Urgensi LPS Bagi BMT sebagai Bentuk Perlindungan Hukum

27
URGENSI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) BAGI BMT SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA NASABAH BMT Luthfiyah Trini Hastuti Dosen Fakultas Hukum UNS ABSTRAK Pertumbuhan kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) terus meningkat dari tahun ketahun. Fakta ini dapat dibuktikan dengan hadirnya lebih dari 3.307 unit BMT pada tahun 2012 yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan kelembagaan ini diiringi pertumbuhan jumlah nasabah yang membawa perkembangan yang pesat pula dalam kinerja keuangan BMT. Dana yang dihimpun BMT semakin bertambah banyak seiring jumlah pembiayaan yang juga meningkat, sehingga asset yang dimiliki BMT tumbuh sangat cepat dalam kurun waktu singkat mencapai 1,5 triliun rupiah pada tahun 2012. Akan tetapi potensi yang besar ini belum diimbangi dengan regulasi yang mampu menjaga tingkat kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepada BMT, khususnya yang berkaitan dengan sejauhmana simpanan yang dipercayakan masyarakat kepada BMT mampu dipertanggungjawabkan secara hukum apabila terjadi kondisi yang tidak diinginkan. Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dibentuk pemerintah melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 selama ini hanya memiliki kewenangan yang terbatas pada ruang lingkup perbankan saja, sehingga belum ada perlindungan hukum terhadap nasabah yang mempercayakan simpanannya melalui BMT. Menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk membuat lembaga

Transcript of Urgensi LPS Bagi BMT sebagai Bentuk Perlindungan Hukum

URGENSI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) BAGI BMT SEBAGAI BENTUK

PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA NASABAH BMT

Luthfiyah Trini Hastuti

Dosen Fakultas Hukum UNS

ABSTRAK

Pertumbuhan kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) terusmeningkat dari tahun ketahun. Fakta ini dapat dibuktikan denganhadirnya lebih dari 3.307 unit BMT pada tahun 2012 yang tersebardiseluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan kelembagaan ini diiringipertumbuhan jumlah nasabah yang membawa perkembangan yang pesatpula dalam kinerja keuangan BMT. Dana yang dihimpun BMT semakinbertambah banyak seiring jumlah pembiayaan yang juga meningkat,sehingga asset yang dimiliki BMT tumbuh sangat cepat dalam kurunwaktu singkat mencapai 1,5 triliun rupiah pada tahun 2012. Akantetapi potensi yang besar ini belum diimbangi dengan regulasiyang mampu menjaga tingkat kepercayaan yang telah diberikanmasyarakat kepada BMT, khususnya yang berkaitan dengan sejauhmanasimpanan yang dipercayakan masyarakat kepada BMT mampudipertanggungjawabkan secara hukum apabila terjadi kondisi yangtidak diinginkan. Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yangdibentuk pemerintah melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004selama ini hanya memiliki kewenangan yang terbatas pada ruanglingkup perbankan saja, sehingga belum ada perlindungan hukumterhadap nasabah yang mempercayakan simpanannya melalui BMT.Menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk membuat lembaga

serupa yang memiliki kewenangan menjamin simpanan yang ada di BMTsehingga mampu dipertanggungjawabkan secara hukum.

Kata kunci: BMT, penjamin simpanan, hukum

I. PENDAHULUAN

Pertumbuhan lembaga keuangan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)

diakui banyak pihak merupakan potensi besar yang akan

terus berkembang. Fakta ini dapat dilihat dari total

sumber dana yang dikelola PT. Permodalan BMT Ventura

(PBMT Ventura) sepanjang 2010 mencapai Rp. 58.6 miliar

meningkat 85,34% dibanding tahun sebelumnya.1 Fakta lain

yang juga mendukung adalah Jumlah BMT di seluruh

Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 3.307 unit

yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Asset BMT

diperkirakan lebih dari Rp 1,5 triliun, melayani lebih

dari 2 juta penabung (anggota) dan memberikan pinjaman

terhadap 1,5 juta pengusaha mikro dan kecil2.

Potensi tumbuh kembang Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang

menunjukkan tren positif ini perlu mendapatkan perhatian1 http://bmt- center/2011/05/05/ PBMT –ventura- tumbuh- 86%- di- 2010/diaksestanggal 13 Nopember 2013.2 http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/11/13/memantapkan-peran-koperasi-syariah/ diakses tanggal 16 Desember 2012.

serius mengingat wilayah cakupan kerja BMT yang mampu

menjangkau sampai ketingkat terbawah lapisan masyarakat

secara ekonomi. Konsep pemberdayaan masyarakat dibidang

ekonomi sejatinya dapat dilihat dari bagaimana BMT mampu

menyentuh masyarakat lapisan bawah dalam menggerakkan

roda ekonomi utamanya yang berada di sektor riil.

