Makalah Ahlu Sunnah wal Jamaah History and Development

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pada perkembangannya agama ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari wilayah yang tandus dengan kejahilan yang dilakukan oleh para orang kafir Quraisy, agama Islam datang dengan kesejukan oase tauhid, meskipun pada awalnya dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mengalami hal yang menyakitkan mulai dari dakwah yang ditentang oleh kedua pamannya yaitu Abu Jahal dan Abu Lahab. Tetapi demi memantapkan Dakwah tauhid, Nabi SAW tidak putus asa, beliau melakukan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi dahulu dengan sasaran dakwah keluarga Nabi SAW, pada perkembangan berikutnya dakwah Nabi SAW dilakukan dengan terbuka kepada masyarakat Makkah pada umunya, tetapi kenyataan yang didapatkan Nabi SAW adalah penolakan dari masyarakat Makkah, lalu Nabi pun hijrah ke berbagai daerah, dan singkatnya hijrah Nabi ini diterima di kota Yastrib, disana Nabi diterima dengan baik, dan masyarakat Yastrib yang membantu Nabi SAW, dikenal dengan kaum Ansor, sedangkan umat Nabi SAW, yang dibawa dari Makkah diberi nama kaum Muhajirin, pada perkembangan selanjutnya kota Yastrib diberi nama kota Madinah. Di kota Madinah Nabi SAW membentuk sistem pemerintahan, pendidikan serta dakwah yang dilakukan terus menerus di kota sekitar Madinah, sehingga membuat kaum kafir Quraisy menjadi benci dan marah sehingga terjadilah penyerangan-penyerangan yang dilakukan kaum Quraisy, tetapi Allah tetap menolong Nabi SAW dan umatnya. Pada waktu yang ditentukan Nabi dan para umat Islam dapat menaklukan kota Makkah, yang dikuasai oleh kaum Quraisy dengan cara menaklukan secara damai, ketika waktu yang ditentukan Allah untuk kewafatan Nabi SAW, umat Islam sangat merasa kehilangan hal ini dikarenakan manusia yang mereka cintai meninggal dunia, setelah wafatnya Nabi SAW, masyarakat Islam bimbang ketika menentukan siapa yang berhak menjadi pengganti Nabi menjadi kepala negara, setelah melakukan musyawarah para shohabat Nabi menentukan bahwa Abu Bakar 1

Transcript of Makalah Ahlu Sunnah wal Jamaah History and Development

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pada

perkembangannya agama ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan,

dari wilayah yang tandus dengan kejahilan yang dilakukan oleh para orang kafir

Quraisy, agama Islam datang dengan kesejukan oase tauhid, meskipun pada

awalnya dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mengalami hal yang

menyakitkan mulai dari dakwah yang ditentang oleh kedua pamannya yaitu Abu

Jahal dan Abu Lahab. Tetapi demi memantapkan Dakwah tauhid, Nabi SAW tidak

putus asa, beliau melakukan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi dahulu dengan

sasaran dakwah keluarga Nabi SAW, pada perkembangan berikutnya dakwah Nabi

SAW dilakukan dengan terbuka kepada masyarakat Makkah pada umunya, tetapi

kenyataan yang didapatkan Nabi SAW adalah penolakan dari masyarakat Makkah,

lalu Nabi pun hijrah ke berbagai daerah, dan singkatnya hijrah Nabi ini diterima di

kota Yastrib, disana Nabi diterima dengan baik, dan masyarakat Yastrib yang

membantu Nabi SAW, dikenal dengan kaum Ansor, sedangkan umat Nabi SAW,

yang dibawa dari Makkah diberi nama kaum Muhajirin, pada perkembangan

selanjutnya kota Yastrib diberi nama kota Madinah. Di kota Madinah Nabi SAW

membentuk sistem pemerintahan, pendidikan serta dakwah yang dilakukan terus

menerus di kota sekitar Madinah, sehingga membuat kaum kafir Quraisy menjadi

benci dan marah sehingga terjadilah penyerangan-penyerangan yang dilakukan

kaum Quraisy, tetapi Allah tetap menolong Nabi SAW dan umatnya.

Pada waktu yang ditentukan Nabi dan para umat Islam dapat menaklukan

kota Makkah, yang dikuasai oleh kaum Quraisy dengan cara menaklukan secara

damai, ketika waktu yang ditentukan Allah untuk kewafatan Nabi SAW, umat Islam

sangat merasa kehilangan hal ini dikarenakan manusia yang mereka cintai

meninggal dunia, setelah wafatnya Nabi SAW, masyarakat Islam bimbang ketika

menentukan siapa yang berhak menjadi pengganti Nabi menjadi kepala negara,

setelah melakukan musyawarah para shohabat Nabi menentukan bahwa Abu Bakar

1

yang berhak menjadi kepala negara, pada saat itu banyak sekali umat Islam yang

menjadi murtad atau keluar dari Islam, hal itu membuat Abu Bakar memerangi

mereka yang murtad. Bahkan ada pula seorang yang mengaku sebagai Nabi

bernama Musailamah. Namun, karena kuatnya umat Islam pada masa itu, akhirnya

berhasil ditumpas.

