Tugas Bangsal Madya Nutrisi Nutritional Management of Cholestatic Syndromes in Childhood

34
PENDAHULUAN Penyakit hati dengan manifestasi kolestasis menyebabkan risiko malnutrisi berat, meliputi malnutrisi energi protein dan kekurangan nutrisi tertentu. Penentuan status gizi berdasarkan pengukuran antropometri menjadi tidak mudah karena terdapat ascites dan edema perifer. Penentuan status vitamin larut lemak secara biokimiawi penting untuk mengevaluasi kebutuhan tubuh. Prinsip dasar dari pengelolaan nutrisi pada kolestasis adalah untuk memperbaiki status gizi serta mengurangi risiko akibat kekurangan nutrisi. Anak dengan kolestasis memerlukan energi tambahan yang diperoleh dengan meningkatkan asupan makanan padat kalori atau penambahan polimer glukosa dan lemak. Untuk pertumbuhan catch- up, asupan protein harus ditingkatkan. 1 Suplemen vitamin yang larut dalam lemak harus mendapat perhatian khusus. Tidak mudah untuk memperbaiki status vitamin E yang buruk pada kolestasis. Pemberian vitamin K secara parenteral dibutuhkan pada beberapa anak. Untuk saat ini, pemberian vitamin E yang larut dalam air (d-α-tokoferol polietilen glikol 1000 suksinat ) per oral memberikan efek terapi yang baik. Pada keadaan penyakit hati dengan kolestasis yang berkembang menjadi penyakit hati kronik, terapi nutrisi dapat menjembatani untuk transplantasi hati. Dengan demikian, dukungan nutrisi invasif dibenarkan pada penyakit hati yang berat, mencakup pemasangan selang nasogastrik untuk mencukupi nutrisi nokturnal, atau bahkan nutrisi parenteral. 1 1

Transcript of Tugas Bangsal Madya Nutrisi Nutritional Management of Cholestatic Syndromes in Childhood

PENDAHULUAN

Penyakit hati dengan manifestasi kolestasis menyebabkan

risiko malnutrisi berat, meliputi malnutrisi energi protein

dan kekurangan nutrisi tertentu. Penentuan status gizi

berdasarkan pengukuran antropometri menjadi tidak mudah

karena terdapat ascites dan edema perifer. Penentuan status

vitamin larut lemak secara biokimiawi penting untuk

mengevaluasi kebutuhan tubuh. Prinsip dasar dari pengelolaan

nutrisi pada kolestasis adalah untuk memperbaiki status gizi

serta mengurangi risiko akibat kekurangan nutrisi. Anak

dengan kolestasis memerlukan energi tambahan yang diperoleh

dengan meningkatkan asupan makanan padat kalori atau

penambahan polimer glukosa dan lemak. Untuk pertumbuhan catch-

up, asupan protein harus ditingkatkan.1

Suplemen vitamin yang larut dalam lemak harus mendapat

perhatian khusus. Tidak mudah untuk memperbaiki status

vitamin E yang buruk pada kolestasis. Pemberian vitamin K

secara parenteral dibutuhkan pada beberapa anak. Untuk saat

ini, pemberian vitamin E yang larut dalam air (d-α-tokoferol

polietilen glikol 1000 suksinat ) per oral memberikan efek terapi yang

baik. Pada keadaan penyakit hati dengan kolestasis yang

berkembang menjadi penyakit hati kronik, terapi nutrisi dapat

menjembatani untuk transplantasi hati. Dengan demikian,

dukungan nutrisi invasif dibenarkan pada penyakit hati yang

berat, mencakup pemasangan selang nasogastrik untuk mencukupi

nutrisi nokturnal, atau bahkan nutrisi parenteral.1

1

PENGELOLAAN NUTRISI PADA ANAK DENGAN KOLESTASIS

Penyakit hati dengan gejala klinis kolestasis harus

dikenali sejak dini dan pengobatan yang spesifik harus

dimulai seawal mungkin. Banyak penyakit hati dengan

kolestasis yang berkembang menjadi insufisiensi hati dan

memerlukan transplantasi hati. Terapi nutrisi menjadi salah

satu prioritas dan dapat dianggap mampu menjembatani

persiapan untuk dilakukan transplantasi hati. Status gizi

merupakan faktor prognostik penting, dan anak-anak dengan

status gizi lebih baik memiliki sedikit komplikasi dan

kematian yang lebih rendah pada transplantasi hati.2

Kolestasis juga berhubungan dengan defisit nutrisi

tertentu. Samonte dkk.3 menjelaskan seorang pasien yang

menjalani transplantasi hati dengan komplikasi akibat

penyakit ginjal stadium akhir dan gagal hati. Dia mengalami

sariawan yang dibingungkan apakah akibat toksisitas

siklosporin, termasuk keluhan kulit akibat vaskulitis dan

nyeri tulang yang dianggap berkaitan dengan osteodistrofi

ginjal atau corticosteroid-induced osteoporosis. Akhirnya diketahui

bahwa komplikasi penyakit itu disebabkan oleh kekurangan

vitamin C akibat intake makanan yang tidak adekuat pada

penyakit hati.3

Dalam makalah ini akan dibahas tentang penyebab

malnutrisi pada kolestasis, penentuan status gizi, kebutuhan

nutrisi pada kolestasis, jalur pemberian nutrisi pada

penderita penyakit hati dengan kolestasis.

2

Penyebab Malnutrisi pada Kolestasis

Etiologi malnutrisi pada kolestasis adalah rendahnya

intake oral, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagian

pasien dengan penyakit hati kronik kehilangan sensasi

rasa/pengecapan, yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A

dan atau zinc. Anorexia juga sering dijumpai pada penyakit hati

lanjut dan dikaitkan dengan organomegali atau ascites. Rasa

kenyang juga bisa diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi

leptin serum akibat penyakit hati yang lanjut. Pembatasan

diet seperti natrium, protein, dan cairan dapat mempengaruhi

asupan oral. Keadaan lemah dan ensefalopati dapat

mengakibatkan penurunan asupan oral.4

Malabsorbsi adalah keadaan lain yang mengakibatkan

malnutrisi pada penderita dengan kolestasis.1 Pada

kolestasis, berkurangnya aliran empedu menyebabkan penurunan

konsentrasi asam empedu intraluminal. Asam empedu dibutuhkan

untuk emulsifikasi dan penyerapan lemak dan trigliserid

rantai panjang (long-chain triglyceride/LCT). Lemak secara

signifikan berkontribusi terhadap pembentukan energi, dengan

demikian malabsorpsi pada kolestasis dapat menyebabkan

keseimbangan energi negatif. Banyak penelitian menunjukkan

bahwa penyerapan dan pemanfaatan lemak dan vitamin larut

lemak melewati beberapa tahapan : dispersi dalam emulsi

lemak, solubilisasi ke dalam micell campuran garam empedu,

gerakan melewati lapisan air yang berdekatan dengan

mikrovilli, penyerapan seluler oleh sel-sel mukosa usus,

masuk ke dalam kilomikron, dan sekresi ke kelenjar getah

bening. Penyerapan beberapa vitamin pada kolestasis sangat

3

rendah, seperti vitamin E atau ß-karoten, dan suplementasi

dosis tinggi secara efisien dapat menyeimbangkan penyerapan

yang rendah tersebut. Terdapat beberapa indikator malnutrisi

lain yang harus dievaluasi : asupan kalori yang rendah, diet

yang tidak seimbang antara konsumsi rendah lemak dan konsumsi

sayuran, meningkatnya status oksidatif akibat infeksi

berulang dan komplikasi penyakit hati lainnya.1

Pada kolestasis ditemukan pengeluaran energi yang

meningkat, dan peningkatan tersebut dapat mencapai 40 % atau

lebih pada malnutrisi.1 Infeksi adalah komplikasi yang

diketahui berperan dalam meningkatkan metabolisme tubuh pada

pasien dengan penyakit hati lanjut.5

Hipertensi portal mungkin memiliki efek sentral toksin

yang tidak diketahui. Hormon pertumbuhan, seperti IGF-1 dan

protein pengikatnya, diproduksi oleh hati sebagai respon

terhadap sirkulasi hormon pertumbuhan. Kondisi kolestasis dan

hipertensi portal dapat menyebabkan respon aksis IGF-1 tidak

normal. Kelainan ini tidak dapat dikoreksi dengan pemberian

makanan tambahan.6

Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi pada anak-anak dengan penyakit hati

