Download - Keratitis Pungtata

Transcript

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN.

Nama : Tn. J

Umur : 39 tahun

Agama : Islam

Bangsa/Suku : Indonesia/Makassar

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : PNS

Tgl Pemeriksaan : 08 / 09 /2014

Alamat : Jl. Veteran Selatan

Dokter Pemeriksa : dr. M

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Penglihatan kabur pada mata sebelah kiri

Anamnesis terpimpin :

Pasien datang ke poliklinik mata BKMM dengan keluhan penglihatan kabur pada

mata sebelah kiri. Dialami sejak ± 1 minggu yang lalu. Pada mata sebelah kiri

nyeri (+), mata merah (+), fotofobia (+), silau (+), air mata berlebih (+), kotoran

(-), rasa menganjal (+), rasa berpasir (+), gatal (-), demam (-).

Riwayat memakai kacamata tidak ada

Riwayat trauma sebelumnya disangkal

Riwayat pengobatan pada mata sebelumnya disangkal

Riwayat penyakit Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal

III. STATUS GENERALISATA

Status generalis : Sakit ringan, gizi cukup, compos mentis

Status vitalis

Tekanan darah: 120/80 mmHg

Nadi : 84 kali/menit

Pernapasan : 20 kali/menit

Suhu : 36,7º C

1

Foto pasien (Okuli sinistra)

IV. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

A. INSPEKSI

No Pemeriksaan OD OS

1 Palpebra Edema (-) Edema (-)

2 Apparatus

Lakrimalis

Hiperlakrimasi (-) Hiperlakrimasi (+)

3 Silia Sekret (-) Sekret (-)

4 Konjungtiva

Hiperemis(-)

Hiperemis (+),

Injeksi konjungtiva(-),

Injeksi perikorneal (+)

5 Kornea Jernih Jernih

6 Bilik mata depan Normal Normal

7 Iris Coklat, kripte (+) Coklat, Kripte (+)

8 Pupil Bulat, sentral , RC (+) Bulat, sentral, RC (+)

9 Lensa Jernih Jernih

10 Gerakan Bola Mata Kesegala arah Kesegala arah

2

B. PALPASI

No Pemeriksaan OD OS

1 Tensi okuler Tn Tn

2 Nyeri tekan (-) (-)

3 Massa tumor (-) (-)

4 Glandula pre-

aurikuler

Tidak ada pembesaran Tidak ada

pembesaran

C. TONOMETRI : Tidak dilakukan pemeriksaan

D. VISUS : VOD = 5 / 5

: VOS = 5 / 24

E. CAMPUS VISUAL : Tidak dilakukan pemeriksaan.

F. COLOR SENSE : Tidak dilakukan pemeriksaan.

G. LIGHT SENSE : Tidak dilakukan pemeriksaan.

H. PENYINARAN OBLIK :

No Pemeriksaan OD OS

1 Konjungtiva Hiperemis (-), Hiperemis (+)

2 Kornea Jernih Tampak infiltrat putih

di permukaan

kornea di sentral

3 Bilik Mata Depan Normal Normal

4 Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

5 Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat,sentral RC (+)

6 Lensa Jernih Jernih

I. DIAFANOSKOPI : Tidak dilakukan pemeriksaan

J. OFTALMOSKOPI : Tidak dilakukan pemeriksaan

3

K. SLIT LAMP

SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD normal, iris coklat, kripte (+),

pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih

SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), kornea tampak infiltrat warna hijau di permukaan

kornea di sentral, fluorescein (+) terdapat infiltrat bentuk pungtata di sentral,

BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih

L. LABORATORIUM : Tidak dilakukan pemeriksaan

M. GONIOSKOPI : Tidak dilakukan pemeriksaan

V.RESUME

Seorang laki-laki umur 39 tahun, datang ke Poliklinik Mata BKMM dengan penglihatan

kabur pada mata sebelah kiri dialami sejak sekitar 1 minggu yang lalu, nyeri (+), mata

merah (+), fotofobia (+), silau (+), air mata berlebih (+), kotoran (-), rasa menganjal (+),

rasa berpasir (+), gatal (-), demam (-).

