LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO 3 BLOK PEDIATRI
“ANAKKU BERAK CAIR DAN LEMAS”
KELOMPOK 13
Anton Giri Mahendra G0012022
Nadira As’ad G0012144
Prima Canina G0012164
Mahardika Frityatama G0012124
Reza Satria H.S. G0012178
Rima Aghnia P.S. G0012186
Febimilany Riadloh G0012078
Ika Mar’atul Kumala G0012094
Farrah Putri Amalia G0012026
Atika Iffa Syakira G0012034
Syayma Karimah
Maestro Rahmandika
G0012218
G0011130
TUTOR: dr. Zulaika Nur Afifah, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
SKENARIO 3 BLOK PEDIATRI
BAB I
“ANAKKU BERAK CAIR DAN LEMAS”
Pasien laki-laki, usia 1,5 tahun dibawa ibunya ke IGD RS dengan keluhan
mencret sejak kemarin ±4 kali/hari, tinja cair kekuningan, disertai muntah (+)
lebih dari 5x/hari sebanyak ¼ gelas aqua berisi makanan dan minuman. Pasien
tampak lemas, rewel. Pemeriksaan fisik: mata cowong, air mata berkurang,
mukosa mulut kering, turgor kembali lambat, nadi: 110x/menit, pernapasan:
36x/menit, suhu: 37,2°C peraksila. Dokter kemudian memberi infus dan
memberikan pengawasan agar kondisi pasien tidak memburuk.
BAB II
DISKUSI & STUDI PUSTAKA
JUMP I: Klarifikasi Istilah dan Konsep
1. Mencret/diare: peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih
lunak daripada biasanya dengan frekuensi >3x/hari atau >10
gram/kgBB/24 jam.
2. Tinja cair kekuningan: konsistensi yang lebih cair terjadi karena absorpsi
air meningkat sehingga dikeluarkan dalam bentuk cair. Warna kuning bisa
disebabkan karena virus/bakteri.
3. Muntah: kejadian berurutan yang menyebabkan pengosongan secara cepat
melalui mulut. Disebabkan karena menurunnya diafragma; konstriksi dari
otot perut; reaksi cardia.
4. Mata cowong; mata cekung karena produksi vitreous humor berkurang.
Biasanya terjadi pada anak-anak yang mengalami dehidrasi sedang/berat
atau anak dengan gizi buruk.
5. Air mata berkurang: tanda dehidrasi ringan/sedang.
6. Mukosa mulut kering: tanda dehidrasi pada anak yang terjadi karena
peningkatan napas .
7. Turgor kembali lambat: hasil pemeriksaan elastisitas kulit, dengan tanda
jaringan yang kembali >3 detik.
8. Infus: pemberian terapi melalui intravena, sehingga tanpa absorpsi melalui
GIT dan lebih cepat. Biasanya digunakan sebagai terapi pengganti cairan.
JUMP II: Menetapkan/ mendefinisikan Masalah
1. Mengapa bisa terjadi diare >4x sehari sejak kemarin? Apa sajakah jenis-
jenis diare? Apa penyebabnya? Bagaimana cara penularan, terapi,
manifestasi, komplikasi serta tatalaksananya?
2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dari pasien anak tersebut?
Bagaimana patofsiologi dan hubungannya dengan diare?
3. Apakah ada pengaruh umur dengan keluhan?
4. Apakah hubungan pasien diare dengan muntah? Bagaimana
patofisiologinya? Bagaimana membedakan muntah dengan
refluks/regurgitasi?
5. Mengapa dokter memberikan infus dan apa kandungannya?
6. Apa saja diagnosis banding dari kasus tersebut?
7. Bagaimana klasifikasi, komplikasi, tatalaksana dan pencegahan dehidrasi?
8. Berapakah kebutuhan cairan anak/kgBB?
JUMP III: Analisis Masalah
1. Jenis-jenis diare:
A. Berdasarkan patogenesisnya:
a) Disentri: volume sedikit; biasanya diare berisi tinja, darah,
dan mukus; sering terjadi tenesmus.
b) Diare sekretorik: terjadi karena bahan-bahan yang
menginduksi sekret misalnya toksin kolera. Biasanya berair
dan volumenya banyak, dan keluar terus.
c) Diare osmotik : terjadi karena bahan makanan yang tidak
dapat diabsorpsi dengan baik (misal: Mg, P) atau terjadi
gangguan di usus halus. Diare jenis ini akan berhenti
apabila pasien dipuasakan.
d) Gangguan motilitas usus: terjadi karena infeksi bakteri.
e) Malabsorpsi asam empedu dan lemak : terjadi karena
penyakit saluran bilier dan hati.
f) Defek sistim transport elektrolit dan enterosit
g) Gangguan permeabilitas usus : gangguan morfologis epitel
usus halus
h) Inflammasi, pada usus halus dan kolon yang kehilangan sel
epitel dan tight junction.
i) Infeksi
- Bakteri (paling sering), dapat bersifat invasif (Shigella,
Salmonella) ataupun non-invasif (E. Coli, Vibrio sp.)
