Asal-usul Sunnah Sahabat: Bab I, PENDAHULUAN

32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah “Sudah ijmak kaum muslim bahwa semua yang berasal dari Rasūlullāh saw, berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan, yang dimaksudkan untuk penetapan syariat dan teladan, yang sampai kepada kita dengan sanad yang ṣaḥīḥ, secara qaț’i atau ẓanni (yang lebih mendekati kebenaran), menjadi ḥujjah bagi umat Islam, sumber tasyrī’ yang dari situ para mujtahid mengambil istinbāț hukum syarak bagi perbuatan mukallaf. Umat Islam juga ijmak bahwa hukum- hukum dalam sunnah itu bersama hukum-hukum dalam Al-Quran adalah undang-undang yang wajib diikuti”, begitu ditulis oleh ‘Abd al-Wahhāb Khallāf ketika menjelaskan posisi Al- Sunnah dalam Islam 1 . Dalam hirarkhi hukum Islam, al-Sunnah menduduki posisi kedua setelah Al-Quran. Menurut sebagian ulama, bahkan al-Sunnah bisa berada dalam posisi di atas Al- Quran, karena ia menentukan makna al-Quran. Sunan al- Dārimi membuat bab dengan judul اب ب ا اب ت ك ى عل ة ي ض ا ق ة ي س ل لة لا. Ia mengutip dari Al-Auzā’i, dari Yahyā bin Abī 1 Muḥammad Abd al-Wahhab Khallāf,‘Ilm Uşūl al-Fiqh (Kairo: Dār al- Ḥadīś, 1423/2003) h.41 1

Transcript of Asal-usul Sunnah Sahabat: Bab I, PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah

“Sudah ijmak kaum muslim bahwa semua yang berasaldari Rasūlullāh saw, berupa ucapan, perbuatan, danketetapan, yang dimaksudkan untuk penetapan syariat danteladan, yang sampai kepada kita dengan sanad yang ṣaḥīḥ,secara qaț’i atau ẓanni (yang lebih mendekati kebenaran),menjadi ḥujjah bagi umat Islam, sumber tasyrī’ yang darisitu para mujtahid mengambil istinbāț hukum syarak bagiperbuatan mukallaf. Umat Islam juga ijmak bahwa hukum-hukum dalam sunnah itu bersama hukum-hukum dalam Al-Quranadalah undang-undang yang wajib diikuti”, begitu ditulisoleh ‘Abd al-Wahhāb Khallāf ketika menjelaskan posisi Al-Sunnah dalam Islam1 .

Dalam hirarkhi hukum Islam, al-Sunnah mendudukiposisi kedua setelah Al-Quran. Menurut sebagian ulama,bahkan al-Sunnah bisa berada dalam posisi di atas Al-Quran, karena ia menentukan makna al-Quran. Sunan al-Dārimi membuat bab dengan judul اب� اب�اب����� ة ع�لى ك�ت��� ي� اض����� ة ق� .ال�لةل�س���ي� Ia mengutip dari Al-Auzā’i, dari Yahyā bin Abī

1 Muḥammad Abd al-Wahhab Khallāf,‘Ilm Uşūl al-Fiqh (Kairo: Dār al-Ḥadīś, 1423/2003) h.41

1

2

Kaṡīr. Ia berkata: Al-Sunnah menghakimi Al-Quran. BukanAl-Quran yang menghakimi Al-Sunnah2. Al-Khaṭṭīb mengutipdari Makḥūl: Al-Quran lebih memerlukan Al-Sunnahketimbang Al-Sunnah memerlukan Al-Quran. Masih dalamkitab yang sama, Al-Sakhtiyāni berkata: Apabila kamuberbicara dengan seseorang tentang Sunnah, tapi orang ituberkata: Bicaralah kepada kami dari Al-Quran saja,ketahuilah bahwa dia sesat dan menyesatkan3.

Semula Sunnah hanya apa yang dinisbahkan kepada Nabisaw, tetapi sekarang ini, sunnah juga dinisbahkan kepadapara sahabat, bahkan tabi’in. Maka bersamaan,berdampingan dan kadang-kadang berlawanan dengan SunnahNabi saw ada sunnah sahabat. Dengan begitu, setelah Al-Quran, Sunnah Nabi saw, sumber hukum berikutnya adalahsunnah sahabat. Dalam banyak hal, Sunnah sahabat bukansaja “menghakimi” sunnah Nabi saw, tetapi jugamenggantikannya.

Para peneliti dapat meneliti bagaimana posisi sunnahsahabat dalam keseluruhan maşādir al-tasyrī’, seberapa banyaksunnah sahabat membentuk perumusan aqīdah, syarī’at, dannilai-nilai Islam; sejauh mana sunnah sahabat memengaruhi

2 ‘Abd Allāh bin ‘Abd al-Rahmān Al-Dārimi, Sunan Al-Dārimi, taḥqīqSayyid Ibrahim, 1 (Kairo: Dār al-Ḥadīś, 1420/2000) h. 137, ḥadīṡ# 587. Untuk selanjutnya disingkat dengan Sunan al-Dārimi.

3 Al-Khațīb Al-Bagdādi, Al-Kifāyah fi ‘Ulūm al-Riwāyah. (Kairo: Mațba’ahal-Sa’ādah, 1972), h.16.

3

perkembangan ilmu-ilmu Islam –‘ulūm al-Quran, ‘ulūm al-hadis, ‘ilm al-fiqh, usūl al-fiqh dan bahkan tarīkhIslam. Tetapi di sini untuk membatasi ruang lingkuppenelitian, saya membatasinya hanya pada perkembangansunnah sahabat, dan lebih khusus lagi pada asal-usul –the

origins of- Sunnah Sahabat. Secara garis besar saya merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:1. Adakah bukti bahwa Sunnah Nabi berkedudukan sama

atau berlawanan dengan atau digantikan oleh ataubertentangan dengan Sunnah Sahabat?

2. Apa latar belakang teologis yang menghasilkanSunnah Sahabat?

3. Apa latar belakang ideologis yang melahirkanperbedaan esensial antara kelompok Sunnah Rasūlullāhsaw dengan kelompok Sunnah Sahabat.

B. Kegunaan Penelitian

Kegunaan teoretis. Penelitian ini berkenaan denganSunnah Sahabat. Menurut Al-Syāțibi, “Sunnah Sahabatadalah sunnah yang diamalkan dan dijadikan rujukan”4.

4 Imam Abū Isḥāq Al-Syāțibi adalah ulama Sunni dari Andalusia,pengikut Mazhab Māliki. Ia meninggal 1388 di Granada, Spanyol. Namalengkapnya Ibrāhīm bin Mūsa bin Muḥammad al-Syāṭibi. Hari dan tempatlahirnya tidak diketahui. Bukunya yang paling terkenal adalah Al-I’tişām, membahas tentang bid’ah. Sayyid Rāsyid Riḍā menulis katapengantar untuk penerbitan buku ini ini (Kairo: Dār al-Kutub al-

4

Uşūl al-Fiqh menetapkan Sunnah Sahabat sebagai salah satudi antara maşādir al-tasyrī’. Selama ini, Sunnah Sahabatditerima tanpa kritik.

