URGENSI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) BAGI BMT SEBAGAI BENTUK
PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA NASABAH BMT
Luthfiyah Trini Hastuti
Dosen Fakultas Hukum UNS
ABSTRAK
Pertumbuhan kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) terusmeningkat dari tahun ketahun. Fakta ini dapat dibuktikan denganhadirnya lebih dari 3.307 unit BMT pada tahun 2012 yang tersebardiseluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan kelembagaan ini diiringipertumbuhan jumlah nasabah yang membawa perkembangan yang pesatpula dalam kinerja keuangan BMT. Dana yang dihimpun BMT semakinbertambah banyak seiring jumlah pembiayaan yang juga meningkat,sehingga asset yang dimiliki BMT tumbuh sangat cepat dalam kurunwaktu singkat mencapai 1,5 triliun rupiah pada tahun 2012. Akantetapi potensi yang besar ini belum diimbangi dengan regulasiyang mampu menjaga tingkat kepercayaan yang telah diberikanmasyarakat kepada BMT, khususnya yang berkaitan dengan sejauhmanasimpanan yang dipercayakan masyarakat kepada BMT mampudipertanggungjawabkan secara hukum apabila terjadi kondisi yangtidak diinginkan. Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yangdibentuk pemerintah melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004selama ini hanya memiliki kewenangan yang terbatas pada ruanglingkup perbankan saja, sehingga belum ada perlindungan hukumterhadap nasabah yang mempercayakan simpanannya melalui BMT.Menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk membuat lembaga
serupa yang memiliki kewenangan menjamin simpanan yang ada di BMTsehingga mampu dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kata kunci: BMT, penjamin simpanan, hukum
I. PENDAHULUAN
Pertumbuhan lembaga keuangan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
diakui banyak pihak merupakan potensi besar yang akan
terus berkembang. Fakta ini dapat dilihat dari total
sumber dana yang dikelola PT. Permodalan BMT Ventura
(PBMT Ventura) sepanjang 2010 mencapai Rp. 58.6 miliar
meningkat 85,34% dibanding tahun sebelumnya.1 Fakta lain
yang juga mendukung adalah Jumlah BMT di seluruh
Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 3.307 unit
yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Asset BMT
diperkirakan lebih dari Rp 1,5 triliun, melayani lebih
dari 2 juta penabung (anggota) dan memberikan pinjaman
terhadap 1,5 juta pengusaha mikro dan kecil2.
Potensi tumbuh kembang Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang
menunjukkan tren positif ini perlu mendapatkan perhatian1 http://bmt- center/2011/05/05/ PBMT –ventura- tumbuh- 86%- di- 2010/diaksestanggal 13 Nopember 2013.2 http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/11/13/memantapkan-peran-koperasi-syariah/ diakses tanggal 16 Desember 2012.
serius mengingat wilayah cakupan kerja BMT yang mampu
menjangkau sampai ketingkat terbawah lapisan masyarakat
secara ekonomi. Konsep pemberdayaan masyarakat dibidang
ekonomi sejatinya dapat dilihat dari bagaimana BMT mampu
menyentuh masyarakat lapisan bawah dalam menggerakkan
roda ekonomi utamanya yang berada di sektor riil.
Kehadiran BMT bagi kalangan pengusaha mikro dan kecil
membawa angin segar khususnya pada aspek permodalan yang
selama ini menjadi problem utama para pelaku usaha kecil.
Apabila dibandingkan dengan lembaga keuangan seperti bank
syariah yang memiliki syarat dan ketentuan yang relatif
lebih ketat, keberadaan BMT lebih mudah diakses seluruh
lapisan masyarakat. Lewat lembaga keuangan ini pula dapat
dilihat contoh riil pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Dalam prakteknya di Indonesia BMT berbentuk Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) yang mengelola dana milik
masyarakat dalam bentuk simpanan maupun pembiayaan.3 Dari
sumber inilah pembiayaan BMT berasal. Dana yang
dipercayakan masyarakat kepada BMT dalam bentuk simpanan
kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat yang
membutuhkan dalam bentuk pinjaman. Pola kerja yang
diambil BMT pada akhirnya sama dengan pola kerja bank
syariah yang menjadi lembaga intermediasi. Menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat.3 Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Total Media,2008, hlm.290
Melihat kecenderungan pertumbuhan BMT yang terus
meningkat dan anemo
masyarakat yang semakin besar untuk menjadi mitra bagi
BMT sudah sepatutnya bagi pemerintah untuk terus
melakukan pembinaan terhadap lembaga keuangan ini. Salah
satunya dalam bentuk regulasi yang mampu memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat yang telah
mempercayakan dananya kepada BMT. Kasus beberapa BMT yang
mengalami pailit karena masalah likuiditas seperti yang
terjadi di Sleman, sebagaimana diberitakan tujuh belas
lembaga keuangan syariah dalam bentuk BMT dilereng gunung
merapi terancam bangkrut karena masalah likuiditas karena
macetnya dana pinjaman yang bergulir dimasyarakat 4
merupakan kondisi yang harus segera disikapi dengan cepat
terutama menyangkut bagaimana pertanggungjawaban BMT
terhadap dana nasabah yang telah dipercayakan dalam
bentuk simpanan.
