HERMENEUTIIKA HUMANISTIK NASR HAMID ABU ZAYD AI-Qur'an sebagai Wacana

27
A J*urn+l lt-':r lsltt*i* Phik:sr:pl:y *r:ri L4ylliti*rr: Hermeneutics Memilah Fakta dan Fiksi dalam Kitab Suci: Sebuah Usaha Hermeneutis loanes Rakhmat Hermeneutika dan Etika Naratif Menurut Paul Ricoeur M. SastraPratedia Hermeneutika Hurnanistik Nasr Hamid Abu Zayd: Al-Our'an sebagai Wacana Kusmana Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra Muhammad Nur Hermeneutik Sufi: Sebuah Kajian atas Pandangan lbn Arabi tentang Takwil al-0ur'an Kautsar Azhari Noer Lokalitas, lslamisitas dan Globalitas: Tafsir Falsafi dalam Pengembangan Pemikiran Peradaban lslam M. Amin Abdullah The Ruins of Love: lbn 'Arabi's Poetics oi Perplexity Nikos Yiangou .:1# .=str:l$i" ;

Transcript of HERMENEUTIIKA HUMANISTIK NASR HAMID ABU ZAYD AI-Qur'an sebagai Wacana

A J*urn+l lt-':r lsltt*i* Phik:sr:pl:y *r:ri L4ylliti*rr:

Hermeneutics

Memilah Fakta dan Fiksi dalam Kitab Suci:

Sebuah Usaha Hermeneutisloanes Rakhmat

Hermeneutika dan Etika Naratif Menurut Paul Ricoeur

M. SastraPratedia

Hermeneutika Hurnanistik Nasr Hamid Abu Zayd:

Al-Our'an sebagai Wacana

Kusmana

Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra

Muhammad Nur

Hermeneutik Sufi: Sebuah Kajian atas Pandangan

lbn Arabi tentang Takwil al-0ur'anKautsar Azhari Noer

Lokalitas, lslamisitas dan Globalitas:

Tafsir Falsafi dalam Pengembangan Pemikiran

Peradaban lslamM. Amin Abdullah

The Ruins of Love: lbn 'Arabi's Poetics oi Perplexity

Nikos Yiangou

.:1#.=str:l$i" ;

HERMENEUTII(A HUMANISTII(NASR HAMID ABU ZAYD

AI-Qur'an sebagai Wacana

I(usmqnsl

Abstract

This paper informs Nasr Hamid Ar,u zayd ideas on HumanisticHermeneutics, where it tries to put the eur'an as a discourse, in a way ofdescribing its hermenetical thought development contexr. Hermeneuticaltask formulation is an extension of the previous task thar is stifl being inthe spirit of reconsrruction of a new reading of rerigious texts. Ar-eur,anas discourse claimed as an artempt upon an exrension way of readingwith the whole spirit of construction over again. This Heremeneuticaltask is potentially burden the establishment, and conrroversial but it iscertain.

Ke),words: A1-Qut'1n, disco urse, ta'w t l, semiotica, historical criticism,phronesis, intellectuai grasp, agreement, application, translation.

Abstrak

Makalah ini menginformasikan rawaran Nasr Hami d Abu Zaydtentang Hermeneutika Humanistik, yaitu menempatkan al-eur,ansebagai wacana, dengan cara dijelaskan dalam konteks pe.kemb".rgr.,pemikiran hermeneutikanya. Tirgas hermeneutika yang di.,r-,-r.krr_r.ry"ini merupakan perluasan dari tugas sebelumnya yang masih banyak beradadalam semangat rekonsrruksi dalam upaya konstruksi pembacaan baruteks-teks keagamaan. Al-eur'an sebagai wacana dikraim sebagai upayaperluasannya untuk melakukan pembacaan baru dengan i.**gr,konstruksi lebih utuh lagi. Tirgas heremeneutika ini berpot..,ri -..rggrrg"tkemapanan dan konrroversial tapi niscaya.

Kata-kata Kunci: Al-Qur'an, wacana, takwil, semiotika, kririsisme sejarah,phronesis, pemahaman intelektual, persetujuan aplikasi, terjemahan.

Kusmana, Fakultas Ushu|-rddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidavatullah JakartaEmail : kusmana_kpyahoo.com

265

266 Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zavd: AI-eur,an sebaqai Wacana (Kusmana)

Pendahuluan

Pada tahun 1995 Ni Harb menerbitkan bukunya Naqd al-Nasbshyang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 2003. Dalambukunya tersebur, Harb mengkritik hermeneutika Nasr Hamid AbuZayd (1943-2010) rerbatas pada penemparan al-eur'an sebagai tekskebahasaan saja, meninggalkan wilayah pengetahuan di luar kebahasaanal-Qur'an dan meninggalkan kemungkinan pengambilan manfaat dariberbagai metode yang ada.2 sembilan tahun setelah munculnya cararankritis dari Harb, AbuZaydmulai menyadari perlunya mempertimbangkanfaktor-faktor di luar bahasa. Dia sendiri tidak menyebut nama Ali Ha.b,tapi merujuk pada tulisannya sendiri ketika diminta untuk menulis 'theQur'an in Everyday Life. z Menurut pengakuannya, rulisan rersebutmenginspirasi dia untuk melihat aspek lain dari kajian al-eur'an. Dia tidakhanya merespon caratan seperti itu, tapi kemudian dia mengembangkancakrawala metodologisnya dengan menawarkan metodologi yang leblhinterdisciplinary. Dalam kesempatan pengukuhan dirinya sebagai jh, fu,Rushd chair of Humanism di Universiras Humanistik, Utrech, Belanda,pada tanggal2T Mei 2004 Abu Zaid memberikan orasi ilmiah denganiudi Rethinking the Qur'an: Touards a Humanistic Hermeneutics. Dalamkesempatan ini, dia menyatakan:

