KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan ilmu, akal, pikiran dan waktu sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “ Herpes Zoster Oftalmikus ” .
Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para konsulen dan
semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini. Penulis menyadari
bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan
hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi
kita semua.
Jakarta. Agustus 2015
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 4
1.1. Latar Belakang........................................................................ 4
1.2. Tujuan .................................................................................... 5
1.3. Manfaat................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 6
2.1. Etiologi................................................................................... 6
2.2. Epidemiologi........................................................................... 7
2.3. Faktor predisposisi.................................................................. 7
2.4. Patogenesis............................................................................. 8
2.5. Manifestasi klinis .................................................................. 10
2.6. Diagnosis ............................................................................... 14
2.7. Diagnosis banding ............................................................... 16
2
2.8. Penatalaksanaan ..................................................................... 17
2.9 Komplikasi ............................................................................. 18
2.10 Pencegahan ........................................................................... 21
2.11 Prognosis ............................................................................... 21
BAB III PENUTUP..................................................................................... 22
3.1. Kesimpulan............................................................................. 22
3.2. Saran....................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang menyerang
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang oftalmikus
saraf trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi herpetik unilateral pada
kulit.1 Insidensi herpers zoster terjadi pada 20 % populasi dunia dan 10 %
diantaranya adalah herpes zoster oftalmikus.2 Penyakit ini cukup berbahaya
karena dapat menimbulkan penurunan visus. Virus Varicella Zoster dapat
laten pada sel syaraf tubuh dan pada frekuensi yang kecil di sel non-neuronal
satelit dari akar dorsal, berhubung dengan saraf tengkorak dan saraf
autonomic ganglion, tanpa menyebabkan gejala apapun. Infeksi herpes zoster
biasanya terjadi pada pasien usia tua dimana specific cell mediated immunity
pada umumnya menurun seiring dengan bertambahnya usia atau pasien yang
mengalami penurunan sistem imun seluler. Morbiditas kebanyakan terjadi
pada individu dengan imunosupresi (HIV/AIDS), pasien yang mendapat terapi
dengan imunosupresif dan pada usia tua.3 Herpes zoster oftalmik merupakan
bentuk manifestasi lanjut setelah serangan varicella. Virus ini dapat
menyerang saraf cranial V. Pada nervus trigeminus, bila yang terserang antara
pons dan ganglion gasseri, maka akan terjadi gangguan pada ketiga cabang
nervus V (cabang oftalmik, maksilar, mandibular) akan tetapi yang biasa
terkena adalah ganglion gasseri dan yang terganggu adalah cabang oftalmik.
Bila cabang oftalmik yang terkena, maka terjadi pembengkakan kulit di daerah
dahi, alis, dan kelopak mata disertai kemerahan yang dapat disertai vesikel,
dapat mengalami supurasi, yang bila pecah akan menimbulkan sikatriks. 4 Bila
4
cabang nasosiliar yang terkena, kemungkinan komplikasi pada mata sekitar 76
%. Jika saraf ini tidak terkena maka resiko komplikasi pada mata hanya sekitar
3,4%. Virus herpes zoster bisa dorman atau menetap (laten) pada ganglion
N.V dan reaktivasinya didahului oleh gejala prodormal seperti demam,
malaise, sakit kepala dan nyeri pada daerah saraf yang terkena tapi
sebelumnya terbentuk lesi kulit. Kulit kelopak mata dan sekitarnya berwarna
merah dan bengkak diikuti terbentuknya vesikel, kemudian menjadi pustul
lalu pecah menjadi krusta. Jika krusta lepas akan meninggalkan jaringan
sikatrik.5 Penatalaksanaan infeksi akut herpes zoster oftalmikus yaitu antivirus,
kortikosteroid sistemik, antidepresan, dan analgesic yang adekuat. Jika terjadi
komplikasi mata seperti keratitis, iritis dan iridosiklitis dapat diberikan steroid
topical dan siklopegik. Pengobatan akan optimal bila dimulai dalam 72 jam
dari onset ruam kulit.2
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Yarsi.