- Virus : rotavirus, adenovirus, Norwalk virus.
- Parasit : protozoa (E. Hystolitica, G. Lamblia,
Balantidium coli)
- Cacing : askaris, trikuris, strongylodeus
- Jamur : kandida
j) Imunodefisiensi
k) Psikologis
B. Berdasarkan Waktunya
a) Akut apabila diare <14 hari dengan konsistensi tinja
lunak/cair tanpa darah, bisa disertai dengan muntah atau
demam.
b) Kronis apabila diare >14 hari dengan berat badan yang
turun atau tidak bertambah.
C. Berdasarkan Tingkatan
Dengan syarat harus memenuhi minimal 2 dari tiap kriterianya.
a) Diare Dengan Dehidrasi Berat
- Mengantuk/tidak sadar/lemas
- Mata cowong
- Turgor kembali lambat
b) Dengan Dehidrasi Ringan/Sedang
- Rewel/gelisah
- Merasa sering haus
- Mata cowong
- Turgor kembali lambat
c) Diare Tanpa Dehidrasi
- Mata cowong atau turgor kembali lambat
- Tidak rewel
d) Persisten, apabila diare akut namun berlanjut >14 hari.
Manifestasi Diare:
- Diare, kram perut, muntah, demam
- Dehidrasi (isotonik, hipertonik, hipotonik), asidosis
metabolik, hipovolemia)
Cara Penularan Diare:
Melalui 5F (feces, flies, food, fluid, finger)
Faktor Risiko Diare
a) Perilaku
b) Lingkungan
c) Malnutrisi
d) Campak
e) Imunodefisiensi
2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik
Nadi 110x/menit (borderline, normalnya 70-110 x / menit pada
anak usia 1-3 tahun)
Pada kasus dehidrasi, maka preload berkurang dan sebagai
kompensasinya jantung bekerja lebih cepat untuk
mempertahankan volume sekuncup.
Suhu tubuh pasien 37,2°C bisa diinterpretasikan sebagai suhu
borderline antara normal dan subfebris. Hal ini menyingkirkan
diagnosis banding infeksi bakteri.
RR 36x/menit untuk usia pasien yang 1,5 tahun adalah normal.
Turgor kembali lambat menandakan adanya dehidrasi
ringan/sedang atau berat. Klasifikasi turgor kembali lambat adaah
apabila cubitan pada kulit kembali >2 detik.
Muntah 5x / hari sebanyak ¼ gelas aqua berisi makanan dan
minuman mengindikasikan adanya infeksi pada mukosa lambung
ataupun usus, mengakibatkan anak tidak bisa mencerna makanan
dengan baik
Pasien lemas, rewel, mata cowong, air mata berkurang, mukosa
mulut kering merupakan tanda-tanda dehidrasi sedang.
3. Klasifikasi Dehidrasi
JUMP IV: menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan yang
didapatkan pada langkah III
Pasien laki-laki, 1,5th
Gx klinis:- Mencret 1hr yll- Tinja cair kekuningan- Muntah (+) >5x/menit,
V=1/4 gelas aqua isi makanan&minuman
- Lemas- rewel
Px fisik:- Mata cowong- Air mata berkurang- Mukosa mulut kering- Turgor kembali lambat- Nadi 110x/menit- T= 37,2°C- RR 36x/ment
IGD
REHIDRASI
DDx
Diagnosis
Tatalaksana
Komplikasi
JUMP V: Merumuskan Sasaran Pembelajaran
1. Komplikasi, dan tatalaksana diare.
2. Pengaruh umur dengan keluhan berdasarkan epidemiologinya.
3. Hubungan pasien diare dengan muntah berikut serta patofisiologi muntah
dan perbedaannya dengan refluks/regurgitasi.
4. Alasan dokter memberi infus dan cairan yang digunakan.
5. Tatalaksana, komplikasi, dan pencegahan dehidrasi.
6. Diagnosis banding penyakit pada pasien.
7. Kebutuhan cairan anak/kgBB.
JUMP VI: Mencari LO yang Sudah Ditentukan untuk Pertemuan Berikutnya
JUMP VII: Melakukan Sintesis dan Pengujian Informasi-informasi yang Telah
Terkumpul
DIARE
A. Epidemiologi Diare
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan
mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh
Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat
kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/
1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun
2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi
411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di
69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang
(CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah
kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan
tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita
4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %).
Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%),
tertinggi di Provinsi NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta
(4,2%). Beberapa provinsi mempunyai prevalensi diare klinis >9%
(NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua) yang
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok
umur dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun)
yaitu 16,7%. Sedangkan menurut jenis kelamin prevalensi laki-laki dan
perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada
perempuan. Prevalensi diare menurut kelompok umur dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:
Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare
merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%.
Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab
kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumonia. Hal tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Juga didapatkan bahwa penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11
bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia (23,8%).
Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan),
terbanyak adalah diare (25,2%) dan pnemonia (15,5%).
Pada SDKI tahun 2007 dibahas mengenai prevalensi dan
pengobatan penyakit pada anak. SDKI mengumpulkan data beberapa
penyakit infeksi utama pada anak umur di bawah lima tahun (balita),
seperti infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), pneumonia, diare, dan
gejala demam.
Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare
dalam waktu dua minggu sebelum survei, 3% lebih tinggi dari temuan
SDKI 2002-2003 (11 persen). Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak
umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan dan umur 23-45 bulan seperti
pada Gambar 5. Dengan demikian seperti yang diprediksi, diare banyak
diderita oleh kelompok umur 6-35 bulan karena anak mulai aktif bermain
dan berisiko terkena infeksi.
Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%)
dibandingkan dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi pada
balita di perdesaan (14,9%) dibandingkan dengan perkotaan (12,0%).
Bila dihubungkan dengan skenario, umur pasien (1,5 tahun) dan
gender pasien (Laki-laki) sesuai untuk masuk dalam golongan umur dan
gender dengan prevalensi paling banyak terserang diare di Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan bahwa rentang umur 6-35 bulan merupakan
waktu dimana anak mulai aktif bermain sehingga risiko tekena infeksi
semakin meningkat.
B. Klasifikasi Diare
Berdasarkan patofisiologi penyebab diare:
a. Diare sekresi
Disebabkan oleh infeksi virus, kuman pathogen, dan apatogen, bahan
kimia yang menimbulkan hiperperistaltik usus, gangguan psikis, gangguan
saraf, hawa dingin, alergi, dan defisiensi imun terutama IgA sekretorik.
b. Diare osmotik
Disebabkan oleh malabsorbsi makanan, kurangnya kalori protein (KKP),
atau BBLR dan bayi baru lahir.
Berdasarkan lamanya diare:
a. Diare akut
Defekasi encer lebih dari 3x sehari dengan/tanpa darah dan/atau lender
dalam tinja, berlangsung mendadak kurang dari 7 hari pada anak yang
sebelumnya sehat.
b. Diare kronis
Diare akut yang berlangsung lebih dari 7 hari
Beberapa macam diare:
a. Diare cair akut
Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari).
Pengeluaran tinja yang lunak atau cair yang sering dan tanpa darah,
mungkin disertai muntah dan panas. Akibat diare akut adalah dehidrasi,
sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita
diare.
b. Disentri
Diare yang disertai darah dengan atau tanpa lendir dalam tinjanya.Akibat
disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, kerusakan
mukosa usus karena bakteri invasif
c. Diare persisten
Diare yang mula-mula bersifat akut namun berlangsung lebih dari 14 hari.
Episode ini dapat dimulai sebagai diare cair atau disentri. Akibat diare
persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
d. Diare dengan masalah lain
Anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga
disertai dengan penyakit lain seperti demam, gangguan gizi, atau penyakit
lainnya. Tatalaksana penderita diare ini berdasarkan acuan baku diare dan
tergantung juga pada penyakit yang menyertainya.
Diare Berdasarkan Tingkat Dehidrasi
Rencana Terapi A untuk Diare Tanpa Dehidrasi
Bawa anak kepada petugas kesehatan kembali apabila kondisi anak tidak
membaik dalam 3 hari atau menderita sebagai berikut :
- BAB cair sering sekali
- Muntah berulang-ulang
- Sangat haus sekali
- Makan atau minum sedikit
- Demam
- Tinja berdarah
Rencana Terapi B untuk Diare dengan Dehidrasi Ringan/Sedang
Rencana Terapi C untuk Diare dengan Dehidrasi Berat
C. Komplikasi Diare secara Umum
- Kehilangan air dan elektrolit yang menyebabkan dehidrasi,
hipokalemia, asidosis metabolik, kejang, alkalosis metabolik
- Gangguan sirkulasi darah, yang paling parah dapat terjadi Syok
hipovolemik
- Gangguan gizi yang mengakibatkan hipoglikemia, malnutrisi
energi protein, ntolerasi laktosa sekunder (akibat kerusakan villi
dan defisiensi enzim lactase)
DEHIDRASI
Dehidrasi adalah suatu kondisi tubuh yang abnormal di mana sel-sel tubuh
kekurangan cairan. Otot, organ, dan jaringan di dalam tubuh terdiri dari 70% air,
dan air juga sangat penting untuk berbagai proses tubuh.
