Hendrizal, Menelisik Implikasi Perkembangan Kognitif dan ...
Teori belajar behavioristik humanistik kognitif
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of Teori belajar behavioristik humanistik kognitif
PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Pendahuluan
Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam,
dan miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan
ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat
dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan
teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum.
Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan
seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang
dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses
deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan
filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses
pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim
yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi,
dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki
ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan
dikembangkan sebagai konten kurikulum.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan
ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia.
Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam
proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini
tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para
otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang
menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam
implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan
ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu
berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan
kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar,
dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah
informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil
belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang
1
memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan
kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum
as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality)
tetapi juga kurikulum sebagai hasil.
Selintas sejarah yang melatarbelakangi perkembangan
kurikulum di tanah air.
Perkembangan kurikulum secara nasional tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan pendidikan dari dulu hingga sekarang.
Sekolah atau lembaga pendidikan di Indonesia telah ada sejak
jaman kolonial Belanda, ini artinya pendidikan secara formal
pendidikan telah ada sejak lama dan tentu saja ada kurikulum
yang dijadikan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan
pendidikan tersebut.
Program pendidikan atau kurikulum lebih banyak diarahkan
guna menanggulangi masalah-masalah besar seperti masalah
pemerataan pemrolehan esempatan mengenyam pendidikan,
penigkatan kualitas hasil pendidikan, relevansi pendidikan
dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan juga untuk
mempersiapkan warga Negara memasuki abad baru yang penuh
dengan persaingan global. Pada masa kemerdekaan, undang-
undang undang-undang dijadikan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pendidikan. Sejak itu pendidikan di Indonesia
mengalami perbaikan dan penyempurnaan.Pendekatan yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum
adalah teori belajar yaitu teori tentang bagaimana siswa belajar.
Selama ini, orang berbicara tentang teori belajar yang
dikembangkan terutama dari psikologi. Teori belajar seperti yang
dikenal dalam literatur dikembangkan dari berbagai aliran dan
teori dalam psikologi seperti behaviorisme (stimulus-response,
conditioning, operant conditioing, modelling, dan sebagainya),
kognitif (skemata, akomodasi, dan asimilasi dari Piaget,
meaningful learning dari Ausubel, dan sebagainya).
2
Teori belajar yang dikembangkan dari pandangan ini tentu
saja sangat berguna dan dikembangkan berdasarkan hasil studi yang
mendalam dan dalam waktu yang cukup panjang.
Sayangnya, teori belajar yang dikembangkan berdasarkan pandangan
psikologi ini sering memiliki asumsi bahwa siswa belajar dalam
suatu situasi yang value free atau lebih tepat dikatakan cultural
and societal free. Teori-teori belajar itu tidak memperhitungkan
bahwa siswa yang belajar adalah suatu pribadi yang hidup dan
bereaksi terhadap stimulus (apakah dikembangkan berdasarkan teori
behaviorisme atau kognitif) yang tidak dapat dilepaskan dari
lingkungan sosial dan budaya di mana ia hidup.
Dalam bukunya yang berjudul sociocultural origins of
achievement, Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara
kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan
kognisi, kebudayaan dan keinginan berprestasi, serta kebudayaan
dan motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap belajar siswa.
B. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Kognitif
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean
Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980.
Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan
psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan
konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk
secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan
operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada
kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya
schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi
lingkungannya—dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat
seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan
informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam
konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme
3
(yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan
pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat
bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan
yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk
pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget
membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya
melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan
semakin canggih seiring pertambahan usia:
■ Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks
bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.
Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan
tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari
empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai
perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam
enam sub-tahapan:
1) Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam
minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu
sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan
munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3) Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia
empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama
dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia
sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya
kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang
permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari
sudut berbeda (permanensi objek).
4
5) Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua
belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama
dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6) Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama
dengan tahapan awal kreativitas.
■ Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan.
Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan
bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara
kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran
(Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan
tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari
tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar
menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan
kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak
kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak
dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda
atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-
beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti
tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam
tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan
berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda
dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih
menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan
tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak
dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut
berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami
bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring5
pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain
semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di
saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun
memiliki perasaan.
■ Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan.
Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai
ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses
penting selama tahapan ini adalah:
• Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran,
bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda
berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paling besar ke yang paling kecil.
• Klasifikasi — kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi
serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian
benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam
rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan
logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup
dan berperasaan)
• Decentering — anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari
suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh
anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek
lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
• Reversibility — anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-
benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk
itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama
dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
• Konservasi — memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah
benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau
tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai6
contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya
sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas
lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain.
• Penghilangan sifat Egosentrisme — kemampuan untuk melihat sesuatu
dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan
komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam
kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang
memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti
kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan
mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada
di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah
dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
■ Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai
dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir
perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai
dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan
terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah
diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar
secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal
seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat
segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada
"gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis,
tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai
perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa
secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan
psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
7
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga
ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang
dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional
konkrit.
Informasi umum mengenai tahapan-tahapan
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia
bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada
tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
Universal (tidak terkait budaya)
Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi
yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua
konsep dan isi pengetahuan
Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang
terorganisasi secara logis
Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup
elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih
terdiferensiasi dan terintegrasi)
Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam
model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.
Isu dalam perkembangan kognitifIsu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu
perkembangan psikologi secara umum.
8
Tahapan perkembangan
Perbedaan kualitatif dan kuantitatif, Terdapat kontroversi
terhadap pembagian tahapan perkembangan berdasarkan
perbedaan kualitas atau kuantitas kognisi.
Kontinuitas dan diskontinuitas, Kontroversi ini membahas
apakah pembagian tahapan perkembangan merupakan proses
yang berkelanjutan atau proses terputus pada tiap
tahapannya.
Homogenitas dari fungsi kognisi, Terdapat perbedaan
kemampuan fungsi kognisi dari tiap individu
Natur dan nurtur
Kontroversi natur dan nurtur berasal dari perbedaan antara
filsafat nativisme dan filsafat empirisme. Nativisme
mempercayai bahwa pada kemampuan otak manusia sejak lahir
telah dipersiapkan untuk tugas-tugas kognitif. Empirisme
mempercayai bahwa kemampuan kognisi merupakan hasil dari
pengalaman.
Stabilitas dan kelenturan dari kecerdasan
Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada
suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan kemampuan
kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan dengan
usia 15 tahun.
C. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang
dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi
aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang
dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.9
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut
teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,
oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan
diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik
adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin
kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
1) Reinforcement and Punishment;
2) Primary and Secondary Reinforcement;
3) Schedules of Reinforcement;
4) Contingency Management;
5) Stimulus Control in Operant Learning;
6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
10
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,
Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-
karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta
peranannya dalam pembelajaran.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu
proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment
menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku.
Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi
bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh
para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak
variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau
belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki
pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat11
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya
mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar
untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak
produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar
pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif
(negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir
dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat
bersifat sementara;
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi
bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan
hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan
yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan
(sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon
yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus
12
dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika
pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman
harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar
(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan
dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif
adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya
terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat
bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi
mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir13
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami
oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi
hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah
objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol
belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri
pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan
pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan
dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada
ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi
hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,
hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas
14
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah
dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada
kemampuan pebelajar secara individual.
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau
tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1)
hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell,
Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal
tertentu dapat memperkuat respon.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud
harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam
diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap
faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
15
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana
dapat diamati dan diukur.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus
dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia
sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi
Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan
hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis
(drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction)
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-
macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler,
1991).
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu
gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada
waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang
sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar.
Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon
yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik
16
perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus
dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi
stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing
melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak
(Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang
terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang
diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-
stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan.
Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi
munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam
memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami
hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner
juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan
menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
D. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Humanistik17
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psokologi
kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap
pengalaman dan tingkah laku manusia yang memusatkan perhatian pada
keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli
psikologi humanistik adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah
ahli psikologi yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan
tradisional behaviorisme dan psikoanalisis (Misiak dan Sexton,
2005 ).
Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu
dipengaruhi dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang
mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani,
perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu
…
1) psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai
pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia
2) psikologi humanistik menawarkan pengetahuan yang luas akan
kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia
3) psikologi humanistik menawarkan metode yang lebih luasakan
kaedah-kaeah yang lebih efektif dalam dalam pelaksanaan
psikoterapi
Latar Belakang Psikologi Humanistik
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas
aliran psikoanalisis dan behaviorisme seta dipandang sebagai ”
kekuatan ketiga ” dalam aliran psikologi.
Psikoanalisis ” Sigmun Freud ” : berusaha memahami tentang
kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran
18
pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Psikoanalisis
berkeyakinan bahwa prilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh
kekuatan tak sadar dalam diri .
– Behaviorisme ”Ivan Pavlov” : meyakini bahwa semua prilaku
dikendalikan oleh faktor eksternal dari lingkungan .
– Humanistik ”Abraham Maslow ” : memfokuskan pada kebutuhan
psikologis tentang potensi yang dimiliki manusia, hasil
pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan
aktualisasi diri seseorang .
Tokoh Humanistik, salah satunya adalah Maslow
Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada dua
hal, yaitu;
suatu usaha yang positif untuk berkembang
kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu
Menurut Maslow, setiap orang memiliki rasa takut, seperti
takut untuk berusaha atau berkembang, takut mengambil kesempatan,
takut membahayakan apa yang sudah dimiliki, dsb. tetapi hal itu
mendorongnya untuk bisa maju ke arah kesempurnaan, kepercayaan
diri dan pada saat itu juga dia dapat menerima diri sendiri.
Mengenahi kebutuhan manusia, Maslow membaginya menjadi bermacam-
macam hierarki.
– Kebutuhan Fisiologis ; Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum,
menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk
istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit,
dan, seks.
– Kebutuhan akan Rasa Aman ; Ketika kebutuhan fisiologis seseorang
telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai
muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan
menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka
akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat
pemenuhan kebutuhan lainnya.
19
– Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang ; Ketika seseorang merasa bahwa
kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul
kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini
dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan
mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk
menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim
sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi,
maka perasaan kesepian akan timbul.
– Kebutuhan akan Harga Diri ; Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di
atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut
Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one.
Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan
reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan
kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan
kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul
perasaan rendah diri dan inferior.
– Kebutuhan akan Aktualisasi Diri ; Kebutuhan terakhir menurut hirarki
kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis
kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan
dan mengembangkan potensi diri.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik
sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam
berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan
menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan
pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung
jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan.
Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan
tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik,
yaitu:
(1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam
komponen-komponen;
(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan
dengan manusia lainnya; 20
(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan
hubungan dengan orang lain;
(4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung
jawab atas pilihan-pilihanya; dan
(5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari
makna, nilai dan kreativitas.
E. Kesimpulan
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan
kurikulum sebagai proses, yaitu:
– posisi siswa sebagai subjek dalam belajar,
– cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang
budayanya,
– lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa
adalah entry behavior kultural siswa,
– lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.
Pengembangan kurikulum masa depan dapat dilakukan berdasarkan
langkah-langkah sebagai berikut:
– Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti
saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi,
dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk21
tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti
esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diubah ke filosofi
yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan
kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan dunia. Filosofi
kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresivisme, dan
rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan
kurikulum.
– Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah
berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek
substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada
pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, proses,
dan keterampilan yang harus mimiliki generasi muda.
– Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang
memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik
tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi
belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa
dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan
pada teori belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk
sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif
masyarakat, bangsa, dan dunia.
– Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula
berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi
dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang
mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing
secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti
dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok
dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan
antar-individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan
kelompok dan siswa terbiasa hidup dengan berbagai keragaman
budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik.
– Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek
kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan
dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan
22