" I tl,as one tbe propagators of the rcxruali4t ofthe eur'an under the influenceof the literaryt approach initiated by tbe modern, and still appreciated, theliterary approach. I recently started to realize boru dealing *ih th, eur'an

Ali Harb menyertakan kutipan langsung dari buku Abr zaid,, MaJbum al-lvashsh,h.27: "Apabila mereka yang menggunanakan metode ini [maksudnya mereka yangmenggunakan pendekatan idealistik dan pemikiran kontemplarif, yaitu m.rek"memperlakukan teks al-Qur'an dengan menerapkan mekanisme-mekanisme nalarmitologis, dan gaib sesuai dengan pengungkapannya.] sepakat dengan kami bahwaAllah bukanlah obyek dari suatu kajian; dan apabila mereka juga sepakat bahwaAJlah menghendaki pembicaran-Nya dengan manusia m.,rgg.,rrakan bahasa manusia,yakni melalui sistem kebudayaan yang sentralistik, maka satu-sarunya kesempatan1'ang ada di dalam kajian ilmiah adalah mengkaji 'kalam'Ti-rhan dengan -.,rg"n"1iri,data-datanya dalam fiame sistem kebudayaan di mana kalam itu lahir. oleh karenaitu metode analisis lingusitik adalah satu-satunya metode yang manusiawi gunamemahami risalah, untuk kemudian memahami Islam." Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur'an (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 320-1.Jane Dammen McAuliffe et al.ed, 7he Enryclopeclia ofthe eur'an (Leiden: Brill, 2001),h. 80-98.

KANZ PHILOSOPHIA. Volume l. \ur.ber 2. December 2o12

ds a text alon€ r€dllces its status and ignores the fact that it is stillfunctioningas a'discourse' in et,er\dq, lifr."'

Makalah ini mendiskusikan apa dan bagaimana hermeneutika hu-manistik yang menawarkan ai-Qur'an sebagai wacana diformulasikan oleh

Abt:, Zayd. Sebelumnya, diskusi akan diawali dengan informasi singkat

mengenai perkembangan pemikirannya.

Hermeneutika

Abu Zayd pada dasarnya mencoba memakai analisa hermeneutikakonstruktif dalam berbagai kajian al-Qur'an yang dilakukannya. Diamengidentifikasi bahwa masalah mendasar dalam kajian Islam adalah

masalah penafsiran teks secara umum, teks historis'rlaupun teks keagamaan,

al-Qur'an.5 Dalam kajian al-Qur'an, AbrZayd memandang bahwa herme-

neutika berkontribusi pada peralihan perhatian penafsiran al-Qur'an ke

arah penafsir (mufassir). Dia berkonsultasi dengan sejumlah hermeneut dan

teorist sastra, mulai dari Schleirmacher, TS Elliot, \Wilhelm Dilthey, MartinHeidegger, Gadamer, Hirsh, Goldman, sampai Paul fucouer.6 Abu Zaydmeminjam hermeneutika dialektis Gadamer untuk mengkaji ulang warisan

keagamaan termasuk kajian al-Qur'an (dan tentunya karya dan teori sastra),

yang dipakainya sebagai titik berangkat, dengan maksud untuk mengungkap

perbedaan penafsiran dan batas-batas nalarnya baik di masa awal penafsiran

itu muncul atau di masa kontemporer. Dia menjelaskan:

"... antara permulaannya dengan perkembangan kontemporernya,hermeneutika di bawah berbagai horison pandangan yang baru yang

paling penting dalam penilaian kami, telah mengalihkan perhatian pada

peran mufassir, atau penerima untuk kasus penafsiran karya sastra dan

"Saya pernah menjadi salah satu pendukung tekstualitas al-Qur'an di bawah pengaruh

pendekatan sastra, yang dimulai oleh halangan modernis, dan pendekatan satra

ir.ri masih diapresiasi sampai sekarang. Baru-baru ini saya mulai menyadari bahwa

menempatkan al-Qur'an sebagai teks saja mengurangi statllsnya dan mengabaikan

fakta bahwa al-Qur'an sebenarnya masih berfungsi sebagai wacana dalam kehidupan

sehari-hari." Nasr H. Abu Zayd, Rethinking the Qur'an: Towards a Humanisric

Hermetteutics (Utrecht: Humanistics University Press, 2006) h. 10.