Dehidrasi akan mengakibatkan banyak masalah dan gangguan bagi tubuh,
seperti gangguan dalam pembuangan toksin (racun), pengiriman nutrisi dan
oksigen ke sel-sel tubuh, produksi energi, dan pelumasan sendi. Dehidrasi berat
akan mempengaruhi sistem tubuh, dan juga dapat mempengaruhi keseimbangan
elektrolit. Sementara natrium dan kalium adalah elektrolit yang berperan besar
dalam proses-proses kritis tubuh, seperti untuk kenormalan fungsi otot dan irama
jantung. Dehidrasi berat bisa berkomplikasi serius dan mengancam jiwa, seperti
syok, koma bahkan kematian.
Dehidrasi dikategorikan menjadi tiga: ringan, sedang dan berat. Yang
mana ketiganya dikategorikan berdasarkan jumlah cairan yang hilang di dalam
tubuh. Dehidrasi sedang hingga berat bisa berubah menjadi kondisi darurat yang
mengancam jiwa. Bayi, anak-anak, atlet dan orang yang berusia lanjut sangat
rentan terhadap dehidrasi dan komplikasinya, meskipun dehidrasi dialami semua
kelompok usia.
Gejala Dehidrasi
Gejala dehidrasi meliputi:
Bibir dan lidah kering
Kulit kering
Sakit kepala ringan
Kurang atau tidak buang air kecil
Haus.
Jika cepat mendapatkan perawatan, dehidrasi sedang hingga berat bisa menjadi
serius dan mengancam jiwa seseorang. Dehidrasi juga bisa merupakan gejala dari
kondisi serius lain yang mendasarinya, seperti diabetes Tipe I atau gagal ginjal.
Segeralah minta bantuan medis jika seseorang mengalami salah satu atau
beberapa gejala berikut ini:
Tingkat kesadaran atau kewaspadaan menurun
Nyeri atau perasaan tidak nyaman pada dada (palpitasi)
Bingung
Pusing
Bayi tidak bisa atau tidak merespon makanan
Sedikit air mata saat menangis, terutama pada bayi
Kelemahan atau kram otot
Mual dan muntah
Tidak buang air kecil, atau air seni berwarna kuning gelap, coklat atau
berwarna teh
Mata cekung
Ubun-ubun cekung (titik lembut pada kepala bayi)
Bayi terlihat lemah.
Penyebab Dehidrasi
Dehidrasi dapat disebabkan karena kurangnya minum air atau cairan.
Dehidrasi juga bisa merupakan dampak dari suatu kondisi yang menyebabkan
tubuh kehilangan banyak cairan, seperti diare yang berlebihan, luka bakar serius,
demam, dan berada di elevasi (ketinggian tanah) tinggi. Dehidrasi juga merupakan
gejala dari beberapa penyakit, gangguan atau kondisi yang mendasarinya, seperti
defisiensi aldosteron (hormon yang diproduksi kelenjar adrenal), diabetes Tipe I,
dan gagal ginjal.
Minum air sejatinya adalah untuk mengganti cairan yang hilang karena
aktivitas sehari-hari atau karena fungsi normal tubuh, seperti hilangnya
kelembaban karena proses pernapasan, kemih dan berkeringat. Cairan dalam
tubuh bisa hilang karena beberapa kondisi berikut:
Mengonsumsi alkohol dan intoksikasi (keracunan)
Suhu/cuaca yang sangat panas
Olahraga yang menyebabkan keringat banyak keluar, seperti maraton dan sepakbola
Perdarahan
Berada di elevasi tinggi
Tingkat kelembaban rendah.
Dehidrasi juga bisa disebabkan karena suatu kondisi yang menyebabkan
hilangnya banyak cairan karena terlalu sering berkemih, kondisi-kondisi itu antara
lain:
Diabetes
Ketoasidosis diabetik
Hyperosmolar hyperglycemic nonketotic syndrome (HHNS)
Pengobatan dengan obat diuretik seperti furosemide (Lasix).
Juga banyak kondisi atau gangguan kesehatan yang dapat menyebabkan
dehidrasi karena muntah atau diare. Beberapa kondisi tersebut antara lain:
Infeksi bakteri atau virus pada saluran pencernaan, seperti keracunan
makanan ataugastroenteritis
Gangguan makan (bulimia atau anoreksia)
Gastroesophageal reflux disease (GERD)
Radang usus (termasuk penyakit Crohn dan kolitis ulserativa)
Influenza
Morning sickness selama kehamilan.