kronis memiliki tujuan untuk : 7

1. Mengkonfirmasi status perkembangan dan pertumbuhan.

2. Menilai status gizi yang memerlukan penatalaksanaan

sebelum pengobatan, seperti keadaan gagal tumbuh.

3. Mengidentifikasi terapi nutrisi yang paling sesuai.

4

Untuk melengkapi penilaian status gizi, harus disertakan

riwayat medis, riwayat diet pasien, perhitungan asupan energi

dan protein yang biasa dikonsumsi, catatan yang berhubungan

dengan masalah asupan (yaitu mual, muntah, diare, atau

anoreksia), dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk

mengidentifikasi tanda-tanda kekurangan vitamin atau mineral.1

Anamnesis Nutrisi

Riwayat medis ditujukan pada gangguan gastrointestinal

(muntah, pola pergerakan usus), fungsi motorik gigi dan mulut

(disfagia, penyakit gusi, dan kemampuan anak untuk mengunyah

dan menelan makan). Pemberian obat-obatan dapat menyebabkan

anoreksia dan perubahan fungsi pencernaan, seperti

malabsorpsi vitamin dan mineral (misalnya obat pencahar,

antibiotik, antasid dan cholestyramine). Oleh karena itu,

riwayat medis juga mencakup semua obat yang dikonsumsi 6

bulan sebelumnya.7

Riwayat diet meliputi pola makan sebelum masuk rumah

sakit, termasuk jenis formula atau makanan yang diterima,

persiapan makanan, rute pemberian dan saat pemberian

makanan. Riwayat diet tiga hari sebelum masuk perawatan

sangat membantu. Hal ini penting untuk menentukan apakah

orang tua memberikan suplemen makanan, termasuk obat herbal

dan suplemen vitamin, baik yang diresepkan atau atas

kemauannya sendiri. Informasi yang mengarah pada intoleransi

makanan dan alergi dapat ditentukan.7

5

Penilaian faktor psikososial dilakukan untuk

mengidentifikasi apakah perawat klinis, psikolog, ahli gizi,

perlu dilibatkan. Hal ini penting untuk mengidentifikasi

makanan dan perilaku makan karena mungkin menjadi penghalang

untuk intervensi yang direncanakan. Penilaian ini juga untuk

mengetahui apakah keluarga memiliki dana yang cukup untuk

membeli makanan bergizi, memiliki fasilitas, pengetahuan dan

keterampilan dalam memberikan diet.1, 7

Pemeriksaan Fisik

Penilaian status gizi pasien dengan penyakit hati

kolestasis sulit dilakukan karena parameter yang digunakan

sering dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Pengukuran

antropometri tunggal tidak dianjurkan karena sekitar 80% dari

pasien rawat inap akan diasumsikan kurang gizi. Dengan

menggunakan tiga atau lebih pengukuran, kemugkinan ini dapat

dikurangi menjadi kurang dari 28%. 7, 8

Berat badan merupakan parameter pengukuran antropometri

yang kurang sensitif karena dipengaruhi oleh edema, ascites,

dan hepatosplenomegali. Dibandingkan pengukuran berat sebagai

ukuran tunggal, pengukuran berat badan sesuai tinggi badan

lebih bernilai dalam menentukan status gizi. 7, 8 Tinggi

badan, mencerminkan hasil pemberian nutrisi jangka panjang,

adalah parameter yang dapat membantu mengidentifikasi anak-

anak dengan malnutrisi kronis.7 Keadaan yang harus

diperhatikan dalam pengukuran tinggi badan adalah kesan

perawakan pendek. Perawakan pendek adalah fitur khas progresif

familial intrahepatic cholestastasis (PFIC) dan tidak dapat dikoreksi

6

dengan dukungan nutrisi.1 Itulah sebabnya tinggi badan bukan

merupakan indikator yang baik dari status gizi penderita

PFIC. Pengukuran indeks massa tubuh (IMT) memiliki

keterbatasan karena pengaruh penyakit hati yang berat, juga

dipengaruhi oleh status pubertas.7 Pengukuran lingkar kepala

merupakan parameter penting untuk menilai pertumbuhan anak

hingga usia 3 tahun karena pertumbuhan otak terus berlangsung

hingga tahun ketiga kehidupan dan dipengaruhi oleh asupan

nutrisi.7

Tebal lipatan kulit dan lingkar lengan atas dianggap

sebagai pengukuran yang lebih akurat daripada tinggi badan,

karena variasi pengukuran ini muncul lebih awal dari

perubahan tinggi badan. 7 Namun, edema perifer dapat

meningkatkan tebal lipatan kulit palsu. Meskipun empat lokasi

telah dievaluasi untuk menilai status gizi (trisep, bisep,

subscapular dan supra-iliaka), tebal lipatan kulit trisep

(TSF) dan tebal lipatan kulit subscapular (SSF) adalah yang

paling sensitif untuk menilai status. TSF paling sering

diukur karena paling mudah dan berkorelasi erat dengan TBF,

sedangkan SSF adalah ukuran dari cadangan lemak truncal

tetapi kurang sensitif terhadap status gizi jangka pendek.7

Untuk meminimalkan pengaruh edema dalam penilaian

antropometri, pengukuran tebal lipatan kulit dilakukan pada

tubuh bagian atas.9 Kaliper juga harus dibiarkan di lipatan

kulit lebih lama untuk memungkinkan cairan jaringan menepi.7

Pengukuran tebal lipatan kulit merupakan cara minimal invasif

sederhana untuk menilai status gizi, tetapi keakuratan

hasilnya tergantung pada operator. Diperlukan pelatihan untuk

7

memastikan presisi, akurasi, validitas dan

reproduksibilitasnya.7

Pemeriksaan Laboratorium

Parameter gizi lainnya, seperti protein dan status

imunitas adalah parameter yang diandalkan untuk menilai

status gizi anak dengan penyakit hati. Status protein

biasanya diperkirakan dengan mengukur kadar serum dari

beberapa sintesis protein di hati, seperti albumin,

prealbumin, dan retinol-binding protein. Penurunan kadar protein

serum ini lebih berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit

hati dibandingkan dengan penilaian status gizi pasien.7

Protein total serum tidak dapat digunakan sebagai satu-

satunya nilai untuk menilai status gizi dan harus digunakan

bersama dengan pemeriksaan lain karena dipengaruhi oleh

penyakit hati, ginjal, sepsis, peradangan, dan status

hidrasi. Gangguan fungsi sintetis hati menekan produksi

protein plasma.7 Albumin sebagian besar terdapat dalam ruang

ekstravaskuler, yang dapat dimanfaatkan pada saat terjadi

penurunan asupan protein. Albumin memiliki waktu paruh yang

panjang (18-20 hari), karena itu tidak mencerminkan perubahan

akut pada status gizi. Pada penyakit hati kronik, kadar

albumin yang rendah mencerminkan beratnya penyakit hati.1, 7

Prealbumin membawa tiroksin dan membantu transport vitamin A.