Penelitian ini akan meninjau kembali (revisit) konsep Sunnah Sahabat.

Tarīkh Tasyrī’ hanya menyebut peranan Sunnah Sahabat padazaman Sahabat, segera setelah Rasūlullāh saw meninggaldunia. Dari penelitian ini diharapkan orang mengetahuiproses terbentuknya salah satu sumber syarak yang sangatpenting. Diharapkan penelitian ini akan menjadi pengantaruntuk mengetahui secara spesifik berapa bagian dari agamayang dijalankan orang berdasarkan Sunnah Sahabat danberapa bagian berasal dari Sunnah Nabawiyyah.

Peninjauan ulang konsep Sunnah Sahabat akan memperbaharui

pandangan tentang asumsi-asumsi ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan

al-tasyrī’ seperti ‘ulūm al-Quran, ‘ulūm al-hadis , uşūl al-Fiqh, al-Fiqh. Penelitian ini diharapkan membuka wacana-wacana baru di dalam ‘ulūm al-Islām, melahirkanpenelitian-penelitian baru dengan paradigma baru. Denganbegitu, para akademisi dalam studi-studi Islam memperolehgairah untuk bukan saja –dalam bahasa Iqbal-

Arabiyya, 1331). Bukunya yang lain, Al-Muwāfaqāt fi Uşūl al-Syarī’at, terkenalsebagai rujukan Uşūl al-Fiqh, terutama berkenaan dengan al-maqāṣid al-syar’iyyah. Kutipan di atas diambil dari buku ini, Al-Muwāfaqāt, 4(Tunisia: Daulat al-Tūnisiya, 1302), h. 74; lihat komentar tentangal-Syāthibi oleh Muḥammad Khalid Mas’ūd, Islamic Legal Philosophy: A Study ofAbū Ishaq al-Shatibi's Life and Thought, (McGill: McGill University, 1977).

5

“reconstruction of Islamic thoughts”, tetapi jugamemberikan landasan ilmiah bagi “reconstruction of ourbeliefs”.

Kegunaan Praktis. Salah satu di antara landasanrekonstruksi keyakinan agama adalah sejarah. Setiap agamadibangun dari dan membangun sejarahnya. Ketika orangmenulis lagi sejarah, ia membangun kembali agama. Dalamsetiap penulisan kembali sejarah selalu terkandung unsurmoral. James G. Crossley dan Christian Karner menulisdalam judul yang menyimpulkan argumentasi parapenulisnya: Writing History, Constructing Religion5:

The telling of history in the construction of a‘religious past’ frequently has an explicitly moralelement. ..As such moral views of history show,writing history and constructing religion are oftenclosely interwoven social practices that areanything but a detached chronicling of bygoneevents of the sacred past. The writing of historyand the constructing of religion are, of course,tied up with power and hence with the the socialconstruction of insiders and outsiders, of friendsand foes.

Penelitian ini akan memberikan pemahaman bahwa mazhab-mazhab

(Sunni-Syiah) dilahirkan sejarah. Di hadapan generasi masa kiniterbentang sejarah masa lalu agamanya. Sejarah itu sudahtaken for granted. Setiap mazhab dilihat oleh para pengikutnyasebagai agama yang murni ciptaan ilahi. Manakah yang

5James G. Crossley dan Christian Karner, Writing History: ConstructingReligion, (Hampshire: Ashgate, 2005), h. 4.

6

murni ilahi dan mana yang berasal dari produk sejarahdan murni manusiawi. Produk sejarah itu harusditundukkan pada “pisau kritis” analisis historis.

“The life which is unexamined is not worth living,”Beverley Southgate mengutip Plato –yang berbicara melaluitokoh Socrates- untuk kalimat pertama dalam bukunyaHistory: What and Why? Begitu pula sejarah. Sejarah yangtidak diuji kembali tidak akan memuaskan siapa pun.Muarikh perlu memiliki “self-awareness”, memahami apayang sedang dilakukannya dan mengapa ia melakukannya.

This, then, implies a need for some injection of‘philosophy’ into historical study- someexamination of the nature of the subjects itself,of its aims and objectives, of its centralconcepts, and of the validity of its claims thatmight be made by its practicioners. It implies, inother words, some study of historiography- of whatit is that historians have thought, and do think,they are doing, and of what we ourselves think thatwe should be doing6.

Penelitian ini akan memberikan kontribusi pada historiografi Islam

dan tarikh tasyri’. Tarīkh Tasyrī’ adalah studi tentangsejarah. Tarīkh Tasyrī’ berkembang di dunia akademiaIslam hampir tanpa mempedulikan dan tidak berhubungandengan perkembangan historiografi. Penelitian ini akanmemberikan contoh (yang baik atau yang buruk) untuk

6 Beverley Southgate, History: What and Why. (London: Routledge,2003), h. 2

7

penerapan metode historiografi dalam menelitiperkembangan tarikh tasyri’.

“History is philosophy teaching by examples,” kataDionysus dari Halicarnassus7. Sejarah memberikan contohtentang kecintaan kepada kebenaran. Leopold von Rankemenegaskan bahwa “the first demand is pure love oftruth”. Atau sejarah, menurut salah seorang murid Ranke,adalah “not the truth and light; but a striving for it, asermon on it, a consecration to it”. Menurut muridnyayang lain, “History is divine service in the broadestsense”8

Studi sejarah bukan hanya ingin mengungkapkan masalalu “wie es eigentlich gewesen” seperti yang diajarkan Ranke.Studi sejarah –seperti kaum historisis- dapat menunjukkan“socially motivated misrepresentations of the past”9, denganbegitu, kesalahan dalam memandang dan menafsirkan masalalu dapat ditemukan.

7 Pernyataan yang banyak dikutip ini dinisbahkan kepada Dionysusdari Halicarnasus pada Abad kesatu sebelum Masehi, dalam De ArteRhetorica, Xi.2

8 Leopold von Ranke, “On the Character of Historical Science”,dalam Leopold von Ranke, The Theory and Practice of History, ed. George G.Iggers dan Konrad von Moltke, (New York: Bobbs-Merrill, 1973), h.39; Johann Droysen, seperti dikutip oleh Frederick Jackson Turner,dalam Fritz Stern (ed) The Varieties of History from Voltaire to the Present, (NewYork, Meridian Books, 1956), h. 208.

9 John Tosh, the Pursuit of Histor (London: Longman, 2002), h. 21

8

Masyarakat sudah terbiasa dengan pemandangan yangsudah terdistorsi. Mereka sudah hidup nyaman di dalamnya.Studi sejarah menjadi bermanfaat bila ia berhasilmeragukan dan mempertanyakan status dan validitas apayang sudah diterima sebagai “self-evident, universal, andnecessary”. Saya percaya seperti yang diyakini Southgate:

As the force of existing conventions, inscribed inand confirmed by former histories, is challengedand dissipates, new possibilities emerge; for witha changed orientation to (perception of) our past,a whole new future opens up. That may, as AnthonyGiddens and others have warned, induce someanxiety; for as earlier signposts, previouslyestablished and confirmed by historical or mythicaltraditions, are rendered blank once more, we areinevitably faced with uncertainties about whichpath –which future– to take. But there’s a positivedimension to that predicament: we’re left with realchoice, endowed with ‘the capability to disturb thefixity of things, [and] open up new pathways’; andthose pathways may, if we so determine, lead tohope for human betterment, as we contemplate ourability to ‘colonise a segment of a novel future’10.

