TINJAUAN HUKUM TERHADAP EUTANASIA STUDI KASUS: PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 344 KUHP TERHADAP UUD...

31
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Salah satu topik dalam membicarakan hak hidup adalah mengenai hak-hak yang tidak dapat diderogasi. Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asas manusia yang tiak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak hidup adalah salah satu hak absolute yang dimiliki setiap orang sedari mereka lahir. Dalam membahas hak hidup, maka akan terdapat tiga isu utama, yaitu mengenai hukuman mati, aborsi dan eutanasia. Dari ketiga isu tersebut, eutanasia adalah hal yang memberikan tantangan untuk dibahas secara komprehensif. Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri minim perdebatan atas hal ini. Berbeda dengan di Indonesia, perdebatan mengenai eutanasia sendiri adalah perdebatan yang sangat hangat untuk dibahas dan meimbulkan pro dan kontra yang begitu keras di negara Belanda, Inggris, dan Amerika. Namun, ditengah minimnya perdebatan mengenai eutanasia ini sendiri, terdapat suatu permohonan atas pengujian Pasal 344 KUHP terhadap pasal-pasal tentang hak untuk hidup di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik 1

Transcript of TINJAUAN HUKUM TERHADAP EUTANASIA STUDI KASUS: PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 344 KUHP TERHADAP UUD...

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Salah satu topik dalam membicarakan hak hidup adalah

mengenai hak-hak yang tidak dapat diderogasi. Pasal 28I

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,

hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak

untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asas manusia yang tiak

dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak hidup adalah

salah satu hak absolute yang dimiliki setiap orang sedari

mereka lahir.

Dalam membahas hak hidup, maka akan terdapat tiga isu

utama, yaitu mengenai hukuman mati, aborsi dan eutanasia.

Dari ketiga isu tersebut, eutanasia adalah hal yang

memberikan tantangan untuk dibahas secara komprehensif.

Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri minim perdebatan

atas hal ini. Berbeda dengan di Indonesia, perdebatan

mengenai eutanasia sendiri adalah perdebatan yang sangat

hangat untuk dibahas dan meimbulkan pro dan kontra yang

begitu keras di negara Belanda, Inggris, dan Amerika.

Namun, ditengah minimnya perdebatan mengenai

eutanasia ini sendiri, terdapat suatu permohonan atas

pengujian Pasal 344 KUHP terhadap pasal-pasal tentang hak

untuk hidup di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

1

Indonesia Tahun 1945. Permohonan ini diajukan oleh seorang

tunawisma yang bernama Ignatius Ryan Tumiwa.

Rumusan dari Pasal 344 KUHP adalah “Barang siapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang

jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pasal ini

biasa dikenal dengan pasal bunuh diri atau pasal suntik

mati. Pemohon beranggapan bahwa pasal ini telah

bertentangan dengan hak hidup yang dilindungi oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, pemohon dari permohonan ini juga meminta

agar Pemerintah membuat peraturan pelaksana dari suntik

mati atau dengan kata lain, pemohon menginginkan suatu

legislasi atas eutanasia. Permohonan ini sungguh

menggemparkan dunia hukum dan kedokteran. Bahkan hal-hal

yang tidak biasanya terjadi di dalam persidangan Mahkamah

Konstitusi pun terjadi di dalam persidangan kasus ini.

Makalah ini akan membahas mengenai eutanasia

berdasarkan studi kasus dari permohonan pengujian Pasal

344 KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang diajukan Igantius Ryan Tumiwa

terhadap Mahkamah Konstitusi. Pembahasan makalah ini akan

dimulai dengan pembahasan hak hidup sebagai hak yang tidak

dapat diderogasi, larangan eutanasia di Indonesia,

pengaturan eutanasia di negara-negara lain khususnya

Belanda, legislasi eutanasia, dan pro dan kontra terhadap

eutanasia itu sendiri. Penulis berharap makalah ini akan

memberikan manfaat yang besar terhadap dunia ilmu

2

pengetahuan dan perkembangan riset baik untuk kalangan

akademis maupun umum.

II. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai

berikut:

1. Mengapa hak hidup harus dipertahankan dan tidak dapat

diderogasi dalam keadaan apapun?

2. Mengapa eutanasia dilarang di Indonesia dan bertentangan

dengan hak hidup?

3. Bagaimana analisis yuridis terhadap pengujian Pasal 344

KUHP yang diajukan oleh Iganatius Ryan Tumiwa tentang

eutanasia ke Mahkamah Konstitusi?

III. Maksud dan Tujuan Penulisan

Maksud dari pembuatan makalah ini adalah untuk

memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sedangkan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui bahwa hak hidup harus dipertahankan dan

tidak dapat diderogasi dalam keadaan apapun.

2. Untuk mengetahui alasan dari larangan eutanasia di

Indonesia dan pertentangannya dengan hak hidup.

3. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap pengujian

Pasal 344 KUHP yang diajukan oleh Iganatius Ryan Tumiwa

tentang eutanasia ke Mahkamah Konstitusi.

3

BAB II

PEMBAHASAN

I. Landasan Teori

Manusia memiliki hak-hak dasar atau hak-hak pokok

yang dibawa sejak lahir. Hak ini lazim disebut dengan hak

asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak yang menjadi

anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Asasi dapat dimaknai

sebagai sebuah dasar. Maka hak-hak asasi ini adalah dasar

bagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya.