Pemeriksaan Oftalmologi

Visus : VOD = 5 / 5

VOS = 5 / 24

SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), inj. Konjungtiva (-), inj. perikorneal (+), kornea

tampak infiltrat di permukaan kornea, fluorescein (+) tampak infiltrat bentuk pungtata di

permukaan kornea di sentral, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat sentral

RC(+), lensa jernih.

VI. DIAGNOSIS

OS Keratitis Pungtata Superfisialis

VI. TERAPI

R/: C. polygram EDMD 4 x 1 tts (pada mata kiri/ OS )

Reephitel EDMD 6 dd 1 (pada mata kiri/OS )

Na.Diklofenak 2 x 50 mg

4

VII. PROGNOSIS

1. Quo ad vitam : Bonam

2. Quo ad sanationam : Bonam

3. Quo ad visam : Dubia et Bonam

4. Quo ad kosmeticum : Bonam

VIII. DISKUSI

Pada kasus diatas dari anamnesis didapatkan seorang laki-laki berumur 39 tahun

datang dengan keluhan penglihatan mata kiri kabur dan terasa ada pasir sejak 1

minggu yang lalu. Mata kiri terasa nyeri, silau apabila melihat cahaya, merah serta

berair. Riwayat mata merah, terdapat kotoran pada mata dan demam disangkal. Dari

anamnesis menunjukkan pasien mengalami suatu infeksi di daerah mata bahagian kiri

dengan keluhan mata merah, silau (fotofobia), berair dan penurunan visus (kabur).

Dari gejala yang timbul tersebut menunjukkan diagnosis sementara mengarah ke

diagnosis keratitis.

Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD = 5 / 5 dan VOS = 5 / 24, pemeriksaan

mata sebelah kiri ditemukan injeksi perikorneal, pemeriksaan segmen anterior

ditemukan kornea jernih di sentral dan pemeriksaan dengan fluorescein kemudian

dilihat dengan slit lamp hasilnya ditemukan bercak infiltrat berwarna hijau di

permukaan kornea pada daerah sentral. Dari pemeriksaan status lokalis ini

menunjukkan bahwa infeksi kornea dapat diklasifikasikan sesuai dengan lapisan

kornea yang terkena yaitu bagian superfisialis dan terbentuk bintik-bintik yang

terbentuk di daerah membarana Bowman. Diagnosis kerja yang ditegakkan pada

pasien tersebut adalah keratitis pungtata superfisialis.

Terapi yang diberikan yaitu tetes mata C.Polygran EDMD 4X1 yang terdiri dari

neomisin sulfat yang merupakan aminoglikosida yang memiliki efek mematikan

bakteri gram negatif dan sering digunakan sebagai profilaksis infeksi yang disebabkan

abrasi superfisial, terluka atau luka bakar, polimiksin B sulfat yang berfungsi sebagai

antibiotik yang menghambat bakteri gram negatif dan gramisidin yang merupakan

antibiotik topikal yang merupakan derivat B. Aktivitas antibiotik gramisidin terbatas

pada bakteri gram positif . Repithel EDMD 6 dd 1 untuk regenerasi dan proteksi

5

epithelium kornea, Na Diklofenak 2x50 mg yang merupakan golongan obat non

steroid dengan aktivitas anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Pasien juga

dianjurkan menggunakan pelindung mata (kaca mata hitam) untuk melindungi dari

eksposur dari luar seperti debu dan sinar ultraviolet.

6

KERATITIS PUNGTATA SUPERFISIAL

I. PENDAHULUAN

Mata bagian luar adalah bagian krusial dalam tubuh yang terpapar dengan

dunia luar. Struktur dan fungsi yang normal dari mata yang sehat terkait dengan

homeostasis dari keseluruhan tubuh sebagai proteksi terhadap lingkungan yang

dapat merugikan. Segmen anterior dari bola mata memberikan jalur masuk yang

jernih dan terlindungi sehingga cahaya dapat diproses melalui jalur visual menuju

susunan saraf pusat.1

Radang kornea (Keratitis) biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea yang

terkena seperti keratitis superfisial dan intertisial atau propunda. Keratitis dapat

disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi

alergi terhadap obat topikal dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun. Keratitis

akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelipan.2

Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus

pada permukaan kornea. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak secara

langsung pada inspeksi, akan tetapi dapat dilihat dengan mudah dengan

menggunakan slit lamp atau loup. Lesi epithelial yang terdapat keratitis pungtata

