Kumpulan Cerita Rakyat Kab Siau, Tagulandang, Biaro: Asal Usul Siau dan Kisah-kisah Lainnya

98
Disparbud Sitaro I KUMPULAN CERITA RAKYAT KABUPATEN KEPULAUAN SIAU, TAGULANDANG, DAN BIARO ASAL USUL SIAU DAN KISAH-KISAH LAINNYA Penyunting : MISTER GIDION MARU, M.Hum Lembah Manah 2012

Transcript of Kumpulan Cerita Rakyat Kab Siau, Tagulandang, Biaro: Asal Usul Siau dan Kisah-kisah Lainnya

Disparbud Sitaro i

KUMPULAN CERITA RAKYATKABUPATEN KEPULAUAN SIAU,

TAGULANDANG, DAN BIAROASAL USUL SIAU

DAN KISAH-KISAH LAINNYA

Penyunting :MISTER GIDION MARU, M.Hum

Lembah Manah 2012

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaroii

Katalog Dalam Terbitan (KDT) Perpustakaan Nasional Jakarta

KUMPULAN CERITA RAKYATKABUPATEN KEPULAUAN SIAU, TAGULANDANG, DAN BIAROASAL USUL SIAU DAN KISAH-KISAH LAINNYA

Penyunting: MISTER GIDION MARU, M.Hum

Lay out : SutopoDesain Cover : Y Sigit Supradah

ISBN : 978-602-8794-78-7

Diterbitkan pertama kali : September 2012

Diterbitkan bersama oleh :Penerbit LEMBAH MANAHDusun Kersan Rt 6/No 1 (pojok)Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIYTelp/Fax : (0274) 412 620E-mail : [email protected] : 08522 890 7075

DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KAB SITARO, SULUTOndong, Kec. Siau Barat, Kab. Kepulauan Siau Tagulandang, Biaro Sulawesi Utara 95862

Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan tanpa seizin dari Penerbit

Dicetak oleh Percetakan Kanisius, YogyakartaIsi di luar tanggung jawab percetakan

Disparbud Sitaro iii

KATA PENGANTAR

Penulisan cerita-cerita rakyat khususnya di daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro seakan-akan kurang diperhati-kan lagi sehingga menyebabkan generasi muda kurang memahami bahkan mengenal kayanya perbendaharaan cerita-cerita rakyat yang dimiliki oleh daerah ini.

Manfaat cerita-cerita tersebut bagi generasi muda sekarang ini selain sebagai bahan bacaan serta bahan perbandingan kehidupan, tetapi sesungguhnya cerita-cerita tersebut memiliki pesan moral yang sungguh sangat bermanfaat bagi perkembangan serta pem-bentukan kepribadian/karakter generasi muda sekarang ini.

Menyikapi situasi tersebut, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro berupaya untuk mengadakan cerita-cerita tersebut walaupun masih dalam jumlah yang terbatas, tetapi menjadi suatu terobosan baru sehingga dapat memotivasi semua pihak untuk dapat mendukung kegiatan-ke-giatan yang seperti ini dalam rangka mengangkat lagi budaya-budaya daerah dalam bentuk cerita-cerita rakyat.

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaroiv

Semoga dengan adanya karya sederhana ini dapat menambah wawasan bagi generasi muda di tengah perkembangan zaman yang semakin modern ini.

Ondong Siau, September 2012

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro

Dra. FATMAWATI KALEBOS PEMBINA UTAMA MUDA NIP. 19601201 198602 2 002

Disparbud Sitaro v

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro adalah unsur pelaksana Otonomi Daerah da-lam menyelenggarakan sebagian urusan rumah tangga daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Dinas Kebudayaan dan Pari-wisata mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang Pari-wisata dan Kebudayaan. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyelenggarakan fungsi :a. Perumusan kebijakan teknis di bidang Pariwisata dan Kebu-

dayaan;b. Penyelenggaraan unsur pemerintah dan pelayanan umum di

bidang Pariwisata dan Kebudayaan;c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang Pariwisata dan

Kebudayaan;d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati.

Sejarah berdirinya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro pada dasarnya tidak terlepas dari sejarah berdirinya Kabupaten kepulauan Siau Tagulandang Biaro

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biarovi

itu sendiri. Sebelum satuan kerja perangkat daerah ini terbentuk, urusan Kebudayaan dan Pariwisata merupakan bagian dari tugas, wewenang dan tanggung jawab Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi, Pariwisata dan Kebudayaan, yang secara teknis dilaksanakan oleh bidang Pariwisata dan Kebudayaan.

Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) nomor 41 Tahun 2009, maka kegiatan Pariwisata dan Kebudayaan dipisah-kan dari fungsi Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi, Pariwisata dan Kebudayaan. Untuk itu, dibentuklah Dinas Pari-wisata dan Kebudayaan dengan tugas pokok menyelenggarakan fungsi-fungsi dan kegiatan kepemerintahan di bidang Pariwisata, Kebudayaan dan Kesenian. Pada tahun 2011, SKPD ini mengalami perubahan nama lagi menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dengan dasar pertimbangan bahwa urusan Pariwisata merupakan urusan pilihan sedangkan urusan Kebudayaan merupakan urusan wajib, sehingga perlu disesuaikan melalui perubahan nomenklatur dengan merujuk pada institusi yang lebih tinggi yaitu Dinas Kebu-dayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara serta Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Perkembangan selanjutnya pada tahun 2012 terjadi perubahan nomenklatur pada tingat kementerian dimana Kementrian Kebu-dayaan dan Pariwisata berubah menjadi kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sedangkan bidang Kebudayaan diurus oleh Ke-menterian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, sebe-lum adanya penyesuaian dalam bentuk perubahan nomenklatur mengikuti perkembangan yang ada, maka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam melaksanakan tugasnya untuk mengembangkan kebudayaan dan kepariwisataan daerah memiliki 2 institusi vertikal pada tingkat pusat dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi strate-gi, kebijakan dan program kerja, yaitu Kementerian Pariwisata dan

Disparbud Sitaro vii

Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sebagai organisasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan terdiri dari sumber daya manusia baik yang berstatus sebagai PNS/CPNS maupun non-PNS, yang bekerja dalam suatu sistem dan hirarki yang telah diatur sedemikian rupa untuk memudahkan kelancaran pelaksanaan tugas pekerjaan. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ini dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Berikut ini nama-nama pejabat yang pernah menjadi kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata :1. Dra. Mei Welang, M.Si.2. Drs. Alfianus Marthin.3. Dra. Fatmawati Kalebos (sampai sekarang)

Sistem kerja dan hirarki jabatan dalam Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tercermin dalam suatu struktur organisasi yang telah diatur dalam tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) yang ditetapkan melalui keputusan Bupati Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Struktur organisasi Dinas kebudayaan dan Pariwisata ini menggambarkan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab setiap jabatan yang ada dalam organisasi. Sehingga melalui struktur organisasi ini, para pegawai dapat mengetahui dengan jelas pembagian tugas dan wewenang yang dimilikinya, serta kepada siapa mereka harus bertanggung jawab secara hirarkis.

Adapun susunan organisasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, terdiri dari :a. Kepala Dinas;b. Sekretaris;c. Bidang Kebudayaan;

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaroviii

d. Bidang Destinasi Pariwisata;e. Bidang Kesenian;f. Unit Pelaksana Teknis;g. Kelompok Jabatan Fungsional.

Pada gambar berikut ini disajikan Struktur Organisasi pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro :

Disparbud Sitaro ix

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biarox

Disparbud Sitaro xi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................................................. iiiCatatan Tentang Cerita Rakyat .............................................................................................. viiAsal Usul Nama Pulau SIAU ....................................................................................................... 1Asal Usul Batu SIAU dan AKE SIO ................................................................................. 5Asal Mula Tradisi TAMO ................................................................................................................. 7

Kisah SENSE MADUNDE dan AKE SIO

(Versi 1) ............................................................................................................................................................. 12

Hikayat SENSE MADUNDE (versi 2) ............................................................................................................................................................... 15

Hikayat SENSE MADUNDE

(Versi 3) ............................................................................................................................................................... 21Kisah Batu Tulada ....................................................................................................................................... 24Kisah Penemuan AKE GAHEGHE .................................................................................. 27Kisah LIANG KASUANG ............................................................................................................ 31Asal Usul Nama Pulau MAKALEHI ............................................................................... 35Kisah KAMBEA dan SANGIANG KINANDIRI ....................................... 37Asal Mula TANJUNG NAPOTO ....................................................................................... 39

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaroxii

Kisah Cincin SAMPAHUATA dan Saudaranya .............................................. 41Kisah Putri BASILAWEWE ......................................................................................................... 43Asal Usul LIWUADAHA ................................................................................................................ 47Asal Usul Tanah Pengampungan ............................................................................................ 50Kisah Kicauan Maut Dari Seekor Burung Nuri ........................................... 54Kisah Hengkeng U NAUNG melawan MAKAAMPO ........................ 59Kisah Raksasa ONDING ................................................................................................................ 67Asal Mula Tapak Kaki dan Tongkat Onding ........................................................ 70Asal Usul Nama Kampung Peling ........................................................................................ 73Kisah Cintah KASILI BATAHI dan SANGIANG MAIMUNA ..................................................................................................... 76

BIOGRAFI PENYUNTING .................................................................................................. 81

Disparbud Sitaro xiii

CATATAN TENTANG CERITA RAKYAT

Cerita rakyat merupakan bagian dari salah satu aktifitas tertua dalam sejarah manusia. Suatu cerita yang melekat pada suatu kelompok masyarakat tak lepas dari tradisi lisan. Seorang kakek bercerita tentang apa yang didengarnya dari ayahnya atau kakeknya. Demikian juga seorang ayah dapat saja menuturkan kisah yang didengarnya dari orang-orang dimasanya kepada anaknya begitu seterusnya. Hal inilah yang dinyatakan oleh Sims dan Stephens (2005) dengan mengutip pendapat Amy Cohn bahwa cerita rakyat diteruskan turun temurun dari generasi ke generasi secara lisan. Setiap kali seseorang mendengarkan sebuah cerita kemudian mengulanginya dengan gaya dan isi cerita yang sesuai dengan gayanya. Dalam kaitan ini Sims dan Stephen (2005) menjelaskan bahwa tiap pencerita memasukan bagian dari dirinya, dan pandangan tentang dunianya. Akibatnya tak jarang terjadi sedikit perbedaan isi atau pun tokoh dalam cerita. Transmisi cerita dari generasi ke generasi ikut membentuk pesan pada setiap penceritaan kembali.

Cerita rakyat berkembang dalam suatu lingkaran kelompok masyarakat yang memiliki ikatan tradisi, nilai dan cara berpikit

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaroxiv

serta prilaku yang sama (Wilson: 2006). Dengan demikian cerita rakyat tersebut mencerminkan pengalaman dan eksistensi bersama dari kelompok masyarakat dimana ia hidup dan dipelihara serta dilestarikan. Itulah sebabnya cerita rakyat sering bersifat vernacular yang artinya melekat pada suatu bahasa, obyek dan praktek dari kelompok masyarakat pada lokasi tertentu dengan konteks tertentu. Kisah tentang asal-usul atau terjadinya sesuatu obyek atau romantika dalam suatu lingkungan tertentu yang erat kaitannya dengan budaya tertentu menjadi penunjuk yang tepat untuk memberikan contoh betapa terhubungnya suatu cerita rakyat dengan vernakularitas tertentu.

Berhubungan dengan pemahaman ini, cerita rakyat menjadi bermakna dalam upaya memahami eksistensi suatu masyarakat pada suatu masa atau dari masa ke masa. Sebagai ingatan kolektif yang secara umum didapat melalui tradisi lisan, cerita rakyat merupakan salah satu jalan untuk memahami jati diri dan membantu pe maknaan pengalaman bersama suatu masyarakat dalam melihat dunia disekitar mereka. Hal ini dimungkinkan mengingat dalam cerita rakyat yang tumbuh dan berakar serta dipercayai pada kelompok masyarakat dimana cerita tersebut diteruskan. Sims and Stephens (2005) mengemukakan secara tersirat bahwa memahami cerita rakyat dapat menuntun kita pada pengenalan tradisi dan identitas suatu masyarakat, pengalaman masa lalu yang mempengaruhi masa kini dan pandangan intelektual atau politik masa lalu untuk menginterpretasi kenyataan masa kini serta menegaskan nilai-nilai yang dipegang secara kolektif oleh suatu masyarakat.

Dalam konteks diatas, penggalian cerita-cerita rakyat yang secara vernakular tumbuh dan terpelihara dilingkup wilayah kabupaten kepulauan Siau, Tagulandang dan Biaro (Sitaro) dapat menjadi cermin untuk memahami nilai dan tradisi serta pandangan

Disparbud Sitaro xv

historis dalam upaya memperkuat jati diri dan kekuatan kultural dalam mendorong akselerasi pembangunan diwilayah ini. Dapat juga ditambahkan bahwa cerita-cerita rakyat yang dipresentasikan dalam buku sederhana ini disarankan untuk menjadi bahan kajian yang lebih jauh untuk memformulasikan terbentuknya suatu peta situs dan tradisi Sitaro yang selanjutnya dapat dikembangkan untuk suatu tujuan konstruksi dan infrastruktur ekonomi kreatif dan pariwisata. Inilah luaran (output) yang diharapkan dari pemilihan cerita-cerita rakyat yang ditampilkan dalam bu ku ini. Obyek cerita yang masih dapat ditelusuri keberadaannya ditengah masyarakat saat ini hendaknya diterjemahkan sebagai titik-titik pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat dan budaya serta lingkungan.

Akhirnya ucapan terima kasih patut dihaturkan kepada ber-bagai pihak yang secara sukarela berkenan menuturkan kembali dan membagi kisah-kisah yang telah didengar secara lisan dan turun-temurun dari leluhur sehingga tersusunlah buku ini. Terima kasih yang mendalam kepada Bapak R. D Kansil dan Putrinya, Paulien Wenny D Kansil,S.Pd, Bapak E Tamaka, Bapak G Segune, Bapak M Kakalang, Pdt. Cornelius Kalias Bidara, Bapak Alm Rein Maru, Bapak Dikson Tadete, Bapak Yap Tadete, dan Bapak Thefils W Dame yang telah berbagi cerita untuk disarikan dalam buku ini. Kita bersyukur juga atas karya monumental H.B Elias yang berjudul Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) yang telah melengkapi berbagai sumber lisan untuk berbagai cerita sehingga tetap terpelihara sebagai kekayaan Sitaro. Tak lupa, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Drs. Vert Kalangit. M.Sc sebagai sekertaris Dinas Pariwisata yang ikut menggali kekayaan cerita ini dan banyak pihak tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah baik yang ikut mencatat intisari berbagai sumber lisan maupun berbagi cerita secara lisan demi

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaroxvi

sempurnanya tiap cerita rakyat yang dihadirkan dalam buku ini. Demikian pula perlu diakui bahwa buku cerita rakyat ini masih jauh dari sempurna dan membutuhkan kritik dan saran untuk perbaikan serta manfaatnya. Diharapkan kiranya buku ini dapat berguna untuk memahami dan melestarikan kebudayaan dan peninggalan sejarah Sitaro. Tuhan memberkati.

September 2012

M. Gidion Maru

Disparbud Sitaro 1

ASAL USUL NAmA PULAU SIAU

Ada banyak pertanyaan bagaimana asal mula pulau Siau mendapatkan namanya. Tentu tidak mudah untuk menjawab. Ada banyak versi yang berkembang secara lisan ditengah masyarakat Siau. Ada yang mengatakan nama pulau ini terkait dengan Sembilan mata air ditemukan di daerah Liwuadaha. Dalam bahasa setempat kata Sembilan disebut ”Sio”. Diduga karena ucapan itu berkembang dari mulut ke mulut maka lama kelamaan orang mengatakannya ”Siau”. Akan tetapi versi ini masih dianggap kurang kuat, ada cerita lain yang juga dipercayai masyarakat bahwa kata Siau itu berawal dari banyaknya tumbuhan sejenis Ubi yang bertumbuh dihampir semua wilayah di pulau ini. Tumbuhan ini konon disebut ”Siawu”. Para pendatang pun untuk mempermudah penyebutan sekaligus memberi gambaran keadaan pulau ini maka acap kali dikatakan di ”Siawu”. Seriring dengan waktu, sebagian besar orang pun me-namai pulau ini dengan Pulau Siau.

Adapula kisah yang lain dituturkan masyarakat yakni terkait tradisi kelautan warga Siau pada masa lampau. Alkisah pada suatu ketika ada sekelompok pelaut dari pulau ini yang me-la kukan pelayaran menuju kerajaan Ternate. Sesampainya di

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro2

Ternate, sebagaimana adat kebiasaan pada masa itu, para pelaut ini mendatangi istana untuk menemui Sultan Ternate sebagai bentuk perkenalan mengingat itu adalah untuk pertama kalinya mereka berlabuh di Ternate. Sultan Ternate pun bertanya kepada mereka, ”darimana kalian datang”. Para pelaut yang belum begitu paham bahkan tidak tahu bahasa setempat mengira yang ditanyakan ialah bagaimana mereka bisa datang ke istana. Dengan serempak mereka menjawab,”nesio”, yang dalam bahasa Siau bermakna ”bersama-sama”. Sebaliknya Sultan Ternate hanya menangkap kata ”Sio” pada jawaban yang didengarnya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat bahasa yang mereka belum saling memahami dengan benar. Maka Sultan Ternate bergumam, ”Hm dari Pulau Sio”. Sejak saat itu pulau ini disebut Pulau Siau.

Disamping cerita ini, dikisahkan juga kemungkinan lain asal nama pulau Siau adalah dari petualangan laut yang dilakukan oleh satu kapal berasal dari Ternate hendak menuju Ambon. Namun dengan adanya hembusan angin Selatan yang sangat kuat, maka kapal tersebut pun sulit dikendalikan untuk tetap kearah Ambon malahan terbawa arus yang besar. Kondisi ini mereka alami selama seminggu lebih sampai mata nakhoda kapal tersebut melihat sebuah daratan yang penuh dengan pohon-pohon dan nyiur melambai. Senyum merona diwajahnya. Ia pun memerintahkan agar kapalnya terus merapat ke daratan yang semakin dekat terlihat sebagai pulau yang cukup besar. Semakin jelasnya bahwa daratan itu adalah pulau yang berpenghuni, sang nakhoda dengan gembira berucap, ”Oh sio”, sambil menyapu dadanya. Tampaknya ia mau berkata akhirnya (oh Sio artinya oh kasihan) mereka tiba didaratan tanda harapan baru untuk terus hidup. Mendengar ucapan nakhoda para awak kapal berkata sambil berbisik, ”oh itu pulau Sio”. Dari situlah kata Siau kemudian dikenal.