Hak asasi manusia tidak dapat dituntut pelaksanaannya

secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan hak asasi

secara mutlak akan melanggar hak-hak asasi yang sama dari

orang lain.1 Hal ini pun menuntut setiap manusia untuk

saling bertoleransi dalam mewujudkan haknya. Maka dari itu

untuk menjalankan hak asasi manusia harus terdapat

perangkat normatif agar tidak menimbulkan kegoyahan dalam

menjalankan sebuah sistem masyarakat.

Dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, terdapat

pemahaman dasar yang harus dipatuhi. Hal tersebut adalah

pemahaman dimana terdapat hak asasi yang dapat dikurangi

dan ada pula hak asasi yang tidak dapat dikurangi. Hal ini

lazim dikenal dengan hak yang dapat diderogasi dan hak

yang tidak dapat diderogasi.

Pada dasarnya, derogasi atau pembatasan hak asasi

manusia adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak

1 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia DewasaIni, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.11

4

asasi manusia itu sendiri. Derogasi adalah pengecualian,

yaitu suatu mekanisme dimana suatu negara menyimpangi

tanggung jawabnya secara hukum dikarenakan adanya situasi

yang darurat.2 Derogasi hanya dapat digunakan untuk hak-hak

dan kebebasan-kebebasan yang telah ditentukan.

Salah satu hak yang secara absolut tidak dapat

diderogasi adalah hak hidup. Hak untuk hidup adalah hak

yang memiliki nilai paling mendasar dari peradaban modern.

Apabila tidak ada hak untuk hidup maka tidak akan ada

persoalan hak asasi manusia lainnya.3

Dalam perdebatan mengenai hak hidup, muncul pro dan

konta yang berkaitan dengan kematian. Dimana terdapat

suatu pendapat yang menyatakan bahwa apabila manusia

memiliki hak untuk hidup maka kematian juga menjadi

konsekuensi logis dari hak tersebut apabila seseorang

menginginkannya. Terdapat tiga isu besar dalam diskursus

mengenai hal ini yaitu hukuman mati, eutanasia, dan

aborsi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih khusus

mengenai eutanasia.

Eutanasia

Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yakni kata “eu”

yang berarti baik dan “thanatos” yang berarti mati. Jadi

eutanasia berarti kematian yang baik atau mati secara

2 TT, “Prinsip-Prinsip Hak Asasi Mansia Dalam Hukum Hak Asasi ManusiaInternasional” (http://pusham.uii.ac.id/ham/8_Chapter2.pdf), diakses pada15 Mei 2015.

3 I Sriyanto dan Desiree Zuraida, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak untukHidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta:Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2004),hlm.1.

5

baik.4 Orang Inggris menggunakan kata “Merry Killing untuk

istilah ini.5

Pada zaman Yunani dan Romawi, penekanan eutanasia

terletak pada kehendak kematian seseorang yang mau

melepaskan diri dari penderitaan, terutama mereka yang

mengalami penyakit parah agar tidak membebani orang lain.6

Pythagoras melawan tindakan ini, ia melihat bahwa hidup

manusia mempunyai nilai keabadian. Sementara Plato melawan

tindakan bunuh diri tapi simpati pada eutanasia pada kasus

penderita yang berat. Aristoteles pun menolak eutanasia

dengan alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.7

Selain itu, dunia medis Yunani pun mempunyai perhatian

yang besar terhadap pembelaan hidup manusia. Hippokrates

mempunyai usaha yang gigih dalam memberikan pelayanan

medis dan mengupayakan kesehatan manusia. Hasil dari usaha

Hippokrates adalah sumpah jabatan bagi para dokter yang

ada saat ini.8 Selain itu juga terdapat tokoh-tokoh lain

yang memiliki perhatian khusus terhadap eutanasia, yaitu

Thomas More, David Hume, Alfred Hoche yang dapat dilihat

dari karya-karya ilmiah mereka.

Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk eutanasia,

yaitu sebagai berikut:9

a. Eutanasia Aktif

4 Jojn Macquaries dan James Childress, Edit., A New Dictionary of ChristianEthics, (London: SCM Press Ltd, 1998), hlm. 210-212.

5 F.A. Eka Yuantoro, Eutanasia, (Jakarta: Obor, 2005), hlm. 32.6 Ibid.,7 Michael Manning, M.D., Euthanasia And Physician-Assisted Suicide – Killing or

Caring, (New York: Paulist Press, 1998). Hlm. 6-78 Ibid., hlm. 8-9.9 F.A. Eka Yuantoro, Op.cit., hlm.38-40.

6

Eutanasia aktif adalah tindakan medis atau

pemberian obat yang dapat mempercepat kematian

seseorang. Tindakan ini sama dengan tindakan pembunuhan

yang menyebabkan kematian seseorang. Untuk menentukan

moralitas dari tindakan eutanasia aktif ini, perlu lagi

dilakukan pembedaan secara langsung dan tidak langsung.

Eutanasia aktif secara langsung sama dengan

tindakan pembunuhan hal ini dibedakan atas dua jenis,

yaitu atas kehendak pasien dan tanpa kehendak pasien.

