Kisah Alkitab dalam Film Populer

32
Nama : Yose Emeraldo T. NIM : 52140002 Kisah-kisah Alkitab dalam Layar Lebar Menemukan atau kehilangan pesan Alkitab dalam budaya populer? Tahun 2014 mungkin menjadi tahun yang menarik bagi orang- orang Kristen penggemar film. Bagaimana tidak, di tahun 2014 terdapat setidaknya tiga film mengenai kisah-kisah dalam Alkitab yang laris manis. Yang pertama adalah Son of God (28 Februari) oleh Christopher Spencer yang mengisahkan mengenai pelayanan Yesus. Selanjutnya pada 28 Maret muncul Noah oleh Darren Aronofsky (Black Swan, The Fountain) yang dibintangi artis papan atas Russel Crowe (Gladiator, A Beautifull Mind, Les Miserables), mengisahkan tentang Nuh dan bencana air bah. Yang terakhir adalah Exodus: Gods and Kings yang disutradarai oleh Ridley Scott (Alien, Gladiator, Black Hawk Down) dan dibintangi artis papan atas lainnya, Christian Bale (trilogi Dark Knight, The Prestige) yang mulai diputar 12 Desember, yang mengisahkan mengenai Musa yang memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Selain itu juga terdapat film-film lain yang meski tidak mengangkat kisah dalam Alkitab namun bernafaskan Kristen dan juga laris seperti God’s Not Dead, Heaven is for Real, dan Left Behind. Bahkan ada yang menjuluki tahun 2014 sebagai The Year of the Bible Movie – Tahunnya Film Alkitab! 1 Sebutan ini tentu tidak asal-asalan. Film-film di atas cukup sukses dan meraup banyak keuntungan. Noah berhasil mengumpulkan pemasukan sebanyak US$362 juta 2 , 1 Shone, T., A movie miracle: how Hollywood found religion, 2014, dalam http://www.theguardian.com/film/2014/jul/31/-sp-faith-films-hollywood- religion-christian-noah-heaven-is-real-bible diaskes 1 Juni 2015 2 Noah, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=noah.htm diakses 3 Juni 2015

Transcript of Kisah Alkitab dalam Film Populer

Nama : Yose Emeraldo T.NIM : 52140002

Kisah-kisah Alkitab dalam Layar LebarMenemukan atau kehilangan pesan Alkitab dalam budaya populer?

Tahun 2014 mungkin menjadi tahun yang menarik bagi orang-

orang Kristen penggemar film. Bagaimana tidak, di tahun 2014

terdapat setidaknya tiga film mengenai kisah-kisah dalam

Alkitab yang laris manis. Yang pertama adalah Son of God (28

Februari) oleh Christopher Spencer yang mengisahkan mengenai

pelayanan Yesus. Selanjutnya pada 28 Maret muncul Noah oleh

Darren Aronofsky (Black Swan, The Fountain) yang dibintangi artis

papan atas Russel Crowe (Gladiator, A Beautifull Mind, Les Miserables),

mengisahkan tentang Nuh dan bencana air bah. Yang terakhir

adalah Exodus: Gods and Kings yang disutradarai oleh Ridley Scott

(Alien, Gladiator, Black Hawk Down) dan dibintangi artis papan atas

lainnya, Christian Bale (trilogi Dark Knight, The Prestige) yang

mulai diputar 12 Desember, yang mengisahkan mengenai Musa yang

memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Selain itu

juga terdapat film-film lain yang meski tidak mengangkat kisah

dalam Alkitab namun bernafaskan Kristen dan juga laris seperti

God’s Not Dead, Heaven is for Real, dan Left Behind. Bahkan ada yang

menjuluki tahun 2014 sebagai The Year of the Bible Movie –

Tahunnya Film Alkitab!1 Sebutan ini tentu tidak asal-asalan.

Film-film di atas cukup sukses dan meraup banyak keuntungan.

Noah berhasil mengumpulkan pemasukan sebanyak US$362 juta2,

1 Shone, T., A movie miracle: how Hollywood found religion, 2014, dalamhttp://www.theguardian.com/film/2014/jul/31/-sp-faith-films-hollywood-religion-christian-noah-heaven-is-real-bible diaskes 1 Juni 2015

2 Noah, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=noah.htm diakses 3 Juni2015

Exodus: Gods and Kings mendapatkan US$268 juta3 dan Son of God

berhasil mendapatkan US$67 juta4. Meski pendapatan tersebut

tidaklah sebanyak film-film terlaris tahun 2014 seperti

Transformers: Age of Extinction (US$ 1.100 juta) atau The Hobbit: The Battle

of The Five Armies (US$955 juta)5, namun pendapatan dari film-film

berbasis Alkitab tersebut cukup menggiurkan.

Oleh karena itu, tampaknya trend film berbasis Alkitab

masih akan terus bergulir di tahun-tahun mendatang. Setelah

membuat Exodus: Gods and Kings, Ridley Scott berencana membuat film

berbasis Alkitab lagi mengenai Raja Daud6. Will Smith (I Am

Legend, Hancock, Bad Boys) dikabarkan hendak membuat film

mengenai Kain. Kemudian ada juga proyek mengenai Pontius

Pilatus yang rencananya dibintangi Brad Pitt (World War Z, Troy,

Ocean’s Eleven).7 Bahkan Hugh Jackman (Wolverine, trilogi X-Men, Les

Miserables) bersama dengan Matt Damon (trilogi Bourne, Elysium,

Good Will Hunting) dan Ben Affleck (Pearl Harbor, Gone Girl, Argo)

hendak membuat film mengenai Paulus berjudul Apostle Paulus8. Bukan

lagi studio film kristen kecil-kecilan yang mengangkat kisah-

kisah Alkitab tetapi justru studio-studio besar seperti

3 Exodus: Gods and Kings, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=exodus.htm diakses 3 Juni 2015

4 Son of God, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=sonofgod.htmdiakses 3 Juni 2015

5 2014 Worldwide Grosses, dalam http://www.boxofficemojo.com/yearly/chart/?view2=worldwide&yr=2014-&p=.htm diakses 3 Juni 2015

6 Toro, G., Ridley Scott May Follow Exodus With A Movie About King David, 2014, dalamhttp://www.cinemablend.com/new/Ridley-Scott-May-Follow-Exodus-With-Movie-About-King-David-43813.html diakses 1 Juni 2015

7 Kennedy, J.W., Why 2015 May (or May Not) Be the Year of the Bible Movie, Part 2, 2014,dalam http://www.charismanews.com/culture/46529-why-2015-may-or-may-not-be-the-year-of-the-bible-movie-part-2 diakses 28 Mei 2015

8 Busch, A. & Fleming Jr., M, ‘Apostle Paul’ With Hugh Jackman Sainted By Warner Bros.,2015, dalam http://deadline.com/2015/03/apostle-paul-hugh-jackman-ben-affleck-matt-damon-1201401935/ diakses 28 Mei 2015.

2

Paramount, Warner Bros dan 20th Century Fox dengan bintang-

bintang kelas A. Alkitab mulai menjadi mainstream, populer

melalui film-film yang berpotensi besar dan akan ditonton

banyak orang. Pesan Alkitab akan diperdengarkan dan

disampaikan tidak hanya kepada orang Kristen melainkan juga

orang-orang non kristen. Atau benarkah demikian?

Dalam paper ini penulis hendak menggali dan menguak lebih

dalam mengenai nilai-nilai teologis yang disajikankan melalui

film sebagai budaya populer serta membandingkannya dengan

nilai teologis yang disajikan oleh Alkitab. Melalui

pembandingan itu penulis berharap untuk menjawab pertanyaan di

atas, “Apakah pesan Alkitab diperdengarkan kepada banyak

orang?”. Secara khusus penulis akan membahas Noah dan Exodus:

Gods and Kings sebagai perwakilan dari trend film berbasis

Alkitab. Pemilihan ini karena film-film tersebut yang sudah

beredar dan dapat ditonton, sementara beberapa film lain yang

diproduksi studio besar dan dibintangi artis-artis Hollywood

papan atas, masih dalam proses produksi. Namun sebelum masuk

lebih dalam adalah baik untuk membahas sedikit mengenai budaya

populer itu sendiri.