Penelitian historiografis tentang Sunnah Sahabatdiharapkan memberikan kepada kita “kemampuan untukmenggoncangkan hal-hal yang sudah baku dan membuka jalur-jalur pemikiran yang baru”. Leibniz, filusuf abadketujuh-belas berkata, “The present is big with thefuture and laden with the past”. Sejarawan meninjaukembali masa lalu, untuk memahami apa yang terjadi

10 Beverley Southgate, What is History for? (London: Routledge- Taylorand Francis Group, 2006), h. 176-177

9

sekarang, dan membangun masa depan. Setelah mengutipLeibniz, Southgate11 merumuskan kegunaan penelitianhistoriografis,

What we are is determined by what we have been, anddetermines in turns what we will be; and it isimpossible ever to grasp ‘the present’ inisolation, as it slips irrevocably into past, evenas we turn it.”

C. Tinjauan Pustaka

Kajian Amhazun tentang Sahabat yang etnosentris.“Kita memang perlu melakukan kajian-kajian ulang terhadapberbagai peristiwa sejarah pada masa Sahabat danseterusnya, sebab banyak materi yang ditulis secarabermasalah, baik dari segi metodologi maupun kredibilitaspenulisnya. Hanya saja, agar kajian itu tidak malahmengundang problema kesejarahan itu sendiri, hendaknyalahkajian ulang itu dilakukan secara ilmiah, baik padatingkat moral maupun praktek pengkajiannya,” Hidayat NurWahid menulis dalam kata pengantarnya untuk buku Amhazūn,Fitnah Kubro (Tragedi pada Masa Sahabat ). Ia menyatakan itusetelah merasa kesal dengan tumbuhnya apa yang disebutnyasebagai “kritik histories” (kesalahan ejaan berasal dariaslinya-JR) di dunia akademis di Indonesia sekarang ini.

11 Beverley Southgate, History: What and Why?, h. 113

10

Wahid sebetulnya sedang berusaha memahami masa kinidengan masuk ke masa lalu. Setelah itu, Daud Rasyid masukke masa lalu untuk menjelaskan kerusuhan yang terjadi diIndonesia kini. Fitnah kubro terjadi pada masa ‘Uśmān,tetapi Rasyid melihat “Persamaan Kondisi Indonesia dengan fitnah

kubro.”

Wahid, Rasyid, dan Amhazūn berusaha keras untukmelakukan studi sejarah yang mempertahankan “fixity ofthings”. Mereka merasa terganggu oleh orang-orang yangmelakukan “kritik histories”. Amhazūn malah merasaterganggu hatta oleh buku sejarah yang dikajinya untukdisertasinya, Tarīkh al-Rusul wa al-Mulūk, atau terkenal denganTarīkh Ṭabarī.

Peneliti atau sejarahwan muslim banyak menemukankejanggalan dan ketidakpuasan ketika membaca uraiansejarah pada masa khulafā al-Rāsyidīn, padahal masaini adalah masa keemasan dalam sejarah Islam,karena sejumlah riwayat yang disajikan olehliteratur-literatur klasik terutama sekali “Tarīkhal-Rusul wa al-Mulūk” (Sejarah Para Rasul dan Raja)karya Imam Al-Ṭabarī. Peneliti menemukan jurangyang cukup dalam antara nilai, prinsip-prinsipIslam, dan karakteristik Sahabat Rasul saw yangdikenal sebagai puncak dalam akidah yang benar,perilaku yang lurus, dan budaya mereka yangterkenal mendahulukan akhlak yang mulia, danmengutamakan balasan dari Tuhan- dengan gambaranyang disajikan oleh berbagai riwayat yang

11

dinukilkan oleh sebagian perawi dan informan,seolah-olah itu realita sejarah12

Amhazūn tidak puas karena yang dinukil dalam kitab-kitab sejarah “seolah-olah itu realitas” tidak sesuaidengan konsepnya tentang Sahabat (terkenal sebagai ‘adālat

al-sahabat). Ukuran kebenaran informasi sejarah adalahpemihakannya pada konsep ini. Dengan menggunakan ukuranini, Rasyid memilah penulis sejarah kepada tiga kelompok:(1) penulis sejarah yang memburuk-burukkan Muawiyah danSahabat-Sahabat Nabī lainnya. Ia menyebut kelompok inisebagai penulis “yang tidak mampu bersikap obyektif”.Sebagai contoh, Al-Mas’ūdi dan al-Ya’qūbi; (2) penulissejarah yang menolak “berita yang bernada miring” bilaberkaitan dengan watak dan karakter Sahabat Nabī saw. Iamenyebut kelompok ini sebagai “penulis sejarah yangselektif”; sebagai contoh, Abū Bakr bin al-‘Arabi, Al-Awāşim min al-Qawāşim dan Ibn Kaşīr, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah; dan(3) penulis sejarah yang menukil berita miring itu dalamkitabnya sekedar untuk tambahan informasi. Ia sendiritidak memercayai apa yang dinukilnya. Al-Ṭabarī adalahcontohnya13

12 Muḥammad Amhazūn, Fitnah Kubro (Tragedi Pada Masa Şaḥābat ) .Diterjemahkan Daud Rasyid (Jakarta: LP2SI Al-Haramain, 1999), h. 1.

13 Muḥammad Amhazūn, ibid. xi

12

Mengklasifikasikan buku sejarah berdasarkan ada atautidak adanya berita miring tentang Sahabat melanggarkaidah Ranke. Tugas sejarah ialah menampilkan peristiwaapa adanya, ”wie es eigentlich gewesen”. Tetapi, kritikposmodernisme terhadap Ranke memberikan peluang kepadakita untuk memberikan tempat pada kategorisasi tersebut.Apa yang dilakukan oleh peneliti sejarah seperti Amhazūnadalah salah satu di antara cara memandang masa lalu.Setelah itu, marilah kita uji cara memandang itu dengancara memandang yang lain. Di sini kita mulai memasukihistoriografi.

Kajian apologetis tentang Sahabat. Penulisan sejarahpara Sahabat pada awalnya ditandai dengan kesetiaan paraahli hadis dan muarikh akan konsep ‘adālat al-sahabat.Seperti Amhazūn, ‘adālat al-sahabat dijadikan ukuranuntuk menguji kebenaran berita. Semua kitab historiografiSahabat berikut ini berpegang pada ukuran ini:

Ibn Sa’ad (w.230), Kitāb Al-Ṭabaqât al-Kabīr; Ibn ‘Abd al-Barr (w.463), Al-Isti’âb; Ibn Aśīr (w.630), Usud al-Gâbah; Al-Żahabī (w.748), Tajrīd Asmâ al-Ṣahâbah; Ibn Ḥajar Al-Asqalâni (w.852), Al-Iṣâbah.

