Bias GenderBias GenderNOVEMBER 2020
74
di Media Konvensional dan Media Baru:Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
PenulisHeidira Witri H. & Perdana KarimEditorTreviliana Eka PutriDesain dan Tata LetakMuhammad Fanani Arifzqi
Latar BelakangPemilihan Umum Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 telah menarik beberapa
kontroversi seiring jalan pelaksanaannya. Bahkan sebelum mencapai pada titik puncak dari pemilihan pun, proses kampanye yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah menunaikan beberapa kontroversi yang hingga saat ini masih dipertanyakan. Hal yang membedakan pemilihan presiden AS 2016 dengan pemilihan sebelumnya adalah penggunaan media social secara konstan. Penggunaan media sosial sebagai salah satu metode untuk berkampanye poitik telah mengalami peningkatan dan tidak hanya digunakan oleh para pendukung kandidat akan tetapi dgunakan oleh kandidatnya sendiri. Salah satu kasus yang menarik mengenai ini bisa kita lihat dari Donald Trump dan bagaimana tim kampanyenya berhasil untuk secara drastis mengubah ruang lingkup kampanye politik di AS melalui penggunaan media sosial. Smear campaigns dilakukan hampir setiap hari oleh kampanye politik Trump dan para pendukungnya, guna melawan Hillary Clinton, calon presiden dari Partai Demkorat. Kata-kata hujatan digunakan oleh para pendukung Trump tidak hanya di dalam kampanye politik tetapi juga digaungkan di internet, dengan kata kunci seperti “Crooked Hillary” dan “Lock her up!”. Diskursus politik semacam ini yang melibatkan kampanye kotor bukan lah suatu fenomena yang baru. Namun, dampak yang dimilikinya dan bagaimana hal itu digaungkan oleh media baru, adalah sautu fenomena yang baru. Hillary Clinton hanyalah satu dari sekian banyak politisi perempuan yang dirugikan akibat fenomena baru ini. Dari latar belakang singkat ini, kita bisa melihat dengan jelas bahwa media baru tidak bisa dianggap sepele, apalagi jika menyangkut politik.
Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat 1
Tapi sebelum kita membahas b a g a i m a n a m e d i a b a r u m e n g g a m b a r k a n p o l i t i s i perempuan, pertama kita harus mengerti, apa itu media baru? Singkatnya, media baru adalah
b e n t u k m e d i a y a n g b e r s i f a t k o m p u t a s i d a n m e n g a n d a l k a n
komputer untuk redistribusi.¹ Sehingga, segala bentuk media yang disebarkan melalui
sarana online dapat dikatakan sebagai media baru. Media baru sering sekali dibandingkan dengan 'media
lama' seperti televisi, radio, dan media cetak. Meskipun media lama memiliki peraturan yang ketat dan ekstensif yang menyertainya, hal yang sama belum tentu berlaku untuk media baru. Dalam istilah saat ini, media baru yang kita semua kenal dan terbiasa dengan mengacu kepada media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dll.)², yang akan kami gunakan sebagai definisi utama media baru dalam studi kasus ini.
Studi kasus ini bertujuan untuk menjelaskan bias gender, khususnya terhadap politisi perempuan dalam lingkup media baru. Tulisan ini mengakui bahwa bias gender dapat muncul di mana saja, oleh karena itu studi kasus ini akan berfokus pada bagaimana bias gender ini muncul di media baru meskipun media baru dapat mendukung perkembangan pesat dari kesetaraan gender, dan bagaimana situasi ini berdampak pada politisi perempuan. Studi kasus ini memiliki tujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian, yakni: Bagaimana karakteristik media baru memberikan dasar bagi seksisme lebih lanjut terhadap politisi perempuan, dan bagaimana hal ini terjadi, meskipun media baru berpotensi menjadi platform yang lebih emansipatoris?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami melakukan studi pustaka yang komprehensif dalam menganalisis politisi perempuan, khususnya dari AS, dan penggambaran mereka di media baru. Studi kasus ini juga akan menganalisis budaya sosiopolitik yang mempengaruhi persepsi politisi perempuan yang berbeda di berbagai tempat jika dibandingkan dengan yang lain. Konsep yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah gender bias dan gendered echo chamber.
2 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Sering diasumsikan bahwa teknologi media baru memberikan wadah yang lebih setara bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Hingga taraf tertentu, hal ini benar adanya, dan merupakan situasi ideal yang bisa dicapai. Media secara umum memiliki peran penting untuk mendukung pergerakan emansipasi perempuan dengan mengangkat isu marginalisasi dan suara-suara perempuan yang non-stereotipikal dan representatif. Bagaimana gender direpresentasikan di media memiliki pengaruh terhadap bagaimana kita memandang gender itu sendiri³, termasuk dalam kasus politisi perempuan. Dalam hal ini, perkembangan teknologi telah menjadikan media aksesibel secara global dalam waktu yang cepat: literatur yang ada menggarisbawahi bagaimana new media memfasilitasi pemberdayaan perempuan, terutama dengan mendiseminasi nilai-nilai eksetaraan gender. Teknologi digital dapat membangun ruang publik yang lebih inkusif, karena melalui internet, lebih mudah bagi kelompok-kelompok seperti orang tua, orang dengan disabilitas, dan minoritas yang mengalami diskriminasi untuk dapat berkomunikasi, membangun jejaring, dan menjangkau pembuat kebijakan⁴. Mekanisme sharing informasi yang difasilitasi media digital seperti dialog melalui email, newsletters, dan List Serves antara perempuan juga berhasil membangun kolaborasi dalam skala global untuk mempromosikan agenda kesetaraan gender. Contoh-contoh dapat dilihat dari keberadaan asosiasi perempuan dalam tingkat nasional maupun regional serta agensi resource-sharing di seluruh dunia.
