwa PHK merupakan hal yang dilarang.

Pada kenyataannya, jangankan untuk memperoleh kehidupan yang

layak. Untuk memperoleh pekerjaan, jaminan hidup ataupun perlindungan

masih jauh dari harapan. Malahan, buruh atau pekerja yang sudah memiliki

pekerjaan (walau ala kadarnya) dalam prakteknya sangat mudah kehilangan

pekerjaan dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Tetapi tidak jarang dapat kita temukan banyak pekerja/buruh setelah

mereka terkena PHK, pekerja/buruh kadang meminta kepada pihak

pengusaha/perusahaan untuk dibayarkan hak-hak mereka melebihi apa yang

diatur dalam ketentuan yang berlaku. Dengan kondisi inilah yang membuat

persoalan penyelesaian perselisihan PHK sulit diselesaikan.

Maka dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai

Perlindungan Hukum Terhadap hak-hak pekerja/buruh yang terkena

PHK akibat efisiensi dalam perusahaan Ditinjau dari Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Analisa Putusan

Mahkamah Agung Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014)

6

Page 7: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

B. Identifikasi Masalah

Suatu kegiatan penelitian/penulisan untuk menfokuskan permasalahan yang

akan dikaji diperlukan rumusan masalah. Sebab dengan adanya rumusan

masalah akan memudahkan peneliti untuk melakukan pembahasan searah

dengan tujuan yang ditetapkan. Adapun identifikasi masalah dalam skripsi ini

adalah:

1. Apakah proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi sudah

ditentukan diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

2. Apakah argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak

pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat

dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014?

C. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi sudah

ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

2. Bagaimana argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap hak-hak

pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat

dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

7

Page 8: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

a. Untuk mengetahui proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi

sudah ditentukan diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

b. Untuk mengetahui argumentasi tentang Perlindungan hukum terhadap

hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK dengan alasan

efisiensi dilihat dari Keputusan MA Nomor 518 K/Pdt. Sus-PHI/2014.

2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat

memperoleh penjelasan tentang Perlindungan hukum bagi

buruh/tenaga kerja yang terkena PHK akibat efisiensi perusahaan.

Selain itu penulis berharap pembahasan ini bermanfaat untuk

menambah wawasan penulis dalam bidang hukum perburuhan.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, kegunaaan dari pembahasan ini adalah sebagai

tambahan bahan kajian bagi perusahaan sehingga dapat memperluas

ilmu pengetahuan, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi

pekerja/buruh . Selain itu juga bermanfaat bagi pekerja/buruh pada

umumnya dan mahasiswa pada khususnya yang ingin menegetahui dan

mendalami masalah-masalah ketengakerjaan Indonesia.

E. Kerangka Teori

Menurut H. Zainal Asikin pemutusan hubungan kerja antara buruh dengan majikan (pengusaha) lazimnya dikenal dengan istilah PHK atau pengakiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjiakn sebelumnya dan dapat pula

8

Page 9: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

terjadi karena adanya perselisihan buruh dan majikan, meninggalnya buruh atau karena terjadi sebab lainnya. 7

Beberapa literatur hukum perburuhan tidak satupun kita jumpai

rumusan ataupun defenisi tentang Pemutusan hubungan kerja, namun dari

uraian diatas dapat diartikan bahwa, pemutusan hubungan kerja adalah

langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan

(pengusaha) yang disebabkan karena keaadaan tertentu.

Dalam praktik, pemutusn hubungan kerja yang terjadi karena

berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak menimbullan

permasalahan kedua belah pihak (buruh maupun majikan) karena pihak- pihak

yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat

berakhirnya hubungan kerja tersebut, sehingga masing-masing telah berupaya

telah mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya

dengan pemutusan yang telah nterjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini

akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih bagi buruh

yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika

dibandingkan dengan pihak pengusaha.

Menurut Ridwan Halim Karena pemutusan hubungan kerja bagi pihak buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial sebab :a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi buruh telah kehilangan

mata pencaharian.b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak

mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan disamping biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan lamaran dan fotocopi surat-surat lainya.)

c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan baru sebagai penggantinya.

d. Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya pemutusan

7 H. Zainal Asikin, H. Agusfian Waahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhadie , Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 173

9

Page 10: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

hubungan kerja itu khususnya bagi buruh dan keluarganya. Karena itulah pemutusan hubungan kerja ini harus dihindari terjadinya bahkan jika mungkin ditiadakan sama sekali.8

Sejak bergulirnya tuntutan demokrasi, maka pemerintah telah melakukan

reformasi peratura perundang-undangan ketenagakerjaan sebagai dasar hukum

pemutusan hubungan kerja yaitu; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969,

tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, telah diganti dengan Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang Nomor 22

Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan perburuhan di Perusahaan

Swasta, telah diganti dengan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian

Perselisihan hubungan Industrial yang selanjutnya disebut dengan UU PPHI.

