Nanda (2015) 1.2 SAP Nutrisi untuk Thalassemia Pernikahan ...
Tugas Bangsal Madya Nutrisi Nutritional Management of Cholestatic Syndromes in Childhood
Transcript of Tugas Bangsal Madya Nutrisi Nutritional Management of Cholestatic Syndromes in Childhood
PENDAHULUAN
Penyakit hati dengan manifestasi kolestasis menyebabkan
risiko malnutrisi berat, meliputi malnutrisi energi protein
dan kekurangan nutrisi tertentu. Penentuan status gizi
berdasarkan pengukuran antropometri menjadi tidak mudah
karena terdapat ascites dan edema perifer. Penentuan status
vitamin larut lemak secara biokimiawi penting untuk
mengevaluasi kebutuhan tubuh. Prinsip dasar dari pengelolaan
nutrisi pada kolestasis adalah untuk memperbaiki status gizi
serta mengurangi risiko akibat kekurangan nutrisi. Anak
dengan kolestasis memerlukan energi tambahan yang diperoleh
dengan meningkatkan asupan makanan padat kalori atau
penambahan polimer glukosa dan lemak. Untuk pertumbuhan catch-
up, asupan protein harus ditingkatkan.1
Suplemen vitamin yang larut dalam lemak harus mendapat
perhatian khusus. Tidak mudah untuk memperbaiki status
vitamin E yang buruk pada kolestasis. Pemberian vitamin K
secara parenteral dibutuhkan pada beberapa anak. Untuk saat
ini, pemberian vitamin E yang larut dalam air (d-α-tokoferol
polietilen glikol 1000 suksinat ) per oral memberikan efek terapi yang
baik. Pada keadaan penyakit hati dengan kolestasis yang
berkembang menjadi penyakit hati kronik, terapi nutrisi dapat
menjembatani untuk transplantasi hati. Dengan demikian,
dukungan nutrisi invasif dibenarkan pada penyakit hati yang
berat, mencakup pemasangan selang nasogastrik untuk mencukupi
nutrisi nokturnal, atau bahkan nutrisi parenteral.1
1
PENGELOLAAN NUTRISI PADA ANAK DENGAN KOLESTASIS
Penyakit hati dengan gejala klinis kolestasis harus
dikenali sejak dini dan pengobatan yang spesifik harus
dimulai seawal mungkin. Banyak penyakit hati dengan
kolestasis yang berkembang menjadi insufisiensi hati dan
memerlukan transplantasi hati. Terapi nutrisi menjadi salah
satu prioritas dan dapat dianggap mampu menjembatani
persiapan untuk dilakukan transplantasi hati. Status gizi
merupakan faktor prognostik penting, dan anak-anak dengan
status gizi lebih baik memiliki sedikit komplikasi dan
kematian yang lebih rendah pada transplantasi hati.2
Kolestasis juga berhubungan dengan defisit nutrisi
tertentu. Samonte dkk.3 menjelaskan seorang pasien yang
menjalani transplantasi hati dengan komplikasi akibat
penyakit ginjal stadium akhir dan gagal hati. Dia mengalami
sariawan yang dibingungkan apakah akibat toksisitas
siklosporin, termasuk keluhan kulit akibat vaskulitis dan
nyeri tulang yang dianggap berkaitan dengan osteodistrofi
ginjal atau corticosteroid-induced osteoporosis. Akhirnya diketahui
bahwa komplikasi penyakit itu disebabkan oleh kekurangan
vitamin C akibat intake makanan yang tidak adekuat pada
penyakit hati.3
Dalam makalah ini akan dibahas tentang penyebab
malnutrisi pada kolestasis, penentuan status gizi, kebutuhan
nutrisi pada kolestasis, jalur pemberian nutrisi pada
penderita penyakit hati dengan kolestasis.
2
Penyebab Malnutrisi pada Kolestasis
Etiologi malnutrisi pada kolestasis adalah rendahnya
intake oral, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagian
pasien dengan penyakit hati kronik kehilangan sensasi
rasa/pengecapan, yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A
dan atau zinc. Anorexia juga sering dijumpai pada penyakit hati
lanjut dan dikaitkan dengan organomegali atau ascites. Rasa
kenyang juga bisa diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi
leptin serum akibat penyakit hati yang lanjut. Pembatasan
diet seperti natrium, protein, dan cairan dapat mempengaruhi
asupan oral. Keadaan lemah dan ensefalopati dapat
mengakibatkan penurunan asupan oral.4
Malabsorbsi adalah keadaan lain yang mengakibatkan
malnutrisi pada penderita dengan kolestasis.1 Pada
kolestasis, berkurangnya aliran empedu menyebabkan penurunan
konsentrasi asam empedu intraluminal. Asam empedu dibutuhkan
untuk emulsifikasi dan penyerapan lemak dan trigliserid
rantai panjang (long-chain triglyceride/LCT). Lemak secara
signifikan berkontribusi terhadap pembentukan energi, dengan
demikian malabsorpsi pada kolestasis dapat menyebabkan
keseimbangan energi negatif. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa penyerapan dan pemanfaatan lemak dan vitamin larut
lemak melewati beberapa tahapan : dispersi dalam emulsi
lemak, solubilisasi ke dalam micell campuran garam empedu,
gerakan melewati lapisan air yang berdekatan dengan
mikrovilli, penyerapan seluler oleh sel-sel mukosa usus,
masuk ke dalam kilomikron, dan sekresi ke kelenjar getah
bening. Penyerapan beberapa vitamin pada kolestasis sangat
3
rendah, seperti vitamin E atau ß-karoten, dan suplementasi
dosis tinggi secara efisien dapat menyeimbangkan penyerapan
yang rendah tersebut. Terdapat beberapa indikator malnutrisi
lain yang harus dievaluasi : asupan kalori yang rendah, diet
yang tidak seimbang antara konsumsi rendah lemak dan konsumsi
sayuran, meningkatnya status oksidatif akibat infeksi
berulang dan komplikasi penyakit hati lainnya.1
Pada kolestasis ditemukan pengeluaran energi yang
meningkat, dan peningkatan tersebut dapat mencapai 40 % atau
lebih pada malnutrisi.1 Infeksi adalah komplikasi yang
diketahui berperan dalam meningkatkan metabolisme tubuh pada
pasien dengan penyakit hati lanjut.5
Hipertensi portal mungkin memiliki efek sentral toksin
yang tidak diketahui. Hormon pertumbuhan, seperti IGF-1 dan
protein pengikatnya, diproduksi oleh hati sebagai respon
terhadap sirkulasi hormon pertumbuhan. Kondisi kolestasis dan
hipertensi portal dapat menyebabkan respon aksis IGF-1 tidak
normal. Kelainan ini tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
makanan tambahan.6
Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi pada anak-anak dengan penyakit hati
kronis memiliki tujuan untuk : 7
1. Mengkonfirmasi status perkembangan dan pertumbuhan.
2. Menilai status gizi yang memerlukan penatalaksanaan
sebelum pengobatan, seperti keadaan gagal tumbuh.