New Media danKeberdayaan Perempuan
3Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Terkait dengan hal ini, karakter media sosial sebagai alat aktivisme juga merupakan salah
satu cara mengapa new media dapat digunakan untuk megadvokasikan hak-hak perempuan. Misalnya, komunikasi daring
melalui kanal sosial media merupakan cara tercepat untuk menyebarkan berita dan menjadi wadah menyuarakan grievance berbasis gender karena
wadah tersebut menyediakan ruang bagi komunikasi yang beragam (diverse), bottom-up,
d a n b e r b i a y a r e n d a h y a n g d a p a t mengamplifikasi suara perempuan.⁵ Satu
contoh adalah gerakan #MeToo, di mana perempuan dari berbagai latar belakang menyuarakan pengalaman mereka tentang pelecehan dan kekerasan seksual yang pernah dialaminya dan menuntut keadilan serta akuntabilitas. Melalui tagar Twitter, gerakan ini mendapatkan momentum dan berhasil meningkatkan kesadaran atas kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial mendukung jaringan dan menyediakan audiensi bagi gerakan aktivisme. Namun, tidak hanya karena adanya hal teknis ini, studi oleh Hosterman et. al juga menunjukkan bahwa pada gerakan #MeToo, cuitan-cuitan di Twitter memiliki pesan direktif sebagai bentuk dukungan sosial yang dapat membantu proses penyembuhan korban-korban dengan memberi acknowledgement atau pengakuan dari orang lain.⁶ Hal ini berkontribusi pada ide bahwa new media dapat menjadi enclave bagi perempuan untuk mendapatkan dukungan serta tanggapan positif terhadap pengalaman mereka, sebuah fitur yang tidak hadir dalam media konvensional.
Tidak hanya mengenai bagaimana new media dapat digunaka untuk aktivisme, terdapat bukti bahwa media sosial dan new media secara umum dapat menjadi tempat di mana perempuan lebih mudah untuk menyatakan kehadirannya, selama mereka memiliki akses yang setara terhadap teknologi digital. Studi oleh Qatar Computing Research Institute menemukan bahwa di negara-negara dengan kesenjangan gender yang besar di ranah offline, perempuan cenderung memiliki kehadiran online yang lebih terasa.⁷ Di Amerika Serikat, perempuan lebih cenderung menggunakan media sosial dibandingkan laki-laki dalam semua platform kecuali LinkedIn. Meski ini bukan berarti bahwa keberadaan daring secara langsung mencerminkan kondisi kehidupan perempuan yang lebih baik, hal ini menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan.
4 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Namun, media sosial hanyalah alat dan bukan ruang hampa; apa yang muncul dari hal tersebut bergantung pada jenis konten seperti apa yang diciptakan dan direportasekan. Maka, pada dasarnya media berperan dalam tidak hanya visibiitas tapi juga reproduksi persepsi atas gender, merefleksikan ketidaksetaraan dan bias yang ada di dunia nyata, terutama dalam isu yang melibatkan stereotipe gender yang mendarahdaging seperti misalnya kepemimpinan oleh perempuan. Seperti yang akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya, hal ini berkorelasi dengan bagaimana dan mengapa pol i t is i perempuan di AS dipersepsikan sebagaimana halnya.
Seksisme dalam Media:Apa Yang Belum Berubah?
Meski pada bagian sebelumnya menjelaskan bahwa media sosial memang bisa menjadi alat yang ampuh bagi emansipasi perempuan, kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Meskipun media baru adalah alat luar biasa yang memungkinkan siapa pun dari mana pun di dunia untuk menyuarakan pendapat-pendapat mereka, justru hal ini lah yang dapat membuat media baru menjadi senjata yang sama-sama jahat. Di satu sisi mungkin benar bahwa media baru dapat digunakan sebagai alat emansipasi, tetapi di sisi lain semua itu bergantung pada pesan apa yang disebarkan melalui media baru tersebut. Representasi positif tentang perempuan bukan satu-satunya hal yang disebarluaskan dan digaungkan melalui media baru. terutama media sosial, hal yang sebaliknya justru adalah suatu hal yang sama-sama mainsteamnya. Selain itu, meski kehadiran perempuan di media baru kini lebih banyak, keamanan mereka justru masih sering terancam. Sebagai contoh, para perempuan pembuat konten di media baru sering menerima pelecehan berbentuk online dan tanggapan kekerasan berbau misoginis melalui komentar dan balasan.⁸
5Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Menurut data global terkini dari Global Media Monitoring Project (GMMP) 2015, ditemukan bahwa di dalam media lama, hanya satu dari empat orang yang kita dengar, baca, atau lihat di dalam koran, berita televisi dan radio adalah seorang perempuan.⁹ Hal yang sama tidak terjadi dalam media baru. Kenunggulan yang dimiliki oleh media baru adalah bahwa media baru memiliki representasi yang jauh lebih banyak daripada media lama. Namun, permasalah yang datang dari media baru justru bukanlah kekurangan dalam representasi, akan tetapi kurangnya penggambaran yang baik. Jadi di sinilah letak dilema, di satu sisi media lama mungkin kekurangan representasi perempuan di media berita, tetapi di sisi lain media baru kurang dalam menggambarkan para politisi perempuan secara positif. Namun, kesamaan yang mendasar antara keduanya adalah bahwa memang adanya kekurangan dalam penggambaran yang tepat bagi politisi perempuan secara umum.
Kurangnya penggambaran politisi perempuan yang tepat ini dapat dilihat di Amerika Serikat. Kami telah memilih sejumlah politisi perempuan dari AS, dari kedua sisi partai, sebagai sarana untuk mencerahkan betapa buruk gambaran media baru terhadap para politisi perempuan ini.