Yang Terkemuka Di Antara Semua

Apakah budaya populer? Sebuah hasil akal budi yang

dikenal dan disukai orang banyak. Setidaknya itu arti budaya

populer ketika penulis mencari arti kata ‘budaya’ dan

‘populer’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Meski demikian

seringkali kata budaya dipakai secara terbatas untuk menyebut

3

hasil karya manusia yang dianggap berkualitas tinggi.9 Sebuah

karya teater klasik seperti Hamlet dan Romeo and Juliet oleh

Shakespeare dianggap sebagai sebuah budaya sementara serial TV

komedi seperti Malam Minggu Miko atau Bajaj Bajuri tidak dianggap

sebagai sebuah budaya. Pembedaan semacam ini yang juga dikenal

dengan pembedaan antara high culture dan low culture oleh mazhab

Frankfurt. High culture dipandang sebagai puncak pencapaian seni

karya dan cipta manusia, sementara low culture walau disebut

culture (budaya) sebenarnya bukanlah sebuah budaya atau seni

melainkan hanyalah sebuah komoditas yang diproduksi untuk

keuntungan dan manipulasi belaka.10 Pemikiran demikan bersumber

dari pandangan Marxisme yang mewarnai mazhab Franfurt, Budaya

populer tentu saja dipandang sebagai low culture dan sering juga

disebut sebagai mass culture atau budaya massal. Murahan, tak

berharga dan semacam pembodohan bagi rakyat. Kritik dari

mazhab Frankfurt ini tentu menarik untuk dibahas lebih lanjut

namun hal ini jelas diluar cakupan dari paper ini.11 Meski

penulis tidak sepenuhnya menolak argumen-argumen yang diajukan

oleh mazhab Frankfurt, namun penulis tidak bisa tidak merasa

bahwa argumen mazhab ini cenderung elitis dan mengagungkan

budaya-budaya tertentu –umumnya yang klasik– serta merendahkan

9 Detweiler, C. & Taylor, B., A Matrix of Meaning: Finding God in pop culture,(Michigan: Baker Academic, 2003), h.17.

10Cobb, K., The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, (Oxford: BlackwellPublishing, 2005), h.47-48.

11Cobb dalam bab1 (h.45-52) membahas lebih jauh mengenai pandangan mazhabFrankfurt, mengenai kritik yang diajukan serta dasar-dasar pemikiran darimazhab Frankfurt. Sementara itu di bab 2 (53-71), Cobb membahas mengenaipengembangan pemikiran oleh para penerus mazhab Frankfurt yang meskimempertahankan beberapa kritik dan pemikiran oleh Mazhab Frankfurt namunjuga mengembangkan cara pandang yang berbeda dan lebih terbuka.

4

bentuk budaya lain yang tentu saja lebih kontemporer dan

modern.12

Budaya populer kontemporer tentu saja berbeda dengan

budaya-budaya klasik. Hal ini karena konteks dunianya jelas

berbeda. Kalau mazhab Frankfurt berargumen seakan-akan budaya

klasik bukanlah budaya populer, hal ini tentu kurang tepat,

sebab menurut penulis budaya-budaya klasik pun sesungguhnya

adalah budaya populer pada jamannya. Apa yang membedakan?

Menurut Romanowski ada empat hal yang membedakan yaitu (1)

teknologi massa, (2) skala distribusi, (3) demografi para

penikmat (audiens) dan (4) basis komersial dari konsumen.13

Dengan keberadaan teknologi massal seperti percetakan masal,

radio, TV, dan internet maka produk-produk budaya populer

dapat dinikmati oleh lebih banyak orang, tidak hanya dalam

sebuah kota atau sebuah negara bahkan sampai mencakup seluruh

dunia. Seandainya teknologi TV sudah ada pada jaman

Shakespeare mungkin drama Romeo and Juliet akan ditonton oleh

berbagai oleh orang pada masa itu. Sayangnya tidak demikian

sehingga drama tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir

orang pada masa itu, dan kemudian saat ini dipandang sebagai

high culture karena fakta tersebut. Sebuah pengertian yang tidak

tepat. Oleh karena itu penulis lebih memandang budaya populer

(maksudnya adalah budaya populer kontemporer) sebagai sebuah

produk karya manusia yang dikenal dan disukai oleh banyak

12Lihat juga penjelasan Romanowski mengenai pemikiran dan pandangan mengenaibudaya tinggi (disini disebut high brow) dan budaya rendah (lowbrow), sertapenempatan budaya klasik dan budaya populer dalam kategori-kategoritersebut. Romanowski, W.D., Eyes Wide Open, (Michigan: Brazor Press, 2007),h.85-87.

13Ibid., h.915

orang. Budaya populer adalah budaya yang memiliki audiens

massal, sangat banyak, diciptakan dalam urbanisasi dan

demokratisasi seiring dengan berkembangnya teknologi

distribusi massal.14

Film: Peta bagi Perjalanan Hidup Anda

Film sebagai sebuah media artistik yang harus menunggu

diciptakannya teknik reproduksi sebelum berkembang pesat

merupakan sebuah bentuk seni yang paling emansipatoris

(melibatkan seluruh pihak). Setidaknya demikian menurut Walter

Benjamin15. Namun pendapat ini mungkin ada benarnya. Melalui

film kita belajar mengenai banyak hal yang perlu kita ketahui

tentang hidup bahkan mungkin hampir seluruhnya.16 Film mungkin

merupakan sebuah budaya populer yang menyentuh banyak orang.

Pada tahun 2011 saja, UIS (salah satu lembaga milik UNESCO)

mencatat bahwa ada 6,984 milyar tiket bioskop yang terjual17.

Ini hampir setara dengan jumlah populasi dunia hari ini yang

mencapai lebih dari 7 milyar orang18. Data di atas jelas belum

menghitung dan mempertimbangkan orang-orang yang menonton film

dari DVD/VCD, streaming online, televisi berbayar, televisi umum,

smartphone atau dari bajakan. Jumlahnya tentu dapat berlipat

ganda. Film memiliki cakupan dan pengaruh yang kuat sebagai

sebuah budaya populer.

14Detweiler, op.cit., h.18.15Cobb, op.cit., h.31.16Detweiler, op.cit., h.155.17Gonzalez. R., Emerging Markets And The Digitalization of The Film Industry, (Montreal:UNESCO Institute for Statistics, 2013), h.18

18Current World Population, dalam http://www.worldometers.info/world-population/diakses 3 Juni 2015.

6

Film sebagai sebuah produk budaya populer selain

menghibur juga memiliki fungsi-fungsi yang lebih mendalam.

Film mampu mengafirmasi dan merefleksikan kembali keyakinan-

keyakinan hidup dan nilai-nilai yang dipandang berharga oleh

penonton. Film sebagai budaya populer dapat dipahami sebagai

imaginative ordering of experience atau penyusunan yang rapi dan

imajinatif atas pengalaman. Film memampukan kita untuk

mendapatkan insipirasi dan pencerahan mengenai kondisi manusia

dan tempat kita dalam semesta. Film juga mampu menyajikan

nilai-nilai dan asumsi budaya, norma perilaku, peran sosial

dan gender setidaknya menurut versi sutradara atau screenwriter

dari film tersebut.19 Penulis tertarik dan setuju dengan

pendapat Romanowski bahwa budaya populer dapat menjadi maps of

reality, peta mengenai realitas yang dipakai untuk menavigasi,

mencari arah dan menemukan jalan dalam kehidupan.20 Film adalah

sebuah media dan seni yang tersedia dan dapat diakses orang

untuk menemukan makna dalam kehidupan.21

Berbicara mengenai film sebagai media untuk mencari

makna, Paul Schrader membagi film ke dalam dua kategori22, yang

pertama adalah film yang bersarana melimpah (abundant). Ini

adalah film yang lebih praktis, emosional, fisik dan sensual.