Faktor Risiko Dehidrasi
Para ahli kesehatan telah mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat
membuat seseorang rentan terkena dehidrasi. Faktor-faktor risiko tersebut adalah:
Berusia lanjut (lebih dari 65 tahun)
Diabetes
Diare, demam atau muntah
Penyakit, gangguan atau kondisi kesehatan yang membuat pengeluaran
urin menjadi berlebih, seperti diabetes
Penggunaan narkoba
Anak-anak usia enam tahun ke bawah.
Untuk menurunkan risiko terkena dehidrasi, seseorang harus cukup minum air
atau hidrasi yang baik. Pada umumnya, dehidrasi dapat dicegah dengan minum air
sekitar 8 gelas per hari. Jika Anda memiliki suatu penyakit, gangguan atau kondisi
yang menyebabkan Anda kehilangan banyak cairan, segeralah minta bantuan
medis dan taati perawatannya.
Komplikasi dehidrasi
Komplikasi terkait dehidrasi dapat berbeda-beda dan bersifat progesif, hal ini
tergantung dari penyebab yang mendasarinya. Karena dehidrasi dapat disebabkan
oleh penyakit serius, tidak adanya pengobatan akan mengakibatkan komplikasi
menjadi lebih serius dan menyebabkan kerusakan permanen. Jadi sangat penting
bagi penderita dehidrasi sedang hingga berat untuk mendapatkan bantuan medis.
Setelah penyebab dehidrasi yang mendasarinya sudah ditemukan, taati rencana
pengobatannya demi menurunkan risiko komplikasi potensial seperti di bawah ini:
Kerusakan otak
Aritmia jantung (irama jantung abnormal)
Koma
Ketidakseimbangan elektrolit
Gagal ginjal
Syok
Pengobatan Dehidrasi
Langkah pertama untuk mengatasi dehidrasi adalah dengan mencegahnya.
Untuk orang dewasa, minumlah minimal 8 gelas air setiap hari. Pada sebagian
orang, kebutuhan minum air akan lebih besar, seperti pada atlet atau orang-orang
yang tinggal di dataran tinggi atau di tempat yang bersuhu tinggi dan beriklim
kering. Untuk para atlet, sangat disarankan untk mengonsumsi minuman
elektrolit.
Ketika dehidrasi sudah berkembang, pengobatan yang tepat akan
memberikan hasil yang baik, sekaligus meminimalisir kemungkinan komplikasi
yang serius. Pengobatan dehidrasi akan tergantung dari penyebab, adanya
penyakit lain, usia dan beberapa faktor lainnya.
Pengobatan dehidrasi ringan
Dehidrasi ringan dapat diatasi dengan minum cairan sedikit-sedikit namun
dengan interval yang pendek (sering). Untuk bayi dan anak-anak yang muntah
atau diare, berikan rehidrasi oral seperti oralit, yang mana oralit juga sangat
dianjurkan ketika terjadi muntah dan diare. Semua minuman yang
mengandung kafein, seperti kopi dan minuman soda harus dihindari. Kafein akan
memperburuk dehidrasi karena menyebabkan peningkatan potensi buang air kecil.
Pengobatan dehidrasi sedang hingga berat
Dehidrasi sedang hingga berat biasanya membutuhkan rawat inap dan
perawatan intensif di rumah sakit. Cairan intravena diberikan berikut penggantian
cairan elektrolit. Elektrolit dan parameter penting lainnya, seperti tanda-tanda vital
harus dipantau secara kontinyu. Untuk kasus dehidrasi yang komplikasinya
sampai mengancam jiwa seperti gagal ginjal dan syok hipovolemik, maka
diperlukan tindakan-tindakan penunjang kehidupan.