Nasr Hamid Ab rZayd, Hermeneutika Inklusif Mengarasi Problematika dan Cara-cara

Pentakruilan aras Diskursus Keagamaan (Jakarta: ICII1 2003), h. 3.

Abu Zayd, Henneneurika Inklu:if: h. 3-6.1.

268 Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zavd: AI-Qur'an sebagai Wacana (Kusmana)

teks pada umumnya. Hermeneutika dialektis oleh Gadamer setelah

dimodifikasi melalui pandangan dialektis material, dianggap sebagai

titik permulaan orisinal untuk melihat hubungan mufassir dengan teks

tidak dalam berbagai teks sastra dan teori sastra semata, bahkan dalam

merevisi turr\stkeagamaan kita di sekitar penafsiran al-Qur'an sejak masa

yang paling dini hingga sekarang, agar kita dapat melihat bagaimana

berbagai pandangan itu bisa berbeda-beda, juga jangkauan pengaruh

pandangan setiap zaman melalui lingkungannya terhadap teks Qur'ani.Dari sisi lain, kita dapat mengungkap sikap berbagai kecenderungan

kontemporer terhadap penafsiran al-Qur'an, dan kita melihat petunjuk

pluralitas penafsiran -dalam teks keagamaan, dan teks sastra secara

bersamaan- terhadap sikap mufassir atas realita kontemporernya'apapun klaim obyektivitas yang diajukan oleh mufassir ini atau itu."7

Abu Zayd mengambil istilah hermeneutika dialektis Gadamer dari

fuchard E. Palmer. Palmer mengidentifikasi dasar pijakan hermeneutika

dialektis Gadamer dari konsepsi Gadamer tentang pengalaman. Pengalaman

dalam pandangan Gadamer bukan merupakan bias persepsi yang dihasilkan

dari persepsi pengalaman menurut saintis. Baginya hermeneutikasebagai pengalaman bersifat historis dan dialektis, di mana dalam proses

pemahaman, si pembaca merupakan bagian dari proses membuka diriterhadap apapun yang membantunya memahami. Dengan kata lain,

pengalaman merupakan "kejadian, peristiwa dan perjumpaan" dari berbagai

hal yang mengejawantah dallm bentuk kearifan-kearifan dan bukan asumsi

saintifik yang reduksionistik.. Palmer mencontohkan, seseorang yang

seluruh hidupnya berinteraksi dengan masyarakat. Kemampuan dia untukmemahami masyarakat tersebut itu adalah pengalaman. Pengalaman hidup

bersama mereka membuat dirinya mengetahui seluk beluk kompleksitas

dan dinamika kehidupan masyarakat. Pengalaman tersebut bukanlah

pengetahuan obyektif, tapi "interpretasi" dia akan interaksinya dengan

mereka. Bila diidentifikasi, pengalaman tersebut bukan hanya merupakan

pengetahuan personal tapi juga pengalaman yang dapat digunakan untukmemahami masyarakat.8

Jean Grondin mengurai memahami ke dalam setidaknya empat konotasi:

pemahaman intelektual (intellectual grasp), pengetahuan praktis Qtracticalknou-bota), persetujuan (agreement), dan aplikasi dan terjemahan (applicatain

AbuZayd.2003. Hermeneurilea Inklus$ h. 63.

Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretltsi (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2003), h.231-3.

78

KANZ PHILOSOPHIA, Volume z, irumber z, December zolz 269

and translation).') Memahami pada dasarnya berarti memahami (to grasp)

sesuaru dalam bahasa Inggris disebut "I get it", atau melihat sesuatu lebih

jelas, seperti menjelaskan suaru bagian teks yang kabur menjadi jelas, atau

t".,.rpry, untuk dapat menyatukan makna rertenru ke dalam kerangka yang

lebih besar. Gadamer tidak memakai pengertian ini tapi menggunakannya

secara tidak langsung dalam proses penjelasan hermeneutikanya di mana

dia mengkritik Letode hermeneutika romantisisme atau rekonstruktif'10

Me-ahami diartikan sebagai pengetahuan praktis merujuk pada pengertian

kemampuan, kapasitas atau kemungkinan bereksistensi. Dalam pengertian

ini memahami selalu merujuk pada suatu elemen pemahaman diri, atau

implikasi diri di mana subjek diri menjadi dominan dalam mengetahui

sesuatu.