Disparbud Sitaro 3

Lain lagi dengan penuturan masyarakat yang lain, konon dikisahkan bahwa kata Siau itu berasal dari status atau ikatan darah penduduk pulau ini dengan suku-suku yang hidup di Minahasa. Dipercayai bahwa orang Siau adalah keturunan dari anak kesembilan atau ”Sio” dalam urutan kakak-beradik yang selanjutnya menjadi suku-suku di Minahasa. Itulah sebabnya orang Siau banyak yang memiliki kulit seputih orang Minahasa. Akan tetapi dari semua versi ini menurut H B Elias dalam catatan tertulisnya tentang Siau menyatakan bahwa dari semua cerita yang berkembang ditengah masyarakat ini, hanyalah kisah yang bermula dari kedatangan bangsa Spanyol pada abad ke-16 yang paling dapat dipercayai kebenarannya meskipun hal ini tetap membutuhkan penelitian ilmiah yang lebih lanjut.

Dituturkan bahwa pada suatu waktu datanglah kapal Spanyol berlabuh di pantai disekitar Paseng yang merupakan ibukota kerajaan waktu itu. Kehadiran kapal asing ini mengundang rasa penasaran warga setempat maka mereka mendatangi pantai dan berjejer sembilan orang. Nakhoda kapal Spanyol itu turun dari kapalnya dengan perahu sekoci kecil mengingat saat itu belum ada pelabuhan seperti sekarang. Begitu turun dari perahu sekocinya, nakhoda yang didampingi beberapa awak kapalnya mendekat ke sembilan orang itu lalu bertanya, ”Adakah diantara kalian bisa memberitahu nama pulau ini”. Ia bertanya demikian seraya menunjuk ke sembilan orang itu satu persatu. Merasa sedang di hitung, kesembilan orang itu menimpali, ”Sio”. Nakhoda pun manggut-mangut dan berkata ke anak buahnya, ”ini Pulau Siouw”. Demikian pula saat ia kembali kekapalnya, nakhoda pun memberitahukan kepada awaknya yang tidak sempat turun ke darat bahwa pulau itu bernama Pulau Siouw. Ditambahkan H. B Elias, sesudah kedatangan pelaut Spanyol ini journal-journal pelaut

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro4

Eropa mulai mencatat perairan di seputar Pulau Siouw. Nama yang dikatanya kemudian diubah oleh orang Belanda menjadi Siauw dan lama-kelamaan dalam tradisi tertulis nama ini menjadi lebih singkat yakni ”Siau” yang dipakai hingga kini.

Sumber: disarikan dari Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) karya H.B Elias dan berbagai sumber lisan lainnya.

Disparbud Sitaro 5

ASAL USUL BATU SIAU DAN AKE SIO

Bermula pada abad ke-13, suami istri Lumimuut dan Toar mempunyai dua orang anak yakni : Mina Esa dan Andi Polii. Mina Esa kawin dengan orang Kastilani bernama Makisemba. Keduanya hidup di Tonsawang. Tiada berapa lama mereka berlayar ke sebelah utara Celebes (Sulawesi) tiba di suatu pulau dan teluk. Teluk itu kemudian disebut Sawang (Siau Timur) karena mengingat tanah tumpah darah mereka bernama Tonsawang. Mereka tinggal di situ, kemudian pada suatu saat berjalanlah keduanya memasuki pedalaman pulau itu dan di sana dijumpainya sebuah batu besar. Di sekitar batu besar itulah Makisemba dan Mina Esa bermukim dan hidup. Keduanya dikaruniai sembilan orang anak yaitu : Uta labo, Uta haghi, Lekungbulaeng, Naeloh, Linangkulaeng, Wulaeng, Bawingkahe, Neli dan Rasageng. Oleh Makisemba batu besar itu disebut Batu Sio. Hal ini disebabkan karena setiap anak lahir, plasentanya (bahasa daerah disebut ”kakadumang”) selalu ditanam di bawah batu besar itu. Setiap anak yang lahir oleh Makisemba digali sebuah kolam tempat mandi anak-anaknya.

Sampai saat ini sembilan kolam tersebut masih ada, dan terdapat di suatu tempat bernama Pamua/Tukadeng di desa Beong

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro6

Kecamatan Siau Tengah. Sembilan kolam mata air dalam bahasa daerah disebut ”Ake Sio”. Pada bulan November 1420 ketika Magelhaens pelayar Spanyol tinggal di pulau ini, dia menyebut pulau ini adalah pulau Siau menurut sebutan nama batu besar itu (batu siow). Seterusnya kolam air yang dibuat Makisemba untuk kesembilan orang anaknya juga menjadi tempat mandi dari sembilan bidadari. Demikianlah sebutan Batu Sio dan Ake Sio oleh Makisemba menjadi sebutan pulau Siau oleh Magelhaens untuk pulau ini.

Sumber : Dari penuturan E. TAMAKA, Pehe, Kec. Siau Barat

Disparbud Sitaro 7

ASAL mULA TRADISI TAmO

Konon di Philipina Selatan dahulu kala ada satu Kerajaan dikota Batu yang diperintah oleh Rajanya bernama Lesangalung. Ia terkenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana sehingga sangat dicintai rakyatnya. Permaisurinya bernama Tawoindang. Mereka mempunyai seorang putra bernama Gumansalangi. Pada saat Gumansalangi meningkat dewasa ia tumbuh menjadi seorang Pangeran yang baik budi tak ubahnya ayahandanya, namun kemu dian dukacita menimpa mereka dengan berpulangnya sang permaisuri sehingga menteri-menterinya menasihati beliau untuk kawin lagi. Gagasan ini ditanggapi oleh salah seorang menteri yang tidak jujur kepada raja karena kelicikannya Raja kawin lagi dengan menerima syarat yang diajukan calon permaisuri yang baru yang sudah diatur oleh menteri yang tidak jujur tadi bahwa kelak raja akan meluluskan permin taan apa saja dari calon permaisuri.

Raja harus menerima dan setelah kawin mereka mendapat seorang putra yang sangat diharapkan oleh permaisuri menjadi pengganti ayahnya sebagai raja kelak namun kendalanya adalah putra Gumansalangi. Dan harapan inilah menjadi pangkal tragedi yang menimpa gumansalangi. Meyakini kesetiaan Raja kepada

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro8

menteri yang berkianat tadi mengatur kepada istrinya untuk suatu fitnah kepada Gumansalangi. Dengan pakaian tersobek-sobek permasuri menghadap raja setelah kembali dari perjalanan dinas ke pulau-pulau termasuk wilayah kekuasaannya. Permasyuri menceritakan kepada raja betapa ia diperkosa oleh Gumansalangi. Permaisuri minta kepada Raja sesuai janji yang disepakati supaya menghukum mati Gumansalangi. Sebagai seorang raja agung Lesangalung tidak ingin mengingkari janjinya. Dengan hati yang hancur karena dukacita yang mendalam akibat hukuman mati bagi anaknya sendiri. Dihati kecilnya raja tidak yakin kebenaran tuduhan itu. Sungguh diluar dugaan tanggapan rakyat atas ke-putusan raja, rakyat memprotes hukuman mati dan mengajukan satu bentuk hukuman yang tak kala beratnya yakni Gumansalangi dikucilkan dari istana dan dibuang ke hutan dengan pertimbangan bahwa jika benar-benar Gumansalangi bersalah, ia akan diterkam oleh binatang buas. Permaisuri dapat menerima hukuman tersebut karena baginya yang penting adalah hilangnya Putra Mahkota yang kelak menjadi raja. Gumansalangi sangat tersanjung dengan hukuman itu dimana Gumansalangi diharapkan akan menjadi calon Raja yang baik terfitnah. Gumansalangi harus diselamatkan dan harus menjadi raja disuatu tempat.

Konon ditengah situasi ini seorang bernama Konda Asa mendatangi gubuk Gumansalangi dengan menyamar sebagai se-orang nenek yang sangat menjijikan, nenek mengaku kesasar dan sudah kemalangan dan minta menempati kolong gubuk Gumansalangi namun oleh para pangeran untuk menempati kamar nya sendiri, maka ditawarkan tinggal terus bersama dia. Dengan kepergian nenek itu dipagi hari maka ia lulus untuk ujian pertama. Tidak lama kemudian berselang beberapa hari Konda Asa datang lagi dengan samaran seorang putri raja yang tak ada

Disparbud Sitaro 9

tara kecantikannya mengaku kesasar seperti nenek tadi. Dengan dugaan dari pangeran bahwa penawaran kawin olehnya merupakan harapan seorang putrid untuk tidak putus asa, ketika saatnya akan tidur putrid minta pangeran tidak jauh dari padanya karena ia takut namun ditolak oleh pangeran. Putri kembali dengan bujukan dia minta sebelum pergi tolong membukakan kancing bajunya yang berada dibelakangnya karena ia tidak dapat tidur dengan pakaian lengkap dan inipun ditolak oleh pangeran. Pada pagi hari didapati pangeran, putri sudah pergi dengan kesan tanda lulus bagi pangeran.

Selang beberapa hari kemudian pada waktu sang pangeran berburu tiba-tiba ia mendengar tangisan minta tolong. Pangeran melihat ke kiri-kanan namun tak tampak apa-apa. Tiba-tiba ter-dengar suara mengatakan tengoklah ke puncak pohon tertinggi didekatmu dimana aku disihir oleh seorang nenek jahat dimasukkan dalam sebuah telur dan digantung. Aku hanya dapat diselamatkan melalui penebangan pohon ini dimana aku berada dipuncaknya denga syarat pohon rubuh ditebang tanpa bunyi dan telur tidak pecah. Pangeran berpikir betapa sulitnya perintah itu. Sambil memohon doa restu kepada Genghonalangi ia menyerahkan kemampuannya sebagai seorang pangeran dan usaha ini berhasil dan sesuai permintaan suara dari dalam telur untuk mengambilnya dan dijaga jangan sampai pecah. Telur itu dibawa kegubuknya dan sampai hari ketiga telur menetas dan keluarlah seorang wa nita cantik yaitu nenek tua dan perempuan cantik yang datang menumpang digubuknya. Untuk lulusnya pangeran pada ujian ketiga ini maka Konda Asa bersedia untuk kawin dengan Gumansalangi.

Selanjutnya atas petunjuk Dewata Gumansalangi dan istri-nya dan kakak iparnya bernama Masela ketiganya menuju ke selatan dan menaiki sebuah rakit yang berbentuk ular dengan

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro10

pesan apabila tiba disuatu tempat karenanya didirikan tenda jika dalam cuaca cerah terjadi guntur dan kilat itu pertanda bah-wa tempat itulah berkenan bagi Dewata/Genghonalangi dan disanalah dimulai hidup baru. Dimana kamu akan menurunkan raja-raja dikemudian hari. Atas bimbingan dewata mereka sampai di Buhias Tagulandang, kemudian tiba di Siau, selanjutnya tiba di Moade dan naik ke bukit Panamba. Ketika tenda didirikan selesai terjadilah Guntur dan kilat meskipun saat itu matahari bersinar cerah. Hal ini dimaknai bahwa itulah tempat yang disetujui de-wata. Bagi sebagian penduduk tanda alam tersebut merupakan teka-teki sehingga mereka perlu mengutus orang ke bukit Panamba untuk menyelidiki dan ternyata ada dua orang putra dan seorang putri. Kontan saja Moade berseloroh: ” Kai Kasili Deli, Sangiang Kila” sejak saat itulah Gumansalangi disebut Madelu dan Konda Asa istrinya disebut Sangiang Kila dan Bowong Panomba sebagai Bukide Dumpaeng Kila.

Oleh penduduk Moade, Madelu dan istrinya ditetapkan sebagai raja pertama dan peristiwa ini muncul nama baru untuk Moade menjadi Salurang yang dikenal sampai sekarang ini di Sangihe. Raja Madelu dan Sangiang Kila diangkat menjadi Raja pertama Kerajaan Tampungan Lawo. Pada masa pemerintahan raja Madelu dibuat Tamo untuk pertama kali dan dipakai dalam pesta adat yang disebut Tulude untuk pertama kali dilaksanakan di Moade. Dan pada puncak Tamo diletakkan telur matang mengingat kejadian yang sudah terjadi. Demikian asalnya Tulude yaitu pesta adat mensyukuri berkat Tuhan dan hidup sampai sekarang ini yang diadaptasi. Jika pada zaman dahulu yang masih belum mengenal Gonghonalangi dilakukan pemotongan seorang gadis remaja cantik dan darahnya diminum. Namun setelah penduduk mengenal Tuhan sesuai dengan masuknya misi dan zending maka

Disparbud Sitaro 11

Tulude tetap dilaksanakan walaupun dilakukan perubahan yakni pemotongan kue adat yang dibuat dari beras ketan sampai saat ini.

Sumber: Disarikan oleh Paulien W D Kansil, S.Pd dari Penuturan R D Kansil

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro12

KISAh SENSE mADUNDE DAN AKE SIO (VERSI 1)

Menurut cerita orang-orang tua, pada zaman dahulu ada sepasang suami istri yakni Mampholangi dan Utahaghi sudah sekian lama mereka hidup bersama namun belum mendapat keturunan. Rasa kecewa selalu meliputi mereka berdua. Namun besarlah juga harapan mereka, suatu hari Mampholangi menebang batang pohon rumbia, tiba-tiba keluarlah getah pohon rumbia itu. Dalam bahasa Siau getah ialah ”sense”. Makin lama sense itu keluar makin banyak akhirnya bukan lagi getah atau sense yang keluar melainkan seorang anak laki-laki yang gagah perkasa. Kegembiraan Mampholangi tidak dapat dikatakan lagi, oleh Mampholangi dan Utahaghi anak laki-laki tersebut diberi nama ”Sense Madunde” yang akhirnya anak yang berasal dari getah.

Makin hari Sense Madunde makin besar, pekerjaannya keluar masuk hutan menyumpit burung-burung. Tibalah Sense Madunde pada suatu tempat di mana terdapat sembilan mata air yang berbentuk kolam. Sense Madunde tercengang melihat sembilan kolam itu karena bentuknya juga ada sembilan jenis. Oleh karena Sense Madunde sangat letih dalam perjalanannya maka ia ingin

Disparbud Sitaro 13

berbaring melepaskan lelahnya tidak jauh dari kolam-kolam air yang dijumpainya. Tiba-tiba tercium semerbak bau yang harum sekali, Sense Madunde pun bangun dan mencari asal bau tersebut. Ternyata bau tersebut berasal dari sembilan bidadari yang turun dari khayangan dan mandi di kolam-kolam itu. Sebelum bidadari-bidadari itu turun mandi, mereka menanggalkan pakaian mereka. Adapun pakaian-pakaian itu diletakkan tidak jauh dari tempat persembunyian Sense Madunde.

Tak seorangpun dari bidadari-bidadari itu yang tahu bahwa ada orang yang sedang mengintip mereka. Karena cantiknya bidadari-bidadari itu, maka timbul keinginan hati atau hasrat Sense Madunde untuk memiliki salah satu dari mereka untuk dijadikan teman hidupnya. Sense Madunde berpikir sejenak sambil mencari akal, lebih baik kusembunyikan salah satu sayap dari bidadari-bidadari itu supaya tidak dapat terbang kembali ke khayangan. Sementara bidadari-bidadari itu mandi, datanglah Sense Madunde dan mengambil satu sayap milik dari seorang bidadari. Setelah mereka selesai mandi semuanya bergegas kembali ke khayangan, tetapi ternyata ada seorang bidadari sedang kebingungan men-cari sayapnya yang hilang. Tinggallah ia sendiri dalam keadaan sedih dan kecewa. Kemudian keluarlah Sense Madunde dari tem pat persembunyiannya ia mendekati bidadari tersebut dan membujuknya sembari berkata; aku mau menolongmu, sayap-mu akan kukembalikan dengan syarat kau bersedia menjadi teman hidupku. Dalam ketidakberdayaannya akhirnya bidadari mengabulkan keinginan Sense Madunde asalkan dengan syarat yang berupa larangan kepada Sense Madunde ”jikalau engkau membakar rumput atau sampah di halaman rumah, jangan sampai ada sehelai bulu ayam yang ikut terbakar, karena jika saya mencium bau bulu ayam yang terbakar, saya akan kembali ke khayangan”.

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro14

Mendengar itu Sense Madunde sangat berhati-hati. Mereka pun hidup bersama dan dikarunia seorang anak laki-laki bernama Pahawongsuluge.

Adapun nama dari bidadari tersebut adalah Sagheno. Keba-hagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Pada suatu hari tanpa disengaja Sense Madunde membakar rumput dan ada satu helai bulu ayam yang ikut terbakar, sesaat Sagheno pun mencium bau tersebut dan saat itu juga dia menghilang, terbang kembali ke khayangan. Sepanjang hari Sense Madunde bersama anaknya Pahawongsuluge mencari Sagheno, akhirnya mereka mendaki sampai puncak gunung tamata, setibanya di sana mereka bertemu dengan Sagheno. Betapa gembiranya Sense Madunde dan puteranya atas pertemuan itu namun kemudian bertiuplah angin kencang sehingga mereka bertiga diterbangkan angin. Putera mereka Pahawongsuluge jatuh di sebuah bukit, sehingga bukit tersebut dinamakan Kanawong yang artinya kejatuhan. Sedangkan menurut cerita dan istrinya Sense Madunde diterbangkan angin ke arah barat dan jatuh di Kepulauan Sulu ( Mindanao) akhirnya mereka menetap di sana. Adapun Pahawongsuluge memiliki putera dan puteri, di antaranya Lokongbanua, Raja pertama Kerajaan Siau yang memerintah antara tahun 1510 – 1549.

Sumber : Dituturkan oleh M. KAKALANG, Ondong Siau, Kec. Siau Barat

Disparbud Sitaro 15

hIKAYAT SENSE mADUNDE(VERSI 2)

Ayah Sense Madunde bernama Manganguwi dan ibunya bernama Biki-biki. Tempat kediaman mereka Pehe, Ondong, siau barat (sekarang). Disebut dengan Sense Madunde karena pada waktu ia lahir berpeluh bagaikan getah pohon sagu atau pohon dammar. Setelah dewasa ia gemar bermain sumpit dan pandai menyumpit sehingga ia lebih gemar berburuh dari pada bertani seperti orang tuanya. Pada suatu hari ia melihat seketerbangan burung yang segera dikejarnya, terbangnya burung itu ke udik. Sense Madunde penuh penuh kegirangan ia mengejar burung dimaksud kemana ia saja terbangnya. Ia mendaki gunung dari Pehe, lebih tinggi dari matahari lebih jauh I masuk kedalam hutan dan pada sekitar jam empat sore ia tiba di suatu tempat bernama Panding. Ia duduk mengaso untuk melepaskan lelahnya. Sementara ia berpikir akan kembali ke Pehe atau terus mengejar burung yang sudah tidak kelihatan itu, timbul keinginan untuk melihat-lihat sebenarnya disekitar bukit banu itu.