Kehadiran BMT bagi kalangan pengusaha mikro dan kecil

membawa angin segar khususnya pada aspek permodalan yang

selama ini menjadi problem utama para pelaku usaha kecil.

Apabila dibandingkan dengan lembaga keuangan seperti bank

syariah yang memiliki syarat dan ketentuan yang relatif

lebih ketat, keberadaan BMT lebih mudah diakses seluruh

lapisan masyarakat. Lewat lembaga keuangan ini pula dapat

dilihat contoh riil pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Dalam prakteknya di Indonesia BMT berbentuk Kelompok

Swadaya Masyarakat (KSM) yang mengelola dana milik

masyarakat dalam bentuk simpanan maupun pembiayaan.3 Dari

sumber inilah pembiayaan BMT berasal. Dana yang

dipercayakan masyarakat kepada BMT dalam bentuk simpanan

kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat yang

membutuhkan dalam bentuk pinjaman. Pola kerja yang

diambil BMT pada akhirnya sama dengan pola kerja bank

syariah yang menjadi lembaga intermediasi. Menghimpun

dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada

masyarakat.3 Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Total Media,2008, hlm.290

Melihat kecenderungan pertumbuhan BMT yang terus

meningkat dan anemo

masyarakat yang semakin besar untuk menjadi mitra bagi

BMT sudah sepatutnya bagi pemerintah untuk terus

melakukan pembinaan terhadap lembaga keuangan ini. Salah

satunya dalam bentuk regulasi yang mampu memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat yang telah

mempercayakan dananya kepada BMT. Kasus beberapa BMT yang

mengalami pailit karena masalah likuiditas seperti yang

terjadi di Sleman, sebagaimana diberitakan tujuh belas

lembaga keuangan syariah dalam bentuk BMT dilereng gunung

merapi terancam bangkrut karena masalah likuiditas karena

macetnya dana pinjaman yang bergulir dimasyarakat 4

merupakan kondisi yang harus segera disikapi dengan cepat

terutama menyangkut bagaimana pertanggungjawaban BMT

terhadap dana nasabah yang telah dipercayakan dalam

bentuk simpanan.

II. IDENTIFIKASI MASALAH

Problem BMT yang mengalami masalah likuiditas sehingga

jatuh pailit merupakan masalah yang harus ditemukan

penyelesaiannya. Utamanya menyangkut bagaimana dana yang

telah dipercayakan masyarakat kepada BMT harus dapat

dipertanggungjawabkan. Karena bila kondisi ini dibiarkan

akan menimbulkan ekses negatif yang akan menurunkan

4http:// Antaranews/2011/02/12/Belasan-BMT-di-lereng-gunung-merapi-terancam-bangkrut/diakses tanggal 13 Nopember 2013

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BMT yang selama

ini lebih mudah diakses para pelaku usaha kecil. Turunnya

tingkat kepercayaan untuk menitipkan dananya kepada BMT

akan mengakibatkan turunnya sumber pembiayaan BMT yang

selama ini berasal dari masyarakat yang mempercayakan

dananya dalam bentuk pinjaman. Menurunnya sumber

pembiayaan BMT menyebabkan tingkat kemampuan BMT untuk

memberikan pembiayaan kepada masyarakat juga semakin

menurun, sehingga pelaku usaha kecil dalam hal ini juga

akan ikut merasakan ekses negatif berupa kesulitan

permodalan. Sehingga menjadi sangat urgen bagi pemerintah

untuk membentuk lembaga yang bertugas menjamin simpanan

pihak masyarakat yang telah mempercayakan dana yang

dimilikinya kepada BMT sebagai bentuk perlindungan hukum.