Tindakan yang tanpa kehendak pasien ini secara mutlak

tidak dapat dibenarkan. Eutanasia aktif tidak langsung

adalah tindakan memberikan obat atau bantuan medis untuk

mengurangi rasa sakit dengan efek samping dapat

mempercepat proses kematian. Syaratnya adalah harus

dengan persetujuan pasien yang bersangkutan dan

pemberian obat atau tindakan medisnya harus dilakukan

secara proposional.

b. Eutanasia Pasif

Eutanasia pasif adalah peniadaan pemberian obat-

obatan atau tindakan medis yang dapat membantu pasien

bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Hal ini

dapat dibenarkan sejauh pemberian obat-obatan atau

tindakan medis yang dapat diberikan pada orang yang

bersangkutan adalah tindakan yang luar biasa.

Eutanasia adalah pembunuhan yang dilakukan atas dasar

belas kasihan kepada seorang individu dan atas permintaan

individu itu sendiri. Kondisi ini lahir akibat suatu

keadaan tidak berdaya atau tak ada harapan untuk sembuh.10

10 I Sriyanto, Op.cit., hlm. 8

7

Namun yang menjadi persoalan adalah sejauh mana

persetujuan korban dapat meniadakan kesalahan atas

pelanggaran terhadap hak untuk hidup? Apakah pelepasan hak

untuk hidup itu diizinkan?

Selain mengenai hak hidup, dalam perspektif hak asasi

manusia, eutanasia juga berkaitan dengan hak untuk

menentukan nasib sendiri. Sehingga ketika seseorang pada

akhirnya memutuskan untuk meminta mengakhiri kehidupannya

dengan cara eutanasia kemudian didasarkan pada hak

seseorang untuk menentukan hidupnya sendiri. Hak ini juga

merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia.

Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah

menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak

tersebut.

Eutanasia menjadi masalah yang dilematis apabila

dalam diri seseorang telah terjadi suatu penderitaan yang

sangat berat dan tidak dapat disembuhan lagi. Di

Indonesia, hak untuk melakukan eutanasia ini secara hukum

tidak diakui. Di negara-negara Eropa secara khusus Belanda

tindakan eutanasia telah diakui keberadaan dan

legalitasnya. Belanda sendiri sudah mengenal eutanasia

sejak tahun 1973.11 Tentunya dalam melakukan tindakan

eutanasia ini harus melalui prosedur dan persyaratan-

persyaratan yang harus dipenuhi agar eutanasia bisa

dilakukan. Persyaratan utama adalah berdasarkan permintaan

pasien yang telah memenuhi syarat yang kompeten.

11 Pingkan K. Paulus, Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Bnding Hukum NasionalBelanda), http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14999&val=1002, diakses pada 21 Mei 2015.

8

Setiap dokter di Belanda dimungkinan melakukan

eutanasia dan tidak akan dituntut di Belanda asalkan

mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.

Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultansi dengan

rekan sejawat dan membuat laporan dengan menjawab sekitar

50 pertanyaan. Di Belanda, eutanasia menjadi jalan menuju

ke arah deskriminalisasi pada tahun 1973. Perkembangan

tersebut diikuti dengan adanya jajak pendapat yang

menunjukkan kenaikkan dari 40% pada tahun 1966 kemudian

meningkat menjadi lebih dari 70% dukungan dan terus

berlanjut sejak tahun 1990.12

Di Indonesia sendiri, masalah eutanasia ini kembali

mencuat karena adanya permintaan pengujian undang-undang

yaitu atas Pasal 344 KUHP oleh Ignatius Ryan Tumiwa. Hal

ini berhubungan dengan permintaan eutanasia yang diajukan

olehnya. Kasus ini akan menjadi fokus analisis dari

makalah ini.

II. Landasan Yuridis

Untuk memahami suatu hal dari segi perangkat

normatif, maka dapat dikaji dari dua hal, yaitu instrumen

hukum internasional dan hukum nasional. Berikut adalah

penjabarannya.

Insrumen Hukum Internasional

12 Francis Pakes, Under Siege: The Global Fate of Euthanasia and Assisted SuicideLegislation dalam Eur. J. Crime Cr.L.Cr.J., hlm. 199.

9

Instrumen Hukum Internasional dalam membahas hak

asasi manusia memiliki perkembangan yang sedemikian rupa,

hal ini dapat dilihat dari ouput di tiap masa berupa

dokumen-dokumen sebagai berikut:

1. Magna Charta, 1215

2. Petition of right, 1628

3. Bill of Right, 1629

4. Revolusi Amerika, 1776

5. Revolusi Perancis, 1789

6. The Four Freedom by Franklin D. Roosevelt, 1941

7. Universal Declaration of Human Right (IDHR), 1948

8. International Covenan Civil and Political Right

(ICCPR), 1966, dan sebagainya.

Keseluruhan dari dokumen internasional mengenai hak

asasi manusia diatas membahas hak untuk hidup. Salah

satunya di dalam Pasal 3 IDHR dirumuskan bahwa “setiap

orang mempunyai hak atas kehidupan, kemerdekaan dan

keselamatannya”. Ketentuan ini sungguh menjelaskan secara

tegas adanya hak untuk hidup. Selain itu, instrument

internasional lainnya yang memberikan rumusan secara jelas

mengenai pengakuan atas hak hidup adalah ICCPR, yang

terletak pada Pasal 6, yaitu “setiap manusia melekat hak

untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak

seorang pun insan manusia yang boleh dikurangi hak

kehidupannya.”

