TINJAUAN HUKUM TERHADAP EUTANASIA STUDI KASUS: PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 344 KUHP TERHADAP UUD...
Transcript of TINJAUAN HUKUM TERHADAP EUTANASIA STUDI KASUS: PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 344 KUHP TERHADAP UUD...
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Salah satu topik dalam membicarakan hak hidup adalah
mengenai hak-hak yang tidak dapat diderogasi. Pasal 28I
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asas manusia yang tiak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak hidup adalah
salah satu hak absolute yang dimiliki setiap orang sedari
mereka lahir.
Dalam membahas hak hidup, maka akan terdapat tiga isu
utama, yaitu mengenai hukuman mati, aborsi dan eutanasia.
Dari ketiga isu tersebut, eutanasia adalah hal yang
memberikan tantangan untuk dibahas secara komprehensif.
Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri minim perdebatan
atas hal ini. Berbeda dengan di Indonesia, perdebatan
mengenai eutanasia sendiri adalah perdebatan yang sangat
hangat untuk dibahas dan meimbulkan pro dan kontra yang
begitu keras di negara Belanda, Inggris, dan Amerika.
Namun, ditengah minimnya perdebatan mengenai
eutanasia ini sendiri, terdapat suatu permohonan atas
pengujian Pasal 344 KUHP terhadap pasal-pasal tentang hak
untuk hidup di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
1
Indonesia Tahun 1945. Permohonan ini diajukan oleh seorang
tunawisma yang bernama Ignatius Ryan Tumiwa.
Rumusan dari Pasal 344 KUHP adalah “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pasal ini
biasa dikenal dengan pasal bunuh diri atau pasal suntik
mati. Pemohon beranggapan bahwa pasal ini telah
bertentangan dengan hak hidup yang dilindungi oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, pemohon dari permohonan ini juga meminta
agar Pemerintah membuat peraturan pelaksana dari suntik
mati atau dengan kata lain, pemohon menginginkan suatu
legislasi atas eutanasia. Permohonan ini sungguh
menggemparkan dunia hukum dan kedokteran. Bahkan hal-hal
yang tidak biasanya terjadi di dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi pun terjadi di dalam persidangan kasus ini.
Makalah ini akan membahas mengenai eutanasia
berdasarkan studi kasus dari permohonan pengujian Pasal
344 KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang diajukan Igantius Ryan Tumiwa
terhadap Mahkamah Konstitusi. Pembahasan makalah ini akan
dimulai dengan pembahasan hak hidup sebagai hak yang tidak
dapat diderogasi, larangan eutanasia di Indonesia,
pengaturan eutanasia di negara-negara lain khususnya
Belanda, legislasi eutanasia, dan pro dan kontra terhadap
eutanasia itu sendiri. Penulis berharap makalah ini akan
memberikan manfaat yang besar terhadap dunia ilmu
2
pengetahuan dan perkembangan riset baik untuk kalangan
akademis maupun umum.
II. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengapa hak hidup harus dipertahankan dan tidak dapat
diderogasi dalam keadaan apapun?
2. Mengapa eutanasia dilarang di Indonesia dan bertentangan
dengan hak hidup?
3. Bagaimana analisis yuridis terhadap pengujian Pasal 344
KUHP yang diajukan oleh Iganatius Ryan Tumiwa tentang
eutanasia ke Mahkamah Konstitusi?
III. Maksud dan Tujuan Penulisan
Maksud dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sedangkan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui bahwa hak hidup harus dipertahankan dan
tidak dapat diderogasi dalam keadaan apapun.
2. Untuk mengetahui alasan dari larangan eutanasia di
Indonesia dan pertentangannya dengan hak hidup.
3. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap pengujian
Pasal 344 KUHP yang diajukan oleh Iganatius Ryan Tumiwa
tentang eutanasia ke Mahkamah Konstitusi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
I. Landasan Teori
Manusia memiliki hak-hak dasar atau hak-hak pokok
yang dibawa sejak lahir. Hak ini lazim disebut dengan hak
asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak yang menjadi
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Asasi dapat dimaknai
sebagai sebuah dasar. Maka hak-hak asasi ini adalah dasar
bagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Hak asasi manusia tidak dapat dituntut pelaksanaannya
secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan hak asasi
secara mutlak akan melanggar hak-hak asasi yang sama dari
orang lain.1 Hal ini pun menuntut setiap manusia untuk
saling bertoleransi dalam mewujudkan haknya. Maka dari itu
untuk menjalankan hak asasi manusia harus terdapat
perangkat normatif agar tidak menimbulkan kegoyahan dalam
menjalankan sebuah sistem masyarakat.
Dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, terdapat
pemahaman dasar yang harus dipatuhi. Hal tersebut adalah
pemahaman dimana terdapat hak asasi yang dapat dikurangi
dan ada pula hak asasi yang tidak dapat dikurangi. Hal ini
lazim dikenal dengan hak yang dapat diderogasi dan hak
yang tidak dapat diderogasi.