3. Mengidentifikasi terapi nutrisi yang paling sesuai.
4
Untuk melengkapi penilaian status gizi, harus disertakan
riwayat medis, riwayat diet pasien, perhitungan asupan energi
dan protein yang biasa dikonsumsi, catatan yang berhubungan
dengan masalah asupan (yaitu mual, muntah, diare, atau
anoreksia), dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk
mengidentifikasi tanda-tanda kekurangan vitamin atau mineral.1
Anamnesis Nutrisi
Riwayat medis ditujukan pada gangguan gastrointestinal
(muntah, pola pergerakan usus), fungsi motorik gigi dan mulut
(disfagia, penyakit gusi, dan kemampuan anak untuk mengunyah
dan menelan makan). Pemberian obat-obatan dapat menyebabkan
anoreksia dan perubahan fungsi pencernaan, seperti
malabsorpsi vitamin dan mineral (misalnya obat pencahar,
antibiotik, antasid dan cholestyramine). Oleh karena itu,
riwayat medis juga mencakup semua obat yang dikonsumsi 6
bulan sebelumnya.7
Riwayat diet meliputi pola makan sebelum masuk rumah
sakit, termasuk jenis formula atau makanan yang diterima,
persiapan makanan, rute pemberian dan saat pemberian
makanan. Riwayat diet tiga hari sebelum masuk perawatan
sangat membantu. Hal ini penting untuk menentukan apakah
orang tua memberikan suplemen makanan, termasuk obat herbal
dan suplemen vitamin, baik yang diresepkan atau atas
kemauannya sendiri. Informasi yang mengarah pada intoleransi
makanan dan alergi dapat ditentukan.7
5
Penilaian faktor psikososial dilakukan untuk
mengidentifikasi apakah perawat klinis, psikolog, ahli gizi,
perlu dilibatkan. Hal ini penting untuk mengidentifikasi
makanan dan perilaku makan karena mungkin menjadi penghalang
untuk intervensi yang direncanakan. Penilaian ini juga untuk
mengetahui apakah keluarga memiliki dana yang cukup untuk
membeli makanan bergizi, memiliki fasilitas, pengetahuan dan
keterampilan dalam memberikan diet.1, 7
Pemeriksaan Fisik
Penilaian status gizi pasien dengan penyakit hati
kolestasis sulit dilakukan karena parameter yang digunakan
sering dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Pengukuran
antropometri tunggal tidak dianjurkan karena sekitar 80% dari
pasien rawat inap akan diasumsikan kurang gizi. Dengan
menggunakan tiga atau lebih pengukuran, kemugkinan ini dapat
dikurangi menjadi kurang dari 28%. 7, 8
Berat badan merupakan parameter pengukuran antropometri
yang kurang sensitif karena dipengaruhi oleh edema, ascites,
dan hepatosplenomegali. Dibandingkan pengukuran berat sebagai
ukuran tunggal, pengukuran berat badan sesuai tinggi badan
lebih bernilai dalam menentukan status gizi. 7, 8 Tinggi
badan, mencerminkan hasil pemberian nutrisi jangka panjang,
adalah parameter yang dapat membantu mengidentifikasi anak-
anak dengan malnutrisi kronis.7 Keadaan yang harus
diperhatikan dalam pengukuran tinggi badan adalah kesan
perawakan pendek. Perawakan pendek adalah fitur khas progresif
familial intrahepatic cholestastasis (PFIC) dan tidak dapat dikoreksi
6
dengan dukungan nutrisi.1 Itulah sebabnya tinggi badan bukan
merupakan indikator yang baik dari status gizi penderita
PFIC. Pengukuran indeks massa tubuh (IMT) memiliki
keterbatasan karena pengaruh penyakit hati yang berat, juga
dipengaruhi oleh status pubertas.7 Pengukuran lingkar kepala
merupakan parameter penting untuk menilai pertumbuhan anak
hingga usia 3 tahun karena pertumbuhan otak terus berlangsung
hingga tahun ketiga kehidupan dan dipengaruhi oleh asupan
nutrisi.7
Tebal lipatan kulit dan lingkar lengan atas dianggap
sebagai pengukuran yang lebih akurat daripada tinggi badan,
karena variasi pengukuran ini muncul lebih awal dari
perubahan tinggi badan. 7 Namun, edema perifer dapat
meningkatkan tebal lipatan kulit palsu. Meskipun empat lokasi
telah dievaluasi untuk menilai status gizi (trisep, bisep,
subscapular dan supra-iliaka), tebal lipatan kulit trisep
(TSF) dan tebal lipatan kulit subscapular (SSF) adalah yang
paling sensitif untuk menilai status. TSF paling sering
diukur karena paling mudah dan berkorelasi erat dengan TBF,
sedangkan SSF adalah ukuran dari cadangan lemak truncal
tetapi kurang sensitif terhadap status gizi jangka pendek.7
Untuk meminimalkan pengaruh edema dalam penilaian
antropometri, pengukuran tebal lipatan kulit dilakukan pada
tubuh bagian atas.9 Kaliper juga harus dibiarkan di lipatan
kulit lebih lama untuk memungkinkan cairan jaringan menepi.7
Pengukuran tebal lipatan kulit merupakan cara minimal invasif
sederhana untuk menilai status gizi, tetapi keakuratan
hasilnya tergantung pada operator. Diperlukan pelatihan untuk
7
memastikan presisi, akurasi, validitas dan
reproduksibilitasnya.7
Pemeriksaan Laboratorium
Parameter gizi lainnya, seperti protein dan status
imunitas adalah parameter yang diandalkan untuk menilai
status gizi anak dengan penyakit hati. Status protein
biasanya diperkirakan dengan mengukur kadar serum dari
beberapa sintesis protein di hati, seperti albumin,
prealbumin, dan retinol-binding protein. Penurunan kadar protein
serum ini lebih berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit
hati dibandingkan dengan penilaian status gizi pasien.7
Protein total serum tidak dapat digunakan sebagai satu-
satunya nilai untuk menilai status gizi dan harus digunakan
bersama dengan pemeriksaan lain karena dipengaruhi oleh
penyakit hati, ginjal, sepsis, peradangan, dan status
hidrasi. Gangguan fungsi sintetis hati menekan produksi
protein plasma.7 Albumin sebagian besar terdapat dalam ruang
ekstravaskuler, yang dapat dimanfaatkan pada saat terjadi
penurunan asupan protein. Albumin memiliki waktu paruh yang
panjang (18-20 hari), karena itu tidak mencerminkan perubahan
akut pada status gizi. Pada penyakit hati kronik, kadar
albumin yang rendah mencerminkan beratnya penyakit hati.1, 7
Prealbumin membawa tiroksin dan membantu transport vitamin A.
Prealbumin memiliki waktu paruh yang sangat singkat (24-48
jam) dan tersedia dalam jumlah sedikit di tubuh. Pre-albumin
menggambarkan perubahan cepat pada keadaan perubahan status
gizi akut. Prealbumin tidak dapat menjadi alat penilaian yang
8
tepat untuk menentukan status gizi karena dipengaruhi oleh
infeksi dan peradangan, meskipun C-reactive protein dapat
membantu menentukan apakah prealbumin yang rendah sebagai
akibat dari kekurangan gizi akut atau respon inflamasi.7, 10
Retinol-binding Protein (RBP) dimetabolisme oleh hati dan memiliki
waktu paruh 12 jam, yang membuatnya indikator terbaik dari
perubahan diet. RBP akan rendah pada keadaan defisiensi
vitamin A atau zinc.10 Transferin adalah protein transport
utama untuk besi yang sebagian besar berada di intravaskular.
