Teori belajar behavioristik humanistik kognitif

23
PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM A. Pendahuluan Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam, dan miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum. Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang 1

Transcript of Teori belajar behavioristik humanistik kognitif

PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Pendahuluan

Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam,

dan    miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah.

Keragaman    sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan

ekonomi memberikan    tekanan yang sama, kalau tidak dapat

dikatakan lebih kuat dibandingkan    perbedaan filosofi, visi, dan

teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum.

Perbedaan filosofi, visi, dan teori para    pengambil keputusan

seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang    otoritas yang

dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses

deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan

filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses

pengembangan  dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim

yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi,

dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki

ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan

dikembangkan sebagai konten kurikulum.

Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan

ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia.

Realita tersebut  memang berposisi sebagai objek periferal dalam

proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini

tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para

otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang

menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam

implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan

ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu

berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan

kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar,

dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah

informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil

belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang

1

memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan

kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum

as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality)

tetapi juga kurikulum sebagai hasil.

Selintas sejarah yang melatarbelakangi perkembangan

kurikulum di tanah air.

Perkembangan kurikulum secara nasional tidak dapat dipisahkan

dari perkembangan pendidikan dari dulu hingga sekarang.

Sekolah atau lembaga pendidikan di Indonesia telah ada sejak

jaman kolonial Belanda, ini artinya pendidikan secara formal

pendidikan telah ada sejak lama dan tentu saja ada kurikulum

yang dijadikan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan

pendidikan tersebut.

Program pendidikan atau kurikulum lebih banyak diarahkan

guna menanggulangi masalah-masalah besar seperti masalah

pemerataan pemrolehan esempatan mengenyam pendidikan,

penigkatan kualitas hasil pendidikan, relevansi pendidikan

dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan juga untuk

mempersiapkan warga Negara memasuki abad baru yang penuh

dengan persaingan global. Pada masa kemerdekaan, undang-

undang undang-undang dijadikan sebagai pedoman dalam

penyelenggaraan pendidikan. Sejak itu pendidikan di Indonesia

mengalami perbaikan dan penyempurnaan.Pendekatan yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum

adalah teori belajar yaitu teori tentang bagaimana siswa belajar.

Selama ini,    orang berbicara tentang teori belajar yang

dikembangkan terutama dari  psikologi. Teori belajar seperti yang

dikenal dalam literatur dikembangkan dari berbagai aliran dan

teori dalam psikologi seperti  behaviorisme (stimulus-response,

conditioning, operant conditioing, modelling, dan sebagainya),

kognitif (skemata, akomodasi, dan  asimilasi dari Piaget,

meaningful learning dari Ausubel, dan  sebagainya).

2

Teori belajar yang dikembangkan dari pandangan ini tentu

saja sangat berguna dan dikembangkan berdasarkan hasil studi yang

mendalam dan dalam waktu yang cukup panjang.

Sayangnya, teori belajar yang dikembangkan berdasarkan pandangan

psikologi ini sering memiliki asumsi bahwa siswa belajar dalam

suatu situasi yang value free atau lebih tepat dikatakan cultural

and societal free. Teori-teori belajar itu tidak memperhitungkan

bahwa  siswa yang belajar adalah suatu pribadi yang hidup dan

bereaksi  terhadap stimulus (apakah dikembangkan berdasarkan teori

behaviorisme atau kognitif) yang tidak dapat dilepaskan dari

lingkungan sosial dan  budaya di mana ia hidup.

Dalam bukunya yang berjudul sociocultural origins of

achievement, Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan  antara

kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan

kognisi, kebudayaan dan keinginan berprestasi, serta kebudayaan

dan  motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap belajar siswa.

B. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Kognitif

Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean

Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980.

Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan

psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan

konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk

secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan

operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada

kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya

schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi

lingkungannya—dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat

seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan

informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam

konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme

3

(yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan

pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat

bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan

yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk

pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget

membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya

melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan

semakin canggih seiring pertambahan usia:

■ Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks

bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.

Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan

tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari

empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai

perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam

enam sub-tahapan:

1) Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam

minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.

2) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu

sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan

munculnya kebiasaan-kebiasaan.

3) Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia

empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama

dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.

4) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia

sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya

kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang

permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari

sudut berbeda (permanensi objek).

4

5) Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua

belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama

dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

6) Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama

dengan tahapan awal kreativitas.

■ Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)

Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan.

Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan

bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara

kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran

(Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan

tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari

tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara

logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar

menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan

kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak

kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak

dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti

mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda

atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-

beda.

Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti

tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam

tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan

berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda

dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih

menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan

tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak

dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut

berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami

bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring5

pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain

semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di

saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun

memiliki perasaan.

■ Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)

Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan.

Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai

ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses

penting selama tahapan ini adalah:

• Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran,

bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda

berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang

paling besar ke yang paling kecil.