Pada dasarnya, derogasi atau pembatasan hak asasi
manusia adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak
1 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia DewasaIni, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.11
4
asasi manusia itu sendiri. Derogasi adalah pengecualian,
yaitu suatu mekanisme dimana suatu negara menyimpangi
tanggung jawabnya secara hukum dikarenakan adanya situasi
yang darurat.2 Derogasi hanya dapat digunakan untuk hak-hak
dan kebebasan-kebebasan yang telah ditentukan.
Salah satu hak yang secara absolut tidak dapat
diderogasi adalah hak hidup. Hak untuk hidup adalah hak
yang memiliki nilai paling mendasar dari peradaban modern.
Apabila tidak ada hak untuk hidup maka tidak akan ada
persoalan hak asasi manusia lainnya.3
Dalam perdebatan mengenai hak hidup, muncul pro dan
konta yang berkaitan dengan kematian. Dimana terdapat
suatu pendapat yang menyatakan bahwa apabila manusia
memiliki hak untuk hidup maka kematian juga menjadi
konsekuensi logis dari hak tersebut apabila seseorang
menginginkannya. Terdapat tiga isu besar dalam diskursus
mengenai hal ini yaitu hukuman mati, eutanasia, dan
aborsi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih khusus
mengenai eutanasia.
Eutanasia
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yakni kata “eu”
yang berarti baik dan “thanatos” yang berarti mati. Jadi
eutanasia berarti kematian yang baik atau mati secara
2 TT, “Prinsip-Prinsip Hak Asasi Mansia Dalam Hukum Hak Asasi ManusiaInternasional” (http://pusham.uii.ac.id/ham/8_Chapter2.pdf), diakses pada15 Mei 2015.
3 I Sriyanto dan Desiree Zuraida, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak untukHidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta:Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2004),hlm.1.
5
baik.4 Orang Inggris menggunakan kata “Merry Killing untuk
istilah ini.5
Pada zaman Yunani dan Romawi, penekanan eutanasia
terletak pada kehendak kematian seseorang yang mau
melepaskan diri dari penderitaan, terutama mereka yang
mengalami penyakit parah agar tidak membebani orang lain.6
Pythagoras melawan tindakan ini, ia melihat bahwa hidup
manusia mempunyai nilai keabadian. Sementara Plato melawan
tindakan bunuh diri tapi simpati pada eutanasia pada kasus
penderita yang berat. Aristoteles pun menolak eutanasia
dengan alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.7
Selain itu, dunia medis Yunani pun mempunyai perhatian
yang besar terhadap pembelaan hidup manusia. Hippokrates
mempunyai usaha yang gigih dalam memberikan pelayanan
medis dan mengupayakan kesehatan manusia. Hasil dari usaha
Hippokrates adalah sumpah jabatan bagi para dokter yang
ada saat ini.8 Selain itu juga terdapat tokoh-tokoh lain
yang memiliki perhatian khusus terhadap eutanasia, yaitu
Thomas More, David Hume, Alfred Hoche yang dapat dilihat
dari karya-karya ilmiah mereka.
Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk eutanasia,
yaitu sebagai berikut:9
a. Eutanasia Aktif
4 Jojn Macquaries dan James Childress, Edit., A New Dictionary of ChristianEthics, (London: SCM Press Ltd, 1998), hlm. 210-212.
5 F.A. Eka Yuantoro, Eutanasia, (Jakarta: Obor, 2005), hlm. 32.6 Ibid.,7 Michael Manning, M.D., Euthanasia And Physician-Assisted Suicide – Killing or
Caring, (New York: Paulist Press, 1998). Hlm. 6-78 Ibid., hlm. 8-9.9 F.A. Eka Yuantoro, Op.cit., hlm.38-40.
6
Eutanasia aktif adalah tindakan medis atau
pemberian obat yang dapat mempercepat kematian
seseorang. Tindakan ini sama dengan tindakan pembunuhan
yang menyebabkan kematian seseorang. Untuk menentukan
moralitas dari tindakan eutanasia aktif ini, perlu lagi
dilakukan pembedaan secara langsung dan tidak langsung.
Eutanasia aktif secara langsung sama dengan
tindakan pembunuhan hal ini dibedakan atas dua jenis,
yaitu atas kehendak pasien dan tanpa kehendak pasien.
Tindakan yang tanpa kehendak pasien ini secara mutlak
tidak dapat dibenarkan. Eutanasia aktif tidak langsung
adalah tindakan memberikan obat atau bantuan medis untuk
mengurangi rasa sakit dengan efek samping dapat
mempercepat proses kematian. Syaratnya adalah harus
dengan persetujuan pasien yang bersangkutan dan
pemberian obat atau tindakan medisnya harus dilakukan
secara proposional.
b. Eutanasia Pasif
Eutanasia pasif adalah peniadaan pemberian obat-
obatan atau tindakan medis yang dapat membantu pasien
bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Hal ini
dapat dibenarkan sejauh pemberian obat-obatan atau
tindakan medis yang dapat diberikan pada orang yang
bersangkutan adalah tindakan yang luar biasa.