II. IDENTIFIKASI MASALAH
Problem BMT yang mengalami masalah likuiditas sehingga
jatuh pailit merupakan masalah yang harus ditemukan
penyelesaiannya. Utamanya menyangkut bagaimana dana yang
telah dipercayakan masyarakat kepada BMT harus dapat
dipertanggungjawabkan. Karena bila kondisi ini dibiarkan
akan menimbulkan ekses negatif yang akan menurunkan
4http:// Antaranews/2011/02/12/Belasan-BMT-di-lereng-gunung-merapi-terancam-bangkrut/diakses tanggal 13 Nopember 2013
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BMT yang selama
ini lebih mudah diakses para pelaku usaha kecil. Turunnya
tingkat kepercayaan untuk menitipkan dananya kepada BMT
akan mengakibatkan turunnya sumber pembiayaan BMT yang
selama ini berasal dari masyarakat yang mempercayakan
dananya dalam bentuk pinjaman. Menurunnya sumber
pembiayaan BMT menyebabkan tingkat kemampuan BMT untuk
memberikan pembiayaan kepada masyarakat juga semakin
menurun, sehingga pelaku usaha kecil dalam hal ini juga
akan ikut merasakan ekses negatif berupa kesulitan
permodalan. Sehingga menjadi sangat urgen bagi pemerintah
untuk membentuk lembaga yang bertugas menjamin simpanan
pihak masyarakat yang telah mempercayakan dana yang
dimilikinya kepada BMT sebagai bentuk perlindungan hukum.
III. TINJAUAN LITERATUR
A. Sejarah Lahirnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
Istilah baitul mal wat tamwil sebenarnya berasal dari
dua suku kata, yaitu baitul mal dan baitul tamwil. Istilah
baitul mal berasal dari kata bait dan al mal. Bait artinya
bangunan atau rumah, sedangkan al mal berarti harta
benda atau kekayaan. Jadi baitul mal secara harfiah
merupakan rumah harta benda atau kekayaan. Secara fikih
adalah suatu lembaga atau badan yang bertugas untuk
mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, baik yang
berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan, maupun
yang berhubungan dengan masalah pengeluaran dan lain–
lain. Sedangkan baitul tamwil berarti rumah penyimpanan
harta milik pribadi yang dikelola oleh suatu lembaga.5
Merunut sejarah lahirnya BMT berarti merunut
sejarah hukum Islam pada masa Rasulullah. Sebab lembaga
keuangan ini diadopsi dari lembaga keuangan pada masa
Rasulullah SAW dimana dalam operasionalnya berkaitan
dengan penghimpunan maupun penyaluran dana serta
mengelola dana-dana sosial seperti zakat, infaq,
shadaqah, hibah, kharaj, kaffarah, jizyah, dan
sebagainya.6 Para penulis muslim sendiri berbeda
pendapat dalam hal fungsi baitul maal pada zaman
Rasulullah. Sebagian berpendapat bahwa Baitul maal
berfungsi serupa dengan bank sentral seperti yang ada
sekarang walaupun tentunya lebih sederhana karena
berbagai keterbatasan pada waktu itu. Sedangkan yang
lain berpandangan Baitul maal berfungsi seperti Menteri
Keuangan atau Bendahara Negara masa kini, karena
fungsinya yang aktif dalam menyeimbangkan antara
pendapatan dan belanja negara, bukan hanya sekedar
berfokus kepada pengaturan suplai dan moneter. 7
Perbedaannya adalah pada masa Rasulullah tidak
dilakukan fungsi baitul tamwil. Fungsi yang dilakukan
hanyalah sebagai baitul maal saja yakni menerima titipan
5 Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.6 Op.cit hlm.2907 Muslimin H Kara, Bank Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm.57
dana zakat, infaq dan sedekah serta mengoptimalkan
distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya8.