seperti Heidegger, Gadamer beranggapan bahwa setiap memahami

-.rrgrrrdrikr.r rrrr* p..rafsiran wujud arau apa arti "berada di sana", tapi dia

*.rrirrf"rtkan makna ini dari sisi pemalaman praktis. Pemahaman praktis

mengandaikan keprihatinan, pengulangii-t sehingga pengalaman tersebut

dapai diaplikasikan pada makna rertentu terhadap situasi diri. Di sini,

Grdr-., ^*emformulasikan

ulang p hronesis-nya Aristotles (pengetahuan

praktis). Menurutnya Aristotles hanya memaknai phronesis sebatas pada

aktualisasinya dan mengabaikan fakta bahwa sebenarnya aktualisasi

memahami itu selalu terkait di dalamnya elemen pengetahuan diri. Dan

karena elemen tersebut selalu merupakan suatu kemungkinan diri untuk

terlibat di dalam situasi praktek tertentu, di mana jarak dari praktek tersebut

dapat menimbulkan suatu distorsi.l I

Pemahaman juga dapat berarti persetujuan. Setelah mengambil makna

pemahaman dari sisi epistemologi pemahaman tradisi dan pemahaman

praktis Heidegger, Gadamer juga merujuk makna pemahaman lain, yaitu

p.rr.t.,,,-ran (to- ,o*, to dn dgreement or to concur) seperti dalam ungkapan

"to understdnd one another"..Walau

Jean Gordin melihat konotasi pemahaman sebagai persetujuan

kurang k,rai dibrrding dengan dua konotasi sebelumnya, dia yakin setidak-

.ry, G"dr-er mempunyai dua alasan. Pertama berkaitan dengan catatan

Gadamer tenrang.pirt.*ologi tradisi seperti yang digagas Dilthey, sebagai

terlalu desthetic atau terlalu kontemplatif. Pemahaman sebagai persetujuan

Jean Gordin, "Gadamer Basic understanding of Understanding," dalam Robert J.

Dostal, ed,., The cambridge companion to Gadamer (cambridge: cambridge Universiry

Press, 2002), h.36-51.Gordin, "Gadamer Basic Understanding," h' 36-7 '

Gordin, "Gadamer Basic Understanding," h' 37-9'10

1l

menegaskan fakta bahwa pembaca atau penafsir teks berbagi persetu']uan

atau pemahr*", d""' tt"o"g "p"t-b"""nya sebuah teks itu berbicara'

Seperti ketika Gadamer rntrnai"rni Plato' maka tldak hanya dia mendata

pikiran Plato tapi ;"gt C'a"-er berbagi pikiran dengannya' Di sini

Gadamer berusaha *?"";"f.f.", b"h*l Jirk.tri tentang pemahaman

*L.r-t"rny" lebih terfokus pada diskusi tentang isu di mana antara

;.;iil; y",rg dik"r';t;g; P:''ikiran pengkaji berbagi atau bertemu

dalam persetujuan ." Kedui, G'd""tt' -*gk"itk'n pemahaman sebagai

persetujuan dengan bahasa' yang pada t'*t'i'ly" muncul melalui bahasa'

dialog atau percakapan' Setuiu bt'"'ti meletakkan sesuatu pada kata-kata

atau meletaf.f."nr-ty, ftUii pt'ftti'' Aspek kebahasaan pemahaman ini tidak

disinggung dalam .pi,tt-ologi hermeneutika romantisis dan pemahaman

praktis Heidegger' Pemaharian dalam perspektif Gadamerian adalah

mengartikulasikan suatu makna' suatu kejadian dalam kata-kata' yaitu

kata-kata saya dan kata-kata apaPun yang sedang saya usahakan untuk

memahaminya. Aplikasi semua i"it"'"k" i"d' pt"ggunaan bahasa''Walau

seseorang Uir" ,";, ftott" b"h*' tidak setiap sesuatu yang dia pahami

mesti diekspr.rik"' melalui bahasa' Gadamer menyanggahnya dengan

fungsi bahasa ,.urgri;.aia untuk apresiasi termasuk dalam karya lukis,

pahat atau musik. i"-rh"-". adalah aplikasi dan hakikat isyarat diri dari

pemahaman. Tentunya pemahaman "'i'-'g gagal' tapi kegagalan diperlukan

untuk mengekpre,ik"' -i"i*al apa t";1 y'"g menyebabkan kegagalan

tersebut' Apapun y""g ol. t.,k"t,kan akan terbatasi menjadi bagian yang

tidak terkatrk", k"#a secara sederhanq dia tidak bisa mengatakannya'

Dan hal i.ri rr"..rtiukkat' ktt"'it""alan penggunaan bahasa sebagai media

dalam pemahaman''3

Terakhir, keempat, Gadamer mengambil konotasi pemahaman sebagai

aplikasid",,t.,1.-"han(applicationancltranslation).Konotasiaplikasidaripemahaman menurur G"i"-., tidak berarti appropriasi, adaptasi menarik

pada sesuatu atau bentuk tertentu pt-b"h"'*n' tapi konotasinya lebih

i.krt k. terjemahan' Makna dalam bentuk kejadian' orang atau monumen

selalu merupakan sesuaru yang mesti diterjemahkal. Ap" yang mesti saya

,.r1.-"frU.r, p"t'"*i ^t"t' 'ilitt'sikan adalah selalu sesuatu yang asing

pada awalnya buat '"y", t"pi situasi. tersebut men'iadi keniscayaan bagi

saya untuk In.-;;";;tt'p"t"'i' Jadi pemahaman sebagai aplikasi selalu

menjadi ."n,",rg"tt,-tapi saya h""y" bisa berhasi' *""'il,lTinya kalau saya

berhasil menemukan kata-kata yang tePat tentang apa saja yang diperlukan

t213

Gordin, "Gadamer Basic Understanding"' h' 40-1'