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang penyakit herpes zoster oftalmikus.
5
BAB II
PEMBAHASAN
HERPES ZOSTER OFTALMIKUS
2.1. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV
mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk
simetri isohedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter
150-200 nm, dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius.
Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik,
deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi.
HZO merupakan reaktivasi dari VZV di N.V divisi oftalmik (N.V1).5
2.2. Epidemiologi
Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti
serologik mengenai infeksi VZV dan merupakan resiko untuk HZ. Laporan
tahunan insidens HZ bervariasi daripada 1.5 – 3.4 kasus per 1000 orang. 6,7
Faktor resiko untuk perkembangan HZ ini ialah kekebalan imun sistem yang
rendah berasosiasi juga dengan proses penuaan yang normal. Bagaimanapun,
insidens ini terjadi pada individu berusia di atas 75 tahun rata – ratanya iaitu
10 kasus per 1000 orang. 6,7
HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya
berpengaruh pada usia tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data
insiden terjadinya HZO pada populasi Caucasian adalah 131 : 100.000.9
Populasi American-Afrika mempunyai insiden 50 % dari Caucasian. Alasan
6
untuk perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus HZO
disebabkan reaktivasi dari virus laten.
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang
terinfeksi VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari
1,5 – 3, 4 kasus per 1000 orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes
zoster adalah menyusutnya sel mediated dari sistem imun yang berhubungan
dengan perkembangan usia. Insiden HZO pada usia 75 tahun ke atas melebihi
10 kasus per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup diperkirakan 10-
20 %.10
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon
sel mediated imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV,
dan yang lebih spesifik dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari
herper zoster sedikitnya 15x lebih besar dengan HIV dibandingkan tanpa HIV.
HZO terdapat 10-25 % dari semua kasus herpes zoster. Resiko komplikasi
oftalmik pada pasien herpes zoster tidak terlihat berhubungan dengan umur,
jenis kelamin, atau keganasan dari ruam kulit.10
2.3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah :
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
- Usia tua
- HIV
- Kanker
- Kemoterapi
b. Faktor reaktivasi
- Trauma lokal
- Demam
- Sinar UV
- Udara dingin
7
- Penyakit sistemik
- Menstruasi
- Stres dan emosi
2.4. Patogenesis
Penyebab penyakit herpes zoster oftalmika adalah Virus Varicella-
Zoster. Periode inkubasi Varicella-zoster sampai menimbulkan penyakit yang
khas adalah 10-21 hari. Varicella-Zoster masuk ke dalam tubuh manusia
melalui mukosa saluran napas bagian atas, orofaring atau konjungtiva. Siklus
replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada nodus
limfe regional yang kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah yang
sedikit melalui darah dan kelenjar limfe yang menyebabkan terjadinya viremia
primer (biasanya terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama). Pada
sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat
mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh sehingga akan berlanjut pada
siklus replikasi viru kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang
mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan
menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang
menyebabkan timbul lesi kulit yang khas.11,12
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi
yang menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada
cabang N. V. Hal ini terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus
pada berbagai jaringan. Walaupun sulit dimengerti, penyebaran dermatom
pada N. V dan daerah torak paling banyak terkena.6,7
Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan
akhirnya akan mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal
sebagai tanda Hutchinson), yang merupakan indikasi untuk resiko lebih tinggi
terkena gannguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien dengan tanda
Hutchinson mempunyai gangguan penglihatan.
8
Pada herpes zoster oftalmika, patogenesisnya belum sepenuhnya
diketahui. Selama terjadinya varisela, Virus Varicella-Zoster berpindah tempat
dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung syaraf sensorik dan
ditransportasikan secara centripetal melalui serabut syaraf sensorik ke
ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman),
dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap
mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi
reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh suatu
keadaan yang menurunkan imunitas seluler sehingga virus kembali
bermultiplikasi menyebabkan peradangan dan merusak ganglion sensoris.
Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak, jika
mengenai N.trigeminus dapat menyebar ke N. oftalmikus melalui serabut
syaraf sensoris sehingga menyebabkan timbulnya manifestasi klinis.11,12
Gambar 1. Tanda Hutchinson.
Gambar dikutip dari C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and Surgery
Institute, Harvard Medical School.
Mekanisme dari keterlibatan okular adalah sebagai berikut :
1. Infeksi virus langsung dapat menyebabkan konjungtivitis dan keratitis
epitelial
9
2. Infeksi sekunder dan vaskulitis oklusif dapat menyebabkan episkleritis,
skleritis, keratitis, uveitis, neuritis optik, dan kelumpuhan saraf kranial.
Inflamasi dan kerusakan nervus perifer dan ganglia sentral, atau
pemrosesan sinyal yang diubah dalam SSP mungkin bertanggung
jawab untuk postherpetic neuralgia.
3. Reaktivasi menyebabkan nekrosis dan peradangan pada ganglia
sensoris yang terkena, menyebabkan anestesi kornea yang dapat
mengakibatkan keratitis neurotropik.13
2.5. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:
a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari)13
Gejala-gejala prodormal terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-
anak, dan timbul 1 - 2 hari sebelum terjadi erupsi.
- Nyeri lateral sampai mengenai mata
- Demam
- Malaise
- Sakit kepala
- Kuduk terasa kaku
b. Dermatitis
c. Nyeri mata
d. Lakrimasi
e. Perubahan visual
f. Mata merah unilateral
10
Gambar 2. Defek epitel dan infeksi sekunder Varicella-Zoster Virus.
Gambar dikutip daripada C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and
Surgery Institute, Harvard Medical School.
Kelainan pada mata
Kelainan mata akut :
1. Keratitis epitelia akut
Keratitis epitel akut berkembang di lebih dari 50% dari pasien dalam
waktu 2 hari dari timbulnya ruam dan biasanya sembuh secara spontan
dalam beberapa hari. Hal ini ditandai dengan lesi dendritik yang lebih
kecil dan lebih halus dari herpes simplex dendrit, multipel, lesi vocal
dengan fluoresen atau rose Bengal. Pengobatan, jika diperlukan,
adalah dengan antivirus topikal.
2. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO.
Pada konjungtiva sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan
kadang disertai timbulnya petechie. Ini biasanya terjadi 1 minggu.
Infeksi sekunder akibat S. aureus bisa berkembang di kemudian hari.
11
3. Episkleritis
Episkleritis terjadi pada awal ruam dan biasanya sembuh secara
spontan. Anti inflamasi non steroid ringan dapat digunakan jika
diperlukan.
4. Skleritis dan sklerokeratitis
Skleritis dan sclerokeratitis jarang terjadi dan dapat berkembang pada
akhir minggu pertama. Pengobatan lesi adalah dengan flurbiprofen oral
(Froben) 100mg. Kadang-kadang, steroid oral dengan antivirus
mungkin diperlukan untuk keterlibatan parah
5. Keratitis numularis
Keratitis numular biasanya berkembang di lokasi lesi epitel sekitar 10
hari setelah onset ruam. Hal ini ditandai dengan deposit subepitel
granular halus dikelilingi oleh lingkaran stroma kabut. Lesi memudar
jika diberikan steroid topikal tetapi kambuh jika pengobatan dihentikan
secara prematur
6. Keratitis stromal (intersisial)
Keratitis stroma berkembang pada sekitar 5% kasus, terjadi tiga
minggu setelah timbulnya ruam.
7. Keratitis Diciform
Keratitis disciform kurang umum daripada dengan herpes simpleks
infeksi, tetapi dapat menyebabkan dekompensasi kornea. Pengobatan
dengan steroid topikal
8. Uveitis anterior
Uveitis anterior mempengaruhi setidaknya sepertiga dari pasien dan
dapat dikaitkan dengan sektoral iris iskemia dan atrofi.