superfisial berupa kumpulan opasitas granular, abu – abu atau cromblike (seperti

remah roti) yang berbentuk bulat atau oval.3

Sekitar 25.000 dari penduduk Amerika Serikat mendapatkan infeksi

keratitis. Insiden dari keratitis mikrobial dihubungkan dengan penggunaan lensa

kontak rata-rata sebanyak 2 sampai 4 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak

dan sebanyak 10 sampai 20 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dengan

penggunaan yang berkepanjangan.4

Gambar 1: Keratitis pungtata superficial

7

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata

dibagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga

terdapat 2 bentuk kelengkungan yang berbeda.5

Bola mata dibungkus oleh 3 jaringan ikat, yaitu :

1. Sklera merupakan jaringan ikat kenyal dan memberikan bentuk pada mata,

merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera

disebut kornea yang bersifat transparan sehingga memudahkan cahaya masuk

kedalam bola mata. Kelengkungan pada kornea lebih besar dibandingkan pada

sklera.5

2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskuler, yang terdiri dari iris, korpus

siliaris dan koroid. Pada iris didapatkan pupil yang terdiri oleh 3 susunan otot

dapat mengatur jumlah sinar yang masuk kedalam mata. Otot dilatator

dipersarafi oleh simpatis sedangkan sfingter iris dan otot siliaris dipersarafi

oleh para simpatis. Otot siliaris yang terletak dibadan siliaris mengatur bentuk

lensa untuk kebutuhan akomodasi. Corpus siliaris yang menghasilkan humor

akuos yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris

dibatas kornea dan sklera.5

3. Lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan

mempunyai sususan sebanyak 10 lapis membran neurosensoris yang akan

merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik yang diteruskan ke otak.5

Gambar 2 : Anatomi Bola Mata

8

Badan kaca atau humor vitreus mengisi rongga dalam bola mata dan

bersifat gelatin yang hanya menempel pada papil saraf optik, makula dan pars

pelana. Lensa terletak dibelakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya oleh

zonula zinii. Lensa mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat

sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea. Terdapat 6 otot

penggerak bola mata dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak pada daerah

temporal atas dalam rongga orbita.5

III. ANATOMI KORNEA

Lapisan kornea5

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata,

merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan

jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.5

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola

mata disebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40

dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh kornea. Rata – rata

ketebalan kornea pada orang dewasa adalah sekitar 0,52 mm di sentral dan 0,65

mm di perifer. Diameter horizontal kornea rata – rata orang dewasa adalah 11,75

mm dan diameter vertikalnya rata – rata 10,66 mm.6

Dari anterior ke posterior, kornea memiliki 6 lapisan yang saling

berhubungan yaitu lapisan epitel (yang merupakan kelanjutan dari epitel

dikonjungtiva bulba), membrana bowman, stroma, dua`s layer, membrana

descement dan endotel.5

9

1. Epitel, terdiri atas 5 lapisan sel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, 1

lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat

mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi menjadi lapis sel sayap

dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan

sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui dermosom dan

makula ekluden, ikatan ini menghampat pengaliran air, elektrolit dan glukosa

yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat

erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.5

Epithelium kornea5

Lapisan kornea5

10

2. Membrane Bowman, terletak di bawah epitel kornea yang merupakan kolagen

yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian stroma.

Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.5

3. Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar 1

dengan lainnya, pada permukaan terlihat ayaman yang teratur sedang di bagian

perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen

memakan waktu lama yang kadang – kadang sampai 15 bulan. Stroma ini

adalah merupakan sekitar 90% dari ketebalan kornea.5

4. Dua’s layer, Lapisan baru yang telah ditemukan terletak di bagian belakang

kornea antara stroma kornea dan membran Descemetini. Meskipun tebalnya

hanya 15 mikron, seluruh kornea sekitar 550 mikron tebal atau 0.5 mm, lapisan

ini sangat keras dan cukup kuat untuk dapat menahan satu setengah sampai dua

bar tekanan.7

5. Membrane Descement, merupakan membran aseluler dan merupakan batas

belakang stroma kornea yang dihasilkan dari sel endotel dan merupakan

membran basalnya. Membrane ini bersifat sangat elastic dan berkembang terus

seumur hidup.5

6. Endotel, terdiri atas 1 lapisan sel dengan bentuk hexagonal, besarnya sampai 40

– 60 mm. endotel tidak mempunyai daya regenerasi.5

Suplai darah kornea berasal dari pembuluh – pembuluh darah konjungtiva,

episklera dan sklera yang berakhir di sekitar limbus korneosklera. Kornea itu

sendiri bersifat avaskuler.7

IV. FISIOLOGI KORNEA

Fungsi utama kornea adalah sebagai membrana protektif dan sebuah

“jendela” yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea

dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang

sifat deturgescencenya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis

special dari komponen – komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing –

