WACANA ESTETIKA POSMODERNISME PADA KARAKTER WANITA DALAM GAME POPULER

13
WACANA ESTETIKA POSMODERNISME PADA KARAKTER WANITA DALAM GAME POPULER Wandah Wibawanto, S.Sn, M.Ds Dosen Seni Rupa, FBS Universitas Negeri Semarang email : [email protected] Abstrak Game merupakan salah satu bentuk hiburan yang menjadi fenomena global. Masing-masing genre game menawarkan ranah imajinasi yang sedemikian kaya. Sejumlah ide yang dikomunikasikan dalam game untuk membangun nilai estetik tampaknya dirancang agar memiliki daya jual, sekaligus hadir sebagai teks kultural. Game bergenre fighting yang berkembang saat ini dikembangkan di tengah kultur budaya posmodern yang memiliki kandungan isi majemuk. Karakter wanita dalam berbagai game berjenis fighting merupakan sebuah fenomena umum yang muncul seiring dengan pesatnya perkembangan genre di dalam game, sehingga penciptaan karakter wanita dalam game tersebut menjadi obyek kajian yang menarik. Kajian tanda pada visualisasi karakter wanita dalam game figting merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis teks (textual analysis), dimana keseluruhan elemen visual pada karakter merupakan teks kultural yang menjadi fokus obyek kajian. Keyword : wanita, visualisasi, wacana, postmodern. 1. Pengantar Game merupakan salah satu bentuk hiburan yang menjadi fenomena global. Masing-masing genre game menawarkan ranah imajinasi yang sedemikian kaya. Pada awalnya, game dibuat untuk sekedar permainan sederhana yang menguji ketangkasan atau kecepatan reaksi pemain game. Dalam perkembangannya, game telah berevolusi menjadi berbagai genre dan ditujukan untuk multi segmen. Mulai dari game yang memainkan peranan dalam kehidupan fantasi seperti jenis RPG (Role Playing Games), atau game yang menjual simulasi dari keadaan nyata (balap mobil dan simulasi pesawat)

Transcript of WACANA ESTETIKA POSMODERNISME PADA KARAKTER WANITA DALAM GAME POPULER

WACANA ESTETIKA POSMODERNISME PADA KARAKTER

WANITA DALAM GAME POPULER

Wandah Wibawanto, S.Sn, M.Ds

Dosen Seni Rupa, FBS Universitas Negeri Semarang

email : [email protected]

Abstrak

Game merupakan salah satu bentuk hiburan yang menjadi fenomena global.

Masing-masing genre game menawarkan ranah imajinasi yang sedemikian

kaya. Sejumlah ide yang dikomunikasikan dalam game untuk membangun

nilai estetik tampaknya dirancang agar memiliki daya jual, sekaligus hadir

sebagai teks kultural. Game bergenre fighting yang berkembang saat ini

dikembangkan di tengah kultur budaya posmodern yang memiliki kandungan

isi majemuk. Karakter wanita dalam berbagai game berjenis fighting

merupakan sebuah fenomena umum yang muncul seiring dengan pesatnya

perkembangan genre di dalam game, sehingga penciptaan karakter wanita

dalam game tersebut menjadi obyek kajian yang menarik. Kajian tanda pada

visualisasi karakter wanita dalam game figting merupakan penelitian kualitatif

yang menggunakan metode analisis teks (textual analysis), dimana

keseluruhan elemen visual pada karakter merupakan teks kultural yang

menjadi fokus obyek kajian.

Keyword : wanita, visualisasi, wacana, postmodern.

1. Pengantar

Game merupakan salah satu bentuk hiburan yang menjadi fenomena global.

Masing-masing genre game menawarkan ranah imajinasi yang sedemikian

kaya. Pada awalnya, game dibuat untuk sekedar permainan sederhana yang

menguji ketangkasan atau kecepatan reaksi pemain game. Dalam

perkembangannya, game telah berevolusi menjadi berbagai genre dan

ditujukan untuk multi segmen. Mulai dari game yang memainkan peranan

dalam kehidupan fantasi seperti jenis RPG (Role Playing Games), atau game

yang menjual simulasi dari keadaan nyata (balap mobil dan simulasi pesawat)

hingga permainan yang sudah ada di dunia nyata pun mampu dihidupkan

dalam berbagai mesin game (seperti monopoli, bilyard atau kartu).

