WAJIB BELA NEGARA DAN PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (KAJIAN PASAL 30 UUD...

21
1 WAJIB BELA NEGARA DAN PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (KAJIAN PASAL 30 UUD 1945) Lina Hastuti Abstract The main provision of state defense is as provided in Article 30 UUD 1945 and is further regulated by the Act No. 20 year 1982 regarding General Provision on the Defense and Security of the Republic of Indonesia, which was amended by Act No. 3 year 2002 regarding State Defense. The concept of people’s participation in state defense and security system (sishankamrata) as stated in the previous Act was replaced by state defense system by the later Act. In order to implement this new Act, there has been an effort by government to propose a Bill regarding Reserve Component of the State Defense. Several important issues in the Bill are including the active involvement of civilian in the state defense. Moreover, member of the Reserve Component after being mobilized has a new status as combatant. Therefore, if the Bill regarding Reserve Component of the State Defense is approved by the Parliament and become an Act - and there is no significant modification to the provision on the status of civil citizen after being mobilized it will be clear that every civilians who involve in state defense activity must then be treated as combatant. Keywords: international humanitarian law, distinction principle. I. PENDAHULUAN Pada waktu terjadi ketegangan antara Indonesia dan Malaysia akibat klaim Malaysia atas Blok Ambalat di perairan Sulawesi, banyak elemen masyarakat yang mendaftar sebagai sukarelawan untuk berperang melawan Malaysia. Keinginan ini memperlihatkan bahwa masih ada rasa nasionalisme di kalangan anggota masyarakat, namun tidaklah mudah mewujudkannya. Selain karena tidak ada perang diantara kedua negara dan yang tidak kalah penting karena keikutsertaan warga sipil dalam upaya pembelaan negara belum diatur dalam undang-undang. Jajak pendapat yang diadakan bagian Penelitian dan Pengembangan Kompas pada tanggal 1 2 Desember 2004 menunjukkan hasil yang mengejutkan. Hasilnya, 64 % responden bisa menerima kalau Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik terhadap tulisan ini dapat dikirimkan melalui: [email protected].

Transcript of WAJIB BELA NEGARA DAN PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (KAJIAN PASAL 30 UUD...

1

WAJIB BELA NEGARA DAN PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL (KAJIAN PASAL 30 UUD 1945)

Lina Hastuti

Abstract

The main provision of state defense is as provided in Article 30 UUD 1945

and is further regulated by the Act No. 20 year 1982 regarding General

Provision on the Defense and Security of the Republic of Indonesia, which

was amended by Act No. 3 year 2002 regarding State Defense. The

concept of people’s participation in state defense and security system

(sishankamrata) as stated in the previous Act was replaced by state

defense system by the later Act. In order to implement this new Act, there

has been an effort by government to propose a Bill regarding Reserve

Component of the State Defense. Several important issues in the Bill are

including the active involvement of civilian in the state defense. Moreover,

member of the Reserve Component after being mobilized has a new status

as combatant. Therefore, if the Bill regarding Reserve Component of the

State Defense is approved by the Parliament and become an Act - and

there is no significant modification to the provision on the status of civil

citizen after being mobilized – it will be clear that every civilians who

involve in state defense activity must then be treated as combatant.

Keywords: international humanitarian law, distinction principle.

I. PENDAHULUAN

Pada waktu terjadi ketegangan antara Indonesia dan Malaysia akibat klaim

Malaysia atas Blok Ambalat di perairan Sulawesi, banyak elemen masyarakat yang

mendaftar sebagai sukarelawan untuk berperang melawan Malaysia. Keinginan ini

memperlihatkan bahwa masih ada rasa nasionalisme di kalangan anggota masyarakat,

namun tidaklah mudah mewujudkannya. Selain karena tidak ada perang diantara kedua

negara dan yang tidak kalah penting karena keikutsertaan warga sipil dalam upaya

pembelaan negara belum diatur dalam undang-undang. Jajak pendapat yang diadakan

bagian Penelitian dan Pengembangan Kompas pada tanggal 1 – 2 Desember 2004

menunjukkan hasil yang mengejutkan. Hasilnya, 64 % responden bisa menerima kalau

Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik terhadap

tulisan ini dapat dikirimkan melalui: [email protected].

2

masyarakat biasa dilibatkan dalam upaya-upaya bela negara. Mereka menganggap bahwa

bela negara merupakan kewajiban moral setiap warga negara.

Bela negara seringkali dikaitkan dengan militer dan militerisme, sehingga seolah-

olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya tugas Tentara Nasional

Indonesia (selanjutnya disingkat TNI). Hal ini tentulah bertentangan dengan pasal 30

ayat (1) UUD 1945 setelah Amandemen IV (selanjutnya disingkat UUD 1945).