Prealbumin memiliki waktu paruh yang sangat singkat (24-48

jam) dan tersedia dalam jumlah sedikit di tubuh. Pre-albumin

menggambarkan perubahan cepat pada keadaan perubahan status

gizi akut. Prealbumin tidak dapat menjadi alat penilaian yang

8

tepat untuk menentukan status gizi karena dipengaruhi oleh

infeksi dan peradangan, meskipun C-reactive protein dapat

membantu menentukan apakah prealbumin yang rendah sebagai

akibat dari kekurangan gizi akut atau respon inflamasi.7, 10

Retinol-binding Protein (RBP) dimetabolisme oleh hati dan memiliki

waktu paruh 12 jam, yang membuatnya indikator terbaik dari

perubahan diet. RBP akan rendah pada keadaan defisiensi

vitamin A atau zinc.10 Transferin adalah protein transport

utama untuk besi yang sebagian besar berada di intravaskular.

Transferin memiliki halflife lebih pendek dari albumin (8-9

hari), membuatnya menjadi refleksi yang lebih baik penilaian

status gizi daripada albumin tetapi masih dipengaruhi oleh

fungsi sintesis di hati.7

Pengukuran kadar kolesterol juga harus diperhatikan pada

keadaan kolestasis. Pada sindrom Alagille ditemukan tingkat

kolesterol yang tinggi. Kolesterol total, LDL, dan

lipoprotein X sangat meningkat pada pasien sindrom Alagille,

sedangkan pada pasien dengan PFIC terjadi peningkatan

trigliserida dan penurunan HDL. 11

Insulin-like Growth Factor (IGF) adalah peptida yang

diproduksi oleh hati. IGF-1 adalah penanda turnover protein

dan memiliki waktu paruh beberapa jam, oleh karena itu

mungkin menjadi penanda yang dapat diandalkan pada

malnutrisi. Sayangnya, penyakit hati kronik mengubah

sintesis IGF, sehingga metode ini akan memperberat tingkat

gizi buruk pada anak-anak dengan penyakit hati kronik.7

Keseimbangan nitrogen mencerminkan jumlah kehilangan

protein otot tetapi membutuhkan urin tampung 24 jam. Kadar

9

kreatinin dan 3-metil-histidin dalam urin mencerminkan massa

otot. Pada penyakit hati kronik teknik ini dipengaruhi oleh

sindrom hepatorenal dan hiperamonemia, dan tingkat nitrogen

dipengaruhi oleh sintesis kreatinin yang tidak normal. 7

Creatinin-height index (CHI) mengevaluasi massa otot dan

cadangan protein tubuh dengan membandingkan ekskresi

kreatinin urin 24 jam dengan prediksi ekskresi anak lain

dengan ketinggian yang sama. Ini adalah cara yang baik untuk

menilai massa tubuh tanpa lemak dan mencerminkan massa otot,

karena kreatinin adalah produk sampingan dari pemecahan

creatine oleh hati. CHI dihitung dengan:

kreatinin urin terukur x 100

Kreatinin urin ideal

Indeks 100% menunjukkan massa otot normal, 60-80%

mencerminkan penurunan moderat, dan kurang dari 60%

menunjukkan pengurangan massa otot yang parah. Penilaian ini

memiliki keterbatasan karena tidak mempertimbangkan

konsekuensi efek metabolik dari trauma dan infeksi. Hal ini

juga bergantung pada apakah anak mengkonsumsi diet tanpa

daging dan memiliki fungsi ginjal normal. Pada anak-anak

dengan penyakit hati kronik, insufisiensi ginjal, sindrom

hepatorenal, membuat penilian tidak valid.7

Metode Lain

Teknik konvensional untuk menilai status gizi umumnya

tidak dapat diandalkan untuk pasien dengan penyakit hati,

terutama ketika fungsi sintetis hati terganggu dan terjadi

retensi cairan. Standar untuk mengukur status gizi dalam

10

keadaan patologis dan fisiologis adalah analisis komposisi

tubuh. Tubuh terdiri dari empat kompartemen : lemak, massa

sel, air ekstraseluler, dan padatan ekstraseluler bebas

lemak. Karena kompartemen lemak tubuh anhidrat, tidak

dipengaruhi oleh status edema pasien dengan sirosis.

Pengukuran lemak, sebagai sumber utama energi, pada anak

dengan kolestasis merupakan metode yang ideal untuk menilai

status gizi.7

Banyak metode pengukuran lemak dan massa bebas lemak

yang ada, namun beberapa teknik pengukuran yang tersedia,

seperti bioelectrical impedance, tidak bermanfaat pada pasien

dengan penyakit hati karena terlalu sensitif terhadap

perubahan air tubuh. Bioelectrical impedance analysis (BIA) adalah

perkiraan volume cairan tubuh dengan mengukur resistensi

terhadap frekuensi tinggi, konduksi listrik arus bolak-balik

dengan amplitudo rendah. Jumlah retensi yang diukur

berbanding terbalik dengan volume cairan elektrolit dalam

tubuh. Elektroda ditempatkan pada tangan dan kaki dan

perbedaan potensial antara dua elektroda dihitung berdasar

aliran yang mengalami retensi untuk masuk ke dalam tubuh.

Meskipun metode ini handal dan telah direproduksi, cepat

dikerjakan dan sederhana, tetapi pada anak-anak dapat

dipengaruhi oleh perubahan total air tubuh. Pada penyakit

hati, BIA juga dipengaruhi oleh fluktuasi hidrasi, yaitu,

ascites dan edema perifer.7, 12

Total-body electrical conductivity ( TOBEC ) adalah metode lain

yang tersedia untuk memperkirakan jumlah massa tubuh tanpa

lemak dan lemak tubuh total. Jumlah lemak tubuh dihitung

11

dengan metode TOBEC akurat pada pasien dengan sirosis, karena

parameter ini tidak dipengaruhi oleh status hidrasi subjek.

Metode ini aman, cepat, dan non-invasif. Keterbatasan utama

adalah mesin TOBEC hanya terdapat di pusat-pusat penelitian

khusus.7, 13

Dual energy absorptiometry x-ray (DEXA- scan) adalah metode

noninvasif dengan radiasi minimal yang menghasilkan

pengukuran akurat komposisi tubuh dan kepadatan tulang.

Metode ini tersedia di banyak pusat pelayanan pediatrik.

Penggunaannya diasumsikan sama dengan pendekatan penilaian

kompartemen tubuh, yaitu, jaringan lunak = berat badan-massa

tulang dan jaringan lunak = lemak+air setara jaringan.