masing fibril kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang kecil (300

A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan

pemisahan dan regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya

dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence di jaga

11

dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barbier dari epitel dan

endotel. Kornea di jaga agar tetap berada pada keadaan “basah” dengan kada air

sebanyak 78%.7,8

Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang

sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25

dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74%

dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada

kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi fisus

seseorang.9

Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea

sangat lah sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui

membrana bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial serta

tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral

kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.7

Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.

Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.

Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau

keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan

menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan

bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter

(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan

kepada kemungkinan adanya cedera kornea.10

Innervasi kornea7

12

Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan

struktur jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti

penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)

diperoleh dari 3 sumber, yaitu :10

Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya

Difusi dari humor aquous

Difusi dari film air mata

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap

lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan

kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang

terdapat pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.5

V. PATOFISIOLOGI

Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya

inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry

eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan

penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.10

Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh

lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa

mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks

berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang

membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi

secara cepat dan lengkap.10

Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya

mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma

yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi

dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.

Sreptokokus pneumonia adalah merupakan patogen kornea bakterial, patogen-

patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang

immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.8

Ketika patogen telah menginvasi jaringan melalui lesi kornea superfisial,

beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu lesi pada kornea, patogen akan

13

menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea dan antibodi akan menginfiltrasi

lokasi invasi patogen. Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan

titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran

infiltrasi kornea, iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa

pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan). Patogen akan

menginvasi seluruh kornea, hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat

pada membarana descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan

descematocele yang dimana hanya membarana descement yang intak.

Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement

terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate dan

merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan

gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan menjadi lunak.

Penyakit ini dapat mengikuti suatu penyakit mata lainnya maupun penyakit

sistemik, seperti :2

Kelainan lokal seperti pada inspeksi adenovirus, herpes, moluskum , alergi,

keracunan obat miotika, penyakit new castle dan dapat ditemukan bersama -

sama dengan folikel.

Kelainan sistemik yang menyertai infeksi saluran pernafasan bagian atas

seperti yang disebabkan herpes simpleks dan adenovirus, artritis, penyakit

saluran kemih, penyakit saluran pencernaan seperti pemfigoid.

VI. KLASIFIKASI

Keratitis dapat dibagi berdasarkan :

1. LESI KORNEA

Keratitis epithelial

Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis,

dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat

(misalnya pada keratitis pungtata superfisialis). Perubahan pada epitel sangat

bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil,

pembuntukan filament, keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesi-lesi itu juga

bervariasi lokasinya pada kornea. Semua variasi ini mempunyai makna

diagnostic yang penting dan pemeriksaan biomikroskopik dengan dan tanpa

14

pulasan fluorosein yang merupakan bagian dari setiap pemeriksaan mata

bagian luar.5

Keratitis Stroma

Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang

menunjukkan akumulasi sel – sel radang; edema muncul sebagai penebalan

kornea, pengkeruhan atau parut; penipisan dan perlunakan, yang dapat

berakibat perforasi; dan vaskulasrisasi. Pada respon ini kurang spesifik bagi

penyakit ini, tidak seperti pada keratitis epithelial dan dokter sering harus

mengandalkan informasi klinik dan pemeriksaan labpratorium untuk

menetapkan penyebabnya.5

Keratitis Endotelial

Disfungsi endothelium kornea akan berakibat ederma kornea, yang mula –

mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari edema kornea yang

disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler, yang mulai pada epitel

kemudian stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih mungkin

dilihat kelainan morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel – sel radang

pada endotel (endapan keratik atau keratik precipitat) tidak selalu

menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga merupakan

manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat atau tidak mneyertai keratitis

stroma.5

VII. ETIOLOGI

a. Keratitis Bakterial

Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Sejumlah

bakteri yang dapat menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus epidermis,

Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, koliformis, pseudomonas dan

haemophilus.7

Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea

masih intak. Hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat penetrasi ke epitel

korea yang intak.7

15

Gejala – gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah,

lakrimasi dan sekret purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri

sedangkan keratitis virus mempunyak sekret yang berair.7

Keratitis Bakterial5

Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotik topikal

(ofloxacin dan polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan

bakteri gram negative sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui.