Berdasarkan pasal 30, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha

pertahanan dan keamanan negara. Isi pasal 30 tersebut memang menyiratkan tekad

yang dapat dilakukan semua warga negara dalam kerangka pertahanan nasional. Sikap

dan semangat yang demikian merupakan hal yang wajar dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Beberapa negara mengatur hal yang sama, bahkan di beberapa negara dikenal

wajib militer. Di Amerika Serikat, komponen cadangan (reserve component) atau

kekuatan cadangan (reserve force) telah menjadi kekuatan yang tidak kalah dengan

komponen utamanya.1

Ketentuan wajib bela negara yang demikian jika dikaji lebih lanjut menimbulkan

persoalan, terutama dikaitkan dengan pengaturan dalam hukum humaniter internasional

(selanjutnya disingkat hukum humaniter). Salah satu prinsip yang mendasari berlakunya

hukum humaniter adalah prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip ini

mengandung arti bahwa dalam suatu konflik bersenjata, golongan penduduk dibagi

menjadi dua kelompok yaitu kombatan dan civilian.2

Pasal 30 merupakan pengaturan secara nasional tentang pertahanan negara dan

implementasinya juga berlaku di wilayah Indonesia. Keadaan akan menjadi lain

manakala Indonesia sedang terlibat sengketa bersenjata dengan negara lain. Hubungan

internasional yang melibatkan anggota masyarakat internasional, cepat berubah, dari

yang semula pada tingkat hubungan yang baik (harmonis) menjadi tegang karena ada

masalah diantara mereka. Dapat pula terjadi, pada suatu saat datang ancaman dari negara

lain, karena pada dasarnya sifat ancaman tidak dapat diduga waktu, tempat dan

bentuknya. Penyelesaian masalah dengan negara lain sedapat mungkin diusahakan

1 Kompas, Sekelumit tentang Komponen Cadangan Paman Sam, 8 Desember 2004.

2 Kombatan adalah mereka yang boleh secara aktif ikut dalam pertempuran, apabila tertangkap lawan

menjadi tawanan perang. Penduduk sipil (civilian) adalah mereka yang tidak (boleh) turut serta dalam

pertempuran, mereka harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan.

3

melalui cara-cara damai. Bagi bangsa Indonesia, perang adalah jalan terakhir dan hanya

dilakukan apabila semua usaha dan penyelesaian secara damai tidak berhasil. Apabila

sudah terjadi perang dengan negara lain, maka hukum humaniter diberlakukan.

Perwujudan amanat pasal 30 dapat menimbulkan masalah apabila dalam sengketa

terlibat pula warga negara (penduduk sipil). Selain TNI yang merupakan angkatan perang

Indonesia dan karena itu merupakan kombatan, maka diperlukan pengaturan yang jelas

dan tegas warga sipil yang terlibat dalam perang, agar diketahui status mereka.

Dalam tulisan ini, yang pertama akan dibahas adalah makna kewajiban bela

negara sebagaimana terdapat dalam pasal 30 UUD 1945, hal ini dapat diketahui dari

peraturan perundangan yang merupakan peraturan pelaksana dari pasal tersebut yang

dalam prakteknya, terdapat beberapa undang-undang. Bagian berikutnya membahas

prinsip pembedaan yang dikenal dalam hukum humaniter, sehingga akan diperoleh

jawaban tentang status warga negara yang ikut serta dalam pembelaan negara.

II. DOKTRIN PERTAHANAN NEGARA

Berdasarkan jiwa Pembukaan dan Bab XII serta Pasal 30 Undang-undang Dasar

1945, pertahanan keamanan negara Republik Indonesia pada hakekatnya adalah

perlawanan rakyat semesta yang diselenggarakan dengan sistem pertahanan keamanan

rakyat semesta (selanjutnya disingkat sishankamrata) dengan mengerahkan segenap

warga negara berdasarkan hak dan kewajibannya, dan pengamanan serta pendayagunaan

sumber daya alam dan prasaranan nasional secara terpadu, adil dan merata di bawah

pimpinan pemerintah.3

Konsep sishankamrata diwujudkan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1982 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, dimana

komponen sishankamrata terdiri atas :

a. rakyat terlatih sebagai komponen dasar;

b. angkatan bersenjata beserta cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen

utama;

c. perlindungan masyarakat sebagai komponen khusus;

3 Departemen Pertahanan dan Keamanan, Undang-undang RI nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan negara Republik Indonesia, Badan Pembina Hukum, Jakarta, 1983.

4

d. sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai komponen

pendukung.

Rakyat terlatih (selanjutnya disingkat ratih) sebagaimana yang diatur dalam pasal

11 Undang-undang nomor 20 tahun 1982 merupakan salah satu bentuk keikutsertaan

warga negara yang melaksanakan fungsi ketertiban umum; perlindungan rakyat;

keamanan rakyat dan perlawanan rakyat. Tujuan dibentuk ratih adalah untuk

meningkatkan daya dan kekuatan tangkal bangsa dan negara, membantu TNI dan

Kepolisian, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keamanan dan ketertiban

masyarakat dalam rangka pertahanan keamanan. Penugasan ratih yang memiliki fungsi

ketertiban umum dan perlindungan rakyat dilaksanakan berdasarkan usul tertulis Menteri

Dalam Negeri. Fungsi keamanan rakyat dilaksanakan berdasarkan usul tertulis Kepala

Kepolisian, sedang fungsi perlawanan rakyat dilaksanakan berdasarkan usul tertulis dari

Panglima TNI. Pengaturan lebih lanjut tentang ratih terdapat dalam Undang-undang

nomor 56 tahun 1999.

Selanjutnya, pasal 13 Undang-undang nomor 20 tahun 1982 perlindungan

masyarakat (selanjutnya disingkat linmas) merupakan pengorganisasian masyarakat

untuk melaksanakan fungsi menanggulangi dan atau memperkecil akibat malapetaka

yang ditimbulkan oleh perang, bencana alam atau bencana lainnya. Warga negara yang

diikutsertakan dalam linmas adalah warga negara di lingkungan pemukiman, lingkungan

pendidikan dan lingkungan pekerjaan yang bukan anggota ratih atau angkatan bersenjata

ataupun cadangan TNI.