Di Indonesia sejarah BMT dimulai pada tahun 1990
digerakkan oleh para aktivis muslim yang resah melihat
keberpihakan ekonomi negara yang tidak berpihak kepada
rakyat kecil. Para penggerak lembaga ini benar-benar
beragam, mulai dari Dompet Dhuafa, Baitul Maal
Muamalat, dan kelompok perorangan seperti BMT Bina
Insan Kamil, BMT Binama Semarang dan BMT Tamzis di
Wonosobo.9
Secara kelembagaan BMT terus mengalami
perkembangan dan perluasan sampai muncul wacana perlu
dilakukan pembinaan pada BMT-BMT serta dibutuhkan
adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan
jaringan antar BMT ataupun penghubung BMT kepada
lembaga ekonomi yang lebih besar baik pemerintah atau
swasta, dan tentunya juga dalam usaha untuk menumbuhkan
dan mengembangkan BMT dimasa depan, maka berdiri
pulalah lembaga pembina BMT yang berupa Lembaga
Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), Pusat
Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) maupun Dompet
Dhuafa (DD) Republika. Dan yang sampai saat ini masih
dengan sangat intensif melakukan pendampingan dan8 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.4479 Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Total Media,2008, hlm.290
pembinaan terhadap BMT-BMT yang telah dan akan berdiri
adalah PINBUK. Sejak didirikan pada 1995, PINBUK telah
mengibarkan bendera dakwahnya dengan memberdayakan para
pengusaha kecil. Ini dilakukan dengan mendirikan
berbagai lembaga keuangan alternatif yang berprinsip
syariah di lapisan grass root. Lembaga keuangan itu
bernama Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau padanan kata
dari Balai Usaha Mandiri Terpadu. BMT menerapkan
prinsip syariah atau bagi hasil yang sangat mudah
dikenalkan pada masyarakat baik di perkotaan maupun
pedesaan.10
B. Falsafah Kerja Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
Bercermin pada perkembangan kelembagaan BMT yang
ada di Indonesia dapat dilihat dua fungsi utama yang
menjadi falsafah kerja BMT yaitu sebagai media penyalur
pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infaq,
shodaqoh, dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai
institusi yang bergerak dibidang investasi yang
bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada
fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi
sebagai lembaga keuangan, BMT juga berfungsi sebagai
lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan BMT bertugas
menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang
memercayakan dananya disimpan di BMT dan menyalurkan
dana kepada masyarakat (anggota BMT) yang diberikan
10 http://lazbmki.blogspot.com/2010/11/bmt-sejarah-dan-visi diakses Tanggal 13Nopember 2013
pinjaman oleh BMT. Sedangkan sebagai lembaga ekonomi,
BMT berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti
mengelola kegiatan perdagangan, industri, dan
pertanian.11
Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu:12
1. Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dan
muamalah Islam kedalam kehidupan nyata;
2. Keterpaduan (kaffah) dimana nilai-nilai spiritual
berfungsi mengarahkan dan menggerakkan etika dan
moral yang dinamis, proaktif, progresif, adil, dan
berahlak mulia;
3. Kekeluargaan;
4. Kebersamaan;
5. Kemandirian;
6. Profesionalisme;
7. Istiqomah
BMT melakukan usaha – usaha 13:
a. Mengembangkan kegiatan simpan – pinjam dengan prinsip
bagi hasil.
b. Mengembangkan lembaga dan bisnis Kelompok Usaha
Muamalah yaitu kelompok simpan–pinjam yang khusus
binaan BMT.
11 Op.cit hlm.44812 Ibid hlm.44913 Aziz Abdul dan Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2010, hlm.118.
c. Jika BMT telah berkembang cukup mapan, memprakarsai
pengembangan badan usaha sektor riil (BUSRIL) dari
POKUSMA-POKUSMA sebagai badan usaha pendamping
menggerakkan ekonomi riil rakyat kecil di wilayah
kerja BMT tersebut yang manajemennya terpisah sama
sekali dari BMT.
d. Mengembangkan jaringan kerja dan jaringan bisnis BMT
dan sektor riil mitranya sehingga menjadi barisan
semut yang tangguh sehingga mampu mendongkrak
kekuatan ekonomi bangsa Indonesia.