Immobilisasi badan siliar dan iris oleh terapi midriasis diindikasikan jika ada

iritasi intraocular. Keratitis bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes

mata ataupun salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti emergency dilakukan

jika terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.7

b. Keratitis Viral

1) Keratitis Herpes Simpleks

Keratitis akibat infeksi herpes simpleks terdapat dalam berbagai bentuk

seperti : keratitis pungtata superfilis, keratitis dendritic, keratitis profunda.

Keratitis dendritic yang disebakan oleh virus akan memberikan gambaran

spesifik berupa infiltrat pada kornea dengan bentuk seperti ranting pohon yang

bercabang-cabang dengan memberikan uji fluorescein positif nyata pada

tempat percabangan. Sensibilitas kornea nyata menurun diakibatkan karena

ujung saraf ikut terkena infeksi virus herpes simpleks. Infeksi ini biasanya

bersifat reinfeksi endogen. Infeksi primer berjalan tanpa gejala klinis atau sub

16

klinis. Virus pada infeksi primer masuk melalui akson saraf menuju ganglion

dan menetap menjadi laten. Bila penderita mengalamin penurunan daya tahan

tubuh seperti demam maka akan terjadi rekurensi.7

Gejala keratitis virus herpes simpleks sangat nyeri, fotofobia, lakrimasi

dan edema palpebra. Bentuk keratitis virus herpes simpleks dibedakan

berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea. Keratitis dendritic mempunyai

khas lesi epitel yang bercabang, sensitifitas kornea menurun dan dapat

berkembang menjadi keratitis stromal. Keratitis stromal ini mempunyai epitel

yang intak, pada pemerikasaan slitlamp menunjukkan infiltrate kornea

disirformis sentral. Sedangkan keratitis endothelium terjadi karena virus

herpes simpleks terdapat pada humor aquos yang menyebabkan

pembengkakan sel endotel. Dan sindrom nekrosis retinal akut mengenai bola

mata bagian posterior yang terlibat pada pasien imunokompromis (AIDS).7

Keratitis Herpes Simpleks7

Pengobatan dapat diberikan virustatika seperti IDU trifluoritimidin dan

asiklovir. Pemberian streroid pada penderita herpes sangat berbahaya, karena

gejala akan sangat berkurang akan tetapi proses berjalan trus karena daya

tahan tubuh yang berkurang.7

2) Keratitis Herpes Zoster

Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster

pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian

pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus

ini, maka akan memberikan keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan

pada herpes zoster akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada

mata akan terasa sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa).

17

Keratitis Herpes Zoster7

Pengobatan adalah simtomatik seperti pemberian analgetika, vitamin dan

antibiotik topical atau umum untuk mencegah infeksi sekunder.7

c. Keratitis Jamur

Patogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida albicans.

Mekanisme yang sering adalah trauma terkena bahan - bahan organic yang

mengandung jamur seperti ranting pohon. Pasien pada umumnya

mengeluhkan gejala yang sedikit. Pada inspeksi didapatkan mata merah, ulkus

yang berbatas tegas dan dapat meluas menjadi ulkus kornea serpiginuous.

Keratitis Jamur7

Pada pemeriksaan slitlamp menunjukkan infiltrate stroma yang

berwarna putih keabuan, khususnya jika penyebabnya adalah candida

albicans. Lesi – lesi yang lebih kecil berkelompok mengililingi lesi yang besar

membentuk lesi satelit. Indentifikasi mikrobiologi jamur sulit dan memakan

waktu. Pengobatan konservatif berupa anti nikotik topikal seperti natamycin,

nystatin dan amphoterisin B, sedangkan tindakan pembedahan berupa

18

keratoplasti jika dengan pengobatan konservatif gagal dan keadaan makin

memburuk dalam perawatan.7

d. Keratitis Akantamoeba

Gejalanya berupa pasien mengeluh nyeri, fotopobia dan lakrimasi.