Transferin memiliki halflife lebih pendek dari albumin (8-9
hari), membuatnya menjadi refleksi yang lebih baik penilaian
status gizi daripada albumin tetapi masih dipengaruhi oleh
fungsi sintesis di hati.7
Pengukuran kadar kolesterol juga harus diperhatikan pada
keadaan kolestasis. Pada sindrom Alagille ditemukan tingkat
kolesterol yang tinggi. Kolesterol total, LDL, dan
lipoprotein X sangat meningkat pada pasien sindrom Alagille,
sedangkan pada pasien dengan PFIC terjadi peningkatan
trigliserida dan penurunan HDL. 11
Insulin-like Growth Factor (IGF) adalah peptida yang
diproduksi oleh hati. IGF-1 adalah penanda turnover protein
dan memiliki waktu paruh beberapa jam, oleh karena itu
mungkin menjadi penanda yang dapat diandalkan pada
malnutrisi. Sayangnya, penyakit hati kronik mengubah
sintesis IGF, sehingga metode ini akan memperberat tingkat
gizi buruk pada anak-anak dengan penyakit hati kronik.7
Keseimbangan nitrogen mencerminkan jumlah kehilangan
protein otot tetapi membutuhkan urin tampung 24 jam. Kadar
9
kreatinin dan 3-metil-histidin dalam urin mencerminkan massa
otot. Pada penyakit hati kronik teknik ini dipengaruhi oleh
sindrom hepatorenal dan hiperamonemia, dan tingkat nitrogen
dipengaruhi oleh sintesis kreatinin yang tidak normal. 7
Creatinin-height index (CHI) mengevaluasi massa otot dan
cadangan protein tubuh dengan membandingkan ekskresi
kreatinin urin 24 jam dengan prediksi ekskresi anak lain
dengan ketinggian yang sama. Ini adalah cara yang baik untuk
menilai massa tubuh tanpa lemak dan mencerminkan massa otot,
karena kreatinin adalah produk sampingan dari pemecahan
creatine oleh hati. CHI dihitung dengan:
kreatinin urin terukur x 100
Kreatinin urin ideal
Indeks 100% menunjukkan massa otot normal, 60-80%
mencerminkan penurunan moderat, dan kurang dari 60%
menunjukkan pengurangan massa otot yang parah. Penilaian ini
memiliki keterbatasan karena tidak mempertimbangkan
konsekuensi efek metabolik dari trauma dan infeksi. Hal ini
juga bergantung pada apakah anak mengkonsumsi diet tanpa
daging dan memiliki fungsi ginjal normal. Pada anak-anak
dengan penyakit hati kronik, insufisiensi ginjal, sindrom
hepatorenal, membuat penilian tidak valid.7
Metode Lain
Teknik konvensional untuk menilai status gizi umumnya
tidak dapat diandalkan untuk pasien dengan penyakit hati,
terutama ketika fungsi sintetis hati terganggu dan terjadi
retensi cairan. Standar untuk mengukur status gizi dalam
10
keadaan patologis dan fisiologis adalah analisis komposisi
tubuh. Tubuh terdiri dari empat kompartemen : lemak, massa
sel, air ekstraseluler, dan padatan ekstraseluler bebas
lemak. Karena kompartemen lemak tubuh anhidrat, tidak
dipengaruhi oleh status edema pasien dengan sirosis.
Pengukuran lemak, sebagai sumber utama energi, pada anak
dengan kolestasis merupakan metode yang ideal untuk menilai
status gizi.7
Banyak metode pengukuran lemak dan massa bebas lemak
yang ada, namun beberapa teknik pengukuran yang tersedia,
seperti bioelectrical impedance, tidak bermanfaat pada pasien
dengan penyakit hati karena terlalu sensitif terhadap
perubahan air tubuh. Bioelectrical impedance analysis (BIA) adalah
perkiraan volume cairan tubuh dengan mengukur resistensi
terhadap frekuensi tinggi, konduksi listrik arus bolak-balik
dengan amplitudo rendah. Jumlah retensi yang diukur
berbanding terbalik dengan volume cairan elektrolit dalam
tubuh. Elektroda ditempatkan pada tangan dan kaki dan
perbedaan potensial antara dua elektroda dihitung berdasar
aliran yang mengalami retensi untuk masuk ke dalam tubuh.
Meskipun metode ini handal dan telah direproduksi, cepat
dikerjakan dan sederhana, tetapi pada anak-anak dapat
dipengaruhi oleh perubahan total air tubuh. Pada penyakit
hati, BIA juga dipengaruhi oleh fluktuasi hidrasi, yaitu,
ascites dan edema perifer.7, 12
Total-body electrical conductivity ( TOBEC ) adalah metode lain
yang tersedia untuk memperkirakan jumlah massa tubuh tanpa
lemak dan lemak tubuh total. Jumlah lemak tubuh dihitung
11
dengan metode TOBEC akurat pada pasien dengan sirosis, karena
parameter ini tidak dipengaruhi oleh status hidrasi subjek.
Metode ini aman, cepat, dan non-invasif. Keterbatasan utama
adalah mesin TOBEC hanya terdapat di pusat-pusat penelitian
khusus.7, 13
Dual energy absorptiometry x-ray (DEXA- scan) adalah metode
noninvasif dengan radiasi minimal yang menghasilkan
pengukuran akurat komposisi tubuh dan kepadatan tulang.
Metode ini tersedia di banyak pusat pelayanan pediatrik.
Penggunaannya diasumsikan sama dengan pendekatan penilaian
kompartemen tubuh, yaitu, jaringan lunak = berat badan-massa
tulang dan jaringan lunak = lemak+air setara jaringan.
Jaringan lunak yang menutupi tulang tidak dapat diperiksa dan
komposisinya harus diekstrapolasi dari komposisi jaringan
yang berdekatan. Kemudahan penggunaan, paparan radiasi yang
rendah dan kemampuan untuk mendapatkan konten mineral tulang
mungkin menjadikannya sebagai standar emas untuk gizi
penilaian status gizi. 1, 7
Dynamometry handgrip adalah salah satu metode yang
digunakan untuk menilai status gizi. Malnutrisi menyebabkan
pengecilan otot dan kelelahan, sehingga penilaian kekuatan
otot dibandingkan dengan nilai standar umur dan jenis kelamin
telah diusulkan guna menggambarkan status gizi. Pada anak-
anak, hal ini memiliki keterbatasan karena sulit mengatur
anak untuk memegang dinamometer. Pada orang dewasa memiliki
spesifitas yang rendah .7, 14
Kebutuhan Nutrisi pada Kolestasis
12
Energi dan Karbohidrat
Penyakit hati kronis merubah metabolisme karbohidrat dengan
menurunkan sintesa glikogen dan hormon yang meregulasi
glukosa darah. Karena terjadi penurunan degradasi insulin
akan terjadi hiperinsulinemia sehingga pada penyakit hati
kronis terjadi intoleransi glukosa. Resistensi insulin
disertai peningkatan glukosa darah, peningkatan katekolamin,
dan peningkatan asam lemak yang belum diesterifikasi
berkontribusi pada katabolisme.15
Kebutuhan energi meningkat secara signifikan pada
penyakit hati lanjut, sehingga makanan padat energi dapat
digunakan untuk meningkatkan asupan kalori. Dalam praktik
klinis, susu formula padat energi diberikan untuk penderita
kolestasis. Karbohidrat dan protein dapat ditambahkan ke
makanan normal. Karbohidrat adalah sumber utama energi
makanan yang menyumbang sekitar dua pertiga dari energi non-
protein. Polimer rantai pendek saat ini digunakan dalam
dukungan nutrisi yang memiliki beban osmotik tidak tinggi
sehingga tidak menyebabkan diare. Tepung sagu (starch) juga
dapat digunakan tetapi dapat menyebabkan penggumpalan dan
diare jika tidak dicerna di usus halus. Penggunaan polimer
rantai pendek yang ditingkatkan selama beberapa hari harus
dipantau efek sampingnya. Jika ada gejala intoleransi yang
signifikan, dosis karbohidrat tidak boleh ditingkatkan.