Jaringan lunak yang menutupi tulang tidak dapat diperiksa dan

komposisinya harus diekstrapolasi dari komposisi jaringan

yang berdekatan. Kemudahan penggunaan, paparan radiasi yang

rendah dan kemampuan untuk mendapatkan konten mineral tulang

mungkin menjadikannya sebagai standar emas untuk gizi

penilaian status gizi. 1, 7

Dynamometry handgrip adalah salah satu metode yang

digunakan untuk menilai status gizi. Malnutrisi menyebabkan

pengecilan otot dan kelelahan, sehingga penilaian kekuatan

otot dibandingkan dengan nilai standar umur dan jenis kelamin

telah diusulkan guna menggambarkan status gizi. Pada anak-

anak, hal ini memiliki keterbatasan karena sulit mengatur

anak untuk memegang dinamometer. Pada orang dewasa memiliki

spesifitas yang rendah .7, 14

Kebutuhan Nutrisi pada Kolestasis

12

Energi dan Karbohidrat

Penyakit hati kronis merubah metabolisme karbohidrat dengan

menurunkan sintesa glikogen dan hormon yang meregulasi

glukosa darah. Karena terjadi penurunan degradasi insulin

akan terjadi hiperinsulinemia sehingga pada penyakit hati

kronis terjadi intoleransi glukosa. Resistensi insulin

disertai peningkatan glukosa darah, peningkatan katekolamin,

dan peningkatan asam lemak yang belum diesterifikasi

berkontribusi pada katabolisme.15

Kebutuhan energi meningkat secara signifikan pada

penyakit hati lanjut, sehingga makanan padat energi dapat

digunakan untuk meningkatkan asupan kalori. Dalam praktik

klinis, susu formula padat energi diberikan untuk penderita

kolestasis. Karbohidrat dan protein dapat ditambahkan ke

makanan normal. Karbohidrat adalah sumber utama energi

makanan yang menyumbang sekitar dua pertiga dari energi non-

protein. Polimer rantai pendek saat ini digunakan dalam

dukungan nutrisi yang memiliki beban osmotik tidak tinggi

sehingga tidak menyebabkan diare. Tepung sagu (starch) juga

dapat digunakan tetapi dapat menyebabkan penggumpalan dan

diare jika tidak dicerna di usus halus. Penggunaan polimer

rantai pendek yang ditingkatkan selama beberapa hari harus

dipantau efek sampingnya. Jika ada gejala intoleransi yang

signifikan, dosis karbohidrat tidak boleh ditingkatkan.

Meskipun karbohidrat sebagai sumber utama energi, lemak juga

sebagai energi dengan kalori yang lebih tinggi. Namun,

karbohidrat lebih mudah diterima oleh pasien karena memiliki

rasa yang lebih mudah diterima daripada lemak atau protein.1

13

Air dan Elektrolit

Kebutuhan cairan ditentukan berdasar berat badan aktual bila

tidak diperlukan restriksi pada keadaan ascites atau edema.

Natrium tidak boleh ditambahkan dalam jumlah tinggi untuk

memperbaiki hiponatremia karena dapat menyebabkan retensi

cairan. Pada bayi, asupan natrium 1 mmol/kg/hari dan kalium

normal sekitar 2 mmol/kg/hari diberikan secara tepat.16 Sulit

untuk menentukan keseimbangan yang tepat antara restriksi

cairan dan kebutuhan energi yang tinggi. Itulah alasan

mengapa makanan padat energi harus digunakan.1

Protein

Pada penyakit hati kronis, sintesis protein oleh hati akan

terganggu, pada klinis terlihat dengan menurunnya albumin,

transferin, RBP, dan faktor pembekuan. Amonia yang dihasilkan

oleh metabolisme bakteri usus dari asam amino yang berasal

dari diet bersama dengan asam amino yang dilepas oleh

jaringan tubuh secara normal dikonversi menjadi urea oleh

hati. Namun pada penyakit hati yang berat akan terjadi

penurunan produksi urea, peningkatan sintesis glutamin, dan

peningkatan konsentrasi amonia yang berkontribusi pada

berkembangnya ensefalopati. Pada penyakit hati kronik terjadi

distorsi profil asam amino, yaitu adanya peningkatan asam

amino aromatik (AAA), penurunan kadar insulin dan peningkatan

uptake BCAA ke otot sehingga terjadi penurunan asam amino

rantai cabang (BCAA) serum yang mengakibatkan triptofan yang

masuk ke otak meningkat.17

14

Pada penyakit hati dengan kolestasis dan malnutrisi, protein

diperlukan untuk mendukung pertumbuhan catch-up. Rasio

protein/energi sebesar 10 % digunakan untuk merehabilitasi

anak-anak yang mengalami malnutrisi umumnya cukup untuk

pertumbuhan catch-up jika kebutuhan energi tercukupi.18 Bayi

dengan kolestasis berat membutuhkan asupan protein sekitar 2-

3 g/kg/hari.1 Infeksi sering ditemukan pada atresia bilier

(seperti episode kolangitis) sehingga dapat meningkatkan

kebutuhan energi dan protein. Pada anak-anak, proteolisis

meningkat tajam selama infeksi dan dapat terjadi keseimbangan

protein yang negatif.1 Pembatasan protein dapat

dipertimbangkan pada keadaan encephalopathy hepaticum dan shunt

portosistemik terkait dengan hipertensi portal. Hiperamonemia

bukan indikasi pembatasan protein, bila tidak disertai

ensefalopati.1

Diet polimer secara sistematis digunakan untuk bayi dan

anak-anak dengan kolestasis. Protein terhidrolisat dapat

dipertimbangkan dalam pengelolaan nutrisi enteral pada

keadaan malnutrisi. Rasa makanan harus dipertimbangkan yang

mempengaruhi pengecapan makanan sebagai faktor penting yang

dapat menurunkan asupan energi. Protein terhidrolisat dapat

digunakan hanya dalam situasi klinis spesifik.1

Asam amino rantai cabang (BCAA) telah diuji pada model

hewan coba dengan kondisi klinis mengalami atresia bilier.1

BCAA bermanfaat meningkatkan berat badan, massa otot,

keseimbangan nitrogen dan juga menyebabkan peningkatan jumlah

kalium tubuh, lingkar lengan atas dan ketebalan lipatan kulit

subscapular pada anak dengan kolestasis. 1 Produk yang ideal

15

mengandung 3 g/kg/hari protein whey, kira-kira 2,6 g/100 ml

susu formula yang dilarutkan, diperkaya dengan asam amino

rantai cabang sampai 10 %, mampu mengatasi hiperamonemia

bukan dengan mengurangi asupan protein.16

Lemak

Lemak dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi dan

anak-anak yang sehat maupun dengan gangguan fungsi hati.

Lemak adalah sumber utama energi yang terdapat dalam ASI.

Diet lemak seharusnya mengandung vitamin larut lemak dan asam

lemak tak jenuh ganda (PUFA).19

Pada kolestasis terjadi penurunan penyerapan lemak yang

mengakibatkan penurunan asupan energi. Itulah alasan untuk

menyeimbangkan penggunaan energi dengan asupan energi ekstra.

Karbohidrat dapat diberikan dalam nutrisi padat kalori hingga

batas tertentu, tetapi tidak cukup untuk menutupi semua

kebutuhan energi. Sedangkan lemak terasa kurang enak, tetapi

nilai lebih dari makronutrien ini adalah : kepadatan energi

yang tinggi, osmolaritas rendah, dan kandungan PUFA yang

penting. Steatorrhea dapat membatasi penggunaan lemak pada

dukungan nutrisi, meskipun pada anak dengan steatorrhea,

pertumbuhan dapat meningkat jika lemak diberikan dalam jumlah

yang lebih tinggi.1 Medium-chain triglycerides ( MCT ) secara

opsional digunakan untuk suplementasi lemak atau komponen

formula yang diperkaya dengan MCT. MCT tidak memberikan

keseimbangan energi yang sama seperti long-chain triglycerides

(LCT), tetapi dapat digunakan sebagai dukungan nutrisi pada

malabsorpsi lemak karena memiliki kelarutan air yang tinggi

16

dan cepat dipecah oleh lipase.1 Namun, kandungan energi MCT

(per gram lemak) lebih rendah 16 % dari LCT . MCT dengan

cepat teroksidasi dan memiliki efek termogenik yang tinggi.