Undang-undang nomor 20 tahun 1982 digantikan oleh Undang-undang nomor 3

tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam penjelasan umum Undang-undang nomor

3 tahun 2002 ,dalam penyelenggaraan pertahanan negara setiap warga negara mempunyai

hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara sebagai pencerminan

kehidupan kebangsaan yang menjamin hak-hak warga negara untuk hidup setara, adil,

aman, damai dan sejahtera. Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang

bersifat semesta yang melibatkan warga negara, wilayah dan sumber daya nasional

lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total,

terpadu, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Sistem

ini lebih dikenal dengan sistem pertahanan negara (selanjutnya disingkat sishaneg), yang

5

berbeda dengan sistem sebelumnya (sishankamrata) berdasar Undang-undang nomor 20

tahun 1982. Alasan yang mendasari perubahan doktrin pertahanan negara adalah Tap

MPR nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan Tap MPR nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

1. Hakekat Ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia

Ancaman terhadap Negara kita beragam bentuknya, yang pada hakekatnya dapat

dibedakan ancaman dari luar dan dari dalam. Berakhirnya perang dingin pada awal tahun

90-an sebenarnya berakibat kurangnya ketegangan di dunia. Namun demikian bukan

berarti ancaman sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat menjadi berkurang ataupun

hilang sama sekali. Di kawasan Asia Tenggara, meskipun diantara negara-negara

sekawasan sudah terjalin hubungan yang lebih harmonis, salah satunya karena

berhasilnya kerjasama ASEAN, bukan berarti tidak ada masalah. Potensi konflik tetap

saja ada, misalnya sengketa kepulauan Spratly yang melibatkan beberapa negara di

kawasan Laut Cina Selatan (beberapa diantaranya adalah negara anggota ASEAN), klaim

Blok Ambalat oleh Malaysia yang menimbulkan ketegangan antara Indonesia dan

Malaysia, masalah TKI di Malaysia dan Singapura, asap kebakaran hutan di Indonesia

yang menimbulkan penderitaan bagi rakyat negara tetangga, bahkan juga hubungan

antara Malaysia dan Thailand terkait dengan pemberontakan di Thailand Selatan ataupun

antara Singapura dan Thailand karena pengalihan kepemilikan komunikasi, dan lain

sebagainya. Dari luar kawasan, masalah Timor Leste yang menyebabkan ketegangan

antara Indonesia dan Australia. Dalam perubahan masyarakat internasional dewasa ini

persoalan yang timbul acapkali lebih sering diselesaikan melalui cara damai sehingga

tidak sampai melahirkan kekerasan bersenjata. Yang berkembang kemudian adalah

potensi ancaman dari luar tampaknya akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral

dan budaya bangsa melalui disinformasi, propaganda, peredaran narkotika dan obat-obat

terlarang, film-film porno atau berbagai kegiatan kebudayaan asing yang mempengaruhi

bangsa Indonesia terutama generasi muda, yang pada gilirannya dapat merusak budaya

bangsa. Potensi ancaman dari luar lainnya adalah dalam bentuk eksplorasi dan eksploitasi

6

sumber daya alam Indonesia yang tidak terkontrol melalui kerjasama dengan pihak

asing yang berakibat merugikan negara kita. 4

Sementara ancaman dari dalam adalah adanya kenyataan negara Indonesia yang

diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan negara kepulauan yang terdiri

dari puluhan ribu pulau, bermacam-macam suku bangsa, agama dan kebudayaan.

Pluralisme yang demikian dapat menimbulkan hal-hal diantaranya adalah :5

a. disintegrasi bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis berdasarkan sentimen

kesukuan atau pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan

pemerintah pusat;

b. keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran hak asasi

manusia yang dapat menyebabkan kerusuhan massa;

c. upaya penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain yang tidak sesuai dengan

jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia;

d. potensi konflik antar kelompok/golongan akibat perbedaan pendapat dalam masalah

politik, maupun SARA;

e. makar atau penggulingan pemerintah yang sah dan konstitusional.

Mengenai ancaman, pada penjelasan pasal 7 Undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang

Pertahanan Negara merinci tentang ancaman militer yaitu ancaman yang menggunakan

kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang

membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap

bangsa. Ancaman militer sebagaimana terdapat dalam penjelasan, dapat berbentuk antara

lain :

1. agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan

negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa atau dalam bentuk dan

cara-cara antara lain :

1). Invasi berupa serangan oleh kekuatan senjata negara;

2). Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh

angkatan bersenjata negara lain;

3). Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara;

4 Budi S. Satari, Pendidikan Pendahuluan Bela Negara danRelevansinya di Era Reformasi,

http://www.polarhome.com/pipermail/marinir/2004-February/000184.html, diakses pada 13 Maret 2008 5 Ibid.