13

Kajian Kritis pada Sahabat Nabi. Para pembaru sejarahsebesar Ibn Khaldūn sekalipun tidak mau “mengotorilembaran bukunya” dengan masalah Sahabat. Ibn Khaldūnmenolak untuk memasukkan –dalam bahasa Rasyid- berita-berita miring tentang Sahabat Nabī saw. Ia menganggapperistiwa-peristiwa itu –seperti pembakaran hadis olehAbū Bakr dan ‘Umar- dibuat-buat oleh pengikut hawa nafsu,betapa pun ṣaḥīḥnya menurut ‘ulūm al-hadis dan betapa punotentiknya menurut penelitian sejarah. Apa yangdinyatakan oleh Ibn Khaldūn berikut 14, tidak berbedadengan apa yang dikatakan Ibn Al-Aśīr dalam mukadimahnyapada Al-Kāmil fī al-Tārīkh:

ص م�ن� ها م�لخ� ها ...اوردت� ي� ة و م�ا ك�ان� ف�� ة الاس�لام�ي� لاف� ى� ال�خ� ر ال�كلام ف� خ�� ا ا9 عذه�ذ� ل�ك?، واب�� ى� د� اه ف� ت� �Bي Dم�ا را ق Fوث� Dة ا ن�� Iا ر، ق�� ي� Lة ال�كب خ� �Pي ار ، وه�و ب� ي�Pر ال�طي�ري� ر اب� م�حمذ ب��ن� خ�� ن�ك�ت عي� اب�� ة وال�ت اره�ا وع�ذول�ها م�ن� ال�صخان�� ت� ار الامة م�ن� خ�� ى� ك�ت� ة ف� ي� Fه�واء،ع�ن� ال�مطاع�ن� وال�س Dه�ل الا Dره�ا م�ن� اFيhك Dهم ا ى� ح�ق ة ف� ي� Fن� م�طاع�ن� وش� ي� رخ�� Dى� ك�لام ال�مو ذ ف� وخ�� رًا م�ا ث�� ي� Fكب tها ق� سود ت�� ن� ت� Dى� ا غ� ب� ن� لا ي�� ون�ق�� ال�عي�Melihat bagaimana Ibn Khaldūn “mati-matian”

mempertahankan ‘adālat al-sahabat, saya sepakat denganKamaruddin Amin untuk mempertanyakan “apakah doktrin‘adālah ini adalah sebuah dogma atau sebuah fakta

14 ‘Abd al-Rahmān bin Khaldun, Tārīkh ibn Khaldūn, 2 (Beirut: Dāral-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006) h. 620.

14

sejarah. Secara historis, apakah masuk akal bahwa semuaSahabat memiliki kualitas kejujuran yang sama? Apakahdoktrin ini didasarkan pada analisis historis terhadapriwayat seluruh Sahabat atau hanya pada ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang dapat diinterpretasi secaraberbeda.” Amin sebetulnya sudah menjawab sendiripertanyaan itu, “Anggapan bahwa semua Sahabat adalahadil, sebagaimana diungkapkan sebagian besar ulama hadisMuslim, sulit diselaraskan dengan sejumlah laporan”tentang Sahabat. Ada sahabat yang mencuri tas kulit Nabīsaw, atau memimpin salat subuh dalam keadaan mabuk, atauyang paling menonjol, mereka terlibat saling membunuh diantara sesama mereka.15 Walhasil, ‘adālat al-sahabatadalah dogma yang dipertahankan untuk menjustifikasihadis yang diriwayatkan Sahabat dan pada akhirnyamenegakkan otoritas Sunnah Sahabat.

Penelitian ini ingin memusatkan perhatiannya padaSunnah Sahabat, bengkalai yang ditinggalkan oleh IbnKhaldūn dan para ilmuwan sejarah besar lainnya dalamIslam. Saya ingin menggunakan ”pisau analisis” FaridEsack dari Afrika Selatan untuk menunjukkan sikap parasarjana Islam terhadap tema-tema “sensitif” seperti studi

15 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Ḥadīś(Bandung: Hikmah, 2009) h. 50-53

15

Al-Quran dan Sunnah -baik Sunnah Nabawiyah maupun SunnahSahabat 16.

Secara singkat, berikut ini disampaikan analisiskritis pada hasil-hasil penelitian dari para pecintakritis Sahabat. Amin mengkritisi ‘adalat al-şaḥābat (dalamhubungannya dengan metode kritik hadis) denganmenyebutkan bukti tak terbantahkan tentang peperangan diantara para sahabat. Fuad Jabali, seperti yang akan

16 Farid Esack, The Quran: A Short Introduction (Oxford:Oneworld, 2002). Esack menyebut enam pendekatan pokok. MenurutEsack, dalam mendekati studi kritis Al-Quran; dalam hal inidan dalam tulisan ini, untuk memperlakukan sunnah Sahabat, adaenam pendekatan. Pertama, “the uncritical lover”, sikap orang-orang awam yang mencintai Sahabat-Sahabat Nabī saw denganmengabaikan segala analisis kritis terhadap mereka. Sepertipara pecinta lainnya, mereka menikmati dan mempraktekkansunnah Sahabat dengan setia sampai mereka mengalami ekstasi.Kedua, “the scholarly lover”, para sarjana Muslim yang siapdengan setumpuk argumentasi untuk membela sunnah Sahabat.Kemuliaan Sahabat Nabī –yang mereka percayai- menjadi dasaruntuk meneliti sunnah Sahabat. Ketiga, “critical lover”, parapeneliti yang melihat Sahabat secara kritis untuk menetapkanSahabat yang mana yang harus diikuti. Keempat, “the friend ofthe lover”, peneliti di luar Islam yang sebagai ‘participantobservers’ berusaha untuk memahami posisi para pecinta sunnahSahabat. Kelima, “the voyeur”, peneliti di luar Islam,revisionist historian, yang menggunakan metode kritis semata-mata untuk menjatuhkan bukan hanya sunnah Sahabat, tetapiseluruh ajaran Islam. Keenam, “the polemicist” peneliti non-muslim, yang menggunakan metode kritis kelompok kelima buatmendekonstruksi Islam dan tidak menggunakan metode yang samauntuk mengkritik kitab sucinya.

16

dipaparkan berikut, mencoba mencari motif di balikkonflik di antara mereka. Saya ingin menggunakan hasilpenelitian Jabali untuk memberikan latar belakangsosiologis dari dua ideologi yang bertarung dalampanggung sejarah; dua ideologi yang melahirkan peperangandi antara para penganutnya. Setelah itu, saya akansampaikan secara singkat penelitian Muḥammad Zain tentanghubungan antara latar belakang ekonomi para sahabatdengan hadis yang diriwayatkannya.