Meskipun karbohidrat sebagai sumber utama energi, lemak juga
sebagai energi dengan kalori yang lebih tinggi. Namun,
karbohidrat lebih mudah diterima oleh pasien karena memiliki
rasa yang lebih mudah diterima daripada lemak atau protein.1
13
Air dan Elektrolit
Kebutuhan cairan ditentukan berdasar berat badan aktual bila
tidak diperlukan restriksi pada keadaan ascites atau edema.
Natrium tidak boleh ditambahkan dalam jumlah tinggi untuk
memperbaiki hiponatremia karena dapat menyebabkan retensi
cairan. Pada bayi, asupan natrium 1 mmol/kg/hari dan kalium
normal sekitar 2 mmol/kg/hari diberikan secara tepat.16 Sulit
untuk menentukan keseimbangan yang tepat antara restriksi
cairan dan kebutuhan energi yang tinggi. Itulah alasan
mengapa makanan padat energi harus digunakan.1
Protein
Pada penyakit hati kronis, sintesis protein oleh hati akan
terganggu, pada klinis terlihat dengan menurunnya albumin,
transferin, RBP, dan faktor pembekuan. Amonia yang dihasilkan
oleh metabolisme bakteri usus dari asam amino yang berasal
dari diet bersama dengan asam amino yang dilepas oleh
jaringan tubuh secara normal dikonversi menjadi urea oleh
hati. Namun pada penyakit hati yang berat akan terjadi
penurunan produksi urea, peningkatan sintesis glutamin, dan
peningkatan konsentrasi amonia yang berkontribusi pada
berkembangnya ensefalopati. Pada penyakit hati kronik terjadi
distorsi profil asam amino, yaitu adanya peningkatan asam
amino aromatik (AAA), penurunan kadar insulin dan peningkatan
uptake BCAA ke otot sehingga terjadi penurunan asam amino
rantai cabang (BCAA) serum yang mengakibatkan triptofan yang
masuk ke otak meningkat.17
14
Pada penyakit hati dengan kolestasis dan malnutrisi, protein
diperlukan untuk mendukung pertumbuhan catch-up. Rasio
protein/energi sebesar 10 % digunakan untuk merehabilitasi
anak-anak yang mengalami malnutrisi umumnya cukup untuk
pertumbuhan catch-up jika kebutuhan energi tercukupi.18 Bayi
dengan kolestasis berat membutuhkan asupan protein sekitar 2-
3 g/kg/hari.1 Infeksi sering ditemukan pada atresia bilier
(seperti episode kolangitis) sehingga dapat meningkatkan
kebutuhan energi dan protein. Pada anak-anak, proteolisis
meningkat tajam selama infeksi dan dapat terjadi keseimbangan
protein yang negatif.1 Pembatasan protein dapat
dipertimbangkan pada keadaan encephalopathy hepaticum dan shunt
portosistemik terkait dengan hipertensi portal. Hiperamonemia
bukan indikasi pembatasan protein, bila tidak disertai
ensefalopati.1
Diet polimer secara sistematis digunakan untuk bayi dan
anak-anak dengan kolestasis. Protein terhidrolisat dapat
dipertimbangkan dalam pengelolaan nutrisi enteral pada
keadaan malnutrisi. Rasa makanan harus dipertimbangkan yang
mempengaruhi pengecapan makanan sebagai faktor penting yang
dapat menurunkan asupan energi. Protein terhidrolisat dapat
digunakan hanya dalam situasi klinis spesifik.1
Asam amino rantai cabang (BCAA) telah diuji pada model
hewan coba dengan kondisi klinis mengalami atresia bilier.1
BCAA bermanfaat meningkatkan berat badan, massa otot,
keseimbangan nitrogen dan juga menyebabkan peningkatan jumlah
kalium tubuh, lingkar lengan atas dan ketebalan lipatan kulit
subscapular pada anak dengan kolestasis. 1 Produk yang ideal
15
mengandung 3 g/kg/hari protein whey, kira-kira 2,6 g/100 ml
susu formula yang dilarutkan, diperkaya dengan asam amino
rantai cabang sampai 10 %, mampu mengatasi hiperamonemia
bukan dengan mengurangi asupan protein.16
Lemak
Lemak dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi dan
anak-anak yang sehat maupun dengan gangguan fungsi hati.
Lemak adalah sumber utama energi yang terdapat dalam ASI.
Diet lemak seharusnya mengandung vitamin larut lemak dan asam
lemak tak jenuh ganda (PUFA).19
Pada kolestasis terjadi penurunan penyerapan lemak yang
mengakibatkan penurunan asupan energi. Itulah alasan untuk
menyeimbangkan penggunaan energi dengan asupan energi ekstra.
Karbohidrat dapat diberikan dalam nutrisi padat kalori hingga
batas tertentu, tetapi tidak cukup untuk menutupi semua
kebutuhan energi. Sedangkan lemak terasa kurang enak, tetapi
nilai lebih dari makronutrien ini adalah : kepadatan energi
yang tinggi, osmolaritas rendah, dan kandungan PUFA yang
penting. Steatorrhea dapat membatasi penggunaan lemak pada
dukungan nutrisi, meskipun pada anak dengan steatorrhea,
pertumbuhan dapat meningkat jika lemak diberikan dalam jumlah
yang lebih tinggi.1 Medium-chain triglycerides ( MCT ) secara
opsional digunakan untuk suplementasi lemak atau komponen
formula yang diperkaya dengan MCT. MCT tidak memberikan
keseimbangan energi yang sama seperti long-chain triglycerides
(LCT), tetapi dapat digunakan sebagai dukungan nutrisi pada
malabsorpsi lemak karena memiliki kelarutan air yang tinggi
16
dan cepat dipecah oleh lipase.1 Namun, kandungan energi MCT
(per gram lemak) lebih rendah 16 % dari LCT . MCT dengan
cepat teroksidasi dan memiliki efek termogenik yang tinggi.