Contohnya adalah film-film yang mengedepankan unsur laga aksi

(action) atau komedi umumnya merupakan film yang abundant.

Stimulus dan masukan dari film semacam ini tinggal diterima

saja tanpa perlu banyak berpikir. Sementara itu jenis kedua19Romanowski, op.cit., h.95.20Ibid., h.9521Marsh, C., Theology Goes to The Movies: An Introduction to Critical Christian Thinking, (NewYork: Routledge, 2007), h.23.

22Detweiler, op.cit., h.1597

adalah film bersarana jarang (sparse), yaitu film yang lebih

abstrak, bergaya unik, dan lebih fokus pada yang esensial

saja. Film semacam ini tentu perlu lebih banyak berpikir dan

ada kesulitan lebih untuk mencerna dan memahami maksud dalam

film tersebut.

Menurut Schrader, film-film religius atau berbasis

alkitab sering jatuh kepada kategori film bersarana melimpah

yang dirasanya gagal menginspirasi iman para penontonnya.23

Meski demikian film-film sparse yang diidolakan oleh Schrader

ternyata tidak mampu menangkap hati penonton. Orang tampaknya

cenderung menjauhi dan menolak film-film sparse

tersebut.24Mungkin film-film tersebut terlalu sulit dicerna

sehingga orang cenderung enggan untuk menontonnya.

Bagaimanapun juga orang menonton film untuk memperoleh

hiburan, merasa senang dan bersantai. Film-film sparse mungkin

menuntut penonton menginvestasikan daya emosional dan

spiritual yang terlalu banyak.25 Banyak orang tampaknya

kewalahan menghadapi film-film sparse.

Kalau demikian apakah kita tidak akan dapat menemukan

makna diluar film-film sparse? Penulis rasa tidaklah demikian.

Kita juga dapat menemukan makna dalam film-film non sparse juga.

Detweiler dalam refleksinya terhadap beberapa karya sutradara

film populer dari tahun 1999 menyimpulkan bahwa film-film yang23Ibid.24Derweiler memaparkan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh film-film

sparse yang dibuat oleh Schrader (The Yakuza, Rolling Thunder, Blue Collar, Hardcore)maupun oleh para sutradara idola Schrader seperti Theodor Dreyer (ThePassion of Joan of Arc), Yasujiro Ozu (Floating Weeds), dan Robert Bresson (Diary ofa Country Priest, Au Hasard Balthazar) yaitu pujian dari kritikus namun pengabaiandan ketidakacuhan dari para penonton. Film-film tersebut umumnya gagalsecara finansial. Untuk pembahasan lebih lengkap lihat ibid., h.160-162.

25Ibid., h.1818

padat, penuh dan abundant pun dapat mendorong individu untuk

mencari makna hidup dan menggugah secara spiritual26. Bahkan

mungkin film-film semacam ini –yang abundant namun sedikit-

sedikit sparse– justru lebih bermanfaat sebab menjadi map of

reality yang akan dipakai penonton sebab tidak terlalu berat.

Meski demikian perlu disadari juga bahwa model semacam ini

memiliki resiko juga. Penonton dapat gagal melihat lebih dalam

melampaui hingar-bingar aksi, gambar yang indah dan special effect

dari film abundant, menuju kepada pertanyaan-pertanyaan utama

yang diprovokasi dan disodorkan dalam film-film tersebut.27

Namun bagi penulis resiko ini merupakan resiko yang layak

diambil. Karena penggalian mendalam mengenai makna dapat

dibangun melalui diskusi, refleksi film ataupun review film

selama film tersebut ditonton oleh banyak orang.

Noah dan Exodus: Gods and Kings, kedua film yang akan dibahas

dalam paper ini merupakan contoh film yang, bagi penulis,

merupakan film abundant namun sedikit-sedikit sparse. Keduanya

merupakan film yang padat, penuh aksi, dialog dan adegan-

adegan spektakuler (terimakasih kepada CGI dan special effect yang

keren!) namun juga dapat mendorong pemikiran dan refleksi atas

hidup. Menyadari bahwa film mampu menyajikan nilai-nilai dan

asumsi budaya, norma perilaku, peran sosial dan gender, kita

kembali bergerak untuk menjawab pertanyaan di awal mengenai

film-film berbasis Alkitab ini, “Apakah pesan Alkitab

diperdengarkan kepada banyak orang?”

26Detweiler merefleksikan 6 buah film yaitu The Matrix, American Beauty, Fight Club,Magnolia, Dogma dan Run Lola Run. Lihat pembahasan ibid., h. 168-180.

27Ibid., h.181.9

Antara Akurasi & Imajinasi

Salah satu komentar pertama yang umumnya dilontarkan oleh

kaum Kristiani mengenai film adaptasi Alkitab seperti Noah dan

Exodus: Gods and Kings adalah bahwa film-film tersebut tidak

akurat. Dalam artian film-film tersebut tidak mengikuti cara

pengkisahan dalam Alkitab termasuk juga menghilangkan sebagian

kisah ataupun menambah dan mengubah sebagian dari kisah

tersebut. Banyak orang yang bahkan mencela Darren Aronofsky

ataupun Ridley Scott. Meskipun demikian perlu disadari bahwa

film-film adaptasi dari Alkitab ini tentu bukanlah sekadar

pengkisahan ulang Alkitab. Jika itu yang diharapkan maka

kemungkinan besar kita akan kecewa. Bagaimana pun juga film

merupakan sebuah dunia imajinatif yang artistik. Sebuah dunia

yang diciptakan oleh imajinasi sang seniman. Sebuah produk

dari orang-orang kreatif yang bekerja bersama, sutradara,

penulis naskah, produser, dan lain sebagainya.28 Jonathan Bock,

pendiri Grace Hill Media di California bahkan berpendapat

bahwa orang-orang yang bekerja dibalik kamera perlu dan memang

akan memiliki kebebasan karena Alkitab bukanlah naskah film.29

Oleh karena itu bagi penulis pengembangan kisah merupakan hal

yang menarik dan layak diapresiasi dari para pembuat film ini.

Dalam kisah-kisah Alkitab terdapat berbagai plot holes,

kekosongan-kekosongan plot dan alur cerita yang dapat diisi

oleh imajinasi dan kreatifitas dari penulis. Contohnya

mengenai relasi antara Nuh dan Metusalah tidak pernah

digambarkan dalam Alkitab. Apakah Metusalah mati wajar ataukah

28Romanowski, op.cit., h.99,101.29Kennedy, op.cit.,

10

mati karena air bah?30 Apakah keturunan Seth menyimpan kulit

ular dari Kejadian 3 sebagai barang peninggalan / keramat dari

masa lampau? Seperti apakah dunia pada masa Nuh? Gersang atau

indah? Apa yang dialami oleh para penumpang bahtera ketika air

bah pertama kali datang? Seperti apakah relasi antara Musa dan

para penguasa Mesir? Apakah Musa menyadari keyahudiannya?

Apakah Musa seorang jenderal dengan pengetahuan yang luas akan

seni perang? Apa yang dirasakan orang Israel kepada orang

Mesir yang terkena tulah-tulah? Konflik dan pergumulan semacam

ini tidak tertulis dalam Alkitab dan menjadi plot holes bagi

penulis untuk berkreasi dan berimajinasi.

Meskipun demikian bagaimana jika kebebasan berimajinasi

tersebut justru mengubah makna kisah tersebut? Tokoh-tokoh

yang ada tetap sama tetapi relasi antar tokoh berbeda secara

signifikan dan merubah kisah tersebut pada titik-titik kunci

dan utama dari kisah tersebut. Dapatkah hal yang demikian

masih disebut sebagai sebuah film adaptasi? Apakah film-film

ini menolong menyampaikan pesan Alkitab mengenai Allah? Dalam

pembahasan selanjutnya, penulis akan mengulas bagian-bagian

menarik dari Noah dan Exodus: Gods and Kings serta membandingkan

pesannya dengan pesan dari Alkitab.

