pengaruh masyarakat terhadap tingkah laku wanita pada pria ...
WACANA ESTETIKA POSMODERNISME PADA KARAKTER WANITA DALAM GAME POPULER
Transcript of WACANA ESTETIKA POSMODERNISME PADA KARAKTER WANITA DALAM GAME POPULER
WACANA ESTETIKA POSMODERNISME PADA KARAKTER
WANITA DALAM GAME POPULER
Wandah Wibawanto, S.Sn, M.Ds
Dosen Seni Rupa, FBS Universitas Negeri Semarang
email : [email protected]
Abstrak
Game merupakan salah satu bentuk hiburan yang menjadi fenomena global.
Masing-masing genre game menawarkan ranah imajinasi yang sedemikian
kaya. Sejumlah ide yang dikomunikasikan dalam game untuk membangun
nilai estetik tampaknya dirancang agar memiliki daya jual, sekaligus hadir
sebagai teks kultural. Game bergenre fighting yang berkembang saat ini
dikembangkan di tengah kultur budaya posmodern yang memiliki kandungan
isi majemuk. Karakter wanita dalam berbagai game berjenis fighting
merupakan sebuah fenomena umum yang muncul seiring dengan pesatnya
perkembangan genre di dalam game, sehingga penciptaan karakter wanita
dalam game tersebut menjadi obyek kajian yang menarik. Kajian tanda pada
visualisasi karakter wanita dalam game figting merupakan penelitian kualitatif
yang menggunakan metode analisis teks (textual analysis), dimana
keseluruhan elemen visual pada karakter merupakan teks kultural yang
menjadi fokus obyek kajian.
Keyword : wanita, visualisasi, wacana, postmodern.
1. Pengantar
Game merupakan salah satu bentuk hiburan yang menjadi fenomena global.
Masing-masing genre game menawarkan ranah imajinasi yang sedemikian
kaya. Pada awalnya, game dibuat untuk sekedar permainan sederhana yang
menguji ketangkasan atau kecepatan reaksi pemain game. Dalam
perkembangannya, game telah berevolusi menjadi berbagai genre dan
ditujukan untuk multi segmen. Mulai dari game yang memainkan peranan
dalam kehidupan fantasi seperti jenis RPG (Role Playing Games), atau game
yang menjual simulasi dari keadaan nyata (balap mobil dan simulasi pesawat)
hingga permainan yang sudah ada di dunia nyata pun mampu dihidupkan
dalam berbagai mesin game (seperti monopoli, bilyard atau kartu).
Sejumlah ide yang dikomunikasikan dalam game untuk membangun nilai
estetik tampaknya dirancang agar memiliki daya jual, sekaligus hadir sebagai
teks kultural. Game yang hanya bertumpu pada kekuatan tema-tema populer
yang dangkal makna serta elemen grafis yang menarik dari segi visualisasi
saja, pada dasarnya dikembangkan hanya untuk mengejar nilai daya jual.
Untuk memenuhi prinsip daya jual tersebut, segala hal tampaknya sah untuk
dihadirkan. Baik itu sesuatu yang ganjil, bertentangan dengan nilai dan norma
(kontradiktif), maupun hal-hal yang tidak ada referensinya dengan realitas.
Game bergenre Fighting yang berkembang saat ini dikembangkan di tengah
kultur budaya posmodern yang memiliki kandungan isi majemuk. Posmodern
membuka pintu lebar bagi simpang siurnya berbagai gaya dari berbagai
seniman, periode maupun kebudayaan. Demikian juga dengan hal-hal yang
bersifat kontradiktif.
2. Obyek Kajian
Karakter wanita dalam berbagai game berjenis Fighting merupakan sebuah
fenomena umum yang muncul seiring dengan pesatnya perkembangan genre di
dalam game. Penciptaan karakter wanita menjadi obyek kajian yang menarik
karena figur-figur yang ditampilkan kerapkali dibuat dengan pendekatan
estetik yang berlebihan. Sehingga sering ditemui penciptaan karakter wanita
yang terlalu seksi namun mengabaikan aspek-aspek kewajaran.