Produk BMT berbeda – beda tergantung dari
BMTnya masing – masing, akan tetapi secara umum
meliputi :
1) Produk Simpanan
a) Simpanan Mudhorobah
b) Simpanan Haji
c) Simpanan Umroh
d) Simpanan Qurban
e) Simpanan Mudhorobah Berjangka
2) Produk Pembiayaan
a) Musyarokah ( Pembiayaan Bersama-Bagi Hasil )
b) Mudhorobah ( Pembiayaan Total – Bagi Hasil )
c) Murobahah ( Pemilikan barang jatuh tempo - Margin )
d) Jasa Al-Qord ( Pemilikan barang angsuran – Margin)
C. Sejarah Penjaminan Simpanan di Indonesia
Di Indonesia, wacana mengenai perlunya skema
penjaminan mulai muncul ketika terjadi kebangkrutan
Bank Summa pada November 1992. Setelah preseden
tersebut, mulai muncul kesadaran, bahwa para penabung
(deposan) harus mendapatkan perlindungan yang memadai,
tatkala terjadi mismatch dan insolvency yang disebabkan
oleh kesalahan manajemen bank. Kasus bangkrutnya Bank
Summa memang sempat memunculkan wacana Lembaga
Penjaminan Simpanan. Namun sayang, wacana pembentukan
financial safety net ini tidak sempat teralisasikan, terutama
karena kasus Bank Summa relative dapat diredam, ketika
William Suryadjaja, ayah dari Edward Suryadjaja
(pemilik dan pengendali Bank Summa) rela melakukan bail
out atau “pasang badan” yang dananya berasal dari
penjualan grup Astra, konglomerat nomor dua di
Indonesia saat itu, sesudah grup Salim.14
Sayang, momentum bail out Summa oleh William ini
tidak sampai menghasilkan pendirian Lembaga Penjamin
simpanan. Orang pun kemudian dengan mudah melupakan
preseden ini. Wacana pembentukan penjaminan simpanan
baru menemukan kembali momentumnya, tatkala
perekonomian Indonesia memasuki periode krisis diakhir
1997 dan awal 1998. Penutupan 16 bank pada 1 November
1997 telah menyebabkan kepanikan, sehingga terjadi rush
atau penarikan dana (money withdrawal) dari bank-bank.
14 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.1
Semua hal ini memaksa pemerintah untuk menerbitkan
skema penjaminan 100 persesn (blanket guarantee) pada 27
Januari 1998. Pemerintah terpaksa melakukan penjaminan
100 persen bukannya penjaminan sampai batas tertentu
untuk setiap account karena tingkat kepercayaan terhadap
industry perbankan sudah berada pada titik nadhir.
Hanya dengan cara menjamin 100 persen yang dapat
menahan dana deposan untuk tidak ditarik lebih lanjut.15
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap
industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang
terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik
dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.16
Kondisi ini disadari sebagai sesuatu yang bersifat
sementara dan untuk itu perlu dibuat suatu sistem yang
lebih permanen berkaitan dengan penjaminan simpanan.
Karena itu pada taun 2004 pemerintah melalui Undang-
undang Nomor 24 tahun 2004 membentuk Lembaga Penjamin
Simpanan yang sekaligus menghapuskan sistem penjaminan
blanket guarantee yang telah ada sebelumnya. Tahapan
diatas sangat jelas menunjukkan bahwa era blanket
guarantee sudah mulai berakhir sejak 22 September 2005
dan menuju kearah limited guarantee pada Maret 2006.17
15 Ibid. hlm.416 Ibid. hlm.517 Ibid. hlm.30
Terdapat dua perbedaan mendasar antara jaminan
yang diberikan oleh program blanket guarantee dan jaminan
yang diberikan malalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Pertama, dalam hal cakupan. Kedua, besarnya jumlah yang
dijamin. Blanket guarantee menjamin hampir seluruh
kewajiban bank dengan jumlah jaminan tanpa batas.