Dunia Baru Tanpa Manusia

Pertama-tama berbicara mengenai Allah, dalam film Noah,

Allah memang tidak ditampilkan secara jelas. Allah tidak30Jika menghitung catatan Alkitab mengenai usia Metusalah (Kejadian 5:25-27)dan memperkirakan waktu terjadinya Air Bah dengan menghitung usia Nuh(Kejadian 5:28-32; 9:28-29) maka Metusalah mati pada usia 969 tahunbersamaan dengan tahun terjadinya air bah. Dari data inilah kemungkinanDarren Aronofsky berimajinasi bahwa Metusalah mati karena Air Bah.

11

muncul sebagaimana dalam Exodus: Gods and Kings, yang akan dibahas

nanti. Dalam film Noah, gambaran mengenai Allah hanya

ditemukan melalui ucapan dan pandangan dari tokoh-tokoh

seperti Nuh, Tubal-Kain, Metusalah, dan The Watcher. Allah tidak

pernah mengucapkan sepatah kata pun sepanjang film tersebut

dan disebut hanya sebagai Sang Pencipta (The Creator).Dalam film

Noah, Allah berbicara kepada Nuh melalui penglihatan-

penglihatan yang indah, mempesona namun sekaligus mengerikan31

atau kejadian alam yang unik, seperti setetes air yang jatuh

ke tanah dari langit dan serta merta menghasilkan bunga32.

Percakapan dengan Allah itu sesuatu yang tidak jelas dan

ambigu bagi Nuh. Nuh kemudian mencari nasihat kepada kakeknya,

Metusalah yang dikisahkan tinggal seorang diri di gunung.

Melalui perjumpaan tersebut Metusalah meyakinkan Nuh bahwa

Allah berbicara dalam cara yang dipahami oleh Nuh33 dan

akhirnya ia memahami tugas yang harus dikerjakannya.

Nuh ditugasi Allah untuk membuat bahtera untuk selamat

dari Air Bah. Yang menarik adalah ketika Nuh menjelaskan

mengenai tugas membuat bahtera kepada keluarganya. Nuh

menjelaskan bahwa manusia akan dihukum karena perbuatannya

kepada dunia (bumi) dan bahtera dibuat untuk menyelamatkan

hewan-hewan yang tidak bersalah. Karena mereka tidak

bersalahlah maka Allah menyelamatkan mereka.34 Tanggapan Ila

juga menarik bahwa hewan akan diselamatkan dan hidup karena

mereka masih hidup sama seperti saat mereka hidup di Taman31Aronofsky, D., (Sutradara). (2014). Noah [Film]. Amerika Serikat;Paramount Pictures, 10.30-11.37; 27.52-28.50; 56.32-57.01

32Ibid., 05.47-06.0233Ibid., 26.18-26.4034Ibid., 30.25- 31.04

12

(Eden). Hal ini berbeda dengan perkataan Tuhan dalam Kejadian

6:7 “Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka

bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-

burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka”.

Allah menghapuskan segala mahluk dari dunia ini. Dunia telah

rusak dan penuh dosa dan bukan hanya manusianya saja tetapi

seluruh kosmis! Jadi sudah tidak ada lagi yang tidak tercemari

dosa di dunia (lihat Kejadian 6:11-13, Roma 5:12, 8:19-22).

Dimulai dari peristiwa kejatuhan di Eden (Kejadian 3) sampai

rencana Air Bah (Kejadian 6) kita melihat dunia yang berproses

dan bergerak makin jatuh dan dicemari dosa yang akhirnya

mencapai skala kosmis.35 Oleh karena itu pesan yang disampaikan

oleh Noah dalam hal ini berbeda dari Alkitab.

Awalnya Nuh menduga bahwa dirinya dan keluarganya akan

turut serta dalam dunia baru36. Namun lewat penglihatan lebih

lanjut37, menurut Nuh, Allah menginginkan seluruh manusia mati,

tidak ada yang diselamatkan sebab manusia adalah jahat dan

merusak dunia ini termasuk juga Nuh dan keluarganya.

Penglihatan ini mengguncang Nuh dengan keras dan dia

digambarkan berubah menjadi pribadi yang muram. Mungkin karena

beban dan konsekuensi yang mengikuti pencerahan tersebut

terlalu berat. Nuh membagikan pencerahannya kepada istri dan

anak-anaknya yang tentu saja diterima dengan berat hati

terutama oleh istrinya, “They are our children, Noah!” kata sang

istri dengan geram dan murka. Nuh tetap teguh dengan

35Fretheim, T. E., God and World in the Old Testament: A Relational Theology of Creation,(Nashville: Abingdon Press, 2005), h.79

36Ibid., 31.06-31.2237Aronofsky, op.cit., 56.32-57.01

13

rencananya. Ia berencana agar keluarganya menjadi yang

terakhir dari manusia yang hidup di dunia. Sepanjang terapung-

apung tanpa arah didalam bahtera, Nuh pun berjuang untuk

menghayati pencerahan tersebut. Ia terus bergumul apakah hal

tersebut memang merupakan kehendak Allah. Pergumulan untuk

hidup dalam sinkronisasi (selaras) dengan kehendak dan rencana

Allah tentu merupakan tema alkitabiah yang terus dihidupi oleh

orang Kristen sampai saat ini. Ketika Ila (istri Sem)

memberitahukan bahwa ia hamil maka Nuh menjadi semakin gamang

dan galau. Ia berseru-seru kepada Allah namun tidak

mendapatkan jawaban dari Allah. Ia menginterpretasikan ini

bahwa kehendak Allah tidak berubah, kematian seluruh umat

manusia termasuk anak Ila. Nuh pun kemudian berusaha membunuh

anak-anak Ila sementara Naameh (istri Nuh), Sem dan Ila

berusaha menyelamatkan sang anak. Pada akhirnya Nuh memutuskan

untuk tidak mengikuti kehendak Allah dan membiarkan si anak

tetap hidup, keputusan yang diambil dengan perasaan gagal,

sedih dan luar biasa terpukul.38 Konflik batin yang hebat

antara mengikuti kehendak Allah dan menyelamatkan darah-

dagingnya akhirnya dimenangkan oleh keinginannya menyelamatkan

cucu-cucunya (bandingkan kisah Abraham di Kejadian 22:1-19).

Konflik batin inilah yang menurut penulis, menjadi kisah dan

drama utama dari Noah. Beban mental dan emosional yang

sedemikian berat akhirnya membuatnya bermabuk-mabukan ketika

sampai lagi di darat. Berbeda tentu dari Alkitab dimana Nuh

mabuk bukan karena stres atau tertekan (Kejadian 9:20-21).

38Ibid., 87.41-88.42; 90.55-92.22; 95.41-100.30; 107.30-109.57; 111.26-113.10; 115.50-120.30

14

Bagian menarik bagi penulis adalah sepanjang proses ini

bahkan setelah Nuh mengambil keputusan menyelamatkan anak-anak

Ila pun Allah tidak berbicara apapun kepada Nuh. Apakah ini

hanya ujian seperti dalam kisah Abraham? Apakah Nuh salah

menginterpretasikan penglihatan dari Allah? Apakah akhirnya

dunia kembali hancur karena Nuh gagal mengikuti visi Allah

mengenai dunia baru yang tidak didiami oleh manusia?

Pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan tak terjawab oleh

Aronofsky. Allah ala Aronofsky adalah Allah yang diam, Allah

yang jauh bahkan dari manusia pilihannya, Allah yang sangat

transenden, nun jauh disurga dan berbicara dalam teka-teki dan

ketidakjelasan.

Mengikuti logika cerita –dimana visi Allah kepada Nuh

yang masih dan belum direvisi, adalah kematian seluruh umat

manusia– maka Nuh memberontak kepada Allah demi keluarganya.