Selain itu secara khusus diatur mengenai hak anak

dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang menyatakan para negara

peserta konvensi mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai

10

hak yang melekat atas kehidupannya. Sehingga tiap anak

dimuka bumi dapat menyatakan bahwa “aku harus tetap hidup

dan berkembang sebagai manusia.”13

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa hak hidup

adalah hak yang tidak dapat diderogasi. Hal ini diatur di

dalam ICCPR. Derogasi hanya dapat dilakukan apabila:

1. Negara dalam keadaan darurat yang mengacam kehidupan

bangsa dan keberaannya;

2. Pembatasan ini tidak boleh didasari atas diskriminsi

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau

asal-usul sosial;

3. Pembatasan ini harus dilaporkan ke Perserikatan

Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderal.

ICCPR mengatur bahwa hak-hak yang tidak bisa dikurangi

meliputi hak yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan

2), 11, 15, 6, dan 18, yakni hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak untuk tidak dipenjara hanya atas dasar

ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang muncul dari

perjanjian, hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum

yang berlaku surut, persamaan di muka hukum, dan berhak

atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Di luar

ketujuh pasal itu, dengan argumentasi hukum a contrario,

bisa dikurangi.

Dalam instrumen hukum internasional, tidak ada yang

secara jelas mengatur tentang eutanasia sebagai salah satu

dari isu hak hidup. Karena pada dasarnya eutanasia ini

masih menimbulkan pro dan kontra yang cukup keras di tiap

pertemuan yang membahas hak asasi manusia. Belanda sebagi13 I Sriyanto, Op.cit., hlm. 1.

11

salah satu negara yang melegalisasi eutanasia menerbitkan

undang-undang yang mengizinkan eutanasi pada tanggal 10

April 2001. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku

sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda

menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik

eutanasia. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab

Hukum Pidana Belanda secara formal eutanasia dan bunuh

diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan

kriminal.14

Instrumen Hukum Nasional

Menjadi kewajiban pemerintah dari negara hukum untuk

mengatur pelaksanaan dari hak asasi manusia, yang berarti

menjamin pelaksanannya, mengatur pembatasan-pembatasannya

demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara.

Dengan demikian diaturlah masalah fungsi negara dalam

penyelenggaraan hak dan kewajiban hak asasi manusia itu.

Di Indonesia, hak-hak asasi manusia diatur

pelaksanannya dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan pasal-pasal

dari batang tubuh UUD NRI 1945. Muatan hak asasi manusia

dimasukkan secara penuh dalam amandemen kedua. Pada

dasarnya UUD NRI 1945 telah memiliki muatan yang sejalan

dengan penegakan hak asasi manusia, baik pada pembukaan

UUD NRI 1945 maupun dalam batang tubuh UUD NRI 1945

tersebut. Ismail Suny dalam pidato yang berjudul

Perlindungan HAM dalam Konstitusi Indonesia menyebutkan

bahwa jika kita meneliti UUD 1945 dari sudut pandangan

HAM, kita akan menemukan lebih banyak di dalamnya dari14 Pingkan K. Paulus, loc.cit.,

12

pada banyak orang menduga bahwa ia tak mengandung HAM atau

beberapa pasal saja yang secara langsung mengenai HAM.15

Selain itu, menurut Steenbeek UUD NRI 1945 berisi tiga

pokok materi muatan, yakni pertama, adanya jaminan terhadap

hak-hak asasi manusia dan warganegara; kedua, ditetapkannya

susunan ketatanegararaan suatu negara yang bersifat

fundamental; dan, ketiga, adanya pembagian dan pembatasan

tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.16

Jika ditelaah peraturan perundang-undangan di

Indonesia, hampir seluruh undang-undang memuat nilai-nilai

hak asasi manusia di dalamnya. Namun yang menjadi dasar

penegakan hak asasi manusia adalah UUD NRI 1945, TAP MPR

No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, dan sebagainya. Kandungan hak hidup dapat dilihat

dalam tabel berikut ini.

15_Ismail Suny, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yarsif Watampone,2004, hlm. 177.

16_Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,Bandung: Alumni, 1987, hlm. 51.

13

No Pasal-Pasal

BAB XA

Perubahan

Kedua UUD

1945

Pasal-Pasal TAP

MPR NO.

XVII/MPR/1998

Pasal-Pasal UU NO.

39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi

Manusia

1 28A 9 Ayat (1) 1, 9

2 28B Ayat (2) Memiliki

kemiripan dengan

rumusan beberapa

pasal dari Bagian

Kesepuluh (Pasal

52-66)

53

3 28H Ayat (1) 40 28,29

4 28I Ayat (1) 4 4, 37

knn

Mengenai hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat

diderogasi terdapat dalam tabel pada poin kelima. Yaitu

dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 4 TAP MPR

No. XVII/MPR/1998, serta Pasal 4 dan 37 UU No. 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan

eutanasia, Indonesia melarang keras adanya tindakan

tersebut. Hal ini diatur dalam KUHP. Tindakan eutanasia

digolongkan sebagai kejahatan kriminal karena menghabisi

nyawa seseorang. Tindakan ini juga dinilai sebagai usaha

bunuh dii dan pihak-pihak yang terlibat akan mendapat

14

sanksi hukum sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini diatur

dalam Pasal 344 KUHP yang rumusannya adalah “Barang siapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang

jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Dari bunyi Pasal 344 KUHP ini, dapat dipahami bahwa

seseorang tidak boleh merampas nyawa orang lain atau

melakukan pembunuhan walaupun atas permintaan orang itu

sendiri.17 Rumusan kalimat yang perlu diperhatikan adalah

“permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan

kesungguhan hati”. Hal ini berkaitan dengan pembuktian.

Permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan

kesungguhan hati ini harus dapat dibuktikan. Karena jika

tidak, akan masuk kepada unsur delik pembunuhan, baik

pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP maupun

pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Seluruh instrumen hukum di Indonesia menyatakan bahwa

secara hukum, tindakan eutanasia ditolak di Indoonesia.

Hukum membela secara tegas hidup manusia karena hidup

manusia dipandang sebagai sesuatu yang luhur dan tidak

boleh diganggu-gugat.

III. Kasus Posisi18

17 Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusiadan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 71.

18 Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah SidangPerkara Nomor 55/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Kitab Undang-Undang HukumPidana Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945dalam Acara Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 16 Juli 2014 dan AcaraPerbaikan Permohonan tanggal 26 Agustus 2014.

15

Pada Juli 2014, Mahkamah Konstitusi dan pengamat hukum

di Indonesia dikejutkan dengan permohonan pengujian

undang-undang yaitu Pasal 344 KUHP terhadap pasal-pasal

hak hidup di dalam UUD NRI 1945 untuk dimintakan

pembatalan terhadapnya. Permohonan ini diajukan oleh

seorang tunawisma yang bernama Ignatius Ryan Tumiwa dan

beralamat di Jalan Taman Sari 10 Nomor 61, RT 008/03,

Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.

Setelah diperiksa pada sidang pemeriksaan pendahuluan

di Mahkamah Konstitusi, ternyata alasan dari pengajuan ini

adalah pemohon sebelumnya telah mengajukan permohonan

suntik mati ke Departemen Kesehatan, namun ditolak dengan

alasan terdapat larangan mengenai hal tersebut pada pasal

344 KUHP.

Atas dasar hal inilah, pemohon mengajukan pengujian

Pasal 344 KUHP. Namun, dalam sidang pemeriksaan

pendahuluan, mahkamah lebih banyak memberikan nasihat

dibandingkan mengenai pemeriksaan permohonannya itu

sendiri. Pada sidang selanjutnya yaitu perbaikan

permohonan, pemohon menarik kembali permohonannya karena

sudah menemukan hasrat untuk hidup kembali. Maka, dengan

penarikan permohonan ini, proses kasus terhenti sehingga

tidak diperiksa lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Hal yang patut dijadikan perhatian adalah di dalam

salah satu petitum permohonan, pemohon juga meminta

pemerintah Indonesia segera membuat peraturan pelaksanaan

16

untuk izin suntik mati terutama bagi anggota masyarakat

yang tidak mempunyai pekerjaan.19

IV. Analisis Kasus

Dalam menganalisis kasus ini, penulis melakukan

analisis dari berbagai hal yang dapat dianalisis. Berikut

adalah analisis yang dibagi dalam beberapa poin.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-

Undang

Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

undang-ndang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal ini pun

telah diatur di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi. Dari semua kewenangan

Mahkamah Konstitusi, salah satu kewenangan Mahkamah

Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutus

permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945.

Teknis dari tata cara pengujian undang-undang ini terdapat

dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005

tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-

Undang.

Pengujian undang-undang yang dimaksud adalah

pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian

formil merupakan pengujian undang-undang yang berkenaan

dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain

19 RZK, Ketika Permohonan Bikin Hakim MK Takut(http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt54086a348c287/ketika-permohonan-bikin-hakim-mk-takut), diakses pada 21 Mei 2015.

17

yang tidak termasuk pengujian materiil. Sedangkan

pengujian materil merupakan pengujian undang-undang yang

berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau

bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD

NRI 1945.20

Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk

melakukan pengujian tersebut. Karena yang diuji adalah

Pasal 344 KUHP yang merupakan peraturan tingkat undang-

undang terhadap UUD NRI 1945.

Pengajuan Permohonan

Pengajuan permohonan atas pengujian Pasal 344 KUHP

ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal ini terlihat di

dalam sidang pemeriksaan pendahuluannya. Di dalam sidang

pemeriksaan pendahuluan terdapat 3 Hakim yang menjadi

panel, yaitu Aswanto Usman sebagai ketua, Anwar Usman dan

Patrialis Akbar sebagai Anggota. Di dalam sidang

pemeriksaan pendahuluan, diketahui bahwa pengajuan

permohonan ini dilakukan dengan alasan bahwa pemohon ingin

mengakhiri hidupnya dengan suntik mati. Berdasarkan

pengakuan pemohon di persidangan, ia kesulitan untuk

mendapatkan pekerjaan, hidup sebatang kara, dikucilkan,

dan sering menjadi bahan cemooh sekitarnya. Keadaan-

keadaan ini menimbulkan stress dan depresi kepada pemohon.

Pemohon juga mengakui bahwa sebelumnya, ia juga telah

berusaha mempertanyakan apakah terdapat tunjangan hidup

20 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang PedomanBeracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, PMK No. 06/PMK/2005, Psl.4.