Sejarah yang pertama kali ditulis adalah riwayattentang Nabī saw, yang seluruh perilakunya dianggapideal. Catatan tentang kehidupan Nabī itu disebut hadis.Di atas landasan hadis, kaum Muslim menafsirkan pesanTuhan kepada umat manusia. Nabī saw menafsirkan,menjelaskan, dan melengkapi Al-Qur’an agar bangunan Islamtegak. Ḥadīś bukan hanya catatan peristiwa, melainkanjuga rekaman tradisi awal Islam. Oleh karena itu, hadisbukan sekadar riwayat. Ḥadīś adalah Sunnah.

Untuk menjelaskan Al-Qur’an diperlukan Sunnah. Untukmerumuskan Sunnah diperlukan hadis. Dengan bahasa Fu'adJabali pada Bab Kesimpulan bukunya, “untuk melindungi danmengembangkan hadis” diperlukan para Sahabat, generasipertama periwayat hadis. Untuk menguji keabsahan hadis,para ulama mengembangkan ilmu-ilmu hadis, 'ulum al-Ḥadīś.

17

Semua periwayat hadis harus dikritik dari segikejujurannya, pengetahuannya, rangkaian gurunya, sampaikepada penilaian orang sezamannya, kecuali Sahabat .

Sahabat tidak boleh diceritakan kecuali kebaikannya.Pandangan al-Rāzī tentang Sahabat menjadi aksioma utamadalam menilai hadis: “Adapun Sahabat Nabī saw adalahorang-orang yang menyaksikan wahyu dan turunnya,mengetahui tafsir dan takwilnya, yang dipilih Allah untukmenyertai Nabī-Nya, menolongnya, menegakkan agamanya, danmenampakkan kebenarannya. Allah meridhai mereka sebagaiSahabatnya dan menjadikan mereka sumber ilmu maupunteladan. Mereka menghafal apa yang disampaikan Nabī sawdari Allah swt –apa yang disunahkan, disyariatkan,ditetapkan sebagai hukum, dianjurkan, diperintahkan,dilarang, diperingatkan, dan diajarkan Nabī saw Merekamenjaganya, meyakininya, kemudian memahaminya dalam agamadan mengetahui perintah Allah, larangannya, maksudnyadengan disaksikan langsung oleh Rasūlullāh Saw Dari Nabīsaw mereka menyaksikan tafsir al-Kitab dan takwilnya;mereka mengambil dari Nabī saw dan menarik kesimpulandarinya. Maka Allah pun memuliakan mereka dengananugerah-Nya dan meninggikannya dalam posisi teladan.Karena itu, Allah menghilangkan dari diri merekakeraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan,

18

kesombongan, dan kecaman. Allah swt menyebut mereka 'adl al-

ummah... Mereka menjadi umat yang paling adil, imam-imampetunjuk, hujjah agama, dan teladan (pengamalan) al-Kitāb

dan al-Sunnah”17.'Abd al-Rahman bin Abī Ḥatim al-Rāzī dikenal sebaga

Imam Ahli al-Jarḥ wa al-Ta'dīl. Dia menjadi rujukan para ahlihadis dalam menentukan apakah periwayat hadis itu kuatatau lemah, dapat dipercaya atau pendusta, diterima atauditolak. Dia melakukan analisis kritis terhadap semuaorang yang meriwayatkan hadis –mengecam atau memuji, al-

Jarḥ wa al-Ta'dīl –kecuali kalau periwayat hadis itu Sahabat.Al-Rāzī mewakili Ahl al-Sunnah, yang menganggap semuaSahabat itu terpelihara dari "keraguan, kebohongan,kesalahan kekeliruan, kebimbangan, kesombongan". Anggapanseperti itu secara teknis disebut sebagai 'Adālat al-Sahabat.

Bersama al-Rāzī, para ahli hadis lainnya mengajarkankita untuk memandang Sahabat sebagai manusia-manusiasuci: mulai dari "tidak layak mengecam mereka"18 sampaipada penyematan kafir bagi orang yang mengkritik Sahabat.Abū Zur'ah, guru Imam Muslim, menulis, "Jika kamu melihatorang mengkritik seorang saja Sahabat Rasūlullāh Saw,

17 ‘Abd al-Rahmān bin Abī Ḥātim al-Rāzī, Taqdimah al-Ma’rifat li Kitāb al-Jarḥ wa al-Ta’dīl, 1, h. 54-55.

18 Ibn al-Aśīr, Usd al-Gābah, 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,2008), h. 24-27.

19

ketahuilah bahwa mereka itu zindīq. Karena Rasul benar,Al-Qur’an pasti benar, dan apa yang dibawanya benar.Semua itu disampaikan kepada kita oleh Sahabat Nabī.Mereka bermaksud untuk mengecam saksi-saksi agama kitauntuk membatalkan al-Kitāb dan al-Sunnah. Merekalah orang-orang zindīq, yang lebih pantas mendapat kecaman"19.

‘Adālat al-Şaḥābat –semua Sahabat itu 'udul— kemudiandijadikan tonggak utama keyakinan Ahl al-Sunnah.Betapapun, meyakini ‘Adālat al-Şaḥābat sebagai konsep adalahsatu hal, sementara menerapkannya dalam studi tentangsejarah Sahabat adalah hal yang lain. Seperti kita pahamidalam logika yang paling dasar, prinsip "semua x adalahy" gugur dengan sendirinya kalau kita menemukan satukasus saja ketika "x tidak y". Prinsip "semua Sahabat'udul" gugur begitu kita menemukan bahwa ada Sahabat yangtidak 'udul.20

Kajian Kritis terhadap Sahabat. Segera setelah kitamempelajari lebih lanjut tentang kehidupan Sahabat,prinsip ‘adālat al-Shahabah itu berguncang. Jangan dulu

19 Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Al-Iśābah, 1 (Beirut: Dār al-Fikr 2001),h. 22.

20 Berikut adalah pengakuan alim mutakhir al-Syaikh Muḥammad al-Ṣālih al-‘Uśaimin (dan sekaligus pembelaannya atas “berita miring”tentag şaḥābat) dalam Syarḥ al-‘Aqīdah al-Wasiṭiyyah 2 (al-Dammām: Dār IbnJawzi, 1421) h. 292: "ي�ر غ���� ى� ب�� ن� �hي��� ح�ص���ان� ور� ا� Lى� ب� ن� �hي��� ف� و ر� tذ م���ر وق���� رب� خ�� Fوش��� ة هم ش���رف عض���� ة ح�ص���ل م�ن� ب�� ن����� Iك? ا Fولا س����اره كون� ال�كف� ت� ة ال�خذود، ف�� ي� م ف�� ي� ف� Dها ا عض� هم ، ب�� وم وم�خاش�ي� ل ال�ق Dاي� ص� ان��ب� ف�� ى� خ�� موره ف� كون� م�غ� اء ب� ت� Fش� Dه الا ، ل�كن� ك�ل ه�ذ� ح�صان� Iا."

