tugas mandiri kewarganegaraan

36
TUGAS MANDIRI "DAMPAK KORUPSI , KOLUSI DAN NEPOTISME" Mata Kuliah : Kewarganegaraan Nama Mahasiswa : Yolla Anggari NPM : 120210212 Dosen : Tim Dosen

Transcript of tugas mandiri kewarganegaraan

TUGAS MANDIRI

"DAMPAK KORUPSI ,

KOLUSI DAN NEPOTISME"

Mata Kuliah : Kewarganegaraan

Nama Mahasiswa : Yolla Anggari

NPM : 120210212

Dosen : Tim Dosen

UNIVERSITAS PUTERA BATAM

2012

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa atas rahmat dan petunjukNya sehingga penulis

dapat menyelesaikan Tugas Mandiri Kewarganegaraan tentang

DAMPAK KORUPSI ,KOLUSI DAN NEPOTISME yang mana makalah ini

disusun bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah

kewarganegaraan di Universitas Putera Batam.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan

keterbatasan dalam penyajian data program di makalah

ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang membangun dari semua pembaca demi

kesempurnaan makalah yang ditulis ini. Semoga makalah

ini berguna dan dapat menambah ilmu pengetahuan

pembaca.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih

sebanyak-banyak nya kepada semua pihak yang telah ikut

membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan makalah

ini dan yang telah banyak membantu dari awal hingga

akhir makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa

senantiasa meridhoi kita semua, Amin.

i

Hormat Saya,

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................i

DAFTAR ISI...........................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................1

1. Pengertian Korupsi...............................1

2. Pengertian Kolusi................................2

3. Pengertian Nepotisme.............................2

BAB II DAMPAK PRAKTEK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

TERHADAP KETAHANAN EKONOMI BANGSA.....................8

1. Demokrasi.......................................12

2. Ekonomi.........................................13

3. Kesejahteraan Umum Negara.......................14

4. Bentuk-bentuk Penyalahgunaan....................14

5. Penyogokan......................................14

6. Sumbangan Kampanye atau “Uang Haram”............15

ii

7. Tuduhan Korupsi Sebagai Alat Politik............16

8. Mengukur Korupsi................................16

BAB III PEMBARANTASAN KORUPSI DI INDONESIA...........17

1. Orde Lama.......................................17

2. Orde Baru.......................................18

3. Reformasi.......................................18

BAB IV PENUTUP.......................................19

1. Kesimpulan......................................19

2. Saran...........................................20

DAFTAR PUSTAKA.......................................21

iii

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pengertian Korupsi

Menurut (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja

corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik,

menyogok) menurut Transparency International adalah

perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun

pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal

memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat

dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara

garis besar mencakup unsur-unsur sbb:

o perbuatan melawan hukum;

o penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau

sarana;

o memperkaya diri sendiri, orang lain, atau

korporasi;

o merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana

korupsi yang lain, diantaranya:

1

a. Memberi atau menerima hadiah atau janji

(penyuapan);

b. Penggelapan dalam jabatan;

c. Pemerasan dalam jabatan;

d. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai

negeri/penyelenggara negara);

e. Menerima gratifikasi (bagi pegawai

negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis

adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan

pribadi. Semua bentuk instansi pemerintahan rentan

rentan terhadap tindakan korupsi. Beratnya korupsi

berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk

penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan

menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang

diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah

kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh

para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun

tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan

birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,

terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering

memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan

narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu

sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk

mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat

2

penting untuk membedakan antara korupsi dan

kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau

wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap

korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai

politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga

yang tidak legal di tempat lain.

2. Pengertian Kolusi

Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di

dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan

saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama.

Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar

oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk

bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi

pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus

dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai

kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan

perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara

tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang

diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu

sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

3. Pengertian Nepotisme

Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman

akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan

kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks

derogatori. Sebagai contoh : kalau seorang manajer

3

mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara,

bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun

bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena

nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan

bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan

naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan

saudara.