Tindakan Nuh tersebut bisa jadi dipandang tidak tepat jika

orang-orang –yang memiliki asumsi bahwa kisah Nuh merupakan

sebuah sejarah yang terjadi di masa lampau– berefleksi dan

melihat kondisi dunia masa kini dimana terjadi kerusakan

lingkungan yang hebat karena manusia. Disisi lain pesan yang

disampaikan oleh film ini adalah hal demikian itulah yang

tepat. Cinta kepada keluarga harus di atas Allah, walau

mungkin mengorbankan dunia (?). Menjelang akhir Ila menyatakan

bahwa tindakan Nuh tepat (mengasumsikan bahwa Allah menguji

Nuh saja) karena ia menunjukkan pengampunan dan kasih kepada

keluarga.39 Kesempatan kedua bagi manusia merupakan kehendak

Allah bagi Nuh namun hal ini tidak terkonfirmasi oleh Allah

39Ibid., 125.10-127.1415

sampai dengan adegan akhir, ketika Nuh melakukan ritual

tanggungjawab merawat bumi dan beranak-cucu, maka muncul

pelangi (yang bisa diinterpretasikan sebagai persetujuan dari

Allah). Namun lagi-lagi tidak ada kejelasan dan konfirmasi

dari Allah. Hanya interpretasi manusia (Nuh dan keluarganya

dan para penonton).

Pesan yang disampaikan film tersebut bagi penulis tentu

saja tidak sepenuhnya selaras dengan pesan Alkitab. Dalam

Alkitab, Allah memang jelas-jelas memilih Nuh dan keluarganya

untuk diselamatkan dari air bah. Sehingga kegelisahan dan

konflik batin dalam bahtera tentu tidak dihadapi oleh Nuh.

Lebih dalam dari itu, pengampunan, kasih dan kesempatan kedua

menjadi inisiatif dan pemberian Allah (Kejadian 6:8) dan tidak

didapatkan lewat pemberontakan kepada Allah. Bagian penting

lain dari Alkitab yang dikeluarkan dari Noah adalah perjanjian

yang ditetapkan Allah setelah Nuh dan keluarganya keluar dari

bahtera (Kejadian 9:1-17). Perjanjian ini menunjukkan Allah

yang berelasi dengan manusia (tidak hanya manusia tetapi

segala mahluk!) dan Allah yang meletakkan keyakinan dan

kepercayaan kepada kebaikan manusia dan segala mahluk (walau

juga memiliki kapasitas untuk berbuat jahat dan dosa – lihat

Kejadian 9:21-22) untuk meneruskan ciptaan. Allah yang tidak

lagi akan mengintervensi dunia dengan Air Bah. Meski Noah juga

menyajikan kisah mengenai kehidupan baru (meski tema ini tidak

dibangun secara kuat) namun Aronofsky memutar kisah Nuh dan

menjadikan keselamatan dan kehidupan baru itu (setidaknya

mengenai manusia) bukan sebagai inisiatif dan kehendak dari

16

Allah melainkan dari usaha dan pemberontakan manusia kepada

rencana Allah.

Selanjutnya mengenai keluarga di atas Allah, Matius

10:37-38 berkata “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-

Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau

perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa tidak memikul

salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.”. Bagi Yesus, kasih

kepada keluarga yang melebihi kasih kepada Allah bukanlah hal

yang tepat. Kasih kepada Allah dan kepada keluarga perlu

diletakkan pada taraf yang sama (lihat Matius 22: 34-40).40

Percakapan antara Nuh dan Tubal-Kain membawa kita melihat

sisi lain dari kisah Air Bah ini.41 Meskipun Tubal-Kain

digambarkan sebagai seorang yang bengis, penindas dan kejam,

dan memang diposisikan sebagai seorang antagonis yang egois,

hal ini tentu tidak membuat kita berhenti berpikir mengenai

nasib orang-orang banyak, para pengikutnya beserta

keluarganya. “The land is dying, the cities are dead. My people follow me and

more will follow them. ... If you refuse my dozens now, I shall return with legions!”

Demikianlah seru marah Tubal-Kain. Manusia yang sekian banyak

akan segera tenggelam dalam Air Bah tanpa ada kesempatan untuk

bertobat dan berubah. Perhatian serupa juga muncul ketika Air

Bah sudah melanda dan Sem dan Ila (nama istri Sem) ingin

menolong orang-orang di luar bahtera yang masih hidup dan

terapung-apung namun ditolak oleh Nuh. Kegelisahan-kegelisahan

humanis yang ditampilkan dalam film Noah ini menarik (walau

40Dalam Matius 22: 34-40, Yesus menyatakan bahwa mengasihi Allah (hukumpertama) dan mengasihi diri dan sesama (hukum kedua), tentu saja termasukkeluarga, memiliki bobot keutaman yang sama.

41Aranofsky, op.cit., 47.40-48.4017

tidak terjawab dalam film secara memuaskan juga) untuk kita

dapat menggumuli relasi Allah dan manusia.

The Watcher merupakan bagian dari kisah yang merupakan

fantasi dan imajinasi Aranofsky (atau mengambil sumber di luar

Alkitab) yang menarik. Terlepas dari ketidak-alkitabiahan

tokoh-tokoh ini, menarik untuk mencermati kisah mereka. Allah

dikisahkan menciptakan The Watcher pada hari yang kedua. The

Watcher dikatakan berbelas-kasihan pada manusia dan turun ke

bumi untuk menolong manusia. Akibatnya mereka kemudian dihukum

Allah karena melawan perintah-Nya. Mereka, mahluk-mahluk

cahaya dikurung dalam batu dan tanah dari bumi. Meskipun

demikian mereka tetap menjalankan rencana mereka untuk

menolong manusia. Mereka mengajari manusia segala hal mengenai

ciptaan sampai akhirnya keturunan Kain berhasil membangun

peradaban yang luar biasa. Mereka berhasil baik namun kemudian

manusia berbalik dan menggunakan pembelajaran tersebut untuk

melakukan kekerasan dan kejahatan. The Watcher diburu dan

dibunuh oleh manusia. Menyadari kesalahan mereka, The Watcher

meminta Allah untuk membawa mereka pulang namun Allah diam

saja.42 Yang menarik adalah saat mereka berusaha melindungi Nuh

dan bahteranya dari Tubal-Kain, The Watcher yang mati kemudian

dapat kembali kepada Allah.43 “The Creator brings him home!” pekik

salah satu dengan sukacita. Ini berbeda dengan para The Watcher

yang mati dalam flashback kisah dari Magog. Meski seakan-akan

berkata bahwa mereka dapat kembali ke surga karena telah mau

menolong Nuh namun menurut penulis titik kuncinya adalah pada

42Ibid., 20.50-22.3443Ibid., 75.11-76.20

18

kata-kata Samyaza (The Watcher pertama yang mati saat melindungi

Nuh), “My Creator, forgive me.”44 Keselamatan dari Allah datang

karena Samyaza memohon ampun atas kesalahan The Watcher. Tentu

bukan soal ‘gagal’ melindungi Nuh tetapi mengenai

pemberontakan mereka. Kalau sebelumnya mereka hanya meminta

Allah membawa mereka pulang, kini mereka tidak meminta pulang

namun memohon ampun dan justru Allah membawa mereka pulang.

Kisah penciptaan dan kejatuhan manusia yang dituturkan

oleh Nuh merupakan sebuah penceritaan yang menarik. Meski

secara naratif memakai kisah penciptaan ala Kejadian 1, namun

tidak dapat dipungkiri bahwa penceritaan melalui rangkaian

gambar yang berganti secara cepat (stop-motion) memberi kesan

penciptaan dunia berdasar teori Big Bang dan evolusi dari

mahluk laut sampai menjadi mahluk darat.45 Aronofsky berhenti

sampai pada mahluk yang menyerupai monyet sebelum narator

berpindah kisah tentang manusia. Walau demikian secara

implisit kita dapat melihat pesan yang hendak disampaikan

dibaliknya adalah manusia merupakan evolusi kera. Sementara

itu Tubal-Kain memberikan kisah lain mengenai penciptaan

manusia, bahwa Allah menciptakan manusia karena tidak puas

dengan keberadaan ciptaan yang lain.46

Penulis mengapresiasi imajinasi dan visualisasi kisah Nuh

yang disajikan oleh Aronofsky. Metusalah yang memiliki

kekuatan supranatural seperti mengeluarkan api dari pedang dan

memulihkan rahim Ila. Ham yang tidak memiliki istri saat Air

Bah (berbeda dari kisah Alkitab – Kejadian 6:18) dan dengan

44Ibid., 75.55-75.5945Ibid., 84.30-87.4046Ibid., 93.22-93.45

19

begitu menambahkan konflik yang menarik. Tubal-Kain, sang

antagonis yang menyusup ke dalam bahtera dan bertarung dengan

Nuh. Gambaran dunia yang gersang dan rusak oleh manusia

(apakah kita bergerak menuju dunia semacam ini?), pengambaran

bencana Air Bah secara dahsyat, dan visualisasi lainnya yang

indah. Secara keseluruhan, Noah menyajikan sebuah kisah yang

menarik.