6 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Menurut data global terkini dari Global Media Monitoring Project (GMMP) 2015,
ditemukan bahwa di dalam media lama, hanya satu dari empat orang yang kita dengar,
baca, atau lihat di dalam koran, berita televisi dan radio adalah seorang perempuan. Hal
yang sama tidak terjadi dalam media baru. Kenunggulan yang dimiliki oleh media baru
adalah bahwa media baru memiliki representasi yang jauh lebih banyak daripada
media lama. Namun, permasalah yang datang dari media baru justru bukanlah
kekurangan dalam representasi, akan tetapi kurangnya penggambaran yang baik. Jadi
di sinilah letak dilema, di satu sisi media lama mungkin kekurangan representasi
perempuan di media berita, tetapi di sisi lain media baru kurang dalam
menggambarkan para politisi perempuan secara positif. Dari semua politisi
perempuan yang kami pilih sebagai contoh betapa buruknya penggambaran media
baru, Hillary Clinton mungkin adalah salah satu kasus yang paling terkenal. Bahkan
tidak menghitung banyaknya kampanye kotor yang dilakukan oleh kampanye
pemilihan Trump terhadapnya, Hillary menghadapi sejumlah penggambaran media
baru yang buruk yang, sayangnya, datang dari kedua sisi partai. Puncak dari semua
kejadian ini adalah saat pemilu presiden AS 2016. Penggambaran media baru terhadap
Hillary Clinton lebih memfokuskan diri kepada dirinya sebagai individu, melainkan
kepada visi dan misinya sebagai calon presiden.
Kasus penggambaran Hillary yang paling terkenal adalah slogan “Lock her up!” dan
panggilan nama kepadanya, “Crooked Hillary”, yang menjadi seruan umum oleh para
pendukung Trump.¹⁰ Julukan "Crooked Hillary" diciptakan oleh Donald Trump sendiri
saat dia mengkritik Hillary yang mencurigakan terkait penggunaan server email rahasia
ketika masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS di bawah pemerintahan Obama.
Yang kemudian mengarah kepada skandal yang menyebabkan orang-orang menuntut
Hillary untuk menunjukkan emailnya selama periode ia menjadi Menteri Luar Negeri
AS.
HILLARY CLINTONPenggambaran Media Baru Politisi Perempuan
7Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Tidak hanya itu, selama kampanye pemilu, ia selalu dibandingkan dengan
suaminya dengan banyak orang mengatakan bahwa dia tidak layak menjadi presiden.
Alasannya adalah karena ia perempuan dan menjadi presiden adalah pekerjaan laki-
laki, karena Hillary 'kurang Kristen”, atau karena mereka menganggap bawa Hillary
tidak cukup sehat untuk menjadi seorang presiden.
Bahkan paca kekacauan pemilu AS 2016 ini orang-orang masih memandang Hillary
Clinton dalam sorotan yang buruk. Kasus terbaru adalah bagaimana para pendukung
Trump menyalahkan Hillary atas perselingkuhan suaminya sendiri, Bill Clinton.
Justifikasi yang diberikan oleh para pendukung Trump adalah karena Hillary bukanlah
istri yang 'setia' sehingga menyebabkan perselingkuhan Bill.¹¹ Oleh karena itu, hingga
hari ini, para pendukung Trump masih membenci Hillary.
Kurangnya penggambaran politisi perempuan yang tepat ini dapat dilihat di
A m e r i k a S e r i k at . K a m i te l a h
m e m i l i h s e j u m l a h p o l i t i s i
perempuan dari AS, dari kedua
sisi partai, sebagai sarana untuk
mencerahkan betapa buruk
gambaran media baru terhadap
para politisi perempuan ini.
(Gambar 1)¹²
8 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Kamala Harris, seperti Hillary, mendapat sorotan dan penggambaran negatif
akibat pemilu AS. Kamala Harris dinominasikan oleh Partai Demokrat untuk menjadi
wakil presiden untuk Joe Biden dalam pemilu 2020 mendatang. Sebelum
dinominasikan sebagai wakil presiden, Kamala Harris telah menempuh karir di dalam
politik AS di usia yang begitu muda. Petualangan awal dalam karir politik dimulai
sebagai Jaksa Wilayah San Francisco, yang kemudian membawanya kepada peran
sebagai Senator AS dari California.¹³
Selama karir politiknya, dia telah menunjukkan
minat besar terhadap menjamin kehidupan kaum
minoritas, sebagaimana ia sendiri mengakui
sebagai keturunan Afrika-Amerika dan Asia Selatan-
Amerika. Karena keturunan inilah Kamala Harris
menghadapi berbagai macam sorotan dari kedua
belah partai, sebagaimana orang merasa bahwa
pencalonannya sebagai wakil presiden hanyalah
sebuah skema untuk menarik perhatian untuk
mendapatkan suara dari para pemilih kaum
minoritas.
Meskipun penggambaran Kamala Haris dalam
media baru tidak seramai Hillary Clinton, bukan
berarti hal tersebut tidak terjadi. Yang justru terjadi
adalah, media baru terlalu menyoroti latar
belakangnya dan mempertanyakan legitimitasinya
sebagai orang kulit hitam, daripada berfokus pada
dirinya sendiri yang maju sebagai wakil presiden.
KAMALA HARRISPenggambaran Media Baru Politisi Perempuan
(Gambar 2)¹⁴
9Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
ALEXANDRIAOCASIO-CORTEZ
Penggambaran Media Baru Politisi Perempuan
Alexandria Ocasio-Cortez, atau kita kenal sebagai AOC, adalah salah satu wanita
termuda yang pernah bertugas di Kongres Amerika Serikat, menempatkan jabatan
tersebut pada usia 29 tahun. Karena usianya yang masih muda inilah sebagian besar
liputan media yang dia peroleh, jika ada pada saat itu, tidak lain adalah sorotan
terhadap usianya yang masih muda dan kurangnya pengalaman. Dengan banyak orang
yang beranggapan bahwa seseorang semuda dia sama sekali tidak boleh menjabat
sebagai anggota kongres.