III. TINJAUAN LITERATUR

A. Sejarah Lahirnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT)

Istilah baitul mal wat tamwil sebenarnya berasal dari

dua suku kata, yaitu baitul mal dan baitul tamwil. Istilah

baitul mal berasal dari kata bait dan al mal. Bait artinya

bangunan atau rumah, sedangkan al mal berarti harta

benda atau kekayaan. Jadi baitul mal secara harfiah

merupakan rumah harta benda atau kekayaan. Secara fikih

adalah suatu lembaga atau badan yang bertugas untuk

mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang

berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan, maupun

yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain–

lain. Sedangkan baitul tamwil berarti rumah penyimpanan

harta milik pribadi yang dikelola oleh suatu lembaga.5

Merunut sejarah lahirnya BMT berarti merunut

sejarah hukum Islam pada masa Rasulullah. Sebab lembaga

keuangan ini diadopsi dari lembaga keuangan pada masa

Rasulullah SAW dimana dalam operasionalnya berkaitan

dengan penghimpunan maupun penyaluran dana serta

mengelola dana-dana sosial seperti zakat, infaq,

shadaqah, hibah, kharaj, kaffarah, jizyah, dan

sebagainya.6 Para penulis muslim sendiri berbeda

pendapat dalam hal fungsi baitul maal pada zaman

Rasulullah. Sebagian berpendapat bahwa Baitul maal

berfungsi serupa dengan bank sentral seperti yang ada

sekarang walaupun tentunya lebih sederhana karena

berbagai keterbatasan pada waktu itu. Sedangkan yang

lain berpandangan Baitul maal berfungsi seperti Menteri

Keuangan atau Bendahara Negara masa kini, karena

fungsinya yang aktif dalam menyeimbangkan antara

pendapatan dan belanja negara, bukan hanya sekedar

berfokus kepada pengaturan suplai dan moneter. 7

Perbedaannya adalah pada masa Rasulullah tidak

dilakukan fungsi baitul tamwil. Fungsi yang dilakukan

hanyalah sebagai baitul maal saja yakni menerima titipan

5 Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.6 Op.cit hlm.2907 Muslimin H Kara, Bank Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm.57

dana zakat, infaq dan sedekah serta mengoptimalkan

distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya8.

Di Indonesia sejarah BMT dimulai pada tahun 1990

digerakkan oleh para aktivis muslim yang resah melihat

keberpihakan ekonomi negara yang tidak berpihak kepada

rakyat kecil. Para penggerak lembaga ini benar-benar

beragam, mulai dari Dompet Dhuafa, Baitul Maal

Muamalat, dan kelompok perorangan seperti BMT Bina

Insan Kamil, BMT Binama Semarang dan BMT Tamzis di

Wonosobo.9

Secara kelembagaan BMT terus mengalami

perkembangan dan perluasan sampai muncul wacana perlu

dilakukan pembinaan pada BMT-BMT serta dibutuhkan

adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan

jaringan antar BMT ataupun penghubung BMT kepada

lembaga ekonomi yang lebih besar baik pemerintah atau

swasta, dan tentunya juga dalam usaha untuk menumbuhkan

dan mengembangkan BMT dimasa depan, maka berdiri

pulalah lembaga pembina BMT yang berupa Lembaga

Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), Pusat

Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), Pusat

Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) maupun Dompet

Dhuafa (DD) Republika. Dan yang sampai saat ini masih

dengan sangat intensif melakukan pendampingan dan8 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.4479 Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Total Media,2008, hlm.290

pembinaan terhadap BMT-BMT yang telah dan akan berdiri

adalah PINBUK. Sejak didirikan pada 1995, PINBUK telah

mengibarkan bendera dakwahnya dengan memberdayakan para

pengusaha kecil. Ini dilakukan dengan mendirikan

berbagai lembaga keuangan alternatif yang berprinsip

syariah di lapisan grass root. Lembaga keuangan itu

bernama Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau padanan kata

dari Balai Usaha Mandiri Terpadu. BMT menerapkan

prinsip syariah atau bagi hasil yang sangat mudah

dikenalkan pada masyarakat baik di perkotaan maupun

pedesaan.10

B. Falsafah Kerja Baitul Maal wa Tamwil (BMT)

Bercermin pada perkembangan kelembagaan BMT yang

ada di Indonesia dapat dilihat dua fungsi utama yang

menjadi falsafah kerja BMT yaitu sebagai media penyalur

pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infaq,

shodaqoh, dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai

institusi yang bergerak dibidang investasi yang

bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada

fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi

sebagai lembaga keuangan, BMT juga berfungsi sebagai

lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan BMT bertugas

menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang

memercayakan dananya disimpan di BMT dan menyalurkan

dana kepada masyarakat (anggota BMT) yang diberikan

10 http://lazbmki.blogspot.com/2010/11/bmt-sejarah-dan-visi diakses Tanggal 13Nopember 2013

pinjaman oleh BMT. Sedangkan sebagai lembaga ekonomi,

BMT berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti

mengelola kegiatan perdagangan, industri, dan

pertanian.11

Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu:12

1. Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT dengan

mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dan

muamalah Islam kedalam kehidupan nyata;

2. Keterpaduan (kaffah) dimana nilai-nilai spiritual

berfungsi mengarahkan dan menggerakkan etika dan

moral yang dinamis, proaktif, progresif, adil, dan

berahlak mulia;

3. Kekeluargaan;

4. Kebersamaan;

5. Kemandirian;

6. Profesionalisme;

7. Istiqomah

BMT melakukan usaha – usaha 13:

a. Mengembangkan kegiatan simpan – pinjam dengan prinsip

bagi hasil.

b. Mengembangkan lembaga dan bisnis Kelompok Usaha

Muamalah yaitu kelompok simpan–pinjam yang khusus

binaan BMT.