9. TIO
TIO harus dipantau sebagai elevasi umum, termasuk steroid diinduksi.
Sering menyebabkan peningkatan TIO. Tanpa perawatan yang baik
penyakit ini bisa menyebabkan glaukoma dan katarak. Derivatif
prostaglandin harus dihindari jika pengobatan diperlukan.
12
10. Komplikasi neurologik
Komplikasi neurologis mungkin memerlukan antivirus intravena dan
steroid sistemik.
− Kelumpuhan saraf kranial yang mempengaruhi saraf ketiga (paling
umum), 4 dan 6 biasanya sembuh dalam waktu 6 bulan
− Neuritis optik jarang
− Manifestasi SSP jarang terjadi tetapi termasuk ensefalitis, arteritis
kranial, dan Syndrome Guillain Barre.13
Gambar 3. Herpes zoster oftalmika mengenai cabang nervus oftalmikus
Dikutip dari (http://medicalera.com/3/26866/komplikasi-mata-pada-herpes-
zoster#.Ul1zFlN3qus)
Kelainan mata kronik
1. Keratitis neurotropik
Neurotropik keratitis berkembang pada sekitar 50% kasus, meskipun
biasanya relatif ringan dan mengendap selama beberapa bulan.
2. Skleritis
Skleritis dapat menjadi kronis dan menyebabkan athropy scleral
13
3. Mucous plaque keratitis
Mucous plaque keratitis berkembang pada sekitar 50% pasien, paling
sering antara 3 dan bulan ke-6. Hal ini ditandai dengan kemunculan
tiba-tiba plak mukosa tinggi yang diwarnai dengan Bengal Rose.
Pengobatan melibatkan kombinasi steroid topikal dan asetilsistein.
Setelah diobati, plak sembuh setelah beberapa bulan, meninggalkan
kabut kornea.
4. Degenerasi lipid
Degenerasi lipid dapat berkembang pada mata dengan nummular
persisten berat atau keratitis disciform.
5. Lipid-filled granulomata
Lipid-filled granulomata dapat berkembang di bawah konjungtiva
tarsal, bersama-sama dengan jaringan parut subconjunctival.
6. Sikatrik palpebra
Jaringan parut kelopak mata dapat mengakibatkan ptosis, entropion
cicatricial dan kadang-kadang ektropion, trikiasis, lid notching dan
madarosis.13
Kelainan mata relaps
Tahap lesi dapat muncul kembali beberapa tahun setelah episode akut, yang
mungkin telah sembuh, jaringan parut kelopak mata mungkin satu-satunya
petunjuk diagnostik. Reaktivasi keratitis, episkleritis, skleritis atau iritis dapat
terjadi.13
2.6. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
- Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat
influenza –like illness seperti lemah, malaise, demam derajat rendah yang
mungkin berakhir sehingga 1 minggu sebelum perkembangan rash
unilateral menyelubungi daerah kepala, atas kening dan hidung (divisi
dermatome pertama daripada nervus trigeminus).5,7
14
- Kira – kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri dermatom
sebelum erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus muncul
keliatan yang lama kelamaan akan membentuk kluster yang terdiri
daripada papula dan vesikel. Lesi ini akan membentuk pustula dan
seterusnya lisis dan membentuk krusta dalam masa 5 – 7 hari.
Pemeriksaan Fisik
- Periksa struktur eksternal/superfisial dahulu secara sistematik mengikut
urutan daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan sklera.
- Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang
pandang.8
- Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi fotofobia
untuk menetapkan kemungkinan terdapatnya iritis. Pengurangan
sensitivitas kornea dapat dilihat dengan apabila dicoba dengan serat
cotton.
- Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek epitel
dan ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.
- Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam
segmen anterior dan kewujudan infiltrat stroma
- Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal
ialah dibawah 12 – 15 mmHg).
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu:6
a. Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik
15
- Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-
sel raksasa berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi
intranukleus asidofil
b. Pemeriksaaan serologik.