Namun terlepas dari itu semua, AOC adalah salah satu anggota kongres yang sangat
vokal dalam hal-hal progresif, seperti, tetapi tidak terbatas pada, Medicare for All dan
Green New Deal.¹⁵ Kedua program progresif inilah yang mengguncangkan sebagian
besar anggota Republikan konservatif, yang kemudian mengarah pada peggambaran
negatif AOC di media mereka dan kemudian digaungkan oleh para pendukung
Republikan. Meskipun demikian, AOC telah mengambil statusnya sebagai
seseorang yang berkuasa dan memanfaatkannya untuk mengatasi
masalah tentang perilaku dan budaya-budaya seksis tidak hanya
dalam politik, tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana
yang bisa kita lihat dari tindakannya untuk mengkritik Perwakilan
GOP Ted Yoho, setelah dia secara verbal menyerang AOC.¹⁶
10 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Satu hal yang perlu diperhatikan tentang AOC adalah bagaimana dia juga aktif di
media sosial, khususnya di Twitter. AOC menggunakan platformnya sebagai sarana
kampanye untuk tetap berhubungan dengan generasi muda. Namun, menggunakan
media sosial sebagai sarana kampanye tentulah tidak mudah. Karena sifatnya yang
progresif yang cenderung menimbulkan ketakutan bagi kedua belah pihak, dia sendiri
telah mengkonfirmasi bahwa dia sering mendapatkan ancaman kematian secara
daring. Sebagian besar ancamakn kematian tersebut ia dapatkan dari akun Twitter-
nya.¹⁷ Kritik yang paling menonjol yang terus-menerus dia hadapi adalah pekerjaan
dulunya sebagai seorang bartender, seperti sebagaimana orang katakan kepadanya
melalui media sosial, adalah pekerjaan yang tidak cocok untuk seorang wanita kongres.
(Gambar 3)¹⁸ ¹⁹
11Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
ELIZABETH WARRENPenggambaran Media Baru Politisi Perempuan
Elizabeth Warren adalah politisi AS mapan yang telah terlibat dalam lingkup politik
AS sejak awal tahun 90-an. Dia saat ini menjabat sebagai Senator dari Massachusetts
dan untuk kepresidenan pada tahun 2020. Elizabeth Warren memiliki peran penting
dalam mengubah ruang lingkup perbankan AS karena mereka memiliki skema yang
bersifat predator, sebagaimana mereka mengambil sejumlah pajak besar dari orang
miskin. Berasal dari latar belakang hukum ekonomi, Elizabeth Warren telah membuat
nama untuk dirinya sendiri saat dia mengusulkan "Two Cents Tax Plan" ketika dia
mencalonkan diri sebagai presiden.²⁰ Rencana pajaknya ini menarik perhatian kedua
belah pihak karena, jika diterapkan, akan memaksa pajak orang kaya sebanyak dua sen
untuk setiap dolar yang mereka hasilkan setelah sejumlah akumulasi kekayaan.
Meskipun popularitasnya baru-baru ini berasal dari pemilihan presiden, ia dikenal
sebagai salah satu penghasut dan paling vokal dalam pemakzulan Trump tahun 2019.²¹
Penggambaran negatif media baru Elizabet Warren berasal dari rencana kebijakan
pajak progresifnya. Sebagaimana rencana pajaknya tersebut akan akhirnya
memaksakan orang kaya untuk wajib membayar pajak. Namun sayangnya hal ini masih
jauh dari kenyataan bagi masyarakat AS karena akhirnya dia tersingkir dari pemilihan
presiden.
(Gambar 5)²²
12 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
BETSY DEVOSPenggambaran Media Baru Politisi Perempuan
Betsy DeVos adalah Menteri Pendidikan Amerika Serikat di bawah Pemerintahan
Trump. Meski berasal dari latar belakang Partai Republik, cukup kontras dengan
contoh-contoh lain yang telah kami sebutkan sebelumnya, bukan berarti ia terbebas
dari penggambaran negatif media baru. Kita mungkin cenderung berpikir bahwa untuk
sebagian besar, hanya Partai Demokrat yang mendapat pengawasan ketat di bawah
media baru, namun hal yang sama juga terjadi pada Partai Republikan. Namun ada
perbedaan mencolok antara komentar negatif yang dia terima jika dibandingkan
dengan teman-teman Partai Demokratnya. Sementara sebagian besar mereka
cenderung dikritisi dan diragukan hanya karena sejarah dan latar belakang mereka,
jauh dari apa yang sebenarnya mereka lakukan, dalam kasus Betsy DeVos dia
menghadapi kritik karena rekam jejak pekerjaannya, terutama selama pandemi ini.
Sebagai Menteri Pendidikan Trump, Betsy DeVos mendorong untuk pembukaan
kembali sekolah-sekolah dan mengabaikan keadaan pandemi. Dengan penjelasan
“tidak ada bukti signifikan yang menjukkan bahwa pembukaan kembali sekolah akan
menimbulkan bahaya bagi anak-anak”.²³ Bahkan kepada tahap akan mengancam
untuk menarik dana sekolah bagi sekolah yang masih ngotot menutup pintunya dan
mengadakan kelas secara
d a r i n g . S i k a p n y a u n t u k
m e m a k s a m e m b u k a k a n
sekolah di masa pandemi ini
menuai banyak kontroversi
d a r i k e d u a b e l a h p a r ta i .
Meskipun jelas bahwa Partai
Demokrat dan pendukungnya
akan menentang keputusan
irasional tersebut, hal yang
sama dapat dilihat dari pihak
Republik.
(Gambar 6)²⁴
13Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Dari lima contoh di atas kita bisa melihat bagaimana media lama dan media baru cenderung membingkai para politisi perempuan tangguh tersebut. Pola yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah, daripada berfokus pada apa yang telah mereka tetapkan, sebagian besar penggambaran media baru yang negatif berasal dari latar belakang dan diri mereka sendiri sebagai individu, bukan dari apa yang telah mereka lakukan sebagai politisi. Yang paling menonjol adalah bagaimana media cenderung mengalihkan fokus kepada kehidupan rumah tangga pribadi mereka, dibandingkan dengan politisi laki-laki. Oleh karena itu kita dapat melihat bahwa dalam lingkup politik AS, media lama dan baru cenderung mengaitkan nilai-nilai tertentu kepada mereka seperti menggambarkan mereka sebagai perempuan yang bengkok, emosional, tidak kompeten, irasional, tidak berpengalaman, dan masih banyak lagi.