7

4). Serangan unsur angkatan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat

atau satuan laut atau satuan udara TNI;

5). Unsur kekuatan bersenjata negara lain yang berada di wilayah negara

Kesatuan Republik Indonesia;

6). Tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara

lain sebagai daerah persiapan untuk melakukan agresi terhadap Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

7). Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh negara lain untuk

melakukan tindakan kekerasan di wilayah Indonesia atau melakukan tindakan

seperti tersebut di atas;

2. pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain, baik yang menggunakan

kapal maupun pesawat non komersiil;

3. spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia

militer;

4. sabotase untuk merusak instalasi penting militer dan obyek vital nasional yang

membahayakan keselamatan bangsa;

5. aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau

yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau terorisme dalam negeri yang

bereskalasi tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah

dan keselamatan segenap bangsa;

6. pemberontakan bersenjata;

7. perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata dengan

kelompok masyarakat bersenjata lainnya.

2. Konsep Bela Negara

Bela negara yang terdapat dalam pasal 30 UUD 1945 dapat diuraikan dalam dua

pengertian yaitu bela negara secara non-fisik dan fisik. Secara non-fisik lebih

dititikberatkan kepada tumbuhnya kesadaran untuk menangkal berbagai potensi ancaman,

baik dari luar maupun dari dalam. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai bentuk,

sepanjang masa dan dalam segala situasi, misalnya dengan cara : 6

6 Ibid,h. 5-6.

8

a. meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara;

b. menanamkan kecintaan terhadap tanah air;

c. berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara dengan berkarya nyata;

d. meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum/undang-undang dan

menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan

e. pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruh-

pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa

Indonesia.

Bela negara secara fisik mengandung pengertian bahwa keterlibatan warga negara

sipil dalam upaya pertahanan negara dilakukan melalui keterlibatan langsung. Pelibatan

warga negara dalam upaya bela negara lazim dikenal dengan istilah mobilisasi.

Dalam Dictionary of the International Law of Armed Conflict7, istilah mobilisasi

dijabarkan sebagai the transition from the state of peace to of a war footing of some or all

units of the armed forces. Mobilization is effected by reinforcing the number of

personnel, increasing supplies of equipment, reinforcing commands, and setting up new

commands and forming new units placed on a war footing. Dari pengertian tersebut,

mobilisasi dapat terjadi karena terdapatnya suatu perubahan situasi dari suatu keadaan

yang damai menuju pada suatu kondisi yang genting dalam konsep pertahanan dan

keamanan, sehingga memaksa negara untuk mengerahkan sejumlah personil

meningkatkan cadangan perlengkapan bagi keperluan pertahanan dan keamanan, serta

segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut. Sedang kondisi sebaliknya dari

mobilisasi adalah demobilisasi, yaitu demobilization returns units of the armed forces put

on a war footing to peacetime organization. 8

Mobilisasi menurut pasal 1 ayat (2) Undang-undang nomor 27 tahun 1997 tentang

Mobilisasi dan Demobilisasi diartikan sebagai tindakan pengerahan dan penggunaan

secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang telah

dibina dan dipersiapkan sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan untuk

digunakan secara tepat, terpadu dan terarah bagi penanggulangan setiap ancaman, baik

7 Pietro Verri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, International Committee of the Red

Cross, Geneva, 1992, h.72 8 Trihoni Nalesti Dewi, Mobilisasi dan Demobilisasi dalam Hukum Internasional dan Hukum

Nasional,Basic Course International Humanitarian Law, Malang, 2002, h.1

9

dari luar negeri maupun dalam negeri. Sedang menurut pasal 1 ayat (5)-nya demobilisasi

merupakan tindakan penghentian pengerahan dan penghentian penggunaan sumber daya

nasional serta sarana dan prasarana nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah negara

yang diselenggarakan secara bertahap guna memulihkan fungsi dan tugas setiap unsur

seperti sebelum berlakunya mobilisasi. Tujuan diselenggarakannya demobilisasi

sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang yang sama adalah untuk memulihkan

kembali fungsi dan tugas umum pemerintahan, kehidupan kemasyarakatan, dengan tetap

terpeliharanya kemampuan dan kekuatan pertahanan keamanan negara. Mobilisasi

dikenakan terhadap : a. warga negara yang termasuk : anggota ratih, anggota linmas dan

diperlukan karena keahliannya; serta b. sumber daya alam, sumber daya buatan, serta

sarana dan prasarana nasional termasuk personil yang mengawakinya.

3. Pengaturan Nasional tentang Pertahanan dan Keamanan Negara

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertahanan dan

keamanan negara adalah :

1. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51, Tambahan Lembaran Negara

nomor 3234);

2. Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1988 tentang Perubahan atas

Undang-undang nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 1988 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara nomor 3368);

3. Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1988

nomor 4, Tambahan Lembaran Negara nomor 3369);

4. Undang-undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin

Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 1997 nomor 74, Tambahan Lembaran Negara nomor 3703);

10

5. Undang-undang Republik Indonesia nomor 27 tahun 1997 tentang Mobilisasi dan

Demobilisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 nomor 75 ,

Tambahan Lembaran Negara nomor 3704);

6. Undang-undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 1997 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997

nomor 81, Tambahan Lembaran Negara nomor 3710);

7. Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer

(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 nomor 84, Tambahan Lembaran

Negara nomor 3713);

8. Undang-undang Republik Indonesia nomor 56 tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih.

9. Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51,

Tambahan Lembaran Negara nomor 3234);

10. Undang-undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan

Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51, Tambahan

Lembaran Negara nomor 3234);

11. Undang-undang Republik Indonesia nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51, Tambahan

Lembaran Negara nomor 3234)

Menurut Penjelasan Undang-undang nomor 3 tahun 2002, bentuk pertahanan

negara bersifat semesta dalam arti melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya

nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu

kesatuan pertahanan. Keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara merupakan tanggung

jawab dan kehormatan setiap warga negara, oleh karena itu, tidak seorangpun boleh

menghindar dari kewajiban tersebut, kecuali ditentukan dengan undang-undang.

