7/27/2019 Refrat Bells
1/32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling
sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau
paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab
yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih
dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak
kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bells palsy
merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang
keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada
pasien-pasien dengan Bells palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi
Bells palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun.
Bells palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun
dan yang berusia di atas 60 tahun.
Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat
menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh
dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan
spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup
1
7/27/2019 Refrat Bells
2/32
kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis
sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas
fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal
pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial
terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata
sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa
gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum,
berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi
wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut menjadi tidak
percaya diri.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara lebih
dalam mengenai definisi, struktur anatomi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosis, diagnose banding,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosisBells palsy.
2
7/27/2019 Refrat Bells
3/32
BAB II
STATUS PENDERITA
1.1 STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. X
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jatigui, Malang
Status Perkawinan : Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Periksa : 26 Juni 2013
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Mata sebelah kanan tidak bisa menutup
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Kanjuruhan dengan keluhan mata kanan tidak bisa
menutup sejak 2 hari yang lalu kemudian pasien juga mengeluh bibir kanan tidak
bisa tersenyum. Influensa dan nyeri di belakang telinga disangkal oleh penderita.
3
7/27/2019 Refrat Bells
4/32
Pasien tidak mengalami gangguan pengecapan ataupun gangguan pendengaran.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : (-)
b. Riwayat Mondok : (-)
c. Riwayat sakit gula : (-)
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat hipertensi : (-)
f. Riwayat sakit kejang : (-)
g. Riwayat alergi obat : (-)
h. Riwayat alergi makanan : (-)
i. Riwayat asma : (-)
j. Riwayat penyakit kulit : (-)
k. Riwayat penyakit saluran cerna : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : (-)
b. Riwayat hipertensi : (-)
c. Riwayat sakit gula : (-)
4
7/27/2019 Refrat Bells
5/32
d. Riwayat asma : (-)
e. Riwayat alergi obat : (-)
f. Riwayat alergi makanan : (-)
g. Riwayat penyakit jantung :(-)
5. Riwayat Pengobatan : (-)
6. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : (-)
b. Riwayat minum alkohol : (-)
c. Riwayat minum kopi : (-)
d. Riwayat olahraga : (-)
7. Riwayat Gizi : Baik
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum: baik, kesadaran kompos mentis (GCS E4V5M6), status gizi
cukup
2. Tanda Vital
Tensi :100/60 mmHg
Nadi :78 x/menit
5
7/27/2019 Refrat Bells
6/32
RR : 18 x/menit
Suhu :-
3. Kulit
Sawo matang, Sianosis (-), pucat (-), petechie (-)
4. Kepala
Inspeksi: Bentuk normocephal, wajah sisi kanan tampak terjatuh dan
tertari ke sisi kiri, lipatan dahi sisi kanan menghilang , luka (-),nodula (-)
Palpasi : Nyeri tekan ( - )
5. Mata
Mata kanan tidak bisa menutup, Conjunctiva anemi (-/-),Mata cekung (-/-)
6. Hidung
Secret (-/-), epistaksis (-/-)
7. Mulut
Sudut mulut sisi kanan tidak bisa terangkat dan tidak bisa tersenyum ,
Bibir pucat (-), lidah kotor (-),gusi berdarah (-)
8. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), secret (-), timpani utuh
6
7/27/2019 Refrat Bells
7/32
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis(-/-)
10. Leher
Trakea di tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), takipnea (-)
12. Ekstremitas: palmar eritema (-)
Akral dingin Oedema
13. Status neurologis : Nervus kranialis I XII dalam batas normal, kecuali
N.VII dextra tipe perifer
D. Diagnosis:
Parese nervus VII perifer dextra (Bell's Palsy)
- -
- -
- -
- -
7
7/27/2019 Refrat Bells
8/32
E. RESUME
F. Pasien datang ke RSUD Kanjuruhan dengan keluhan mata kanan tidak bisa
menutup sejak 2 hari yang lalu kemudian pasien juga mengeluh bibir kanan tidak
bisa tersenyum. Influensa dan nyeri di belakang telinga disangkal oleh penderita.
Pasien tidak mengalami gangguan pengecapan ataupun gangguan pendengaran.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil wajah sisi kanan tampak terjatuh dan
tertari ke sisi kiri, lipatan dahi sisi kanan menghilang, Mata kanan tidak bisa
menutup, Sudut mulut sisi kanan tidak bisa terangkat dan tidak bisa tersenyum.
Diagnosis: Parese nervus VII perifer dextra (Bell's Palsy)
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan Terapi
a. Menangani simptom
b. Mencegah kekhawatiran penderita
Terapi obat
a. Meconeuro 500 mg 2x1
b. Alinamin 50 mg 1x1
8
7/27/2019 Refrat Bells
9/32
BAB III
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan
dampak yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat
disebabkan oleh bawaan lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi,
paparan toksik ataupun penyebab iatrogenik. Yang paling sering
menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah Bells palsy.Bells
palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell. Bells
palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut
dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer.
2.2. Struktur anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.
levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
9
7/27/2019 Refrat Bells
10/32
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap
di dua pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh
nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi
seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus
intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian
anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius
eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus
lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani
dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus
traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar
lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual
serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di
bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena
bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
10
7/27/2019 Refrat Bells
11/32
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok
tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga
dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut
genikulatum karena sangat dekat dengan genu.
11
7/27/2019 Refrat Bells
12/32
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion
12
7/27/2019 Refrat Bells
13/32
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina,
yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal
memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani.
Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus
kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang
melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus
venter posterior.