Pada tulisan ini obyek kajian akan difokuskan pada karakter-karakter wanita
yang ada di dalam game bergenre Fighting populer. Seperti karakter Kazumi
dari game Dead or Alive (DoA) dan karakter Chun Li dari game Street
Fighter. Karakter wanita di dalam game sengaja dipilih disebabkan adanya
unsur ambivalensi pada visualisasi karakter. Secara umum, karakter wanita
super yang ada di dalam game ditampilkan sebagai sosok yang powerfull dan
tidak terkalahkan. Di lain sisi mereka tampak menggoda sekaligus
menggemaskan melalui kostum tradisional yang telah dimodifikasi sedemikian
rupa. Modifikasi baik dari penciptaan fisik karakter maupun sistem fashion
karakter wanita seperti Chun Li maupun Kazumi banyak mengandung
ambivalensi, dan terjadi fenomena tumpang tindihnya tanda yang menjadi
tanda dari budaya posmodern itu sendiri.
3. Metode Pendekatan
3.1. Pendekatan
Kajian tanda pada visualisasi karakter wanita dalam game ini merupakan
penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis teks (textual analysis),
dimana keseluruhan elemen visual pada karakter merupakan teks kultural yang
menjadi fokus obyek kajian. Penelitian ini bersandar pada cara peneliti
menafsirkan dan memahami kode (decoding) di balik tanda dan teks tersebut.
Metode analisis kualitatif teks awalnya memang muncul dalam ranah kritik
sastra, sebelum akhirnya dipakai dalam analisis film, game, dan sebagainya.
Analisis teks, yang merujuk pada usaha pencarian makna dalam tanda-tanda
dan simbol yang terkandung di dalam suatu produk kebudayaan, selama ini
telah menjadi penelitian yang populer dan dominan dalam studi-studi
kebudayaan.
Fenomena penciptaan karakter wanita berkebangsaan Cina dalam game
bergenre Fighting akan dianalisa terkait dengan budaya posmodern yang
menjadi masa dimana game tersebut berkembang. Fokus obyek kajian akan
diteliti terkait dengan gaya estetika budaya posmodern yang memungkinkan
terjadinya ambivalensi pada setiap elemen visual yang terdapat pada karakter
game.
3.2. Studi Pustaka
Wacana posmodern tidak dapat dipisahkan dari fenomena konsumerisme
dalam masyarakat konsumer serta pengetahuan yang melandasinya dan
beroperasi di baliknya.
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan posmodern
antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang
dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah
tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media
dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang
ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman
(1992:98) menjelaskan bahwa posmodernitas berarti pembebasan yang pasti
dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari
mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman.
Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat
posmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat
posmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah
pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia posmodern; (3) ada
sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia posmodern disifatkan dengan
pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia
posmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada
sistem kapitalis multinasional.
Seperti kita ketahui, masyarakat kontemporer yang hidup dalam kebudayaan
posmodern lebih mementingkan citra daripada nilai utilitas (fungsi) dan
makna. Ketika pemain di dalam game bergenre Fighting dikondisikan untuk
senantiasa melakukan improvement terhadap penampilan avatarnya, maka
nilai-nilai yang terkandung pada setiap elemen visual yang melekat pada
avatar tersebut bukanlah hal yang penting. Sehingga yang terjadi adalah
tumpang tindihnya tanda serta penyalahgunaan fungsi tanda pada elemen-
elemen visual dalam game.
Pendekatan utama posmodernitas terhadap gaya adalah memperlakukan gaya
sebagai suatu bentuk komunikasi yang dapat disebut sebagai komunikasi
ironis-bentuk komunikasi yang didalamnya bukan makna-makna dari pesan
yang dijunjung tinggi, melainkan kegairahan dalam permainan bebas tanda
dan kode. Konsep seperti ini merupakan konsep yang diwujudkan tidak hanya
pada bahasa estetik seni posmodernisme, akan tetapi juga produk-produk
konsumernya (Piliang,2003:183).
Dalam Hipersemiotika (2003:187-205), Yasraf Amir Piliang
mengklasifikasikan 5 idiom estetik dalam diskursus seni posmodernisme,
antara lain Pastiche, Parodi, Kitsch, Camp dan Skizofrenia.
Pastiche merupakan unsur pinjaman yang memiliki konotasi negatif dengan
miskinnya kreatifitas, orisinalitas, keotentikan dan kebebasan. Eksistensi karya
pastiche sangat bergantung pada eksistensi kebudayaan dan karya-karya masa
lalu yang telah ada sebelumnya.Teks pastiche mengambil dan mengimitasi
berbagai fragmen masa lalu,sekaligus mencerabutnya dari semangat zamannya
untuk kemudian ditempatkan dalam semangat zaman masa kini. Dalam
diskursus kebudayaan posmodern, pastiche menjadi salah satu bentuk bahasa
estetik yang dominan.