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang

berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan

beberapa paus Katholik dan uskup yang telah mengambil

janji “chastity”, sehingga biasanya tidak mempunyai

anak kandung lalu memberikan kedudukan khusus kepada

keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya

sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan

dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali,

penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan

“dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari

keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi

kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan

posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi

paus, menjadi Paus Aleksander VI.

Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro

Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal;

Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga

melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya

(umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek

seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII

4

yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet

pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang

semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah

milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan

pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling

bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak

menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif,

yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya

mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin

tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial

masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para

menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur,

bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan

bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi

tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan

tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk

dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana

korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP

yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak

perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good

goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-

cita reformasi.

5

Bak cendawan di musim hujan. Jumlah kasus-kasus

korupsi yang di ungkap sungguh melewati nalar dan akal

sehat bangsa kita. Dari segi jumlah nilainya. Jumlah

anggota dewan yang terlibat. Jumlah kota maupun

kabupaten tempat korupsi. Termasuk juga jumlah modusnya

yang bermacam-macam. Sudah sedemikian hinakah bangsa

kita. Sehingga, sampai-sampai, anggota dewan yang

seharusnya menjadi panutan dan teladan masyarakat,

justru tak dapat ditiru akhlaknya.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat

yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia

negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya

ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di

negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang

dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga

merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada

perkara yang terkait dengan hal itu.

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi

kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari

reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik,

hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah

pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan

bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik.

Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi,

lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat

drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu

bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi,

6

kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan

salah satu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru

yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan

dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu

kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja

yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.

Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi

dalam kehidupan berbangsa. Malang Corruption Watch

(MCW), 2003,menjabarkan hal sebagai berikut. Ditinjau

dari aspek politik dapat dilihat manakala proses

politik itu didasarkan bukan membawa kepentingan

masyarakat secara umum, tetapi lebih didasarkan atas

kemauan dan kepentingan untuk maksud-maksud tertentu

dengan membawa agenda pribadi yang dibungkus

kepentingan masyarakat. Contohnya, pada bentuk-bentuk

kolutif pemilihan walikota/bupati. Penyusuna/pembuatan

perda. LPT/LPJ Bupati/walikota. Pemenangan tender

proyek dan pada perijinan yang diskriminatif. Alih-alih

terjadilah apa yang disebut lemahnya pelayanan terhadap

kepentingan publik. Selain itu menimbulkan diskriminasi

hukum dan kebijakan. Kemudian mengarah pada legalisasi

produk kebijakan yang korup.

Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu

dilakukan dengan cara-cara tidak sah dalam mendapatkan

sesuatu melalui pola dan modus yang memanfaatkan

kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada

elit kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan disini adalah

7

kekuasaan dalam arti pengambil kebijakan (DPRD dan

Bupati/Walikota) dan kekuasaan modal (pengusaha) untuk

melakukan aktifitas ekonomi. Disini MCW memberi catatan

sebagai berikut, “Apabila aliran dana ekonomi berputar

pada ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu

masyarakat yang tidak cukup punya modal dan kemampuan

untuk menembus birokrasi pemerintahan akan tetap

mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.

Dari segi aspek sosial budaya lebih mengerikan

lagi. Sebagai dampak adanya korupsi, maka akan membawa

pemahaman baru bagi masyarakat tentang makna

pemerintahan, aktifitas bermasayarakat atau proses

bersosialisasi dengan sesama. Terkait dengan hal

demikian, adalah bagaimana korupsi mampu merubah

pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat

kekeluargaan menjadi masyarakat yang berberfaham

kebendaan. Diamana masyarakat kita yang suka menolong

berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih

setiap membantu yang lain.

Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era

reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk

perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus,

yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap

produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi

sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya

dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca

reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun

8

apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang

diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada

yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada

putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau

bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara

Perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai

koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan

bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya

adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden

Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap

korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak

mau disebut jalan ditempat.

Beberapa kasus besar memang telah sampai pada

putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi

perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan

elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun

kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan

selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa

menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka

tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi.

Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti

produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan

pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi

ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya,

kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga

menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan

bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya

9

bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan

kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak

peraturan justru korupsi semakin meningkat.

Muncul pertanyaan apakah dimasukannya tindak

pidana hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat

saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan

terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam

stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa

UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya?

Apakah ada error criminalitation? Padahal proses

pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang

besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya.

Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan

tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban

hukum.

Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki

prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan

tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine

solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan

yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya

ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang

bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif

serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah

kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi

penyebab awal permasalahan.

Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku

korupsi dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia

10

akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi

regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan

menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir

sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi

bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi

jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN

adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti

adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan

dalam struktur masyarakat.

Dengan berubahnya pola tingkah laku yang sesuai

dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika moral akan

lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi

Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan

antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat

mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.

BAB II

DAMPAK PRAKTEK

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

TERHADAP KETAHANAN EKONOMI BANGSA INDONESIA

Keterpurukan yang dialami oleh bangsa Indonesia

saat ini pada bidang ekonomi, politik, sosial budaya

dan bidang hukum berasal dari suatu penyakit yang telah

lama menggerogoti tubuh bangsa Indonesia, penyakit

tersebut adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

11

KKN kini telah menjadi sesuatu hal yang wajar terjadi

di Indonesia bahkan dapat dikatakan bahwa KKN telah

membudaya dalam masyarakat. Hal tersebut dikuatkan

dengan adanya tradisi dalam masyarakat yang dimulai

pada zaman kerajaan, tradisi tersebut adalah penyerahan

upeti kepada raja atau ratu. Tradisi tersebut hingga

sekarang masih banyak dilakukan oleh masyarakat.

Padahal dari tradisi tersebut dapat muncul suatu tindak

KKN.

Praktek KKN biasanya dilakukan oleh orang-orang

yang memiliki kekuasaan, mereka melakukan tindakan KKN

karena adanya kesempatan. Hal itu dapat diperkuat

dengan dalil yang dikemukakan oleh Lord Action (seorang

ahli sejarah Inggris) tentang kekuasaan, yang

menyatakan bahwa, “Power tends to corrupt, but absolute

power corrupts absolutely,” artinya manusia yang

mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan

kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan

tidak terbatas pasti akan menyalahgunakanya. Maka dari

itu di Indonesia banyak pejabat negara yang terlibat

dalam tindak korupsi. Korupsi telah telah melanda

seluruh lapisan pemerintahan mulai dari yang paling

rendah hingga ke tingkat atas, yaitu presiden. Bahkan

institusi yang ditunjuk pemerintah untuk menangani dan

mengawasi KKN justru ikut larut dalam arus KKN.

12

Adapun penyebab terjadinya tindak KKN adalah:

a. Munculnya paham materialisme

Dengan munculnya paham materialisme dalam

kehidupan masyarakat maka dapat menimbulkan cara

berfikir yang hanya memandang kebendaan atau

materi. Sehingga segala sesuatu akan diukur dengan

materi.

b. Moral dan akhlak yang rendah

Rendahnya moral dan akhlak masyarakat akan

menimbulkan pandangan hidup yang hanya

mementingkan keduniawian saja, sehingga munsulah

hedonisme. Akhlak yang rendah akan menurunkan

tingkat rasa malu pada individu, sehingga jika ia

mengambil uang atau hak dari orang lain akan

merasa biasa-biasa saja seolah tidak pernah

melakukan pelanggaran.

c. Nafsu keserakahan

Rasa kesarakahan akan menimbulkan rasa yang tidak

akan kunjung puas untuk memiliki suatu benda

maupun materi dalam bentuk uang. Dengan adanya

keserakahan dapat pula membutkan mata hati

seseorang, sehingga bisa saja memperoleh rejeki

dengan cara yang tidak halal.

Praktik KKN dapat menimbulkan beberapa kerugian

bagi Negara, kerugian yang sangat dirasakan oleh Negara

adalah kerugian dalam ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi

13

KKN telah mengakibatkan kurang optimalnya pembangunan

ekonomi yang dijalankan oleh Negara. Hal itu disebabkan

hasil yang diperoleh Negara menjadi lebih kecil dari

yang seharusnya dapat dicapai.