Selanjutnya, keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan

melalui :

a. pendidikan kewarganegaraan;

b. pelatihan dasar kemiliteran serta wajib;

c. pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau secara wajib; dan

d. pengabdian sesuai profesi.

11

Menurut Undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, komponen

pertahanan keamanan hanya meliputi:

a. komponen utama yaitu TNI;

b. komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya

buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan

melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama; dan

c. komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya

buatan serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung

dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen

cadangan.

Apabila dibandingkan dengan Undang-undang nomor 20 tahun 1982, komponen

pertahanan keamanan yang dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2002 lebih sederhana.

Selain macam komponen, perbedaan lainnya adalah dalam Undang-undang nomor 3

tahun 2002, hanya TNI yang ditetapkan sebagai komponen utama, sedang cadangan TNI

dimasukkan dalam komponen cadangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan

penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan aturan hukum internasional yang

berkaitan dengan prinsip pembedaan, serta untuk penyederhanaan pengorganisasian

upaya bela negara. Disamping itu, diatur pula mengenai sumber daya alam, sumber daya

buatan, serta sarana dan prasarana nasional, sebagai komponen cadangan maupun

komponen pendukung.

Sekalipun demikian, konsep baru yang ditawarkan oleh Undang-undang nomor 3

tahun 2002 belum diikuti oleh peraturan pelaksanaannya, sehingga dalam beberapa hal

masih memakai aturan sebelumnya. Pasal yang belum ada peraturan pelaksanaannya

misalnya adalah pasal 30 UUD 1945 yang terkait dengan wajib bela negara. Berdasar

kenyataan bahwa belum adanya perundang-undangan yang secara khusus mengatur

mengenai keikutsertaan warga sipil dalam upaya bela negara, maka beberapa waktu yang

lalu Direktorat Jenderal Pertahanan Departemen Pertahanan membuat Draf RUU

Komponen Cadangan Pertahanan Negara (selanjutnya disingkat RUU KCPN). Selain

karena alasan sebagaimana di atas, alasan yang lain adalah mempersiapkan warga negara

secara dini dalam mengantisipasi serangan militer pihak lain.

12

Komponen cadangan merupakan salah satu wadah dan bentuk keikutsertaan

warga negara dan seluruh sumber daya nasional lainnya dalam usaha pertahanan negara.

Wadah lain menurut UU tentang Pertahanan Negara adalah melalui komponen utama dan

komponen pendukung. Tujuan kedua komponen adalah untuk memperbesar dan

memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama dalam upaya

penyelenggaraan pertahanan negara untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara,

keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Pasal 27 RUU KCPN berisi ketentuan bahwa komponen cadangan digunakan

dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang melalui keputusan mobilisasi dan

demobilisasi yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR serta digunakan bila

telah diperhitungkan bahwa kekuatan TNI tidak mampu untuk menghadapi ancaman

militer yang ada. Tidak semua darurat militer atau keadaan perang harus diikuti dengan

mobilisasi, kekuatan TNI harus digunakan lebih dulu secara maksimal.

Pengangkatan anggota komponen cadangan dilakukan melalui suatu Komisi

Pengerahan calon anggota komponen cadangan tingkat pusat dan daerah, sebagaimana

yang terdapat dalam pasal 9 RUU KCPN. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan

bahwa menjadi anggota komponen cadangan, di satu sisi pada dasarnya bersifat wajib

sebagai perwujudan hak dan kewajiban warga negara dalam usaha pertahanan negara, di

sisi lain, merupakan pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia. Oleh karena itu,

dalam RUU KCPN dibuat aturan pada tahap pemanggilan calon anggota komponen

cadangan dilakukan oleh suatu komisi negara yang keanggotaannya mewakili berbagai

instansi.

Komponen cadangan terdiri dari komponen cadangan matra darat, komponen

cadangan matra laut dan komponen cadangan matra udara. Anggota komponen cadangan

meliputi setiap warga negara yang telah berusia 18 tahun hingga 45 tahun, yang : 9

(a) pegawai negeri sipil, karyawan badan usaha milik negara atau daerah dan pegawai

swasta, serta perseorangan yang dipanggil untuk wajib menjadi anggota komponen

cadangan;

(b) mantan prajurit TNI dan mantan anggota kepolisian yang memenuhi persyaratan

dan wajib dipanggil menjadi anggota komponen cadangan;

9 Pasal 7 ayat (1) RUUKCPN

13

(c) perseorangan di luar ayat (2) a dan b, yang memenuhi persyaratan, dapat diangkat

menjadi komponen cadangan.