Sang Anak Kecil dan Jenderal Pembebas

Exodus: Gods and Kings merupakan sebuah film yang menarik.

Exodus: Gods and Kings dimulai dengan prolog “for 400 years the Hebrews

have been slaves to Egypt”47 yang kemungkinan diinspirasi dari

Kejadian 15:1348 yang berujung pada “God has not forgotten them.”49

Sebuah pembukaan yang kuat dan menjadi kesaksian akan Allah

yang mengingat dan berelasi dengan umatnya. Meski demikian

Exodus: Gods and Kings tampaknya lebih berpusat pada perseteruan

antara Musa dan Ramses, Musa dan Allah, dan Musa dengan

dirinya.

Musa dalam Exodus: Gods and Kings digambarkan sebagai jenderal

Mesir yang tangguh, memiliki pengetahuan dan ketrampilan

perang yang baik, seorang administrator yang handal dan

berwibawa, serta seseorang dengan edukasi yang baik (hal yang

47Scott, R. (Sutradara). (2014). Exodus: Gods and Kings [Film]. Amerika Serikat;Twentieth Century Fox. 01.13-01.17

48Tuhan berfirman kepada Abram bahwa keturunannya akan diperbudak dinegeriasing (asumsinya Mesir) selama 400 tahun. Menurut Keluaran 12:40, orangIsrael tinggal di Mesir selama 430 tahun, sehingga yang 30 tahun bisadiandaikan sebagai masa Yusuf dan saudara-saudaranya masih hidup dan bebasdari perbudakan. (lihat Keluaran 1)

49Scott, op.cit., 01.55-02.0020

wajar bagi seorang pangeran). Musa adalah tokoh penting di

kerajaan Mesir. Ia memiliki relasi erat dan akrab dengan

Ramses, Firaun yang akan dikonfrontasinya ketika hendak

membebaskan Israel. Bahkan dikisahkan Musa tumbuh besar

bersama Ramses, sudah dianggap saudara dekat bahkan sampai

mendapat pedang kembar dari Firaun Seti50. Alur plot ini agak

berbeda dari versi Alkitab dimana Musa melewatkan masa

kecilnya dirawat oleh ibunya, yang berperan sebagai inang

penyusu (Keluaran 2:10). Meski demikian Alkitab juga tidak

dengan pasti memberikan rentang usia Musa diangkat anak oleh

puteri Firaun sehingga penulis rasa Scott berimajinasi bebas

di sini. Mungkin saja Musa berumur 2 atau 3 tahun (usia anak

disapih) ketika kemudian diangkat anak dan dibawa ke dalam

istana Firaun dan hidup disana bergaul dengan sang penerus

tahta, menjadi salah satu pangeran Mesir. Menurut penulis plot

ini terutama diciptakan Scott untuk membawa kisah Keluaran ini

menjadi ketegangan antara dua orang ‘saudara’ dari kecil.

Romanowski mencermati bahwa gaya semacam ini merupakan bentuk

individualisme yang digaungkan oleh Hollywood. Satu orang

dapat merubah semuanya dan menghapuskan segala masalah. Memang

benar setiap orang perlu didorong bahwa mereka memiliki dampak

dan peran tetapi individualisme Hollywood dipandang berlebihan

sampai-sampai mendistorsi realitas bahwa perubahan tidak serta

merta dihasilkan oleh satu tokoh saja.51 Meski menjadikan kisah

Exodus: Gods and Kings berpusar disekitar Musa membuat kisah ini

menjadi lebih dramatis dan (bisa) mendapat penggalian karakter

50Ibid., 04.16-04.5051Romanowski, op.cit., h.171-174.

21

yang mendalam. namun individualisme radikal52 semacam ini

menurunkan nilai peran bersama dari komunitas serta keberadaan

kuasa atau hal-hal diluar kendali individu yang turut mengubah

arah sejarah. Contohnya Harun53, hanya ditampilkan sebagai

sosok figuran yang berjarak, tidak erat dengan Musa dan

cenderung apatis (bandingkan Keluaran 4:14-16, 27, 29-30 dan

7:1).

Dalam Exodus: Gods and Kings, persoalan besar (sosial, bangsa)

direduksi menjadi perselisihan personal, terlihat dalam sibling

rivarly antara Musa dan Ramses. Mulai dari ramalan sang pendeta,

konflik batin Ramses yang ditolong Musa dalam perang54, Firaun

Seti yang lebih mempercayai Musa daripada Ramses55, konflik

Ramses dan ibunya untuk membunuh atau mengusir Musa56, konflik

bersenjata antara pasukan Ramses dan kelompok pemberontak

Yahudi yang dipimpin Musa terkait perihal pembebasan Israel

dan terakhir berpuncak pada duel gagal di tengah Laut Merah57.

Dalam Exodus: Gods and Kings, Musa menyadari identitas

keyahudiannya dalam kunjungan kerjanya ke Pithom setelah

diberitahu oleh Nun, salah satu tua-tua Israel. Musa galau

dengan identitasnya sampai-sampai ia membunuh seorang penjaga

Mesir dalam kemarahannya yang akhirnya berujung pada

pengusirannya dari Mesir. Pergumulannya tidak berhenti

walaupun Bithia (sang putri Mesir) dan Miriam memberitahukan

bahwa dia adalah seorang Ibrani58. Ketika Allah berbicara52Ibid., h.174.53Scott, op.cit., 66.21-66.4854Ibid., 10.10-11.1555Ibid., 12.53-13.3056Ibid., 36.55-37.32 57Ibid., 121.21-122.4858Ibid., 38.00-39.14

22

dengan Musa mengenai orang Ibrani dan menyindir “...or are they not

people in your opinion?”59 adegan ini menunjukkan Musa masih sulit

menerima dirinya sebagai orang Ibrani. Atau bandingkan juga

percakapan Allah dengan Musa yang lain, “you still don’t think them as

yours, do you?”60 Dalam kisah Alkitab memang terdapat plot holes

mengenai kesadaran Musa dan orang-orang disekitarnya akan

keyahudian Musa.61 Namun dalam Alkitab, Musa tidak dikisahkan

bergumul mengenai identitas keyahudiannya. Pergumulan ini

sendiri menjadi sebuah plot yang menarik (jika digali secara

mendalam), mengenai orang yang mencari identitas dirinya

termasuk mengenai spiritualitasnya.

Musa ditampilkan sebagai sosok yang cenderung skeptis dan

ateis. Pada adegan awal di istana Firaun ketika seorang

pendeta Mesir sedang meramal masa depan dengan membaca isi

perut dari angsa (sebuah ketidakakuratan historis62), ia

menunjukkan ketidakpercayaannya pada hal religius dengan

mengejek ramalan sang pendeta.63 Dalam percakapan dengan

anaknya, Gershom mengenai gunung Tuhan, Musa juga menunjukkan

keskeptisannya64, sebuah sikap yang mungkin menjadi

anakronisme65 dari sikap orang-orang modern. Exodus: Gods and Kings

59Ibid., 57.04-57.0860Ibid., 98.00-98.2061Keluaran 2:10 dan 11 mengindikasikan ada jeda waktu antara Musa diangkatanak oleh puteri Firaun dengan masa dewasa ketika ia dikisahkan melihatkerja paksa dan mengenali orang-orang Ibrani sebagai saudaranya.