Namun, t idak semua penggambaran polit isi perempuan seperti itu. Contohnya adalah Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru. Jacinda Ardern, dibandingkan dengan politisi perempuan AS yang digambarkan secara negatif oleh media, digambarkan
secara positif oleh media lama dan baru di Selandia Baru. Jacinda Ardern digambarkan sebagai sosok politisi perempuan yang penuh kasih, perhatian, dan
keibuan.²⁵ Kesenjangan dalam penggambaran ini semakin membuktikan bagaimana konteks l i n g ku n ga n s o s i a l - p o l i t i k m e m p e n ga r u h i bagaimana politisi perempuan digambarkan.
Meskipun patriarki ada dimana-mana, budaya politik suatu negara dan latar belakangnya
memengaruhi bagaimana polit is i perempuan digambarkan. Dalam kasus Amerika Serikat, wanita
dibandingkan pria jauh lebih mungkin untuk melihat hambatan struktural dan ekspektasi tidak seimbang yang menahan wanita dari posisi ini. Sekitar 7 dari 10 wanita mengatakan alasan utama mengapa wanita kurang terwakili di posisi teratas dalam politik adalah karena mereka harus berbuat lebih banyak untuk membuktikan diri.²⁶
14 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Pertanyaan selanjutnya: mengapa media baru, yang pada dasarnya mencakup hampir semua poros dalam spektrum politik, akhirnya menjadi salah satu sarana media yang paling seksis, misoginis, dan diskriminatif t e r h a d a p p o l i t i s i p e re m p u a n? O ra n g d a p a t b e ra r g u m e n b a h w a m e m a n g a d a s e b u a h b i a s d a l a m menggambarkan wanita-w a n i t a i n i d e n g a n c a ra t e r t e n t u . H a l i n i a k a n d i j e l a s ka n pa d a ba g i a n selanjutnya yang berkorelasi dengan alasan bagaimana d a n m e n g a p a p o l i t i s i perempuan digambarkan seperti itu.
Namun, contoh Selandia Baru ini bukanlah hal yang umum, melainkan kasus tersendiri. Ditemukan fakta b a h w a h a n y a 1 d a r i 3 p r e s i d e n perempuan terpilih; sisanya menjalani prosedur seperti pengganti presiden, atau diangkat ke presidensi untuk melayani secara sementara. Jalan lainnya yang cukup umum untuk menuju posisi yang lebih tinggi bagi wanita di Asia dan Amerika Latin adalah dengan menjadi istri atau putri dari pria yang secara politik penting dan termuka. Sedangkan di Amerika Serikat, salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya perempuan sebagai presiden adalah fakta bahwa perempuan lebih kecil kemungkinannya daripada laki-laki untuk mencalonkan diri, karena persepsi tentang seksisme, terbatasnya rekrutmen politik dan meremehkan kualifikasi mereka. Mereka terus menghadapi lebih banyak persepsi negatif dari publik, elit politik, dan media massa mengenai kapabilitas dan kompetensi kepemimpinan mereka, dibanding para pria.²⁷
15Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Menjelaskan Bias Genderterhadap Politisi Perempuan
Dari kasus peliputan berita menegnai politisi perempuan AS di media, terdapat beberapa poin yang dapat dipelajari, yaitu bagaimana terlepas dari perubahan-perubahan yang dibawa oleh teknologi media baru, isu seksisme dan misogini tetap bertahan. Hal ini tidak hanya diakibatkan budaya patriarki, tetapi juga bagaimana hal tersebut dimanifestasikan dalam media, terutama dalam hal ini terkait pemberitaan kepemimpinan politik. Masalah penggambaran dalam media ini penting karena new media merupakan sumber utama informasi politik terhadap sebagian besar orang. Mengingat sulit untuk menemui politisi secara langsung, persepsi terhadap politisi bergantung pada apa yang dikatakan oleh media mengenai politisi dan kandidat elektoral. Di Amerika Serikat, media sosial adalah sumber kedua paling populer untuk berita mengenai pemilihan umum.²⁸ Oleh karenanya, semakin banyak liputa mengenai kualitas kepemimpinan seseorang dapat meningkatkan elektabilitas menuju konsekuensi elektoral yang positif. Hal ini juga berarti peliputan negatif terhadap politisi perempuan memiliki dampak praktis berupa minimnya representasi perempuan di politik: saat ini, 77% parlementer di dunia adalah laki-laki; hanya ada 2 negara dengan parlemen yang 50% terdiri oleh perempuan yaitu Rwanda dan Bolivia.²⁹
16 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Stereotipe gender yang diterapkan pada politisi perempuan lebih spesifik dibandingkan stereotipe sehari-hari karena diatribusikan pada kualitas-kualitas kepemimpinan.³⁰ Misalnya, tokoh pemimpin dikaitkan dengan laki-laki dan bukan perempuan. Pemimpin juga dilihat sebagai lebih maskulin dibandingkan feminin.³¹ Sifat seperti tegas, independen, kompetitif, ambisius, objektif, non-emosional, pemimpin kuat, asertif, berpengetahuan, dan efektif dianggap 'pria', sedangkan sifat yang diasosisasikan dengan 'wanita' adalah pasif, dependen, non-kompetitif, lembut, lemah, emosional, penuh pengertian, baik hati, atraktif, altruistik, jujur, dan terkadang 'uninformed'.³² Ini menunjukkan bagaimana politisi perempuan telah dirugikan dari awal, dengan atau tanpa teknologi new media. Selain itu, sifat-sifat stereotipe yang diatribusikan pada perempuan tidak berlaku pada pandangan terhadap politisi perempuan, sedangkan dalam kasus laki-laki hal ini terjadi. Misalnya, orang-orang m e n ga s o s i a s i k a n p e r e m p u a n d e n ga n n i l a i i n te g r i ta s , ke j u j u ra n , d a n kepantasan—namun mereka tidak berpikir demikian terhadap politisi perempuan.³³ Hal ini dapat diatribusikan ke bagaimana kegiatan politik dilihat sebagai kegiatan ruang publik, sedangkan perempuan seharusnya berada di ranah privat/domestik—maka terdapat ekspektasi yang berbeda terhadap politisi perempuan dibandingkan politisi laki-laki yang sedari awal telah dilihat cocok untuk berada di posisi kepemimpinan.
17Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Menggunakan pemilihan umum di Belanda sebagai studi kasus, Aaldering and Van Der Pas menemukan bahwa pemimpin partai laki-laki lebih sering didiskusikan dalam hal kemampuan politik serta kepintaran/semangat mereka (4.54%) dibandingkan perempuan (3.01%), dan menerima banyak pemberitaan berbasis nilai-nilai tersebut.³⁴
Di media, coverage yang lebih evaluatif bagi politisi laki-laki menempatkan politisi perempuan pada keadaan elektoral yang merugikan. Perempuan lebih cenderung untuk menerima kritik berdasarkan penampilan dan perilaku di ranah daring, selain itu, pemberitaan akan perempuan yang misoginis dan seksis dapat dilihat dari bagaimana kehidupan pribadi serta penampilan mereka dianalisis di media dengan cara yang tidak dialami oleh politisi laki-laki.³⁵ Berdasarkan studi terhadap 37 tahun pemberitaan di surat kabar The Globe and Mail (media konvensional), ditemukan bahwa jurnalis cenderung meneggarisbawahi tubuh dan kehidupan pribadi perempuan dibandingkan dalam pemberitaan terhadap laki-laki.³⁶
Aaldering juga memiliki hipotesis bahwa pola ini akan lebih terasa di Amerika Serikat, di mana politik lebih terfokus pada kandidat (candidate-centered)
dibandingkan Belanda yang lebih terfokus pada partai politik.³⁷ Kultur bipartisan yang mempolarisasi juga menjadi salah satu
faktor yang berkontribusi terhadap situasi saat ini di AS, semakin diperparah dengan ruang gaung (echo chambers)
yang dilakukan new media. Untuk mengilustrasikan, Demokrats dan individu yang condong ke nilai politik Demokrat lebih cenderung untuk mengatakan bahwa
terdapat terlalu sedikit perempuan di dalam posisi jabatan politik tinggi dibandingkan Republikan (79% vs. 33%).³⁸ Maka, apabila kandidat perempuan dari Demokrat maju dalam pemilihan umum, hampir dapat dipastikan bahwa ia akan mendapat backlash dari Republikan, yang sejak awal telah memiliki prejudice terhadap perempuan sejak
awal. Prejudice ini terreplikasi karena orang-orang akan ditarget dengan jenis informasi yang sama akibat echo
chamber.
18 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Setelah memahami bagaimana politisi perempuan dirugikan dengan adanya bias gender dan konotasi negatif pemimpin perempuan, bagian ini menganalisis bagaimana new media mempercepat penyebaran dan internalisasi pemberitaan yang bias gender mengenai politisi perempuan melalui beberapa mekanisme dan karakteristik. Hal ini penting untuk didiskusikan karena terlepas dari tingginya potensi teknologi dalam new media untuk memajukan kesetaraan gender, pada 2015, The Global Media Monitoring Project menemukan adanya “gap dalam pemberitaan dan representasi gender yang telah bertahan lama maupun baru, tidak hanya pada media tradisional (print dan broadcast) tetapi juga di media elektronik pula.³⁹
Mengenai apakah new media bisa menjadi platform yang lebih menjunjung kesetaraan gender juga ditentukan oleh siapa yang membuat berita. Mengenai ini, dinamika jurnalis politik dalam new media, yang merupakan bagian dari komunikasi politik, masih bersifat seksis. Spesifik mengenai jurnalisme politik, hal ini melibatkan apa yang disebut “pack journalism,” dengan ciri pemberitaan yang intrusif, insuler, dan coverage yang homogen dan berlebihan.⁴⁰ Karenanya, proses legitimasi jurnalisme antara jurnalis menjadi penting. Twitter adalah salah satu new media yang populer untuk fungsi jurnalisme politik. Twitter memerankan peran penting dalam melegitimasi jurnalis--bagaimana jurnalis tersebut dilihat di Twitter merefleksikan posisi dominan atau subordinat jurnalis tersebut di lapangannya.⁴¹
19Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Riset oleh Usher menemukan bahwa Twitter merefleksikan disparitas gender yang ada di jurnalisme politik dan bahkan memperkuat hal tersebut. Jurnalis laki-laki “menang” di twitter karena memiliki kapital sosial dan pool audiensi yang lebih besar untuk mendapatkan validasi karena laki-laki di media cenderung mensegregasi diri dan tidak memperlakukan jurnalis perempuan dengan serupa. Rata-rata, beltway
journalists ( jurnalis yang memberitakan isu politik dan federal) cenderung mengikuti/follow lebih banyak jurnalis laki-laki
dibandingkan perempuan, terlepas dari jenis kelamin mereka.⁴² Pola ini terjadi pula pada retweets—dan mengarah pada bagaimana pemberitaan politik oleh jurnalis laki-laki lebih terdistribusi dan diakses secara luas. Terlepas dari fakta bahwa perempuan lebih cenderung menggunakan media sosial, laki-laki di-retweet hampir 2x lipat.⁴³
Hal ini menciptakan ruang gaung yang memiliki elemen gender di Twitter. Meski hal ini tidak secara langsung berkorelasi dengan pemberitaan politisi perempuan di media, ini menjelaskan bagaimana cara kerja jurnalisme politik, yang menciptakan pemberitaan politisi, masih penuh bias gender. Dengan pentingnya Twitter dalam sentralitas komunikasi politik, memahami disparitas gender di Twitter sangat penting.⁴⁴ Tanpa mengatakan bahwa hal tersebut adalah satu-satunya mekanisme untuk mengarasi pemberitaan perempuan yang seksis, hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa pemberitaan yang ada berhasil m e n c a p a i a u d i e n s i y a n g l u a s d a n m e m p e n ga r u h i ba ga i m a n a p o l i t i s i perempuan tersebut tertular.