Komponen cadangan wajib menjalani masa bakti selama lima tahun dan setelah

masa bakti berakhir, secara sukarela dapat diperpanjang selama-lamanya lima tahun lagi,

atau berakhir setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun. Selama dalam masa

dinas, anggota komponen cadangan melaksanakan penugasan di bidang pertahanan, yaitu

menjalani latihan dan selama tidak dalam dinas aktif warga negara kembali

melaksanakan perkerjaan/profesi semula. Komponen cadangan wajib memenuhi

panggilan dalam dinas aktif berdasar keadaan dan kebutuhan. Dengan demikian,

komponen cadangan dalam penugasan dipilah menjadi 2, yaitu dinas aktif dan tidak

dalam dinas aktif.

III. PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM HUMANITER

Hukum humaniter internasional berkembang berdasarkan pada beberapa prinsip

yaitu prinsip pembatasan (limitation principle), prinsip proporsional (proporsionality

principle) dan prinsip pembedaan (distinction principle). Dalam prinsip pembatasan,

setiap pihak yang terlibat perang berhak menentukan senjata yang akan digunakan,

meskipun demikian hak mereka terbatas. Para pihak tidak boleh memakai segala jenis

senjata secara sembarangan. Prinsip proporsional artinya jumlah kekuatan yang

dilibatkan harus seimbang dengan ancaman yang dihadapi, dengan tujuan menghindari

jatuhnya korban sipil. Prinsip pembedaan senantiasa membedakan antara penduduk sipil

dan peserta tempur, antara obyek sipil dan obyek militer, sehingga serangan hendaknya

hanya diarahkan ke sasaran militer.

Ketentuan mengenai prinsip ini pada awalnya diatur dalam Hague Regulation 1907,

kemudian dirubah dan disempurnakan oleh Konvensi Jenewa 1949 dan terakhir dirubah

lagi dalam Protokol tambahan 1977. Dalam Hague Regulation antara lain diatur tentang

tentara (armies), milisi dan volunteer corps dan levee en masse.10

Selanjutnya prinsip

pembedaan dalam Konvensi Jenewa 1949 tidak secara tegas menyebut istilah kombatan

10

Lihat Pasal 1, 2 dan 3 Hague Regulations 1907.

14

dan penduduk sipil, melainkan dengan istilah orang-orang yang wajib dihormati dan

dilindungi. 11

Protokol Tambahan I 1977 memberi definisi angkatan bersenjata dan kombatan

berbeda dengan kedua Konvensi sebelumnya. Pasal 43 memberi batasan angkatan

bersenjata sebagai berikut :

1. angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai terdiri dari angkatan bersenjata yang

terorganisir (organized armed forces), kelompok dan unit yang berada di bawah

komando yang bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya kepada pihak

tersebut, sekalipun pihak itu diwakili oleh pemerintah atau penguasa (authority)

yang tidak diakui oleh pihak lawan (adverse party).

2. anggota angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai (kecuali personil medis dan

pendeta seperti tersebut dalam pasal 33 Konvensi Jenewa III), yaitu mereka

berhak untuk ikut serta secara langsung dalam permusuhan;

3. apabila salah satu pihak yang bertikai memasukkan sebuah kesatuan (agency)

paramiliter atau penegak hukum dalam angkatan bersenjata mereka, maka mereka

wajib memberitahukan hal ini kepada pihak-pihak lain yang bertikai.

Pasal 44 mengatur kombatan dan tawanan perang, beberapa diantaranya adalah :

1. setiap kombatan, seperti yang ditentukan pasal 43, yang jatuh dalam kekuasaan

pihak lawan, akan menjadi tawanan perang (prisoner of war = POW);

2. sekalipun semua kombatan harus mentaati hukum perang, pelanggaran terhadap

ketentuan tersebut tidak menghilangkan haknya menjadi kombatan, bila jatuh ke

tangan musuh menjadi tawanan perang;

3. untuk menambah perlindungan dari akibat permusuhan, kombatan diharuskan

untuk membedakan diri dari penduduk sipil, tetapi bilamana karena alasan situasi

dan sifat permusuhan, kombatan tidak dapat membedakan diri, dia tetap

memperoleh statusnya sebagai kombatan, asal dalam keadaan tersebut dia

membawa senjata secara terbuka selama pertempuran militer dan selama dapat

dilihat oleh musuh pada waktu persiapan militer mendahului serangan dimana dia

turut serta;

11

Lihat Pasal 12, Pasal 13 (Konvensi JenewaI dan II) serta Pasal 4 (Konvensi Jenewa III)

15

4. seorang kombatan yang jatuh dalam kekuasaan pihak lawan sedang dia tidak

memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam kalimat kedua dari pasal 3, akan

kehilangan haknya sebagai tawanan perang, tetapi terhadapnya akan diberikan

perlindungan yang sama dalam segala aspek seperti diberikan kepada tawanan

perang oleh Konvensi Jenewa III dan Protokol ini;

5. setiap kombatan yang jatuh kedalam kekuasaan pihak lawan, pada waktu tidak

terlibat dalam serangan atau dalam suatu operasi militer sebagai persiapan suatu

serangan, tidak akan kehilangan haknya sebagai kombatan dan tawanan perang

sebagai akibat kegiatan sebelumnya;

6. pasal ini tidak mengurangi hak setiap orang untuk menjadi tawanan perang sesuai

pasal 4 Konvensi Jenewa III;

7. Pasal ini tidak dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan yang secara umum telah

diterima negara-negara yang berhubungan dengan pemakaian uniform oleh

kombatan yang termasuk kesatuan yang regular dan berseragam serta bersenjata

dari pihak yang bertikai;

8. sebagai tambahan dari katagori orang tersebut dalam pasal 13 Konvensi Jenewa I

– II, maka semua anggota angkatan bersenjata dari pihak bertikai seperti

dirumuskan dalam pasal 43 Protokol ini berhak atas perlindungan yang diatur

dalam Konvensi tersebut, apabila mereka luka atau sakit, baik di darat maupun di

laut.