Gord.in, "Gadamer Basic Understanding"' h' 4l-2

KANZ PHILOSOPHIA, Volume :, \ur-ce::' December zotz 271

dalammemahamiSesuatu.DaiamProsesiniseseorangtidakakanpernahberakhir, karena orang selalu bisa saja me,,e-ukan kata-kata yang lebih baik

,o, "pftf.^i

yang lebih cotokYang diperlukan dalam memahami' Misalnya

Gordin memberi contoh, ,.o.r.r-tg dosen dalam mengenalkan Plato jarang

menyuruh mahasiswanya untuk *t^b"t" buku yang terbit di abad 18 atau

1g. umumnya dosen "k"r-,

-.r]*ruh mereka untuk membaca buku yang lebih

kontemporer karena pengarang sekarang dengan sendirinya akan menulis

sesuai d.r,g"r p.rL.-t",r!an plmikiran Jan hal tersebut lebih dekat denga'

nalar mahasiswanya. P'o'"t' pt-'h^-"t seperti ini bukan berarti pembaca

,J*rtg lebih baik dari Plato, tapi ini menandakan suatu pemahaman'

lebih tepatnya penerjem^h"'] tt"t"'g ?lato dan tentang aPa-aPa yang bisa

dikaitkand..'g",,ko,'t.k,kekinian.Halinitentunyabukanrelativismesejarah sebagaimana dituduhkan, karena proses ini betul-betul menunjukkan

pror., p.rr"Irir"r-t yang dilakukan. melalui bahasa yang memungkinkannya

irrrlp"i t . ".rdi.r-r,

ko t'tt-p oter dan dapat dimengerti' r 1

Hermeneutika dialektisnya Gadamei selanjutnya membangun kesadaran

proses pemahaman , yang"-""tk^"k'n beberapa poin' proses pemahaman

yang terus menerus, d",t"1i'-'gk"an hermeneutik' Dalam poin pemahaman

sebagai p roses berkelanj ut""]G'd"*tr sebenarnya menekankan bahwa hasil

,khii rrr",,, p.*br.""" seseorang bukan berarti akhir dari pemahaman itu

sendiri, karena pembacaan o'"'-tl lain mungkin menambah' memperbaiki

atau bahkan menolak pembacaan y'rtg "d"' Pada saat yang sama' dalam

proses pemahaman ,."tb", dua poin penting ditekankan oleh Gadamer:

i.l.b.rrrn cakrawala-cakrawala (fusion of horizons) dan prasangka-prasangka

(prejuclicu).Seorang pembaca i"l"- Proses memahami dihadapkan pada

[.r["g"i ."krr*"1r'"1it"""'y" cakrawala masa lalu dalam bentuk tradisi-

tradisi <lan cakraw"l" korr,.-porer dalam bentuk gagasan' nilai atau teknik'

Kedua jenis cakrawrl" t.rr.b.rt melebur dalam diri pembaca ketika proses

p.*Ur."". tersebut berproses' Pada saat yang sama' bagia.n dari pembacaan

irg", L.riL, pembaca '""tob' memahami' dia dihadapkan oleh berbagai

fr?r"tgL" y*g ar,""g khususnya dalam tradisi' Gadamer menganggap hal

i..r.bri, fr"gi"; d"ti ito"' yang akan memperbaiki proses pemahaman'

Prasangka ini sering menjadi sasaran kritik pihak lain .sebagai

bentuk

relativisme seiarah, te"tapi Gadamer bersikukuh dengan pendapatnya' karena

hal itu merupakan fakta y^ngditemukan dalam Proses pemahaman'

Laniutan d",i'pto"' pJ,,'h"-''-t di atas adalah konsepsi Gadamer

tentang lingkaran httt""'lt"ika' Lingkaran hermeneutika Gadamer ber-

tumPupadagagasankoherensikesel-uruhandanbagian.Mengacupada

7 C.ta-, "Craamer Basic Urrclerstandins'" h.42-4

Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zavd: Al-Our'an sebagai Wacana (Kusmana)

gagasan Plato tentang tulisan semesrinya merefleksikan bagian-bagian denganmaksud dari keseluruhan. Dialektika antara dari bagian ke keseluruhan dansebaliknya dari keseluruhan ke bagian-bagian, direyisi Gadamer menjadiantisipasi-antisipasi pemahaman dalam cahaya pencarian pemahamankeseluruhan lebih baik dan lebih kuat. Dia hanya akan melihat dalamkoherensi bagian-bagian dan keseluruhan kriteria-kriteria pemahaman yangbenar.'5 Proses ini disebutnya sebagai antisipasi kesempurnaan rentang apa

yang mesti dimengerti.Sementara itu, Abu Zayd menemparkan hermeneur lain sebagai

bagian dari upaya proses peminjaman untuk kepentingan kajian al-

Qur'an yang dia lakukan. Peminjamannya dari dialektika hermeneutikaGadamer diarahkan untuk pengkajian teks al-Qur'an, di mana di dalamnyadia mencoba melakukan pembacaan arau lebih tepatnya pembacaanulang dengan prinsip-prinsip pencarian makna historis di satu sisi danmakna struktural di sisi lain, mendialogkan berbagai persyararan yangdiperlukan, yang ada dan yang rerringgal dalam mendiskusikan berbagaiisu keagamaan mulai dari isu pewahyuan, kebahasaan sampai isu-isumetodologis kajian al-Qur'an. Di samping cara Abu Zayd untuk tidakmasuk ke dalam kemungkinan kekacauan demokrasi pembacaan (chaotic