KEBUTUHAN TERAPI CAIRAN
Pedoman Tatalaksana diare akut berdasarkan derajat dehidrasi
Derajat dehidrasi :
% defisit cairan
Rehidrasi Penggantian cairan
Tanpa dehidrasi
(<5 % BB)
Tidak perlu 10 ml/kg tiap diare
2-5 ml/kg tiap muntah
Ringan-sedang
(5%-10% BB)
CRO (cairan rehidrasi oral)
75 ml/kgBB/3 jam
Idem
Berat Cairan intravena : Idem
(>10% BB) Untuk anak <12 bulan :
30ml/kgBB/1 jam
dilanjutkan dengan
70ml/kgBB/3 jam
Setelah masa rehidrasi selesai, dimulai terapi cairan rumatan/maintenance:
Berat badan (kg) Volume per hari Kecepatan per jam
0-10 100 ml/kg 4 ml/kg/jam
11-20 1.000 ml + 50 ml/kg untuk setiap 1
kg > 10 kg
40 ml/jam + 2 ml/kg/jam x (BB-10)
>20 1.500 ml + 20 ml/kg untuk setiap 1
kg > 20 kg*
60 ml/jam + 1 ml/kg/jam x (BB-20)**
*total cairan maksimal per hari 2.400 ml
**kecepatan pemberian cairan maksimal 100 ml/jam
MUNTAH PADA ANAK
Muntah didefnisikan sebagai keluarnya isi lambung sampai ke mulut
dengan paksa atau dengan kekuatan. Mual dan muntah merupakan gejala yang
umum dari gangguan fungsional saluran cerna, keduanya berfungsi sebagai
perlindungan melawan toksin yang tidak sengaja tertelan. Muntah dapat
merupakan usaha mengeluarkan racun dari saluran cerna atas seperti halnya diare
pada saluran cerna bawah (neurogastrenterologi). Mual adalah suatu respon yang
berasal dari respon penolakan yang dapat ditimbulkan oleh rasa, cahaya, atau
penciuman.
Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan karena
memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah terjadi bila terdapat
rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre), suatu pusat kendali di medulla
berdekatan dengan pusat pernapasan atau Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di
area postrema pada lantai ventrikel keempat Susunan Saraf. Koordinasi pusat
muntah dapat diransang melalui berbagai jaras. Muntah dapat terjadi karena
tekanan psikologis melalui jaras yang korteks serebri dan system limbic menuju
pusat muntah (VC). Pencegahan muntah mungkin dapat melalui mekanisme ini.
Muntah terjadi jika pusat muntah terangsang melalui vestibular atau sistim
vestibuloserebellar dari labirint di dalam telinga. Rangsangan bahan kimia melalui
darah atau cairan otak (LCS) akan terdeteksi oleh CTZ.
Mekanisme ini menjadi target dari banyak obat anti emetik. Nervus vagus
dan visceral merupakan jaras keempat yang dapat menstimulasi muntah melalui
iritasi saluran cerna disertai saluran cerna dan pengosongan lambung yang lambat.
Sekali pusat muntah terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan
menyebabkan timbulnya muntah. Muntah merupakan perilaku yang komplek, di
mana pada manusia muntah terdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea (mual),
retching dan pengeluaran isi lambung. Ada 2 regio anatomi di medulla yang
mengontrol muntah, 1) chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan 2) central vomiting
centre (CVC). CTZ yang terletak di area postrema pada dasar ujung caudal
ventrikel IV di luar blood brain barrier (sawar otak). Reseptor di daerah ini
diaktivasi oleh bahan-bahan proemetik di dalam sirkulasi darah atau di cairan
cerebrospinal (CSF). Eferen dari CTZ dikirim ke CVC selanjutnya terjadi
serangkaian kejadian yang dimulai melalui vagal eferanspanchnic. CVC terletak
di nucleus tractus solitaries dan di sekitar formation retikularis medulla tepat di
bawah CTZ. CTZ mengandung reseptor reseptor untuk bermacam-macam sinyal
neuroaktif yang dapat menyebabkan muntah. Reseptor untuk dopamine titik
tangkap kerja dari apomorphine acethylcholine, vasopressine, enkephalin,
angiotensin, insulin, endhorphine, substance P, dan mediator-mediator yang lain.
Mediator adenosine 3’,5’ cyclic monophosphate (cyclic-AMP) mungkin terlibat
dalam respon eksitasi untuk semua peptida. Stimulator oleh theophyline dapat
menghambat aktivitas proemetik dari bahan neuropeptic tersebut.
Emesis sebagai respons terhadap gastrointestinal iritan misalnya sopper,
radiasi abdomen, dilatasi gastrointestinal adalah sebagai akibat dari signal aferan
vagal ke central patter generator yang dipicu oleh pelepasan local mediator
inflamasi, dari mukosa yang rusak, dengan pelepasan sekunder neurotransmitters
eksitasi yang paling penting adalah serotonin dari sel entrochromaffin mukosa.
Pada mabuk (motion sickness), signal aferen ke central patter generator berasal
dari organ vestibular, visual cortex, dan cortical centre yang lebih tinggi sebagai
sensory input yang terintegrasi lebih penting daripada aferen dari gastrointestinal .
Rangsangan muntah berasal dari gastrointestinal, vestibule ocular, aferen cortical
yang lebih tinggi, yang menuju CVC dan kemudian dimulai nausea, retching,
ekpulsi isi lambung. Gejala gastrointestinal meliputi peristaltik, salvias, takhipnea,
tachikardia.