MCT langsung mencapai hati melalui aliran portal tanpa perlu

proses pembentukan micell campuran, dan juga memiliki sifat

ketogenik.1 Sebagian MCT dimetabolisme di jaringan dengan

mekanisme yang tergantung-karnitin sehingga hal ini dapat

meningkatkan kebutuhan akan karnitin.20 Satu penelitian

menyebutkan proporsi MCT 30-50 % dari total lemak sebagai

kadar optimal untuk manajemen nutrisi dalam kolestasis.21

Namun, sulit untuk menentukan kandungan lemak dalam makanan

yang ideal dan rasio MCT terhadap LCTs. Data yang terbatas

memperlihatkan solubilisasi lemak dan pertumbuhan yang lebih

baik pada bayi kolestasis yang diberi nutrisi dengan

perbandingan MCT 30 atau 70 % terhadap campuran 50/50 % dari

MCT/LCT.1 Defisiensi asam lemak esensial terjadi pada

konsumsi MCT yang sangat tinggi yang tidak dilengkapi dengan

PUFA [23]. Sebagian besar susu formula yang diperkaya dengan

MCT memiliki rasio MCT/LCT sekitar 1/1 dan yang dilengkapi

dengan asam lemak esensial. Formula yang diperkaya dengan MCT

untuk anak-anak mungkin berisi MCT lebih tinggi (75 sampai 80

% dari lemak, misalnya Caprilon dan Portagen) meskipun

dilengkapi dengan asam lemak esensial. Perlu diperhatikan

jika minyak MCT murni digunakan sebagai suplementasi makanan,

dan dalam situasi ini penilaian diet secara rinci harus

dilakukan. Minyak nabati yang diperkaya dengan PUFA harus

digunakan untuk mendukung asupan asam lemak esensial. Asupan

lemak dan rasio MCT harus dititrasi untuk menjamin

17

pertumbuhan dan kenaikan berat badan yang optimal dengan

kemungkinan intoleransi nutrisi. Lemak seharusnya digunakan

dengan rasio 30 sampai 50 % dari total kebutuhan energi

sebagaimana digunakan pada anak sehat seusianya untuk

meningkatkan densitas energi.16

Asam lemak polyunsaturated

Long-chain PUFA (LCPs, PUFA dengan panjang rantai karbon

>18), seperti asam arakhidonat (AA) dan asam docosahexaenoic

(DHA) penting untuk masa awal pertumbuhan dan perkembangan

jaringan seperti otak dan retina.1 PUFA juga merupakan

prekursor eicosanoids dengan peran biologis penting sebagai

mediator sistem imun tubuh dan agregasi platelet, sehingga

kekurangan PUFA (terutama dari seri n-6) menjadi perhatian

khusus. Asam lemak esensial klasik seperti asam linoleat

(18:2n-6) dan asam α-linolenat (18:3n-3) harus terkandung

dalam diet untuk diedarkan ke hati dan otak guna memenuhi

kebutuhan LCP.19 Bayi yang menyusu menerima jumlah yang

cukup AA dan DHA dari lemak ASI [27]. Berbeda dengan bayi

yang diberi ASI, bayi yang mendapat susu formula konvensional

yang mengandung minyak nabati tidak mendapat LCP yang cukup

dalam diet mereka dan bergantung pada pemanfaatan simpanan

dalam tubuhnya atau sintesis endogen dari prekursor asam

lemak esensial untuk memenuhi kebutuhan LCP guna pertumbuhan

jaringannya. Koletzko dkk.1 memperkirakan tingkat konversi

asam linoleat dengan teknik isotop stabil menemukan bahwa

kontribusi sintesis AA terhadap AA plasma total hanya sekitar

6 % per hari. Sebuah review Cochrane tahun 2004

18

mempublikasikan suplementasi LCP pada bayi cukup bulan sampai

dengan tahun 2001 termasuk studi tentang ketajaman visual

serta pada fungsi kognitif dan perkembangan psikomotorik.22

Penulis menyimpulkan mungkin terdapat efek menguntungkan

dari asupan LCP, tetapi penelitian yang lebih besar dengan

rentang waktu yang lebih lama disarankan untuk mengetahui

lebih lanjut masalah ini. Dalam tinjauan kritis dari beberapa

publikasi yang tersedia, Uauy dkk.23 mencatat tidak menemukan

keuntungan dari suplementasi LCP karena penggunaan DHA

konsentrasi rendah atau tidak mencakup penilaian kepatuhan.

Tidak mudah memperkirakan kebutuhan PUFA dan LCP pada

bayi dan anak-anak sehat, bahkan lebih sulit untuk memberikan

rekomendasi bagi anak-anak dengan kolestasis. Defisiensi PUFA

dapat mengakibatkan gangguan dermatologis akibat kekurangan

asam lemak esensial.1 Beberapa faktor yang berkontribusi

terhadap defisiensi PUFA dan LCP adalah : asupan PUFA

rendah , kesulitan pencernaan dan metabolisme PUFA menjadi

turunan rantai panjang. Asupan PUFA tambahan dapat

memperbaiki status asam lemak (misalnya kedelai).

Suplementasi asam lemak esensial mungkin tidak cukup.

Kolestasis berat meningkatkan risiko gangguan konversi hati

PUFA menjadi LCP sejalan dengan tingkat keparahan penyakit

hati, mengakibatkan defisiensi LCP yang signifikan meskipun

telah diberikan tambahan asam lemak esensial.24 Suplementasi

LCP dapat diberikan berupa produk makanan kuning telur (kaya

AA) atau minyak ikan (kaya DHA). Bayi cukup bulan dapat

diberikan suplemen formula konvensional yang mengandung LCP.