Setelah cukup melepas penat, ia berdiri lalu dengan langkah yang teratur yang teratur dan kecepatan sedang tiba dijalan me-

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro16

nuju ke Ondong sekonyong-konyong ia mendengar bunyi air yang berdesir. Ia terbangun dari lamunannya. Diamatinya daerah sekitarnya. Ia mencari dari mana datangnya bunyi air itu. Sekitar 100 meter dari bukit banu tempat itu dengan perlahan-lahan ia menghampiri air itu maka terjadilah suatu pemandangan yang luar biasa yang sangat menakjubkan dan mempesona. Matanya terbelalak dan ternganga-nganga keheranan karena bersiramlah di mata air Sembilan (Ake sio). Sembilan orang bidadari putri kayangan yang tak ada taranya kecantikan dan keelokan mereka. Kesembilan putri kayangan itu seakan-akan kembang yang tengah mekar memancarkan bau yang semerbak wangi. Sense Madunde berdiri ditempat yang agak terlindung. Ia berpikir apakah ia me-nyerbu saja ke mata air lalu menangkap seseorang atau berteriak sekuat-kuatnya agar supaya bidadari itu lari lalu ada yang terkejar olehnya. Salah satu dari mereka harus dibawa ke Pehe demikian pikirnya. Ia melihat kiri kanan dan terlihat olehnya dipangkal pohon yang rindang disitu ada terlipat beberapa baju dari kain sutra yang halus sekali.

Ia pergi bersembunyi dibali pohon agar tidak kelihatan oleh para bidadari. Muncul dalam hatinya suatu niat untuk mengambil baju bidadari itu. Oleh karena itu dikeluarkannya sumpit lalu ditodongnya ke lipatan baju bidadari dan diisapnya begitu kuat sehingga baju itu terbawa dan masuk ke dalam sumpitnya. Selesai mencuri itu ia mengundurkan diri agak jauh sedikit. Bagai beroleh durian runtuh pikir Sense Madunde mengejar burung dari pagi-pagi tahu ketemu barang yang lebih indah yang bukannya bertengger dipohon kayu tapi datangnya dari istana kayangan, ia tersenyum simpul terbayang dalam bathinnya satu kemenangan yang tidak disangka-sangka. Sejam kemudian selesailah sang bidadari dari mandi, mereka berlompat-lompat kecil untuk mengibaskan butir-

Disparbud Sitaro 17

butir air dari tubuhnya lalu mendekati baju masing-masing. Tetapi setelah bidadari yang kedelapan mengambil bajunya tibalah bidadari yang kesembilan mengambil bajunya tetapi tidak menemukan bajunya. Semuanya heran dan kebingungan lalu ramai-ramai mencarinya tetapi tidak ditemukan dan bidadari bungsu menangis. Bidadari kyang tua mengatakan kami tidak bisa tinggal disini dan harus kembali ke kayangan. Baiklah anda tinggal dulu, carilah dengan tekun mudah-mudahan lekas ketemu dan sesudah kami dan kedelapan bidadari itu raiblah. Begitu sempit tempat itu hanya kedengaran isak tangis bidadari yang bungsu itu. Sense Madunde mendekati perlahan-lahan dari belakang. Mendegar bunyi daun daunan yang bergesek-gesek bidadari mengangkat muka dan menoleh kebelakang. Dengan sangat kaget melihat seorang pria yang mendekatinya, bidadari bangkit dan maunya berlari. Dengan cepat dan tangkas Sense Madunde melompat ke depan untuk memegang tubuh bidadari. Tangan bidadari pun digenggamnya dengan kuatnya.

Keduanya duduk diam dengan tidak melontarkan sepatah kata pun. Masing-masing mengukur dan menakar hari maksud temannya itu. Tak lama bidadari angkat bicara, kaukah yang mengambil bajuku? Benar sahut Sense Madunde dan saya tak mau mengebalikannya dan tak mau mengatakan dimana disimpan baju itu karena kau harus ikut saya ke Pehe. Dirumah kekurangan orang dan orang tua saya sudah tua, mereka memerlukan seorang pembantu. Bidadari itu berpikir apakah mau menyerah kepada pemuda yang baru dikenalnya semenit lalu atau bertahan semalam-malaman ditempat itu. Untuk bertahan di hutan adalah suatu tindakan yang sukar dipertanggungjawabkan mana tidak ada satupun pelindung pada tubuh dan diri yang kini sudah tak berbaju untuk berlari dari suatu tempat naas ini. Satu-satunya pertolongan untuk dapat

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro18

hidup ialah menyerah diri pada kemauan si laki-laki yang mencuri bajunya. Bidadari berdiri dan melangkah maju, Sense Madunde mengikuti dari belakangnya. Kemana kita ini kata bidadari . ke-rumah di Pehe jawab Sense Madunde karena ia merasa dipihak kemenangan. Oh itulah rencanamu? Tanya bidadari. Dipegangnya tangan bidadari dan pada kali tidak melihatkan perlawanan tapi menyambut uluran tangan dengan perasaan penuh kemesraan dan kecintaan. Keduanya berjalan sambil bergandengan tangan kata bidadari: saya mau menyerah kepadamu dan saya bersedia menjadi istrimu yang baik hanya satu perkara saja yang perlu peringatan ialah hendaklah engkau menyembunyikan baik-baik bajuku itu dan jangan sampai saya menemukan sebab pasti saya raib dan tidak akan kembali dan juga jangan membakar bulu burung.

Demikianlah tanpa proses panjang sang bidadari menjadi istri yang sah dari Sense Madunde dan mereka membangun rumah di beong dan tinggal disana. Setahun kemudian lahirlah anak mereka yang pertama yang diberi nama Pahawo seorang anak laki-laki yang elok parasnya. Ketika pahawo tumbuh menjadi seorang kanak-kanak timbulah niat Sense Madunde ke pantai mencari ikan karena sudah lebih setahun mereka tidak makan ikan laut. Sumpitnya kebetulan tidak dibawa, tetapi disembunyikannya diatas loteng dengan harapan sang istrinya tidak berusaha mencari. Sense Madunde berangkat sambil bersiul-siul ke pantai Pehe dan nanti kembali sore hari.

Sang bidadari selesai memasak sambil menunggu sang suami pulang ia berbaring sebentar dikamar tidur. Ia menoleh ke atas dilihatnya ujung sumpit. Bidadari bangun dari tidurnya dan men-coba naik ke loteng, dengan sekejab ia tiba ditujuan yang benar ada sumpit. Dipegangnya sumpit itu dan dibolak-balik untuk mengetahui isinya dan ternyata bajunya ada dalam sumpit itu.

Disparbud Sitaro 19

Diketuknya sumpit itu dan baju itu keluar , lalu ia turun dari loteng itu lalu keluar dan pada seketika itu setelah dibukanya bajunya ia terbang ke angkasa raya dengan tidak meninggalkan pesan atau satu katapun. Putranya Pahawo sedang bermain dihalaman dan melihat ibunya terbang ke angkasa, ia terus menangis dan memanggil ibunya. Sense Madunde kembali pada sore hari membawa ikan sebakul ia bergembira dikala dekat rumahnya dan nantinya akan dimasak dan mereka akan santap bersama dengan penuh kepuasan. Ditemukan anaknya seorang diri sambil menangis, ia mau mencari tahu apa alas an anaknya menangis itu. Dimana ibumu Tanya Sense Madunde masuk kedalam rumah sambil memanggil sang istri, sambil memeriksa rumah dan akhirnya naik ke loteng dan ternyata ditemukan sumpitnya sudah berpindah tempat dan isinya sudah tidak ada lagi. Inilah pangkal celaka pikirnya. Rasa laparnya hilang. Hatinya penuh dengan pemikiran tentang apa yang terjadi. Pahawo tak henti-hentinya menangis dan meraung. Pedih rasa hati Sense Madunde mendengar tangisan anaknya. Sense Madunde keluar rumah dan kembali mendekati anaknya dan membujuk untuk masuk kedalam rumah. Tapi Pahawo meminta kepada ayahnya untuk mengikuti ibunya.

Akhirnya setelah terjadi tawar menawar Sense Madunde me ngalah dan mengajak anaknya mencari ibunya. Keduanya men daki gunung Tamata mencari tempat yang tinggi mungkin ditempat yang tinggi itu mereka menemukan ibunya tapi sia-sia usaha mencarinya. Pahawo didukungnya sambil memanjat rotan yang tumbuh tegak ke atas.ia mengajak untuk memanjat rotan itu dengan mengingatkan anaknya supaya berpegang kuat-kuat. Tiba-tiba setelah berada di puncak bertiuplah angin selatan dengan sangat kencangnya sehingga keduanya terlepas dari rotan diterbangkan angin itu jauh-jauh dan jatuh pulau Sulu dan disanalah keduanya

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro20

menemukan ibunya kembali. Kemudian keluarga ini berkumpul pilang ke Siau dengan aman sentosa menjadi nenek moyang dari orang-orang yang berdiam di Karangetang dan Pahawo berganti namanya menjadi Pahawo Suluge,itulah sebabnya sampai saat ini banyak gadis Siau yang cantik-cantik karena bernenek moyangkan bidadari penghuni kayangan yang bernama Sagheno atau Lembungkati.

Sumber: disarikan oleh Paulien W D Kansil, S.Pd dari penuturan R. D Kansil

Disparbud Sitaro 21

hIKAYAT SENSE mADUNDE(VERSI 3)

Biki-biki dan Manganguwi adalah sepasang suami istri yang tidak dikaruniai anak. Pada suatu waktu Biki-biki berjalan di tengah hutan tepatnya di bawah pohon rumbia terdengarlah oleh-nya suara tangisan bayi yang berasal dari atas pohon rumbia. Ia pun mendekati pohon tersebut dan didapati olehnya getah pohon rumbia atau sagu lalu dibawa ke rumah dan diberikan kepada Ma-nganguwi. Oleh Manganguwi getah tersebut disimpan. Tiga hari kemudian terdengar lagi tangisan dan ternyata seorang bayi laki-laki. Anak tersebut dipelihara sampai besar dan diberi nama ”Sense Madunde” yang artinya getah yang menangis. Semakin besarlah Sense Madunde dan ia mempunyai kegemaran yakni menyumpit.

Suatu hari ia pergi ke hutan untuk menyumpit burung. Burung-burung yang ia sumpit berjatuhan ke tanah, sehingga tanah tempat burung-burung yang jatuh itu disebut ”Kanawong”, yang artinya ”Kejatuhan”. Ia terus mencari burung dan naik ke suatu ketinggian, sehingga ia merasa lelah dan ia ”melembeong” (Beong) yang artinya beristirahat. Sementara ia beristirahat, terdengar olehnya bunyi deru angin yang berhembus melewatinya, diikutinya bayangan

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro22

itu dan sampailah ia pada mata air matanya menangkap sembilan orang bidadari yang sedang mandi. Melihat hal ini timbullah keinginan Sense Madunde untuk memperistri seorang bidadari. Lalu diambilalih salah satu sayap yang tergantung di sekitar mata air tersebut. Selesai mandi seorang bidadari kehilangan sayap dan ternyata milik si bungsu. Dicarinya tetapi tidak ditemukan karena sudah diambil oleh Sense Madunde. Tiba-tiba Sense Madunde menampakkan diri, bidadari yang lain pun langsung terbang tetapi si bungsu tidak dapat terbang. Menangislah si bungsu karena ditinggalkan oleh kakak-kakaknya.

Singkat cerita Sense Madunde berhasil membujuk sang bida-dari bungsu itu untuk dijadikannya istri. Keduanya menikah dan dikaruniai seorang putera dan diberi nama Pahawo. Dalam ke-rukunan keluarga Sense Madunde dan Bidadari Uhengtinendeng berpesan kepada Sense Madunde jangan sekali-kali membakar bulu ayam karena kalau hal itu terjadi, bidadari akan terbang sama seperti asap dan bau bulu ayam. Tidak diduga hal ini terjadi, Sense Madunde membakar rumput di halaman rumah dan tanpa sepengetahuannya sehelai bulu ayam ikut terbakar, maka menghilanglah istrinya bersama asap dan bau bulu ayam. Sense Madunde dan anaknya berduka. Mereka mencari sang bidadari, keduanya mengembara mencari ibunya sementara berjalan mereka bertemu dengan lalat biru yang tergantung pada sarang laba-laba. Lalat itu pun bertanya kepada Sense Madunde: Kalian mau ke mana ? Lalu Sense Madunde menjawab : Kami akan mencari istri/Ibu Pahawo. Lalat berkata : Tolonglah saya terlebih dahulu lalu kita pergi mencarinya. Ketiganya berjalan menuju pohon kering dan lalat memerintahkan kepada Sense Madunde : Naiklah pada bambu itu sampai puncaknya lalu menggapailah hingga tiga kali engkau akan memegang akar pohon sebagai tangga untuk masuk

Disparbud Sitaro 23

ke dalam kerajaan bidadari. Perintah lalat tersebut diikuti oleh Sense Madunde dan pada

saat ia menggapai tiga kali terpeganglah tangga masuk ke ke ra-jaan bidadari. Ketiganya berjalan dan bertemu dengan beberapa bidadari yang mirip wajahnya. Lalat memberi petunjuk apabila dia hinggap di salah satu bidadari itu, itulah Uhengtinendeng. Akh-irnya mengikuti petunjuk lalat itu. Sense Madunde melihat apa yang dilakukan lalat itu maka ia langsung menyerahkan Pahawo kepada bidadari yang dihinggapi lalat tersebut dan terjadilah kem-bali pertemuan ketiganya. Kemudian bidadari membawa Sense Madunde dan Pahawo kepada Raja Khayangan maka oleh Sang Raja ditunjuk sebuah istana menjadi milik mereka. Dalam kehidu-pan di istana khayangan, Sense Madunde dilarang bidadari naik ke loteng istana. Mereka hanya bisa berada di istana sedangkan yang mencari makanan di siang hari hanya Uhengtinendeng dan pada malam harinya dia tidak bersama-sama dengan suami dan anaknya. Hal itu membuat Sense Madunde curiga.

Suatu hari sementara istrinya pergi mencari makanan naiklah Sense Madunde ke loteng istana, ternyata di loteng istana ada sebutir telur. Pada waktu bidadari kembali ke rumah dan melaksanakan kebiasaannya mengeram telur malam hari, ditemukan olehnya bahwa telur itu tidak pada posisi yang semula maka terjadilah perdebatan antara bidadari Uhengtinendeng dan Sense Madunde sehingga Uhengtinendeng melaporkan hal itu kepada Raja Khayangan dan ia pun memerintahkan tentara khayangan untuk membuang Sense Madunde dan Pahawo ke bumi. Sementara keduanya jatuh ke bumi bertiuplah angin kencang sehingga keduanya terpisah. Sense Madunde jatuh di Siau dan Pahawo jatuh di pulau Sulu sehingga diberi nama Pahawongsuluge.

Sumber : disarikan dari penuturan G. SAGUNE, Beong, Kecamat-

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro24

an Siau Tengah

KISAh BATU TULADA

Konon jauh sebelum agama Kristen masuk ke Siau, masyarakat masih banyak yang menganut animisme dan perkelahian antar kampung cukup marak. Kondisi ini menimbulkan rasa tak aman pada masyarakat sehingga muncul dorongan untuk mencari dan menggali kemampuan atau kekuatan yang dapat dipakai sebagai cara membela diri. Terkait dengan masih kuatnya kepercayaan bahwa alam dan objek-objeknya merupakan sumber kekuatan maka masyarakat mencari-cari tempat atau objek tertentu yang dianggap dapat memberi kekuatan untuk dapat dipergunakan untuk membela diri atau mematikan lawan. Tampaknya pikiran inilah yang melatarbelakangi para pemuda masa itu untuk mencari tempat pertapaan di alam sekitar mereka. Dari sini kisah ini berawal.

Diceritakan ada seorang pemuda disekitar pesisir pantai (Ondong-Paseng-Peling saat ini) membulatkan hatinya untuk men cari ilmu yang dapat menjadikannya sakti mandraguna dan tak terkalahkan dalam setiap perkelahian. Pemuda ini berjalan menyusuri sisi dalam dari pantai sampai ke lereng gunung Tamata

Disparbud Sitaro 25

persisnya di bagian Barat yang bernama Peling Tuwa. Dia melihat sebuah batu besar dengan posisi seperti menempel dipinggir tebing dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang sesuai pemahaman masa itu menandakan adanya kekuatan gaib yang besar. Pemuda inipun memutuskan untuk bertapa ditempat ini.

Dengan harapan besar akan memperoleh kekuatan gaib, sang pemuda segera melepaskan semua barang yang dibawanya ditempat itu dan ia segera duduk bersila layaknya seorang pertapa. Selama berhari-hari ia bertapa. Siang dan malam dilaluinya dengan terus hanyut dalam semedinya. Namun demikian hari-hari itu bukanlah hari yang mudah baginya dan tanpa ujian. Dari cerita yang beredar ditengah masyarakat, dituturkan bahwa setiap waktu yang dilewati si pemuda diwarnai dengan datangnya berbagai cobaan. Adakalanya ia didatangi oleh ular raksasa. Demikian juga muncul sejumlah reptil lain yang tidak biasa ukurannya. Belum lagi dengan godaan gadis-gadis cantik yang terus menerus menari dihadapannya. Babi dan anjing dengan ukuran sepuluh kali lipat lebih besar dari ukuran biasa kedua hewan ini turut menjadi ujian yang dilewatinya tiap waktu. Genap hari ketiga puluh ia pun berhenti bertapa dan merasakan kekuatan dalam dirinya bertambah.

Oleh karena itu, pemuda itu berhasrat menguji kekuatan yang baru saja diperolehnya. Ia pun melihat ke batu besar yang baru saja dijadikannya tempat untuk mendapatkan ilmu kesaktian. Kemudian terlintaslah dipikirannya untuk mencoba kesaktian jari telunjuknya dengan mengukir semua apa yang dialaminya pada dinding batu tersebut sekaligus peringatan akan pertapaannya. Ia mengukir sejumlah mahluk yang mendatangi dan menguji dirinya selama dalam tiga puluh hari pertapaan. Ukiran akan ada objek yang menyerupai manusia dan sejumlah karakter atau symbol yang menyerupai sejumlah mahluk atau hewan tampak sebagai

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro26

hasil uji kesaktian si pemuda. Ukiran yang menyerupai prasasti ini tak pernah terhapus sekaligus membuktikan kesaktian sang pemuda itu. Usai menyelesaikan ukirannya dibatu itu, si pemuda itu segera turun gunung untuk kembali ke kampungnya. Konon ia menjadi pemuda yang tak terkalahkan di kampungnya dan ditakuti dihampir seantero tempat.