MCT langsung mencapai hati melalui aliran portal tanpa perlu
proses pembentukan micell campuran, dan juga memiliki sifat
ketogenik.1 Sebagian MCT dimetabolisme di jaringan dengan
mekanisme yang tergantung-karnitin sehingga hal ini dapat
meningkatkan kebutuhan akan karnitin.20 Satu penelitian
menyebutkan proporsi MCT 30-50 % dari total lemak sebagai
kadar optimal untuk manajemen nutrisi dalam kolestasis.21
Namun, sulit untuk menentukan kandungan lemak dalam makanan
yang ideal dan rasio MCT terhadap LCTs. Data yang terbatas
memperlihatkan solubilisasi lemak dan pertumbuhan yang lebih
baik pada bayi kolestasis yang diberi nutrisi dengan
perbandingan MCT 30 atau 70 % terhadap campuran 50/50 % dari
MCT/LCT.1 Defisiensi asam lemak esensial terjadi pada
konsumsi MCT yang sangat tinggi yang tidak dilengkapi dengan
PUFA [23]. Sebagian besar susu formula yang diperkaya dengan
MCT memiliki rasio MCT/LCT sekitar 1/1 dan yang dilengkapi
dengan asam lemak esensial. Formula yang diperkaya dengan MCT
untuk anak-anak mungkin berisi MCT lebih tinggi (75 sampai 80
% dari lemak, misalnya Caprilon dan Portagen) meskipun
dilengkapi dengan asam lemak esensial. Perlu diperhatikan
jika minyak MCT murni digunakan sebagai suplementasi makanan,
dan dalam situasi ini penilaian diet secara rinci harus
dilakukan. Minyak nabati yang diperkaya dengan PUFA harus
digunakan untuk mendukung asupan asam lemak esensial. Asupan
lemak dan rasio MCT harus dititrasi untuk menjamin
17
pertumbuhan dan kenaikan berat badan yang optimal dengan
kemungkinan intoleransi nutrisi. Lemak seharusnya digunakan
dengan rasio 30 sampai 50 % dari total kebutuhan energi
sebagaimana digunakan pada anak sehat seusianya untuk
meningkatkan densitas energi.16
Asam lemak polyunsaturated
Long-chain PUFA (LCPs, PUFA dengan panjang rantai karbon
>18), seperti asam arakhidonat (AA) dan asam docosahexaenoic
(DHA) penting untuk masa awal pertumbuhan dan perkembangan
jaringan seperti otak dan retina.1 PUFA juga merupakan
prekursor eicosanoids dengan peran biologis penting sebagai
mediator sistem imun tubuh dan agregasi platelet, sehingga
kekurangan PUFA (terutama dari seri n-6) menjadi perhatian
khusus. Asam lemak esensial klasik seperti asam linoleat
(18:2n-6) dan asam α-linolenat (18:3n-3) harus terkandung
dalam diet untuk diedarkan ke hati dan otak guna memenuhi
kebutuhan LCP.19 Bayi yang menyusu menerima jumlah yang
cukup AA dan DHA dari lemak ASI [27]. Berbeda dengan bayi
yang diberi ASI, bayi yang mendapat susu formula konvensional
yang mengandung minyak nabati tidak mendapat LCP yang cukup
dalam diet mereka dan bergantung pada pemanfaatan simpanan
dalam tubuhnya atau sintesis endogen dari prekursor asam
lemak esensial untuk memenuhi kebutuhan LCP guna pertumbuhan
jaringannya. Koletzko dkk.1 memperkirakan tingkat konversi
asam linoleat dengan teknik isotop stabil menemukan bahwa
kontribusi sintesis AA terhadap AA plasma total hanya sekitar
6 % per hari. Sebuah review Cochrane tahun 2004
18
mempublikasikan suplementasi LCP pada bayi cukup bulan sampai
dengan tahun 2001 termasuk studi tentang ketajaman visual
serta pada fungsi kognitif dan perkembangan psikomotorik.22
Penulis menyimpulkan mungkin terdapat efek menguntungkan
dari asupan LCP, tetapi penelitian yang lebih besar dengan
rentang waktu yang lebih lama disarankan untuk mengetahui
lebih lanjut masalah ini. Dalam tinjauan kritis dari beberapa
publikasi yang tersedia, Uauy dkk.23 mencatat tidak menemukan
keuntungan dari suplementasi LCP karena penggunaan DHA
konsentrasi rendah atau tidak mencakup penilaian kepatuhan.
Tidak mudah memperkirakan kebutuhan PUFA dan LCP pada
bayi dan anak-anak sehat, bahkan lebih sulit untuk memberikan
rekomendasi bagi anak-anak dengan kolestasis. Defisiensi PUFA
dapat mengakibatkan gangguan dermatologis akibat kekurangan
asam lemak esensial.1 Beberapa faktor yang berkontribusi
terhadap defisiensi PUFA dan LCP adalah : asupan PUFA
rendah , kesulitan pencernaan dan metabolisme PUFA menjadi
turunan rantai panjang. Asupan PUFA tambahan dapat
memperbaiki status asam lemak (misalnya kedelai).
Suplementasi asam lemak esensial mungkin tidak cukup.
Kolestasis berat meningkatkan risiko gangguan konversi hati
PUFA menjadi LCP sejalan dengan tingkat keparahan penyakit
hati, mengakibatkan defisiensi LCP yang signifikan meskipun
telah diberikan tambahan asam lemak esensial.24 Suplementasi
LCP dapat diberikan berupa produk makanan kuning telur (kaya
AA) atau minyak ikan (kaya DHA). Bayi cukup bulan dapat
diberikan suplemen formula konvensional yang mengandung LCP.
Gangguan metabolisme dan penurunan penyerapan makanan ikut
19
berperan dalam defisiensi PUFA. Asam lemak tak jenuh dapat
mengalami peroksidasi lemak, dan pada kolestasis terjadi
akibat gangguan antioksidan. Tidak ditemukan hubungan
langsung antara peroksida lemak yang tinggi akibat gangguan
metabolisme PUFA dengan konsentrasi vitamin E yang rendah.25
Kekurangan LCP yang parah dapat menyertai kolestasis kronis
dan sulit untuk diperbaiki. Dilaporkan bahwa dalam 1 tahun
setelah transplantasi hati, status LCP tidak sepenuhnya
membaik.1 Pada saat ini, tidak ada penelitian yang
menunjukkan efek fungsional suplementasi LCP pada anak dengan
kolestasis dan sehingga belum ada rekomendasi yang kuat
pemberian suplemen PUFA dengan LCP. Penggunaan minyak nabati
kaya PUFA dan/atau kuning telur sebagai suplemen diet untuk
meningkatkan densitas energi dan asupan PUFA masih
dibenarkan. Pada bayi dengan kolestasis yang menerima susu
formula biasa dan tidak memerlukan makanan yang diperkaya
dengan MCT, susu formula yang disuplementasi LCP dapat
digunakan.1, 16
Tabel 1. Monitoring defisiensi
vitamin dan mineral
20
Sumber : Socha P. (2008)1
Vitamin
Malabsorpsi vitamin larut lemak menjadi masalah nutrisi pada
kolestasis. Faktor lain yang berkontribusi terhadap rendahnya
kadar vitamin larut lemak adalah pembentukan radikal bebas
yang meningkat mempengaruhi metabolisme vitamin E. Beberapa
vitamin larut lemak (vitamin A, D, dan K) dapat diberikan
secara efisien, sedangkan suplementasi vitamin E dapat
menyebabkan masalah yang signifikan. Pada kolestasis berat,
suplementasi vitamin per oral mungkin tidak cukup, dan
formulasi parenteral harus dipertimbangkan.1
Vitamin A
Kekurangan vitamin A menimbulkan keluhan kulit kering,
xerophthalmia dan rabun senja. Pemeriksaan kadar vitamin A
dalam serum tidak mencerminkan status vitamin A. Indikator
yang berguna untuk menentukan status vitamin A adalah rasio
molar retinol plasma/retinol-binding protein [dihitung
21
sebagai serum retinol (ng/dl) / serum RBP (mg/dl) x 0,0734].