2.3. Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari
paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang
tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di
Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-
rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko
29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki
dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok
umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih
sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan
2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
13
7/27/2019 Refrat Bells
14/32
2.4. Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia
akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan
iskemia ini sampai saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan
suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil
dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu
Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab
Bells palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata
pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes
PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII
penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat
berpindah secara axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion,
pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus yang akan
menyebabkan kerusakan local pada myelin.
2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
14
7/27/2019 Refrat Bells
15/32
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan
kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik
dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di
lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di
korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di
dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
15
7/27/2019 Refrat Bells
16/32
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan
timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utamaBells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe
1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada
radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan padaBells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
16
7/27/2019 Refrat Bells
17/32
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra
tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa
dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air
mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala
pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus
fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung
lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.
2.6. Gejala Klinis
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka
sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala
kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi
lesi
17
7/27/2019 Refrat Bells
18/32
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi
air liur masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam
kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah
dan gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu
hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan
gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi
foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun
penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes
Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis.
18
7/27/2019 Refrat Bells
19/32
2.7. Penegakan Diagnosis
DiagnosisBells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan
adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak
dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan
augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN.
PadaBells palsy lesinya bersifat LMN.
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa
bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir
semua keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu
sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio
19
7/27/2019 Refrat Bells
20/32
mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan
paresis, tetapi paresis muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25%
pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air
mata mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis
oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang
dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan
cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang
gangguan rasa, empat per lima pasien menunjukkan penurunan
rasa. Hal ini terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang
terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada
hidung akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika
semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan
20
7/27/2019 Refrat Bells
21/32
mononeuron dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain
juga dapat terlibat.Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus
cranialis yang menunjukkan gambaran gangguan pada
pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke
wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis
tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah)
pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas
wajah pada sisi yang diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas;
di atas nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah
mengalami kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya
mengalami paralisis. Musculus orbicularis, frontalis dan
corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti
mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan
biasanya normal.
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang
tampak meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang
mengalami komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium.
21
7/27/2019 Refrat Bells
22/32
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau
HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien
tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV
juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari
mana virus tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke
diagnose Bells palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan
lagi, karena pasien-pasien dengan Bells palsy umumnya akan
mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan
ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu.
MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya
Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki
riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.
2.8. Diagnosa Banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis
diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay
Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid
ataupun telinga tengah, Guillen Barre syndrome.
22
7/27/2019 Refrat Bells
23/32
2.9. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang
menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir
semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar
nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada
penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan
pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering
dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir akan berguna
jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.
Nama obat Acyclovir (Zovirax) menunjukkan aktivitas hambatan
langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi
secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.
Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.
> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.
Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat
memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
23
7/27/2019 Refrat Bells
24/32
acyclovir terhadap SSP.
Kehamilan C keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah
dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.
b. Kortikosteroid.
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan
suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai
keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para
peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh
hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid,
maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60
mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan
perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya dimulai
pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.
Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) efek farmakologis
yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan
kompresi nervus facialis di canalis facialis.
Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.
Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.
24
7/27/2019 Refrat Bells
25/32
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur
jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak
lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.
Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens
prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat menyebabkan
toksisitas digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan
rifampin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid
(tingkatkan dosis pemeliharaan); monitor hipokalemia bila
pemberian bersama dengan obat diuretik.
Kehamilan B biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat
resiko.
Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapa
menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema
osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia
osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan
pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan
bersama glukokortikoid.
c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar
benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan
25
7/27/2019 Refrat Bells
26/32
pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah
satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang
mengalami kontak langsung dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan
yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan
penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya
rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai
berikut:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada
pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy,
maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau
gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk
26
7/27/2019 Refrat Bells
27/32
untuk pemeriksaan lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren,
sebaiknya dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang
dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis
yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten
cukup baik untuk dilakukan pembedahan.
27
7/27/2019 Refrat Bells
28/32
2.10. Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa
mengalami deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa
cukup berat yang tidak dapat diterima oleh pasien.
a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen
yang merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik
mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi
paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.
Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora
(produksi air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
Dysgeusia (gangguan rasa).
Ageusia (hilang rasa).
Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai
dengan stimulus normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.
Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai
dengan regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf
akan mengambil jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut
28
7/27/2019 Refrat Bells
29/32
saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur
neurologik yang tidak normal.
Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan
gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu
diikuti dengan gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan
involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebutsynkinesis.
2.11. Prognosis
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala
sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosisBells palsy adalah:
a. Usia di atas 60 tahun.
b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang
lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosisBells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.
Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40%
sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang
berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15
persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak
29
7/27/2019 Refrat Bells
30/32
sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang
non DM. Hanya 23% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah.
Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang
kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
30
7/27/2019 Refrat Bells
31/32
BAB IV
KESIMPULAN
Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer.
Penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka
sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala
kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien denganBells palsy adalah dengan kombinasi obat-
obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik
meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.
31
7/27/2019 Refrat Bells
32/32
DAFTAR PUSTAKA
Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bells Palsy. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1, 2010.
Holland, J. Bells Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and
Victors Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005.
1181-1184.
Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,
5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George
Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.
32
http://emedicine.medscape.com/article/1146903.%20%20Accessed%20June%201http://emedicine.medscape.com/article/1146903.%20%20Accessed%20June%201http://emedicine.medscape.com/article/1146903.%20%20Accessed%20June%201