62Membaca isi perut hewan untuk meramal masa depan adalah praktek religiusRomawi bukan Mesir Kuno. Lihat subpoin factual errors darihttp://www.imdb.com/title/tt1528100/goofs?ref_=tttrv_ql_2

63Scott, op.cit., 03.18-03.4064Ibid., 52.55-54.1065Sebuah inkonsistensi waktu (secara kronologis) yang biasanya terkaitdengan tradisi, objek, teknologi, kejadian atau orang yang berada padaperiode waktu yang salah.

23

dapat dikatakan sebagai sebuah kisah pencarian dan penemuan

relasi antara Musa dengan Yang Maha Kuasa. Di akhir kisah

digambarkan Musa yang bergaul erat dengan Allah66.

Berbicara mengenai relasi Musa dan Allah merupakan hal

yang menarik dari Exodus: Gods and Kings. Musa pertama kali bertemu

Allah di gunung dimana terdapat semak yang menyala tetapi

tidak terbakar. Kisah yang sama dengan di dalam Alkitab. Yang

membedakan adalah bagaimana pertemuan itu berlangsung. Di

dalam Alkitab67, Musa dalam kondisi sadar, sementara dalam

Exodus: Gods and Kings68, Musa digambarkan terkena longsoran batu

dan mungkin berhalusinasi mengenai Allah. Isi percakapan

tersebut juga berbeda. Di dalam Alkitab, Allah secara jelas

memperkenalkan diri dan menyatakan maksudnya yaitu untuk

mengutus Musa membebaskan umat-Nya dari Mesir. Musa bahkan

sampai berdebat panjang dengan Allah mengenai kapasitas

dirinya sendiri. Sementara itu dalam Exodus: Gods and Kings,

percakapan dengan Allah lebih singkat (tentu dalam rangka

menjaga agar film dan percakapan itu tetap menarik dalam media

film) dan sedikit lebih ambigu. Misal Allah berkata “I need a

general to fight” bisa dimaknai berperang (yang lebih masuk akal

untuk seorang jenderal) atau berjuang dalam artian lebih umum.

Gambaran Scott mengenai Allah cukup menarik. Allah digambarkan

sebagai seorang bocah kecil usia belasan, mungkin 12 atau 13

tahun. Gambaran yang tidak biasa, yang juga ditentang oleh

Zipora dalam Exodus: Gods and Kings, “God isn’t a boy”69 Penulis sendri

66Scott, op.cit., 140.11-141.4767Lihat Keluaran 3:1-4:1768Scott, op.cit., 55.31-57.2969Ibid., 58.09-58.11

24

tidak masalah dengan sosok Allah yang muncul sebagai seorang

anak, sebab tidak ada yang tahu juga seperti apa sosok Allah.

Umumnya memang digambarkan sebagai laki-laki kulit putih tua

tetapi kemudian Morgan Freeman merevolusinya dengan trend

Allah sebagai sesosok pria tua kulit hitam. Mungkin Scott

hendak memulai trend gambaran baru mengenai Allah yang

bersosok anak-anak.

Pengisahan 10 Tulah yang menjangkiti Mesir perlu mendapat

perhatian khusus. Menurut penulis, pengkisahan ala Scott

kehilangan makna asli tulah tersebut dari Alkitab. Scott

menceritakan tulah yang terjadi terus menerus, dimulai dari

sungai menjadi darah –karena buaya yang sangat banyak saling

membunuh– sampai kepada tulah keenam yaitu barah (meski

melewatkan tulah 3-nyamuk dan tulah 5-sampar, yang dipindah

posisi). Penulahan ini kemudian diselingi dengan peringatan

dan ajakan bernegosiasi dari Musa yang ditulis di sebuah kuda

dengan darah. Hal ini kemudian ditanggapi Ramses dengan

memperberat pekerjaan orang Yahudi (dalam Alkitab ini terjadi

saat Musa pertama kali memohon kepada Firaun untuk mengijinkan

Israel pergi ke padang dan beribadah kepada Tuhan, sebelum 10

tulah itu terjadi). Setelah itu bencana dilanjutkan dengan

tulah penyakit sampar pada hewan, hujan es dan api, kegelapan

dan diakhiri dengan kematian anak sulung.70 Bencana-bencana

tersebut terjadi terus menerus tanpa henti sehingga memberi

kesan Allah yang menghukum terus menerus. Hal yang berbeda

dengan yang disajikan Alkitab bahwa tulah tersebut terjadi

sebagai peringatan kepada Firaun, menunjukkan kebesaran Allah

70Ibid., 81.18-88.46, 89.06-91-53, 92.42-95.2425

dalam rangka membujuk Firaun untuk membebaskan Israel dari

Mesir. Oleh karena itu setiap tulah umumnya memiliki pola yang

sama: diawali dengan sebuah permohonan dari Musa kepada

Firaun, peringatan akan tulah, dan perbuatan ajaib yang

terjadi melalui suatu aksi dari Musa atau Harun (menyentuhkan

tongkat, mengambil debu dan tanah, mengulurkan tongkat ke

langit)71. Beberapa kemudian diredakan ketika Firaun berjanji

melepaskan Israel atau bernegosiasi dengan Musa72, yang

kemudian diingkari Firaun. Dalam kisah Alkitab Firaun memiliki

kesempatan, waktu dan kebebasan untuk memilih, merespon dan

bertindak73. Pesan yang berbeda yang akan ditangkap ketika

melihat Exodus: Gods and Kings dimana Firaun dan seluruh Mesir

menjadi korban yang cenderung pasif.

Dalam beberapa percakapan antara Musa dengan Allah tampak

beberapa persoalan yang menarik untuk didiskusikan lebih

lanjut (tentu tidak di sini!). Musa mempertanyakan tulah-tulah

yang terjadi sebagai kekejaman, tidak manusiawi dan dilakukan

sebagai sebuah pembalasan dendam dari Allah saja. “I want to see

them (Pharaohs) on their knees, begging for it to stop!”74 Allah digambarkan71Kisah lengkap 10 Tulah lihat Keluaran 7:14-12:5172Setelah tulah keempat, Firaun menwarkan kepada Musa untuk beribadah ditengah-tengah Mesir tetapi ditolak (Keluaran 8:25-27). Sebelum tulahkedelapan turun, Firaun menawarkan hanya kaum laki-laki saja yang pergi,bukan seluruh bangsa (Keluaran 10:8-11). Kemudian setelah tulahkesembilan, Firaun sedikit melunak dan mengijinkan semua pergi kecualiternak Israel (Keluaran 10:24).

73Meskipun umumnya dipakai istilah “Allah mengeraskan hati Firaun”, namunpenulis berpendapat bahwa ini merupakan cara para penulis kitab Keluaranmengatributkan segala sesuatu yang terjadi kepada Allah. Penulis sendirimengikuti pandangan Teologi Proses, meyakini bahwa setiap mahluk memilikikebebasan untuk bertindak dan memilih tanpa dimanipulasi atau dikeraskanhatinya oleh Allah. Untuk lebih jelas lihat Griffin, D. R., Evil Revisited:Responses and Reconsiderations, (New York: State University of New York Press,1991), h.11-13.

74Scott, op.cit., 97.52-98.3926

secara implisit mengiyakan hal tersebut, bahkan terlibat

berobsesi untuk menunjukkan kehebatannya dan keinginannya

mematahkan kesombongan para firaun yang mengtuhankan dirinya.

Percakapan lain menunjukkan Allah yang tidak sabar dengan

metode Musa yaitu membentuk kelompok gerilyawan (atau

teroris?) sehingga Ia memutuskan untuk menurunkan tulah-tulah

tersebut.75 Kedua pemahaman ini konsisten dengan dunia Musa

yang dibangun oleh Scott tetapi tentu saja berbeda dengan

pemahaman dan pengisahan Alkitab karena dalam Alkitab maksud

dan tujuan tulah itu seperti diungkapkan dalam paragarf di

atas. Sebagai peringatan bagi Firaun. Allah dalam Alkitab

justru tampak lebih sabar. Dipermainkan dan diberi harapan

palsu oleh Firaun setidaknya 9 kali, namun tetap Allah memberi

kesempatan bagi Firaun untuk memilih membebaskan Israel.