Adapun jaminan yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) hanya mencakup simpanan masyarakat pada bank
(deposan) dengan jumlah maksimal tertentu. 18
Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan nasabah
terhadap industri perbankan dan bertujuan untuk:
Pertama, menurunkan kemungkinan terjadinya rush; kedua,
melindungi nasabah penyimpan kecil yang secara sosial
dan politik tidak dapat menanggung beban akibat
kebangkrutan bank; dan ketiga, menyediakan jalan agar
biaya sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat
diminimalkan. Singkat kata, Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) merupakan mekanisme untuk mempermudah bank
bermasalah dilikuidasi.19
IV. ANALISIS DAN DISKUSI
A. Penjaminan Hak Milik dalam Hukum Islam
Konsep Islam mengenai pemilikan amatlah unik.20
Kepemilikan individu dalam Islam diakui dalam batasan18 Ibid. hlm.819 Ibid. hlm.920 Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, Jakarta: Kencana, 2012, hlm.357
adanya kewajiban moral bahwa setiap bagian atau
kelompok didalam masyarakat memiliki bagian didalam
harta tersebut. Sehingga seseorang yang memiliki harta
boleh bertindak atas harta yang dalam status
kepemilikannya akan tetapi terbatasi dengan hak-hak
orang lain didalam harta tersebut. Didalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah khususnya pasal 17 pemilikan
harta didasarkan pada asas: 21
1. Amanah, bahwa pemilikan harta pada dasarnya
merupakan titipan Allah SWT untuk digunakan untuk
kepentingan hidup.
2. Infiradiyah, bahwa pemilikan benda pada dasarnya
bersifat individual dan penyatuan benda dapat
dilakukan dalam bentuk badan usaha atau koperasi.
3. Ijtima’iyah, bahwa pemilikan benda tidak hanya memiliki
fungsi pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi
pada saat yang sama didalamnya terdapat hak
masyarakat.
4. Manfaat, bahwa pemilikan harta benda pada dasarnya
diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit
mudarat.
Berdasarkan asas kepemilikan harta yang bersifat
infiradiyah maka secara jelas dapat dilihat bahwa hukum
Islam mengakui adanya kepemilikan individu dan
diperbolehkan kepemilikan individu tadi bersatu dalam
21 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
bentuk badan usaha atau koperasi. Sehingga seorang
nasabah yang memiliki sejumlah harta kemudian harta
tersebut disimpan di BMT sebagai bentuk penyatuan harta
kepada BMT sebagai suatu badan usaha merupakan sesuatu
yang sah secara hukum Islam.
Macam kepemilikan seperti ini termasuk kedalam al-
milku al-naqis atau milik yang tidak sempurna, yaitu
kondisi dimana seseorang menguasai materi harta akan
tetapi manfaatnya dikuasai orang lain.22 Dalam status
kepemilikan seperti ini harta menjadi amanah bagi orang
yang memanfaatkannya dan apabila ia bertindak sewenang-
wenang maka si pemilik harta dapat meminta ganti rugi.
Atas dasar ini pula BMT sebagai pihak yang menerima
manfaat dari harta yang dimiliki seorang nasabah,
apabila bertindak sewenang-wenang misalnya berbuat
lalai terhadap harta nasabah sehingga menimbulkan
kondisi pailit, maka sah secara hukum pemilik harta
tersebut meminta ganti rugi karena orang yang menerima
manfaat tidak mampu menjaga amanah yang telah diberikan
oleh si pemilik harta.
B. Urgensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) Sebagai Bentuk Penjaminan Hak Milik
Berdasarkan prinsip bahwa islam memberikan
perlindungan kepada hak milik walaupun sifatnya
terbatas, maka keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan
22 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012, hlm.67
(LPS) yang diperuntukan khusus BMT sejatinya merupakan
upaya untuk menjamin hak milik seseorang yang di dalam
hukum islam secara legal diakui. Upaya ini merupakan
langkah yang harus dilakukan dalam menjaga hak milik
nasabah yang diambil manfaatnya oleh BMT.
Melihat pola kerja BMT yang hampir mirip dengan
pola kerja yang ada di bank syariah, sudah sepatutnya
pula untuk menjaga likuiditas sekaligus memberikan
perlindungan kepada masyarakat terutama yang telah
mempercayakan dananya kepada BMT, dibuat sebuah sistem
penjaminan serupa dengan yang ada di bank syariah
melalui pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
khusus yang tugasnya melakukan penjaminan terhadap dana
masyarakat yang ada di BMT. Hal ini dilakukan untuk
mengatasi permasalahan jika ada BMT yang dinyatakan
pailit karena kesalahan manajemen pengelolaan BMT.