Sejumlah ide yang dikomunikasikan dalam game untuk membangun nilai

estetik tampaknya dirancang agar memiliki daya jual, sekaligus hadir sebagai

teks kultural. Game yang hanya bertumpu pada kekuatan tema-tema populer

yang dangkal makna serta elemen grafis yang menarik dari segi visualisasi

saja, pada dasarnya dikembangkan hanya untuk mengejar nilai daya jual.

Untuk memenuhi prinsip daya jual tersebut, segala hal tampaknya sah untuk

dihadirkan. Baik itu sesuatu yang ganjil, bertentangan dengan nilai dan norma

(kontradiktif), maupun hal-hal yang tidak ada referensinya dengan realitas.

Game bergenre Fighting yang berkembang saat ini dikembangkan di tengah

kultur budaya posmodern yang memiliki kandungan isi majemuk. Posmodern

membuka pintu lebar bagi simpang siurnya berbagai gaya dari berbagai

seniman, periode maupun kebudayaan. Demikian juga dengan hal-hal yang

bersifat kontradiktif.

2. Obyek Kajian

Karakter wanita dalam berbagai game berjenis Fighting merupakan sebuah

fenomena umum yang muncul seiring dengan pesatnya perkembangan genre di

dalam game. Penciptaan karakter wanita menjadi obyek kajian yang menarik

karena figur-figur yang ditampilkan kerapkali dibuat dengan pendekatan

estetik yang berlebihan. Sehingga sering ditemui penciptaan karakter wanita

yang terlalu seksi namun mengabaikan aspek-aspek kewajaran.

Pada tulisan ini obyek kajian akan difokuskan pada karakter-karakter wanita

yang ada di dalam game bergenre Fighting populer. Seperti karakter Kazumi

dari game Dead or Alive (DoA) dan karakter Chun Li dari game Street

Fighter. Karakter wanita di dalam game sengaja dipilih disebabkan adanya

unsur ambivalensi pada visualisasi karakter. Secara umum, karakter wanita

super yang ada di dalam game ditampilkan sebagai sosok yang powerfull dan

tidak terkalahkan. Di lain sisi mereka tampak menggoda sekaligus

menggemaskan melalui kostum tradisional yang telah dimodifikasi sedemikian

rupa. Modifikasi baik dari penciptaan fisik karakter maupun sistem fashion

karakter wanita seperti Chun Li maupun Kazumi banyak mengandung

ambivalensi, dan terjadi fenomena tumpang tindihnya tanda yang menjadi

tanda dari budaya posmodern itu sendiri.

3. Metode Pendekatan

3.1. Pendekatan

Kajian tanda pada visualisasi karakter wanita dalam game ini merupakan

penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis teks (textual analysis),

dimana keseluruhan elemen visual pada karakter merupakan teks kultural yang

menjadi fokus obyek kajian. Penelitian ini bersandar pada cara peneliti

menafsirkan dan memahami kode (decoding) di balik tanda dan teks tersebut.

Metode analisis kualitatif teks awalnya memang muncul dalam ranah kritik

sastra, sebelum akhirnya dipakai dalam analisis film, game, dan sebagainya.

Analisis teks, yang merujuk pada usaha pencarian makna dalam tanda-tanda

dan simbol yang terkandung di dalam suatu produk kebudayaan, selama ini

telah menjadi penelitian yang populer dan dominan dalam studi-studi

kebudayaan.

Fenomena penciptaan karakter wanita berkebangsaan Cina dalam game

bergenre Fighting akan dianalisa terkait dengan budaya posmodern yang

menjadi masa dimana game tersebut berkembang. Fokus obyek kajian akan

diteliti terkait dengan gaya estetika budaya posmodern yang memungkinkan

terjadinya ambivalensi pada setiap elemen visual yang terdapat pada karakter

game.