Definisi angkatan bersenjata dan kombatan yang dirumuskan dalam Protokol

berbeda dengan yang diatur oleh konvensi-konvensi sebelumnya, karena baru dalam

Protokol ini dinyatakan secara tegas bahwa kombatan adalah mereka yang berhak untuk

ikut serta secara aktif /langsung dalam permusuhan. Dengan diterimanya pasal 43 dan

44 Protokol, tampak adanya tendensi untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada

penduduk yang bukan anggota angkatan bersenjata yang ikut dalam permusuhan, untuk

dimasukkan ke golongan kombatan dan menjadi tawanan perang, kalau mereka jatuh

dalam kekuasaan pihak lawan.12

Pasal lain dalam Protokol I yang mengatur prinsip pembedaan adalah pasal 48,

yang berisi : untuk menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil

12

G.P.H. Haryomataram, Hukum Humaniter , Rajawali, Jakarta, 1984 h. 3

16

(civilians) dan obyek sipil, pihak-pihak dalam konflik senantiasa harus dibedakan antara

penduduk sipil dan kombatan, dan antara obyek sipil dan obyek militer dan akan

mengarahkan operasi mereka hanya terhadap obyek militer saja.

Penduduk sipil diatur dalam Konvensi IV Konvensi Jenewa 1949 yang secara

khusus mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil di waktu perang. Pasal 27

mengatur antara lain orang-orang yang dilindungi dalam segala keadaan berhak akan

penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan

praktek keagamaan serta adat istiadat dan kebiasaan mereka. Terhadap orang-orang yang

dilindungi dilarang melakukan tindakan-tindakan yang:13

a. memaksa, baik jasmani ataupun rohani, untuk memperoleh keterangan;

b. menimbulkan penderitaan jasmani;

c. menjatuhkan hukuman kolektif;

d. mengadakan intimidasi, terorisme, perampokan;

e. tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil;

f. menangkap penduduk sipil untuk ditahan sebagai sandera.

Pasal 50 ayat ( 1) Protokol Tambahan I 1977 memberi definisi orang sipil yaitu :

seseorang yang tidak termasuk salah satu kategori/golongan yang disebut dalam pasal 4

A (1), (2), (3) dan (6) dari Konvensi III dan pasal 43 Protokol ini. Apabila ada keragu-

raguan apakah seseorang tergolong orang sipil, maka orang itu dianggap sebagai orang

sipil.

IV. MAKNA PASAL 30 UUD 1945 DIKAITKAN DENGAN HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL

Indonesia merupakan salah satu dari negara yang telah meratifikasi Konvensi

Jenewa 1949 melalui Undang-undang nomor 59 tahun 1958. Sebagai negara peserta,

Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan ketentuan hukum

humaniter ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.

Dalam hukum internasional, tidak dijumpai pengaturan secara spesifik mengenai

mobilisasi, namun pemahaman konsep mobilisasi dapat ditelusuri melalui masalah-

13

G.P.H. Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter Internasional, Sebelas Maret University

Press, Surakarta, 1994, h.97.

17

masalah yang berkaitan dengan milisi (militia), levee en masse dan civil defence,

terutama dikaitkan dengan status mereka dalam pertempuran. Sejak berlakunya Konvensi

Den Haag 1907, bukan hanya anggota angkatan bersenjata saja yang dinyatakan berhak

ikut ambil bagian dalam pertempuran, tetapi juga anggota milisi, barisan sukarela dan

levee en masse yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Selanjutnya Konvensi Jenewa III

1949 menambahkan klasifikasi milisi dan barisan sukarela tersebut haruslah merupakan

bagian dari salah satu pihak yang bertikai dan pertanggungjawaban diemban oleh negara

yang bertikai atas tindakan-tindakan yang dilakukan milisi dan barisan sukarela. 14

Milisi dan levee en masse diartikan sebagai orang-orang sipil yang mengangkat

senjata dan membawanya secara terbuka serta mampu menghormati hukum dan

kebiasaan perang, karenanya mereka berstatus sebagai kombatan. Sementara civil

defence dalam pengertian hukum humaniter adalah kelompok orang sipil yang tidak

dilibatkan sebagai peserta tempur tetapi secara khusus lebih pada tugas-tugas

perlindungan masyarakat dari akibat pertempuran.

Dikaitkan dengan pengaturan dalam hukum humaiter, ketentuan secara nasional

mengenai pelaksanaan pasal 30 UUD 1945 dapat dimulai dari Undang-undang nomor 20

tahun 1982. Komponen sishankamrata terdiri atas komponen dasar, komponen utama,

komponen khusus dan komponen pendukung. Rakyat terlatih sebagai komponen dasar

diatur lebih lanjut melalui Undang-undang nomor 56 tahun 1999. Dari pasal 14, 15 dan

16 yang mengatur fungsi yang diemban ratih, maka ratih mempunyai dua status

sekaligus. Ratih yang melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat dan

keamanan rakyat berstatus sebagai penduduk sipil (bukan peserta tempur), sementara

fungsi perlawanan rakyat melaksanakan tugas yang berhubungan dengan

penyelenggaraan pertahanan keamanan negara, sehingga statusnya adalah peserta tempur.