Terlepas dari itu menarik juga melihat gambaran Musa yang

simpatik dan peduli juga kepada bangsa Mesir atau setidaknya

orang-orang Mesir yang dikenal Musa, yang menderita akibat

tulah-tulah hebat tersebut (meski ironisnya dia tidak terlihat

bermasalah dengan melakukan aksi terorisme kepada rakyat

Mesir).

Scott juga menggambarkan Allah yang tidak dekat dengan

umatnya. Meskipun di awal disebutkan bahwa Allah tidak

melupakan umatnya namun Allah tidak menyatakan dirinya kepada

umatnya, tidak melalui Musa, tidak melalui Harun, tidak

melalui siapapun. Upaya pembebasan Israel dari Mesir

ditampilkan pertama-tama sebagai usaha Musa secara pribadi.

Pengolesan darah domba dan segala ritual terkait dilepaskan

75Ibid., 80.13-81.1527

dari peringatan akan pembebasan dari Allah dan sekadar sebuah

jaga-jaga dalam ketakutan dan ketidaktahuan akan tindakan

Allah.76 Aura yang dibangun adalah ketakutan bukan sukacita

(bandingkan Keluaran 12:1-28) sebab Allah tidak menyatakan

maksud dan kehendaknya kepada bangsa Israel. Allah menjadi

Allah yang absen sepanjang proses pembebasan dan juga

perjalanan keluar dari Mesir. Kalau di dalam Alkitab Allah

dikisahkan mendampingi bangsa Israel melalui tiang awan dan

api (lihat Keluaran 13:17-22), dalam Exodus: Gods and Kings tidak

ada hal semacam itu. Ketika Musa tersesat dipersimpangan jalan

dan kemudian terdampar di tepi laut, Allah juga tidak hadir.77

Kisah Exodus: Gods and Kings dapat dilihat sebagai kisah

mengenai Musa yang berusaha mengandalkan dirinya sendiri dan

gagal. Musa yang mengalami proses direndahkan hatinya oleh

Allah. Dari yang berkeras hati78 akan kemampuannya sendiri

kemudian menyadari ketidakmampuannya dan menyerah kepada Allah

(yang disimbolkan dengan melemparkan pedang ke laut)79. Bahkan

dalam pertemuan dengan Allah di gunung untuk membuat loh batu,

Musa sekali lagi belajar kerendahan hati. Merelakan dirinya

yang adalah pemimpin digantikan.80 Dalam hal ini tema ini,

perendahan hati dihadapan Allah, merupakan sebuah tema yang

Alkitabiah (lihat Matius 23:12, 1 Petrus 5:6, Yakobus 4:6,

dst).

Film Alkitabiah : Menemukan atau Mempertanyakan Allah?76Ibid., 101.46-102.1577Ibid., 114.58-118.1278Ibid., 92.01-92.4079Ibid., 118.42-119.3780Ibid., 140.11-141.47

28

Berdasar pada pembahasan di atas, kita melihat bahwa baik

Aronofsky maupun Scott menyajikan sebuah kisah, penceritaan

ulang yang menarik Baik Noah dan Exodus: Gods and Kings menyajikan

sebuah penceritaan yang sungguh menggugah hati melalui

imajinasi dan rekreasi ulang akan kisah-kisah Alkitab

tersebut. Namun demikian disadari juga bahwa ternyata film-

film tersebut menyampaikan gambaran Allah dan relasinya dengan

ciptaan yang sering tidak konsisten dan sama dengan pesan

Alkitab. Terdapat ide, konsep, pandangan dan keyakinan-

keyakinan lain yang mewarnai film-film tersebut. Dalam hal ini

kita dapat menjawab dengan mudah pertanyaan di awal paper,

“Apakah pesan Alkitab diperdengarkan kepada banyak orang?”

Tidak.

Jika demikian haruskah kita memboikot film-film tersebut.

Menolak keberadaannya dan berupaya menggagalkan film-film

serupa yang hendak dibuat dimasa mendatang? Haruskah kisah-

kisah Alkitab dijauhkan dari jamahan Hollywood? Untuk ini saya

juga menjawab tidak. Meskipun pengisahan yang berbeda ala

film-film tersebut dapat memberi gambaran Allah yang salah dan

tidak tepat. Namun setidaknya film-film tersebut menolong kita

melihat kembali gambaran Allah dan relasinya dengan ciptaan,

yang kita miliki. Film-film ini dapat mendorong kegelisahan,

kegoncangan iman dan bahkan diskusi. Seperti yang diharapkan

oleh salah seorang penulis review, “orang-orang terdorong

kembali kepada Alkitab dan membaca kisah” tersebut lagi.81

81Kandiah, K. dalam Exodus: Gods and Kings review - biblically irreverent but powerful cinema,2014, dalamhttp://www.christiantoday.com/article/exodus.gods.and.kings.review.biblically.irreverent.but.powerful.cinema/43927.htm diakses 6 Juni 2015.

29

Untuk itulah saya setuju dengan Romanowski bahwa kita

membutuhkan sebuah interpretive community, sebuah komunitas

penafsir yang terdiri atas orang-orang yang mampu untuk

memilah, merenungkan dan menafsirkan secara aktif film-film

populer. Komunitas yang bersama-sama mendiskusikan dan

menggali film-film tersebut secara mendalam dan reflektif

untuk pertumbuhan iman bersama.

Akhir kata, kehadiran film-film box-office yang mendapatkan

idenya dari kisah-kisah Alkitab dapat dipakai untuk mendorong

kita menghayati iman kita lebih dalam. Mungkin kita tidak akan

menemukan Allah, dalam artian mendapat gambaran langsung yang

lebih jelas mengenai Allah atau terinspirasi mengenai Allah,

dari dalam film-film populer. Tetapi biarlah pertanyaan-

pertanyaan dan kegelisahan kita mengenai Allah yang disajikan

oleh budaya populer mendorong kita untuk menemukan dan

membangun secara kokoh identitas kekristenan kita.

30

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku Cobb, K., The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, Oxford:

Blackwell Publishing, 2005.

Detweiler, C. & Taylor, B., A Matrix of Meaning: Finding God in pop culture, Michigan: Baker Academic, 2003.

Fretheim, T. E., God and World in the Old Testament: A Relational Theology ofCreation, Nashville: Abingdon Press, 2005.

Gonzalez. R., Emerging Markets And The Digitalization of The Film Industry, (Montreal: UNESCO Institute for Statistics, 2013.

Griffin, D. R., Evil Revisited: Responses and Reconsiderations, New York: State University of New York Press, 1991.

Marsh, C., Theology Goes to The Movies: An Introduction to Critical Christian Thinking, New York: Routledge, 2007.

Romanowski, W.D., Eyes Wide Open, Michigan: Brazor Press, 2007.

Sumber Media AudiovisualAronofsky, D., (Sutradara). (2014). Noah [Film]. Amerika

Serikat; Paramount Pictures.

Scott, R. (Sutradara). (2014). Exodus: Gods and Kings [Film]. Amerika Serikat; Twentieth Century Fox.

Sumber Onlinehttp://deadline.com/2015/03/apostle-paul-hugh-jackman-ben-

affleck-matt-damon-1201401935/http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=exodus.htm http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=noah.htm

31

http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=sonofgod.htmhttp://www.boxofficemojo.com/yearly/chart/?

view2=worldwide&yr=2014-&p=.htmhttp://www.cinemablend.com/new/Ridley-Scott-May-Follow-Exodus-

With-Movie-About-King-David-43813.html http://www.charismanews.com/culture/46529-why-2015-may-or-may-

not-be-the-year-of-the-bible-movie-part-2 http://www.christiantoday.com/article/

exodus.gods.and.kings.review.biblically.irreverent.but.powerful.cinema/43927.htm

http://www.theguardian.com/film/2014/jul/31/-sp-faith-films-hollywood-religion-christian-noah-heaven-is-real-bible

http://www.worldometers.info/world-population/

32