3.2. Studi Pustaka

Wacana posmodern tidak dapat dipisahkan dari fenomena konsumerisme

dalam masyarakat konsumer serta pengetahuan yang melandasinya dan

beroperasi di baliknya.

Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan posmodern

antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang

dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah

tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media

dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang

ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman

(1992:98) menjelaskan bahwa posmodernitas berarti pembebasan yang pasti

dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari

mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman.

Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat

posmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat

posmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah

pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia posmodern; (3) ada

sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia posmodern disifatkan dengan

pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia

posmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada

sistem kapitalis multinasional.

Seperti kita ketahui, masyarakat kontemporer yang hidup dalam kebudayaan

posmodern lebih mementingkan citra daripada nilai utilitas (fungsi) dan

makna. Ketika pemain di dalam game bergenre Fighting dikondisikan untuk

senantiasa melakukan improvement terhadap penampilan avatarnya, maka

nilai-nilai yang terkandung pada setiap elemen visual yang melekat pada

avatar tersebut bukanlah hal yang penting. Sehingga yang terjadi adalah

tumpang tindihnya tanda serta penyalahgunaan fungsi tanda pada elemen-

elemen visual dalam game.

Pendekatan utama posmodernitas terhadap gaya adalah memperlakukan gaya

sebagai suatu bentuk komunikasi yang dapat disebut sebagai komunikasi

ironis-bentuk komunikasi yang didalamnya bukan makna-makna dari pesan

yang dijunjung tinggi, melainkan kegairahan dalam permainan bebas tanda

dan kode. Konsep seperti ini merupakan konsep yang diwujudkan tidak hanya

pada bahasa estetik seni posmodernisme, akan tetapi juga produk-produk

konsumernya (Piliang,2003:183).

Dalam Hipersemiotika (2003:187-205), Yasraf Amir Piliang

mengklasifikasikan 5 idiom estetik dalam diskursus seni posmodernisme,

antara lain Pastiche, Parodi, Kitsch, Camp dan Skizofrenia.

Pastiche merupakan unsur pinjaman yang memiliki konotasi negatif dengan

miskinnya kreatifitas, orisinalitas, keotentikan dan kebebasan. Eksistensi karya

pastiche sangat bergantung pada eksistensi kebudayaan dan karya-karya masa

lalu yang telah ada sebelumnya.Teks pastiche mengambil dan mengimitasi

berbagai fragmen masa lalu,sekaligus mencerabutnya dari semangat zamannya

untuk kemudian ditempatkan dalam semangat zaman masa kini. Dalam

diskursus kebudayaan posmodern, pastiche menjadi salah satu bentuk bahasa

estetik yang dominan.

Parodi adalah satu bentuk dialog yang bertujuan untuk mengekspresikan

perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas

gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Dalam kaitan ini parodi menjadi

semacam bentuk oposisi atau kontras diantara berbagai teks, karya atau gaya.

Parodi juga merupakan suatu bentuk imitasi. Pastiche dan parodi memiliki

kesamaan, yaitu keduanya sama-sama bergantung pada teks, karya atau gaya

masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkatnya. Perbedaanya pastiche hadir

sebagai suatu bentuk apresiasi, sedangkan parodi merupakan bentuk kritikan,

kecaman dan sindiran.

Kitsch adalah sebuah bentuk representasi palsu. Produksi kitsch lebih

didasarkan oleh semangat reproduksi, adaptasi dan simulasi. Kitsch

merupakan demitoisasi nilai-nilai seni tinggi. Umberto Eco menyebutkan

bahwa kitsch merupakan bentuk penyimpangan dari medium yang sebenarnya.

Meskipun sering rancu dengan kitsch, camp bukanlah satu bentuk selera

rendah melainkan estetika dalam pengertian keartifisialan dan penggayaan.

Estetisme semacam ini dapat dipandang sebagai sebuah pengembangan gaya

yang melakukan pemberontakan menentang gaya elit kebudayaan tinggi.

Skizofrenia didefiniskan sebagai putusnya rantai petandaan, yaitu rangkaian

sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan makna.