Setelah kematian Abu Bakar, Shahabat Nabi mengangkat Umar Ibn khattab

menjadi kepala negara di tangan Umar Ibn Khattab, umat muslim berhasil merebut

Baitul Maqdis atau Masjid Al Aqhsa. Umat Islam menjadi lebih makmur ketika

masa pemerintahan khalifah Usman Ibn Affan yang mendirikan berbagai sistem

pertanian dan juga keuangan yang baik, tetapi hal tersebut menjadi bumerang ketika

banyak sanak saudara Usman Ibn Affan menjadi pemuka, kecemburan itu menjadi

puncaknya ketika ada terjadi pembunuhan yang menimpa khalifah Usman. Ali ibn

Abi Thalib pun diangkat menjadi khalifah. Khalifah Ali dituntut mencari siapa

pembunuh Usman ibn Affan, karena pergolakan politik yang hebat dan fitnah yang

terjadi pada masa Ali ibn Abi Thalib, terjadilah kekacauan karena Muawiyah Ibn

Abi Sufyan juga mengangakat dirinya menjadi khalifah, dan Ali pun menyerahkan

kepemimpinan kepada Muawiyah, para pendukung setia Khalifah Ali pun membuat

kelompok yang dinamakan syi’ah sedangkan kelompok yang tidak puas dengan Ali

maupun Muawiyah mendirikan sekte sendiri yang dinamakan Khawarij.

Pergolakan politik dan fitnah itu pun melebar menjadi persoalan aqidah dengan

muculnya berbagai aliran atau sekte-sekte pemikiran dalam Islam.

Lalu, dalam perkembangan selanjutnya mulailah bermunculan sekte – sekte

seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah. Mereka sama – sama

memiliki dasar dan pedoman yang sama dalam pendirian sektenya, yaitu berupa Al-

Qur’an dan Hadits. Lalu, di era kemunduran Mu’tazilah mulailah timbul gagasan

untuk mengambil jalan moderat oleh seorang mantan Mu’tazilah bernama Abu

Hasan Al Asy’ari yang memantapkan ajarannya yang masyhur dengan nama Ahlu

Sunnah wal Jamaah. Dalam perkembangan saat ini pun banyak sekte yang mengaku

sebagai aliran Islam yang sebenarnya atau banyak yang mengaku sebagai pengikut

2

setia ajaran Islam dan Sunnah Nabi SAW. Dan Siapakah disini yang disebut kaum

ahlusunnah wal jamaah, berdasarkan hadis:

“…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di

antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu

Dawud)

Maka makalah ini berusaha untuk menerangkan tentang siapakah

Ahlusunnah Wal Jamaah, siapa saja tokoh-tokohnya, dan segala sesuatu yang

berkenaan dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah wal Jamaah ?

1.2.2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah wal Jamaah ?

1.2.3. Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah?

1.2.4. Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah?

1.3. Tujuan

1.3.1. Untuk mengetahui Apa dan Siapakah Ahlusunnah Wal Jamaah

1.3.2. Untuk mengetahui Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah

wal Jamaah

1.3.3. Untuk mengetahui . Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah

1.3.4. Untuk mengetahui Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah itu

Secara etimologis, ada tiga kata untuk mengetahui ta’rif Ahl al-Sunnah wa

al-Jama’ah. Pertama, Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran1 atau pengikut

madhhab.2 Untuk arti tersebut, kata Ahl berfungsi sebagai badal nisbah, karena

dikaitkan dengan kata al-Sunnah yang berarti orang-orang yang berfaham Sunni(al-

Sunniyah).3 Kedua, kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-Hadith (ucapan,

cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-Sirah (sejarah) dan al-Tariqah (jalan,

cerita, metode), al-Tabi’ah (kebiasaan), dan al-shari’ah (syariat).4 Dari situ, maka

al-Sunnah bisa diartikan sebagai jalan nabi dan para shohabat (generasi salaf al-

salih). Ketiga, kata al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan.5

Kata ini biasanya diidentikkan dengan penerimaan terhadap Ijma’ al-Shahabah

(consensus sahabat nabi) yang diakui sebagai salah satu sumber hukum, sehingga

bila kata ini dikaitkan dengan dengan madhab-madhab dalam Islam, maka ia

mengacu kepada arti kelompok Sunni. Hal itu karena kata al-Jamaah belum dikenal

dikalangan orang-orang Khawarij ataupun Rafidah (Shi’ah). Akan halnya untuk

kaum Mu’tazilah, karena mereka tidak menerima Ijma’ sebagai suatu sumber

hukum.6

Al Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk

kata al-Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi pengertian popular

tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an memang terdapat kata al-Sunnah di

banyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan

Allah bagi pola hidup manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Demikian

halnya dengan kata al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam al-Qur’an sekalipun memang

1 Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muklit (Beirut :Muassasah al-Risalah, 1987), 1245 2 Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, Vol.I (t.t.: Mujma’ al-Lughah, t.th), 31. 3 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol.IV (Beirut: Dar al-Kitab al ‘Arabi, 1953), 96. 4 Ibid 5 Ibrahim Anis, Op.Cit., 135. 6 Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah (Surabaya : Khalista, 2010), 32.

4

bayak kata derivasinya, seperti jami’an, yajma’un, jami’un, dan lain-lain dengan

pengertian yang beragam.7

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah8 golongan mayoritas umat Muhammad.

The nearest equivalent is the phrase Ahl As-Sunna wa-l-Jama’a, ‘the people of

Sunna and the community.9 Yaitu orang-orang yang menjalankan Sunnah dan

berkelompok. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka

dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah

shallallahu ‘alayhi wasallam: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat

lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh

pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi

mengatakan hadits hasan shahih). Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah

Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan

al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) –semoga Allah

meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini

para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan

dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional)

disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang

dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah

dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya.

Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para

pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang

ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama

dan satu. Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6,

mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang

dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta

ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i,

para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang

7 Ibid. 8 Darul Fatwa, Aqidah Ahlusunnah wal jamaah. (Bekasi : Syamamah Press, 2003). Hlm. 25 9 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1992). Hlm. 59

5

utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah

shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya tidak

akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka.

Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena pendapat mereka berpijak

pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari Rasulullah.

Kelompok ini disebut juga kelompok ahli hadits dan ahli fiqih karena merekalah

pendukung-pendukung dari aliran ini. Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai

dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasiah dimana kelompok Mu'tazilah

berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai untuk setiap

manusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan nama Mu'tazilah dipakai

untuk siapa yang berpegang pada lmu kalam (theologische dialektik), logika dan

rasio.10

Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah

wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam

Asy'ariy dan Imam Maturidi.11 Pendapat-pendapat mereka :

- Hukum Islam di dasarkan atas Al-Quran dan al-Hadits

- Mengakui Ijmak dan Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam

- Menetapkan adanya sifat-sifat Allah

- Al-Quran adalah Qodim bukan hadits

- Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir

Jadi dari berbagai pendapat dan sumber ini dapat diambil benang merah

bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah Umat Islam yang

mengamalkan Sunnah-sunnah Rasul dan merupakan kelompok mayoritas dalam

umat Islam, serta mereka merupakan kelompok moderat yang tidak hanya terpaku

pada rasio seperti halnya Kaum Mu’tazilah, dan juga tidak terlalu Fatality seperti

10 Dr. Fuad. MF, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, hal :105 11 KH. Muhyiddin Abdushshomad, Fiqih Tradisionalis, hal 14

6

Jabariyah, namun menempatkan wahyu sebagai sumber utama dan landasan

berpikir serta menjadikan ra’yi atau akal pikiran untuk menguatkan wahyu.

Dari berbagai sumber Ahlu Sunnah berjamaah dikelompokkan menjadi dua

golongan yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah golongan Asy’ariyyah dan Ahlu Sunnah

golongan Maturidiyah. Berikut ini adalah kedua golongan dalam faham Ahlu

Sunnah wal Jamaah

2.1.1 Ahlusunnah Golongan Asy’ariyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul

Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi

Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi

Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw.

Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian

ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan

pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada

tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih

madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari

Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah. Setelah ayahnya meninggal,

ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar

Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam

sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi

senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah. Al-Asy’ari yang

semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab

yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah

mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar

dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan

antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah

(kemaslahatan). Para ahli sepakat bahwa Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah

tepat pada bulan Ramadhan tahun 280 H. / 912 atau 300 H. / 915 saat usianya

7

menginjak 40 tahun.12 Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan

tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku

kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham

Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal

sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya

selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia

menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk;

Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia

sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia

mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya

harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-

keburukan dan kelemahan-kelemahanya".13

Murid-Murid Al-Asy’ari :

1. Al-Imam ibn Mujahid (w. 370 H/980 M)

2. Al-Imam Abu Zaid al-Mawarzi (301-371 H/913-982 M)

3. Al-Imam Ibn al-Dhabbi (276-371 H/890-982 M)

4. Al-Hafizh Abu Bakar al-Ismaili (277-371 H/890-982 M)

5. Al-Imam Abu al-Hasan al-Bahilli

6. Ai-Imam Bundar al-Syrazi al-Sufhi (w. 353H/964 M)

7. Al-Imam Ali bin Mahdi al-Thabari

2.1.2. Ahlusunnah Golongan Maturidiyah

Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M.

Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud

Al-Maturidi.14 Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia

hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di Basrah. Asy’ary adalah

pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy. Karena itu

kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Syafiiyyah, sedang

12 Alumni Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadien, Aliran-aliran Teologi Islam, hal. 229 13 Hanafi Ahmad: "Teologi Islam (Ilmu Kalam)", hal 65-77,2001, Penerbit Bulan Bintang 14 Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998,) hlm. 189.

8

pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah.15 Maturidiyah

muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran Mu’tazilah. Reaksi ini timbul

karena adanya perbedaan pendapat antara aliran Mu’tazilah dan aliran

Maturidiyah diantaranya, yaitu :16 Maturidiyah berpendapat bahwa

kewajiban megenai Allah mungkin dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini,

Maturidiyah tidak menggunakan tern wajib seperti yang digunakan oleh

Mu’tazilah. Sementara Asy’ariyyah berpendapat kewajiban mengetahui

‘tidak mungkin’ melalui akal. berdasarkan prinsip pendiri aliran

Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan

penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam

menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat

yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan

jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan

pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak

mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah

adalah lebih selamat.17

Aliran Maturidiyah terbagi lagi menjadi dua, yaitu :

2.1.2.1.Aliran Samarkand

Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-Maturidi

sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham Mu’tazilah,

sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan, Maturidi dan

Asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut Maturidi, Tuhan

mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya,

melainkan dengan pengetahuannya.

Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui

perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan

Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-

15 Ahmad Hanafi, Theology Islam, Bulan Bintang : Jakarta, 1996, hlm. 70. 16 Suryan A.Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Program Pascasarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P,

Pekanbaru : 2007, hlm. 144. 17 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003), h. 212

9

perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, Maturidi berpaham

Qadariyah. Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain

Maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang

mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Aliran Maturidi juga

sepaham dengan Mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa

janji dan ancaman Tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah

antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan

wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran al-qur’an. Mesti

diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang

dengan pendapat Asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang

menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi

interpretasi (ditakwilkan).