20

melihat sejarah, mulailah dari pembacaan Al-Qur’an.Bukankah sumber paling autentik untuk mengenal Sahabatadalah Al-Qur’an? Begitu ayat-ayat Al-Qur’an berkenaanSahabat ditelaah, seperti yang diungkapkan Fu'ad Jabalidalam Bab Dua bukunya, "para ahli hadis segera menemukanbanyak hal yang mengganggu (h. 68)". Saya akan menyebuthal itu sebagai "kemusykilan sejarah". Perhatikan QS. Al-Muddaśśir/74: 31.

Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat:dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untukjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberial-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambahimannya dan supaya orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang didalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan):"Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatuperumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orangyang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentaraTuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalahperingatan bagi manusia.

Al-Muddaśśir adalah salah satu Surah Al-Qur’an yang turundi Makkah, pada awal keNabīan Muḥammad Saw. Ayat yangdikutip di atas itu menyebutkan empat golongan manusia diMakkah: (1) orang-orang yang diberi al-Kitab; (2) orang-orang mukmin; (3) orang-orang yang di dalam hatinya adapenyakit; dan (4) orang-orang kafir. Ahli Kitab jelas,orang kafir jelas, orang mukmin jelas, lalu siapakahorang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit itu? Menurut al-Fakhr al-Rāzī, "Masalah keenam: Jumhur mufasir berkata

21

bahwa orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit adalah orang-

orang kafir. Al-Husain b. Al-Fadhl al-Bajali berkata: Surah ini merupakan

Surah Makkiyyah. Di Makkah waktu itu belum ada nifaq. Penyakit yangdimaksud dalam ayat ini bukan kemunafikan. Jawabannya:Pendapat para mufasir itu benar. Yang demikian itu karenasudah ada dalam pengetahuan Allah bahwa kemunafikan akanterjadi. Maka Dia memberitakan apa yang akan terjadi.Ayat ini menjadi mukjizat karena ia menyampaikan beritagaib"21.

Al-Fakhr al-Rāzī tampaknya bingung untuk menjelaskanorang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Seperti para ahlitafsir lainnya, dia tidak mau menyebut mereka sebagaikelompok orang munafik lantaran kemunafikan hanya ada diMadinah. Mereka adalah orang kafir. Tetapi kafir sudahada kelompoknya. Dia kemudian kembali lagi pada makna"orang munafik". Karena orang munafik tidak ada diMakkah, ayat itu dia artikan sebagai "ramalan" akandatangnya orang munafik di Madinah.

Apa pun penafsirannya, menurut Al-Qur’an adasebagian dari Sahabat yang tergolong kaum munafik. Bahkansejak Nabī saw berada di Makkah. Ketika Nabī saw diMadinah, Al-Qur’an menceritakan: Di antara orang-orang A'rab

yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara

21 Al-Fakhr al- Rāzī, Tafsir al-Kabīr: Mafātih al-Gaib, 30 (Beirut: Dāral-Kutub al-Ilmiyyah, 2009) h. 182.

22

penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu

(Muḥammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui

mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan

dikembalikan kepada azab yang besar (QS Al-Taubah/9: 101). Al-Qur’an banyak sekali menguraikan perilaku orang munafik.Mereka mencemooh dan mempermainan kaum mukmin, menyakitihati Nabī saw, melarikan diri dari medan pertempuran,mendirikan Masjid al-Ḍirar untuk memecah belah kaumMuslim, dan sebagainya. Ibrāhim 'Ali al-Maṣrīmengumpulkan ayat-ayat tentang kaum munafik dan menemukanbahwa ayat-ayat tersebut hampir berjumlah sepersepuluhbagian Al-Qur’an22.

Ketika 'Umar bin Al-Khațțāb meminta izin Nabī sawuntuk membunuh 'Abd Allah bin Ubayy, Nabī saw bersabda:"Da'hu. La yataḥaddaś al-Nās bi anna Muḥammadan yaqtulu aşḥābah"(Biarkan dia, karena aku tidak ingin orang nantimengatakan bahwa Muḥammad membunuh Sahabat-Sahabat nya)23.

22 Al-Nifāq wa al-Munāfiqūn, dikutip dari Marwan Khalīfat, Raqibtu al-Safinat (Qum: Dairat Ma’arif al-Fiqh al-Islami, 2007) h. .

23 Ṣaḥīḥ al-Bukhāri ma’ Kasyf al-Musykil, “Kitāb Tafsīr Al-Qur’ān”, 3 (Kairo: Dāral-Ḥadīṡ, 1429/2008) h. 517, ḥadīṡ 4905, untuk selanjutnya disebutṢaḥīḥ al-Bukhāri; Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, “Kitāb al-Manāqib, 2, h. 719, ḥadīṡ 3518;Ṣaḥīḥ Muslim, “Kitab al-Birr wa al-Ṣilat wa al-Adab”, Bab Naṣr al-Akh Ẓāliman au Maẓlūman4 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1412/1991) h. 1998, untukselanjutnya disebut sebagai Ṣaḥīḥ Muslim; Al-Imam Abī al-Ḥusain binMuslim alḤajjāj, Al-Jāmi’ al-Ṣahih, 8 (Beirut: Dār al-Fekr, tanpatahun) h. 19; untuk selanjutnya disebut Sahih Muslim tanpa tahun;Abū ‘Īsā Muḥammad bin ‘Isā bin Sūrah, Sunan al-Turmūẓī, “Kitab Tafsīr al-Qurān” 5(Kairo: Dār al-Ḥadīṡ, 2005/1426) h. 253, ḥadīṡ 3315.

23

Nabī saw juga mengatakan dengan redaksi yang hampir samaketika menyampaikan kepada Ḥużaifah bin Al-Yamān namaSahabat yang berusaha untuk membunuhnya (dan gagal).Peristiwa itu disebut Malam 'Aqabah, bukit terjal.

Pada saat Nabī saw pulang dari Tabuk, dia menyuruhpara Sahabatnya menuruni lembah. Dia sendiri mengambiljalan pintas melalui bukit terjal. Nabī saw ditemani olehḤużaifah dan 'Ammar bin Yasir. Dalam kegelapan malam, adasejumlah Sahabat yang menyelinap meninggalkan lembah danmengendap-endap menaiki bukit. Ḥużaifah menggertak danmengusir mereka. Rasūlullāh Saw bersabda, "Tahukah kamu apa

yang diinginkan oleh rombongan itu". Mereka berkata: "Tidak, demi

Allah, ya Rasūlullāh". Dia bersabda, "Mereka melakukan makar

dengan cara berjalan bersamaku. Setelah sampai di jalanan bukit yang

gelap, mereka akan melemparkan aku dari situ". Kata Ḥużaifah dan'Ammār, "Kalau begitu, perintahkan kepada orang banyak agar mereka

ditebas lehernya". Dia bersabda, "Aku tidak ingin orang-orang berkata

Muḥammad membunuh Sahabat-Sahabatnya sendiri”24. Berkenaan

dengan peristiwa Malam 'Aqabah itu, turun QS Al-Taubah/9: 74,

24 Al-Baihaqi, Dalā’il al-Nubuwwah, 5 (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1408/1988) h. 257; Al-Wāqidi, Al-Magāzi, 3, taḥqīq: DrMarsden Jones (Fällanden: ‘Ālam al-Kutub 1404/1984) h. 1043; lihatjuga Al-Wāqidi, Al-Magāzi, tahqiq: Muhammad ‘Abd al-Qādir Ahmad ‘Ata, 2(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1424/2004) h. 419; Jalāl al-Dīnal-Suyūṭi, Al-Durr al-Manśūr, ketika menjelaskan QS Al-Taubah/9:74, 3(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1424/2004) h. 465-466;; Ibn Kaśīr,Tafsir al-Quran al-‘Azīm, 2 (Kairo: Dar al-‘Aqidah, 1429/2008) h. 465-466;Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 3 (Kairo: Dār al-Ḥadīś, 1427/2006) ) h. 20-21.