Batu yang dijadikan tempat bersemedi ini selanjutnya oleh masyarakat setempat disebut Batu Tulada yang bermakna batu yang diukir atau batu yang dipenuhi ukiran. Batu Tulada ini masih dapat ditemui di kampung Peling sampai sekarang. Letaknya sekitar satu kilometer dari jalan utama kampung dan dapat dicapai dengan sedikit mendaki melalui tangga-tangga kecil yang dibuat warga. Hingga awal tahun 1970an masih suka dijadikan tempat bertapa oleh beberapa orang yang berharap mendapat kesaktian supranatural. Batu Tulada masih dianggap magis dan angker oleh masyarakat. Seiring dengan seringnya kegiatan kerohanian Kristen disekitarnya dan perkembangan waktu lokasi batu ini mulai dianggap biasa saja oleh masyarakat setempat dan lokasinya pun sudah tertutup rimbunnya pepohonan.

Sumber: disarikan dari penuturan Pdt. Cornelius Kailas Bidara dan berbagai sumber lisan lainnya.

Disparbud Sitaro 27

KISAh PENEmUAN AKE GAhEGhE

Salah satu permasalahan yang sering dihadapi masya rakat Siau khususnya diwilayah pedesaan di dataran tinggi seputaran Gunung Karangetang adalah sulitnya mendapat air ketika musim kemarau datang. Hal ini tak lain disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang bergantung pada air hujan. Oleh karena itu keberadaan mata air (Ake Biahe, sering disingkat Ake-bahasa Siau) menjadi sangat penting. Salah satu mata air itu adalah Ake Gaheghe. Dari cerita yang berkembang dari mulut ke mulut dikalangan masyarakat setempat, konon penemuan mata air tak lepas dari peran seekor anjing. Pada suatu ketika masyarakat disekitar kaki Gunung Karangetang khususnya kampung Hekang, Basaha, Tampuna dan Dame mengalami musim kemarau yang sangat panjang dan membuat masyarakat kesulitan untuk mendapatkan air untuk keperluan minum dan memasak.

Tak pelak ini mendorong hampir semua warga untuk berupaya mencari mata air (Ake Biahe) disegala tempat yang dianggap berpotensi untuk mengeluarkan air. Usaha mencari air dilakukan disela-sela kegiatan bertani penduduk yang juga semakin sulit

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro28

karena kurangnya pasokan air bagi tanaman. Sayangnya usaha yang dilakukan selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu ini tak jua membuahkan hasil. Sebagian penduduk sudah putus asa dan memilih untuk mengambil air dari daerah yang dekat pesisir pantai. Namun sebagian kecil orang yang masih menaruh harapan untuk mendapatkan mata air dekat dengan kampung mereka memilih untuk terus memelihara asa untuk mendapatkan sumber air. Salah diantara mereka yang optimis ini adalah seorang kakek yang tinggal dipinggiran Kali Keting, Kali kering yang berhulu langsung di puncak Gunung Karangetang.

Alkisah kakek ini dengan ditemani oleh seekor anjing peli-haraannya tak pernah bosan menyusuri lereng Karangetang atau Kali Keting sambil menggali atau sekedar menancapkan kayu ke lokasi-lokasi yang dianggap memiliki kandungan air. Saking seringnya sang anjing mengikuti kakek itu, ia bahkan memahami tujuan dari tuannya menyusuri Kali Keting sehingga tak jarang anjing setia ini ikut pula mengais-ngais disela-sela bebatuan atau tanah dan pasir untuk menemukan air. Bahkan setiap kali anjing ini menyentuh bagian tanah yang basah, ia tak berhenti menggonggong memanggil tuannya untuk mendekat seolah-olah memberi kabar bahwa disitu mungkin ada air. Sayangnya semua tempat yang mereka lalui termasuk daerah-daerah yang dianggap memiliki kemungkinan untuk menyimpan air seperti dibawah pohon besar, disekitar hutan bambu dan bagian tengah Kali Keting yang berpasir tak ada yang menjawab harapan mereka akan penemuan sumber mata air. Kakek ini merasa makin tipis harapannya untuk menemukan air. Kadang-kadang ia sudah mengacuhkan suara anjingnya yang menyalak, karena pikirnya itu pasti tak ada airnya seperti yang sudah mereka lewati sebelumnya.

Disparbud Sitaro 29

Ia masih menyimpan harapan akan mendapatkan air tapi tidaklah sebesar diawal pencariannya.

Pada suatu pagi setelah berhari-hari belum juga menemukan sumber air. Kakek itu mulai galau. Terbayang baginya bila kemarau tak segera usai bagaimana ia dan keluarganya mendapatkan air untuk keperluan makan dan minum. Sulitnya baginya berpikir untuk menyirami tanaman-tanaman diladangnya bahkan memberi minum ternak-ternaknya termasuk anjing kesayangan yang selalu setia menemaninya mencari mata air. Ditengah kegalauannya, sang kakek dikejutkan oleh suara anjingnya yang menyalak tiada hentinya. Akan tetapi karena sudah biasa mendengar gonggongan anjingnya bila menggali tanah yang dianggap sebagai sumber air dan seringkali hal itu berakhir tanpa hasil. Sang kakek bersikap acuh tak acuh saja. Kakek berguman, ”Anjing itu mesti mengada-mengada lagi”. Ia membiarkan anjing itu menyalak terus menerus. Sang Kakek tetap memilih duduk memikirkan kemungkinan lokasi didaerah lain yang bisa mendapatkan air.

Sementara itu anjingnya tak berhenti menggonggong bahkan terdengar makin keras dan makin dekat. Kakek tetap tak bergeming. Tapi anjingnya terus menggonggong dan tiba-tiba sudah muncul didepannya serta langsung mengigit ujung celananya seolah-olah mengajak ke suatu tempat. Kakek tak tahan diperlakukan anjing seperti itu. Ia pun berdiri. Istrinya yang melihat adegan itu bertanya, ”Ada apa dengan anjing itu”. Dengan agak kesal kakek menjawab, ”Mungkin saja ada air (Bahasa Siau-”Ake gahiae”). Ia pun bergegas mengikuti anjingnya. Anjingnya berlari menuntunnya kearah Kali Keting tepatnya disekitar tempat yang namanya Pamuli Hekang. Anjing terus menyalak seolah-olah memberi tanda panduan arah karena sang kakek mulai ketinggalan oleh anjing Kakek ikut yang berlari makin cepat. Kesal bercampur penasaran menyusuri arah

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro30

yang dituntun sang anjing. Sampai didengarnya anjing itu seperti berhenti di suatu titik dan terus mengonggong memanggilnya. Dari jarak yang tak terlalu jauh, kakek itu melihat anjingnya berhenti persis dibawah tebing dimana dekatnya ada rimbunan pohon bambu dan sebuah pohon ketapang yang sangat besar. Dengan penuh tanda tanya kakek mendekat, sementara anjingnya terus menyalak kearahnya seakan-akan berkata, ”Ayolah cepat Kek”. Ketika sang kakek mendekat dan melihat apa yang ada didekat anjingnya ternyata terdapat gumpalan tanah bercampur pasir yang masih basah sekali. Melihat sang kakek sudah didekatnya anjing itu pun menggali lubang tanah yang tampaknya sudah digalinya sebelumnya. Dengan cepat anjing itu menggali ketika kedalaman lubangnya sudah setengah dari kaki anjing itu, keluar membanjir dari dalam lubang itu. ”Air, air, sepertinya mata air (Siau-ake, ake gahie)”, histeris sang kakek dengan nada gembira. Ia pun ikut menggali lubang itu. Makin dalam kakek dan anjingnya menggali, bulir-bulir air yang muncul makin besar. Dengan sangat senang sang kakek melompat-lompat. Ia kemudian berlari keliling kampung Hekang dan Basaha sambil berteriak-teriak, ”Saya menemukan sepertinya mata air (Ia nakarea Ake gahie)”. Penduduk setempat menangkap kalimat ”Ake Gahie” dan tersebar dari mulut ke mulut. Kemudian masyarakat berkumpul dan menggali lokasi itu dan menemukan dua mata air yang dibuat ke dua sumur yang berbeda. Akhirnya dua sumur itu dikenal dengan Ake Gaheghe yang diduga berasal dari teriakan sang kakek ”Ake gahie”. Ake Gaheghe ini saat ini masih bisa ditemukan bekas lokasinya ditepi Kali Keting, Hekang Tatehadeng, Siau Timur.

Sumber: Disarikan dari penuturan Alm. Rein Maru dan sumber lisan lainnya

Disparbud Sitaro 31

KISAh LIANG KASUANG

Dalam beberapa penuturan sejarah dikisahkan bahwa keda-tangan bangsa Eropa ke Siau dimulai pada jaman Raja Lokong Banua sekitar tahun 1516. Ketika itu armada Portugis mampir untuk berlabuh ke pantai dan memohon ijin raja untuk merayakan paskah tepatnya di kampung saat ini dinamai Paseng yang diambil dari kata ‘passchen’ yang artinya paskah. Akan tetapi tampaknya ada yang terlewatkan dalam catatan tersebut. Semangat bangsa Eropa untuk mencari sumber rempah-rempah sekaligus membawa misi Injil ke seluruh dunia telah membawa pelaut-pelaut Eropa mengarungi dan menembus deru gelombang samudera raya.

Semangat ini kelihatan sempat menuntun pelaut-pelaut Ero-pa untuk melintasi laut Siau yang saat itu juga menjadi perlintasan perompak-perompak Mindanao yang terkenal tangguh dan kejam. Perompak-perompak ini setiap saat menjadi ancaman bagi kapal-kapal pedagang yang lewat di perairan sekitar itu. Kondisi inilah yang mempertemukan kapal pelaut Eropa dengan bajak laut Mindanao. Diceritakan bahwa mendapat serangan dan upaya perampasan dari para perompak Mindanao maka para awak kapal menghunus

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro32

senjata mereka melakukan perlawanan. Terjadilah pertempuran hebat antara dua ras yang berbeda jumlah. Perompak Mindanao yang terdiri dari puluhan kora-kora dengan komando satu kapal induk berhadapan satu kapal dagang Eropa. Pertarungan antara pelaut Eropa dengan para perompak yang beringas ini makin lama makin berat terutama bagi pelaut Eropa yang jumlahnya lebih sedikit.

Konon melihat situasi pertempuran yang makin sulit bagi pihaknya ditambah lagi dengan berjatuhannya korban tewas atau luka, nahkoda kapal Eropa memerintahkan awak kapal yang tersisa untuk segera meninggalkan medan pertempuran dengan mengarahkan kapal menuju ke pantai terdekat. Perintah ini sudah ditunggu-tunggu oleh para awak yang tengah kewalahan. Tanpa menunggu lama kapal pun segera diarahkan keluar dari jangkauan perompak Mindanao dan menuju pantai. Dengan bantuan angin yang saat itu bertiup kencang mendorong layar kapal itu mencapai daerah disekitar pantai Bulude sekarang. Sementara perompak Mindanao tidak melakukan pengejaran. Rupanya mereka khawatir kapal Eropa itu akan mendapat bantuan penduduk setempat yang selama ini juga menjadi obyek rampasan mereka.

Sayangnya usai terlepas dari perompak Mindanao, kapal Eropah ini harus melawan kebocoran dibeberapa bagian kapal akibat pertempuran yang baru saja terjadi. Kapal tersebut merapat ke pantai sudah dalam keadaan nyaris hancur. Kondisi ini diperparah dengan sebuah hembusan angin yang sangat keras yang berdampak pada terhempasnya kapal tanpa terkendali ke bibir pantai yang penuh bebatuan dan karang yang tajam. Alhasil kapal pun remuk dan para awak yang masih hidup terjatuh ke air walaupun tidak begitu dalam. Para awak pun berusaha mencapai tepi pantai yang sudah dekat dan tinggal berjalan saja karena tinggal sedalam paha.

Disparbud Sitaro 33

Sebagian dari mereka menggotong atau memapah teman mereka yang terluka. Kebetulan dipinggir pantai yang dipenuhi batu karang dan tebing tinggi itu terdapat gua yang cukup tinggi dan baik untuk tempat berlindung. Mereka pun masuk dan menempati gua itu.

Namun demikian harapan mereka untuk hidup tidak ber-langsung lama mengingat semua perbekalan mereka telah terjatuh kelaut dan rusak bersamaan dengan hancurnya kapal mereka. Belum lagi dengan kondisi daratan yang curam dan tidak mereka kenal serta tanah air mereka yang terasa sangat jauh. Tangis dan keluh kesah pun mewarnai hari-hari mereka. Kabarnya para pelaut Eropa ini meskipun sempat bertahan beberapa saat akhirnya satu persatu meninggal dunia karena kelaparan dan cuaca serta luka-luka. Menurut penuturan masyarakat, dipercaya terkait dengan tewasnya dalam kondisi memprihatinkan ini, tangisan para awak Kapal Eropa yang sekarat itu terus terdengar dari gua ini disaat-saat tertentu hingga sekarang. Oleh sebab itu, gua itu oleh masyarakat disebut Liang Kasuang yang dalam Bahasa Indonesia artinya Gua Tangisan. Gua ini terletak di pantai Tonggene, kampuang Dame dua dan masih ada hingga kini.

Dari penuturan masyarakat sekitar, suara tangisan kadang-kadang masih terdengar terutama dimalam hari pada waktu-waktu tertentu. Gua yang tingginya sekitar tujuh meter dengan kedalaman sekitar dua belas meter ini masih menyimpan sisa-sisa tulang dengan tungkai kaki yang panjang melebihi ukuran orang Indonesia. Hal diduga berhubungan dengan ukuran kaki para pelaut Eropa itu yang tinggi dan besar. Oleh masyarakat setempat, gua dianggap masih memiliki aroma mistis, misalnya, ditandai dengan perubahan ombak yang mendadak membesar ketika ada orang yang dengan sembarangan berteriak dipantai itu. Orang-

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro34

orang yang memancing disekitarnya harus memohon ijin dengan seolah-olah berbicara sendiri. Jika ini tindakan dilakukan biasanya, maka hasil pancingan akan nihil atau hanya mendapat sepatu-sepatu bekas saja. Tak ada yang tahu pasti apakah semua itu benar atau tidak. Demikianlah kisah seputar asal-usul Liang Kasuang dan misterinya.

Sumber: disarikan dari penuturan Yap dan Dikson Tadete serta sumber lisan lainnya.

Disparbud Sitaro 35

ASAL-USUL NAmA PULAU mAKALEhI

Pulau Makalehi merupakan salah satu pulau utama didalam konteks kehidupan masyarakat Siau sejak dahulu kala. Tak se mua orang tahu asal nama pulau. Sering muncul pertanyaan bagaimana pulau yang memiliki danau nan indah ditengahnya ini memperoleh nama Makalehi. Cerita ini akan diharapkan menjawab rasa penasaran semacam itu. Konon, ketika Pulau Makalehi belum mempunyai nama. Pulau ini tak lebih dari sebuah daratan yang kosong dan belum didiami oleh manusia. Semua bagian pulau masih belum terjamah oleh pihak luar kecuali satu pohon Kenari (Lehi-dalam bahasa Siau) yang sangat besar dan tinggi. Pohon ini terletak ditepi pantai yang menghadap ke Barat (sekarang disebut Soa). Pohon Kenari tersebut rindang dan lebat sekali daunnya. Dahannya yang kuat dan panjang menambah teduhnya suasana dibawah pohon ini. Belum lagi ditambah dengan akarnya yang membentuk semacam bilik yang terdiri dari beberapa belahan sehingga menawarkan tempat mengaso yang nikmat.

Tampilan yang rindang dan berada persis ditepi pantai mem-buatnya mudah terlihat bagi para pelaut atau nelayan yang lewat atau mencari ikan di sekitar pulau itu. Tak ketinggalan penduduk

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro36

Siau yang sering melaut untuk mencari ikan didekat pulau ini. Pada suatu waktu didorong kelelahan dan ketertarikan akan besar dan rindangnya pohon kenari ini maka mampirlah mereka ke pantai dan mencoba beristirahat dibawah pohon Kenari ini. Lama kelamaan pohon ini menjadi semacam tempat persinggahan bagi nelayan-nelayan Siau yang penat dan membutuhkan istirahat. Sayangnya dengan tersiar kabar akan adanya Pohon Kenari yang besar dan rindang di pulau ini, sejumlah pencari kayu pun ikut tertarik tetapi bukan untuk menumpang mengaso melainkan me-ne bangnya untuk dijadikan bahan untuk membuat rumah.

Anehnya meskipun banyak cara dilakukan untuk menebang pohon itu, ia tidak bisa tumbang. Setiap kali ditebang, sayatan bekas kapak pada pohon itu hilang tak membekas atau langsung kembali seperti semula. Keanehan ini bukannya menghentikan usaha orang-orang untuk menebang tapi justru mengundang rasa penasaran dan upaya yang lebih keras untuk merubuhkan pohon tersebut. Banyak orang yang pergi ke pulau itu akhirnya bertujuan menumbangkan pohon kenari itu dan selalu berkata, ”boete kite sasae makalehi (mahaka lehi) (mari kita menumbangkan pohon Kenari-Bahasa Indonesia)”. Sampai pada suatu ketika suatu saat pohon Kenari aneh itu rubuh juga dan orang-orang yang berhasil menumbangkan pohon Kenari itu selanjutnya disebut ”Sire ko Makalehi (mereka yang berhasil menumbangkan pohon kenari)”. Sejak saat itu hingga kini pulau disebelah barat pulau Siau ini disebut Makalehi dan dalam tradisi Sasahara disebut Mewelogang merujuk pada ungkapan rakyat setempat pada isi kenari yang tidak hancur saat ditumbuk/dibelah yang disebut Lehi Beloge atau Lehi Weeloge. Itulah sebabnya banyak orang juga mengatakan Makalehi dengan Mawelogang untuk menunjuk pulau pulau ini.

Sumber: disarikan dari penuturan Thefil, W Dame dan sumber lisan lainnya.