2.1.2.2. Aliran Bukhara

Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr

Muhammad Al-Bazdawi. “Abu-l-Yusf al-Pzdawi (c.1030-1100)

belonged to a family of scholars, his great-grandfather having been

a pupil of Al-Maturidi. He probably spent most of his life in

Bukhara, but was qadi of Samarqand for a period round about 1088.

In his book, Usul ad-din, ‘the principles of religion’, he discusses 96

points of doctrine, giving the Hanafite-Maturidite position on each,

and then divergent views and refustations of these. The views are

those of Mu’tazilities and other theologians of the ‘classical’ period

prior to al-Ash’ari, together with those of Al-Ash’ari himself, the

Ash’arites, the Karramites and the ‘philosophers’. In the case of

these three groups no individual names are mentioned. It is

oteworthy that the ‘philosophers’ are mentioned and argured

against, but al-Ghazali would doubtless have found the arguments

unsatisfactory. A pupil of his, Najm-Ad-Din Abu Hafs an-Nasafi

(1068-1142) , composed a short creed, Al-‘Aqaid, which has been

10

the subject of many commentaries and supercommentaries.18 Dia

merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik

dalam pemikirannya. Buyut Al-Bazdawi menjadi salah satu murid

Maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran

aturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah

pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah,

yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat

Al-asy’ary.

Namun walaupun sebagai aliranMmaturidiyah. Al-Bazdawi

tidak selamanya sepaham dengan Maturidi. Ajaran-ajaran

teologinya banyak dianut oleh sebagian umat Islam yang bermazhab

Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran Maturidiya sampai sekarang

masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.

2.2. Tahapan-tahapan perkembangan faham Ahlu Sunnah wal Jamaah

Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, istilah Aswaja

sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu

atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal

Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.

Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:

إن بني إسرائیل تفترق على ثنتین وسبعین ملة وستفترق أمتي على ثالث وسبعین

ملة كلھم في النار إال ملة واحدة، قالوا من ھي یارسول هللا: قال ما انا علیھ

وأصحابي

Artinya : Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan

terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan

dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya

18 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1992). Hlm. 105

11

: Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu

golongan dimana Aku dan Shahabatku berada. Mengenai tahapan-tahapan

aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah, bila kita tinjau dari periodisasinya, maka

dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode Proto Sunnisme,

Konsolidasi Sunnisme, dan Pelembagaan Sunnisme.

2.2.1. Proto Sunnisme19 :

Ditengah-tengah polarisasi dan pertentangan antarkelompok

itu, terdapat sejumlah sahabat nabi yang mencoba menghindarkan diri

dan kemudian melakukan gerakan-gerakan kultural dan menekuni

bidang keilmuan dan keagamaan. Mereka Antara lain adalah Umar bin

Abbas, Ibnu Mas’ud, Dan Lain-lain. Kegiatan serupa juga

dikembangkan oleh generasi tabi’in yang dipelopori oleh Hasan Al-

Basri (w. 110/728 H) bersama para tabi’in lainnya. Arus baru inilah

yang oleh para peneliti disebut Proto Sunnism20 atau yang oleh

Marshall G.S. Hodgson disebut Jama’I e Sunni.21

Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok

muhaddithun (para ahli hadits), fuqaha, dan mufassirun. Termasuk di

dalam kelompok ini adalah empat imam madhab, yakni Abu Hanifah,

Malik bin Annas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Ahmad bin

Muhammad bin Hambal. Mereka menghasilkan banyak sekali karya.

Selain pada spesialisasi mereka, masin-masing juga menulis ‘Ilm

Kalam´ untuk memberikan sanggahan argumentative terhadap

pendapat-pendapat yang dinilai memiliki kecenderungan mengabaikan

sunnah Nabi dan para sahabat dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-

Qur’an mengenai persoalan-persoalan pokok agama (al-Usul al-Din).

Golongan yang mengikuti pola inila yang kemudian dikenal dengan

sebutan Ahlu Sunnah.

19 Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah (Surabaya : Khalista, 2010), 44. 20 Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early ‘Abbasids : The Emergence of the Proto-Sunni Elite (Leiden :Brill Academic Publisher, incorporated, t.t). 21 Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1 (Chicago: chicago University Press, 1971), 267-268

12

Secara metodologis, keberadaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah

dalam pengertian Proto Sunnisme dipertegas oleh Ahmad bin Hambal

yang memiliki kredibilitas sebagai Ahlul Hadith lawan dari Ahlul

Kalam. Ia dianggap mempresentasikan sebuah gerakan pemikiran baru

yang disinyalir merupakan gabungan dari berbagai kelompok besar

maupun kecil pada abad ke-2 sampai abad ke-4 Hijriyah. Paradigma

Ahlu Sunnah wal Jama’ah era ini adalah taqdim al-Nass ‘ala al-‘Aql

(mendahulukan nass dari pada akal). Mereka lebih berpegang kepada

yang ma’thur (tekstual) daripada yang ma’qul´(rasional) ;

mendahulukan riwayah (eksistensi, keberadaan teks) daripada dirayah

(substansi, kandungan teks); mengutamakan dalil nass (Al-naql)

daripada nalar (al-‘aql), dan ememahami nass secara zahir (eksplisit)

saja. Demikian, Ahlu Sunnah wal Jamaah sebelum abad ke-5 Hijriyah

masih tertuju atau identic pada Ahlul Hadits.22

Sepanjang abad ke-4 sampai ke-5 Hijriyah, Ahlu Sunnah wal

Jamaah adalah suatu komuitas Muslim yang secara ekstrem anti Syiah

dan menjadi kelompok oposisi terhadap Bani ‘Abbasiyah pendukung

faham Qadiriyah-Mu’tazilah dan Bani Buwaih yang berfaham Syi’ah.