Eutanasia adalah pembunuhan yang dilakukan atas dasar
belas kasihan kepada seorang individu dan atas permintaan
individu itu sendiri. Kondisi ini lahir akibat suatu
keadaan tidak berdaya atau tak ada harapan untuk sembuh.10
10 I Sriyanto, Op.cit., hlm. 8
7
Namun yang menjadi persoalan adalah sejauh mana
persetujuan korban dapat meniadakan kesalahan atas
pelanggaran terhadap hak untuk hidup? Apakah pelepasan hak
untuk hidup itu diizinkan?
Selain mengenai hak hidup, dalam perspektif hak asasi
manusia, eutanasia juga berkaitan dengan hak untuk
menentukan nasib sendiri. Sehingga ketika seseorang pada
akhirnya memutuskan untuk meminta mengakhiri kehidupannya
dengan cara eutanasia kemudian didasarkan pada hak
seseorang untuk menentukan hidupnya sendiri. Hak ini juga
merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia.
Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah
menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak
tersebut.
Eutanasia menjadi masalah yang dilematis apabila
dalam diri seseorang telah terjadi suatu penderitaan yang
sangat berat dan tidak dapat disembuhan lagi. Di
Indonesia, hak untuk melakukan eutanasia ini secara hukum
tidak diakui. Di negara-negara Eropa secara khusus Belanda
tindakan eutanasia telah diakui keberadaan dan
legalitasnya. Belanda sendiri sudah mengenal eutanasia
sejak tahun 1973.11 Tentunya dalam melakukan tindakan
eutanasia ini harus melalui prosedur dan persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi agar eutanasia bisa
dilakukan. Persyaratan utama adalah berdasarkan permintaan
pasien yang telah memenuhi syarat yang kompeten.
11 Pingkan K. Paulus, Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Bnding Hukum NasionalBelanda), http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14999&val=1002, diakses pada 21 Mei 2015.
8
Setiap dokter di Belanda dimungkinan melakukan
eutanasia dan tidak akan dituntut di Belanda asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.
Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultansi dengan
rekan sejawat dan membuat laporan dengan menjawab sekitar
50 pertanyaan. Di Belanda, eutanasia menjadi jalan menuju
ke arah deskriminalisasi pada tahun 1973. Perkembangan
tersebut diikuti dengan adanya jajak pendapat yang
menunjukkan kenaikkan dari 40% pada tahun 1966 kemudian
meningkat menjadi lebih dari 70% dukungan dan terus
berlanjut sejak tahun 1990.12
Di Indonesia sendiri, masalah eutanasia ini kembali
mencuat karena adanya permintaan pengujian undang-undang
yaitu atas Pasal 344 KUHP oleh Ignatius Ryan Tumiwa. Hal
ini berhubungan dengan permintaan eutanasia yang diajukan
olehnya. Kasus ini akan menjadi fokus analisis dari
makalah ini.
II. Landasan Yuridis
Untuk memahami suatu hal dari segi perangkat
normatif, maka dapat dikaji dari dua hal, yaitu instrumen
hukum internasional dan hukum nasional. Berikut adalah
penjabarannya.
Insrumen Hukum Internasional
12 Francis Pakes, Under Siege: The Global Fate of Euthanasia and Assisted SuicideLegislation dalam Eur. J. Crime Cr.L.Cr.J., hlm. 199.
9
Instrumen Hukum Internasional dalam membahas hak
asasi manusia memiliki perkembangan yang sedemikian rupa,
hal ini dapat dilihat dari ouput di tiap masa berupa
dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Magna Charta, 1215
2. Petition of right, 1628
3. Bill of Right, 1629
4. Revolusi Amerika, 1776
5. Revolusi Perancis, 1789
6. The Four Freedom by Franklin D. Roosevelt, 1941
7. Universal Declaration of Human Right (IDHR), 1948
8. International Covenan Civil and Political Right
(ICCPR), 1966, dan sebagainya.
Keseluruhan dari dokumen internasional mengenai hak
asasi manusia diatas membahas hak untuk hidup. Salah
satunya di dalam Pasal 3 IDHR dirumuskan bahwa “setiap
orang mempunyai hak atas kehidupan, kemerdekaan dan
keselamatannya”. Ketentuan ini sungguh menjelaskan secara
tegas adanya hak untuk hidup. Selain itu, instrument
internasional lainnya yang memberikan rumusan secara jelas
mengenai pengakuan atas hak hidup adalah ICCPR, yang
terletak pada Pasal 6, yaitu “setiap manusia melekat hak
untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak
seorang pun insan manusia yang boleh dikurangi hak
kehidupannya.”