Gangguan metabolisme dan penurunan penyerapan makanan ikut

19

berperan dalam defisiensi PUFA. Asam lemak tak jenuh dapat

mengalami peroksidasi lemak, dan pada kolestasis terjadi

akibat gangguan antioksidan. Tidak ditemukan hubungan

langsung antara peroksida lemak yang tinggi akibat gangguan

metabolisme PUFA dengan konsentrasi vitamin E yang rendah.25

Kekurangan LCP yang parah dapat menyertai kolestasis kronis

dan sulit untuk diperbaiki. Dilaporkan bahwa dalam 1 tahun

setelah transplantasi hati, status LCP tidak sepenuhnya

membaik.1 Pada saat ini, tidak ada penelitian yang

menunjukkan efek fungsional suplementasi LCP pada anak dengan

kolestasis dan sehingga belum ada rekomendasi yang kuat

pemberian suplemen PUFA dengan LCP. Penggunaan minyak nabati

kaya PUFA dan/atau kuning telur sebagai suplemen diet untuk

meningkatkan densitas energi dan asupan PUFA masih

dibenarkan. Pada bayi dengan kolestasis yang menerima susu

formula biasa dan tidak memerlukan makanan yang diperkaya

dengan MCT, susu formula yang disuplementasi LCP dapat

digunakan.1, 16

Tabel 1. Monitoring defisiensi

vitamin dan mineral

20

Sumber : Socha P. (2008)1

Vitamin

Malabsorpsi vitamin larut lemak menjadi masalah nutrisi pada

kolestasis. Faktor lain yang berkontribusi terhadap rendahnya

kadar vitamin larut lemak adalah pembentukan radikal bebas

yang meningkat mempengaruhi metabolisme vitamin E. Beberapa

vitamin larut lemak (vitamin A, D, dan K) dapat diberikan

secara efisien, sedangkan suplementasi vitamin E dapat

menyebabkan masalah yang signifikan. Pada kolestasis berat,

suplementasi vitamin per oral mungkin tidak cukup, dan

formulasi parenteral harus dipertimbangkan.1

Vitamin A

Kekurangan vitamin A menimbulkan keluhan kulit kering,

xerophthalmia dan rabun senja. Pemeriksaan kadar vitamin A

dalam serum tidak mencerminkan status vitamin A. Indikator

yang berguna untuk menentukan status vitamin A adalah rasio

molar retinol plasma/retinol-binding protein [dihitung

21

sebagai serum retinol (ng/dl) / serum RBP (mg/dl) x 0,0734].

Rasio melebihi 0,8 poin menunjukkan status vitamin A normal.

Metabolisme Vitamin A di hati biasanya terganggu pada pasien

kolestasis.1, 26 Rasio yang lebih tinggi dikaitkan dengan

toksisitas termasuk fibrosis hati, hiperkalsemia, pseudotumor

cerebri dan lesi tulang. Keracunan vitamin A dapat diukur

dengan baik dari tingkat ester vitamin A plasma. Karena

vitamin A bisa menjadi toksik, beberapa pihak

mempertimbangkan suplementasi ß-karoten sebagai prekursor

vitamin A. ß-karoten juga merupakan zat larut dalam lemak

yang dapat berperan dalam melindungi membran sel terhadap

cedera radikal bebas, melengkapi vitamin E, dan dapat

digunakan secara aman sebagai suplemen pada pasien dengan

penyakit hati. Ada bukti dari penelitian in vitro yang

menyebutkan bahwa ß-karoten adalah antioksidan kuat yang

dapat meringankan efek toksik asam empedu pada sel-sel

hati.1, 27 Kadar ß-karoten yang rendah pada anak dengan

kolestasis mungkin berhubungan dengan penyerapan di usus.

Vitamin D

Pasien dengan kolestasis lebih sering mengalami osteoporosis

dibandingkan pasien tanpa kolestasis. Kekurangan vitamin D

tampaknya bertanggung jawab terhadap kejadian ooetoporosis.

Defisiensi mineral tulang dapat dideteksi lebih dini dengan

pengukuran kepadatan mineral tulang (metode non-invasif)

dibandingkan dengan mengukur serum Ca, P dan Mg tingkat pada

pasien dengan kolestasis.1

22

Kekurangan vitamin D juga mudah terjadi pada kolestasis

berkepanjangan. Bayi yang minum ASI memiliki risiko yang

lebih tinggi menderita defisiensi vitamin D, karena ASI

mengandung jumlah vitamin D yang rendah. Gejala kekurangan

vitamin D yang jarang diamati, seperti hipokalsemia,

hipofosfatemia, hypotonia dan rakhitis. Pada penyakit hati

yang berat, bukan hanya gangguan penyerapan yang bertanggung

jawab terhadap defisiensi vitamin D, tetapi juga gangguan

metabolisme di hati. Inilah alasan mengapa vitamin D tidak

digunakan untuk memperbaiki defisiensi melainkan metabolit 25

- hidroksikolekalsiferol ( 25-OH-D).1 Kita harus menyadari

bahwa suplementasi vitamin D saja tidak efektif, kalsium dan

fosfor harus diberikan secara bersamaan. Indikator terbaik

status vitamin D dalam kolestasis adalah konsentrasi serum

25-OH-D, kadar 20 ng/ml atau kurang dianggap sebagai sangat

rendah. Konsentrasi yang diharapkan lebih dari 25 ng/ml.

Indikator sederhana hipokalsemia juga dapat digunakan rasio

kalsium urin/kreatinin harus <0.25.1 Namun, tidak ada

korelasi langsung tingkat keparahan tingkat osteopenia dengan

serum 25(OH)-vitamin D dan 1,25(OH)2-vitamin D baik bayi atau

anak dengan kolestasis. Mineralisasi tulang yang mengalami

penurunan pada masa kanak-kanak merupakan proses penyakit

yang dimulai sejak awal masa kanak-kanak dengan kolestasis,

cepat memburuk dengan bertambahnya usia dan disfungsi hati,

dan relatif stabil pada anak dengan penyakit hati yang lebih

stabil.1 Toksisitas vitamin D jarang dilaporkan dan termasuk

hiperkalsemia dan pseudotumor cerebri. Transplantasi hati

mampu memperbaiki osteopenia dan kekurangan vitamin D. Pada

23

bayi dan anak-anak <2 tahun dengan kolestasis kronis,

kandungan mineral tulang kembali normal sekitar 11 bulan

setelah transplantasi hati orthotopik.1

Vitamin E

Defisiensi vitamin E menjadi masalah utama pada kolestasis

berkepanjangan dan sulit diperbaiki pada beberapa kasus

kolestasis. Defisiensi vitamin E pada anak dengan kolestasis

kronis menyebabkan degenerasi saraf. Peran utama vitamin E

adalah sebagai antioksidan yang berfungsi sebagai radikal

bebas oksigen. Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan tubuh

rentan terhadap peroksidasi, termasuk asam lemak tak jenuh,

yang mengganggu fungsi membran sel sistem saraf pusat dan

perifer. Konsekuensi avitaminosis vitamin E meliputi

perubahan neurologis yang sulit dikenali, namun setelah

beberapa tahun, menyebabkan kerusakan permanen. Tanda-tanda

neurologis yang berhubungan dengan kekurangan vitamin E

adalah neuropati perifer, ophthalmoplegia, ataksia, gangguan

sensasi getaran dan lesi degeneratif retina. Tanda-tanda awal

gangguan neurologis adalah hilangnya refleks tendon dalam.

Lesi sistem saraf pada penyakit lain yang serupa dengan

akibat defisiensi vitamin E adalah abetalipoproteinemia,

penyakit Anderson, defisiensi vitamin E terisolasi

selektif.1, 28

Pada beberapa anak dengan kolestasis, tidak mungkin

meningkatkan kadar vitamin E secara oral, sehingga

dipertimbangkan untuk menggunakan suntikan intramuskular.