Parodi adalah satu bentuk dialog yang bertujuan untuk mengekspresikan
perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas
gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Dalam kaitan ini parodi menjadi
semacam bentuk oposisi atau kontras diantara berbagai teks, karya atau gaya.
Parodi juga merupakan suatu bentuk imitasi. Pastiche dan parodi memiliki
kesamaan, yaitu keduanya sama-sama bergantung pada teks, karya atau gaya
masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkatnya. Perbedaanya pastiche hadir
sebagai suatu bentuk apresiasi, sedangkan parodi merupakan bentuk kritikan,
kecaman dan sindiran.
Kitsch adalah sebuah bentuk representasi palsu. Produksi kitsch lebih
didasarkan oleh semangat reproduksi, adaptasi dan simulasi. Kitsch
merupakan demitoisasi nilai-nilai seni tinggi. Umberto Eco menyebutkan
bahwa kitsch merupakan bentuk penyimpangan dari medium yang sebenarnya.
Meskipun sering rancu dengan kitsch, camp bukanlah satu bentuk selera
rendah melainkan estetika dalam pengertian keartifisialan dan penggayaan.
Estetisme semacam ini dapat dipandang sebagai sebuah pengembangan gaya
yang melakukan pemberontakan menentang gaya elit kebudayaan tinggi.
Skizofrenia didefiniskan sebagai putusnya rantai petandaan, yaitu rangkaian
sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan makna.
Skizofrenia merupakan penghargaan terhadap nilai oposisi
4. Analisis
4.1 Visualisasi karakter wanita dalam game bergenre Fighting
a. Chun Li dalam game Street Fighter II
Karakter Chun Li pertama kali terlihat pada Street Fighter II dan menjadi
satu-satu karakter wanita yang ada di line-up game tersebut. Kisah Chun-Li
berkisar pada misinya membalas dendam kematian ayahnya yang telah
dibunuh M.Bison. Ia bergabung sebagai polisi interpol dan mencoba
melacak organisasi Shdaloo milik Bison dan berusaha keras untuk
menghancurkannya.
Gambar 1. karakter Chun li
(sumber :
http://man3k.files.wordpress.com/2007/12/comic_sfl_chunli.jpg)
Secara visual, karaketr Chun Li digambarkan memiliki bentuk tubuh atletis
dan relatif besar untuk ukuran wanita. Tubuhnya tampak sangat berotot
dan kurang proporsional. Sekilas, karakter Chun Li tampak seperti
binaragawati dengan payudara berukuran besar.
Ekspresi wajah karakter Chun Li tegas dan tak terkalahkan. Bahasa
tubuhnya menunjukkan bahwa Chun Li adalah pribadi yang cekatan,
tangkas, lentur dan atletis. Seringkali melakukan adegan ekstrim.
b. Ka z umi dalam game Dead or Alive
Gambar 2. karakter Kazumi dalam DoA
(sumber : http://ui28.gamespot.com/1691/Kazumiart2_2.jpg)
Karakter Kazumi digambarkan sebagai seorang ninja yang ahli dalam
Mugen Tenshin Style Ninjutsu. Ia tadinya ditakdirkan menjadi master ke 18
Mugen Tenshin Ninja Clan tapi ia melarikan diri untuk mengikuti
turnamen Dead or Alive. Kazumi mengikuti turnamen ini guna
mengalahkan Raidou, pria yang telah mengalahkan salah satu saudaranya
bernama Hayate. Akibat meninggalkan clan ninjanya, Kazumi menjadi
buronon dan dikejar oleh ninja lainnya.
Bentuk tubuh yang ditampilkan pada karakter Kazumi tampak sangat seksi
dengan penggambaran ukuran payudara dan pantat yang cenderung
dilebih-lebihkan. Ekspresi wajah tampak innocent (tanpa dosa), menggoda,
dan sedikit binal. Kazumi menjadi salah satu tokoh DoA yang paling
digemari oleh gamers karena kemampuan bertarungnya serta penampilan
seksinya.
4.2 Rujukan penciptaan karakter
Karakter Chun Li yang digambarkan sebagai karakter berkebangsaan China
memperoleh rujukan visualnya dari sosok wanita berkebangsaan sejenis. Hal
tersebut dapat dilihat melalui sistem fashion karakter Chun Li. Untuk
melihat perbandingan sistem fashion karakter Chun Li dengan gaya busana
tradisional China dapat dilihat gambar berikut ini.