Selain itu secara khusus diatur mengenai hak anak
dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang menyatakan para negara
peserta konvensi mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai
10
hak yang melekat atas kehidupannya. Sehingga tiap anak
dimuka bumi dapat menyatakan bahwa “aku harus tetap hidup
dan berkembang sebagai manusia.”13
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa hak hidup
adalah hak yang tidak dapat diderogasi. Hal ini diatur di
dalam ICCPR. Derogasi hanya dapat dilakukan apabila:
1. Negara dalam keadaan darurat yang mengacam kehidupan
bangsa dan keberaannya;
2. Pembatasan ini tidak boleh didasari atas diskriminsi
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau
asal-usul sosial;
3. Pembatasan ini harus dilaporkan ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa melalui Sekretaris Jenderal.
ICCPR mengatur bahwa hak-hak yang tidak bisa dikurangi
meliputi hak yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan
2), 11, 15, 6, dan 18, yakni hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak untuk tidak dipenjara hanya atas dasar
ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang muncul dari
perjanjian, hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum
yang berlaku surut, persamaan di muka hukum, dan berhak
atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Di luar
ketujuh pasal itu, dengan argumentasi hukum a contrario,
bisa dikurangi.
Dalam instrumen hukum internasional, tidak ada yang
secara jelas mengatur tentang eutanasia sebagai salah satu
dari isu hak hidup. Karena pada dasarnya eutanasia ini
masih menimbulkan pro dan kontra yang cukup keras di tiap
pertemuan yang membahas hak asasi manusia. Belanda sebagi13 I Sriyanto, Op.cit., hlm. 1.
11
salah satu negara yang melegalisasi eutanasia menerbitkan
undang-undang yang mengizinkan eutanasi pada tanggal 10
April 2001. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku
sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda
menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik
eutanasia. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab
Hukum Pidana Belanda secara formal eutanasia dan bunuh
diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan
kriminal.14
Instrumen Hukum Nasional
Menjadi kewajiban pemerintah dari negara hukum untuk
mengatur pelaksanaan dari hak asasi manusia, yang berarti
menjamin pelaksanannya, mengatur pembatasan-pembatasannya
demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara.
Dengan demikian diaturlah masalah fungsi negara dalam
penyelenggaraan hak dan kewajiban hak asasi manusia itu.
Di Indonesia, hak-hak asasi manusia diatur
pelaksanannya dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan pasal-pasal
dari batang tubuh UUD NRI 1945. Muatan hak asasi manusia
dimasukkan secara penuh dalam amandemen kedua. Pada
dasarnya UUD NRI 1945 telah memiliki muatan yang sejalan
dengan penegakan hak asasi manusia, baik pada pembukaan
UUD NRI 1945 maupun dalam batang tubuh UUD NRI 1945
tersebut. Ismail Suny dalam pidato yang berjudul
Perlindungan HAM dalam Konstitusi Indonesia menyebutkan
bahwa jika kita meneliti UUD 1945 dari sudut pandangan
HAM, kita akan menemukan lebih banyak di dalamnya dari14 Pingkan K. Paulus, loc.cit.,
12
pada banyak orang menduga bahwa ia tak mengandung HAM atau
beberapa pasal saja yang secara langsung mengenai HAM.15
Selain itu, menurut Steenbeek UUD NRI 1945 berisi tiga
pokok materi muatan, yakni pertama, adanya jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia dan warganegara; kedua, ditetapkannya
susunan ketatanegararaan suatu negara yang bersifat
fundamental; dan, ketiga, adanya pembagian dan pembatasan
tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.16
Jika ditelaah peraturan perundang-undangan di
Indonesia, hampir seluruh undang-undang memuat nilai-nilai
hak asasi manusia di dalamnya. Namun yang menjadi dasar
penegakan hak asasi manusia adalah UUD NRI 1945, TAP MPR
No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan sebagainya. Kandungan hak hidup dapat dilihat
dalam tabel berikut ini.
15_Ismail Suny, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yarsif Watampone,2004, hlm. 177.
16_Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,Bandung: Alumni, 1987, hlm. 51.
13
No Pasal-Pasal
BAB XA
Perubahan
Kedua UUD
1945
Pasal-Pasal TAP
MPR NO.
XVII/MPR/1998
Pasal-Pasal UU NO.
39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi
Manusia
1 28A 9 Ayat (1) 1, 9
2 28B Ayat (2) Memiliki
kemiripan dengan
rumusan beberapa
pasal dari Bagian
Kesepuluh (Pasal
52-66)
53
3 28H Ayat (1) 40 28,29
4 28I Ayat (1) 4 4, 37
knn
Mengenai hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat
diderogasi terdapat dalam tabel pada poin kelima. Yaitu
dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 4 TAP MPR
No. XVII/MPR/1998, serta Pasal 4 dan 37 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan
eutanasia, Indonesia melarang keras adanya tindakan
tersebut. Hal ini diatur dalam KUHP. Tindakan eutanasia
digolongkan sebagai kejahatan kriminal karena menghabisi
nyawa seseorang. Tindakan ini juga dinilai sebagai usaha
bunuh dii dan pihak-pihak yang terlibat akan mendapat
14
sanksi hukum sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini diatur
dalam Pasal 344 KUHP yang rumusannya adalah “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Dari bunyi Pasal 344 KUHP ini, dapat dipahami bahwa
seseorang tidak boleh merampas nyawa orang lain atau
melakukan pembunuhan walaupun atas permintaan orang itu
sendiri.17 Rumusan kalimat yang perlu diperhatikan adalah
“permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati”. Hal ini berkaitan dengan pembuktian.
Permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati ini harus dapat dibuktikan. Karena jika
tidak, akan masuk kepada unsur delik pembunuhan, baik
pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP maupun
pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.
Seluruh instrumen hukum di Indonesia menyatakan bahwa
secara hukum, tindakan eutanasia ditolak di Indoonesia.
Hukum membela secara tegas hidup manusia karena hidup
manusia dipandang sebagai sesuatu yang luhur dan tidak
boleh diganggu-gugat.
III. Kasus Posisi18
17 Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusiadan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 71.
18 Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah SidangPerkara Nomor 55/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Kitab Undang-Undang HukumPidana Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945dalam Acara Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 16 Juli 2014 dan AcaraPerbaikan Permohonan tanggal 26 Agustus 2014.
15
Pada Juli 2014, Mahkamah Konstitusi dan pengamat hukum
di Indonesia dikejutkan dengan permohonan pengujian
undang-undang yaitu Pasal 344 KUHP terhadap pasal-pasal
hak hidup di dalam UUD NRI 1945 untuk dimintakan
pembatalan terhadapnya. Permohonan ini diajukan oleh
seorang tunawisma yang bernama Ignatius Ryan Tumiwa dan
beralamat di Jalan Taman Sari 10 Nomor 61, RT 008/03,
Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Setelah diperiksa pada sidang pemeriksaan pendahuluan
di Mahkamah Konstitusi, ternyata alasan dari pengajuan ini
adalah pemohon sebelumnya telah mengajukan permohonan
suntik mati ke Departemen Kesehatan, namun ditolak dengan
alasan terdapat larangan mengenai hal tersebut pada pasal
344 KUHP.
Atas dasar hal inilah, pemohon mengajukan pengujian
Pasal 344 KUHP. Namun, dalam sidang pemeriksaan
pendahuluan, mahkamah lebih banyak memberikan nasihat
dibandingkan mengenai pemeriksaan permohonannya itu
sendiri. Pada sidang selanjutnya yaitu perbaikan
permohonan, pemohon menarik kembali permohonannya karena
sudah menemukan hasrat untuk hidup kembali. Maka, dengan
penarikan permohonan ini, proses kasus terhenti sehingga
tidak diperiksa lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal yang patut dijadikan perhatian adalah di dalam
salah satu petitum permohonan, pemohon juga meminta
pemerintah Indonesia segera membuat peraturan pelaksanaan
16
untuk izin suntik mati terutama bagi anggota masyarakat
yang tidak mempunyai pekerjaan.19
IV. Analisis Kasus
Dalam menganalisis kasus ini, penulis melakukan
analisis dari berbagai hal yang dapat dianalisis. Berikut
adalah analisis yang dibagi dalam beberapa poin.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-
Undang
Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-ndang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal ini pun
telah diatur di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Dari semua kewenangan
Mahkamah Konstitusi, salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Teknis dari tata cara pengujian undang-undang ini terdapat
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang.
Pengujian undang-undang yang dimaksud adalah
pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian
formil merupakan pengujian undang-undang yang berkenaan
dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain
19 RZK, Ketika Permohonan Bikin Hakim MK Takut(http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt54086a348c287/ketika-permohonan-bikin-hakim-mk-takut), diakses pada 21 Mei 2015.
17
yang tidak termasuk pengujian materiil. Sedangkan
pengujian materil merupakan pengujian undang-undang yang
berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD
NRI 1945.20
Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
melakukan pengujian tersebut. Karena yang diuji adalah
Pasal 344 KUHP yang merupakan peraturan tingkat undang-
undang terhadap UUD NRI 1945.
Pengajuan Permohonan
Pengajuan permohonan atas pengujian Pasal 344 KUHP
ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal ini terlihat di
dalam sidang pemeriksaan pendahuluannya. Di dalam sidang
pemeriksaan pendahuluan terdapat 3 Hakim yang menjadi
panel, yaitu Aswanto Usman sebagai ketua, Anwar Usman dan
Patrialis Akbar sebagai Anggota. Di dalam sidang
pemeriksaan pendahuluan, diketahui bahwa pengajuan
permohonan ini dilakukan dengan alasan bahwa pemohon ingin
mengakhiri hidupnya dengan suntik mati. Berdasarkan
pengakuan pemohon di persidangan, ia kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan, hidup sebatang kara, dikucilkan,
dan sering menjadi bahan cemooh sekitarnya. Keadaan-
keadaan ini menimbulkan stress dan depresi kepada pemohon.
Pemohon juga mengakui bahwa sebelumnya, ia juga telah
berusaha mempertanyakan apakah terdapat tunjangan hidup
20 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang PedomanBeracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, PMK No. 06/PMK/2005, Psl.4.