Pembentukan LPS khusus BMT diharapkan menjadi cara
untuk menjaga stabilitas dan likuiditas sistem keuangan
yang ada di BMT. Sebab Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 24 tahun
2004 pasal 4 berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenangnya
terbatas pada penjaminan di wilayah perbankan saja.
Padahal melihat pola gerak BMT yang hampir mirip dengan
bank syariah yakni menjadi lembaga intermediasi dengan
menghimpun dana dari masyarakat, potensi terjadinya
collapse sangat mungkin terjadi. Maka menjadi sebuah
keharusan bagi pemerintah untuk membentuk Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) khusus BMT selain itu juga
untuk menjalankan amanah Undang-undang Nomor 17 Tahun
2012 tentang Perkoperasian yang pada ketentuan pasal 94
mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) Koperasi Simpan Pinjam, badan hukum yang selama
ini banyak dipilih oleh BMT.
Berkaitan dengan wacana dibentuknya Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) khusus untuk BMT ada beberapa
catatan penting:
1. Keanggotaan yang Bersifat Wajib
Setiap BMT yang melakukan kegiatan simpan pinjam
diwajibkan menjadi peserta LPS BMT. Hal ini
sebagaimana diwajibkannya Bank menjadi peserta LPS.
Keanggotaan yang bersifat wajib ini diharapkan
mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal
kepada semua masyarakat agar terhindar dari bentuk
kelalaian manajemen BMT yang kurang profesional.
Sehingga masyarakat yang mempercayakan dananya di
BMT merasa aman dan yakin bahwa dana yang telah
dititipkan dapat dipertangungjawabkan secara hukum.
Hal ini juga akan berdampak positif terhadap citra
BMT yang karena oknum beberapa BMT yang kurang
profesional seringkali menyebabkan stigma negative
tentang tidak bertanggungjawabnya BMT terhadap dana
masyarakat. Citra positif yang melekat kepada BMT
diharapkan akan menjadi peluang tumbuh kembang BMT
menjadi semakin pesat dan BMT yang tidak mau
menjadi peserta LPS BMT akan ditinggalkan
masyarakat karena dianggap tidak professional.
Kewajiban bagi setiap BMT untuk menjadi peserta
LPS ini juga akan membawa dampak positif tertatanya
seluruh BMT yang sampai saat ini tidak ada data
resmi yang dapat diberikan pihak manapun berkaitan
dengan jumlah BMT yang ada di seluruh wilayah
Indonesia karena jumlahnya yang menyebar dan tidak
ada kejelasan siapa pihak yang berwenang melakukan
pengawasan kecuali yang berbadan hukum koperasi.
2. Batasan Jumlah Dana yang Dijamin dan Batasan Ganti
Rugi yang Diberikan
Sejak berdirinya, BMT diperuntukkan untuk
masyarakat dan pelaku usaha kecil sehingga nasabah
yang sekaligus menjadi anggota BMT adalah
masyarakat menengah kebawah. Menjadi sangat penting
adanya LPS khusus BMT ini agar dana yang dititipkan
masyarakat kepada BMT tetap dapat diminta
pertanggungjawaban apabila dikemudian hari terjadi
collapse.
Berkaitan dengan batasan jumlah dana yang dijamin
seharusnya ditetapkan dalam nominal minimalis
mengingat nasabah BMT yang kebanyakan dari golongan
menengah kebawah, sehingga dengan penetapan nominal
minimalis ini dapat mengakomodir seluruh nasabah
BMT yang telah menitipkan dananya. Berbeda halnya
apabila penetapan dananya nominal maksimalis maka
yang terlindungi hanya orang-orang yang memiliki
dana besar saja yang sudah barang tentu mereka
tidak termasuk kedalam kategori masyarakat dan
pelaku usaha kecil.