democracy of readirug) dari peminjaman hermeneutika Gadamer, dia jugamempertimbangakan hermeneut lain. Dan ini merupakan kelanjutan daripeminjaman hermeneutikanya. Dalam hal ini peminjamannya diluaskandengan peminjaman gagasan hermeneutika lainnya khususnya Paul Ricouer.Dari fucouer, Abu Zayd mendiskusikan penafsiran obyektif.

Ricouer tidak menafikan apa yang telah dihasilkan oleh hermeneutsebelumnya, tapi memanfaatkan hal apa yang dianggap perlu dipertimbangkandalam proses pemahaman. Dia memproyeksikannya padapenafsiran simbol,tepatnya cara berinteraksi dengan simbol. Interaksi dengan simbol dilaku-kan untuk mengetahui makna. Dalam pencarian makna si penafsir akandihadapkan pada berbagai makna yang terkadang tidak menyelimuti maknasebenarnya. Tirgas hermeneudka adalah mengungkap makna yang sebenarnya.

Bagi Ricouer, "simbol adalah konstruksi segala pengertian yang di dalamnyamakna literal, pertama dan langsung menunjuk pada makna ke dua yangmetaforis dan tidak langsung, yang hanya bisa dicapai melalui makna perrama,"artinya ia "menganggap simbol sebagai penjernihan makna barin."r6

AbuZaydmemanfaatkan fucouer karena membantu dia untuk mengait-kan pentingnya metode di samping pentingnya bahasa, di mana bahasa

Gordin, "Gadamer Basic Understanding," h. 46-7Abu Zayd, Hermeneutilea Inklus$ h. 55-6.

15

r6

KANZ PHILOSOPHIA,Volume:, Numberz, Decemberzotz 273

ditempatkan sebagai bagian penting dari konsepsi hermeneutika termasuk

hermeneutika Gadamer. Karena Gadamer menolak metode, sementara

Abu Zayd memandang sebaliknva. fucouer dapat membantu dia untuk

menegaskan pentingnya metode. Tentunya dia tidak mengikuti Ricouer

sepenuhnya, khususnya tentang pentingnya pengungkapan sistem makna.

Dalam hal ini dia merujuk penjelesan pemikir sistem lain seperti Bultman,

Goldman, Levi Strauss, dan Hirsh. Misalnya Strauss menjelaskan bahwa

makna bukan fenomena mendasar, karena makna selelu bergeser, beda dengan

sistem makna yang bersifat stabil. Kestabilan makna dari sistem makna atau

strukur bahasa atau tanda tersebutlah yang memungkinkan peneliti, termasuk

peneliti dari luar, mampu memahami atau menafsirkan obyek asing.17

Dalam pandangan Abu Zayd, pemahaman tanda sesuai dengan

pemahaman makna atat dalalah.ls Makna terdiri dari dua bagian: makna

historis (tarikh) dan makna tetap (da'im mustdmir). Makna historis terkait

dengan stimulus teologi masyarakat, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan

moralitas. Sedangkan makna tetap terkait dengan struktur dan sistem

makna yang dikandung oleh tanda. Dia berpendaPat bawa teks mempunyai

dua makna, yaitu 'am (general) dan lehas (spesifik). Am (general) melihat

makna dari sesuatu yang dapat berlangsung terus dan dapat diperbaharui

dengan pelbagai pembacaan. Sementara kbas (spesifrk) adalah suatu indikasi

makna (datalah) yang dipahami secara langsung melalui realitas historis

dan budaya yang ada di saat memproduksi teks. Adapun makna (dalalah)

teks dalam bidang keagamaan mempunyai tiga tingkatani PertdmA, makna

awal yang merupakan saksi sejarah yang tidak dapat dicarikan interpretasi

dan signifikansinya; leedua, makna yang dapat diinterpretasikan dengan

menggunakan metafor; ketiga, makna yang dapat diperluas atas dasar

pencarian signifikansi dan maksudnya. Pencarian signifikansi membuka

pembaca untuk mengungkap konteks sosio-kultural dari Proses kreatif

produksi makna sehingga makna teks dapat terus berkembang.le

Setelah memaparkan beberapa poin dari konstruksi heremeneutikaAbu

Zayd,beberapa catatan perlu diangkat di sini. AbtZaydberusaha melakukan

pembacaan kritis, dalam arti ia "berusaha menerobos". kemungkinan-ke-

mungkinannya, dengan menggali tingkatan-tingkatan, mengeluarkan isi

kandungan, dan arau "menelanjangi kejelasannya."20 Seperti dijelaskan

AbuZayd, Hermeneutika Inklus$ h. 54-61.

Abu Za1d, Hermeneutika Inklus$ h.74.Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaitl: Kritik Tbks Keagamaan (Yogyakarta: eLSAQ,

2oo3), h. 79-80.Harb, Kritik I'lalar al-Qur'an, h. 310.