Pasien sering mempunyai riwayat beberapa minggu atau bulan tidak berhasil

dengan pengobatan antibiotik. Dari inspeksi menunjukkan mata merah

unilateral biasanya tidak mempunyai secret. Infeksi dapat membentuk

infiltrate pada sub epitel, opasasifikasi disiformis intrasstromal pada kornea

atau abses kornea yang membentuk cincin.7

Keratitis Akantamoeba7

Amoeba air tawar ini menyebabkan keratitis infeksi. Infeksi ini menjadi

lebih sering terjadi seiring dengan peningkatan penggunaan lensa kontak

lunak. Terjadi keratitis yang nyeri dengan tonjolan saraf kornea. Amoeba

dapat diisolasi dari kornea (dan dari lensa kontak) dengan kerokan dan

dikultur dalam media khusus yang dipenuhi dengan Escherichia coli.7

VIII. GEJALA KLINIS

Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien

yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat

mengeluhkan adanya rasa nyeri, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia,

penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan

blefarosspasma.5

Oleh karena korea memiliki banyak serat – serat saraf, kebanyakan lesi

kornea baik supervisial ataupun profunda, dapat menyebabkan nyeri dan

fotofobia. Nyeri pada keratitis diperparah degan pergerakan dari palpebral

(umunnya palpebral superior) terhadap kornea dan biasanya menetap hingga

terjadi penyembuhan karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan

19

merefraksikan cahaya, lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan

menjadi kabur, terutama ketika lesinya berada dibagian central.8

Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi

epithelia multiple sebanyak 1 – 50 lesi (rata – rata sekitar 20 lesi didapatkan).

Lesi epithelia yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa

kumpulan bintik – bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung

berakumulasi di daerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak

apabila di inspeksi secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp ataupun

loup setelah diberi flouresent.2

Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi

tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks.

Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi

reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.3

IX. DIAGNOSIS

Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang

datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau

(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini

biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis

superfisial dan interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi

inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial terkait.7

Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada

pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan

dengan melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,

perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi

hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis

stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang

bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke

epitel kornea.8

Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada

keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan

flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat

20

terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial

dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan

sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya

refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh

kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat

terlihat.8

Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata epithelial

atau Thygenson’s desease merupakan salah satu tipe inflamasi atau peradangan

pada kornea mata dengan hilangnya epitel kornea. Lesinya berupa pungtata yang

terlihat seperti titik – titik meskipun dapat juga berupa dendritic dengan gambaran

linier dan bercabang. Karateristik dengan tidak adanya jaringan parut sisa dan

jarang menyisakan penglihatan.8

Keadaan yang meyebabkan penyakit ini dapat berupa infeksi mata (virus,

bakteri) maupun noninfeksi seperti :

Abnormalitas air mata

Reaksi imun

Denervasi

Distrofi

Trauma kimia ringan

Lensa kontak

Reaksi terhadap pengobatan sistemik, dll

Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan air

mata yang berlebihan. Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi biasanya

pada daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik – titik abu –

abu yang kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini, tergantung factor

penyebabnya. Pengguna kortikosteroid topikal terbukti dapat mengurangi gejala.8

Larutan floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan

menggunakan slit lamp ataupun dengan iluminasi terang dan melihat

menggunakan loup. Hal tersebut dapat memberikan gambaran defek epithelial.

Pola distribusi flouresensi yang spesifik dapat sebagai informasi yang berguna

dalam menegakkan kemungkinan etiologi dan keratitis pungtata superfisial.10

21

Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble

yang tersedia dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik

(benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun

dalam zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens

akan menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang berbentuk

makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan gambaran akan lesi

yang tidak berbekas melalui film air mata (negative staining). Floresens yang

terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma

kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea.1

X. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis adalah kultur

mikroorganisme dengan pengambilan spesimen. Kultur adalah cara untuk

mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara untuk menentukan

kepekaan terhadap antibiotik. Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen

anestesi topikal dan menggunakan instrument steril untuk mendapatkan sampel

dari daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk

mendapatkan sampel. 10

XI. PENATALAKSANAAN / TERAPI

Terdapat beberapa terapi yang dapat secara baik menangani keratitis pungtata

superfisial. Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata artifisial

seringkali adekuat pada kasus – kasus yang ringan. Air mata artifisial dapat

mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada reservoir air mata. Mereka

tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen pembersih, pembilas

dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel superfisial

untuk membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin dari air

mata.11

Tergantung dari keparahan gejala pada pasien,air mata artifisial dengan

viskositas berbeda (dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada

pasien dan diaplikasikan dengan frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat

pemaparan (exposure keratitis ), jel atau krim dengan viskositas yang tinggi

digunakan karena waktu retensinya yang panjang.8

22

Lensa kontak terapeutik yang lunak dapat digunakan sebagai lubrikasi

alternative pada beberapa kasus yang berat, walaupun komplikasi potensial

(seperti keratitis microbial) dapat terjadi. Lensa kontak memperbaiki gejala

dengan menutupi lesi kornea dan saraf yang secara konstan mengalami fraksi

dengan konjungtiva selama berkedip.10

Sekitar 90% dari inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Selain itu epitel

yang tidak intak dapat sebagai jalur penetrasi dari bakteri ke dalam kornea.

Penanganan diawali dengan antibiotik topikal dengan aktivitas broad spectrum

terhadap kebanyakan organisme Gram-positif dan Gram-negative hingga hasil

kultur dan tes sensitifitas diketahui. Regimen awal yang diberikan termasuk

aminoglycoside dengan cephalosporin generasi pertama setiap 15-30 menit.

Seringkali digunakan ciprofloxacin 0,3% yang meberikan percepatan waktu rata –

rata penyembuhan dan penururnan terapi dibandingkan terapi konvensional.8

Penggunaan kortikosteroid topikal masih kontroversial dikarenakan

penggunaannya pada infeksi virus dan jamur dikontraindikasikan. Akan tetapi

kortikosteroid sistemik dapat mencegah perforasi kornea dan pembentukan

jaringan parut pada kornea.3

Antibiotik sistemik digunakan apabila terdapat ekstensi ke sklera akibat

infeksi atau didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien. Levofloxacin

maupun ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan

pemberian oral.5

Tidak perlu untuk menangani pasien hingga seluruh lesi di kornea hilang.

Akan tetapi penanganan dilaksanakan hanya hingga pasien dapat mencapai titik

kenyamanan.5

XII. KOMPLIKASI

Komplikasi keratitis pungtata superfisialis dapat menyebabkan tekana intraocular

yang tinggi, katarak, atau perlekatan dalam iris (sinekia). Ulkus kornea bisa

berkembang. Bila tidak dirawat bisa mengganggu struktur mata yang lain atau

terjadi parut pada kornea.5

XIII. PROGNOSIS

23

Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika

tidak terdapat jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan

metode penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien

dengan keratitis pungtata superfisial sangat baik. Parut ringan pada kornea dapat

timbul pada kasus – kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung

lama.1

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Structure dan Function of the External Eye dan

Cornea. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal Science Cources

: External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore : American Academy of

Ophthalmology ; 2007. p.5-14

2. Doggart JH. Superficial Punctate Keratitis [online]. 1933 [cited 2014 September];

[1 screen]. Available from URL:http://bjo.bmj.com/cgi/pdf_extract

3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu

Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. H 147-78

4. Mills TJ. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis [online]. 2008 [cited 2014

September]; [4 screen]. Available from

URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/798100

5. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi

ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13

6. Riordan-Eva. Anatomy and embryology of The Eye. In : Vaughan D,Asbury T,

Riordan-Eva P. general Ophthalmology. 15th edition. Connecticut; Appleton &

lange; 1999. p. 1-26

7. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual

of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams

& Wilkins; 2002. p. 67-129

8. Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General

Ophthalmology. 15th edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p. 119-41

9. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Clinical Approach to Immune-Related Disorders

of the External Eye. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal

Science Cources : External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore : American

Academy of Ophthalmology ; 2007. p.205-41

10. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd

edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60

11. Duszak RS. Thygeson Superficial Punctata Keratitis [online]. 2008 [cited 2014

September]. Available from

URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/1197335

25