Batasan mengenai ganti rugi yang dapat diberikan
LPS apabila terjadi collapse ditetapkan berdasarkan
prosentase tertentu dari jumlah dana yang dimiliki
nasabah di BMT. Ini berarti bahwa LPS tidak
menanggung 100 persen ganti rugi terhadap dana
nasabah apabila suatu BMT dinyatakan pailit. Akan
tetapi tetap ada tanggungjawab BMT untuk menutup
seluruh kerugian yang dialami nasabah. Misalnya
suatu BMT dinyatakan pailit, maka LPS BMT
memberikan ganti rugi sebesar 80 persen dan sisanya
ditanggung BMT terkait bisa melalui penjualan aset
yang dimiliki BMT. Dengan cara seperti ini
diharapkan ada rasa tanggungjawab dari BMT ketika
mengelola dana masyarakat, sehingga prinsip kehati-
hatian dalam mengelola nasabah senantiasa
diterapkan dan kelalaian manajemen BMT dapat
dihindari.
3. Penyelenggara LPS
Pihak yang berhak menjalankan fungsi LPS BMT
hendaknya merupakan unsur gabungan dari pemerintah
dan perhimpunan ataupun konsorsium BMT. Dengan
adanya unsur pemerintah diharapkan ada legalitas
pengakuan mengenai eksistensi lembaga ini, dan
adanya unsur perhimpunan ataupun konsorsium BMT
diharapkan mampu mewakili para pegiat BMT mengingat
BMT ini merupakan gerakan ideologis yang bersumber
dari suatu keyakinan akan prinsip-prinsip syariah
yang harus dijalankan. Dengan adanya keterwakilan
unsur perhimpunan BMT diharapkan cita-cita dan
idealisme BMT yang lahir dari sebuah gerakan dapat
terus terjaga.
4. Pembayaran Kontribusi/ Premi dengan Menggunakan
Prinsip Asuransi Islam
Falsafah dasar Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang
diadopsi dari lembaga keuangan Baitul Maal yang pernah
dipraktikkan pada masa Rasulullah menjadikan
lembaga ini memiliki karakteristik khusus yang
berbeda dari lembaga keuangan mikro lainnya. Bahkan
bentuk badan hukum koperasi yang sebagian besar
dipilih BMT pun belum dapat mewakili pola gerak BMT
yang secara falsafah memang berbeda dengan koperasi
itu sendiri. Koperasi berangkat dari falsafah dari
anggota untuk anggota. Sedangkan BMT berangkat dari
falsafah hadir untuk kepentingan masyarakat seluas-
luasnya.
Karakteristik khusus inilah yang senantiasa harus
dijaga agar gerakan BMT yang bermula dari gerakan
ideologi tetap dapat eksis ditengah masyarakat
dengan tetap berpegang teguh kepada prinsip-prinsip
syariah. Salah satu upaya menjaga karakteristik
khusus BMT secara kelembagaan adalah dengan
membangun support system yang juga berpegang teguh pada
prinsip syariah. Hal ini dilakukan dalam kerangka
membangun sistem syariah yang terintegrasi (sharia
integrated system) dimana lembaga keuangan berbasis
syariah saling terintegrasi dalam membangun pola
ekonomi Islam yang telah mapan konsepnya selama
berabad-abad. Sebab falsafah dasar yang berbeda
pada ruang aplikasinya seringkali menemukan
kerancuan yang sulit diselesaikan.
Sistem ekonomi Islam diakui banyak pihak telah
bertahan lebih dari 14 abad. Bagi mereka yang dapat
memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh
dan total akan sadar bahwa sistem perekonomian akan
tumbuh dan berkembang dengan baik, bila didasari
oleh nilai-nilai dan prinsip syariah Islam.23Salah
satu yang menjadi bagian sistem yang telah lama
eksis ini adalah asuransi islam sehingga keberadaan
23 Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.134
asuransi islam ditengah masyarakat sesungguhnya
bukan merupakan hal baru sebagaimana pernah
dipraktikkan pada masa Rasulullah dulu.
Falsafah dasar asuransi Islam apabila dikaitkan
dengan kebutuhan akan adanya Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) khusus untuk BMT adalah bagaimana
LPS yang dibentuk nanti tetap menggunakan falsafah
dasar asuransi islam dalam pola geraknya
(operasionalnya) yang apabila dikaitkan dengan
tujuan berdirinya adalah untuk melindungi
kepentingan hak milik individu dalam hal ini
masyarakat yang mempercayakan dananya kepada BMT
dalam bentuk simpanan. Karena pada kenyataannya
terdapat perbedaan yang signifikan antara asuransi
islam dengan asuransi konvensional.