18
dari negara terhadap orang-orang yang tunawisma
sepertinya. Namun, Indonesia sampai saat ini memang belum
menyediakan tunjangan seperti itu. Karena lelah dan
menyerah untuk mendapatkan tunjangan hidup, maka ia fokus
kepada permintaannya untuk suntik mati. Namun,
permintaannya ini juga kembali ditolak oleh Departemen
Kesehatan dengan alasan hal tersebut akan menyalahi hukum
yang berlaku, yaitu Pasal 344 KUHP.21
Berdasarkan Pasal 11 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, di
dalam sidang pemeriksaan pendahuluan hakim bertugas untuk
memberikan masukan-masukan secara formil maupun materil
dari permohonan agar memenuhi persyaratan dalam peraturan
perundang-undangan. Masih banyak kekurangan-kekurangan
dari pengajuan permohonan ini. Hal-hal yang digarisbawahi
dalam sidang pemeriksaan pendahuluan adalah sebagai
berikut:
- Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah
Konstitusi memberikan putusan agar Pemerintah segera
membuat peraturan pelaksanaan izin suntik mati. Namun,
hakim panel menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah
kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
- Norma yang dijadikan acuan pengujian masih kurang jelas
kausalitasnya dengan hal yang dimintakan oleh pemohon.
Sehingga hakim panel memberikan masukan untuk
memperbaikinya agar tidak perlu lagi mencantumkan
alasan hukum terhadap tidak mengikatnya norma undang-
21 Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit.,
19
undang yang dilakukan pengujian, tetapi langsung saja
kepada pasal di dalam UUD NRI 1945.
Namun, selain hal-hal yang diamanatkan dalam
peraturan perundang-undangan, hakim panel dalam sidang
pemeriksaan pendahuluan ini juga melakukan hal-hal yang
tidak biasanya. Di dalam persidangan tersebut, hakim panel
memberikan nasihat-nasihat semangat hidup kepada pemohon.
Khususnya, panel anggota Patrialis Akbar memberikan banyak
motivasi agar pemohon terus semangat dalam menghadapi
hidupnya. Ketiga hakim panel pun memberikan nasihat secara
persuasif pada pemohon agar dapat mencabut kembali
permohonannya.
Pada dasarnya, hakim hanya dibenarkan untuk
memberikan nasihat-nasihat yang menjadi inti dari
permohonan yang diajukan. Nasihat ini pun seharusnya hanya
dalam rangka untuk memperbaiki permohonannya saja. Namun
sidang dalam kasus ini terlihat berbeda karena hakim
memberikan banyak nasihat kehidupan dan keagamaan.
Walaupun hal ini merupakan contempt of court, tetapi hal ini
diperlukan dalam kasus-kasus khusus seperti ini.
Pengujian Pasal 344 KUHP terhadap UUD NRI 1945
Pasal yang dimintakan untuk diajukan pengujian adalah
Pasal 344 KUHP yang mana rumusannya adalah sebagai
berikut:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiriyang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengn pidanapenjara paling lama dua belas tahun”
20
Sedangkan Pasal di dalam UUD NRI 1945 yang dijadikan
batu uji adalah semua pasal yang mengandung norma tentang
hak hidup, yaitu:
Pasal 28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupdan kehidupannya.”
Pasal 28H ayat (1)
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhakmemperoleh pelayanan kesehatan.”
Pasal 28I ayat (1)
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran danhati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untukdiakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntutatas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yangtidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Jika ditelaah lagi makna dari Pasal 344 KUHP,
sebenarnya berarti permintaan untuk mati. Pasal ini juga
sering kali disebut dengan pasal untuk bunuh dari dan juga
pasal untuk sunti mati. Dengan adanya ketentuan dalam
Pasal 344 KUHP ini, berarti sudah jelas bahwa Indonesia
melarang dengan cara apapun kematian atas permintaan
sendiri, baik itu bunuh diri maupun permintaan untuk
suntik mati.
Namun, mengapa Ignatius Ryan Tumiwa mengajukan
pengujian Pasal 344 KUHP ini terhadap pasal-pasal hak
hidup di dalam UUD NRI 1945? Hal ini masih didasarkan pada
pro kan kontra terhadap pemahaman dimana setiap manusia
21
memiliki hak untuk hidup maka secara a contrario manusia juga
memiliki hak untuk mati.
Bagi pihak yang memiliki pendapat bahwa selain
memiliki hak untuk hidup, manusia juga memiliki hak untuk
mati, hal ini pun didukung bahwa manusia juga memiliki hak
lainnya yaitu right to self determination atau hak untuk menentukan
diri sendiri. Sampai saat ini, diskursus mengenai hak
untuk mati masih mengalami stagnansi dan menimbulkan
perdebatan yang tidak terselesaikan. Maka dari itu,
bukanlah suatu hal yang mengherankan jika Ignatius Ryan
Tumiwa mengajukan permohonan pengujian Pasal 344 untuk
dibatalkan.
Namun, yang harus dipahami adalah makna dalam pasal-
pasal UUD NRI 1945 mengenai hak hidup. Pasal yang menjadi
batu uji dari permohonan ini adalah pasal mengenai hak
hidup bukan hak untuk mati. Patrialis Akbar berpendapat
bahwa yang dilindungi dalam konstitusi adalah hak hidup
bukan hak mati.22 Sehingga jika dipahami secara demikian,
Pasal 344 KUHP ini tidak bertentangan dengan pasal-pasal
mengenai hak hidup dalam UUD NRI 1945 dan tidak perlu
dilakukan pengujian terhadapnya. Sudah jelas bahwa hukum
di Indonesia tidak mengakomodir hak untuk mati baik dalam
peraturan di tataran konstitusi maupun dalam tataran
undang-undang.