20 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
Dapat disimpulkan bahwa terlepas dari alat serta teknologi yang diekspektasikan membawa perubahan radikal dalam kesetaraan gender, coverage politisi perempuan masih menunjukkan adanya masalah yang telah terjadi sejak media konvensional: seksis dan didominasi oleh laki-laki. Dalam kasus kandidat politik, bias gender lebih merugikan politisi perempuan dibanding laki-laki. Dengan fitur yang hanya ada di new media seperti algoritma media sosial dan echo chamber yang muncul, bias gender bias ini semakin cepat direproduksi. Apabila new media memang dapat menjadi lebih baik dibanding media konvensional, perlu untuk memperhatikan bagaimana perempuan masih saja menjadi korban pelecehan dan misogini daring, termasuk politisi yang diremehkan serta dinilai berdasarkan kehidupan personal. Sehingga, meski new media telah menjadi alat yang berguna untuk mengadvokasikan isu perempuan dan emansipasi, hal sebaliknya juga terjadi, misalnya dengan adanya jurnalisme yang bias gender.
Oleh karenanya, menyadari permasalahan yang ada, untuk mewujudkan representasi perempuan yang baik di media tidak dapat dilakukan hanya dengan mengubah media yang ada, namun perlu ada upaya sadar untuk menolak seksisme, menuntut adanya peliputan, pemberitaan, dan narasi yang adil atas politisi perempuan maupun subyek perempuan secara umum. Untuk fungsi ini, new media sendiri memiliki sifat yang dapat memfasilitasi akuntabilitas tersebut: pengguna dapat dengan lebih mudah melaporkan dan menentang perilaku misoginis dibanding dalam kasus media konvensional, karena new media memiliki sifat yang interaktif untuk komunikasi dua arah⁴⁵, serta karena perempuan sendiri memiliki akses yang lebih setara untuk melakukannya.
Kesimpulan
21Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
¹Manovich, L., 2003. New media from Borges to HTML. The new media reader, 1, pp.13-25.
²Manovich, L.3 Nande, S., Bose S., Chitnis R. 2019. A Review Based Study of Gender Equality in
Media. Proceedings of International Conference on Media Ethics.
⁴Gurumurthy, A., 2006. Promoting gender equality? Some development-related uses of ICTs by women. Development in Practice, 16(6), p. 611
⁵Ibid, p. 613
⁶Hosterman, A. R. , Johnson, N.R., Stouffer, R., Herring, S. 2018. Twitter, Social Support Messages and the #MeToo Movement. The Journal of Social Media in Society, 7(2), p. 85
⁷Powell, C. How Social Media Has Reshaped Feminism. Council on Foreign Relations. Tersedia di: https://www.cfr.org/blog/how-social-media-has-reshaped-feminism [Diakses pada Oktober 19, 2020].
⁸Dhrodia, A., 2017. Social media and the silencing effect: why misogyny online is a human rights issue. Tersedia di: https://www.newstatesman.com/2017/11/social-media-and-silencing-effect-why-misogyny-online-human-rights-issue [Diakses pada Oktober 19, 2020].
⁹Anon, Barriers to gender equality in the news. Women In News. Tersedia di: http://www.womeninnews.org/post/72 [Diakses pada Oktober 19, 2020].
¹⁰Samuels, B., 2020. Trump Says He Agrees '100 Percent' With 'Lock Her Up' Chants About Clinton. [daring] TheHill. Tersedia di: <https://thehill.com/homenews/administration/521436-trump-says-he-agrees-100-percent-with-lock-her-up-chants-about> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
¹¹The Daily Show, 2020. How Holy Is Donald Trump? | The Daily Show. [video] Tersedia di: <https://www.youtube.com/watch?v=kAgTZSJ4jo8&t=5s> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
Referensi
¹²Mansfield, M., 2020. Trump Encourages 'LOCK HER UP' Chants About Hillary Clinton Again From Fans. [daring] The US Sun. Tersedia di: <https://www.the-sun.com/news/1540304/donald-trump-hillary-clinton-crazy-rally/> [Diakses pada 25 Oktober 2020].
22 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
¹³The Daily Show, 2020. Get To Know Kamala Harris | The Daily Social Distancing Show. [image] Tersedia di: <https://www.youtube.com/watch?v=I9-AgaWE7Zg> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
¹⁴Midkiff, S., 2020. Trump Kicked Off Election Day By Announcing That Kamala Harris Is Terrible For Women. [daring] Refinery29.com. Tersedia di: <https://www.refinery29.com/en-gb/2020/11/10144818/trump-fox-and-friends-election-day-interview-kamala-women> [Diakses pada 4 November 2020].
¹⁵Friedman, L., 2019. What Is The Green New Deal? A Climate Proposal, Explained. [daring] Nytimes.com. Tersedia di: <https://www.nytimes.com/2019/02/21/climate/green-new-deal-questions-answers.html> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
¹⁶Smith, A., 2020. 'This Is Not An Apology': AOC Calls Out GOP Rep. Ted Yoho A�er He Semi-Apologizes For Berating Her. [daring] NBC News. Tersedia di: <https://www.nbcnews.com/politics/congress/gop-congressman-offers-semi-apology-aoc-a�er-she-says-he-n1234585> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
¹⁷Relman, E., 2019. Alexandria Ocasio-Cortez Tweets About The Toll Of Receiving Death Threats Against Her And Says She Spends Some Mornings 'Reviewing Photos Of The Men Who Want To Kill Me'. [daring] Business Insider. Tersedia di: <https://www.businessinsider.com/alexandria-ocasio-cortez-tweets-about-toll-of-getting-death-threats-2019-5?r=US&IR=T> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
¹⁸Twitter.com. 2020. Twitter. [daring] Tersedia di: <https://twitter.com/AOC/status/1320809306355388417?s=20> [Diakses pada 28 Oktober 2020].