Disparbud Sitaro 37

KISAh KAmBEA DAN SANGIANG KINANDIRI

Pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda bernama Kambea di sekitar teluk Minanga. Adapun kebiasaan orang ini setiap hari memancing di pinggir pantai Minanga. Pada suatu hari ketika ia sedang memancing berjalanlah ia menyusuri pinggiran pantai dan tibalah ia di sebuah gua batu di tepi pantai. Karena matahari sudah tinggi masuklah ia ke dalam gua tersebut untuk berteduh dan ia pun merasakan kesegaran merasuki tubuhnya yang bermandikan keringat bercampur air laut. Pemuda Kambea bermaksud juga mencicipi hasil jerih payahnya hari itu. Sementara ia menyalakan api untuk membakar ikan perolehannya terdengarlah bunyi gemercik dari dalam gua, dan disendengkanlah telinganya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia pun masuk ke dalam gua itu dan tampak olehnya seseorang yang sedang duduk santai di dalam gua. Betapa herannya ia, sebab orang yang dipandanginya adalah seorang wanita yang sangat cantik. Ia pun mendekati dan berkata dalam bahasa daerah ”ko i sai ee ?’ (siapakah itu ?), tanya Kambea. Jawab wanita tersebut dalam bahasa daerah ”ia ko Sangiang taghuang u liang ii” (saya adalah puteri penghuni

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro38

gua ini). Demikianlah pertemuan mereka berlangsung terus menerus dari hari ke hari. Bulan berganti bulan sehingga terasalah bagi Kambea suatu perasaan rindu apabila sehari tidak berjumpa dengan Sangiang penghuni gua itu. Konon diceritakan apabila Kambea mau menjumpai dewi pujaan hatinya itu, mulailah ia turun dari sebuah batu di pinggiran teluk Minanga sambil meng hisap rokok berjalanlah ia menuju gua kediaman Sangiang. Konon pula dikisahkan bahwa pohon yang bertumbuh di atas batu tempat Kambea turun menuju gua adalah bekas puntung kayu yang digunakan untuk memasang rokok dan batu tersebut dijuluki ”watung i Kambea”. Sangat disayangkan hubungan asmara kedua insan ini tidak sempat mencapai jenjang rumah tangga sebab Sangiang tersebut tidak ingin berhubungan sebagai suami istri layaknya kehidupan manusia. Hal ini terbukti dengan adanya pertemuan terakhir di saat Kambea melamar Sangiang untuk dijadikan istri, namun Sangiang memohon izin kepadanya untuk pergi ke balik batu membuang air kecil. Pemuda Kambea menunggu begitu lama namun Sangiang tidak kunjung datang lagi, sehingga Kambea akhirnya pulang ke tempat tinggalnya desa Minanga. Itulah sebabnya sang Sangiang tersebut dijuluki Sangiang Kinandiri, yang artinya ”tidak berkehendak” atau ”tidak mau”. Namun sayangnya sang SANGIANG tidak berterus terang kepada Kambea. Demikian kisah ini masih tetap dikenal sampai saat ini oleh penduduk desa Minanga.

Sumber: Disarikan dari berbagai sumber lisan

Disparbud Sitaro 39

ASAL mULA TANJUNG NAPOTO

Alkisah pada zaman dulu, di Pulau Tagulandang yang tepatnya di kawasan yang dikenal dengan nama Kampung Likei-Bira (dekat Kampung Bira Kiama dan Kisihang), hiduplah sebuah keluarga yang memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan. Mata pencaharian sang kepala keluarga adalah nelayan sementara sang ibu menggarap sebidang kebun untuk menambah pendapatan keluarga.

Di kala sang ayah pergi ke laut mencari ikan, dan sang ibu sering pergi ke kebun untuk mencari penghasilan, di saat-saat tersebut, kedua anaknya sering ditinggal untuk menjaga rumah. Hidup agak jauh dari keramaian pemukiman penduduk, membuat kedua bersaudara itu melwatkan waktu bersama. Lama kelamaan kasih persaudaraan antara kedua muda-mudi tersebut berubah menjadi perasaan cinta antara makhluk yang berbeda jenis. Sampai kemudian mereka memutuskan untuk secara diam-diam menikah dan hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Hubungan cinta antara kedua anak keluarga nelayan tersebut akhirnya diketahui oleh masyarakat umum. Untuk itu mereka dijatuhi hukuman mati

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro40

sesuai adat tradisi yang berlaku.Pada hari pelaksanaan hukuman yang telah ditetapkan, oleh

tua-tua adat membawa para terhukum ke tepi pantai. Di sana, kedua pasangan tersebut diikat tangannya dan dinaikkan ke atas sebuah perahu besar (sejenis pajeko). Setelah perahu tiba di bagian laut yang paling dalam eksekusi dilakukan dengan menjatuhkan terhukum ke air sampai tenggelam. Namun ketika sang kakak laki-laki yang mendapat giliran pertama didorong jatuh ke air, tiba-tiba terjadi suatu keanehan. Saat tubuh pemuda tersebut hampir meny-entuh air, mendadak dari dalam air muncul bongkahan tanah yang menelannya. Melihat hal ini, sang adik perempuan lalu melompat menyusul kakaknya. Sama seperti sang kakak, bagian tanah yang muncul di permukaan air laut itu terbuka dan menelan dirinya.

Daratan yang menelan tubuh kedua pasangan tersebut men-dadak terbelah menjadi dua. Bagian pertama yang berisi sang kakak laki-laki terus bergerak mendekati pantai, sedangkan bagian yang menelan sang adik perempuan sebaliknya bergerak ke arah yang berlawanan atau menjauh ke tengah laut. Daratan kecil yang membawa tubuh sang adik perempuan bergerak secara perlahan-lahan menjauh ke cakrawala. Sedangkan bagian lainnya yang menelan sang kakak laki-laki, ketika sampai di dekat pantai yang dangkal, bergerak-gerak seperti sedang gempa membuat air laut bergelombang seolah-olah memberontak dan tidak terima melihat kekasih hati menjauh terpisah dari dirinya. Konon, daratan kecil yang membawa tubuh pasangan wanita terus bergerak melintasi lautan dan berhenti di suatu pantai dekat pulau Tahuna. Sedangkan daratan yang berisi tubuh sang kakak laki-laki tertinggal di sekitar pantai Likei-Bira Pulau Tagulandang dan oleh masyarakat dinamakan Tanjung Tonggeng Napoto.

Disparbud Sitaro 41

Sumber : disarikan dari berbagai sumber lisan

KISAh CINCIN SAmPAhUATA DAN SAUDARANYA

Pada zaman dahulu hiduplah dua orang bersaudara, laki-laki dan perempuan di desa Kisihang, Kecamatan Tagulandang Selatan. Asal usul tidak diketahui, orang tua mereka pun tidak dikenal. Kehidupan mereka sangat rukun apalagi setelah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Orang tua mereka meninggalkan dua buah cincin emas sakti untuk masing-masing mereka, dengan maksud membantu mereka dalam pengembaraan mencari pasangan hidup kakak beradik tersebut. Sesuai perundingan mereka, yang terlebih dahulu mencari jodoh adalah sang kakak, sedangkan Sampahauta sang adik akhirnya tinggal menjaga gubuk mereka. Setelah lama melakukan perjalanan sekeliling Nusa Mandolokang namun belum ada seorang dara manapun yang cocok jarinya untuk dipakaikan cincin asmara sakti tersebut. Maka dengan terpaksa dan hati yang sedih ia kembali ke pondok atau gubuk mereka. Kemudian tibalah giliran Sampahauta sang puteri remaja yang memiliki rambut lebat melangkah dengan harapan bertemu dengan dewa pujaan, sang pria idaman yang akan menjadi tempat mengadu di saat sedih. Sayangnya ia tidak juga berjumpa seseorang yang cocok untuk memakai cincin tersebut. Ia pun memutuskan untuk kembali ke

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro42

rumah dengan hati yang sedih. Pada suatu senja mereka sedang duduk beristirahat dan

bercengkerama menyongsong datangnya malam. Dalam keheningan percakapan mereka, timbullah kembali kenangan lama tentang kegagalan mereka dalam mencari jodoh. Tidak banyak yang mereka bicarakan kala itu hingga akhirnya mereka mengambil keputusan tanpa memikirkan resiko yang akan mereka tanggung. Cincin sakti tersebut lalu diambil dan dikenakan di jari mereka masing-masing secara bergantian. Untung tidak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, cincin sakti tersebut ternyata cocok di jari mereka, mereka tertegun sejenak menyadari hal itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk hidup bersama layaknya sepasang suami istri.

Tindakan ini menyebabkan peristiwa alam yang menimpa mereka sebagai hukuman akibat perlakuan mereka, yaitu Sampahuata mengandung dan melahirkan seekor ular yang panjangnya kurang lebih sekaki. Sampai saat ini penduduk setempat masih meyakini apabila menemukan ular dalam lemari atau tempat pakaian yang disebut dalam dialek daerah ”Loto”, maka hendaknya ular tersebut dikeluarkan dan diberi kalung manik-manik serta diikat dengan secarik kain merah darah pada lehernya maka segeralah ular tersebut menghilang. Menurut penduduk setempat ular tersebut hendak bertemu dengan keluarga dan kerabat Sampahuata bersaudara.

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber lisan

Disparbud Sitaro 43

KISAh PUTRI BASILAWEWE

Konon Putri raja Lokongbanua yang kecantikannya tak ada taranya yang menjadi rebutan semua putra raja baik yang dari sangir maupun dari Talaud bahkan dari Sulawesi Utara itu putri bernama Basilawewe. Raja pertama kerajaan Siau Lokongbanua yang beristrikan Mangindapela dari Mindanau beranakan 4 orang anak 2 putra dan 2 putri yakni Angkuman, Pasumah, Dolongsego, dan Basilawewe. Lokongbanua menerima pinangan dari beberapa putra raja yakni dari Sangir Talaud maupun dari Sulawesi Utara. Karena sulitnya raja menentukan siapa calon suami putrinya yang paling cocok, maka raja lokongbanua menentukan satu hari dimana semua pelamar harus hadir dalam pertandingan untuk menentukan siapa yang menang ialah yang mempersunting putrinya.

Semua calon pelamar sebagai taruna-taruna yang perkasa yang berpakaian indah, semuanya menunjukkan kebesaran hati memperoleh tuan putri. Pertandingan dimulai yaitu gulat, bergumul dan menembak panah atau sumpit, ternyata hasilnya semua tangguh dan tak seorangpun yang kalah. Riuh rendah

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro44

tampik sorak penonton yang hadir menyaksikan pertandingan itu sebagai pesta rakyat. Tibalah sekarang pertandingan berikutnya yang sa ngat menentukan yakni sepak raga. Semua pelamar berdiri men dengarkan ketentuan lomba diumumkan raja. Sepak raga yang dianyam dari rotan dikeluarkan raja.

Adapun ketentuan siapa yang menyepak masuk dalam kamar putri yang semerbak harun baunya maka ialah yang berhak mem-persunting putrinya yang jelita itu. Masing-masing penonton pu-nya pendapat masing-masing. Satu mengatakan ini yang lain men-gatakan oh si dia yang menang sehingga suasana bertambah ramai demikian riuh pertandinganpun semakin hangat. Kaki bersentu-han dengan kaki, jatuh tunggang langgang, kesemuanya jatuh me-nentukan siasat dan berebut kesempatan yang baik menyepak bola rotan itu ke bilik putri idaman hati. Sampai sore tak seorangpun berhasil dalam pertandingan. Tetap bola rotan itu jatuh ditepi ka-mar tak pernah masuk. Ada yang menyentuh pinggiran kamar tapi sial tak masuk ia berbentur kembali dan jatuh ke tanah. Pertan-dingan dihentikan dan nanti dibuka keesokan hari nya. Semua pe-serta pertandingan disuruh raja beristirahat untuk mengumpulkan kekuatan sampai pelaksanaan besoknya.

Kira-kira pukul sepuluh malam pasukan penjaga pantai melapor kepada raja bahwa ada sebuah perahu tidak mempunyai tanda pengenal dan ketika ditanya tidak mau memberi tahu negeri asalnya. Baginda raja sangat letih karena menghadiri pertandingan sehari suntuk tidak berkesempatan memeriksa pendatang itu. Ia memerintahkan memasukkan mereka kedalam penjara dengan dijaga ketat nanti diselidiki besok perkaranya. Pada keesokan harinya mereka dikeluarkan dari penjara menghadap raja. Ternyata nahkoda kapal itu adalah putra Raja Kabaruang dari Mangarang Talaud yang datang memenuhi undangan Raja Siau untuk turut

Disparbud Sitaro 45

serta dalam pertandingan yang sudah dimulai pelaksanaanya. Raja lokongbanua memberikan perintah untuk member makan kepada mereka dan member tempat penginapan yang wajar. Sambil mengijinkan kepada putra raja Mahadiaponto tersebut bersiap dan ikut dalam pertandingan sepak raga yang dibukanya kembali pada pukul Sembilan pagi.

Semua penonton dipenuhi dengan pertanyaan dan keheranan akan rombongan yang baru itu terutama antara pelamar sendiri berbisik mempercakapkan kehadiran putra raja Kabaruan bagaimana aksinya. Pertandingan dilaksanakan kembali setelah kemarin dihentikan dengan penentuan syarat-syaratnya dan Mahadiaponto menjadi peserta terakhir. Pertandingan dimulai diiringi tampik sorak sorai penonton. Saat yang mendebarkan dan menentukan kini ketika mahadiaponto mendapat giliran terakhir karena yang dahulu tetap tidak berhasil. Mahadiaponto dengan begitu hati-hati memainkan bola rotan itu, ia memainkan dari kaki kiri berganti kaki kanan dan ketika ia merasa saatnya sudah sangat tepat maka dengan kedua kakinya yang diluruskan disepaknya bola rotan itu. Alhasil bola rotan itu bukan hanya masuk kedalam bilik putri yang menjadi rebutan malah jatuh dipangkuannya.

Suara tempik sorak penonton memekakkan telinga karena keberhasilan Mahadiaponto dan ia berhak memiliki putri sesuai ketentuan dari raja Lokongbanua ayahnya. Raja tidak memungkiri ketentuan yang sudah ia umumkan dan pada esoknya Mahadiaponto dipersuntingkah raja dengan putrinya Basilawewe yang sangat cantik itu. Seminggu kemudian setelah pesta berakhir maka berangkatlah Mahadiaponto dan membawa piala kemenangan yakni putri Basilawewe dikawal armada kerajaan Siau ke Kabaruang Mangarang Talaud. Sejak itu Mangarang dimasukkan dalam wilayah kerajaan Siau sebagai lacking (pemberian nikah).

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro46

Sumber: Disarikan oleh Paulien W D Kansil, S.Pd dari penuturan R.D Kansil

ASAL USUL LIWUADAhA

Disparbud Sitaro 47

Alkisah pada tahun 1549 Raja Lokongbanua yang mempunyai dua putra yakni Pasumah dan Angkumang diceritakan wafat tanpa memberi wasiat atau pesan mengenai pewaris tahta kerajaan Siau. Raja tidak bertitah secara jelas siapa diantara kedua putranya yang akan menggantikannya. Oleh karena itu tak lama berselang kematian sang raja, pecahlah perebutan kekuasaan kakak beradik, Angkumang melawan kakaknya, Pasumah. Keduanya merasa berhak dan berkeinginan keras untuk menduduki tahta. Kasili Pasumah tidak mau menyerahkan mahkota kerajaan kepada kakaknya, kasili Angkumang. Dua putra raja ini saling mengumpulkan kekuatan mereka. Sayangnya meskipun Angkumang lebih tua namun ia tidak tinggal di istana yang berkedudukan di Paseng, Ia berdomisili di Ulu. Jarak yang cukup jauh pada masa itu antara Paseng dan Ulu mempengaruhi kedekatannya dengan lingkaran pejabat dan prajurit kerajaan yang lebih banyak bermukim di istana atau dekatnya. Situasi memberi keuntungan dan dukungan bagi Pasumah maka dengan mudah ia menyingkirkan sang kakak yang terpaksa kembali melarikan diri Ulu Siau dengan hati yang penuh dendam atas perbuatan adiknya.

Sebelum meninggalkan istana Angkumang mengancam bah-wa ia akan kembali untuk membuat perhitungan balas dendam

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro48

sekaligus mengambil tahta kerajaan dari tangan Pasumah. Mendengar ancaman tersebut Pasumah tidak tinggal diam. Ia mengumpulkan orang-orangnya yang setia dan sakti mandraguna untuk disiapkan mengantisipasi serangan atau bahkan menyerang Angkumang. Disamping itu, Pasumah dengan taktis mencoba mencari dukungan tempurnya dengan mendatangi komandan prajurit Spanyol di benteng Gurita, Ondong. Pasumah berhasil menarik minat Spanyol untuk membantu pasukannya untuk maju ke medan laga di Bongkong (Puncak-bahasa Indonesia) Bunu menghadapi kakaknya, Angkumang.

Dalam rangka sebuah strategi untuk mendahului serangan kakaknya, Pasumah pada keesokan harinya memimpin satu pasukan pilihan menuju ke Ulu. Mereka siap bertempur. Perkiraan Pasumah akan kedatangan serangan kakaknya dalam waktu dekat ternyata benar adanya. Begitu mereka berjalan melewati Bongkong Bunu bersualah mereka dengan pasukan Angkumang dari Ulu Siau maka tanpa terhindarkan perang perebutan kekuasaan bercampur dendam kesumat ini terjadi dengan begitu sengit. Pasukan Pasumah yang terdiri dari prajurit-prajurit istana yang terlatih mengungguli anak buah Angkumang. Pelan-pelan pasukan Angkumang makin berjatuhan bersimbah darah dan kewalahan. Pada saat yang sama bala bantuan dari prajurit Spanyol turut tiba di medan pertempuran. Hal ini makin membuat pasukan Angkumang tak berdaya sehingga akhirnya pasukan yang masih hidup atau terluka berusaha melarikan diri dari arena perang. Tak ketinggalan Angkumang mengambil langkah seribu dan dengan susah payah kembali ke Ulu. Perang dua kakak beradik untuk tahta kerajaan pun usai namun korban telah jatuh. Pasumah keluar sebagai pemenang. Tersisa medan pertempuranyang telah dipenuhi ratusan mayat bergelimpangan. Dari penuturan berbagi sumber

Disparbud Sitaro 49

diceritakan bahwa saking banyaknya korban dalam pertempuran itu darah tercecer dimana-mana bahkan menyerupai kolam darah yang menyerupai tempat berenang. Itulah sebabnya tempat itu kemudian dinamai Liwuadaha yang berarti kolam darah dan masih ada hingga kini.

Usai kemenangan itu, Pasumah memantapkan dirinya untuk menduduki tahta. Ia memperlakukan kakaknya Angkumang dengan lunak dan mengangkatnya sebagai Jogugu di Ulu Siau. Pasumah tetap berkedudukan di Ibu negeri yakni Paseng. Raja Pasumah juga menepati janjinya kepada komandan Spanyol dengan membantu penyelesaian pembangunan kedua benteng Kastila di Siau. Raja Pasumah selanjutnya diceritakan menikahi tiga wanita yaitu Belisahiwu dari keluarga berpengaruh dan berputra Wuisang yang dikemudian hari menggantikan Pasumah sebagai raja, dan Lakulewang yang memberi putra yang dinamai Luli serta Palungwulaeng dengan putra Lahawo yang dituturkan kemudian merupakan ayahanda dari Tiwuhang yang menjadi permaisuri raja Winsulangi. Demikian kisah perang saudara Pasumah dan Angkumang yang ditandai dengan adanya Liwuadaha yang masih bisa ditelusuri hingga kini.