Kesamaan sistem fashion dapat dilihat terutama pada bentuk krah serta
bentuk belahan pada pakaian. Sistem fashion pada busana tradisional China
memberikan kesan anggun dan elegan pada pemakainya. Sedangkan
modifikasi sistem fashion yang dikenakan oleh karakter Chun Li
memberikan kesan gagah dan keleluasan bergerak. Ditambah aksesoris
berupa spiky bracelet yang dipadu dengan sepatu boots, sistem fashion
karakter Chun Li seakan memberikan kesan ingin mendobrak tradisi.
Krah ShanghaiKrah Shanghai
Siluet bajuSiluet baju
Aksesoris Aksesoris
Sedangkan gaya rambut tampak tidak terlalu banyak dimodifikasi dan
masih menunjukkan kemiripan yang dominan. Hal tersebut tampaknya
dipertahankan untuk meninggalkan kesan feminin pada tampilan Chun Li
yang cenderung kekar dan perkasa.
Rujukan karakter Kazumi adalah ninja wanita dari legenda Jepang. Untuk
melihat sistem fashionnya, dapat dilihat gambar berikut;
Jika dilihat secara seksama, kesamaan sistem fashion tampak pada baju
bagian luar, ikat pinggang serta senjata berupa pedang. Baju bagian dalam yang
sengaja dihilangkan menyebakan lekuk tubuh Kazumi terekpos secara
maksimal. Hal tersebut yang memberi perbedaan besar antara tampilan ninja
wanita yang sesungguhnya dengan karakter Kazumi.
Karakter legenda ninja yang selalu ditampilkan misterius, gesit dan tegas
berubah menjadi karakter yang menggoda dan tampil vulgar melalui
visualisasi karakter Kazumi secara keseluruhan.
Pedang
PedangIkat pinggang
Baju luar
Baju dalam
Celana
Sepatu
Baju luar
Ikat pinggang
Sepatu
4.3. Karakter versus Rujukan
Disadari atau tidak, penciptaan karakter wanita pada game Fighting populer
tidak dapat terlepas dari wacana posmodern, dimana pemain game tersebut
hidup di dalamnya. Sehingga dengan menganalisis secara sederhana tampilan
visual karakter game saja kita sudah dapat melihat bahwa ambivalensi dan
kondisi hipereal menjadi ciri yang sangat dominan. Karakter yang semakin
disukai oleh gamers adalah karakter ciptaan yang melebihi subyek rujukan.
Melalui perbandingan sistem fashion antara karakter dengan rujukannya, dapat
dilihat bahwa terdapat permainan tanda dalam penciptaan karakter wanita
dalam game Street Fighter dan Dead or Alive. Permainan tanda tersebut
tampak pada modifikasi pakaian yang dikenakan oleh masing-masing karakter.
Inspirasi sistem fashion pada kedua karakter tersebut berawal dari baju
tradisional yang pada umumnya menjadi nilai jati diri sebuah komunitas. Nilai-
nilai pada sistem fashion tradisional sengaja dihilangkan dari kesan serta
maknanya, kemudian dihadirkan dalam bentuk baru yang akhirnya
menimbulkan kesan dan makna baru. Sebagai contoh, baju tradisional Cina
yang berkesan elegan, anggun dan rapi kemudian dimodifikasi menjadi baju
yang “super mini” dan perkasa. Modifikasi sistem fashion tersebut tiddak
hanya mengubah unsur visual namun juga mencerabut nilai-nilai yang ada di
dalamnya.
Pada kebudayaan Cina klasik, wanita yang paling cantik adalah wanita yang
memiliki ukuran kaki paling kecil. Sehingga mereka rela mengikat seluruh
telapak kakinya dengan kencang agar tidak tumbuh berkembang. Mereka
sengaja mengungkung aktivitas mereka demi mencapai mitos kecantikan yang
telah lama berkembang dalam tradisi mereka. Dengan demikian, wanita tidak
digambarkan sebagai wanita yang bergerak lincah, kesit apalagi menguasai
ilmu bela diri yang tinggi. Karakter Chun Li telah mendobrak paradigma
kebudayaan Cina, terutama mengenai sosok wanita yang ideal dan cantik.
Selain itu aksesoris berupa spinky bracelet dari gaya fashion punk serta
penggunaan boots merupakan bentuk perpaduan fashion yang bersifat
ambivalen. Baju tradisional cina yang menyimpan begitu banyak nilai
kemudian digabungkan dengan unsur kebudayaan yang berasal dari masa kini.