Rasio melebihi 0,8 poin menunjukkan status vitamin A normal.
Metabolisme Vitamin A di hati biasanya terganggu pada pasien
kolestasis.1, 26 Rasio yang lebih tinggi dikaitkan dengan
toksisitas termasuk fibrosis hati, hiperkalsemia, pseudotumor
cerebri dan lesi tulang. Keracunan vitamin A dapat diukur
dengan baik dari tingkat ester vitamin A plasma. Karena
vitamin A bisa menjadi toksik, beberapa pihak
mempertimbangkan suplementasi ß-karoten sebagai prekursor
vitamin A. ß-karoten juga merupakan zat larut dalam lemak
yang dapat berperan dalam melindungi membran sel terhadap
cedera radikal bebas, melengkapi vitamin E, dan dapat
digunakan secara aman sebagai suplemen pada pasien dengan
penyakit hati. Ada bukti dari penelitian in vitro yang
menyebutkan bahwa ß-karoten adalah antioksidan kuat yang
dapat meringankan efek toksik asam empedu pada sel-sel
hati.1, 27 Kadar ß-karoten yang rendah pada anak dengan
kolestasis mungkin berhubungan dengan penyerapan di usus.
Vitamin D
Pasien dengan kolestasis lebih sering mengalami osteoporosis
dibandingkan pasien tanpa kolestasis. Kekurangan vitamin D
tampaknya bertanggung jawab terhadap kejadian ooetoporosis.
Defisiensi mineral tulang dapat dideteksi lebih dini dengan
pengukuran kepadatan mineral tulang (metode non-invasif)
dibandingkan dengan mengukur serum Ca, P dan Mg tingkat pada
pasien dengan kolestasis.1
22
Kekurangan vitamin D juga mudah terjadi pada kolestasis
berkepanjangan. Bayi yang minum ASI memiliki risiko yang
lebih tinggi menderita defisiensi vitamin D, karena ASI
mengandung jumlah vitamin D yang rendah. Gejala kekurangan
vitamin D yang jarang diamati, seperti hipokalsemia,
hipofosfatemia, hypotonia dan rakhitis. Pada penyakit hati
yang berat, bukan hanya gangguan penyerapan yang bertanggung
jawab terhadap defisiensi vitamin D, tetapi juga gangguan
metabolisme di hati. Inilah alasan mengapa vitamin D tidak
digunakan untuk memperbaiki defisiensi melainkan metabolit 25
- hidroksikolekalsiferol ( 25-OH-D).1 Kita harus menyadari
bahwa suplementasi vitamin D saja tidak efektif, kalsium dan
fosfor harus diberikan secara bersamaan. Indikator terbaik
status vitamin D dalam kolestasis adalah konsentrasi serum
25-OH-D, kadar 20 ng/ml atau kurang dianggap sebagai sangat
rendah. Konsentrasi yang diharapkan lebih dari 25 ng/ml.
Indikator sederhana hipokalsemia juga dapat digunakan rasio
kalsium urin/kreatinin harus <0.25.1 Namun, tidak ada
korelasi langsung tingkat keparahan tingkat osteopenia dengan
serum 25(OH)-vitamin D dan 1,25(OH)2-vitamin D baik bayi atau
anak dengan kolestasis. Mineralisasi tulang yang mengalami
penurunan pada masa kanak-kanak merupakan proses penyakit
yang dimulai sejak awal masa kanak-kanak dengan kolestasis,
cepat memburuk dengan bertambahnya usia dan disfungsi hati,
dan relatif stabil pada anak dengan penyakit hati yang lebih
stabil.1 Toksisitas vitamin D jarang dilaporkan dan termasuk
hiperkalsemia dan pseudotumor cerebri. Transplantasi hati
mampu memperbaiki osteopenia dan kekurangan vitamin D. Pada
23
bayi dan anak-anak <2 tahun dengan kolestasis kronis,
kandungan mineral tulang kembali normal sekitar 11 bulan
setelah transplantasi hati orthotopik.1
Vitamin E
Defisiensi vitamin E menjadi masalah utama pada kolestasis
berkepanjangan dan sulit diperbaiki pada beberapa kasus
kolestasis. Defisiensi vitamin E pada anak dengan kolestasis
kronis menyebabkan degenerasi saraf. Peran utama vitamin E
adalah sebagai antioksidan yang berfungsi sebagai radikal
bebas oksigen. Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan tubuh
rentan terhadap peroksidasi, termasuk asam lemak tak jenuh,
yang mengganggu fungsi membran sel sistem saraf pusat dan
perifer. Konsekuensi avitaminosis vitamin E meliputi
perubahan neurologis yang sulit dikenali, namun setelah
beberapa tahun, menyebabkan kerusakan permanen. Tanda-tanda
neurologis yang berhubungan dengan kekurangan vitamin E
adalah neuropati perifer, ophthalmoplegia, ataksia, gangguan
sensasi getaran dan lesi degeneratif retina. Tanda-tanda awal
gangguan neurologis adalah hilangnya refleks tendon dalam.
Lesi sistem saraf pada penyakit lain yang serupa dengan
akibat defisiensi vitamin E adalah abetalipoproteinemia,
penyakit Anderson, defisiensi vitamin E terisolasi
selektif.1, 28
Pada beberapa anak dengan kolestasis, tidak mungkin
meningkatkan kadar vitamin E secara oral, sehingga
dipertimbangkan untuk menggunakan suntikan intramuskular.