¹⁹Twitter.com. 2020. Twitter. [daring] Tersedia di: <https://twitter.com/aoc/status/1090669146977779712?lang=en> [Diakses pada 28 Oktober 2020].
²⁰The Daily Show, 2020. Getting To Know Elizabeth Warren | The Daily Show. [video] Tersedia di: <https://www.youtube.com/watch?v=V6UxhDPzbsE> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
²¹Lee, M., 2019. Elizabeth Warren Says House Should Start Impeachment Proceedings For Trump. [daring] CNN. Tersedia di: <https://edition.cnn.com/2019/04/19/politics/elizabeth-warren-donald-trump-impeachment-proceedings/index.html> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
²²Olson, T., 2019. Warren'S 'Fantasy' Wealth Tax: Here'S All The Programs 2020 Dem Claims To Cover With Funding Trick. [daring] Fox News. Tersedia di: <https://www.foxnews.com/politics/warrens-wealth-tax-heres-all-the-programs-2020-dem-claims-to-cover-with-funding-trick> [Diakses 28 Oktober 2020].
23Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
²³Cathey, L., 2020. Education Secretary Faces Backlash A�er Demanding Schools Reopen Full-Time Amid Pandemic. [daring] ABC News. Tersedia di: <https://abcnews.go.com/Politics/education-secretary-faces-backlash-demanding-schools-reopen-full/story?id=71752468> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
²⁴Menas, A., 2020. 5 Reasons Betsy Devos Is Bad For Public Schools - Education Votes. [daring] Education Votes. Tersedia di: <https://educationvotes.nea.org/2020/03/04/5-reasons-betsy-devos-is-bad-for-public-schools/> [Diakses pada 28 Oktober 2020].
²⁵Curtin, J., 2018. Jacinda Ardern Makes Motherhood In Politics Normal - NZ Herald. [daring] NZ Herald. Tersedia di: <https://www.nzherald.co.nz/nz/jennifer-curtin-jacinda-ardern-makes-motherhood-in-politics-normal/HKAPGFOEMK6HWFNYGUGBL7W73Y/> [Diakses pada 19 Oktober 2020].
²⁶Juliana Menasce Horowitz, R.I.and K.P., 2020. How Americans View Women Leaders in Politics and Business. Pew Research Center's Social & Demographic Trends Project. Tersedia di: https://www.pewsocialtrends.org/2018/09/20/women-and-leadership-2018/ [Diakses pada Oktober 20, 2020].
²⁷Farida Jalalzai Professor and Hannah Atkins Endowed Chair of Political Science, 2020. Why the US still hasn't had a woman president. The Conversation. Tersedia di: https://theconversation.com/why-the-us-still-hasnt-had-a-woman-president-131125 [Diakses pada Oktober 20, 2020].
²⁸Gottfried, J. 2020. Where Americans Are Getting News About the 2016 Presidential Election. Tersedia di: https://www.journalism.org/2016/02/04/the-2016-presidential-campaign-a-news-event-thats-hard-to-miss/ [Diakses pada Oktober 14, 2020].
²⁹Aaldering, L. & Van Der Pas, D.J. 2018. Political Leadership in the Media: Gender Bias in Leader Stereotypes during Campaign and Routine Times. B.J.Pol.S.,doi:10.1017/S0007123417000795.
³⁰Schneider, Monica C., & Angela L. Bos. 2014. Measuring Stereotypes of Female Politicians. Political Psychology 35, p. 245–66.
³¹Koenig, Anne M., Alice H. Eagly, Abigail A. Mitchell, and Tiina Ristikari. 2011. Are Leader Stereotypes Masculine? A Meta-Analysis of Three Research Paradigms. Psychological Bulletin 137. pp. 616–42.
³²Aaldering, L. & Van Der Pas, D.J.
³³Schneider, Monica C., & Angela L. Bos. p. 256
³⁴Aaldering, L. & Van Der Pas, D.J.
24 Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat
³⁵Wagner, A., 2019. Media Sexism? Depends on Who You Are. Policy Options. Tersedia di: https://policyoptions.irpp.org/magazines/march-2019/media-sexism-depends-on-who-you-are/ [Diakses pada Oktober 19, 2020].
³⁶Wagner, A., 2019. Media Sexism? Depends on Who You Are.
³⁷Aaldering, L. & Van Der Pas, D.J.
³⁸Juliana Menasce Horowitz, R.I.and K.P.
³⁹Global Media Monitoring Project. 2015. GMMP 2015 Reports. Tersedia di: http://whomakesthenews.org/gmmp-2015. [Diakses pada Oktober 19, 2020].
⁴⁰Frank, Russell. 2003. These Crowded Circumstances: When Pack Journalists Bash Pack Journalism. Journalism 4 (4), pp. 441–58.
⁴¹Barnard, Stephen. 2014. 'Tweet or Be Sacked': Twitter and the New Elements of Journalistic Practice. Journalism 17 (2). pp. 190–207.
⁴²Usher, N., Holcomb, J., Littman, J. 2019. Twitter Makes It Worse: Political Journalists, Gendered Echo Chambers, and the Amplification of Gender Bias. The International Journal of Press/Politics. p. 12
⁴³Bennett, J., 2015. Why Men Are Retweeted More Than Women. The Atlantic. Tersedia di: https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2015/06/why-men-are-retweeted-more-than-women/392099/ [Diakses pada Oktober 19, 2020].
⁴⁴Usher, N., Holcomb, J., Littman, J. p. 3
⁴⁵Anon, What is New Media? Southern New Hampshire University. Tersedia di: https://www.snhu.edu/about-us/newsroom/2020/02/what-is-new-media [Diakses pada Oktober 19, 2020].
25Bias Gender di Media Konvensional dan Media Baru: Penggambaran Politisi Wanita Amerika Serikat