- HZ dapat terjadi pada individu yang terinfeksi dengan HIV yang
kadangkala asimtomatik, pemeriksaan serologik untuk mendeteksi
retrovirus sesuai untuk pasien dengan faktor resiko untuk HZ (individu
muda daripada 50 tahun yang nonimunosupresi).
c. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.
2.7. Diagnosis Banding
a. Kondisi yang memperlihatkan penampakan luar yang sama
− Herpes simplek
− Ulkus blefaritis
b. Kondisi yang menyebabkan penyebaran nyeri
− Tic Douloureux3
− Migrain
− Pseudotumor orbita
− Selulitis orbita
− Nyeri akibat sakit gigi
c. Kondisi yang menyebabkan inflamasi stromal kornea
− Epstein-Barr Virus
− Sifilis
2.8. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah
16
dengan tes DFA (Direct Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody)
dan PCR (jika ada), terbukti lebih efektif dan spesifik dalam membedakan
infeksi akibat VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan dengan kultur virus.13
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan
Acyclovir (5 x 800 mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan
pemakaian Acyclovir, terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat
mengurangi nyeri pada herpes zoster oftalmikus. Onset Acyclovir dalam 72
jam pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit,
menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis,
stromal keratitis, serta uveitis anterior.13
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki
bioavaibilitas yang lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama terhadap
herpes zoster oftalmikus pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian
Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi herpes
zoster oftalmikus, seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien
imunocompromise dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk
mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan
analgetik oral.13,14
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes
zoster oftalmikus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada
blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara
paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi, serta pada indikasi
infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika hanya
mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat digunakan
topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal,
serta dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri.9
Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di
antaranya Gabapentin dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama
dosisnya 300 mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan
300 mg sehari sehingga mencapai 1,800 mg sehari.10
17
Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial.
Antibiotik pada kasus ini ialah ampicillin dan tetes mata gentamisin,
merupakan antibakteri spektrum luas. Isprinol yang diberikan oleh spesialis
kulit pada penderita di atas termasuk obat imunomodulator yang bekerja
memperbaiki sistem imun.
Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin
untuk saraf. Pada umumnya direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4
kali sehari dan ibuprofen sebagai analgetik oral. Ahli THT memberikan obat
kumur tantum verde yang berisi benzydamine hydrochloride,8 merupakan anti
inflamasi non steroid lokal pada mulut dan tengggorokan. Penderita di atas
juga mendapatkan antioksidan berupa asthin force dari ahli penyakit dalam
untuk perlindungan kesehatan kulit.
Sindrom Ramsay Hunt dapat diberikan Prednison dengan dosis 3 x 20
mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis
prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis
ganglion.8
2.9. Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu, meskipun
ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak berhubungan dengan
umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya tahan tubuh penderita.
Ini akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah serangan awal.7
- Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari
pasien tersebut, 31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh
itu semua, terjadi anterior uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6
bulan, 28% mengenai mata dengan uveitis kronik, keratitis, dan ulkus
neuropatik.
- Komplikasi mata yang jarang, termasuk optik neuritis, retinitis, dan
kelumpuhan nervus kranial okuler. Ancaman ganguan penglihatan oleh
18
keratitis neuropatik, perforasi, glaukoma sekunder, posterior skleritis,
optik neuritis, dan nekrosis retina akut.
- Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi
dari kornea dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati
dan keratopati. Resiko jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang
memiliki riwayat HZO, 6-14% rekuren.
- Infeksi permanen zoster oftalmik bisa termasuk inflamasi okuler kronik
dan kehilangan penglihatan.5
Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :
− Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernah dilaporkan oleh
Gordon dan Tucker, demikian juga encephalitis dan hemiplegi walaupun
jarang ditemukan tetapi pernah dilaporkan. Hal ini diperkirakan karena
penjalaran virus ke otak.
− Konjungtiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbul adalah kemosis
yang ada hubungannya dengan pembengkakan palpebra. Pada saat ini
biasanya disertai dengan penurunan sensibilitas kornea dan kadang-kadang
oedema kornea yang ringan. Dapat juga timbul vesikel-vesikel di
conjunctiva tetapi jarang terjadi ulserasi. Pernah dilaporkan adanya
kanaliculitis yang ada hubungannya dengan zoster.
− Kornea. Bila comea terkena maka akan timbul infiltrat yang berbentuk
tidak khas dengan batas yang tidak tegas , tetapi kadang-kadang
infiltratnya dapat menyerupai herpes simplex. Proses yang terjadi pada
dasamya berupa keratitis profunda yang bersifat khronis dan dapat
bertahan beberapa minggu setelah kelainan kulit sembuh. Akibat
kekeruhan kornea yang terjadi maka visus akan menurun.
− Iris. Adanya laesi diujung hidung sangat penting untuk diperhatikan
karena kemungkinan besar iris akan ikut terkena mengingat n. nasociliaris
merupakan cabang dari n.ophthalmicus yang juga menginervasi daerah
iris, corpus ciliaze dan cornea. Iritis/iridocyclitis dapat merupakan
19
penjalaran dari keratitis ataupun berdiri sendiri. Iritis biasanya
ringan,jarang menimbulkan eksudat, pada yang berat kadang-kadang
disertai dengan hypopion atau secundair glaucoma. Akibat dari iritis ini
sering timbul sequele berupa iris atropi yang biasanya sektoral. Pada
beberapa kasus dapat disertai massive iris atropi dengan kerusakan
sphincter pupillae.
− Sklera. Skleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya
merupakan lanjutan dari iridocyclitis. Pada sclera akan terlihat nodulus
dengan injeksi lokal yang dapat timbul beberapa bulan sesudah
sembuhnya laesi di kulit. Nodulusnya bersifat khronis, dapat bertahan
beberapa bulan, bila sembuh akan meninggalkan sikatrik dengan
hyperpigmentasi. Skleritis ini dapat kambuh lagi.
− Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV, N V1, N III dan N
IV dapat sekaligus terkena. Pernah pula dilaporkan timbulnya
ophthalmoplegi totalis dua bulan setelah menderita herpes zoster
ophthalmicus. Paralyse dari otot-otot extra-oculer ini mungkin karena
perluasan peradangan dari N Trigeminus di daerah sinus cavemosus.
Timbulnya paralyse biasanya dua sampai tiga minggu setelah gejala
permulaan dari zoster dirasakan, walaupun ada juga yang timbul
sebelumnya. Prognosa otot-otot yang paralyse pada umumnya baik dan
akan kembali normal kira-kira dua bulan kemudian.
− Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya dengan zoster jarang
ditemukan. Kelainan tersebut berupa choroiditis dan perdarahan retina,
yang umumnya disebabkan adanya retinal vasculitis.
− Neuritis optik. Neuritis optik juga jarang ditemukan; tetapi bila ada dapat
menyebabkan kebutaan karena timbulnya atropi n. opticus. Gejalanya
berupa skotoma sentral yang dalam beberapa minggu akan terjadi
penurunan visus sampai menjadi buta. 3,8,10
2.10. Pencegahan
20
Tindakan preventif yang harus dilakukan penderita ialah tidak
mengusap-usap mata, menyentuh lesi kulit, dan menggaruk luka untuk
menghindari penyebaran gejala. Bagi orang sekitar hendaknya menghindari
kontak langsung dengan penderita terutama anak-anak. Obat-obatan antiviral
seperti asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir merupakan terapi utama yang
lebih efektif dalam mencegah keterlibatan okuler terutama jika obat diberikan
tiga hari pertama munculnya gejala. Berdasarkan rekomendasi dari National
Guidelines Clearinghouse, dosis asiklovir oral untuk dewasa ialah 800 mg 5
kali sehari selama 7 sampai 10 hari.8 Sedangkan antiviral topikal tidak
dianjurkan karena tidak efektif. Antiviral digunakan untuk mempercepat
resolusi lesi kulit, mencegah replikasi virus, dan menurunkan insiden keratitis
stroma dan uveitis anterior.