11 Op.cit hlm.44812 Ibid hlm.44913 Aziz Abdul dan Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2010, hlm.118.

c. Jika BMT telah berkembang cukup mapan, memprakarsai

pengembangan badan usaha sektor riil (BUSRIL) dari

POKUSMA-POKUSMA sebagai badan usaha pendamping

menggerakkan ekonomi riil rakyat kecil di wilayah

kerja BMT tersebut yang manajemennya terpisah sama

sekali dari BMT.

d. Mengembangkan jaringan kerja dan jaringan bisnis BMT

dan sektor riil mitranya sehingga menjadi barisan

semut yang tangguh sehingga mampu mendongkrak

kekuatan ekonomi bangsa Indonesia.

Produk BMT berbeda – beda tergantung dari

BMTnya masing – masing, akan tetapi secara umum

meliputi :

1) Produk Simpanan

a) Simpanan Mudhorobah

b) Simpanan Haji

c) Simpanan Umroh

d) Simpanan Qurban

e) Simpanan Mudhorobah Berjangka

2) Produk Pembiayaan

a) Musyarokah ( Pembiayaan Bersama-Bagi Hasil )

b) Mudhorobah ( Pembiayaan Total – Bagi Hasil )

c) Murobahah ( Pemilikan barang jatuh tempo - Margin )

d) Jasa Al-Qord ( Pemilikan barang angsuran – Margin)

C. Sejarah Penjaminan Simpanan di Indonesia

Di Indonesia, wacana mengenai perlunya skema

penjaminan mulai muncul ketika terjadi kebangkrutan

Bank Summa pada November 1992. Setelah preseden

tersebut, mulai muncul kesadaran, bahwa para penabung

(deposan) harus mendapatkan perlindungan yang memadai,

tatkala terjadi mismatch dan insolvency yang disebabkan

oleh kesalahan manajemen bank. Kasus bangkrutnya Bank

Summa memang sempat memunculkan wacana Lembaga

Penjaminan Simpanan. Namun sayang, wacana pembentukan

financial safety net ini tidak sempat teralisasikan, terutama

karena kasus Bank Summa relative dapat diredam, ketika

William Suryadjaja, ayah dari Edward Suryadjaja

(pemilik dan pengendali Bank Summa) rela melakukan bail

out atau “pasang badan” yang dananya berasal dari

penjualan grup Astra, konglomerat nomor dua di

Indonesia saat itu, sesudah grup Salim.14

Sayang, momentum bail out Summa oleh William ini

tidak sampai menghasilkan pendirian Lembaga Penjamin

simpanan. Orang pun kemudian dengan mudah melupakan

preseden ini. Wacana pembentukan penjaminan simpanan

baru menemukan kembali momentumnya, tatkala

perekonomian Indonesia memasuki periode krisis diakhir

1997 dan awal 1998. Penutupan 16 bank pada 1 November

1997 telah menyebabkan kepanikan, sehingga terjadi rush

atau penarikan dana (money withdrawal) dari bank-bank.

14 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.1

Semua hal ini memaksa pemerintah untuk menerbitkan

skema penjaminan 100 persesn (blanket guarantee) pada 27

Januari 1998. Pemerintah terpaksa melakukan penjaminan

100 persen bukannya penjaminan sampai batas tertentu

untuk setiap account karena tingkat kepercayaan terhadap

industry perbankan sudah berada pada titik nadhir.

Hanya dengan cara menjamin 100 persen yang dapat

menahan dana deposan untuk tidak ditarik lebih lanjut.15

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat

menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap

industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang

terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik

dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.16

Kondisi ini disadari sebagai sesuatu yang bersifat

sementara dan untuk itu perlu dibuat suatu sistem yang

lebih permanen berkaitan dengan penjaminan simpanan.