Pada era itu, kelompok Sunni ahlul Hadits ini mengadakan perlawanan

bersenjata anti Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mutakallimun (para teolog),

termasuk Al Ash’ari dan Asy’ariyah.23

Sekilas, bila kita amati, terjadi keganjilan pada peristiwa ini

yaitu terjadinya pergolakan Antara pendukung Imam Ahmad bin

Hambal dengan para pendukung Asy’ariyah. Padahal, dalam

perkembangan selanjutnya kedua kelompok ini diidentifikasikan

sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah.Ironinya, pada masa itu,

kedua belah pihak itu sampai saling mengkafirkan. 24 Hal ini terjadi

karena kehadiran Al Asy’ari diwarnai dengan upaya rasionalisasi

22 Achmad Muhibbin Zuhri, Op.Cit. hlm. 46. 23 Ibid. hlm. 47 24 Syafiq A. Mughi, Hanbali Movement from al-Barbahari to Abu Ja’far al Hashimi (California : Disertasi P. hd., University of California, 1992), 95

13

terhadap teologi Sunni yang sebelumnya diwakili oleh ahli ahlul Hadits.

Kritiknya terhadap kalangan Hanabilah sebagai “bodoh” –karena

mereka agak fanatik dan tidak mau menggunakan ta’wil (interpretasi),25

membuat mereka marah, dan terjadilah ketegangan.

Di pihak pemikiran teologi Asy’ariyah memang memiliki

banyak pendukung. Teologi Asy’ariyah mengalamai penyempurnaan

oleh Al-Maturidi, Al-Baqilani, dan Al-Juwayni atau Imam Haramain.

Akan tetapi, kelompok ini tidak cukup kuat untuk bertahan ketika harus

menghadapi arus besar Hanabilah yang pada waktu itu didukung oleh

kekuatan penguasa khalifah Al-Qa’im selama paruh pertama abad ke-5

Hijriyah. Teologi Asy’ari dan Al-Maturidi baru mengalami

perkembangannya pada masa Al-Ghazali pada akhir abad ke-5 Hijriyah,

karena mendapat dukungan tidak langsung dari wazir Nizamul Muluk.

2.2.2. Konsolidasi Sunnisme

Dalam wilayah teologi, Ahlu Sunnah wal Jamaah telah

menemukan bentuknya yang lebuh sempurna oleh hadirnya Abu Hasan

Al-Asy’ari. Ahlusunah wal Jamaah pasca Asy’ari ini telah mengalamai

rasionalisasi dari pola pemahaman para Ahlul Hadits. Mengapa bisa

dikatakan sempurna karena saat itu Aliran ini mampu menjawab

persoalah teologis yang sedang berkembang. Masdar Farid Mas’udi

menyebit masa ini sebagai “masa konsolidasi doktrin Sunisme”.26 Corak

moderat di dalam menyikapi persoalan-persoalan teologi, kemudian

dijadikan acuan pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah berikutnya. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa Ahlu Sunah wal Jamaah sebagai

symbol sosial keagamaan baru dapat terkonsolidasi pada masa Al-

Asy’ari.

Meskipun teologi Asy’ariyah dibangun dari rasionalisasi pola

tekstual kaum Ahlul Hadits, namun ia tetap menyatakan posisinya

25 Mahmudah Gharabah, Abu Hasan al-Ash’ari (Kairo: Majma’ Buhuth al-Islamiyyah, 1973), 76-80 26 Masdar Farid Mas’udi, “ NU&Teologi Asy’ari, Kajian Melalui al-Ibanah an Ushul al-Diniyah”, dalam Pesantren, No.4, Vol. III (Jakarta: P3M, 1996), 87.

14

sebagai pelanjut tradisi Ahlu Sunnah wal Jamaah Ahmad bin Hambal.

Secara tegas, Al-Asy;ari menulis dalam kiabnya al-Ibanah ‘an Usul al-

Diniyyah:

Ajaran dan keyakinan Agama yang kami anut adalah sebagai

berikut : berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

Muhammad, serta ajaran para shabat, tabi’in, dan apra ahli hadits.

Semua hal itu kami pegangi dan kami jadikan sandaran, termasuk

ajaran-ajaran yang disampaikan Abu Abdullah Ahmad bin

Muhammad bin Hanbal. Semoga Allah meberkatina…27

Pernyataan al Asy’ari tersebut menunjukkan posisi

pandangan teologisnya untuk memoderasi pandangan orthodox Ahlul

Hadits dan pandangan rasionalis Mu’tazilah. Di satu sisi Al-Asy’ari

ingin tetap mempertahankan pijakan kakinya pada Ahlu Sunnah wal

Jamaah dalam kerangka Ahlul Haditsm sementara itu di sisi lain ia ingin

melangkah ke kalam rasionalis Mu’tazilah.

2.2.3. Pelembagaan Sunnisme

Perkembangan Ahlu Sunah wal Jamaah berikutnya ditandai

dengan mulai terjalinnya hhubungan simbiosis mutualisme antar tokoh

faham Aswaja dengan para penguasa. Jika pada masa Asy’ari mereka

selalu beroposisi terhadap penguasa, maka tidak demikian dengan

keberadaan Ahlu Sunnah wal Jamaah di era berikutnya. Ahlu Sunnah

wal Jamaah mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Terutama pada

masa pemerintahan Al-Qadir (w.422 H/1031 M) dari Dinasti

‘Abbasiyah sebagai faham resmi negara. 28 Penegasan ini tertuang

dalam Maklumat atau Deklarasi Al-Qadir (al-Qadir creed29 ).