2.11. Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung
pada tindakan perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita baik
karena asiklovir dapat mencegah penyakit-penyakit mata yang menurunkan
visus. Kesembuhan penyakit ini umunya baik pada dewasa dan anak-anak
dengan perawatan secara dini. Prognosis ke arah fungsi vital diperkirakan ke
arah baik dengan pencegahan paralisis motorik dan menghindari komplikasi
ke mata sampai kehilangan penglihatan. Prognosis kosmetikam pada mata
penderita tersebut baik karena bengkak dan merah pada mata dapat hilang.
Pada kulit dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik.7,8
BAB III
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan
21
Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang
menyerang bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari
cabang oftalmikus saraf trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi
herpetik unilateral pada kulit.
Herpes zoster oftalmik merupakan bentuk manifestasi lanjut setelah
serangan varicella.Virus ini dapat menyerang saraf cranial V. Pada nervus
trigeminus, bila yang terserang antara pons dan ganglion gasseri, maka
akan terjadi gangguan pada ketiga cabang nervus V (cabang oftalmik,
maksilar, mandibular) akan tetapi yang biasa terkena adalah ganglion
gasseri dan yang terganggu adalah cabang oftalmik.
Manifestasi herpes zoster oftalmikus antara lain sakit mata, mata
merah, penurunan visus dan mata berair. Penegakan diagnosis sebagian
besar dilihat dari manifestasi nyeri dan gambaran ruam dermatom serta
adanya riwayat menderita cacar air. Penatalaksanaan infeksi akut herpes
zoster oftalmikus yaitu antivirus, kortikosteroid sistemik, antidepresan,
dan analgesic yang adekuat. Jika terjadi komplikasi mata seperti keratitis,
iritis dan iridosiklitis dapat diberikan steroid topical dan siklopegik.
Pengobatan akan optimal bila dimulai dalam 72 jam dari onset ruam kulit.
3.2. Saran
Sebagai dokter muda, yang terpenting adalah kita mampu
menganalisis dan mengolah setiap kasus yang akan kita dapat di Rumah
Sakit. Pendekatan terbaik adalah dengan kita mempelajari kasus herpes
zoster oftalmikus dan untuk melakukannya itu semua tergantung etika dan
moral kita sebagai seorang dokter.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Herpes zoster from http://www.emedicine.com/oph[disc257.htm,2006
2. Herpes zoster from www.optometry.co.uk
3. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2000.
4. American Academy of Ophtalmology. External cornea and disease. Section 8.
2005-2006.
5. Vaughan. Oftamologi Umum.Edisi 17. Jakarta: EGC. 2014.
6. Suwarji H. Infeksi viral dan strategi pengobatan anti viral pada penyakit mata.
Diakses dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08InfeksiViral087.pdf .
Oktober 2006.
7. Moses S. Herpes zoster ophtalmicus. Diakses dari www.fpnotebook.com.
January 13, 2008.
8. Gurwood AS. Herpes zoster ophthalmicus. Diakses dari
www.optometry.co.uk. November 16, 2001.
9. Maria M Diaz. Herpes zoster ophthalmicus. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article . Disember 10 , 2009.
10. Web MD. Herpes of the eye. Diakses dari
http://www.medicinenet.com/herpeseye/. November 2009.
11. Shaikh S. Evaluation and management of herpes zoster. Diakses dari:
www.aafp.org. November 1, 2002.
12. Jawetz at all. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta : EGC ; 2008. Hal.
458-450.
13. Kansky, Jack J. Clinical Opthalmology : a systemic approach. 7th ed. Elsevier.
2011
23
14. Gerstenblith, Adam T. The Wills Eye Manual. 6th ed. Lippincott Williams and
Wilkins. 2012
24