Karena itu pada taun 2004 pemerintah melalui Undang-

undang Nomor 24 tahun 2004 membentuk Lembaga Penjamin

Simpanan yang sekaligus menghapuskan sistem penjaminan

blanket guarantee yang telah ada sebelumnya. Tahapan

diatas sangat jelas menunjukkan bahwa era blanket

guarantee sudah mulai berakhir sejak 22 September 2005

dan menuju kearah limited guarantee pada Maret 2006.17

15 Ibid. hlm.416 Ibid. hlm.517 Ibid. hlm.30

Terdapat dua perbedaan mendasar antara jaminan

yang diberikan oleh program blanket guarantee dan jaminan

yang diberikan malalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Pertama, dalam hal cakupan. Kedua, besarnya jumlah yang

dijamin. Blanket guarantee menjamin hampir seluruh

kewajiban bank dengan jumlah jaminan tanpa batas.

Adapun jaminan yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) hanya mencakup simpanan masyarakat pada bank

(deposan) dengan jumlah maksimal tertentu. 18

Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan nasabah

terhadap industri perbankan dan bertujuan untuk:

Pertama, menurunkan kemungkinan terjadinya rush; kedua,

melindungi nasabah penyimpan kecil yang secara sosial

dan politik tidak dapat menanggung beban akibat

kebangkrutan bank; dan ketiga, menyediakan jalan agar

biaya sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat

diminimalkan. Singkat kata, Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) merupakan mekanisme untuk mempermudah bank

bermasalah dilikuidasi.19

IV. ANALISIS DAN DISKUSI

A. Penjaminan Hak Milik dalam Hukum Islam

Konsep Islam mengenai pemilikan amatlah unik.20

Kepemilikan individu dalam Islam diakui dalam batasan18 Ibid. hlm.819 Ibid. hlm.920 Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, Jakarta: Kencana, 2012, hlm.357

adanya kewajiban moral bahwa setiap bagian atau

kelompok didalam masyarakat memiliki bagian didalam

harta tersebut. Sehingga seseorang yang memiliki harta

boleh bertindak atas harta yang dalam status

kepemilikannya akan tetapi terbatasi dengan hak-hak

orang lain didalam harta tersebut. Didalam Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah khususnya pasal 17 pemilikan

harta didasarkan pada asas: 21

1. Amanah, bahwa pemilikan harta pada dasarnya

merupakan titipan Allah SWT untuk digunakan untuk

kepentingan hidup.

2. Infiradiyah, bahwa pemilikan benda pada dasarnya

bersifat individual dan penyatuan benda dapat

dilakukan dalam bentuk badan usaha atau koperasi.

3. Ijtima’iyah, bahwa pemilikan benda tidak hanya memiliki

fungsi pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi

pada saat yang sama didalamnya terdapat hak

masyarakat.

4. Manfaat, bahwa pemilikan harta benda pada dasarnya

diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit

mudarat.

Berdasarkan asas kepemilikan harta yang bersifat

infiradiyah maka secara jelas dapat dilihat bahwa hukum

Islam mengakui adanya kepemilikan individu dan

diperbolehkan kepemilikan individu tadi bersatu dalam

21 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

bentuk badan usaha atau koperasi. Sehingga seorang

nasabah yang memiliki sejumlah harta kemudian harta

tersebut disimpan di BMT sebagai bentuk penyatuan harta

kepada BMT sebagai suatu badan usaha merupakan sesuatu

yang sah secara hukum Islam.

Macam kepemilikan seperti ini termasuk kedalam al-

milku al-naqis atau milik yang tidak sempurna, yaitu

kondisi dimana seseorang menguasai materi harta akan

tetapi manfaatnya dikuasai orang lain.22 Dalam status

kepemilikan seperti ini harta menjadi amanah bagi orang

yang memanfaatkannya dan apabila ia bertindak sewenang-

wenang maka si pemilik harta dapat meminta ganti rugi.

Atas dasar ini pula BMT sebagai pihak yang menerima

manfaat dari harta yang dimiliki seorang nasabah,

apabila bertindak sewenang-wenang misalnya berbuat

lalai terhadap harta nasabah sehingga menimbulkan

kondisi pailit, maka sah secara hukum pemilik harta

tersebut meminta ganti rugi karena orang yang menerima

manfaat tidak mampu menjaga amanah yang telah diberikan

oleh si pemilik harta.

B. Urgensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi Baitul Maal

wa Tamwil (BMT) Sebagai Bentuk Penjaminan Hak Milik

Berdasarkan prinsip bahwa islam memberikan

perlindungan kepada hak milik walaupun sifatnya

terbatas, maka keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan

22 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012, hlm.67

(LPS) yang diperuntukan khusus BMT sejatinya merupakan

upaya untuk menjamin hak milik seseorang yang di dalam

hukum islam secara legal diakui. Upaya ini merupakan

langkah yang harus dilakukan dalam menjaga hak milik

nasabah yang diambil manfaatnya oleh BMT.