Fenomena ini sangat penting dalam perkembangan Ahlu

Sunnah wal Jamaah, karena diskursus Ahlu Sunnah wal Jama’ah

27 Abu Hasan Ali Al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Dinniyah (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), 8-9. 28 Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah (Surabaya : Khalista, 2010), 49. 29 George Makdisi, “The Sunni Revival”, dalam Islamic Civilization 950-1150 (Papers on Islamic History III), ed. D.H. Richards (Oxford: Cassirer – The Near East Center University of Pennsylvania, 1973), 164.

15

menjadi lebih komprehensif. Jika sebelumnya Ahlu Sunnah wal Jamaah

selalu identik dengan teologi, aqidah, atau Kalam, maka berikutnya

berkembang di wilayah fiqh, tasawuf, dan bidang sosial-politik.

Pelembangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam berbagai bidang itu,

tidak bisa dinafikan dari peran dkungan penguasa.

Pada masa kekhalifahan Al-Qadir, telah terjadi pelembagaan

Ahlu Sunnah wal Jama’ah di bidang Fiqh, yakni melalui pengakuan

terhadapterhadap empat madhab (Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i).

Kemungkinan besar pengakuan Al-Qadir terhadap empat madhab itu

disebabkan saat itu madhab-madhab lainnya tidak lagi actual

dikarenakan tidak adanya dukungan luas di kalangan umat Islam.

Al-Qadir pernah meminta kepada empat orang ulama

mewakili empat madhab untuk menyusun pokok-pokok pemikiran

hukum madhabnya masing-masing. Karya al-Mawrdi yang mewakili

madhab Syafi’I pada saat itu memperoleh penghargaan sebagai karya

terbaik, hingga megantarkannya untuk menduduki jabatan Qadi al-

Quddat(hakim agung) dalam pemerintahan Al-Qadir.30

Dengan demikian, karena kekhalifahan Al-Qadir hanya

mengakui empat madhab di bidang fiqh, sementara ia sendiri

menyatakan Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagai faham resmi negaranya,

maka terjadilah pelembagaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah di bidang fiqh.

Pelembagaan dalam artian Ahlu Sunnah wal Jamaah di bidang fiqh

adalah mengikuti empat madhab, sehingga dapat dimaklumi jika pada

perkembangan selanjutnya sampai saat ini, terjadi penisbatan Ahlu

Sunnah wal Jamaah di bidang fiqh terhadap empat madhab.

30 Qamaruddin Khan, Almawardi’s Theory of The State (Lahore: Ba’zam-I Iqbal, t.t.), 1.

16

2.3. Pemikiran dan Doktin-doktrin Ahlu Sunnah wal Jamaah

Dalam pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah sebenarnya lebih

didominasi oleh pemikiran Asy’ariay dikarenakan pemikiran al-

Maturidiyah sebagian besar menyempurnakan pemikiran Asy’ariyah.

Namun, walaupun demikian, ada perbedaan di Antara keduanya. Berikut

adalah pemikiran Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah :

2.3.1. Pemikiran atau Doktrin Aliran Asy’ariyah31:

2.3.1.1. Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan yang sesuai dengan Zat Tuhan

sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Tuhan

mendengar, tidak seperti kita mendengar dan seterusnya.

2.3.1.2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)

Al-Asy’ari menyatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan

sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.

2.3.1.3. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah

mengutamakan akal. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk

harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan

pada akal.

2.3.1.4. Qodimnya Al-quran

Al-Asy’ari mengatakan bahwa al quran terdiri atas kata-kata, huruf

dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan

karenanyatidak qadim.

2.3.1.5. Melihat Allah

Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak

dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala

Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia

menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

31 Rosihon Ahmad. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2012). hal 147-150

17

2.3.1.6. Keadilan

Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia

adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa

Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki

dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik

mutlak.

2.3.1.7. Kedudukan orang yang berdosa

Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa adalah

mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa

selain kufr.

Bila kita cermati, pemikiran Asy’ariah ini memang moderat (tawassut)

jika dibandingkan Mu’tazilah yang lebih mengutamakan rasio dan para

ahlul Hadits (golongan Ahmad bin Hanbal) yang mengutamakan tekstual.

Pemikiran-pemikiran dari Asy’ariyah ini mendapat tanggapan dari beberapa

ulama.32

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-

Hasan al-Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau

hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran

sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten

dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai

sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang

menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian

disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama

kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya

juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebih

memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat.

Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam

Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik

32 Darul fatwa. Firqoh Annajiyah. (Bekasi: Syahamah Press, 2003.) Hlm. 6

18

membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama

sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama

dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis, demikian juga yang

dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".

Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa

"kelompok yang benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan

kepada Imam Asy'ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in,

aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi

aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul

Qasim al-Qusyayri. Dan Alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah

kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan

keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.

Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:

هو إنه اعتقادك يف أشعريا وكن

2.3.2. Pemikiran atau doktrin golongan Maturidiyah:

2.3.2.1.Mengenai sifat-sifat Allah Swt.

Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-

sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat.

Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’,

basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu

merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa

tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam

Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha

mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat),

merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt.33

33 Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 218

19

2.3.2.2.Melihat Allah SWT.

Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt.

dapat dilihat, seperti firtman Allah:

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.

Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)

Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah

dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu

merupakan salah satu keadaan khusus.34

2.3.2.3.Pelaku dosa besar

Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah

menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt.

menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia,

kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki,

maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan

demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan.

Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa

besar,35 sebagaimana Dia telah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia

mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa

yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,

Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4:

48).

Secara umum, doktrin atau pemikiran Antara Asy’ariyah dan Al

Maturidiyyah memiliki banyak kesamaan diantaranya tentang Sifat-sifat

Allah, pelaku dosa besar, dan keyakinan tentang melihat Allah SWT di

akhirat. Namun, selain persamaan itu, ada pula perbedaan Antara keduanya.

Perbedaan tersebut Nampak jelas dalam soal-soal berikut :36

34 Ibid hlm 220 35 Ibid hlm 222 36 Ahmad Hanafi M.A. Theology Islam(Ilmu Kalam) (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996). Hlm 71.

20

• Menurut aliran Asy’ariyyah, mengetahui Tuhan diwajibkan

syara’, sedangkan menurut Maturidiyyah diwajibkan akal

• Menurut golongan Asy’ariyyah, sesuatu perbuatan tidak

mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak lain

karena diperintahkan syara’ atau dilarangnya. Menurut

Maturidiyyah, pada tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat-

sifat baik dan sifat-sifat buruk.

• Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran

Mu’tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi di samping

itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai

kewajiban-kewajiban tertentu. 37

• Dalam soal al wa’d wa al wa’id al Maturidi sepaham dengan

Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak

boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam

atromorphisme al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia

tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang

menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak

dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya,

tangan, wajah, dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau

kiasan.38

2.4. Dasar-Dasar Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah

Prinsip keyakinan yang berhubungan dengan tauhid, syari‟at dan

lain-lain menurut Ahlussunnah wal Jamaah harus dilandasi dengan dalil

dan argumentasi yang bersumber dari al-Qur‟an, al-Hadits, Ijma‟ ulama,

dan Qiyas. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghozali dalam ar-Risalah

al-Ladduniyah :

37 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2011). Hal.77 38 Ibid., 78

21

“Ahli nazhar dalam ilmu aqidah ini pertama kali berpegang dengan

ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir

dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi analogis”.

Berikut adalah dasar-dasar yang digunakan Ahlussunnah wal

jamaah :39

2.4.1. Al-Qur’an

Al-Qur‟an merupakan sumber hukum fiqh utama dan paling agung,

yang merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT, al-Qur‟an

juga merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan

janganlah kamu bercerai-berai”. (QS. Ali Imran:103)

Al-Qur‟an adalah pokok dari semua dalil argumentasi. Sebagaimana

dalam al-Qur‟an: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (al-Hadits).” (QS.

An-Nisa‟: 59)

Adapun para ulama terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur‟an yang

mengikuti madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi diantaranya adalah:

Al-Imam Abu Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393 H/

1002 M), pengarang tafsir Bahrul Ulum

Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (w. 468 H/ 1076 M)

pengarang tafsir al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan asbabunnuzul

Al-Imam al-Hafidh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas‟ud

al-Baghawi (433-516 H/ 1041-1122 M) pengarang tafsir Ma‟alimuttanzil

Al-Hafidh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zadul Masir fi Ilmittafsir.

39 H. Muh. Najih Maimoen, Ahlu Sunnah wal Jamaah Aqidah, Syari‟at, Amaliyah. (Rembang : Ribath Darusshohihain Pon. Pes. Al-Anwar). Hlm. 20-26

22

Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib bin Abdurrahman bin

Athiyah al-Gharnathi al-Andalusi (481-542 H/ 1088-1148 M) pengarang

al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz.

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-Qurthubi (w.

671 H/ 1273 M) pengarang tafsir al-Jami‟ li Ahkamil Qur‟an.

Al-Imam Nashiruddin Abu Sa‟ad Abdullah bin Umar al-Syairazi al-

Baidlawi al-Syafi‟I (w. 685 H/ 1286 M) pengarang tafsir Anwaruttanzil

wa Asrarutta‟wil.

Al-Imam Hafizhuddin Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud

al-Nasafi al-Hanafi (w. 710 H/ 1310 H) pengarang Madarik al-Tanzil wa

Haqaiq al-Ta‟wil.

Al-Imam Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Khazin al-

Baghdadi (678-741 H/ 1279-1340 M) pengarang Lubab al-Ta‟wil fi

Ma‟ani al-Tanzil

Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Hayyan al-Andalusi (654-745 H/

1256-1344 M) pengarang al-Bahr al-Muhith.

Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqi (700-774

H/ 1301-1373 M) pengarang Tafsir al-Qur‟an al-Adzim.

Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain.

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syirbini (w.

977 H/ 1570 H) pengarang al-Siraj al-Munir.

Al-Imam Abu al-Su‟ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-

Imadi pengarang Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim.

Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Ujaili al-

Syafi‟i(w.1204 H/ 1790 M) pengarang al-Futuhat al-Ilahiyah bi Taudlihi

Tafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-Khafiyah.

Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/

1761-1825 M) pengarang Hasyiah ala Tafsir al-Jalalain.

23

2.4.2. Al-Hadits

Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan aqidah-aqidah dalam Islam.

Hadits yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya disepakati

dapat dipercaya oleh para ulama. Hadits Nabi berfungsi untuk menjelaskan

hukum-hukum al-Qur‟an yang bersifat global dan general. Karena syari‟at

islam diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang Allah SWT

kepada hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah menjelaskan al-

Qur‟an yang masih global tersebut. Allah berfirman:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang

dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Al-Hafidh al-Khatib al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqih

wa al-Mutafaqqih:

“Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang

shahabat atau tabi‟in. sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits-

hadits Nabi yang marfu‟, yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi

hadits dha‟if dan hadits yang perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan

hujjah dalam masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu

ada hadits yang menguatkannya maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan

hujjah.”