Legalisasi Eutanasia
22 TT, “Permohonan Legalisasi Suntik Mati Dicabut”http://m.beritametro.co.id/keadilan/ permohonan-legalisasi-suntik-mati-dicabut, diakses pada 22 Mei 2015.
22
Hal unik lainnya dalam pengajuan permohonan pengujian
Pasal 344 KUHP ini adalah dalam petitum permohonan yang
diajukan, pemohon meminta agar Pemerintah segera membuat
peraturan pelaksanaan izin suntik mati. Dalam arti lain,
pemohon meminta untuk adanya legalisasi dari suntik mati
atau eutanasia.
Legalisasi eutanasia merupakan usaha melegalkan
tindakan eutanasia agar diperbolehkan secara umum, artinya
bukan merupakan tindakan pelanggaran hukum atau norma yang
berlaku.23 Sehingga, orang yang membantu proses eutanasia
tidak akan dihukum oleh penegak hukum. Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya, eutanasia dilarang di Indonesia dengan
Pasal 344 KUHP. Selain itu kode etik kedokteran yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Nomor
434/Men.Kes/SK/X/1983, pada Pasal 10 disebutkan bahwa
“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Bahkan
dalam bagian penjelasan, dengan tegas disebutkan bahwa
naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa,
termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Hal
tersebut adalah bagian tugas dari seorang dokter.
Di Indonesia, perhatian terhadap hak hidup manusia
masih dijunjung tinggi dan budaya untuk menghormati
manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat yang luhur
masih tertanam kuat dalam hati masyarakat. Hal ini pun
dapat dilhat dari masih banyaknya pihak yang kontra
terhadap hukuman mati untuk kasus narkoba padahal telah
23 F.A. Eka Yuantoro, Op.cit., hlm.52.
23
menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat luas. Atas
dasar keluhuran martabat manusia ini juga, perdebatan
legalisasi eutanasia di Indonesia tidak begitu keras
terjadi. Di Indonesia kesadaran masyarakat akan keluruhan
hidup manusia masih dijunjung tinggi. Hidup manusia perlu
dijunjung tinggi sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Maka Tuhan Yang Maha Esa jugalah yang berhak memberikan
kematian pada seseorang.
Berbeda halnya dengan Inggris dan Amerika, sekarang
ini terdapat gerakan besar untuk mengupayakan agar
eutanasia dilegalkan oleh hukum yang berlaku. Gerakan
tersebut bernama “Veluntary Euthanasia Legalization Society” dan
“Euthanasia Society America”. Gerakan ini memperjuangkan agar
eutanasia dipandang bukan sebagai kejahatan kriminal dan
bebas dari hukuman yang berat. Alasan mereka adalah
manusia mempunyai hak untuk mati. Oleh karena itu, apabila
seseorang diminta untuk membantu proses kematian
seseorang, orang ini tidak bersalah.24
Gerakan melegalkan eutanasia ini menimbulkan
perdebatan antara kelompok yang memperjuangkan legalisasi
tersebut dan yang kontra. Pihak yang menyetujui tindakan
eutanasia memiliki alasan-alasan sebagai berikut:
- Eutanasia dilakukan demi kemanusiaan. Seseorang yang
menderita sakit yang begitu parah dan hidup hanya
bergantung dengan alat dan tidak memiliki harapan untuk
sembuh dapt dibenarkan untuk melakukan eutanasia.
Selain itu manusia mempunyai otonominya sendiri untuk
24 Sean Cahill, Euthanasia: Problematic Of Morality and Law, (Roma: OFM.Cap,1970), hlm. 10.
24
menentukan nasibnya dan memilih untuk melakukan
eutanasia merupakan sebuah pilihan pribadi yang harus
dihormati. Ada hak universal dimana untuk mati dan
hidup sebagaimana dikehendaki seseorang, asalkan tidak
merugikan orang lain.25
- Memperhatikan keadaan pasien. Pasien yang dalam keadaan
menderita lebih baik dibantu untuk mati dibandingkan
dibantu untuk hidup dengan penderitaan yang
berkepanjangan.
- Memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi. Bagi orang
yang hidupnya tidak produktif dan hanya menghabiskan
biaya dengan bergantung dengan alat-alat yang mahal,
lebih baik dibantu dengan eutanasia. Karena banyak
pendapat yang menyatakan bahwa orang seperti ini lebih
baik mati dibandingkan hidup namun memberikan kesulitan
pada orang lain.
Sedangkan pihak yang menentang legalisasi eutanasia
memberikan alasan-alasan sebagai berikut:
- Hidup manusia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang
luhur dan perlu dihomati dengan sungguh-sungguh.
- Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran bertujuan agar
membantu orang untuk tetap hidup secara baik dan
manusiawi. Sehingga diharapkan akan membantu pasien
untuk meringankan penderitaan yang ada.