• Klasifikasi — kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi

serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau

karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian

benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam

rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan

logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup

dan berperasaan)

• Decentering — anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari

suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh

anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek

lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.

• Reversibility — anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-

benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk

itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama

dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.

• Konservasi — memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah

benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau

tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai6

contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya

sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas

lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap

sama banyak dengan isi cangkir lain.

• Penghilangan sifat Egosentrisme — kemampuan untuk melihat sesuatu

dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut

berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan

komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam

kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang

memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti

kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan

mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada

di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah

dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

■ Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai

dewasa)

Tahap operasional formal adalah periode terakhir

perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai

dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan

terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah

diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar

secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang

tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal

seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat

segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada

"gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis,

tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai

perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa

secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan

psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak

7

sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga

ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang

dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional

konkrit.

Informasi umum mengenai tahapan-tahapan

Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia

bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada

tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.

Universal (tidak terkait budaya)

Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi

yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua

konsep dan isi pengetahuan

Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang

terorganisasi secara logis

Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup

elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih

terdiferensiasi dan terintegrasi)

Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam

model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.

Isu dalam perkembangan kognitifIsu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu

perkembangan psikologi secara umum.

8

Tahapan perkembangan

Perbedaan kualitatif dan kuantitatif, Terdapat kontroversi

terhadap pembagian tahapan perkembangan berdasarkan

perbedaan kualitas atau kuantitas kognisi.

Kontinuitas dan diskontinuitas, Kontroversi ini membahas

apakah pembagian tahapan perkembangan merupakan proses

yang berkelanjutan atau proses terputus pada tiap

tahapannya.

Homogenitas dari fungsi kognisi, Terdapat perbedaan

kemampuan fungsi kognisi dari tiap individu

Natur dan nurtur

Kontroversi natur dan nurtur berasal dari perbedaan antara

filsafat nativisme dan filsafat empirisme. Nativisme

mempercayai bahwa pada kemampuan otak manusia sejak lahir

telah dipersiapkan untuk tugas-tugas kognitif. Empirisme

mempercayai bahwa kemampuan kognisi merupakan hasil dari

pengalaman.

Stabilitas dan kelenturan dari kecerdasan

Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada

suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan kemampuan

kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan dengan

usia 15 tahun.

C. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang

dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku

sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi

aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah

pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang

dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada

terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.9

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-

responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang

pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode

pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin

kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai

hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan

respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar

sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut

teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa

stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja

yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa

reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan

oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon

tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan

tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,

oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa

yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan

diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran

merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya

perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik

adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan

ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin

kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative

reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:

1) Reinforcement and Punishment;

2) Primary and Secondary Reinforcement;

3) Schedules of Reinforcement;

4) Contingency Management;

5) Stimulus Control in Operant Learning;

6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

10

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,

Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-

karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta

peranannya dalam pembelajaran.

Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu

proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment

menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku.

Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya

merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi

bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan

tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,

dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh

para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah

yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar

behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,

Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran

lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta

mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program

pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan

Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak

mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak

variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau

belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan

respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-

penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya

variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki

pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat

menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan

pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya

terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat11

berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya

mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka

tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang

mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar

untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak

produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses

pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau

mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak

bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang

mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar

pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik

memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan

pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif

(negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir

dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses

belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak

sependapat dengan Guthrie, yaitu:

Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat

bersifat sementara;

Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi

bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;

Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain

(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.

Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan

hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan

yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat

negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.

Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan

(sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon

yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus

12

dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,

seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika

pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman

harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar

(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)

dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki

kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan

dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive

reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun

bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif

adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya

terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan

pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini

menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil

belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus

responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang

pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode

drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat

bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai

hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran

tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat

materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas

pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan

berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan

adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah

terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan

pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan

(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi

mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag

sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan

dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir13

seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan

tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama

terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami

oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah

terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang

belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan

ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin

menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih

banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau

ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai

kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau

kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi

hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai

penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah

objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol

belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri

pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan

pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas

“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali

pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau

tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada

ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan

dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan

kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak

didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada

ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib

tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara

terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi

hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila

pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,

hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas

14

belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah

dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai

kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada

kemampuan pebelajar secara individual.

Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara

stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang

terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau

hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.

Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik

ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau

gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan

belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau

tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran

behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat

menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak

dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori

koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1)

hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell,

Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal

tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara

stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud

harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi

walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam

diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap

faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan

15

karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris

murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan

ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat

berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana

dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus

dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia

sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi

Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku

bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan

hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis

(drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction)

adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh

kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam

belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,

walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-

macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,

tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler,

1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu

gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada

waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang

sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel

hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya

proses belajar.

Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah

situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat

terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang

baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon

yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat

sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik

16

perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus

dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga

percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting

dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang

tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi

stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing

melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru

tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak

(Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih

mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan

konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.

Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang

terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian

menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang

dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang

diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-

stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi

antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan.

Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.

Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi

munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam

memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami

hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta

memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai

konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner

juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan

mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan

menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan

perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

D. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Humanistik17

Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psokologi

kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap

pengalaman dan tingkah laku manusia yang memusatkan perhatian pada

keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli

psikologi humanistik adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah

ahli psikologi yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan

tradisional behaviorisme dan psikoanalisis (Misiak dan Sexton,

2005 ).

Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu

dipengaruhi dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang

mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.

Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi

pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani,

perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.

Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai

fasilitator.

Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu

1) psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai

pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia

2) psikologi humanistik menawarkan pengetahuan yang luas akan

kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia

3) psikologi humanistik menawarkan metode yang lebih luasakan

kaedah-kaeah yang lebih efektif dalam dalam pelaksanaan

psikoterapi

Latar Belakang Psikologi Humanistik

Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas

aliran psikoanalisis dan behaviorisme seta dipandang sebagai ”

kekuatan ketiga ” dalam aliran psikologi.

Psikoanalisis ” Sigmun Freud ” : berusaha memahami tentang

kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran

18

pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Psikoanalisis

berkeyakinan bahwa prilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh

kekuatan tak sadar dalam diri .

– Behaviorisme ”Ivan Pavlov” : meyakini bahwa semua prilaku

dikendalikan oleh faktor eksternal dari lingkungan .

– Humanistik ”Abraham Maslow ” : memfokuskan pada kebutuhan

psikologis tentang potensi yang dimiliki manusia, hasil

pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan

aktualisasi diri seseorang .

Tokoh Humanistik, salah satunya adalah Maslow

Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada dua

hal, yaitu;

suatu usaha yang positif untuk berkembang

kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu

Menurut Maslow, setiap orang memiliki rasa takut, seperti

takut untuk berusaha atau berkembang, takut mengambil kesempatan,

takut membahayakan apa yang sudah dimiliki, dsb. tetapi hal itu

mendorongnya untuk bisa maju ke arah kesempurnaan, kepercayaan

diri dan pada saat itu juga dia dapat menerima diri sendiri.

Mengenahi kebutuhan manusia, Maslow membaginya menjadi bermacam-

macam hierarki.

– Kebutuhan Fisiologis ; Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan

pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum,

menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk

istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit,

dan, seks.

– Kebutuhan akan Rasa Aman ; Ketika kebutuhan fisiologis seseorang

telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai

muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan

menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka

akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat

pemenuhan kebutuhan lainnya.

19

– Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang ; Ketika seseorang merasa bahwa

kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul

kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini

dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan

mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk

menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim

sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi,

maka perasaan kesepian akan timbul.

– Kebutuhan akan Harga Diri ; Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di

atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut

Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one.

Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan

reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan

kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan

kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul

perasaan rendah diri dan inferior.

– Kebutuhan akan Aktualisasi Diri ; Kebutuhan terakhir menurut hirarki

kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis

kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan

dan mengembangkan potensi diri.

Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik

sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam

berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan

menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan

pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung

jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan.

Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan

tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik,

yaitu:

(1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam

komponen-komponen;

(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan

dengan manusia lainnya; 20

(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan

hubungan dengan orang lain;

(4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung

jawab atas pilihan-pilihanya; dan

(5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari

makna, nilai dan kreativitas.

E. Kesimpulan

Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan

kurikulum sebagai proses, yaitu:

– posisi siswa sebagai subjek dalam belajar,

– cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang

budayanya,

– lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa

adalah entry behavior kultural siswa,

– lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.

Pengembangan kurikulum masa depan dapat dilakukan berdasarkan

langkah-langkah sebagai berikut:

– Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti

saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi,

dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk21

tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti

esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diubah ke filosofi

yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan

kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun

sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan dunia. Filosofi

kurikulum  yang progresif seperti humanisme, progresivisme, dan

rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan

kurikulum.

– Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah

berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek

substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada

pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, proses,

dan keterampilan yang harus mimiliki generasi muda.

– Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang

memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik

tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi

belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa

dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan

pada teori belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk

sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif

masyarakat, bangsa, dan dunia.

– Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula

berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi

dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang

mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing

secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti

dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok

dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan

antar-individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan

kelompok dan siswa terbiasa hidup dengan berbagai keragaman

budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik.

– Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek

kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan

dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan

22

haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang

ingin dikumpulkan. Penggunaan alternative assessment (portfolio,

catatan observasi, wawancara) dapat digunakan.

23