Status ganda ratih ini akan menyulitkan semua pihak manakala dihadapkan pada situasi

yang mengharuskan kepastian status ratih.

Hal yang sama juga terjadi pada perlindungan masyarakat (linmas). Linmas

merupakan istilah baru yang terdapat dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1982,

menggantikan istilah pertahanan sipil (hansip) yang dikenal sebelumnya. Berdasar

14

Hans Haug, Humanity for All, HAUPT Stuttgart – Vienna, 1993, hal.541 sebagaimana dikutip dalam

makalah Trihoni Nalesti Dewi, Mobilisasi dan Demobilisasi dalam Hukum Internasional dan Hukum

Nasional, Basic Course International Humanitarian Law, Malang, 2002 h. 7-8.

18

Undang-undang tersebut, linmas melaksanakan tugas yang sama dengan civil defence

dalam hukum humaniter. Penentuan status linmas sebagai peserta tempur atau bukan

muncul, karena meskipun di Undang-undang tersebut tegas dinyatakan bahwa linmas

melaksanakan tugas sipil, namun peraturan pelaksananya belum ada, sehingga tetap

memakai peraturan sebelumnya. Apabila mendasarkan pada peraturan sebelumnya

tersebut, maka linmas mempunyai dua status, karena hansip sebagai organisasi sipil

(civilian) juga dibebani tugas perlawanan rakyat (combatant).

Menurut RUU KCPN, dalam keadaan biasa dimasa damai, anggota komponen

cadangan, unsur sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional

serta anggota yang mengawakinya ditetapkan dalam dinas aktif sebagai penugasan

selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari tiap tahun, untuk menjalani latihan. Sementara

dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang penugasan komponen cadangan

setelah dimobilisasi berstatus sebagai kombatan.15

V. PENUTUP

Bela negara menurut pasal 30 UUD 1945 merupakan hak dan kewajiban setiap

warga negara dalam usaha pertahanan negara dan dilaksanakan melalui system

pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan

sumber daya nasional lainnya. Undang-undang yang mengatur pertahanan negara adalah

Undang-undang nomor 20 tahun 1982, yang kemudian diganti oleh Undang-undang

nomor 3 tahun 2002. Pada peraturan pelaksanaan beberapa pasal dari Undang-undang

nomor 20 tahun 1982, yaitu tentang ratih dan linmas masih menimbulkan masalah jika

dikaitkan dengan hukum humaniter, karena status mereka masih ganda, sebagai

kombatan sekaligus sebagai civilian. Sedangkan peraturan pelaksanaan Undang-undang

nomor 3 tahun 2002 yang berkaitan dengan pelaksanaan pasal 30 UUD 1945 masih

berupa RUU. Dalam RUU KCPN, status anggota komponen cadangan sebagai kombatan.

Agar terdapat kepastian hukum, seyogianya RUU KCPN segera ditetapkan menjadi

Undang-undang. Selain itu, kemampuan TNI harus ditingkatkan dan difokuskan pada

bidang pertahanan negara, agar menjadi kekuatan yang professional, sehingga mampu

15

Pasal 29 RUUKCPN.

19

menjadi unsur utama dalam bela negara. Bila hal ini dapat tercapai, maka komponen

cadangan yang ada dipanggil hanya kalau benar-benar diperlukan.

20

DAFTAR PUSTAKA

Permanasari, Arlina dkk, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

Haryomataram, GPH., Bunga Rampai Hukum Humaniter ( Hukum Perang ), Bumi

Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.

------------------, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984.

------------------, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, cetakan kedua, Sebelas Maret

University Press, Surakarta, 1994.

Istanto F. Sugeng, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan

Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992.

Kalshoven, Frits & Zegveld, Lisbeth Zegveld, Constraints on the Waging of war,

International Committee of the Red Cross, Geneva, 2001

Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta

Bandung 1986.

Pictet, Jean, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus

Nijhoff Publishers, Dordrecht, 1985.

--------------, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter, FH

Usakti, Jakarta, 1997.

Departemen Pertahanan dan Keamanan, Undang-undang nomor 20 tahun 1982

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik

Indonesia, Badan Pembina Hukum ABRI, Jakarta, 1983.

Lembaga Pertahanan Nasional, Kewiraan untuk Mahasiswa, Kerjasama Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud, Gramedia, Jakarta, 1988.

Dewi, Trihoni Nalesti, Mobilisasi dan Demibilisasi dalam Hukum Internasional dan

Hukum Nasional. Basic Course International Humanitarian Law, Malang, 2002.

Satari, Budi S, Pendidikan Pendahuluan Bela Negara danRelevansinya di Era

Reformasi, diakses melalui <http://www.polarhome.com/pipermail/marinir/2004-

February/000184.html> (13 Maret 2008).

Lain-lain:

Undang-undang No. 20 tahun 1982.

21

Undang-undang nomor 27 tahun 1997.

Undang-undang nomor 56 tahun 1999.

Undang-undang nomor 3 tahun 2002.

Undang-undang nomor 34 tahun 2002.

Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Negara.

Konvensi Den Haag 1899 dan 1907.

Konvensi Jenewa 1949.

Protokol Tambahan 1977.