Skizofrenia merupakan penghargaan terhadap nilai oposisi

4. Analisis

4.1 Visualisasi karakter wanita dalam game bergenre Fighting

a. Chun Li dalam game Street Fighter II

Karakter Chun Li pertama kali terlihat pada Street Fighter II dan menjadi

satu-satu karakter wanita yang ada di line-up game tersebut. Kisah Chun-Li

berkisar pada misinya membalas dendam kematian ayahnya yang telah

dibunuh M.Bison. Ia bergabung sebagai polisi interpol dan mencoba

melacak organisasi Shdaloo milik Bison dan berusaha keras untuk

menghancurkannya.

Gambar 1. karakter Chun li

(sumber :

http://man3k.files.wordpress.com/2007/12/comic_sfl_chunli.jpg)

Secara visual, karaketr Chun Li digambarkan memiliki bentuk tubuh atletis

dan relatif besar untuk ukuran wanita. Tubuhnya tampak sangat berotot

dan kurang proporsional. Sekilas, karakter Chun Li tampak seperti

binaragawati dengan payudara berukuran besar.

Ekspresi wajah karakter Chun Li tegas dan tak terkalahkan. Bahasa

tubuhnya menunjukkan bahwa Chun Li adalah pribadi yang cekatan,

tangkas, lentur dan atletis. Seringkali melakukan adegan ekstrim.

b. Ka z umi dalam game Dead or Alive

Gambar 2. karakter Kazumi dalam DoA

(sumber : http://ui28.gamespot.com/1691/Kazumiart2_2.jpg)

Karakter Kazumi digambarkan sebagai seorang ninja yang ahli dalam

Mugen Tenshin Style Ninjutsu. Ia tadinya ditakdirkan menjadi master ke 18

Mugen Tenshin Ninja Clan tapi ia melarikan diri untuk mengikuti

turnamen Dead or Alive. Kazumi mengikuti turnamen ini guna

mengalahkan Raidou, pria yang telah mengalahkan salah satu saudaranya

bernama Hayate. Akibat meninggalkan clan ninjanya, Kazumi menjadi

buronon dan dikejar oleh ninja lainnya.

Bentuk tubuh yang ditampilkan pada karakter Kazumi tampak sangat seksi

dengan penggambaran ukuran payudara dan pantat yang cenderung

dilebih-lebihkan. Ekspresi wajah tampak innocent (tanpa dosa), menggoda,

dan sedikit binal. Kazumi menjadi salah satu tokoh DoA yang paling

digemari oleh gamers karena kemampuan bertarungnya serta penampilan

seksinya.

4.2 Rujukan penciptaan karakter

Karakter Chun Li yang digambarkan sebagai karakter berkebangsaan China

memperoleh rujukan visualnya dari sosok wanita berkebangsaan sejenis. Hal

tersebut dapat dilihat melalui sistem fashion karakter Chun Li. Untuk

melihat perbandingan sistem fashion karakter Chun Li dengan gaya busana

tradisional China dapat dilihat gambar berikut ini.

Kesamaan sistem fashion dapat dilihat terutama pada bentuk krah serta

bentuk belahan pada pakaian. Sistem fashion pada busana tradisional China

memberikan kesan anggun dan elegan pada pemakainya. Sedangkan

modifikasi sistem fashion yang dikenakan oleh karakter Chun Li

memberikan kesan gagah dan keleluasan bergerak. Ditambah aksesoris

berupa spiky bracelet yang dipadu dengan sepatu boots, sistem fashion

karakter Chun Li seakan memberikan kesan ingin mendobrak tradisi.

Krah ShanghaiKrah Shanghai

Siluet bajuSiluet baju

Aksesoris Aksesoris

Sedangkan gaya rambut tampak tidak terlalu banyak dimodifikasi dan

masih menunjukkan kemiripan yang dominan. Hal tersebut tampaknya

dipertahankan untuk meninggalkan kesan feminin pada tampilan Chun Li

yang cenderung kekar dan perkasa.