Sokol dkk.1, 29 melaporkan efek menguntungkan penggunaan

24

vitamin E oral yang larut air untuk mengoreksi kadar serum α-

tokoferil dan memperbaiki cacat neurologis pada anak-anak

dengan kolestasis. TPGS (d-α-tokoferil polietilen glikol 1000

suksinat, Eastman Chemical Products Inc, Kingsport, Tenn,

Amerika Serikat, atau Orphan Eropa, Paris, Prancis ) adalah

ester asam suksinat vitamin E yang larut dalam air terikat

polietilen glikol 1000, dapat membentuk misel tanpa

melibatkan asam empedu. Dilaporkan tentang efek terapi TPGS

yang cepat memperbaiki kadar vitamin E serum tetapi tidak

meningkatkan peroksidasi lemak dan menurunkan status PUFA.25

Pemantauan terapi vitamin E bergantung pada rasio vitamin

E/total lemak (normal >0,8 mg/g tetapi dengan kadar vitamin E

plasma <30 ug/ml) . Jarang ditemukan toksisitas vitamin E.25

Vitamin K

Pada tahun 2005, Ijland dkk (1) mempertanyakan keamanan

suplementasi vitamin K oral dengan dosis harian 25 µg pada

populasi yang sehat, dimana terjadi pendarahan pada 6 bayi

yang disusui dalam populasi yang diteliti. Rupanya, 5 dari 6

bayi yang mengalami perdarahan adalah bayi yang mengalami

kolestasis dengan atresia bilier. Dengan demikian, kolestasis

menyebabkan risiko kekurangan vitamin K. 1

Defisiensi vitamin K mungkin merupakan tanda malabsorpsi

lemak dalam kolestasis yang mengakibatkan penyakit

hemoragik.30 Kesimpulan penting dari Pusat Data Atresia

Bilier Nasional di Belanda dan Denmark, dosis harian 25 µg

vitamin K gagal mencegah perdarahan pada bayi yang tampak

sehat dengan kolestasis yang belum diketahui akibat atresia

25

bilier.1, 30 Dosis profilaksis satu miligram per oral mingguan

memberikan perlindungan signifikan lebih tinggi pada bayi ini

dengan keberhasilan yang sama pemberian profilaksis 2 mg

intramuskular saat lahir.31 Dalam praktek klinis, vitamin K

dosis tinggi per oral setiap minggu atau setiap 3 hari

digunakan untuk pencegahan perdarahan. Untuk pengobatan waktu

protrombin yang signifikan, pemakaian vitamin K intravena

merupakan pilihan terbaik. Konakion MM (Roche) tampaknya

menjadi formulasi (senyawa vitamin K dilarutkan dalam

glycocholate dan lesitin) yang efisien dan aman untuk

mengatasi defisiensi vitamin K.1 Kekurangan vitamin K dapat

dideteksi dengan rasio normalisasi internasional yang tinggi

(meningkatkan waktu protrombin) yang dikoreksi dengan

pemberian vitamin K parenteral. PIVKA II (protein yang

disebabkan karena tidak adanya vitamin K), diukur dengan

ELISA , menjadi indikator yang lebih baik daripada waktu

protrombin (PIVKA II>3 ng/ml mencerminkan defisiensi vitamin

K ) tetapi jarang tersedia.1

Vitamin yang larut dalam air juga harus dicukupi pada

keadaan malabsorpsi nutrisi. Selain itu, antioksidan dapat

menurunkan pembentukan peroksida yang tinggi. Kekurangan zat

gizi, seperti vitamin C, menjadi lebih berat jika

dikombinasikan dengan rendahnya kadar antioksidan

(misalnya,vitamin E). Pada kolestasis kronis, disarankan

untuk menggunakan vitamin yang larut dalam air dengan dosis

dua kali lipat RDA 16, tetapi dalam beberapa keadaan,

diperlukan dosis jauh lebih tinggi.3 Anak-anak dengan

kolestasis juga memiliki kadar mineral yang rendah. Suplemen

26

selenium, zinc, kalsium dan magnesium harus diberikan sesuai

kadarnya dalam plasma.16 Selenium dan zinc merupakan

antioksidan penting. Besi dapat meningkatkan stres oksidatif

dan fibrogenesis pada pasien dengan penyakit hati.1 Dengan

demikian, besi tidak diberikan secara rutin. Defisiensi Fe

tampaknya tidak menjadi masalah umum di kolestasis.

Transplantasi hati tampaknya mampu memperbaiki sebagian besar

kekurangan mikronutrien dan status antioksidan kecuali untuk

glutathione.32

Tabel 2. Pengelolaan vitamin larut lemak pada anak dengan

kolestasis

Sumber : Socha P.(2008)1

Jalur Pemberian Nutrisi

Asupan makanan per oral lebih diutamakan bila kecukupan

energi dapat terpenuhi dari jalur tersebut. Makanan padat

energi dapat digunakan untuk meningkatkan asupan energi. Rasa

makanan harus dipertimbangkan agar diet per oral dapat

terpenuhi.

27

Pada penyakit hati kronik, terutama jika diperlukan

pertumbuhan catch- up cepat sebelum transplantasi hati,

penggunaan nasogastric tube feeding (NGT) bisa menjadi

pilihan. Bolus makanan tidak selalu dapat ditoleransi.

Penggunaan infus kontinyu dengan syringe pump selama 20

jam/hari dapat memecahkan masalah muntah yang terjadi pada

penggunaan NGT.1 Penggunaan NGT di malam hari adalah pilihan

lain : anak diperbolehkan untuk makan secara ad libitum di

siang hari dan menerima energi ekstra ketika tidur lewat NGT.

Risiko kontaminasi bakteri dalam makanan harus menjadi

perhatian. Percutaneous endoscopic gastrostomy bukan merupakan cara

yang umum untuk memenuhi asupan gizi karena risiko perdarahan

varises.1

Gambar 1. Algoritme pemberian nutrisi pada anakdengan penyakit hati kolestasisSumber : Socha P. (2008)1

28

Muntah, kembung, diare dan komplikasi lain dapat

menyebabkan masalah pada sebagian anak yang menerima

pemberian makan per oral dan enteral, sehingga nutrisi

parenteral dibutuhkan pada pasien tersebut. Jika asupan

energi terlalu rendah, nutrisi parenteral parsial dapat

dipertimbangkan untuk meningkatkan status gizi. Tingkat

keamanan metode terapi nutrisi sangat terkait dengan

pengalaman pusat klinis. Standar pemberian nutrisi parenteral

pada kolestasis sama dengan pemberian untuk indikasi lain.

Larutan asam amino standar dapat digunakan, sedangkan

manfaat penggunaan asam amino rantai cabang belum banyak

didokumentasikan.33 Perbandingan keamanan penggunaan infus

lemak LCT dan MCT/LCT dalam nutrisi parenteral jangka pendek

pada anak-anak dengan kolestasis, ditemukan toleransi

metabolisme yang baik dari kedua emulsi infus intravena

tersebut pada bayi dengan kolestasis. Karena DHA memegang

peran utama dalam perkembangan otak, emulsi LCT dapat menjadi

sumber PUFA ( LCT mengandung lebih banyak PUFA daripada

emulsi MCT/LCT) untuk bayi dengan kolestasis kronis pada

pemberian jangka pendek. Socha (2008) melaporkan tidak ada

risiko peningkatan peroksidasi lemak karena pemberian infus

lemak. Konsentrasi lemak plasma tidak berubah oleh salah satu

emulsi lemak yang digunakan.34

Guimber dkk35 melaporkan tentang keamanan nutrisi

parenteral yang diberikan pada anak dengan kolestasis.