Sokol dkk.1, 29 melaporkan efek menguntungkan penggunaan
24
vitamin E oral yang larut air untuk mengoreksi kadar serum α-
tokoferil dan memperbaiki cacat neurologis pada anak-anak
dengan kolestasis. TPGS (d-α-tokoferil polietilen glikol 1000
suksinat, Eastman Chemical Products Inc, Kingsport, Tenn,
Amerika Serikat, atau Orphan Eropa, Paris, Prancis ) adalah
ester asam suksinat vitamin E yang larut dalam air terikat
polietilen glikol 1000, dapat membentuk misel tanpa
melibatkan asam empedu. Dilaporkan tentang efek terapi TPGS
yang cepat memperbaiki kadar vitamin E serum tetapi tidak
meningkatkan peroksidasi lemak dan menurunkan status PUFA.25
Pemantauan terapi vitamin E bergantung pada rasio vitamin
E/total lemak (normal >0,8 mg/g tetapi dengan kadar vitamin E
plasma <30 ug/ml) . Jarang ditemukan toksisitas vitamin E.25
Vitamin K
Pada tahun 2005, Ijland dkk (1) mempertanyakan keamanan
suplementasi vitamin K oral dengan dosis harian 25 µg pada
populasi yang sehat, dimana terjadi pendarahan pada 6 bayi
yang disusui dalam populasi yang diteliti. Rupanya, 5 dari 6
bayi yang mengalami perdarahan adalah bayi yang mengalami
kolestasis dengan atresia bilier. Dengan demikian, kolestasis
menyebabkan risiko kekurangan vitamin K. 1
Defisiensi vitamin K mungkin merupakan tanda malabsorpsi
lemak dalam kolestasis yang mengakibatkan penyakit
hemoragik.30 Kesimpulan penting dari Pusat Data Atresia
Bilier Nasional di Belanda dan Denmark, dosis harian 25 µg
vitamin K gagal mencegah perdarahan pada bayi yang tampak
sehat dengan kolestasis yang belum diketahui akibat atresia
25
bilier.1, 30 Dosis profilaksis satu miligram per oral mingguan
memberikan perlindungan signifikan lebih tinggi pada bayi ini
dengan keberhasilan yang sama pemberian profilaksis 2 mg
intramuskular saat lahir.31 Dalam praktek klinis, vitamin K
dosis tinggi per oral setiap minggu atau setiap 3 hari
digunakan untuk pencegahan perdarahan. Untuk pengobatan waktu
protrombin yang signifikan, pemakaian vitamin K intravena
merupakan pilihan terbaik. Konakion MM (Roche) tampaknya
menjadi formulasi (senyawa vitamin K dilarutkan dalam
glycocholate dan lesitin) yang efisien dan aman untuk
mengatasi defisiensi vitamin K.1 Kekurangan vitamin K dapat
dideteksi dengan rasio normalisasi internasional yang tinggi
(meningkatkan waktu protrombin) yang dikoreksi dengan
pemberian vitamin K parenteral. PIVKA II (protein yang
disebabkan karena tidak adanya vitamin K), diukur dengan
ELISA , menjadi indikator yang lebih baik daripada waktu
protrombin (PIVKA II>3 ng/ml mencerminkan defisiensi vitamin
K ) tetapi jarang tersedia.1
Vitamin yang larut dalam air juga harus dicukupi pada
keadaan malabsorpsi nutrisi. Selain itu, antioksidan dapat
menurunkan pembentukan peroksida yang tinggi. Kekurangan zat
gizi, seperti vitamin C, menjadi lebih berat jika
dikombinasikan dengan rendahnya kadar antioksidan
(misalnya,vitamin E). Pada kolestasis kronis, disarankan
untuk menggunakan vitamin yang larut dalam air dengan dosis
dua kali lipat RDA 16, tetapi dalam beberapa keadaan,
diperlukan dosis jauh lebih tinggi.3 Anak-anak dengan
kolestasis juga memiliki kadar mineral yang rendah. Suplemen
26
selenium, zinc, kalsium dan magnesium harus diberikan sesuai
kadarnya dalam plasma.16 Selenium dan zinc merupakan
antioksidan penting. Besi dapat meningkatkan stres oksidatif
dan fibrogenesis pada pasien dengan penyakit hati.1 Dengan
demikian, besi tidak diberikan secara rutin. Defisiensi Fe
tampaknya tidak menjadi masalah umum di kolestasis.
Transplantasi hati tampaknya mampu memperbaiki sebagian besar
kekurangan mikronutrien dan status antioksidan kecuali untuk
glutathione.32
Tabel 2. Pengelolaan vitamin larut lemak pada anak dengan
kolestasis
Sumber : Socha P.(2008)1
Jalur Pemberian Nutrisi
Asupan makanan per oral lebih diutamakan bila kecukupan
energi dapat terpenuhi dari jalur tersebut. Makanan padat
energi dapat digunakan untuk meningkatkan asupan energi. Rasa
makanan harus dipertimbangkan agar diet per oral dapat
terpenuhi.
27
Pada penyakit hati kronik, terutama jika diperlukan
pertumbuhan catch- up cepat sebelum transplantasi hati,
penggunaan nasogastric tube feeding (NGT) bisa menjadi
pilihan. Bolus makanan tidak selalu dapat ditoleransi.
Penggunaan infus kontinyu dengan syringe pump selama 20
jam/hari dapat memecahkan masalah muntah yang terjadi pada
penggunaan NGT.1 Penggunaan NGT di malam hari adalah pilihan
lain : anak diperbolehkan untuk makan secara ad libitum di
siang hari dan menerima energi ekstra ketika tidur lewat NGT.
Risiko kontaminasi bakteri dalam makanan harus menjadi
perhatian. Percutaneous endoscopic gastrostomy bukan merupakan cara
yang umum untuk memenuhi asupan gizi karena risiko perdarahan
varises.1
Gambar 1. Algoritme pemberian nutrisi pada anakdengan penyakit hati kolestasisSumber : Socha P. (2008)1
28
Muntah, kembung, diare dan komplikasi lain dapat
menyebabkan masalah pada sebagian anak yang menerima
pemberian makan per oral dan enteral, sehingga nutrisi
parenteral dibutuhkan pada pasien tersebut. Jika asupan
energi terlalu rendah, nutrisi parenteral parsial dapat
dipertimbangkan untuk meningkatkan status gizi. Tingkat
keamanan metode terapi nutrisi sangat terkait dengan
pengalaman pusat klinis. Standar pemberian nutrisi parenteral
pada kolestasis sama dengan pemberian untuk indikasi lain.
Larutan asam amino standar dapat digunakan, sedangkan
manfaat penggunaan asam amino rantai cabang belum banyak
didokumentasikan.33 Perbandingan keamanan penggunaan infus
lemak LCT dan MCT/LCT dalam nutrisi parenteral jangka pendek
pada anak-anak dengan kolestasis, ditemukan toleransi
metabolisme yang baik dari kedua emulsi infus intravena
tersebut pada bayi dengan kolestasis. Karena DHA memegang
peran utama dalam perkembangan otak, emulsi LCT dapat menjadi
sumber PUFA ( LCT mengandung lebih banyak PUFA daripada
emulsi MCT/LCT) untuk bayi dengan kolestasis kronis pada
pemberian jangka pendek. Socha (2008) melaporkan tidak ada
risiko peningkatan peroksidasi lemak karena pemberian infus
lemak. Konsentrasi lemak plasma tidak berubah oleh salah satu
emulsi lemak yang digunakan.34
Guimber dkk35 melaporkan tentang keamanan nutrisi
parenteral yang diberikan pada anak dengan kolestasis.