Sumber: Disarikan dari Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) karya H.B Elias dan berbagai sumber lisan lainnya.

ASAL USUL TANAh PENGAmPUNGANG

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro50

Pada masa kerajaan Siau dibawah pemerintaha Raja Wuisang dituturkan akan keberadaan salah seorang panglima yang gagah perkasa nan sakti yang bernama Malendese. Ia tak ada tandingannya dalam setiap pertempuran yang dilakukanya. Malendese memiliki seorang istri yang berparas sangat cantik menawan dari negeri Bumbiha yang bernama Hiti. Kecantikan Hiti menjadi buah bibir dimana-mana. Ia dilukiskan bak bidadari dengan rambut panjang terurai sampai ke tanah. Pada suatu kesempatan Raja Wuisang melihat Hiti maka tertariklah ia untuk menyunting istri Malendese ini. Raja pun mengatur rencana untuk menyingkirkan Malendese sehingga ia bakal dengan mudah mengambil Hiti. Akhirnya raja menemukan akal jahat. Ia memerintahkan Malendese untuk berangkat ke Ternate dengan membawa surat kepada Sri Sultan Ternate. Surat itu bersifat sangat rahasia dan tidak boleh dibaca oleh Malendese dan anak buahnya yang ikut. Sebagai upaya merebut Hiti, Raja Wuisang, dalam suratnya, meminta pertolongan dari Sri Sultan untuk menghukum mati nakhoda perahu dari Siau itu yang tak lain adalah Malendese sendiri.

Malendese dengan kesaktiannya mulai mengendus hasrat

Disparbud Sitaro 51

sang Raja Wuisang terhadap istrinya. Ia penasaran dan mencuriga isi surat yang dibawahnya. Namun demikian sebagai seorang prajuri yang menjunjung tinggi rasa hormat pada raja dan tugas, Malendese tetap mengikuti sabda raja dan berangkat ke Ternate. Sesampainya di Ternate, Ia segera menghadap Sri Sultan untuk mempersembahkan surat tersebut. Sultan membuka dan membaca surat itu. Kemudian Ia memanggil seorang algojo. Keberadaan algojo ini memperkuat kecurigaan Malandese dan kawan-kawannya bahwa pastilah ada hal yang tidak baik. Mereka pun waspada dan was-was serta hati-hati.

Algojo itupun mendekat ke rombongan Malendese yang saat itu masih berdiri dihadapan sang Sri Sultan. Malendese menunggu dengan tegang apa yang akan dititahkan Sultan. Lalu Sri sultan bertanya,”siapa diantara kamu ini nahkoda perahu?”. Pertanyaan ini dijawab Malendese bahwa nahkoda perahu mereka telah jatuh dilaut sebab perahu dihantam angin barat yang sangat kuat disertai ombak tinggi diseputar perairan Batang Dua pada tengah malam. Itulah sebabnya mereka tak dapat memberikan pertolongan pada nahkoda malang itu. Anak buah Malendese pun mengiyakan akan kebenaran jawaban itu. Sultan merasa bahwa nakhoda telah mati maka tidak perlu lagi dia menjalankan permintaan raja Siau untuk memancung nakhoda kapal pembawa surat yang diterimanya. Tak ayal, lepaslah Malendese dari ancaman kematian. Akan tetapi, apa yang dialaminya ini dicatatnya dalam hati. Sri Sultan selanjutnya mengijinkan dan memerintahkan Malendese dan kawan-kawan untuk kembali ke Siau. Dengan hati geram akan rencana raja yang disembahnya Malendese pulang ke Siau sambil merencanakan perang balas dendam. Apalagi ketika ia menjejak kakinya di pantai Paseng, ia mendapat kabar bahwa pada saat ia berangkat ke Ter-nate, istrinya, Hiti telah diambil oleh Raja Wuisang dan dijadikan

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro52

selirnya. Mengetahui peristiwa memilukan itu, Malendese memutus-

kan untuk tidak langsung ke Paseng, ibukota negeri, untuk meng-hadap raja. Ia justru pergi menemui dan mengumpulkan sanak-saudaranya dan orang-orang yang simpati padanya. Ia berkisah bagaimana ia dan kawan-kawannya hampir kehilangan nyawa di Ternate atas dasar isi surat sang raja serta pedih hatinya mendengar istrinya dirampas pada saat ia sedang menjalankan perintah sang raja. Dia pun mendapat dukungan sanak saudaranya iu. Dia me-mutuskan untuk segera menyerang raja. Ia pun me nyuruh orang memberitahukan kepada raja Wuisang bahwa Malandese telah tewas oleh pedang algojo di Ternate. Kabar bahwa Malendese be-rada di Paseng saat itu tidak benar karena itu hanyalah jiwa Ma-lendese semata. Hal ini dilakukannya untuk mengelabui raja dan mengambil waktu untuk menyiapkan pertempuran.

Akan tetapi, kabar itu tak lama berselang sudah diketahui oleh Raja Wuisang bahwa Malendese masih hidup dan siap menyerang-nya. Takutlah raja. Wuisang mengenal betul kesaktian bekas anak buahnya itu. Tak ingin terancam keselamatannya Raja Wuisang de ngan serangan Malendese, larilah raja Wuisang meninggalkan istana di Paseng menuju ke Pehe. Diceritakan sejak saat itu ibu neg-eri kerajaan Siau berpindah ke Pehe. Dipihak lain, Malendese terus melakukan persiapan dan mengatur siasat peperangan melawan sang baginda raja. Demi memperkuat ku bu pertahanannya, Malendese memerintahkan anak buahnya menyusun batu untuk membentengi mereka mulai dari Tonggeng Toka sampai ke Tutungan. Dia mewas-padai serangan mendadak pasukan raja Wuisang. Sedangkan Hiti, istrinya, yang direbut Wuisang tidak lagi diminta kembali oleh Ma-lendese. Baginya, ini adalah perang harga diri dan dendam.

Ditengah situasi yang semangat tegang. Baginda raja Wui-

Disparbud Sitaro 53

sang menyuruh bawahannya untuk mengumpulkan semua jagoan dan orang yang tangkas dalam berperang. Sayangnya tak seorang pun yang berani melawan Malendese. Dengan demikian makin sempurnalah ketakutan raja atas Malendese. Dalam penuturan masyarakat diceritakan bahwa akhirnya raja Wuisan yang buntu dan takut mengambil putusan mengirim utusan untuk mengaju-kan perdamaian kepada Malendese. Sebagai bagian dari permintaan damai itu, raja Wuisang menawarkan sebidang tanah yang cukup besar sebagai tanda permohonan pengampunan atas kesalahannya itu. Para penasehat dan sanak saudara Malendese mempergunakan tawaran untuk membujuk Malendese agar tidak meneruskan ren-cananya berperang yang akan menumpahkan banyak darah. Ma-lendese yang menghormati para penasehat itu menyetujui saran itu. Ia menerima tawaran permohonan pengampunan ini demi sebuah perdamaian bersama. Maka Raja Wuisang menempati janjinya un-tuk menyerahkan sebidang tanah yang luas yakni yang berbatasan dengan Tonggeng Toka kepada Malendese. Tanah ini kemudian disebut tanah Pengampungang hingga kini.

Sumber: Disarikan dari Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) karya H.B Elias dan sumber lisan lainnya

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro54

KISAh KICAUAN mAUT DARI SEEKOR BURUNG NURI

Kisah ini berawal pada kedatangan beberapa perahu yang

dipimpin oleh Salawo putra raja Anti dari Mindanao diteluk Pehe ditahun terakhir pemerintahan raja Wuisang yang diperkirakan sekitar tahun 1590. Rombongan ini diterima dengan baik oleh Raja Siau dan kebetulan juga mereka membawa persediaan makanan yang cukup untuk jangka waktu yang agak lama maka rombongan pangeran Mindanao ini pun tinggal beberapa bulan. Kehadiran Salawo diterima dengan baik oleh Raja maupun rakyat. Beberapa saat sesudah kehadiran mereka dilingkungan istana mulailah terungkap maksud kedatangan dan persiapan bekal untuk waktu cukup lama ternyata terkait dengan kehendak pangeran Mindanao itu untuk mempersunting putri Nanding, anak sulung Winsulangi dan cucu baginda raja Wuisang. Salawo terpikat hatinya pada Nanding.

Salawo benar-benar dimabuk asmara. Rasa sukanya yang menggelora membuat Salawo menggunakan segala cara untuk mendapatkan tanggapan dari Putri Nanding atas cintanya. Ia me-ngeluarkan semua jurus dan bujuk rayu untuk menyakinkan sang putri akan perasaan yang dikandungnya. Namun putri Nanding tampaknya tidak mudah goyah. Hal ini justru menambah gencarnya aksi sang pangeran Mindanao untuk terus mengusahakan cintanya

Disparbud Sitaro 55

agar tidak bertepuk sebelah tangan. Disisi lain, tindakan Salawo ini rupanya menimbulkan ketersinggungan dan antipati dari kalangan keluarga istana terutama Pangeran Luli yang merupakan paman putri Nanding, adik dari lain ibu dari raja Wuisang. Luli terganggu dengan prilaku Salawo yang berlebihan dan berpotensi mendatangkan malu bagi keluarga raja. Ia menyatakan ketidaksetujuannya secara terang-terangan kepada Salawo.

Ketegangan pun memuncak antara Luli dan Salawo. Sam pai pada suatu kesempatan ketika Luli dan anak buahnya berpapasan dengan Salawo dan pengikutnya di pantai Pehe. Diawali dengan perang mulut, kemudian pecahlah pertarungan sesama laki-laki sejati antara seorang paman yang bermaksud melindungi ponakannya sekaligus kehormatan istana melawan seorang pangeran yang kasmaran dan berusaha menyingkirkan penghalang bagi usahanya merebut hati seorang gadis. Keduanya saling menghunus parang dalam duel yang berlangsung berjam-jam dengan ditonton oleh pengikut keduanya. Salawo sempat melukai Luli namun dengan satu teriakan yang melengking dan memekakan telinga Luli mengeluarkan kesaktiannya untuk menerjang musuhnya dengan tikaman keras yang tak dapat ditangkis Salawo sehingga menembus lambungnya dengan luka yang menganga. Sang pangeran Mindanao terjatuh, rebah dan terkapar penuh darah. Salawo tewas dibunuh Luli.

Pertarungan pun ikut mempengaruhi para pengikut Luli dan Salawo. Entah siapa yang mulai. Tiba-tiba saja kedua belah pihak telah saling berhadapan dan bertarung dengan senjata ditangan masing-masing. Perang kecil berkobar dipantai Pehe kali itu. Korban berjatuhan. Ada yang tewas bersimbah darah. Ada pula yang terluka ringan atau parah. Dari penuturan masyarakat, diceritakan semua orang Mindanao tewas. Demikian juga sejumlah

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro56

besar rakyat siau pengikut Luli ikut meregang nyawa oleh hunusan pedang Mindanao. Kejadian ini membuat beringas rakyat Siau yang dipenuhi amarah maka sambil berteriak keras, ”Salawo nipate I Luli (Salawo dibunuh Luli)”, mereka menjarahi semua harta kepunyaan orang Mindanao yang tersisa diperahu mereka dan hanyalah seekor burung Nuri yang lepas sebab sangkarnya terbuka saat penjarahan itu dilakukan. Ia lepas dan terbang kembali Mindanoa.

Burung Nuri terbang tinggi dan mendengar orang-orang berteriak ”Salawo nipateng luli” (Salawo dibunuh luli). Seperti halnya kebiasaan burung Nuri, kalimat ini ditirukannya. Lalu burung itu menurut cerita terbang menyusuri pulau demi pulau sampai akhirya tiba di istama raja Anti di Mindanao. Begitu burung itu tiba di istana, ia berkicau denga mengulang kalimat yang didengarnya dari teriakan orang-orang di Siau, ”Salawo nipateng Luli”. Itulah pesan maut yang dibawanya. Pesan yang berintikan maut yang dialami Salawo sekaligus mendorong Raja Anti membuat rencana maut untuk balas dendam. Ayah Salawo, Raja Anti mendengar kicauan burung Nuri tentang maut yang diterima anaknya. Raja Anti marah bercampur sedih. Ia bertekad akan membalas apa yang telah menimpa putranya. Ia segera memerintahkan untuk menyiapkan satu armada kecil dari kira-kira 50 buah perahu yang mengangkut pasukan gagah berani dan terlatih dari Mindanao. Persiapan itu memakan waktu setahun Raja Anti benar-benar berniat memenangkan penyerangan. Ia memastikan bahwa kekuatannya akan mengatasi perlawanan rakyat Siau.

Tepat setahun berlalu sesudah peristiwa Luli yakni tahun 1591 raja Anti dari Mindanao melakukan serangan mendadak ke Pehe pada hari minggu pagi. Armada Mindanao menyusuri pantai dari arah sebelah Utara agar tidak diketahui oleh rakyat Siau. Armada ini baru terlihat setelah Tanjung Toto yang tinggal 100 meter

Disparbud Sitaro 57

dari pantai Pehe. Perhitungan Raja Anti sungguh cermat untuk memilih waktu serangan di hari Minggu dimana sebagian orang bersantai dirumah masing masing, dan yang lainnya beribadah mengingat saat itu misionaris telah masuk ke Siau.Alhasil serangan tak terduga ini membuat panik prajurit kerajaan Siau dan rakyat. Mereka kewalahan dan tak bisa melakukan perlawanan berarti. Akibatnya Mindanao membakar rumah ibadah yang dipakai untuk sembayang bersama jemaat didalamnya yang tidak sempat melarikan diri. Rakyat lari tunggang langgang dan mengungsi ke gunung sedangkan baginda raja Winsulangi yang menggantikan ayahandanya raja Wuisang yang memerintah ketika peristiwa Luli melawan Salawo setahun sebelumnya ikut melarikan diri kearah Beong dan melanjutkan pelariannya ke dipantai Timur pulau Siau untuk bertolak dengan perahu ke Ternate. Sayangnya Puteri Nanding yang hadir dalam kebaktian dirumah ibadah saat serangan berlangsung justru tidak dapat melarikan diri dan ditangkap selanjutnya dibawa oleh armada Mindanao ke negeri mereka laksana papasan perang. Konon dituturkan ditengah pelayaran pulang ke Mindanao itu sang Puteri Nanding diselamatkan oleh Katiandagho,cucu Ampuang II dari kerajaan Manganitu.

Selanjutnya dikisahkan bahwa pada 1592 raja Don Jeronimo Winsulangi kembali dari pelarian di Ternate dan menetap di Siau kembali. Tidak mau pengalaman pahit serangan Raja Anti maka Winsulangi memperkuat pertahanan kerajaan Siau baik dengan cara diplomasi dengan hubungan persahabatan dengan Spanyol yang datang ke Siau ditandai dengan bertambahnya frekwensi kedatangan misionaris Katolik dan perdagangan dengan Eropa terutama Portugis dan Spanyol. Upaya ini diikuti dengan tindakan raja yang tidak lagi membangun istananya diatas puing-puing di Pehe, tetapi mendirikan istananya yang baru di Ondong yakni

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro58

didekat benteng Gurita untuk mempermudah mendapatkan dukungan apabila sewaktu-waktu mendapat serangan mendadak dari pihak luar terutama Mindanao.

Sumber: Disarikan Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) karya H.B Elias dan berbagai sumber lisan.

KISAh hENGKENG UNAUNG mELAWAN mAKAAmPO

Disparbud Sitaro 59

Kejayaan kerajaan Siau tak dapat dilepaskan dari kebesaran laksamana Hengkeng Unaung. Kisah- kisah kepahlawanannya terus menjadi pembicaraan dari masa ke masa. Hengkeng Unaung menjadi inspirasi bagi-bagi generasi-generasi sesudahnya hingga kini. Salah satu kisah kedigdayaannya yang terus hidup ditengah masyarakat adalah pertempurannya dengannya Kulano Makaampo dari Tabukan. Cerita epik ini berawal dari terbunuhnya Kulano Tangkuliwutang yang terjebak diantara pertikaian antara Nanusa dan Rainis. Pertikaian sengit yang didasari oleh keinginan Na-nusa untuk menaklukan Rainis. Takaliwutang yang saat itu sedang melaut mencari ikan secara tidak sengaja bertemu armada Nanusa yang sudah dibakar semangat tempur. Tak ayal lagi Takaliwutang dan beberapa temannya menjadi mangsa empuk. Mereka diserang habis-habisan walaupun ditengah serangan itu, Takaliwutang masih berteriak untuk menyatakan bahwa dia bu-kan orang Rainis. Sayangnya, jiwa perang dikalangan perajurit Nanusa membenamkan suara penjelasan Takaliwutang. Akhirnya sang Kulano pun tewas Akan tetapi sebelum tewas, menurut berbagai penuturan, Takaliwutang masih sempat mengutuk para penyerangnya bahwa mereka akan mendapat balasan yang lebih berat atas perbuatan mereka.

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro60

Dari penuturan masyarakat diceritakan bahwa selanjutnya jasad Takaliwutang dimakamkan di sekitar pantai di Timur Karakelang sedangkan kepalanya konon dibawah ke Nanusa sebagai simbol kemenangan. Sesampainya di Nanusa kepala itu ketika diawetkan dengan diasapi, justru menyebarkan bau harum yang menimbulkan rasa takut bagi prajurit Nanusa yang telah membunuh Takaliwutang maka diputuskan kepala tersebut di bawa ke Mindanao. Rakyat Mindanao yang sudah mendengar cerita tentang keganjilan kepala itu pun menolak. Tak ada pilihan lain kepala itu diantarkan ke Tabukan tanah kelahiran sang Kulano. Disana kepala itu diperlakukan dengan baik dan diadakan ritual serta dikuburkan di Pulau Nusa dengan harapan arwah dari sang Kulano akan ikut melindungi masyarakat setempat.

Kematian Takaliwutang tidak menjadi akhir dari kisah namun menjadi permulaan sebuah tentang sepak terjang seorang Makaampo. Dikisahkan bahwa pada saat tewas sebenarnya Takaliwutang telah mempunyai seorang istri keturunan Nanusa yang bernama Nabulsang dan memiliki seorang anak lelaki yang masih kecil bernama Makaampo.