Disamping peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pemutusan

Hubungan Kerja, juga dapat diatur di Perjanjian Kerja (PK), Peraturan

Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Dengan lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial , maka tidak ada lagi pembatasan atau diskrimnasi antara perusahaan swasta dengan perusahaan milik negara, karena perusahaan dalam undang-undang ini meliputi :a. Badan Usaha yang berbadan hukum atau tidak,b. Milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum

milik swasta atau milik negara.c. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus

dalam mempekerjakan orang lain dengan membayar upah ayau imbalan dalam bentuk lain.9

Dr. Payaman J. Simanjuntak APU: hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa disuatu perusahaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang aman dan harmonis anatar pihak-pihak tersebut,

8Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 45

9Mitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses tanggal 23 Juli 2017.

10

Page 11: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha. Dengan demikian pembinaan hubungan industrial merupakan bagian atau salah satu aspek dari manajemen sumber daya manusia.10

Drs. Yunus Shamad, M.M., bahwa hubungan industrial dapat diartikan

sebagai suatu corak atau sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang

terbentuk di antara para pelaku proses produksi barang dan jasa, yaitu pekerja,

pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.11

Menurut Soepomo regulasi yang banyak mendapat sorotan adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun Undang-Undang tersebut sebagian besar merupakan pembaharuan atau perpanjangan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lama, namun karena memuat beberapa ketentuan baru banyak mengundang perdebatan menyangkut kepentingan buruh dan pengusaha. Masalah ketenagakerjaan ini tak kalah penting karena merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi dan selalu menarik untuk dibahas karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih kurang 50 % penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar diantaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labour force).12

Antara majikan/pengusaha dengan pekerja/buruh membuat suatu perjanjian kerja yang mana perjanjian ini mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini disadari karena dengan perjanjian kerja yang dibuat dan ditaati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu ketenangan kerja dan memberikan jaminan kepastian hak serta kewajiban bagi para pihak. Pada dasarnya setiap perjanjian harus memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal

Muzni Tambuzai, menyatakan bahwa hubungan industrial pada intinya merupakan pola hubungan interaktif yang terbentuk di antara para pelaku proses produksi barang dan jasa (pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah) dalam suatu hubungan kerja.13

10Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hal. 3

11Soepomo, Iman. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1975, hal. 55

12Sehat Damanik, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003Tentang Ketenagakerjaan sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, DSS Publishing, Jakarta, 2007, hal.1

13 G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 202

11

Page 12: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

Hakim memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.

terlebih dahulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang

sebenarnya dapat diketahui dari proses pembuktian. Setelah suatu peristiwa

dinyatakan terbukti, menemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan14

F. Metode Penulisan

1. Metode Penulisan

Dalam menulis skripsi ini digunakan metode deskriptif yaitu penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan

hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder.15

2. Data yang Digunakan

Data sekunder adalah data-data lain yang berhubungan dengan penulisan ,

berupa bahan-bahan pustaka. Fungsi data sekunder untuk mendukung data

primer. Data sekunder yang berkaitan dengan penulisan meliputi:

a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945,

Undang-undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang N0.

2 Tahun 2004.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-

undang, hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.

c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dengan bahan hukum 14 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan

& Di Luar Pengadilan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 2615 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media,

Malang, 2007

12

Page 13: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik pengumpulan

data dengan cara Library Research (Penelitian Kepustakaan). Library

Research adalah penelitian melalui perpustakaan dengan cara membaca,

menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari buku- buku, makalah-makalah

seminar, Peraturan-peraturan dan bahan perkuliahan penulis memiliki

keterkaitan untuk mendukung terlaksananya penulisan skripsi ini.

4. Metode Analisis Data

Metode yang dipergunakan untuk menganalisis data adalah analisis

kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis

dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasasn

masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk

skripsi.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran

secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan

yang lainya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN.

Pada bab ini digambarkan secara umum tentang latar belakang,

identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka teori, metodelogi penelitian, dan sistematika

penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas

13

Page 14: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

dalam skripsi ini.

BAB II PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Pada bab ini dibahas mengenai pengaturan PHK dengan alasan

efisiensi dalam peraturan perundang-undangan, dan apa saja yang

menjadi alasan dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan

kerja, yaitu: Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan oleh

Pengusaha, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan oleh

Pekerja/ buruh, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan demi

hukum, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan karena

Pengadilan.

BAB III TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK

MENURUT UNDANG–UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004

TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL.

Pada bab ini akan dibahas mengenai prosedur penyelesaian

pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi serta prosedur

pemutusan hubungan kerja secara umum baik yang dilakukan

diluar persidangan maupun dilakukan melalui persidangan di

Pengadilan Hubungan Industrial.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK

PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT

EFISIENSI DALAM PERUSAHAAN DILIHAT DARI

14

Page 15: eprints.unpam.ac.id › 1835 › 2 › BAB I.doc · Web view eprints.unpam.ac.idMitar Pelawi,makalah ”Pemutusan Hubungan Kerja”, kuliah umum di FH USU 22 Februari 2008, diakses

KEPUTUSAN MA NOMOR 518 K/PDT. SUS-PHI/2014 .

Dalam bab ini, akan dibahas mengenai pemahaman pengertian

efisiensi dalam perusahaan, analisis kasus putusan MA Nomor 518

K/Pdt. Sus-PHI/2014 .

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini membahas mengenai Kesimpulan dan saran-saran

penulis.

15