Adapun ulama madzhab al-Asy‟ari yang menulis komentar (syarh)

terhadap kitab hadits yang terkemuka adalah:

Al-Hafidh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi‟I, pengarang

ma‟alim al-Sunan [Syarh Sunan Abi Dawud].

24

Al-Hafidh Abul al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-Maliki,

pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwattha‟.

Al-Hafidh al-Nawawi al-Syafi‟i, pengarang Syarh Shohih Muslim.

Al-Hafidh Taqiyyuddin as-Subki, pengarang Imta‟ al-Asma‟ bima lil ar-

Rasul minal Abna‟ wa al-Ahwal wa al-Hafadhah wa al-Mata‟.

Al-Hafidh Tajuddin as-Subki, pengarang Jam‟ul Jawami‟

Al-Hafidh al-„Iroqi, pengarang Takhrij Ahaditsil Ihya‟.

Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqollani al-Syafi‟i, pengarang Fath al-Bari

Syarh Shohih Bukhori.

Al-Hafidh Syaikh Islam Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Anshari

al-Syafi‟i, pengarang kitab Syarh Shohih Muslim.

Al-Imam Izzuddin ibn Abdissalam, pengarang Qowaidul Ahkam fi

Masholihil Anam

Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi al-Hanafi,

Pengarang kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashobih.

2.4.3. Ijma’ Ulama

Ijma’ adalah konsensus para mujtahid sepeninggal Rasulullah dari

masa ke masa atas satu hukum. Dalil kehujjahan ijma‟ ini berdasarkan sabda

Nabi Muhammad :

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak

akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Pertolongan Allah selalu

bersama jama‟ah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama‟ah, maka

ia mengucilkan dirinya ke neraka.” (HR. Tirmidzi)

Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan

argumentasi dalam menetapkan aqidah. Dalam hal ini seperti dasar yang

melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaanya)

adalah ijma’ ulama yang qoth’i. Dalam konteks ini Imam al-Subki menulis

dalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib:

25

“Ketahuilah, sesungguhnya hukum Jauhar dan „aradh adalah baru.

Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi

ijma’ kaum muslimin, bahkan ijma’ seluruh penganut agama (di luar Islam).

Barang siapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir,

karena telah menyalahi ijma’ yang qoth’i.

2.4.4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah

jelas ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yang

menyatukan dua masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah

adalah qiyas yang berlandaskan pada nash, ijma‟. Allah berfirman:

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-

orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)

26

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah mayoritas umat Islam yang berfahamkan teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dalam ranah Teologi, serta bermadhabkan empat imam madhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali dalam bidang fiqh. Menurut mayoritas ulama baik salaf maupun kholaf, Ahlu Sunnah wal Jamaah merupakan golongan yang moderat jika dibandingkan pendahulunya. Sehingga ajarannya banyak diterima masyarakat hingga saat ini.

Ajaran-ajaran pokok Ahlu Sunnah diantaranya:

• Menetapkan adanya sifat-sifat Allah • Al-Quran adalah Qodim bukan hadis • Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir • Kewajiban mengetahui Tuhan melalui wahyu • Allah dapat dilihat di akhirat nanti

Dasar-dasar dari ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah diantaranya :

• Al-Qur’an • Al-Hadist • Ijma’ • Qiyas.

3.2. Saran Dalam memahami tentang teologi islam kita memang harus benar-benar

bersikap netral agar tidak menimbulkan suatu pemikiran yang negatif terhadap aliran yang tidak sefaham dengan kita. Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam doktrinnya memberikan alternatif jalan tengah untuk menghindari perpecahan agama dan kehancuran dalam hal akidah. Kita harus bisa memilah-milah mana yang baik dan yang tidak baik dari aliran tersebut. Wallahu a’lam bishowab.

27

Daftar Pustaka

Ahmad, M. (1998). Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Anwar, R. (2012). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Asy'ari, A. H. (1977). al-Ibanah 'an Usul al-Diniyyah. Kairo: Dar al-Ansar.

Dahlan, A. R., & Qarib, A. (1996). Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House.

Fatwa, D. (2003). Firqoh Annajiyah. Bekasi: Syahamah Press.

Gharabah, M. (1973). Abu Hasan al-Ash'ari. Kairo: Majma' Buhuth al-Islamiyyah.

Hodgson, M. G. (1971). The Venture of Islam (Vol. 1). (A. B. Khoiri, Trans.) Chicago: Chicago University Press.

Khan, Q. (n.d.). Almawardi's Theory of The State. Lahore: Ba'zam-l Iqbal.

M.A, A. H. (1996). Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Maimoen, M. N. (n.d.). Ahlu Sunnah wal Jamaah Aqidah, Syari'at, Amaliyah. Rembang: Ribath Darushohihain Pon Pes Al-Anwar.

Mas'udi, M. F. (1996). NU & Teologi Asy'ari (Vol. III). Jakarta: P3M.

Mughni, S. A. (1992). Hanbali Movement from al-Barbahari to Abu Ja'far al Hashimi. California: University of California.

Nasution, H. (2011). Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Zaman, M. Q. (n.d.). Religion and Politics under The Early 'Abbasids: The Emergence of the Proto-Sunni Elite. Leiden: Brill Academic Publisher, Incorporated.

Zuhri, A. M. (2010). Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari Tentang Ahlu Sunnah wal Jamaah. Surabaya: Khalista.

28