MACAM-MACAM CAIRAN INFUS
cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan
ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik)
untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus
adalah:
1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen
darah)
2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen
darah)
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha)
(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
4. “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi)
5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)
6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan
tubuh dan komponen darah)
Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:
1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena
langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus
infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan
keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering
terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan
pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa
melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut)
pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama
efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari
segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya
perawatan.
2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam
sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan
aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar,
sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga
sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam
pembuluh darah langsung.
3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat
menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti
ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal
(anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan
intramuskular (disuntikkan di otot).
4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan
melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena).
Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada
orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada
penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk
pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa
banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu
mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral
Venous Cannulation)
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam
jumlah terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya
pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus
intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan
pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko
dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum
pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur
infus.
Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh
Darah Vena
1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan
infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada
tindakan hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang
aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:
1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat
pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat
penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan”
berulang pada pembuluh darah.
2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan
pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh
darah.
3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi
akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi
akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh
darah.
Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus:
• Rasa perih/sakit
• Reaksi alergi
Jenis Cairan Infus:
1. Cairan hipotonik:
osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih
rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan
osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke
jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke
osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada
keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis)
dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)
dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan
kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
1. Cairan Isotonik:
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari
komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat
pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga
tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan
cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam
fisiologis (NaCl 0,9%).
1. Cairan hipertonik:
osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan
elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan
tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).
Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%,
NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%,
produk darah (darah), dan albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
1. Kristaloid:
bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume
expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna
pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam
fisiologis.
1. Koloid:
ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari
membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya
hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah
albumin dan steroid.
JENIS-JENIS CAIRAN INFUS
ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut,
demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat,
trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:
Na 130 mEq
K 4 mEq
Cl 109 mEq
Ca 3 mEq
Asetat (garam) 28 mEq
Keunggulan:
1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien
yang mengalami gangguan hati
2. Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis
laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus
3. Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral
pada anestesi dengan isofluran
4. Mempunyai efek vasodilator
5. Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml
pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus
sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral
KA-EN 1B
Indikasi:
1. Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal
pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai,
demam)
2. < 24 jam pasca operasi
3. Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan
sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak
4. Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari
100 ml/jam
KA-EN 3A & KA-EN 3B
Indikasi:
1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan
elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi
harian, pada keadaan asupan oral terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
3. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A
4. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B
KA-EN MG3
Indikasi :
1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan
elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi
harian, pada keadaan asupan oral terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
3. Mensuplai kalium 20 mEq/L
4. Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L
KA-EN 4A
Indikasi :
1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak
2. Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan
berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal
3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi (per 1000 ml):
Na 30 mEq/L
K 0 mEq/L
Cl 20 mEq/L
Laktat 10 mEq/L
Glukosa 40 gr/L
KA-EN 4B
Indikasi:
1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun
2. Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko
hipokalemia
3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi:
1.
o Na 30 mEq/L
o K 8 mEq/L
o Cl 28 mEq/L
o Laktat 10 mEq/L
o Glukosa 37,5 gr/L
Otsu-NS
Indikasi:
1. Untuk resusitasi
2. Kehilangan Na > Cl, misal diare
3. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum,
insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)
Otsu-RL
Indikasi:
1. Resusitasi
2. Suplai ion bikarbonat
3. Asidosis metabolik
MARTOS-10
Indikasi:
1. Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita diabetik
2. Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor,
infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein
3. Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam
4. Mengandung 400 kcal/L
AMIPAREN
Indikasi:
1. Stres metabolik berat
2. Luka bakar
3. Infeksi berat
4. Kwasiokor
5. Pasca operasi
6. Total Parenteral Nutrition
7. Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit
AMINOVEL-600
Indikasi:
1. Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI
2. Penderita GI yang dipuasakan
3. Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca
operasi)
4. Stres metabolik sedang
5. Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)
PAN-AMIN G
Indikasi:
1. Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan
2. Nitrisi dini pasca operasi
3. Tifoid
BAB III
KESIMPULAN
Kasus pada skenario yaitu pasien laki-laki berusia 1,5 tahun datang dibawa
ibunya ke RS dengan keluhan mencret sejak satu hari yang lalu ±4 kali/hari, tinja
cair kekuningan, disertai muntah (+) lebih dari 5x/hari sebanyak ¼ gelas aqua
berisi makanan dan minuman. Hasil dari anamnesis mengindikasikan pasien
terkena diare dengan penyebab virus, kemungkinan besar karena Rotavirus, dilihat
dari warna diare yang kuning. Diagnosis banding diare karena bakteri
disingkirkan karena tidak timbul febris.