Ditemukan peningkatan Z skor berat badan sesuai usia dan

berat badan sesuai tinggi badan, dimana tidak terdapat

29

perubahan yang signifikan dalam fungsi sintetis hati pada

tujuh anak dengan penyakit hati. Terdapat peningkatan yang

signifikan kadar bilirubin yang mungkin terkait dengan

perjalanan alami penyakit hati atau sebagian akibat pemberian

nutrisi parenteral dalam jangka lama. Meskipun nutrisi

parenteral berkepanjangan merupakan faktor risiko kolestasis

pada pasien tanpa penyakit hati primer, metode terapi nutrisi

parenteral pada kolestasis dapat menjembatani untuk persiapan

transplantasi hati.1

30

KESIMPULAN

Pemberian nutrisi pada anak dengan kolestasis perlu

mendapatkan perhatian khusus. Status gizi harus dinilai, dan

kebutuhan nutrisi harus ditentukan sebelum terapi nutrisi

dimulai. Prinsip dasar manajemen nutrisi adalah memperbaiki

status gizi dengan tambahan pasokan protein energi,

karbohidrat, lemak, dan vitamin larut lemak. Pada penyakit

hati yang berkembang menjadi gagal hati dengan kolestasis

kronis, terapi nutrisi dapat dapat menjembatani persiapan

transplantasi hati untuk meningkatkan prognosis. Dengan

demikian , dukungan nutrisi invasif dibenarkan pada penyakit

hati yang berat yang biasanya mencakup pemasangan NGT ataupun

nutrisi parenteral.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Socha P. Nutritional management of cholestasic syndromesin childhood. Ann Nestle (Engl). 2008;66:137-47.

2. Chin SE SR, Thomas BJ. The nature of malnutrition inchildren with endstage liver disease awaiting orthotopicliver transplantation. Am J Clin Nutr 1992;56:164-8.

3. Samonte V, Taylor G. Scurvy diagnosed in a paediatricliver transplant patient awaiting combined kidney andliver transplantation. Pediatr Transplant 2008;12:363-7.

4. Henkel AS. Nutritional support in patients with chronicliver disease. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol.2006;3(4):202-9.

5. Greer R, Lewindon P. Body composition and components ofenergy expenditure in children with end-stage liverdisease. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003;36:358–63.

6. Holt RI, Jones JS. Nasogastric feeding enhancesnutritional status in paediatric liver disease but doesnot alter circulating levels of IGF-I and IGF-bindingproteins. Clin Endocrinol 2000;52:217–24.

7. Taylor RM, Dhawan A. Assessing nutritional status inchildren with chronic liver disease. Journal ofGastroenterology and Hepatology. 2005;20(12):1817-24.

8. Jeejeebhoy KN; Detsky AS; Baker JP. Assesment ofnutritional status. JPEN. 1990;14:193s-6s.

9. Sokol RJ SC. Anthropometric evaluation of children withchronic liver disease. Am J Clin Nutr. 1990;52:203-8.

10. Feitelson-Winkler M GS, Pomp A, Albina JE. Use ofretinol-binding protein and prealbumin as indicators ofthe response to nutrition therapy. J Am Diet Assoc.1989;89:684-7.

11. Nagasaka H, Egawa H. Evaluation of risk foratherosclerosis in Alagille syndrome and progressivefamilial intrahepatic cholestasis: two congenitalcholestatic diseases with different lipoproteinmetabolisms. J Pediatr. 2005;146:329-35.

12. Goulet OJ.Assesment of nutritional status in clinicalpractise. Baillieres Clin Gastroenterol. 2003;12:647-69.

13. Ramaccioni V SH, Arumugam R, Klish WJ. NutritionalAspects of Chronic Liver Disease and Liver Transplantation

32

In Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2000;30(4):461-7.

14. Alvares-da-silva MR. Comparison between handgripstrength, subjective global assesment, and prognosticnutritional index in assesing malnutrition and predictingclinical outcome in cirrhotic outpatients. Nutrition.2005;21:113-7.

15. Baddekar A SS, Pandit A. Nutrition management in chronicliver disease. Indian Journal Pediatrics. 2002;60:427-37.

16. Baker A SR, Dhawan A. Guidelines for nutritional carefor infants with cholestatic liver disease before livertransplantation. Pediatr Transplant 2007(11):825–34.

17. Pratt CA GM, Kenner JA. Nutritional management ofneonatal and liver disease. Neo Review. 2001;2:215.

18. Graham GG MW, Brown KH. Protein requirements of infantsand children: growth during recovery from malnutrition.Pediatrics. 1996;97:499-505.

19. Koletzko B DH, Socha P. Nutritional support of infantsand children: supply and metabolism of lipid. BaillieresClin Gastroenterol 1998;12:671-96.

20. Rebouche CJ PD, Nelson SE. Role of carnitine inutilization of dietary medium-chain triglycerides by terminfants. Am J Clin Nutr 1990;52:820-4.

21. Kaufmann SS SD, Murray ND. Influence of portagen andpregestimil on essential fatty acid status in infantileliver disease. Pediatrics. 1992(89):151-4.

22. Simmer K. Longchain polyunsaturated fatty acidsupplementation in infants born at term (Cochrane Review).The Cochrane Library. 2004(3).

23. Uauy R, Mena P. Term infant studies of DHA and ARAsupplementation on neurodevelopment: results of randomizedcontrolled trials. J Pediatr 2003;143:S17-25.

24. Socha P KB, Pawlowska P, Socha J. Essential fatty acidstatus in children with cholestasis, in relation to serumbilirubin concentration. J Pediatr 1997;131:700-6.

25. Socha P KB, Pawlowska J. Treatment of cholestaticchildren with water-soluble vitamin E (alpha-tocopherylpolyethylene glycol succinate): effects on serum vitaminE, lemak peroxides, and polyunsaturated fatty acids. JPediatr Gastroenterol Nutr 1997;24:189-93.

33

26. Amedee-Manesme O, Furr HC, Alvarez F. Biochemicalindicators of vitamin A depletion in children withcholestasis. Hepatology 1985;5:1143-8.

27. Gumpricht E DR, Devereaux MW, Sokol RJ. ß-Caroteneprevents bile acid-induced cytotoxicity in rat hepatocyte:evidence for an antioxidant and anti-apoptotic role of ß-carotene in vitro. Pediatr Res 2004;55:814- 21.

28. Nasr SZ OLM, Hillermeier C. Correction of vitamin Edeficiency with fat-soluble versus water-misciblepreparations of vitamin E in patients with cysticfibrosis. J Pediatr. 1993;122:810-2.

29. Sokol RJ B-SN, Conner C. Multicenter trial of d-M-tocopheryl polyethylene glycol 1000 succinate fortreatment of vitamin E deficiency in children with chroniccholestasis. Gastroenterology. 1993;104:1727-35.

30. Ijland MM PR, Cornelissen EAM. Incidence of late vitaminK deficiency bleeding in newborns in the Netherlands in2005: evaluation of the current guideline. Eur J Pediatr.2008;167:165-9.

31. van Hasselt PM dKT, Kvist N. The Netherlands Study Groupfor Biliary Atresia Registry. Prevention of vitamin Kdeficiency bleeding in breastfed infants: lessons from theDutch and Danish biliary atresia registries. Pediatrics2008;121:e857-63.

32. Wierzbicka A PJ, Socha P. Lipid, carbohydratemetabolism, and antioxidant status in children after livertransplantation. Transplant Proc 2007;39:1523-5.

33. Plauth M MM, Weimann A. ESPEN guidelines for nutritionin liver disease and transplantation. Clin Nutr.1997;16:43-5.

34. Socha P KB, Demmelmair H. Short-term effects ofparenteral nutrition of cholestatic infants with lemakemulsions based on medium-chain and long-chaintriacylglycerols. Nutrition. 2007;23:121-6.

35. Guimber D ML, Ategbo S. Experience of parenteralnutrition for nutritional rescue in children with severeliver disease following failure of enteral nutrition.Pediatr Transplant 1999;3:139-45.

34