18

dari negara terhadap orang-orang yang tunawisma

sepertinya. Namun, Indonesia sampai saat ini memang belum

menyediakan tunjangan seperti itu. Karena lelah dan

menyerah untuk mendapatkan tunjangan hidup, maka ia fokus

kepada permintaannya untuk suntik mati. Namun,

permintaannya ini juga kembali ditolak oleh Departemen

Kesehatan dengan alasan hal tersebut akan menyalahi hukum

yang berlaku, yaitu Pasal 344 KUHP.21

Berdasarkan Pasal 11 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, di

dalam sidang pemeriksaan pendahuluan hakim bertugas untuk

memberikan masukan-masukan secara formil maupun materil

dari permohonan agar memenuhi persyaratan dalam peraturan

perundang-undangan. Masih banyak kekurangan-kekurangan

dari pengajuan permohonan ini. Hal-hal yang digarisbawahi

dalam sidang pemeriksaan pendahuluan adalah sebagai

berikut:

- Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah

Konstitusi memberikan putusan agar Pemerintah segera

membuat peraturan pelaksanaan izin suntik mati. Namun,

hakim panel menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah

kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.

- Norma yang dijadikan acuan pengujian masih kurang jelas

kausalitasnya dengan hal yang dimintakan oleh pemohon.

Sehingga hakim panel memberikan masukan untuk

memperbaikinya agar tidak perlu lagi mencantumkan

alasan hukum terhadap tidak mengikatnya norma undang-

21 Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit.,

19

undang yang dilakukan pengujian, tetapi langsung saja

kepada pasal di dalam UUD NRI 1945.

Namun, selain hal-hal yang diamanatkan dalam

peraturan perundang-undangan, hakim panel dalam sidang

pemeriksaan pendahuluan ini juga melakukan hal-hal yang

tidak biasanya. Di dalam persidangan tersebut, hakim panel

memberikan nasihat-nasihat semangat hidup kepada pemohon.

Khususnya, panel anggota Patrialis Akbar memberikan banyak

motivasi agar pemohon terus semangat dalam menghadapi

hidupnya. Ketiga hakim panel pun memberikan nasihat secara

persuasif pada pemohon agar dapat mencabut kembali

permohonannya.

Pada dasarnya, hakim hanya dibenarkan untuk

memberikan nasihat-nasihat yang menjadi inti dari

permohonan yang diajukan. Nasihat ini pun seharusnya hanya

dalam rangka untuk memperbaiki permohonannya saja. Namun

sidang dalam kasus ini terlihat berbeda karena hakim

memberikan banyak nasihat kehidupan dan keagamaan.

Walaupun hal ini merupakan contempt of court, tetapi hal ini

diperlukan dalam kasus-kasus khusus seperti ini.

Pengujian Pasal 344 KUHP terhadap UUD NRI 1945

Pasal yang dimintakan untuk diajukan pengujian adalah

Pasal 344 KUHP yang mana rumusannya adalah sebagai

berikut:

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiriyang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengn pidanapenjara paling lama dua belas tahun”

20

Sedangkan Pasal di dalam UUD NRI 1945 yang dijadikan

batu uji adalah semua pasal yang mengandung norma tentang

hak hidup, yaitu:

Pasal 28A

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupdan kehidupannya.”

Pasal 28H ayat (1)

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhakmemperoleh pelayanan kesehatan.”

Pasal 28I ayat (1)

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untukdiakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntutatas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yangtidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Jika ditelaah lagi makna dari Pasal 344 KUHP,

sebenarnya berarti permintaan untuk mati. Pasal ini juga

sering kali disebut dengan pasal untuk bunuh dari dan juga

pasal untuk sunti mati. Dengan adanya ketentuan dalam

Pasal 344 KUHP ini, berarti sudah jelas bahwa Indonesia

melarang dengan cara apapun kematian atas permintaan

sendiri, baik itu bunuh diri maupun permintaan untuk

suntik mati.

Namun, mengapa Ignatius Ryan Tumiwa mengajukan

pengujian Pasal 344 KUHP ini terhadap pasal-pasal hak

hidup di dalam UUD NRI 1945? Hal ini masih didasarkan pada

pro kan kontra terhadap pemahaman dimana setiap manusia

21

memiliki hak untuk hidup maka secara a contrario manusia juga

memiliki hak untuk mati.

Bagi pihak yang memiliki pendapat bahwa selain

memiliki hak untuk hidup, manusia juga memiliki hak untuk

mati, hal ini pun didukung bahwa manusia juga memiliki hak

lainnya yaitu right to self determination atau hak untuk menentukan

diri sendiri. Sampai saat ini, diskursus mengenai hak

untuk mati masih mengalami stagnansi dan menimbulkan

perdebatan yang tidak terselesaikan. Maka dari itu,

bukanlah suatu hal yang mengherankan jika Ignatius Ryan

Tumiwa mengajukan permohonan pengujian Pasal 344 untuk

dibatalkan.