Disamping itu muncul pula ketidakadilan dalam

pemerataan hasil pembangunan serta adanya ketidakadilan

dalam pemberian kesempatan untuk melakukan kegiatan

ekonomi. Hal tersebut dapat terjadi dengan cara

pemberian fasilitas yang istimewa kepada pihak tertentu

sehingga akan menutup peluang bagi pihak yang lain.

Untuk itulah dibutuhkan upaya dalam menangguilangi

KKN, upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara:

a. Menegakkan hukum yang seadil-adilnya.

b. Membenahi birokrasi ditingkat pusat maupun daerah.

c. Dibutuhkan sosok atau figure yang dapat untuk

diteladani

d. Melakukan efisiensi jumalah pegawai.

e. Diperlukan adanya reformasi dalam kelembagaan,

misalnya pada lembaga peradilan.

f. Adanya pengawasan yang dilakukan secara ketat

terhadap kekuasaan eksekutif dan sebaiknya

pengawasan dan pemeriksaan tersebut harus benar-

benar independent dan efektif.

g. Dibutuhkan lembaga-lembaga di luar birokrasi yang

kuat, seperti LSM dan ORMAS masyarkat dapat ikut

serta mengawasi jalanya pemerintahan.

14

Jika hal tersebut dapat dijalankan dengan baik

maka ketahanan dalam bidang ekonomi akan kembali pulih.

Namun jika fenomena KKN ini tetap dibiarkan saja dan

tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah, maka KKN

akan semakin menggrogoti ekonomi bangsa. Hal itu

dikarenakan KKN adalah musuh utama dalam perekonomian

suatu negara. Mengingat bahwa dengan adanya tindak KKN

pemerataan pembangunan akan sulit tercapai, sehingga

sulit untuk menciptakan kemakmuran bagi seluruh

masyarakat. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana

korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai

berikut:

o Perbuatan melawan hukum;

o Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau

sarana;

o Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau

korporasi;

o Merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana

korupsi yang lain, di antaranya:

15

o memberi atau menerima hadiah atau janji

(penyuapan);

o Penggelapan dalam jabatan;

o Pemerasan dalam jabatan;

o Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai

negeri/penyelenggara negara);

o Menerima gratifikasi (bagi pegawai

negeri/penyelenggara negara).

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang

tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat,

seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang

bukan demokratik.

b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan

pemerintah

c. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan

pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik

yang normal.

d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah

besar.

e. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri

dan jaringan "teman lama".

f. Lemahnya ketertiban hukum.

g. Lemahnya profesi hukum.

h. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan

media massa.

16

i. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

Mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai

negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari

makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang

menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-

hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling

gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-

pejabat" namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal

tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang

bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain.

Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling

menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang

melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan

pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling

menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di

Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam

tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of

three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).

Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia

di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot

sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai,

gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua

minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian

memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak

diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang

17

ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku

"Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)

Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah

dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang

cukup ke pemilihan umum.

Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah

penyuapan atau "sumbangan kampanye".

1. Demokrasi

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap

pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi

mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik

(good governance) dengan cara menghancurkan proses

formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan

legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di

pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan

menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di

pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan

dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi

mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena

pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya dan pejabat

diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.

Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit

legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti

kepercayaan dan toleransi.

2. Ekonomi

18

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi

dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang

tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan

ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal,

ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup,

dan risiko pembatalan perjanjian atau karena

penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa

korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah

birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan

bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk

membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana

korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga

mengacaukan "lapangan perniagaan".

Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari

persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan

perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi

menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik

dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek

masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih

banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek

masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang

akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi

juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan

bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.

Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan

dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan

terhadap anggaran pemerintah.

19

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah

satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di

Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi

yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan

perpindahan penanaman modal (capital investment) ke

luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri

(maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada

diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss).

Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto

yang sering mengambil satu potongan dari semuanya

(meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk

pembangunan, melalui investasi infrastruktur,

ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas

Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai

1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara

berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang

luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian

pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah

dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis

Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya

adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan

bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset

pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini

memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk

kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari

ekspropriasi di masa depan.

20

3. Kesejahteraan Umum Negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan

memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi

politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering

menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu

contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat

peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun

merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-

politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan

pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan

sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

4. Bentuk-bentuk Penyalahgunaan

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat

pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga

penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan

pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran

tangan, dan penipuan.

5. Penyogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi

sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa

negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup

sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga

tanpa terlibat penyogokan. Negara-negara yang paling

sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama

21

dengan negara-negara yang paling sering menerima

sogokan.

Duabelas negara yang paling kurang korupsinya,

menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh

rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001

adalah sebagai berikut:

o Australia

o Kanada

o Denmark

o Finlandia

o Islandia

o Luxemburg

o Belanda

o Selandia

Baru

o Norwegia

o Singapura

o Swedia

o Swiss

o Israel

Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara

yang paling korup adalah:

o Azerbaijan

o Bangladesh

o Bolivia

o Kamerun

o Indonesia

o Irak

o Kenya

o Nigeria

o Pakistan

o Rusia

o Tanzania

o Uganda

o Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih

diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi

subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari

penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey

semacam itu juga tidak ada).

6. Sumbangan Kampanye atau "Uang Haram"

22

Di arena politik, sangatlah sulit untuk

membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk

membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering

banyak ada gosip menyangkut politisi. Politisi terjebak

di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta

sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka

terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka

yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya

menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

23

7. Tuduhan Korupsi Sebagai Alat Politik

Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk

mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di

Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu

Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk

melemahkan lawan-lawan politik mereka.

8. Mengukur Korupsi

Mengukur korupsi dalam artian statistik, untuk

membandingkan beberapa negara, secara alami adalah

tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya

ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM

terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga

tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks

Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli

tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer

Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat

terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan

korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat

seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan

sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan

Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus

kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan

sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah

Indikator Kepemerintahan.

BAB III

PEMBERANTASAN KORUPSI

DI INDONESIA

Dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde

Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

1. Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960. Antara

1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal

seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan

Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan

Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di

bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa

kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di

Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali

Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar

negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya

Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta

rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari

ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut

mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap

(kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan

Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil

ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian

dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan

politik Sukarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan

Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang

sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia.

Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan

menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi

di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan

korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin

tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang

berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang

merupakan lahan korupsi paling subur.

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu,

yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula,

diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono,

dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai

hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh

Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto

saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang

kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus

ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto

menjadi ketua Senat Seskoad.

2. Orde Baru

Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971. Korupsi orde baru

dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis

strategis.

3. Reformasi

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001.

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan

oleh beberapa institusi:

a. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)

b. Komisi Pemberantasan Korupsi

c. Kepolisian

d. Kejaksaan

e. BPKP

f. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi

massa (mis: ICW)

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak

menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif,

yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya

mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin

tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial

masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para

menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur,

bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan

bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi

tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan

tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk

dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana

korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP

yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak

perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good

goverment and clean goverment sebagai salah satucita-

citareformasi.

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi

kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari

reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik,

hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah

pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan

bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik.

Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi,

lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat

drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu

bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi,

kolusi dan nepotisme (KKN).

2. Saran

Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki

jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal

meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya

adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk

undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan

pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).

Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era

reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk

perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus,

yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap

produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi

sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya

dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca

reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif.

Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai

yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde

baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang

sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang

dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan

Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari

sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul

pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi?

Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa

presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang

terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya,

kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

”MARI BERANTAS KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME SEJAK DINI

SAMPAI KE AKARNYA”

DAFTAR PUSTAKA

http://catholic-forum.com/saints/ncd05726.htm.

http://www.newadvent.org/cathen/01289a.htm.

http://www.newadvent.org/cathen/11579a.htm.

http://www.goggle.com

http://www.ask.com