- Ada perasaan sedih untuk berpisah dengan orang yang
dicintai dan berharap akan tetap masih dapat bersama.
25 Saju Chackalackal, Euthanasia: An Appraisal Of the Contoversy Over Life Death,(India: Dharmaram Publication, 2000), hlm. 25-26.
25
- Hidup manusia dilindungi oleh undang-undang dan perlu
diupayakan penegakannya. Nyawa seseorang tidak dapat
seenaknya diambil walaupun orang tersebut memintanya.
Dari semua pro dan kontra mengenai legalisasi
eutanasia ini, jika dikembalikan kepada kasus pemohonan
pengujian Pasal 344 KUHP oleh Iganitus Ryan Tumiwa, maka
eutanasia ini tidak dapat dibenarkan. Hal yang menjadi pro
dan kontra selama ini adalah mengenai seseorang yang sakit
parah dan tidak dapat disembuhkan. Sedangkan Ignatius Ryan
Tumiwa berada dalam keadaan yang sehat. Namun memang perlu
dorongan moril agar terbebas dari stress dan depresi
sehingga akan mengembalikan semangat hidupnya.
Hal ini juga dapat memberikan teguran pada pemerintah
akan banyaknya rakyat Indonesia yang hidup dengan tidak
bahagia dan sejahtera. Hal ini tentunya harus menjadi
evaluasi bagi semua pihak baik untuk pemerintah maupun
masyarakat sendiri.
26
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Dari pembahasan dalam makalah ini maka terdapat
beberapa poin yang dapat dijadikan kesimpulan, yaitu
sebagai berikut:
- Hak hidup merupakan hak yang tidak dapat diderogasi dan
harus dipertahankan dalam keadaan apapun.
- Secara umum, eutanasia masih memiliki pro dan kontra
terdapat pembahasannya. Eutanasia melanggar salah satu
aspek dalam hak asasi manusia yaitu hak hidup tetapi
disisi lain harus dihargai sebagai pilihan hidup dalam
hak untuk menentukan kehidupannya sendiri.
- Eutanasia merupakan hal yang dilarang dalam hukum
Indonesia.
- Pasal 344 KUHP tidak bertentangan dengan hak hidup yang
ada dalam UUD NRI 1945 sehingga Pasal 344 KUHP tetap
konstitusional.
II. Saran
Dari berbagai kajian dan analisis yang penulis
lakukan dalam proses pembuatan makalah ini, penulis
menyarankan beberapa hal yaitu sebagai berikut:
- Hidup merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan
Yang Maha Esa dan sepatutnya tidak disia-siakan.
- Legalisasi eutanasia akan menjadikan gerbang bunuh diri
secara legal sehingga akan dijadikan sebagai jalan
pintai bagi oranh-orang yang mengalami kepahitan hidup.
27
- Pemerintah harus berupaya lebih keras lagi untuk
memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
masyarakatnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
_____. Undang-Undang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999,
LN No. 165 Tahun 1999, TLN. No. 3886.
_____. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun
2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
_____. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,
PMK No. 06/PMK/2005.
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Risalah
Sidang Perkara Nomor 55/PUU-XII/2014 perihal Pengujian
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Acara
Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 16 Juli 2014 dan Acara
Perbaikan Permohonan tanggal 26 Agustus 2014.
Cahill, Sean. Euthanasia: Problematic Of Morality and Law. Roma: OFM.Cap,
1970.
Chackalackal, Saju. Euthanasia: An Appraisal Of the Contoversy Over Life
Death, India: Dharmaram Publication, 2000.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Sekitar Hak Asasi Manusia
Dewasa Ini. Jakarta: Djambatan, 2003.
Macquaries, Jojn dan James Childress. Edit., A New Dictionary of
Christian Ethics. London: SCM Press Ltd, 1998.
29
Manning, Michael. Euthanasia And Physician-Assisted Suicide – Killing or
Caring,. New York: Paulist Press, 1998.
Paulus, Pingkan K. Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum
Nasional Belanda),
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=1499
9&val=1002, diakses pada 21 Mei 2015.
Pakes, Francis. Under Siege: The Global Fate of Euthanasia and Assisted
Suicide Legislation dalam Eur. J. Crime Cr.L.Cr.J.
Prakoso, Djoko dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia, Hak Asasi
Manusia dan Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
RZK, Ketika Permohonan Bikin Hakim MK Takut
(http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt54086a348c287/ketika-permohonan-bikin-
hakim-mk-takut), diakses pada 21 Mei 2015.
Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung:
Alumni, 1987.
Sriyano, I dan Desiree Zuraida. Modul Instrumen HAM Nasional: Hak
untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, serta Hak
Mengembangkan Diri. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI
Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2004.
Suny, Ismail. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yarsif Watampone, 2004.
TT, “Permohonan Legalisasi Suntik Mati Dicabut”
http://m.beritametro.co.id/keadilan/ permohonan-
legalisasi-suntik-mati-dicabut, diakses pada 22 Mei 2015.
TT, “Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional”
(http://pusham.uii.ac.id/ham/8_Chapter2.pdf), diakses
pada 15 Mei 2015.
30