Namun, yang harus dipahami adalah makna dalam pasal-

pasal UUD NRI 1945 mengenai hak hidup. Pasal yang menjadi

batu uji dari permohonan ini adalah pasal mengenai hak

hidup bukan hak untuk mati. Patrialis Akbar berpendapat

bahwa yang dilindungi dalam konstitusi adalah hak hidup

bukan hak mati.22 Sehingga jika dipahami secara demikian,

Pasal 344 KUHP ini tidak bertentangan dengan pasal-pasal

mengenai hak hidup dalam UUD NRI 1945 dan tidak perlu

dilakukan pengujian terhadapnya. Sudah jelas bahwa hukum

di Indonesia tidak mengakomodir hak untuk mati baik dalam

peraturan di tataran konstitusi maupun dalam tataran

undang-undang.

Legalisasi Eutanasia

22 TT, “Permohonan Legalisasi Suntik Mati Dicabut”http://m.beritametro.co.id/keadilan/ permohonan-legalisasi-suntik-mati-dicabut, diakses pada 22 Mei 2015.

22

Hal unik lainnya dalam pengajuan permohonan pengujian

Pasal 344 KUHP ini adalah dalam petitum permohonan yang

diajukan, pemohon meminta agar Pemerintah segera membuat

peraturan pelaksanaan izin suntik mati. Dalam arti lain,

pemohon meminta untuk adanya legalisasi dari suntik mati

atau eutanasia.

Legalisasi eutanasia merupakan usaha melegalkan

tindakan eutanasia agar diperbolehkan secara umum, artinya

bukan merupakan tindakan pelanggaran hukum atau norma yang

berlaku.23 Sehingga, orang yang membantu proses eutanasia

tidak akan dihukum oleh penegak hukum. Seperti yang sudah

dibahas sebelumnya, eutanasia dilarang di Indonesia dengan

Pasal 344 KUHP. Selain itu kode etik kedokteran yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Nomor

434/Men.Kes/SK/X/1983, pada Pasal 10 disebutkan bahwa

“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan

kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Bahkan

dalam bagian penjelasan, dengan tegas disebutkan bahwa

naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa,

termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Hal

tersebut adalah bagian tugas dari seorang dokter.

Di Indonesia, perhatian terhadap hak hidup manusia

masih dijunjung tinggi dan budaya untuk menghormati

manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat yang luhur

masih tertanam kuat dalam hati masyarakat. Hal ini pun

dapat dilhat dari masih banyaknya pihak yang kontra

terhadap hukuman mati untuk kasus narkoba padahal telah

23 F.A. Eka Yuantoro, Op.cit., hlm.52.

23

menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat luas. Atas

dasar keluhuran martabat manusia ini juga, perdebatan

legalisasi eutanasia di Indonesia tidak begitu keras

terjadi. Di Indonesia kesadaran masyarakat akan keluruhan

hidup manusia masih dijunjung tinggi. Hidup manusia perlu

dijunjung tinggi sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Maka Tuhan Yang Maha Esa jugalah yang berhak memberikan

kematian pada seseorang.

Berbeda halnya dengan Inggris dan Amerika, sekarang

ini terdapat gerakan besar untuk mengupayakan agar

eutanasia dilegalkan oleh hukum yang berlaku. Gerakan

tersebut bernama “Veluntary Euthanasia Legalization Society” dan

“Euthanasia Society America”. Gerakan ini memperjuangkan agar

eutanasia dipandang bukan sebagai kejahatan kriminal dan

bebas dari hukuman yang berat. Alasan mereka adalah

manusia mempunyai hak untuk mati. Oleh karena itu, apabila

seseorang diminta untuk membantu proses kematian

seseorang, orang ini tidak bersalah.24

Gerakan melegalkan eutanasia ini menimbulkan

perdebatan antara kelompok yang memperjuangkan legalisasi

tersebut dan yang kontra. Pihak yang menyetujui tindakan

eutanasia memiliki alasan-alasan sebagai berikut:

- Eutanasia dilakukan demi kemanusiaan. Seseorang yang

menderita sakit yang begitu parah dan hidup hanya

bergantung dengan alat dan tidak memiliki harapan untuk

sembuh dapt dibenarkan untuk melakukan eutanasia.

Selain itu manusia mempunyai otonominya sendiri untuk

24 Sean Cahill, Euthanasia: Problematic Of Morality and Law, (Roma: OFM.Cap,1970), hlm. 10.

24

menentukan nasibnya dan memilih untuk melakukan

eutanasia merupakan sebuah pilihan pribadi yang harus

dihormati. Ada hak universal dimana untuk mati dan

hidup sebagaimana dikehendaki seseorang, asalkan tidak

merugikan orang lain.25

- Memperhatikan keadaan pasien. Pasien yang dalam keadaan

menderita lebih baik dibantu untuk mati dibandingkan

dibantu untuk hidup dengan penderitaan yang

berkepanjangan.

- Memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi. Bagi orang

yang hidupnya tidak produktif dan hanya menghabiskan

biaya dengan bergantung dengan alat-alat yang mahal,

lebih baik dibantu dengan eutanasia. Karena banyak

pendapat yang menyatakan bahwa orang seperti ini lebih

baik mati dibandingkan hidup namun memberikan kesulitan

pada orang lain.

Sedangkan pihak yang menentang legalisasi eutanasia

memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

- Hidup manusia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang

luhur dan perlu dihomati dengan sungguh-sungguh.

- Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran bertujuan agar

membantu orang untuk tetap hidup secara baik dan

manusiawi. Sehingga diharapkan akan membantu pasien

untuk meringankan penderitaan yang ada.