Rujukan karakter Kazumi adalah ninja wanita dari legenda Jepang. Untuk

melihat sistem fashionnya, dapat dilihat gambar berikut;

Jika dilihat secara seksama, kesamaan sistem fashion tampak pada baju

bagian luar, ikat pinggang serta senjata berupa pedang. Baju bagian dalam yang

sengaja dihilangkan menyebakan lekuk tubuh Kazumi terekpos secara

maksimal. Hal tersebut yang memberi perbedaan besar antara tampilan ninja

wanita yang sesungguhnya dengan karakter Kazumi.

Karakter legenda ninja yang selalu ditampilkan misterius, gesit dan tegas

berubah menjadi karakter yang menggoda dan tampil vulgar melalui

visualisasi karakter Kazumi secara keseluruhan.

Pedang

PedangIkat pinggang

Baju luar

Baju dalam

Celana

Sepatu

Baju luar

Ikat pinggang

Sepatu

4.3. Karakter versus Rujukan

Disadari atau tidak, penciptaan karakter wanita pada game Fighting populer

tidak dapat terlepas dari wacana posmodern, dimana pemain game tersebut

hidup di dalamnya. Sehingga dengan menganalisis secara sederhana tampilan

visual karakter game saja kita sudah dapat melihat bahwa ambivalensi dan

kondisi hipereal menjadi ciri yang sangat dominan. Karakter yang semakin

disukai oleh gamers adalah karakter ciptaan yang melebihi subyek rujukan.

Melalui perbandingan sistem fashion antara karakter dengan rujukannya, dapat

dilihat bahwa terdapat permainan tanda dalam penciptaan karakter wanita

dalam game Street Fighter dan Dead or Alive. Permainan tanda tersebut

tampak pada modifikasi pakaian yang dikenakan oleh masing-masing karakter.

Inspirasi sistem fashion pada kedua karakter tersebut berawal dari baju

tradisional yang pada umumnya menjadi nilai jati diri sebuah komunitas. Nilai-

nilai pada sistem fashion tradisional sengaja dihilangkan dari kesan serta

maknanya, kemudian dihadirkan dalam bentuk baru yang akhirnya

menimbulkan kesan dan makna baru. Sebagai contoh, baju tradisional Cina

yang berkesan elegan, anggun dan rapi kemudian dimodifikasi menjadi baju

yang “super mini” dan perkasa. Modifikasi sistem fashion tersebut tiddak

hanya mengubah unsur visual namun juga mencerabut nilai-nilai yang ada di

dalamnya.

Pada kebudayaan Cina klasik, wanita yang paling cantik adalah wanita yang

memiliki ukuran kaki paling kecil. Sehingga mereka rela mengikat seluruh

telapak kakinya dengan kencang agar tidak tumbuh berkembang. Mereka

sengaja mengungkung aktivitas mereka demi mencapai mitos kecantikan yang

telah lama berkembang dalam tradisi mereka. Dengan demikian, wanita tidak

digambarkan sebagai wanita yang bergerak lincah, kesit apalagi menguasai

ilmu bela diri yang tinggi. Karakter Chun Li telah mendobrak paradigma

kebudayaan Cina, terutama mengenai sosok wanita yang ideal dan cantik.

Selain itu aksesoris berupa spinky bracelet dari gaya fashion punk serta

penggunaan boots merupakan bentuk perpaduan fashion yang bersifat

ambivalen. Baju tradisional cina yang menyimpan begitu banyak nilai

kemudian digabungkan dengan unsur kebudayaan yang berasal dari masa kini.

Baudrilard menyebut hal semacam ini sebagai kondisi pemiskinan kualitas

pertandaan yang sesungguhnya (1990:75), atau diistilahkan sebagai kitsch.

Kitsch merupakan salah satu idiom yang berkembang dalam diskursus

posmodernisme dan merupakan salah satu bentuk estetika hiperealitas. Kitsch

menanggalkan makna-makna mitologis, ideologis dan spiritual kebudayaan

tinggi dan menjadikannya tak lebih dari sebuah tanda, dimana maknanya tak

perlu lagi merujuk pada referensi dunia realitas (Piliang, 2003:196).