Ditemukan peningkatan Z skor berat badan sesuai usia dan
berat badan sesuai tinggi badan, dimana tidak terdapat
29
perubahan yang signifikan dalam fungsi sintetis hati pada
tujuh anak dengan penyakit hati. Terdapat peningkatan yang
signifikan kadar bilirubin yang mungkin terkait dengan
perjalanan alami penyakit hati atau sebagian akibat pemberian
nutrisi parenteral dalam jangka lama. Meskipun nutrisi
parenteral berkepanjangan merupakan faktor risiko kolestasis
pada pasien tanpa penyakit hati primer, metode terapi nutrisi
parenteral pada kolestasis dapat menjembatani untuk persiapan
transplantasi hati.1
30
KESIMPULAN
Pemberian nutrisi pada anak dengan kolestasis perlu
mendapatkan perhatian khusus. Status gizi harus dinilai, dan
kebutuhan nutrisi harus ditentukan sebelum terapi nutrisi
dimulai. Prinsip dasar manajemen nutrisi adalah memperbaiki
status gizi dengan tambahan pasokan protein energi,
karbohidrat, lemak, dan vitamin larut lemak. Pada penyakit
hati yang berkembang menjadi gagal hati dengan kolestasis
kronis, terapi nutrisi dapat dapat menjembatani persiapan
transplantasi hati untuk meningkatkan prognosis. Dengan
demikian , dukungan nutrisi invasif dibenarkan pada penyakit
hati yang berat yang biasanya mencakup pemasangan NGT ataupun
nutrisi parenteral.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Socha P. Nutritional management of cholestasic syndromesin childhood. Ann Nestle (Engl). 2008;66:137-47.
2. Chin SE SR, Thomas BJ. The nature of malnutrition inchildren with endstage liver disease awaiting orthotopicliver transplantation. Am J Clin Nutr 1992;56:164-8.
3. Samonte V, Taylor G. Scurvy diagnosed in a paediatricliver transplant patient awaiting combined kidney andliver transplantation. Pediatr Transplant 2008;12:363-7.
4. Henkel AS. Nutritional support in patients with chronicliver disease. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol.2006;3(4):202-9.
5. Greer R, Lewindon P. Body composition and components ofenergy expenditure in children with end-stage liverdisease. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003;36:358–63.
6. Holt RI, Jones JS. Nasogastric feeding enhancesnutritional status in paediatric liver disease but doesnot alter circulating levels of IGF-I and IGF-bindingproteins. Clin Endocrinol 2000;52:217–24.
7. Taylor RM, Dhawan A. Assessing nutritional status inchildren with chronic liver disease. Journal ofGastroenterology and Hepatology. 2005;20(12):1817-24.
8. Jeejeebhoy KN; Detsky AS; Baker JP. Assesment ofnutritional status. JPEN. 1990;14:193s-6s.
9. Sokol RJ SC. Anthropometric evaluation of children withchronic liver disease. Am J Clin Nutr. 1990;52:203-8.
10. Feitelson-Winkler M GS, Pomp A, Albina JE. Use ofretinol-binding protein and prealbumin as indicators ofthe response to nutrition therapy. J Am Diet Assoc.1989;89:684-7.
11. Nagasaka H, Egawa H. Evaluation of risk foratherosclerosis in Alagille syndrome and progressivefamilial intrahepatic cholestasis: two congenitalcholestatic diseases with different lipoproteinmetabolisms. J Pediatr. 2005;146:329-35.
12. Goulet OJ.Assesment of nutritional status in clinicalpractise. Baillieres Clin Gastroenterol. 2003;12:647-69.
13. Ramaccioni V SH, Arumugam R, Klish WJ. NutritionalAspects of Chronic Liver Disease and Liver Transplantation
32
In Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2000;30(4):461-7.
14. Alvares-da-silva MR. Comparison between handgripstrength, subjective global assesment, and prognosticnutritional index in assesing malnutrition and predictingclinical outcome in cirrhotic outpatients. Nutrition.2005;21:113-7.
15. Baddekar A SS, Pandit A. Nutrition management in chronicliver disease. Indian Journal Pediatrics. 2002;60:427-37.
16. Baker A SR, Dhawan A. Guidelines for nutritional carefor infants with cholestatic liver disease before livertransplantation. Pediatr Transplant 2007(11):825–34.
17. Pratt CA GM, Kenner JA. Nutritional management ofneonatal and liver disease. Neo Review. 2001;2:215.
18. Graham GG MW, Brown KH. Protein requirements of infantsand children: growth during recovery from malnutrition.Pediatrics. 1996;97:499-505.
19. Koletzko B DH, Socha P. Nutritional support of infantsand children: supply and metabolism of lipid. BaillieresClin Gastroenterol 1998;12:671-96.
20. Rebouche CJ PD, Nelson SE. Role of carnitine inutilization of dietary medium-chain triglycerides by terminfants. Am J Clin Nutr 1990;52:820-4.
21. Kaufmann SS SD, Murray ND. Influence of portagen andpregestimil on essential fatty acid status in infantileliver disease. Pediatrics. 1992(89):151-4.
22. Simmer K. Longchain polyunsaturated fatty acidsupplementation in infants born at term (Cochrane Review).The Cochrane Library. 2004(3).
23. Uauy R, Mena P. Term infant studies of DHA and ARAsupplementation on neurodevelopment: results of randomizedcontrolled trials. J Pediatr 2003;143:S17-25.
24. Socha P KB, Pawlowska P, Socha J. Essential fatty acidstatus in children with cholestasis, in relation to serumbilirubin concentration. J Pediatr 1997;131:700-6.
25. Socha P KB, Pawlowska J. Treatment of cholestaticchildren with water-soluble vitamin E (alpha-tocopherylpolyethylene glycol succinate): effects on serum vitaminE, lemak peroxides, and polyunsaturated fatty acids. JPediatr Gastroenterol Nutr 1997;24:189-93.
33
26. Amedee-Manesme O, Furr HC, Alvarez F. Biochemicalindicators of vitamin A depletion in children withcholestasis. Hepatology 1985;5:1143-8.
27. Gumpricht E DR, Devereaux MW, Sokol RJ. ß-Caroteneprevents bile acid-induced cytotoxicity in rat hepatocyte:evidence for an antioxidant and anti-apoptotic role of ß-carotene in vitro. Pediatr Res 2004;55:814- 21.
28. Nasr SZ OLM, Hillermeier C. Correction of vitamin Edeficiency with fat-soluble versus water-misciblepreparations of vitamin E in patients with cysticfibrosis. J Pediatr. 1993;122:810-2.
29. Sokol RJ B-SN, Conner C. Multicenter trial of d-M-tocopheryl polyethylene glycol 1000 succinate fortreatment of vitamin E deficiency in children with chroniccholestasis. Gastroenterology. 1993;104:1727-35.
30. Ijland MM PR, Cornelissen EAM. Incidence of late vitaminK deficiency bleeding in newborns in the Netherlands in2005: evaluation of the current guideline. Eur J Pediatr.2008;167:165-9.
31. van Hasselt PM dKT, Kvist N. The Netherlands Study Groupfor Biliary Atresia Registry. Prevention of vitamin Kdeficiency bleeding in breastfed infants: lessons from theDutch and Danish biliary atresia registries. Pediatrics2008;121:e857-63.
32. Wierzbicka A PJ, Socha P. Lipid, carbohydratemetabolism, and antioxidant status in children after livertransplantation. Transplant Proc 2007;39:1523-5.
33. Plauth M MM, Weimann A. ESPEN guidelines for nutritionin liver disease and transplantation. Clin Nutr.1997;16:43-5.
34. Socha P KB, Demmelmair H. Short-term effects ofparenteral nutrition of cholestatic infants with lemakemulsions based on medium-chain and long-chaintriacylglycerols. Nutrition. 2007;23:121-6.
35. Guimber D ML, Ategbo S. Experience of parenteralnutrition for nutritional rescue in children with severeliver disease following failure of enteral nutrition.Pediatr Transplant 1999;3:139-45.
34