- Ada perasaan sedih untuk berpisah dengan orang yang

dicintai dan berharap akan tetap masih dapat bersama.

25 Saju Chackalackal, Euthanasia: An Appraisal Of the Contoversy Over Life Death,(India: Dharmaram Publication, 2000), hlm. 25-26.

25

- Hidup manusia dilindungi oleh undang-undang dan perlu

diupayakan penegakannya. Nyawa seseorang tidak dapat

seenaknya diambil walaupun orang tersebut memintanya.

Dari semua pro dan kontra mengenai legalisasi

eutanasia ini, jika dikembalikan kepada kasus pemohonan

pengujian Pasal 344 KUHP oleh Iganitus Ryan Tumiwa, maka

eutanasia ini tidak dapat dibenarkan. Hal yang menjadi pro

dan kontra selama ini adalah mengenai seseorang yang sakit

parah dan tidak dapat disembuhkan. Sedangkan Ignatius Ryan

Tumiwa berada dalam keadaan yang sehat. Namun memang perlu

dorongan moril agar terbebas dari stress dan depresi

sehingga akan mengembalikan semangat hidupnya.

Hal ini juga dapat memberikan teguran pada pemerintah

akan banyaknya rakyat Indonesia yang hidup dengan tidak

bahagia dan sejahtera. Hal ini tentunya harus menjadi

evaluasi bagi semua pihak baik untuk pemerintah maupun

masyarakat sendiri.

26

BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan

Dari pembahasan dalam makalah ini maka terdapat

beberapa poin yang dapat dijadikan kesimpulan, yaitu

sebagai berikut:

- Hak hidup merupakan hak yang tidak dapat diderogasi dan

harus dipertahankan dalam keadaan apapun.

- Secara umum, eutanasia masih memiliki pro dan kontra

terdapat pembahasannya. Eutanasia melanggar salah satu

aspek dalam hak asasi manusia yaitu hak hidup tetapi

disisi lain harus dihargai sebagai pilihan hidup dalam

hak untuk menentukan kehidupannya sendiri.

- Eutanasia merupakan hal yang dilarang dalam hukum

Indonesia.

- Pasal 344 KUHP tidak bertentangan dengan hak hidup yang

ada dalam UUD NRI 1945 sehingga Pasal 344 KUHP tetap

konstitusional.

II. Saran

Dari berbagai kajian dan analisis yang penulis

lakukan dalam proses pembuatan makalah ini, penulis

menyarankan beberapa hal yaitu sebagai berikut:

- Hidup merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan

Yang Maha Esa dan sepatutnya tidak disia-siakan.

- Legalisasi eutanasia akan menjadikan gerbang bunuh diri

secara legal sehingga akan dijadikan sebagai jalan

pintai bagi oranh-orang yang mengalami kepahitan hidup.

27

- Pemerintah harus berupaya lebih keras lagi untuk

memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi

masyarakatnya.

28

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

_____. Undang-Undang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999,

LN No. 165 Tahun 1999, TLN. No. 3886.

_____. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun

2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.

_____. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,

PMK No. 06/PMK/2005.

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Risalah

Sidang Perkara Nomor 55/PUU-XII/2014 perihal Pengujian

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Acara

Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 16 Juli 2014 dan Acara

Perbaikan Permohonan tanggal 26 Agustus 2014.

Cahill, Sean. Euthanasia: Problematic Of Morality and Law. Roma: OFM.Cap,

1970.

Chackalackal, Saju. Euthanasia: An Appraisal Of the Contoversy Over Life

Death, India: Dharmaram Publication, 2000.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Sekitar Hak Asasi Manusia

Dewasa Ini. Jakarta: Djambatan, 2003.

Macquaries, Jojn dan James Childress. Edit., A New Dictionary of

Christian Ethics. London: SCM Press Ltd, 1998.

29

Manning, Michael. Euthanasia And Physician-Assisted Suicide – Killing or

Caring,. New York: Paulist Press, 1998.

Paulus, Pingkan K. Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum

Nasional Belanda),

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=1499

9&val=1002, diakses pada 21 Mei 2015.

Pakes, Francis. Under Siege: The Global Fate of Euthanasia and Assisted

Suicide Legislation dalam Eur. J. Crime Cr.L.Cr.J.

Prakoso, Djoko dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia, Hak Asasi

Manusia dan Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

RZK, Ketika Permohonan Bikin Hakim MK Takut

(http://www.hukumonline.com/

berita/baca/lt54086a348c287/ketika-permohonan-bikin-

hakim-mk-takut), diakses pada 21 Mei 2015.

Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung:

Alumni, 1987.

Sriyano, I dan Desiree Zuraida. Modul Instrumen HAM Nasional: Hak

untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, serta Hak

Mengembangkan Diri. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI

Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2004.

Suny, Ismail. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yarsif Watampone, 2004.

TT, “Permohonan Legalisasi Suntik Mati Dicabut”

http://m.beritametro.co.id/keadilan/ permohonan-

legalisasi-suntik-mati-dicabut, diakses pada 22 Mei 2015.

TT, “Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Hak Asasi

Manusia Internasional”

(http://pusham.uii.ac.id/ham/8_Chapter2.pdf), diakses

pada 15 Mei 2015.

30

31