24

Mereka bermaksud (untuk membunuh Nabī saw), tetapi tidak berhasil

mencapainya”25.

Masihkah kita menyebut Sahabat itu 'udul, meski mereka

bermaksud membunuh Nab saw? Atau bisakah orang-orang yangījelas munafik itu kita golongkan ke dalam kelompok Sahabat? Kita

memiliki dua pilihan: (1) mendefinisikan kembali makna Sahabat;

atau (2) menolak prinsip bahwa semua Sahabat itu 'udul. Jika kita

meredefinisikan ulang makna Sahabat, tentu saja kita tidak

memasukkan orang-orang yang munafik dan/atau berperilaku buruk

dalam kelompok Sahabat. Tidak ada alasan bagi kita untuk

mengikuti atau meneladaninya. Jika kita berpegang teguh pada

definisi Sahabat yang baku di kalangan ahli hadis, kita harus“ ”menolak prinsip ‘ad lat al-Sahabatā . Karena dari kisah-kisah yang

dituturkan Al-Qur an, disebutkan dalam hadis, atau dilaporkan’dalam buku-buku sejarah mengenai Sahabat tidak seindah yang“ ”kita duga.

Bersama Fuad Jabali tentang Sahabat. Pada Bab Dua

dari bukunya26, Jabali mengejutkan kita dengan data yang sangat

25 Lihat Tafsir Al-Bagawī, 4 (Riyāḍ: Dār al-Ṭayyibah, 1409) h. 75;Al-Qurṭūbī, Al-Jāmi’ li Ahkäm Al-Qur’ān, 8 (Beirut: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, 2010) h. 132; Maḥmūd Syukrī al-Alūsī, Rūḥ al-Ma’ānī 10(Beirut: Dār Ihyā al-Turāś al-‘Arabi, tanpa tahun) h. 139; Tafsir al-Durral-Manśūr, 3, h. 465-466

26 Tinjauan Pustaka berkenaan dengan penelitian Fuad Jabali sudahsaya tulis “Şaḥābat Nabi: Kemusykilan Sejarah” sebagai katapengantar untuk Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana(Bandung: Mizan Publika 2010 ). Di sini disampaikan ringkasannya.

25

lengkap, bahwa sebetulnya tidak ada kesepakatan di antara para

ulama terdahulu tentang apa yang dimaksud dengan Sahabat. Ada

dua kubu yang bertentangan; ahli hadis dan Mu tazilah. Ahli hadis’menggelembungkan makna Sahabat sehingga mencakup lebih“ ”

dari 100.000 Sahabat mulai dari yang buta sampai yang melek,–dari orang tua sampai anak kecil, dari yang pernah berjumpa

sekilas sampai pada yang bergaul lama dengan Ras lull h Saw, dariū āyang tidak sampai pada kita ḥadīṡ-ḥadīṡnya sampai padasahabat yang banyak meriwayatkan hadis. Menarik untuk kita

sebutkan bahwa sebagian ahli hadis bahkan turut memasukkan jin

dalam kelompok Sahabat. Hampir-hampir malaikat pun dimasukkan

kalau tidak ada keterangan bahwa malaikat itu tidak mukallaf

(alasan yang tidak relevan) Mu tazilah mengerutkan makna’ “ ”Sahabat hanya pada orang-orang yang tinggal bersama Nab saw.īDengan definisi seperti ini, bukan saja jumlah Sahabat,tetapi juga jumlah hadis akan menurun dengan drastis.Penurunan jumlah hadis adalah masalah besar bagi ahlihadis. Hal penurunan jumlah itu bukanlah masalah buatkaum Mu’tazilah. Para ahli hadis mempertaruhkan definisiSahabat yang luas dan membakukannya untuk menyelamatkanjumlah atau banyak hadis.

Definisi mana yang dipilih adalah hasil konstruksisejarah, yang baru muncul pada abad ketiga Hijriah.Sebagai konstruksi sejarah, definisi itu berkaitan dengan

26

kepentingan politik, atau menurut Crossley dan Karner“tied up with power and hence with the social construction of insiders and

outsiders, of friends and foes”27. Karena itu, definisi Sahabatseperti yang dipilih oleh ahli hadis, dan sekarangJabali, sebenarnya untuk membenarkan dan mendukungpenguasa yang menang dalam pertarungan kekuasaan.

Definisi Sahabat dan ‘adālat al-Sahabat adalah dua konsepyang saling berhubungan. Jika definisi diperluas, parapemain sejarah awal Islam –apa pun perilakunya– mendapattitel kehormatan “Sahabat”. Mereka berhak menyampaikansabda Nabī saw. Supaya hadis Nabī saw itu diasumsikanbenar berasal dari Nabī saw, harus diasumsikan pulakejujuran Sahabat. Para Sahabat yang meriwayatkan hadispada generasi awal Islam adalah mereka yang mendukung dandidukung penguasa. Jika kita menerapkan kriteria Sahabatyang ketat, maka hadis-hadis yang berasal dari Sahabatyang munafik atau terbukti berusaha membunuh Nabī sawakan dibuang.

Jadi, perbedaan pengertian Sahabat dan ‘Adālat al-Sahabat

lahir karena perbedaan aliansi politik. Mengapa orangyang satu memilih kelompok ‘Ali dan yang lainnya memilihkelompok Mu’āwiyah?

27 Crossley and Karner, op cit, h. 4

27

Menurut Jabali, konflik dan aliansi politik di antaraSahabat bukan disebabkan oleh sebaran geografis atausentimen kesukuan. Untuk itu, dia memaparkan bukti-buktinya dalam buku ini. Jabali benar ketika diamenegaskan, “Maka, isu sebenarnya tidak terletak padaloyalitas kesukuan, melainkan pada prestasi keagamaan.Faktor inilah yang memecah Quraisy menjadi: mereka yangterkait erat dengan Nabī dan misinya dan mereka yangmasuk Islam pada saat-saat terakhir”28. Izinkan saya untukmenambahkan setelah akhir kalimat itu, “yang jauh dariNabī saw dan misinya”.