Hasil dari pemeriksaan fisik anak didapatkan mata cowong, air mata
berkurang, mukosa mulut kering, turgor kembali lambat, nadi : 110x/menit,
pernafasan 36x/menit, suhu 37,2°C per aksila. Hal ini menandakan bahwa anak
menderita dehidrasi ringan/sedang.
Maka dapat kami simpulkan bahwa pasien mengalami diare akut karena
virus dengan dehidrasi ringan/sedang. Dan selanjutnya penanganan dokter yang
memberikan infus untuk mencegah perburukan status pasien sudah benar, yang
dianjurkan untuk digunakan adalah cairan infus kristaloid sesuai dengan rencana
pengobatan B diare anak.
BAB IV
SARAN
Pada skenario 3 blok Pediatri ini anak mengalami diare akut karena virus
dengan dehidrasi ringan/sedang. Maka sesui dengan pedoman WHO dilakukan
tatalaksana rencana terapi B. Hal yang harus diperhatikan adalah mencegah
prognosis buruk dehidrasi, sehingga dilakukan terapi cairan utama dan rumatan,
serta menjaga asupan nutrisi dan higiene, seperti pentingnya mencuci tangan dan
penggunaan air bersih agar penyakit serupa tidak terulang.
Pada diskusi tutorial yang dilaksanakan telah berjalan dengan lancar. Tutor
membimbing anggota kelompok agar aktif dalam menyampaikan pengetahuan
yang telah dipelajari, khusunya tentang gastroenterotitis. Anggota kelompok
semuanya aktif dalam mengemukakan pendapat, sehingga learning objektif pada
skenario 3 blok Pediatri ini bisa tercapai. Selanjutnya mahasiswa diharapkan
untuk proaktif dalam menggali informasi tentang gastroenterotitis dan gangguan
pencernaan lainnya pada anak, di luar dari diskusi tutorial.
DAFTAR PUSTAKA
Staf Pengajar IKA FK-UI. 2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Agrawal S (2008). Normal vital signs for children : heart rate, respirations, temperature, and blood pressure. Philadelphia : Complex child e-magazine
Tehuteru ES, Hegar B, Firmansyah A (2001). Pola defekasi pada anak. Sari pediatri. 3 (3) : 129-133
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak (2007). Buku kuliah ilmu kesehatan anak.
Jakarta : Infomedika Jakarta
Depkes RI (2008). Buku bagan manajemen terpadu balita sakit (MTBS). Jakarta
Data dan Informasi Kesehatan: Situasi Diare di Indonesia,
Kementerian Kesehatan RI, 2011.
Mc Carthy PL, The Acutely Child Dalam Brehman RE, Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia : Saunders
Tierney LM Jr., Saint S, Whooley MA (Eds.) Current Essentials of Medicine (4th ed.). New York: McGraw-Hill, 2011
Dodge JA,1991; Vomiting and regurgitation. In Pediatric gastrointestinal Disease.
Durie,Hamilton, Walker smith, Watkins.Pathophysiology,
Diagnosis,Management. Ed by.Black and Decker inc.p32-41
Fitzgerald JF,Clark JH. 1988. Manual of pediatric gastroenterology. Churchill
livingstones p 25-32.
Murry KF, Christie DL. Vomiting Pediatrics in Review Vol. 19 No. 10 October
1998.
Orensteins SR,1993; Dysphagia and vomiting .In Pediatric Gastroeintestinal
Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management Edited by Willy R,
Hyams JS. WB Saunders Comp. 135-150.
Sondheimer JM, 2003; Vomiting. In Pediatric Gastrointestinal Disease 3
od.Edited by Walter, Durie, Hamilton, Walkersmith, Watkins. Black and
Decker Inc. p 97-115.
Sondheimer JM,2003; Vomiting In Pediatric Gastrointestinal Disease 3rd od.
Edited by Walter,Durie, Hmilton, Walkersmith, Watkins. Black and
Decker Inc. p 97-115.
Wood JD,Alpers DH, Andrews PL Fundamentals of neurogastroenterology Gut;
Sep1999.
Dehydration. Medline Plus, a service of the National Library of Medicine
National Institutes of Health.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000982.htm. diakses pada
Maret 2015
Dehydration. PubMed Health, a service of the NLM from the NIH.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001977/. diakses pada
Maret 2015
What is Dehydration? KidsHealth.org.
http://kidshealth.org/teen/safety/first_aid/dehydration.html. diakses pada
Maret 2015
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Buku Bagan Manajemen Balita
Terpadu Sakit (MTBS)
http://fk.uns.ac.id/static/filebagian/Buku_Panduan_Field_Lab_MTBS.pdf
diakses pada Maret 2015