17

18

19

di atas, dengan meminjam hermeneutika dialektis dia berusaha untuk

melampaui p".-b"."", jog-rtir, atau epistemologis' dengan cara melihat

k b.rair".rnya sebagai,""lit^ kebahasaan-tekstual yang menginformasikan

datanya kepada perribaca.r, Secara operasional cara membaca produktif ini

dijelaskan Ali Harb sebagai berikut:

"Maka pada saat seperti itu, kita memperhatikan kemamPuannya

y"ng ,.rr.*bunyi da.t struktu rnya ya1g metaforis, meneliti kaidah-

lridlh pengoperasian dan mekanisme-mekanisme pembentukannya,

dan mencermati konsepnya tentang kenyataan dan cara pandangnya

terhadap yang benar dan yang ada' Dalam pengertian ini seseorang

tidak membaca teks al-Qur',an dengan pembacaan kritis-ideologis,

bahkan memeriksanya dengan kritis, namun dari perspektif ontologis,

yaitu sebagai sesuaru yang membicarakan berbagai situasi yang agung

tagi kondisi kemanusiaan, seperti cinta, kematian, dan dunia' Kami

*J.ry"trkrr-t dengan memeriksanya sebagai tempat'kemungkinan-

kemungkin"r -"r,rri"*i,' baik kemungkinan-kemungkinan kebahasaan

dan estetis yang dipergunakan' mauPun kemungkinan-kemungkinan

yang didapa, ,"", *.rrgkaji sebagai sebuah teks yang terbuka untuk

ditafsirkan."22

Lebih jauh Harb menjelaskan bahwa cara pembacaan kritis sePerti ini

lazim di k"i".rg"., pemikir kontemporer, tapi masalahnya model pembacaan

kritis seperti ini menjauhkan sasasran kritik seperti mitos-mitos atau

keyakinan terhadap yang gaib dari poros rasionalitas. Dan hal ini berarti

.r." p...rb"caan ini ,k"i, -"rr.mui banyak tantangan. karena al-Qur'an

b"ry"t mengandung informasi tentang misalnya persoalan-persoalan gaib.

Kemudian dia menawarkan pembacaan kritis sebagai berikut:

"Kritik adalah membaca teks di mana di dalamnya membaca apa

yang tidak dibaca, melakukan eksplorasi dan mengenalinya kembali.

Pembacaan ini mengandaikan independensi teks, otentisitas, dan

kekuatannya, dan memperlakukannya sebagai wilayah (tempat)

yang tidak diam, dan sebagai pembicaraan yang membuka berbagai

Lrrd.,rg", makna dan susunan arri. Inilah pembacaan yang efektif.

Ia mencermati kemungkinan-kemungkinan teks dan memproduksinya

kembali, lalu menguL"hry" dari pengetahuan yang statis menjadi

21

22

Harb, Kritik lValar al-Qur'an, h. 370.

Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, h. 310-1 l.

pengetahuan yang hidup' dengan memperlakukannya sebagai modal

budaya ,"rr, tt"-""g[t"rt"" untuk *t'g"b"h dan men-tasoruf-

kannya, ",",r

r.b"irt *i"r'rt (tempat) penuhlrti'y""g p,:tl" digali dan

digarap, d"r-, "t"t'o'"b"g"i ""tktui

i'"'iott'l yang harus didekonstruksi

a* ailraitan rasional"'23

Barangkat dari pengertian ini Harb memberi beberapa catatan terhadap

heremeunetika Abu ;;r;. ;.n.rti diindikasikan dalam judul tentang Abu

Zay d,"Nasr Hamid lLu Z^'dtVacana yang Melawan Fundamentalisme

Namun Masih B.'pii;k P^da Buminya"i. Ali U"'b mengkritik Abt Zayd

dalam enam poin' ;:;; .;;g"*"""]'

teks kebahasaan atau bahasa teks'

eklekdsme metode, dualisme yang mundur' siapa yang menghilangkan

eksistensi teks, dan Ut'g"ttt"lg p"J" t"-"-t"-"' Dalam memahami teks

keagamaan, *. rr.rr.r,-d"b, A6* Zay d mengaj ukan P eft a.nyaan b a gaimana

kita memahami dan membaca teks? Menurutlrrya Abu zayd.mengkontekskan

;-.;;h;*rnnya pada Perang pemikiran antara dua pembacaan: pertama'