Disamping demitoisasi nilai-nilai yang dapat kita lihat pada sistem fashion

karakter, kita juga melihat adanya upaya untuk menampilkan gaya eklektik.

Eklektik yang menggabungkan berbagai unsur kebudayaan serta periode yang

berbeda dan ditampilkan kembali dalam sebuah ruang kesejarahan akan

menimbulkan bias, karena unsur-unsur visualnya tidak mengandung kebenaran.

Melalui tampilan visual karakter wanita seperti Chun Li dan Kazumi, pemain

dikondisikan untuk suka melihat representasi manusia yang jauh melebihi

kenyataan. Sehingga segala sesuatu yang tampak bagus sah saja dikenakan

sebagai atribut meskiput hal tersebut bertentangan dengan nilai, ruang, waktu.

Faurschou (1988:79) mengklaim bahwa komoditas fashion posmodern

memiliki ciri-ciri yang semrawut (chaotic), terfragmentasi dan sukar dipahami.

Budaya posmodern kerap lebih fokus terhadap eksploitasi dan manipulasi

terhadap kebutuhan imajinasi manusia, oleh karena itu tumpang tindihnya

tanda menjadi ciri-ciri produk budaya posmodern.

5. Kesimpulan

Pemikiran posmodernisme yang mementingkan aspek citra dibandingkan aspek

utilitas dapat dilihat melalui penciptaan karakter wanita dalam game Street

Fighter dan game Dead or Alive. Hal ini tampak antara lain melalui komoditas

fashion yang terfragmentasi dan sukar dipahami.

Para gamers sebagai konsumen dari game disuguhi visualisasi karakter wanita

yang jauh melebihi referensinya dalam realitas, bahkan menjelma menjadi

referensi bagi dirinya sendiri. Komoditas fashion yang tampak semrawut juga

diyakini tidak akan menjadi suatu hal yang dipermasalahkan bagi para gamers

karena kondisi chaotic semacam itu merupakan hal yang wajar dalam dunia

game.

Penerapan konsep estetika posmodern tersebut sangat terkait dengan

keberadaan gamers selaku konsumen yang hidup dalam budaya populer.

Budaya populer yang sangat terkait dengan keberadaan CMC (Computer

Mediated Communication) telah menempatkan gamers untuk terbiasa

mengalami pengalaman-pengalaman virtual dengan situasi dan kejadian yang

berbeda setiap saat. Pengalaman virtual tersebut adalah pengalaman yang

umumnya tidak dapat mereka temui dalam realitas. Sehingga segala sesuatu

yang melebihi realitas ataupun yang tidak ada referensinya dalam realitas

bukanlah hal yang dirasa ganjil, bahkan sudah menjadi kewajaran yang menjadi

bagian dari hidup para gamers. Segala hal yang menjadi batas secara fisik dapat

dilenyapkan melalui realisme virtual. Kedalaman nilai pada sebagian kecil

unsur kebudayaan tradisional yang tampak pada penciptaan karakter wanita

dalam perkembangannya hanya dipinjam sebagai elemen pelengkap untuk

memenuhi hasrat pencitraan pemain.

6. Referensi

Adorno, Theodor dan Horkheimer, Max. 1979. Dialectic of Enlightment. London :

Verso

Audifax. 2006. Imagining Lara Croft: Psikosemiotika, Hiperealitas dan Simbol-

Simbol Kebudayaan. Yogyakarta:Jalasutra

Barnard, Malcom. 2007. Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan

Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta:Jalasutra

Baudrillard, Jean. 1981. Fetishism and Ideology dalam For A Critique of The

Political Economy of The Sign. Buku Elektronik online.

books.google.co.id/books?isbn=0914386247 (diakses tanggal 13 Agustus

2010)

Faurschou, G. 1988. Fashion and The Cultural Logic of Posmodernity.

London:Macmillan

Pilliang, Yasraf A. 2003. Hipersemiotika:Tafsir Cultural Studies atas Matinya

Makna. Bandung:Penerbit Jalasutra