Makaampo kecil dikenal pendiam dan penakut. Dia tak banyak bicara dan lebih sering berdiam diri. Sampai pada suatu ketika ia mendengar dan mengetahui penyebab , kematian ayahnya, Kulano Takaliwutang. Mengetahui bahwa ayahnya tewas dibunuh oleh orang Nanusa, hatinya terbakar dan dipenuhi dendam yang mendalam maka perangainya berubah. Makaampo yang penakut berubah menjadi anak remaja yang suka berkelahi dan berbuat onar bahkan membunuh siapa saja yang melawannya. Hal ini turut dipengaruhi oleh ukuran tubuhnya yang melebihi ukuran remaja seumurnya. Ia bertumbuh makin besar dan makin mahir dalam segala bentuk teknik berkelahi baik dengan tangan kosong

Disparbud Sitaro 61

maupun bersenjata. Makaampo yang dulu penakut kini menjadi figur setengah raksasa yang tak ada tandingnya di seantero Talaud. Berbagai kejahatan tak henti-hentinya dilakukan. Ia menjadi ancaman bersama rakyat dipulau Nanusa dan Karakelang. Lama kelamaan masyarakt mulai gerah dan tak tahan melihat prilaku Makaampo. Alhasil masyarakat bersatu untuk mengeroyok dan mengejar Makaampo. Melihat situasi yang membahayakan putra-nya, naluri seorang Ibu, Nabuisang sanak-saudaranya di Tabukan untuk menyelamatkan Makaampo dengan membujuknya pergi ke Tabukan. Sayangnya sekalipun telah pindah ke Tabukan, prilaku Makaampo malahan semakin menjadi-jadi. Ia tak segan berbuat kekerasan dan berbuat asusila pada anak gadis yang dsukai. Pun-caknya ia dengan tanpa rasa takut dan hormat memperistri sekaligus dua putri Kulano Mamata Nusa dari kerajaan Sahabe (Tabukan Utara) yakni putri Somposehiwu dan Timbangsehiwu.

Walaupun tak setuju dan gusar dengan tindakan tak senonoh Makaampo ini, Mamata Nusa mendiamkan tindakan itu demi mencegah jatuhnya korban masyarakat lebih banyak sesuai petunjuk Bahani Lahuwang. Sikap ini justru dimanfaatkan Makaampo untuk terus mengumbar nafsu jahatnya karena pikirnya tak ada seorang pun yang berani menentang kehendaknya. Ia kembali menambah dua gadis cantik lagi untuk dijadikan istrinya dan mencari gadis-gadis kampung lainnya untuk diperlakukan sebagai gundiknya. Di sisi politik tindakan memperistri kedua putri Mamata Nusa dari kerajaan Sahabe membuka jalan bagi Makaampo menjadi kulano Sahabe, menggantikan mertua ketika Mamata Nusa meninggal yang diperkirakan sekitar tahun 1601. Pada saat itu juga Makaampo menyatakan dirinya sebagai raja di Tabukan Utara.

Selama berkuasa Makaampo menaklukan seluruh kepulauan Talaud sampai Mindanao selatan. Demikian juga Sangir besar

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro62

hampir semua wilayahnya ditaklukan. Makaampo memerintah dengan kejam dan lalim terutama didaerah yang dianggap se-bagai taklukannya misalnya Tamako. Makaampo dengan brutal mengumpulkan gadis-gadis yang cantik untuk dijadikan selirnya. Lebih kejam lagi, anak-anak kecil ditangkap dan disembelih untuk diminum darahnya dan daging dijadikan umpan menangkap ikan Hiu (Kimboleng-dalam Bahasa Siau). Siapapun yang melawan pasti dibunuhnya. Dengan licik pula ia membagikan bibit padi yang sudah rusak karena telah dimasak terlebih dahulu kepada para petani akibatnya padinya tak bisa tumbuh dan petani tersebut sekeluarga diambil untuk dijadikan budak serta ladangnya di sita. Kondisi ini membuat rakyat Tamako ketakutan dan menyingkir ketempat yang tersembunyi jauh dari pengejaran dan keberingasan Makaampo. Mengungsinya rakyat Tamako inilah titik temunya keterlibatan kerajaan Siau dalam prihal sepak terjang Makaampo.

D’Arras, seorang jogugu, pada suatu saat ditugaskan untuk mengawal pelayaran permaisuri Tihuwang, istri baginda Raja Winsulangi, menuju kediaman orang tuanya di Saluran, Tabukan Selatan. Mereka pun mampir di Tamako. Alangkah kagetnya mereka melihat Tamako sudah sepi tak berpenghuni. Mereka berjalan mengitari tempat itu dan akhirnya bertemu dengan se-orang wanita yang bernama Lembangwulaeng yang sedang ber-kemas untuk ikut lari mengungsi. D’Arras coba bertanya seputar keberadaan penduduk negeri Tamako. Pertanyaan itu dijawab wanita bahwa para penduduk melarikan diri ke Pelelangen. Dengan rasa penasaran D’Arras menyusul masyarakat ke Pelelangen dan menemui penduduk Tamako yang masih dicekam ketakutan. Kunjungan D’Arras ini dimanfaatkan tetua-tetua Tamako untuk memohon bantuan Raja Siau untuk menghentikan kekejaman Makaampo dengan janji Tamako akan berdiri sendiri dan keluar

Disparbud Sitaro 63

dari penaklukan Tabukan dan takluk ke kerajaan Siau. Pengaduan dan permohonan masyarakat Tamako ini dilapor-

kan D’Arras ke Raja Winsulangi. Sang raja menanggapi laporan ini dengan mengumpulkan Majelis kerajaan dan memutuskan menerima permintaan bantuan dari Tamako dan menugaskan Laksamana Hengke Unaung untuk mengakhiri kekejaman Maka-ampo. Hengkeng Unaung melakukan persiapan yang diperlukan untuk semua rencana yang berbahaya ini. Ia menyiapkan armadanya yang terdiri dari Bininta dan Kora-kora yang telah dipenuhi dengan semua senjata dan perbekalan lainnya. Begitu semua siap maka berangkatlah mereka.

Kedatangan Hengkeng Unaung disambut gembira oleh masyarakat Tamako yang sedang berada dipersembunyian mereka di Palelengan. Mereka mengadakan ritual untuk mendukung pertempuran Hengkeng Unaung melawan Makaampo. Tak berlama-lama Laksamana Hengke Unaung dan armadanya menyusuri pantai mencari Makaampo. Ditengah pencariannya Hengkeng Unaung kedatangan bantuan dari membelotnya jago Tabukan bernama Bahani Wungangu karena sakit hatinya atas tindakan anak Makaampo yang bernama Wuaten yang merebut istrinya. Dituturkan juga kekuatan Hengkeng Unaung makin paripurna dengan bergabungnya secara diam-diam Tahapansiang, budak Makaampo, yang tak tahan melihat kebengisan Makaampo.

Singkat cerita, ketika armada Hengkeng Unaung mulai merapat ke pantai Tabukan lama, mata mereka menangkap satu sosok yang sedang menjala ikan. Semakin dekat, sosok tinggi besar itu semakin dikenal. Tak lain dan tak bukan, dia adalah Makaampo. Begitu dipastikan bahwa Makaampo yang sedang menjala ikan itu. Maka bersiap-siaplah laksamana Hengkeng Unaung termasuk mengikat rambutnya yang panjang untuk memudahkannya ber-

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro64

tarung, tagonggong ditabuh dan sasambo dan kakumbade di-alunkan. Disisi lain, Makaampo yang mulai menyadari bahwa Hengkeng Unaung akan menyerangnya. Makaampo segera juga menyiapkan diri. Dengan tetap fokus menatap kearah Hengkeng Unaung ia meminta senjatanya kepada jongosnya, Tahapansiang. Sang budak yang diam-diam menyimpan sakit hati kepada tuannya justru menyembunyikan senjata Makaampo dengan cara lari ia memanjat kepohon yang bertumbuh dekat pantai itu.

Dalam kebingungan tidak memperoleh apa yang dimintanya, Makaampo memegang ekor ikan belanak yang besar lalu dihu-nus tinggi-tinggi seperti layaknya sebuah pedang yang mengkilat. Hengke Unaung terpana dan agak tawar hatinya melihat kilauan senjata yang diangkat oleh Makaampo. Hengkeng Unaung mena-han langkahnya mendekat Makaampo. Ia menghitung kesaktian Makaampo. Tahapansiang, budak Makaampo, menangkap kera-guan Hengkeng Unaung maka ia berteriak memberitahukan bahwa itu bukan pedang melain sekedar seekor ikan saja seraya menun-jukan senjata Makaampo yang disembunyikannya. Mengetahui itu, timbulah kembali semangat dan keberanian Hengke Unaung untuk mengalahkan Makaampo sambil mengucapkan mantera da-lam Bahasa Siau ”I makaampo sinumele, nanedeeng bara e ghare nakalehing nakalahiube timinting sarang langi, nakakondo si sia, sambil menghunuskan pedangnya ia berkata: selerang kadangee kereapa metara mala petukareng peli sarang pintu masa bendeng banua, naung I Makaampo kimakuabo” (Catatan H.B Elias).

Sebaliknya Makaampo menyaksikan akan ketidaktakutan Hengkeng Unaung dan menyimak mantera yang diucapkannya, Makaampo berbalik kecut hatinya. Ia pun melarikan diri dan membuang ikan yang dipegangnya berlindung dibalik sebuah

Disparbud Sitaro 65

batu besar dipantai. Hengkeng Unaung melompat dan mengejar serta mengayunkan parangnya pada batu yang dijadikan tempat bersembunyi oleh Makaampo. Batu itu terbelah menjadi dua. Demikian pula leher Makaampo putus dan terpisah dari badannya. Kemenangan Hengkeng Unauang ini disambut dengan penuh kegembiraan oleh Anak buah Hengke Unaung yang menyaksikan dari dekat pertempuran itu.

Diceritakan pada saat itu ikut juga Longong, adik Hengkeng Unaung, yang dengan penuh sukacitanya merayakan kemenangan sang kakak kebanggaannya. Dengan menambah semarak perayaan atas kemenangan itu, Longong memungut kepala Makaampo dan memikulnya sambil berjingkrak kegirangan bak seorang penari. Sekonyong-konyong kepala itu masih bergerak dan dapat menggigit tengkuk Longong dan meskipun ditarik dengan keras gigitan tak terlepas. Akibatnya luka besar menganga dan darah mengalir tiada henti. Akhirnya Longong meninggal dalam pelayaran pulang ke Tamako dan dikuburkan disana. Kepala makaampo sendiri selanjutnya di taruh dalam satu piring batu. Terlepas dengan kesedihan akan meninggalnya Longong, rakyat Tamako tak dapat menahan diri untuk tidak merayakan kemenangan itu hingga tujuh hari tujuh malam dan disertai dengan deklarasi untuk keluar dari Tabukan dan menjadi bagian dari pemerintahan kerajaan Siau.

Pesta kemenangan juga dirayakan di Saluran. Rakyat bersyukur atas tewasnya Makaampo yang telah memerintah dengan kejam. Namun saat itu Hengkeng Unaung sudah kembali ke Siau dan hanya diwakili oleh adik perempuannya, Sise, yang kemudian membawa serta dua belas gadis yang pintar bermain alat musik oli yang pada kisah yang lain berguna untuk mengalahkan raksasa Onding dari Makalehi. Demikianlah akhir kisah kemenangan Hengkeng Unaung atas Makaampo yang membawa kerajaan Siau

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro66

menjadi penguasa mulai dari Kaburuan hingga selatan Karakelang, Tamako dan pulau sekitarnya serta Dagho. Sungguh sebuah taklukan yang luas pada masa itu.

Sumber: disarikan dari Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) karya H.B Elias dan berbagai sumber lisan

KISAh RAKSASA ONDING

Disparbud Sitaro 67

Dikisahkan Onding adalah seorang raksasa wanita yang ber-suamikan Linsaha yang berasal dari pulau Biaro. Sepasang raksasa ini tinggal di pulau Makalehi dimana bagian tengahnya terdapat sebuah danau. Keduanya membuat sebuah rakit didanau tersebut dan diatas rakit itu dibangun sebuah gubuk sebagai tempat tinggal mereka. Dari penuturan berbagai sumber, dikatakan bahwa apabila Onding dan suaminya hendak berkunjung ke Biaro, mereka berdua tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ditujuan mengingat mereka hanya butuh mendayung perahu mereka dua atau tiga kali saja. Gambaran betapa besarnya postur suami istri raksasa ini ditandai dengan tembusnya daunt alas yang tebal hanya dengan air kencing mereka. Sayangnya ukuran badan yang besar ini tidak disertai dengan jiwa yang besar melainkan kekerdilan seperti tercerminkan dari kesukaan mereka untuk menyantap daging anak kecil. Akibatnya mereka sering menculik atau mengejar anak-anak kecil yang mereka temui untuk dijadikan santapan. Prilaku ini tentunya sangat meresahkan dan menakutkan rakyat.

Raja Winsulangi yang saat itu berkuasa di Siau mendengar keluh kesah rakyat ini maka sang raja yang bijaksana ini menjawab keresahan ini dengan memerintahkan lakasamana Hengkeng

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro68

Unaung untuk segera membunuh Onding di Makalehi. Laksamana Hengkeng Unaung menerima perintah dengan sigap dan patuh. Ia pun menyiapkan strategi yang diperlukan mengingat besarnya ukuran Onding dan suaminya. Pertarungan satu lawan satu atau berhadapan langsung akan menyulitkan Hengkeng Unaung dan anak buahnya. Onding dan Linsaha unggul ukuran badan yang memungkinkan mereka dapat dengan mudah menjangkau lawan mereka sebelum senjata lawan menyentuh tubuh mereka.

Setelah telah menemukan taktik yang diyakini mampu me-ngalahkan lawannya. Hengke Unaung mengajak Sise, adiknya, beserta dengan kedua belas gadis remaja yang dibawa dari Saluran seusai kemenangan atas Makaampo. Begitu mereka tiba di Makalehi tampaklah Onding sedang duduk sendirian didepan pondoknya diatas rakitnya. Dengan perlahan-lahan pasukan Hengkeng Unaung mendekati Onding dipimpin oleh Sise sedangkan Hengke Unaung bersembunyi sambil menyiapkan senjatanya. Rupanya inilah strategi yang disiapkan Hengkeng Unaung. Ia memerintahkan Sise untuk memainkan Oli, sejenis alat musik, untuk mendendangkan sejumlah lagu yang diharapkan dapat meninabobokan Onding. Sise tak berlama lagi. Ia dengan piawai memainkan musiknya lembut. Keindahan permainan musik itu membuat Onding senang dan bersuka cita. Sise memainkan musiknya tiada henti. Alunan merdu Permainan musik mendatangkan rasa kantuk berat bagi Onding sampai ia tertidur dengan lelap. Irama musik Oli tetap dimainkan hanya semakin lama semakin lembut untuk mengiringi pulasnya Onding dalam tidurnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hengkeng Unaung yang keluar dari persembunyiannya. Hengke Unaung dengan menaiki sebuah perahu kecil mendekati rakit wanita raksasa yang telah tertidur nyenyak itu. Hengkeng Unaung mencabut parangnya dan memenggal kepala Onding.

Disparbud Sitaro 69

Tamatlah riwayat raksasa pemangsa anak-anak itu. Sedangkan Linsaha, sang suami, yang pada saat itu sedang berada ditempat asalnya Biaro merasa ketakutan mendengar istrinya dipenggal Hengkeng Unaung maka sejak itu dia tak pernah lagi muncul di Makalehi. Keberhasilan misi Hengkeng Unaung ini membawanya pada pemberian hadiah yang istimewa dari Raja Winsulangi yang baik dan bijaksana. Konon, dari berbagai penuturan ada yang mengatakan kepala Onding masih tersimpan di Makalehi hingga kini.

Sumber: disarikan dari Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) karya H.B Elias dan berbagai sumber lisan lainnya.

ASAL mULA TAPAK KAKI DAN TONGKAT ONDING

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro70

Alkisah Onding, seorang raksasa wanita, yang dipercayai tinggal di pulau Makalehi punya salah satu kebiasaan yakni sering mengunjungi bahkan tinggal beberapa saat di kampung-kampung di Siau khususnya yang berhadapan langsung dengan Pulau Makalehi. Tak jarang Onding dan suaminya, Liunsaha, datang dengan membawa bekal untuk persediaan mereka bisa tinggal lama. Salah satu kampung yang sering dijadikan tempat mereka berdua tinggal adalah kampung Peling. Ini disebabkan karena kampung ini memang berhadapan langsung dengan Pulau Makalehi. Dengan tubuh mereka yang besar dan kuat tentunya tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka mengayuh perahu mereka untuk hilir mudik dari Makalehi ke Peling.

Saking seringnya pasangan raksasa ini mengunjungi kampung Peling sampai mereka membuat tempat peristirahatan atau tempat tinggal sementara. Rupanya Onding cukup betah menghabiskan waktu di kampung ini. Aktifitas yang biasa ia lakukan di pulau Makalehi tetap dia bisa kerjakan di Peling. Letak kampung ini yang persis di tepi pantai dengan semilir hembusan angin laut dan luasnya horizon pandangan kearah laut menjadi kombinasi suasana yang sangat disukai Onding. Raksasa wanita ini suka menghabiskan

Disparbud Sitaro 71

waktunya untuk duduk di bebatuan pinggiran pantai baik sendiri ataupun ditemani suaminya. Onding senang menyapa terbitnya mentari pagi dengan warna keemasan. Demikian pula Onding menikmati menghantar sang surya turun ke peraduannya tatkala senja datang. Selain itu, raksasa wanita ini suka sekali mencuci bajunya pada mata air yang muncul dari sela-sela bebatuan pantai Peling. Ia menikmati gemericik bunyi air yang keluar dari sumbernya dipadu dengan deru ombak yang saling berkejaran kepantai ibarat irama alam yang dengan harmoni yang sempurna. Karena ukuran badannya yang besar dan sering berada disana, tak jarang pijakan kakinya berbekas pada batu-batu yang diinjaknya membentuk lubang-lubang yang sepintas simetris dengan ukuran kakinya.