Falsafah dasar asuransi Islam adalah ta’awun
(sharing of risk) dimana terjadi proses saling
menanggung antara peserta satu dengan peserta
lainnya. Sedangkan asuransi konvensional lebih
kepada pemenuhan prinsip transfer of risk dimana terjadi
transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung.
Dengan falsafah dasar yang berbeda ini tentunya
menyebabkan perbedaan pola gerak (operasional) dan
sistem yang digunakan.
Dilihat dari sifat manfaat yang dihasilkan dari
perjanjian asuransi dapat dibagi tiga macam yaitu;
1) asuransi yang bersifat bisnis 2) asuransi yang
bersifat kolektif 3) asuransi sosial. 24 Diantara
ketiga macam asuransi tersebut bentuk kedua yaitu
asuransi kolektif yang tepat dengan konsep LPS
khusus BMT, dimana pihak pemberi tanggungan
(perusahaan) dan penerima jasa (peserta) seluruhnya
berada dalam satu pihak sebagai pengelola asuransi.
Caranya adalah dengan mengadakan perjanjian bersama
sejumlah orang dalam hal ini seluruh BMT yang
tergabung dalam LPS yang biasa menghadapi hal-hal
yang berbahaya berupa kondisi collapse, berkomitmen
akan memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi
apabila ada salah satu dari anggota BMT yang
tertimpa musibah dinyatakan pailit salah satunya.
Maka kondisi pailit yang dimaksud sudah dimasukkan
kedalam daftar tanggungan asuransi.
Dalam konsep asuransi syariah yang bersifat
kolektif setiap pembayaran premi sejak awal akan
dibagi dua. Bagian pertama masuk ke rekening
pemegang polis, dan bagian lain dimasukkan ke
rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru’ atau
sedekah untuk membantu saudaranya yang lain.25Dengan prinsip sharing of risk apabila terjadi suatu
BMT yang mengalami pailit maka sumber pembayaran
24 Karnaen Purwataatmadja, Gemala Dewi dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,2005, hlm.24425 Op.cit. hlm.254
klaim diperoleh dari rekening tabarru sebagai bentuk
ta’awun (tolong-menolong) terhadap BMT yang mengalami
kerugian atau tertimpa musibah. Sehingga kalau BMT
A mengalami pailit maka BMT B, C, D harus
membantunya, demikian sebaliknya. Dengan cara
seperti ini unsur gharar (ketidakjelasan) dapat
dihilangkan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Ada beberapa kesimpulan dari tulisan ini:
1. Islam mengakui adanya hak milik individu dan
diperbolehkan adanya penyatuan harta dalam bentuk badan
usaha seperti BMT.
2. Urgensi dibentuknya LPS khusus untuk BMT sejatinya
merupakan perlindungan Islam terhadap hak milik.
3. LPS khusus untuk BMT yang akan dibentuk seharusnya
tetap menggunakan prinsip-prinsip asuransi islam
sebagai konsistensi dalam menjalankan lembaga keuangan
yang berpedoman pada prinsip-prinsip syariah.
Adapun saran yang dapat diberikan penulis antara lain:
1. Segera dibentuk tim khusus yang akan menjadi cikal
bakal lahirnya LPS khusus untuk BMT yang berdoman pada
prinisip-prinsip asuransi islam yang terdapat unsur
perwakilan dari BMT.
2. LPS khusus untuk BMT yang nantinya akan dibentuk
dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum IslamDinamika Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: TotalMedia,2008.
Abdul Aziz dan Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi IslamKontemporer, Bandung: Alfabeta, 2010.
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan,Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:Kencana, 2009.
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,1992.
Karnaen Purwataatmadja, Gemala Dewi dkk, Bank dan AsuransiIslam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,2005.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012.
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar,Jakarta: Kencana, 2012.
Muslimin H Kara, Bank Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UIIPress, 2005.
Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika,2008.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LembagaPenjamin Simpanan
http://Antaranews/2011/02/12/Belasan-BMT-di-lereng-gunung-merapi-terancam-bangkrut/diakses tanggal 13 Nopember2013
http://bmt- center/2011/05/05/ PBMT –ventura- tumbuh-86%- di- 2010/diakses tanggal 13 Nopember 2013.
http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/11/13/memantapkan-peran-koperasi-syariah/ diakses tanggal 16Desember 2012.
http://lazbmki.blogspot.com/2010/11/bmt-sejarah-dan-visidiakses Tanggal 13 Nopember 2013
Top Related