Melihat pola kerja BMT yang hampir mirip dengan

pola kerja yang ada di bank syariah, sudah sepatutnya

pula untuk menjaga likuiditas sekaligus memberikan

perlindungan kepada masyarakat terutama yang telah

mempercayakan dananya kepada BMT, dibuat sebuah sistem

penjaminan serupa dengan yang ada di bank syariah

melalui pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

khusus yang tugasnya melakukan penjaminan terhadap dana

masyarakat yang ada di BMT. Hal ini dilakukan untuk

mengatasi permasalahan jika ada BMT yang dinyatakan

pailit karena kesalahan manajemen pengelolaan BMT.

Pembentukan LPS khusus BMT diharapkan menjadi cara

untuk menjaga stabilitas dan likuiditas sistem keuangan

yang ada di BMT. Sebab Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 24 tahun

2004 pasal 4 berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenangnya

terbatas pada penjaminan di wilayah perbankan saja.

Padahal melihat pola gerak BMT yang hampir mirip dengan

bank syariah yakni menjadi lembaga intermediasi dengan

menghimpun dana dari masyarakat, potensi terjadinya

collapse sangat mungkin terjadi. Maka menjadi sebuah

keharusan bagi pemerintah untuk membentuk Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) khusus BMT selain itu juga

untuk menjalankan amanah Undang-undang Nomor 17 Tahun

2012 tentang Perkoperasian yang pada ketentuan pasal 94

mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) Koperasi Simpan Pinjam, badan hukum yang selama

ini banyak dipilih oleh BMT.

Berkaitan dengan wacana dibentuknya Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) khusus untuk BMT ada beberapa

catatan penting:

1. Keanggotaan yang Bersifat Wajib

Setiap BMT yang melakukan kegiatan simpan pinjam

diwajibkan menjadi peserta LPS BMT. Hal ini

sebagaimana diwajibkannya Bank menjadi peserta LPS.

Keanggotaan yang bersifat wajib ini diharapkan

mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal

kepada semua masyarakat agar terhindar dari bentuk

kelalaian manajemen BMT yang kurang profesional.

Sehingga masyarakat yang mempercayakan dananya di

BMT merasa aman dan yakin bahwa dana yang telah

dititipkan dapat dipertangungjawabkan secara hukum.

Hal ini juga akan berdampak positif terhadap citra

BMT yang karena oknum beberapa BMT yang kurang

profesional seringkali menyebabkan stigma negative

tentang tidak bertanggungjawabnya BMT terhadap dana

masyarakat. Citra positif yang melekat kepada BMT

diharapkan akan menjadi peluang tumbuh kembang BMT

menjadi semakin pesat dan BMT yang tidak mau

menjadi peserta LPS BMT akan ditinggalkan

masyarakat karena dianggap tidak professional.

Kewajiban bagi setiap BMT untuk menjadi peserta

LPS ini juga akan membawa dampak positif tertatanya

seluruh BMT yang sampai saat ini tidak ada data

resmi yang dapat diberikan pihak manapun berkaitan

dengan jumlah BMT yang ada di seluruh wilayah

Indonesia karena jumlahnya yang menyebar dan tidak

ada kejelasan siapa pihak yang berwenang melakukan

pengawasan kecuali yang berbadan hukum koperasi.

2. Batasan Jumlah Dana yang Dijamin dan Batasan Ganti

Rugi yang Diberikan

Sejak berdirinya, BMT diperuntukkan untuk

masyarakat dan pelaku usaha kecil sehingga nasabah

yang sekaligus menjadi anggota BMT adalah

masyarakat menengah kebawah. Menjadi sangat penting

adanya LPS khusus BMT ini agar dana yang dititipkan

masyarakat kepada BMT tetap dapat diminta

pertanggungjawaban apabila dikemudian hari terjadi

collapse.

Berkaitan dengan batasan jumlah dana yang dijamin

seharusnya ditetapkan dalam nominal minimalis

mengingat nasabah BMT yang kebanyakan dari golongan

menengah kebawah, sehingga dengan penetapan nominal

minimalis ini dapat mengakomodir seluruh nasabah

BMT yang telah menitipkan dananya. Berbeda halnya

apabila penetapan dananya nominal maksimalis maka

yang terlindungi hanya orang-orang yang memiliki

dana besar saja yang sudah barang tentu mereka

tidak termasuk kedalam kategori masyarakat dan

pelaku usaha kecil.