Sampai pada suatu ketika, Liunsaha, sang suami, merasa mereka berdua sudah terlalu lama tinggal di Peling. Tiba saatnya mereka untuk kembali ke tempat tinggal mereka yang sebenarnya di Pulau Makelehi. Liunsaha merindukan suasana danau dan rumah mereka. Namun Onding yang masih menikmati hari-hari indahnya dengan suasana pantai yang begitu mempesona menolak untuk pulang dan meminta beberapa hari lagi untuk tinggal. Liunsaha yang sudah ingin sekali kembali terus memaksa untuk pulang ke Makalehi. Sebaliknya Onding terus menolak untuk pergi dengan alasan ia masih ingin menikmati pemandangan dan suasana yang indah di tepian pantai. Liunsaha tak menampik permintaan Onding dan tetap mendesak untuk pulang. Hal ini berkembang menjadi pertengkaran sengit antara kedua suami istri. Onding marah besar demikian juga Liunsaha. Akhirnya Liunsaha berteriak dengan keras, ”Ia wue mapule sisaku (Aku akan pulang sendiri)”. Ia pun bergegas mengemasi bajunya dan langsung lari kearah perahu mereka yang tertambat di pantai. Onding pun berdiri dengan marahnya

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro72

ia mengambil tongkatnya dan melemparkannya kearah Liunsaha yang perahunya sudah makin ketengah laut meninggalkan Peling menuju Makalehi tanpa menengok kebelakang lagi. Beruntungnya lemparan tongkat Onding ini meleset dan tidak mengenai Liunsaha tetapi tertancap di salah satu batu yang bernama batu Kasahu yang berada didekatnya. Liunsaha pun lolos. Melihat ini Onding masih marah segera berlari ke pantai dan berenang mengejar Liunsaha. Konon diceritakan sesampainya di perahu Onding malah hilang amarahnya dan mereka berdua mengayuh biduk itu dengan haluan menuju ke Makalehi, tempat tinggal mereka.

Batu bekas pijakan Onding diatas selanjutnya disebut masya-rakat dengan Batu Laede Onding. Batu itu dinamai demikian sebab saat ini batu tersebut masih menyisakan lubang yang menye-rupai tapak kaki manusia namun dengan ukuran yang sangat besar dan melampui ukuran telapak kaki manusia normal. Sedangkan tongkat bekas lemparan Onding yang tertancap di batu Kasahu diyakini masyarakat setempat tumbuh menjadi sebatang pohon diatas batu Kasahu yang posisinya agak ketengah laut. Pohon ini oleh masyarakat dinamai Kalu Tateking Onding yang dalam Bahasa Indonesia berarti Pohon Tongkat Onding. Baik Batu Laede Onding maupun Kalu Tateking Onding masih ada dan dapat dilihat dipinggir pantai Bumbiha, kampung Peling.

Sumber: Disarikan dari penuturan Pdt. Cornelius Kailas Bidara dan sumber-sumber lisan lainya.

Disparbud Sitaro 73

ASAL USUL NAmA KAmPUNG PELING

Alkisah kejayaan armada laut kerajaan Siau dibawah Heng keng Unaung tersohor sampai kemana. Setiap kali ia berlayar mengarungi samudera maka kemenangan demi kemenangan pasti dibawa pulang. Adapun salah satu musuh yang paling sering berperang dengan armada sang panglima gagah perkasa ini adalah armada perompak dari kepulauan Mindanao, Pilipina. Kebiasaan para bajak laut Mindanao ini sangat meresahkan pelaut-pelaut Siau baik pedagang maupun nelayan. Keresahan ini mereka teruskan kepada sang laksamana, Hengkeng Unaung. ”Tuang, tulungko I kami bu limang perompake Mindano, tinia mulaude naung I kami napene sigesa, mutaku musema I sire (Tuanku, tolonglah kami dari ancaman bajak laut Mindanao, setiap kali melaut kami selalu dalam kekhawatiran akan bertemu dengan mereka)”, demikian kira-kira pengaduan warga pesisir Siau. Suara hati rakyat ini disikapi sang laksamana dengan memerintahkan armada kora-koranya untuk melakukan pelayaran untuk menjaga dan mengawal wilayah perairan Siau sekaligus para pelautnya. Hengkeng Unaung sendiri yang turun tangan memimpin armada perang ini.

Konon, sampailah pada suatu ketika armada Hengkeng

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro74

Unaung secara tak sengaja bertemu dengan kora-kora para pe-rompak Mindanao disekitar pulau yang menurut penuturan para tua-tua bernama pulau Peleng didekat laut Sangir besar. Tak ayal pertemuan langsung menyulut pertempuran sengit bak api bertemu rumput kering. Senjata kedua belah pihak baik tombak maupun parang berseliweran kesana kemari. Korban berjatuhan. Desing ayung parang dan tombak ditambah teriakan para semangat dan jerit kesakitan bercampur menjadi satu dilaut itu. Tumpahan darah membasahi kora-kora dan amisnya menusuk hidung. Setiap prajurit Hengkeng Unaung mengerahkan keahlian perangnya untuk mempertahankan hidup dan meraih kemenangan untuk Raja serta keamanan wilayah Siau. Jiwa-jiwa heroik ini berpadu dengan kesaktian dan strategi jitu sang laksamana akhirnya membuahkan kemenangan bagi armada Siau. Satu persatu perompak Mindanao tersungkur merenggang nyawa atau terjatuh ke laut dalam ketidak berdayaan. Sedangkan mereka yang masih tersisa dikora-kora atau terluka memutuskan untuk melarikan diri dari arena pertempuran kembali ke Mindanao. Armada Kerajaan Siau bertempik sorak dalam kemenangan.

Hengkeng Unaung mengumpulkan semua prajuritnya, meng-obati yang terluka dan memerintahkan armadanya untuk berlayar kembali ke Siau untuk membawa kabar kemenangan ini kepada Raja Batahi yang saat itu berkedudukan di Ondong. Dalam penuh semangat dan rasa bangga atas kemenangan armada Hengkeng Unaung membuka lebar layar dan mendayung kora-kora untuk meluncur dengan cepat ke ibu kota kerajaan. Pada saat sudah men-dekati Ondong, tiba-tiba Hengkeng Unaung mengambil sebuah tombak terbuat dari bambu atau lebih tepatnya menyerupai bam-bu runcing yang bekas dipakai dalam pertempuran melawan Mindanao. Ia mengayunkan tombak itu dengan keras kearah

Disparbud Sitaro 75

pantai sambil berseru ”Peleng,..Tuwo ndai” yang artinya Peleng, bertumbuhlah. Tampaknya Hengkeng Unaung merujuk pada lokasi pertempuran dan berharap tombak bamboo yang dilemparnya itu akan bertumbuh. Kemudian diceritakan karena kesaktian Hengkeng Unaung, tombak bambu yang dilemparkan itu jatuh diatas bukit kecil didekat pantai. Hal ini disaksikan oleh penduduk yang saat itu sedang berkumpul dipantai menyambut kedatangan sang laksamana bersama pasukannya. Demikian juga mereka men-dengar seruan Hengkeng Unaung namun karena jarak yang agak jauh dan gangguan suara ombak maka yang terdengar hanya kata ”Peleng”. Orang-orang pun menggangap itulah nama tombak yang dilempar Hengkeng Unaung dan menyampaikannya dari mulut ke mulut. Saking santernya cerita tentang tombak itu dan banyaknya orang yang berbicara sehingga kata ‘Peleng’ kemudian terdengar ‘Peling’. Oleh karena itu, bukit itu dinamai Bongkong Peling dan kampung sesudah bukit dinamai orang kampung Peling sampai saat ini.

Menurut penuturan masyarakat, Bongkong Peling sekarang ini dipenuhi pohon bambu yang sangat lebat yang diyakini tumbuh dari tombak bambu yang dilemparkan oleh Hengkeng Unaung. Pohon-pohon bambu itu dimanfaatkan warga untuk berbagai keperluan. Namun demikian, pohon-pohon bambu itu tak pernah habis dan terus tumbuh dengan subur. Konon ini dipercayai karena tuah dari ucapan Hengkeng Unaung agar tombak bambu itu terus tumbuh dan berguna bagi masyarakat setempat.

Sumber: disarikan dari penuturan Pdt. Cornelius Kailas Bidara dan berbagai sumber lisan lainnya.

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro76

KISAh CINTA KASILI BATAhI DAN SANGIANG mAImUNA

Alkisah pada suatu waktu Sutan Ternate dalam salah satu pelayarannya ke pulau Sangihe Besar, Ia menyempatkan diri singgah di Tabukan dan menjadi tamu baginda Raja Udah, raja yang keempat dari kerajaan Tabukan. Dalam kunjungan sesaat itu Sri Sultan melihat putri Maimuna yang sangat elok nan jelita paras. Begitu mengetahui bahwa sang bidadari adalah sangiang Maimuna, putri raja, timbulah niat sang sultan untuk meminang Maimuna. Demi menjaga hubungan persahabatan dan diplomasi antara kedua kerajaan maka dengan hati raja Tabukan menerima lamaran tersebut. Alhasil Putri Maimuna segera diboyong ke Ternate tak lama sesusai digelarnya pesta. Namun sebelum berangkat ke Ternate, Dalero, saudara Maimuna yang memiliki ilmu gaib memberikan mantera kepada sang putri cantik untuk dapat dipergunakan setibanya dinegeri baru tempat sang sultan.

Diceritakan kemudian begitu kapal berlabuh di Ternate, Sri Sultan sudah tak sabar melewatkan malam sebagai pengantin baru bersama dengan Maimuna yang cantik. Ketika malam datang, Sri Sultan bersiap menemui sang putri dikamarnya tetapi sungguh

Disparbud Sitaro 77

suatu keajaiban karena sang puteri terlihat dan yang ada hanyalah sebutir telur ayam. Pada malam selanjutnya yang terlihat di kamar sang putri adalah seekor cicak. Maimuna tetap tak terlihat. Tak diragukan lagi. Peristiwa ini sangat menggemparkan seisi istana Sri Sultan dan kabarnya sampai ketelinga, Dalero, saudaranya, di Tabukan. Dalero pun memutuskan untuk datang menjemput atau minimal ingin mengetahui keadaan adikanya. Berangkatlah Dalero dengan disertai sejumlah pengiringnyamenyiapkan bebera perahu lalu berlayar menyusul Maimuna ke Ternate. Ilmu mistik yang dimilikinya Sebelum ia membuang sauh dipelabuhan Ternate, Dalero memerintahkan kapal untuk berkeliling pulau Ternate selama tujuh kali. Setelah itu barulah Dalero meloncat dari perahu kepantai persis didepan istana Sri Sultan sambil berteriak sekuat-kuatnya menyerukan sasambo ”Bansegi Dalero, Bukung kota nambo” yang artinya ” tempik soraknya Dalero”. Dalam hitungan detik runtuhlah semua penjuru kota dan istana Sri Sultan ke laut. Sri Sultan menyaksikan ini maka menjadi gentar dan takut. Ia pun tanpa banyak pikir merelakan puteri Maimuna dibawa pulang oleh Dalero kembali ke Tabukan.

Pelayaran pulang Dalero yang membawa Maimuna tidak berjala semulus perjalanan datang dari Tabukan ke Ternate. Kali ini kapal mereka harus berhadapan dengan angin lautan yang amat keras akibatnya demi alasan keselamatan armada perahu yang dinakhodai Dalero singgah di Siau. mereka menjadi tamu Baginda Raja Don Jeronimo Winsulangi selama sehari. Jamuan atas tamu kerajaan telah mempertemukan dua muda-mudi tampan dan cantik yakni Sangiang Maimuna dari Tabukan dan Kasili Batahi yang baru saja pulang dari studi pada universitas di Intramorus. Jantung mereka berdegup kencang ketika saling bertatapan tanda hati telah bertaut dipandangan pertama. Konon, dalam pertemuan singkat

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro78

itu, secara sembunyi-sembunyi Sangiang Maimuna memberi cinderamata khusus berupa cincin buat sang Kasili Batahi.

Begitu cuaca mulai bersahabat. Angkatan perahu Dalero yang tentunya membawa Maimuna bertolak kembali ke Tabukan. Kasili Batahi yang telah tertusuk panah asmara yang mendalam memandangi kepergian sang belahan hati. Pikirannya pun segera mendapat akal untuk bersua kembali dengan sang pencuri hati bahkan menjadiknnya pasangan hingga akhir hayatnya. Kasili nan gagah ini langsung mengatur rencananya dengan D’Arras dan laksamana Hengkeng Unaung untuk mendapatkan Maimuna. Mereka sepakat akan berangkat ke Salurang, negeri ibundanya, Tihuwang. Dari sana ia akan menyamar sebagai budak ke-istana Raja Udah di Tabukan. Pelayaran untuk membawa dan mengambi cinta ini pada dasarnya mempertaruhkan hubungan antara dua kerajaan Tabukan dan Siau. Tapi mabuk cinta meng abaikan setiap resiko. Kasili Batahi telah bulat hatinya untuk asmara nya. Dengan menumpang perahu londe Batahi tiba di Salurang dan dari sana secara menyamar untuk menyusup ke istana Raja Udah di Tabukan sebagai seorang pesuruh (Elang-dalam bahasa Siau)). Penampilan Batahi yang menarik dan simpatik menempatkannya sebagai budak yang langsung diterima raja. Batahi pun segera hidup sebagai budak dalam tugas-tugas berat dan tempat tinggalnya yang jauh dari kemewahannya sebagai putra raja di Siau.

Daya tarik Batahi sebagai budak tidak hanya menyenangkan raja namun terlebih Sangiang Maimuna yang mengenali cincin yang dikenakan sang budak. Cinta yang telah tersemai di Siau. Mulai kedua sejoli ini saling bertemu tanpa sepengatahuan raja dan orang-orang istana lainnya sampai mereka membuat rencan untuk menyatukan kisah kasih mereka selamanya lewat sebuah pelarian menembus semuan penghalang yang membentang. Hasilnya ketika

Disparbud Sitaro 79

setiap orang masih larut dalam tidur dan fajar masih merangkak keluar diufuk timur. Seisi istana Raja Udah gempar karena Sangiang Maimuna yang jelita telah raib dari tempat tidurnya. Demikian pula sang budak baru alias Kasili Batahi. Keduanya sudah menyatu dalam biduk pelayaran menuju Siau untuk mengayuh bahtera baru mereka. Dengan diiringi sorak kemenangan Hengke Unaung membawa pulang dua sejoli itu yang menumpang perahu angkatan lautnya dari Saluran ke Ondong. Kedatangan mereka disambut dengan penuh keheranan oleh baginda raja Don Jeronimo Winsulangi di istananya. Ia tak sadar dan dipenuhi tanda tanya atas sepak terjang romantika putranya.

Raja Winsulangi tak punya pilihan lain selain menuruti gelora asmara putranya maka Ia menikahkan kedua sejoli ini. Kasih antar dua anak manusia dari kerajaan Siau dan Tabukan menyatu dalam sebuah mahligai. Dua tahun kemudian lahir putera yang pertama Batahi dan Maimuna yang dinamainya Monasahiwu. Nama ini konon dikaitkan dengan visi kerajaan Siau mau melaksanakan ribuan cita-cita kenegaraan untuk membawa kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Beberapa waktu kemudian kira-kira pada tahun 1630 lahirlah putera yang kedua. Pada saat yang sama hasrat untuk menjalin hubungan diplomasi yang lebih kuat antar kerajaan termasuk dengan Tabukan dan inventarisasi kekayaan yang sempat diperoleh sebagai hadiah atas kemenangan atas Makaampo dan harta warisan dari Tihuwang, ibunda Batahi, di Salurang. Raja Don Harcius Fransiscus Batahi yang telah dinobatkan segera membuat persiapan. D’Arras dan laksamana Hengke Unaung siap menyertai dan mengawal pelayaran ini. Raja Batahi dan permaisuri Maimuna serta bayi kecil yang baru lahir ikut pula dibawa menaiki kora-kora kerajaan dan bertolak ke Tabukan. Semua isi rombongan ini berlayar dengan penuh tanda tanya bagaimana reaksi Raja Udah

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro80

tatkala bertemu nanti. Kekhawatiran akan amarah Raja Udah yang mungkin tersinggung atas dilarikannya Putri Maimuna mengisi pikiran rombongan kerajaan Siau ini. Ternyata kekhawatiran itu tidak terwujud sebab Raja Udah justru dengan penuh sucacita menyambut kedatangan mereka. Raja Udah tampaknya begitu merindukan putrinya dan terlebih melihat cucunya yang baru lahir. Raja udah yang diberitahu bahwa bayi itu belum diberi nama segera menamainya Rarame Nusa yang bermakna pendamai bangsa karena katanya,”Anak ini telah mendamaikan kembali kerajaan Tabukan dan kerajaan Siau”. Sejak hari itu nama Rarame nusa melekat pada bayi itu dan kepadanya diwariskan Tamako dan pulau-pulau didepannya oleh Raja Udah. Demikianlah kisah cinta Kasili Batahi yang tampan dan Sangiang Maimuna yang jelita.

Sumber: disarikan Sejarah Perjuangan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau (1973) karya dan sumber lisan lainnya.

Disparbud Sitaro 81

BIOGRAFI PENYUNTNG

Mister Gidion Maru dilahirkan di Hekang basaha, kelurahan Tatehadeng, Siau Timur. Putra dari pegawai Kelurahan Tatehadeng, Alm Rein Maru dan pensiun-an Guru SD, Monika Tadete ini tercatat sebagai dosen tetap pada Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Univer-sitas Negeri Manado. Suami dari Dr Rahel Kim bal, SP,ME ini menempuh sebagian besar studinya di Universitas Gadjah Mada

(UGM). Studi S1 dimulai tahun 1994 ketika ia lolos masuk ke UGM lewat program Penjaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD) utusan SMAN Ulu Siau dan lulus tepat empat tahun kemudian.

Studi S2 mulai ditempuhnya tahun 2004 di Universitas yang sama dimana dia merupakan salah satu wisudawan terbaik pada wisuda April 2006 dengan Indeks Prestasi Kumulatif 4.00 dan lulusan tercepat dijurusannya yakni masa studi 18 bulan. Saat ini Ia tercatat sebagai mahasiswa pada program Doktor UGM. Ia juga merupakan alumni Fulbright Research Fellow 2010 di Bowling

Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro82

Green State University, Ohio, USA. Pengalamannya menulis di-tandai dengan telah dimuatnya berbagai makalahnya di beberapa Jurnal Ilmiah Nasional dan dipresentasikan dibeberapa konferensi internasional. Artikel-artikelnya juga sempat mengisi Koran-koran lokal di Sulawesi Utara. Selain itu ia aktif dalam organisasi sosial antara lain Panitia GMPW Tasumaro 2011, Forum Pemantau Kinerja Pemerintahan/FPKP Sitaro (Ketua,2008-sekarang), Ke-ru kunan Generasi Muda/Kagama Sitaro (Ketua, 2004-2007), Gerakan Bangun/Gerbang Sitaro (Sekertaris,2009-skrg), Keluarga Mahasiswa Siau Yogyakarta/KMSY (Ketua, 1996-1998) dan Jurnal E-CLUE UNIMA (Editor, 2006-skrg) serta Jurnal Manifest UGM (Editor, 2006-skrg).