Jadi, kisah Sahabat adalah kisah peperangan antaraorang-orang yang hidup dekat dengan Nabī saw, meyakini,dan melanjutkan misinya dengan orang-orang yang jauh dariNabī saw, tidak meyakini apalagi melanjutkan misalnya.Karena itu, kita melihat bahwa rata-rata (walaupun tidaksemuanya) orang-orang yang masuk Islam sejak awal tentulebih memperoleh peluang dididik oleh Nabī saw dan karenaitu lebih memihak ‘Ali dan kelompok Muslim akhir memilihMu’āwiyah. Perbandingan antara tokoh ‘Ali dan Mu’āwiyahpada Bab Empat menunjukkan dengan jelas prototip darikedua kelompok itu. Menurut Jabali, “dalam pergumulanini, para pemeluk Islam yang masuk Islam lebih awal

28 Jabali, op cit, h. 186

28

kalah” 29. Tesis utamanya ialah konflik di antara Sahabatsebetulnya konflik di antara dua ideologi keagamaan.

Muḥammad Zain: Dekonstruksi Sakralitas Sahabat30.Peneliti lainnya yang berusaha menjadi pecinta kritissahabat adalah Muḥammad Zain. Ia meneliti motif-motifsekular di balik hadis yang diriwayatkan oleh mereka.penelitian ini membuka wawasan kita terhadap kepentinganpribadi di balik fatwa sahabat. Karena itu, bukan sajaterbuka –dan harus dibuka- kemungkinan bersikap kritisterhadap hadis-hadis sahabat tetapi juga pada pendapatsahabat yang bisa jadi dinisbahkan atau tidak dinisbahkankepada Nabī saw. Di bawah ini saya kutip sebagian darikesimpulan penelitian Muḥammad Zain:

Jadi, dukungan dan koalisi politik Sahabatdimotivasi oleh beberapa faktor, yakni: (a)adanya hubungan kekerabatan; (b) bisa juga karenafaktor kepentingan (interest) politik Sahabat yangbersangkutan; atau (c) karena faktor karismaseorang Sahabat. Ini jelas sangat berseberangandengan pemahaman sebagian ulama.

Dengan mempertimbangkan latar belakang kehidupanindividu dan perilaku Sahabat, baik perilakukeagamaan, politik, seks maupun aktivitaskeseharian mereka, dengan sendirinya kaidah-kaidah al-Jarḥ wa al-Ta'dīl bukan hanya berhenti untuk

29 ibid, h. 18430 Muḥammad Zain, Dekonstruksi Sakralitas Şaḥābat. Disertasi doktor

disampaikan di UIN Kalijaga, 27 Juli 2007. Lulus dengan predikat cumlaude.

29

kalangan tabi’īn, melainkan juga Sahabat. Kaidahal-Jarḥ wa al-Ta'dīl mesti diterapkan pada tabaqat al-sahabat, sebab para Sahabat ternyata bukan hanyakapasitas intelektualnya yang “bermasalah”,melainkan juga kualitas pribadinya yang“terganggu”.

Dari penelitian ini juga ditemukan banyakperistiwa yang kelihatannya sangat mengganggukredibilitas Sahabat dan posisi mereka sebagai“khair ummatin” (umat yang terbaik). Hemat penulis,sejumlah peristiwa tersebut mestinya dilihatbukan hanya pada dataran moralitas, melainkanlebih dari itu. Peristiwa-peristiwa yangkelihatannya menyimpang harus dilihat dalamhorizon yang lebih komprehensif. Sejarah sosialSahabat mestinya dilihat sebagai sebuah prosesyang panjang untuk membangun masyarakat yanglebih baik (ideal). Masyarakat Sahabat mestidilihat sebagai sebuah komunitas yang sedangberproses untuk “menjadi” (becoming). Bagaimanapunbobroknya perilaku Sahabat, tetap saja dalam dirimereka ada upaya dan komitmen untuk memperbaikidiri menjadi komunitas yang lebih baik.

D. Tujuan Penelitian

Dengan latar-belakang studi kepustakaan di atas, danmengingat masalah-masalah yang dirumuskan padapendahuluan, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menunjukkan perlakuan para ulama pada sunnahsahabat: meletakkannya sejajar, berlawanan, ataumenggantikan sunnah nabawiah.

2. Menggambarkan latar belakang teologis yangmendasari interaksi dua aliran besar sahabat Nabī

30

saw: yang hanya mendukung Sunnah Nabi saw dan yang– di samping mengikuti sunnah Nabi saw jugamemperkuat sunnah Sahabat.

3. Melacak perbedaan ideologis yang esensial diantara kedua aliran ini dan meneliti secarahistoris pertarungan di antara keduanya.

4. Menceritakan upaya-upaya kelompok sunnah sahabatuntuk menghilangkan argumentasi kelompok yangmempertahankan sunnah Rasūlullāh saw

E. Organisasi Penulisan

Bab I membicarakan hal-hal yang berkaitan denganmasalah penelitian. Pada Bab ini juga diuraikan tigapendekatan historiografi awal Islam secara singkat:descriptive approach, source-critical approach, tradition critical approach,

dan skeptical approach. Di sini juga dianalisis secara kritisbeberapa penelitian terdahulu dengan melihat pendekatanyang dipergunakan.

Bab II mengemukakan kritik pada metode al-jarḥ waal-ta'dīl. Di sini dikemukakan bukti-bukti kesulitanuntuk menentukan kredibilitas sumber dengan berpegangpada pernyataan-pernyataan ahli al-jarḥ wa al-ta’dīl.Penelitian ini melengkapi dan sekaligus menutupikelemahan metode al-jarḥ dengan metode historis. Bab ini

31

ditutup dengan contoh penggunaan metode historis dalammenentukan hadis mana di antara dua kelompok hadis –memerintahkan dan melarang penulisan hadis- yang secarahistoris dapat dipertanggungjawabkan.

Bab III menampilkan sunnah Sahabat dengan contohkasus-kasus yang terjadi pasca Rasūlullāh saw sepertiyang dilakukan oleh Al-Syaikhain Abū Bakr dan ‘Umar sertasahabat lainnya seperti ‘Aisyah. Di sini diuraikan jugateori-teori yang dikemukakan oleh para ulama untukmengatasi persoalan sunnah Sahabat yang jelas-jelasberlawanan dengan sunnah Nabī saw

Bab IV melacak asal-usul sunnah Sahabat padasekelompok sahabat Nabī saw yang mempunyai pandangankhusus pada beberapa konsep kenabīan: teori ‘işmahparsial, teori ijtihad Nabī saw, teori marja’iyyahsahabat.

Bab V melanjutkan Bab IV dengan melacak perbedaan diantara kedua aliran sahabat itu pada pandangan merekatentang wasiat. Kelompok yang kelak melahirkan sunnahSahabat adalah kelompok yang percaya bahwa Nabī saw tidakberwasiat. Kelompok yang menolak sunnah Sahabat berasaldari aliran yang percaya bahwa Nabī saw berwasiat.Manakah di antara kedua kelompok ini yang mempunyaibukti-bukti sejarah yang kuat.

32

Bab VI menjelaskan upaya pemegang kekuasaan untukmenghilangkan bukti-bukti wasiat Nabī saw. Bab VIImenyimpulkan asal-usul sunnah Sahabat dalam bentuknaratif dan menambahkan rekomendasi penelitianselanjutnya yang berkaitan dengan sunnah sahabat.