Batasan mengenai ganti rugi yang dapat diberikan

LPS apabila terjadi collapse ditetapkan berdasarkan

prosentase tertentu dari jumlah dana yang dimiliki

nasabah di BMT. Ini berarti bahwa LPS tidak

menanggung 100 persen ganti rugi terhadap dana

nasabah apabila suatu BMT dinyatakan pailit. Akan

tetapi tetap ada tanggungjawab BMT untuk menutup

seluruh kerugian yang dialami nasabah. Misalnya

suatu BMT dinyatakan pailit, maka LPS BMT

memberikan ganti rugi sebesar 80 persen dan sisanya

ditanggung BMT terkait bisa melalui penjualan aset

yang dimiliki BMT. Dengan cara seperti ini

diharapkan ada rasa tanggungjawab dari BMT ketika

mengelola dana masyarakat, sehingga prinsip kehati-

hatian dalam mengelola nasabah senantiasa

diterapkan dan kelalaian manajemen BMT dapat

dihindari.

3. Penyelenggara LPS

Pihak yang berhak menjalankan fungsi LPS BMT

hendaknya merupakan unsur gabungan dari pemerintah

dan perhimpunan ataupun konsorsium BMT. Dengan

adanya unsur pemerintah diharapkan ada legalitas

pengakuan mengenai eksistensi lembaga ini, dan

adanya unsur perhimpunan ataupun konsorsium BMT

diharapkan mampu mewakili para pegiat BMT mengingat

BMT ini merupakan gerakan ideologis yang bersumber

dari suatu keyakinan akan prinsip-prinsip syariah

yang harus dijalankan. Dengan adanya keterwakilan

unsur perhimpunan BMT diharapkan cita-cita dan

idealisme BMT yang lahir dari sebuah gerakan dapat

terus terjaga.

4. Pembayaran Kontribusi/ Premi dengan Menggunakan

Prinsip Asuransi Islam

Falsafah dasar Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang

diadopsi dari lembaga keuangan Baitul Maal yang pernah

dipraktikkan pada masa Rasulullah menjadikan

lembaga ini memiliki karakteristik khusus yang

berbeda dari lembaga keuangan mikro lainnya. Bahkan

bentuk badan hukum koperasi yang sebagian besar

dipilih BMT pun belum dapat mewakili pola gerak BMT

yang secara falsafah memang berbeda dengan koperasi

itu sendiri. Koperasi berangkat dari falsafah dari

anggota untuk anggota. Sedangkan BMT berangkat dari

falsafah hadir untuk kepentingan masyarakat seluas-

luasnya.

Karakteristik khusus inilah yang senantiasa harus

dijaga agar gerakan BMT yang bermula dari gerakan

ideologi tetap dapat eksis ditengah masyarakat

dengan tetap berpegang teguh kepada prinsip-prinsip

syariah. Salah satu upaya menjaga karakteristik

khusus BMT secara kelembagaan adalah dengan

membangun support system yang juga berpegang teguh pada

prinsip syariah. Hal ini dilakukan dalam kerangka

membangun sistem syariah yang terintegrasi (sharia

integrated system) dimana lembaga keuangan berbasis

syariah saling terintegrasi dalam membangun pola

ekonomi Islam yang telah mapan konsepnya selama

berabad-abad. Sebab falsafah dasar yang berbeda

pada ruang aplikasinya seringkali menemukan

kerancuan yang sulit diselesaikan.

Sistem ekonomi Islam diakui banyak pihak telah

bertahan lebih dari 14 abad. Bagi mereka yang dapat

memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh

dan total akan sadar bahwa sistem perekonomian akan

tumbuh dan berkembang dengan baik, bila didasari

oleh nilai-nilai dan prinsip syariah Islam.23Salah

satu yang menjadi bagian sistem yang telah lama

eksis ini adalah asuransi islam sehingga keberadaan

23 Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.134

asuransi islam ditengah masyarakat sesungguhnya

bukan merupakan hal baru sebagaimana pernah

dipraktikkan pada masa Rasulullah dulu.

Falsafah dasar asuransi Islam apabila dikaitkan

dengan kebutuhan akan adanya Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) khusus untuk BMT adalah bagaimana

LPS yang dibentuk nanti tetap menggunakan falsafah

dasar asuransi islam dalam pola geraknya

(operasionalnya) yang apabila dikaitkan dengan

tujuan berdirinya adalah untuk melindungi

kepentingan hak milik individu dalam hal ini

masyarakat yang mempercayakan dananya kepada BMT

dalam bentuk simpanan. Karena pada kenyataannya

terdapat perbedaan yang signifikan antara asuransi

islam dengan asuransi konvensional.