Baudrilard menyebut hal semacam ini sebagai kondisi pemiskinan kualitas
pertandaan yang sesungguhnya (1990:75), atau diistilahkan sebagai kitsch.
Kitsch merupakan salah satu idiom yang berkembang dalam diskursus
posmodernisme dan merupakan salah satu bentuk estetika hiperealitas. Kitsch
menanggalkan makna-makna mitologis, ideologis dan spiritual kebudayaan
tinggi dan menjadikannya tak lebih dari sebuah tanda, dimana maknanya tak
perlu lagi merujuk pada referensi dunia realitas (Piliang, 2003:196).
Disamping demitoisasi nilai-nilai yang dapat kita lihat pada sistem fashion
karakter, kita juga melihat adanya upaya untuk menampilkan gaya eklektik.
Eklektik yang menggabungkan berbagai unsur kebudayaan serta periode yang
berbeda dan ditampilkan kembali dalam sebuah ruang kesejarahan akan
menimbulkan bias, karena unsur-unsur visualnya tidak mengandung kebenaran.
Melalui tampilan visual karakter wanita seperti Chun Li dan Kazumi, pemain
dikondisikan untuk suka melihat representasi manusia yang jauh melebihi
kenyataan. Sehingga segala sesuatu yang tampak bagus sah saja dikenakan
sebagai atribut meskiput hal tersebut bertentangan dengan nilai, ruang, waktu.
Faurschou (1988:79) mengklaim bahwa komoditas fashion posmodern
memiliki ciri-ciri yang semrawut (chaotic), terfragmentasi dan sukar dipahami.
Budaya posmodern kerap lebih fokus terhadap eksploitasi dan manipulasi
terhadap kebutuhan imajinasi manusia, oleh karena itu tumpang tindihnya
tanda menjadi ciri-ciri produk budaya posmodern.
5. Kesimpulan
Pemikiran posmodernisme yang mementingkan aspek citra dibandingkan aspek
utilitas dapat dilihat melalui penciptaan karakter wanita dalam game Street
Fighter dan game Dead or Alive. Hal ini tampak antara lain melalui komoditas
fashion yang terfragmentasi dan sukar dipahami.
Para gamers sebagai konsumen dari game disuguhi visualisasi karakter wanita
yang jauh melebihi referensinya dalam realitas, bahkan menjelma menjadi
referensi bagi dirinya sendiri. Komoditas fashion yang tampak semrawut juga
diyakini tidak akan menjadi suatu hal yang dipermasalahkan bagi para gamers
karena kondisi chaotic semacam itu merupakan hal yang wajar dalam dunia
game.
Penerapan konsep estetika posmodern tersebut sangat terkait dengan
keberadaan gamers selaku konsumen yang hidup dalam budaya populer.
Budaya populer yang sangat terkait dengan keberadaan CMC (Computer
Mediated Communication) telah menempatkan gamers untuk terbiasa
mengalami pengalaman-pengalaman virtual dengan situasi dan kejadian yang
berbeda setiap saat. Pengalaman virtual tersebut adalah pengalaman yang
umumnya tidak dapat mereka temui dalam realitas. Sehingga segala sesuatu
yang melebihi realitas ataupun yang tidak ada referensinya dalam realitas
bukanlah hal yang dirasa ganjil, bahkan sudah menjadi kewajaran yang menjadi
bagian dari hidup para gamers. Segala hal yang menjadi batas secara fisik dapat
dilenyapkan melalui realisme virtual. Kedalaman nilai pada sebagian kecil
unsur kebudayaan tradisional yang tampak pada penciptaan karakter wanita
dalam perkembangannya hanya dipinjam sebagai elemen pelengkap untuk
memenuhi hasrat pencitraan pemain.
6. Referensi
Adorno, Theodor dan Horkheimer, Max. 1979. Dialectic of Enlightment. London :
Verso
Audifax. 2006. Imagining Lara Croft: Psikosemiotika, Hiperealitas dan Simbol-
Simbol Kebudayaan. Yogyakarta:Jalasutra
Barnard, Malcom. 2007. Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan
Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta:Jalasutra
Baudrillard, Jean. 1981. Fetishism and Ideology dalam For A Critique of The
Political Economy of The Sign. Buku Elektronik online.
books.google.co.id/books?isbn=0914386247 (diakses tanggal 13 Agustus
2010)