Falsafah dasar asuransi Islam adalah ta’awun

(sharing of risk) dimana terjadi proses saling

menanggung antara peserta satu dengan peserta

lainnya. Sedangkan asuransi konvensional lebih

kepada pemenuhan prinsip transfer of risk dimana terjadi

transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung.

Dengan falsafah dasar yang berbeda ini tentunya

menyebabkan perbedaan pola gerak (operasional) dan

sistem yang digunakan.

Dilihat dari sifat manfaat yang dihasilkan dari

perjanjian asuransi dapat dibagi tiga macam yaitu;

1) asuransi yang bersifat bisnis 2) asuransi yang

bersifat kolektif 3) asuransi sosial. 24 Diantara

ketiga macam asuransi tersebut bentuk kedua yaitu

asuransi kolektif yang tepat dengan konsep LPS

khusus BMT, dimana pihak pemberi tanggungan

(perusahaan) dan penerima jasa (peserta) seluruhnya

berada dalam satu pihak sebagai pengelola asuransi.

Caranya adalah dengan mengadakan perjanjian bersama

sejumlah orang dalam hal ini seluruh BMT yang

tergabung dalam LPS yang biasa menghadapi hal-hal

yang berbahaya berupa kondisi collapse, berkomitmen

akan memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi

apabila ada salah satu dari anggota BMT yang

tertimpa musibah dinyatakan pailit salah satunya.

Maka kondisi pailit yang dimaksud sudah dimasukkan

kedalam daftar tanggungan asuransi.

Dalam konsep asuransi syariah yang bersifat

kolektif setiap pembayaran premi sejak awal akan

dibagi dua. Bagian pertama masuk ke rekening

pemegang polis, dan bagian lain dimasukkan ke

rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru’ atau

sedekah untuk membantu saudaranya yang lain.25Dengan prinsip sharing of risk apabila terjadi suatu

BMT yang mengalami pailit maka sumber pembayaran

24 Karnaen Purwataatmadja, Gemala Dewi dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,2005, hlm.24425 Op.cit. hlm.254

klaim diperoleh dari rekening tabarru sebagai bentuk

ta’awun (tolong-menolong) terhadap BMT yang mengalami

kerugian atau tertimpa musibah. Sehingga kalau BMT

A mengalami pailit maka BMT B, C, D harus

membantunya, demikian sebaliknya. Dengan cara

seperti ini unsur gharar (ketidakjelasan) dapat

dihilangkan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Ada beberapa kesimpulan dari tulisan ini:

1. Islam mengakui adanya hak milik individu dan

diperbolehkan adanya penyatuan harta dalam bentuk badan

usaha seperti BMT.

2. Urgensi dibentuknya LPS khusus untuk BMT sejatinya

merupakan perlindungan Islam terhadap hak milik.

3. LPS khusus untuk BMT yang akan dibentuk seharusnya

tetap menggunakan prinsip-prinsip asuransi islam

sebagai konsistensi dalam menjalankan lembaga keuangan

yang berpedoman pada prinsip-prinsip syariah.

Adapun saran yang dapat diberikan penulis antara lain:

1. Segera dibentuk tim khusus yang akan menjadi cikal

bakal lahirnya LPS khusus untuk BMT yang berdoman pada

prinisip-prinsip asuransi islam yang terdapat unsur

perwakilan dari BMT.

2. LPS khusus untuk BMT yang nantinya akan dibentuk

dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum IslamDinamika Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: TotalMedia,2008.

Abdul Aziz dan Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi IslamKontemporer, Bandung: Alfabeta, 2010.

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan,Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:Kencana, 2009.

Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,1992.

Karnaen Purwataatmadja, Gemala Dewi dkk, Bank dan AsuransiIslam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,2005.

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012.

Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar,Jakarta: Kencana, 2012.

Muslimin H Kara, Bank Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UIIPress, 2005.

Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika,2008.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LembagaPenjamin Simpanan

http://Antaranews/2011/02/12/Belasan-BMT-di-lereng-gunung-merapi-terancam-bangkrut/diakses tanggal 13 Nopember2013

http://bmt- center/2011/05/05/ PBMT –ventura- tumbuh-86%- di- 2010/diakses tanggal 13 Nopember 2013.

http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/11/13/memantapkan-peran-koperasi-syariah/ diakses tanggal 16Desember 2012.