pembacaan,.,a"n"i"tffi '-t""'^pkan mekanisme-mekanisme nalar

I""g SrrU di dalam kh"'Jf"t dan mitos"' dan Islamis kontemporer

"y^ngmenerapkan mekanisme-mekanisme nalar historis-humanis"' dan

dia memilih cara Pt;;;;"" yang kedua' Dia berpendapat "al-Qur'an

merupakan ..r., rt"i"i'*"t' a* piodt'k kebudayaan yang berangkat dari

keterbatasan konsep-konsep realitas"' Dengan pembacaan seperti ini' Abu

Zayd berusah" -t'id;;;""""rttt pt'-t'"k'"1i" '[-qt"'"t-t dan wahyu dengan

cara memah"-i trf""g ';-trt'-"t"'ber.yang dipalai ulama terdahulu baik

dari al-Qur'r.t, '"a[I"t

l"i'-"'y"' Masalahn]a' '"'-""t" Harb' dekonstruksi

yang ditawr.t",t ii'-' 2"ia "a^u,,t1t*"hk"n

uPaya ulama al-Qur'an

terdahulu semisal ;;;;yang telah memformulasikan ilmu al-Qur'an

secara ilmiah termasuk dalam uPaya mengubah y1"9.illtional menjadi

rasional. Dari sisi ini, upaya ulama t..d"hll., masih lebih kuat daripada

upaya Abu zaYd''a

Di antara upaya dekonstruksi Abu Zayd' lainnva.tentang al-Qur'an

sebagai teks keb"hasaan dengan cara membaca ulang kandungan makna

yang mengardr;;;i"gi'' #tologis' dan atau gaib seperti tentangwahyu'

ketuhanan, k"rrtt"i"t', i"" kttt'bi'n' Masalahnya PenemPatan Abu Zayd

tentang al-Qur'an ttlag"t teks kebahasaan' bagi Harb tidak pada tempatnya'

karena t.k, k"b"h"-rrri- a"pr, diterapkan pada berbagai teks dan wacana'

Kekeliruan i"i -";fd itl"' tt'lihat p"d" pembatasan hanya pendekatan

f g"rU, Kritik l'lalar al-Qwr'dn'h

,1 Har6' K"itik Nalor al-Qttr'an'h313.31i-8

sastra sebagai metode yang paling tepat untuk mengungkaP T1kn'al-Qur'ankarena watak r"r,rr*i''l- 6;, """d;

p e rlakuannya tentan g al- Qur' an seb agai

karya ilmiah sastra. f*yio"tt'y" "l-qt" "' telah men'iadi inspirasi lahirnya

berbagai ilmu keislaman di luar sastra' Dengan kata lain', Harb memberi

catatan absennya p.'ldtk"t"" multidisiplitt "p"'ti yang dilakukan Arkoun

dalam kaiian al-Qur'an'2'

Poin'lairrnyr, Abu Zayd dalamkajian al-Qur'annya berusaha' menggu-

nakan pendekatan "'io"'l unuk teks kebasJan al Qur'an' namun pada

pelaksanaannya, menurut Harb' dia terjebak dalam eklektisme metode'

dimanadiaberadadalamdilemaantaraaplikasimetodeilmiahsekulerdengan keyakinan keagamaan yang menempatkan metafisika sebagai sumber

keilmuan yarrg prd" r"?t ;';g ;*;'"t"tob' tt"gkitiknya'.Yang terlupakan

dari Ab u Zay d, adalahf ..ra&",".t kemodernan dan keilmiahan mempunyai

mitologinya sendiri, persis seperti agama memPunyai mitologinya sendiri'

i;r;i"";si aspek kegaiban i"l"..r rg"ro" memegang peran sangat penting.

Secara berseloroh H"ri -tt'yentil, apa iadinya agama tanPa energi kegaiban

ini.Aspekkegaibantekskeagamaanmerupakan..sebuah'tipedarisekianbanyak tipe yang;;"1"rp"i realiras." Dan tipe itu tidak semestinya di-

anggap sebagai ..r*i"" realitas' karena teks keagamaan seperti teks lainnya

merupakan peristiwa kebudayaan teks yang independendan wacanayang

*.-i,r.,rri realitas sendiri dan tidak dapat diasingkT'"-

Selanjutnya Harb memberi catatan tt'h"d'p upayaAbu 7'ayd mengkaitkan

teks keagamaan dengan realitas yang memProduksinya.dan kebudayaan yang

telah memb..t,,,ktti"' Ya"g diperria"l"hl"" Harb adaiah Abu Zayd tidak

selalu berhasil dalam up"i"r-ry, tersebut. Misalnya dalam hal penggunaan

konsep dualisme f."-";*'" d"t ktt""duran yang digunakannya secara tidak

,.p". k"...r" konsep tt"tbt't tidak menjelaskan dan menemukan sesuatu yang

baru, bahkan menghalangi temuan yang akan mendorong perubahan' Contoh

kesimpulan Abu Zayd' i"t'*" karya Zarkasyi al'Burhan f Ulam al'Qur'an

sebagai pemeliharaa'n turdts dalam pengertian reakif' Kesimpulan tersebut

-.,rlgrUril"n fakta pencapaian usaha.Zarkasyi dalam membangun wacana

ulumal-Qur'an(Qwranic"i""lyangkreatifdanrasional'Bacaandualismenyadalam hal ini tidak lebih dari pada bacaan mati dan ini merupakan bacaan

dualisme Yang mundur'27

MelanjutkankritikanterhadaptawarandualismeAbuZayd,Harbmenambahkancatatanlain,yaitupemakaiankonseprealitasdalampemba-

Z5

26

27

Harb, Kritik Nalar al-Qtr'an,h' 319-22'

Harb, Kritik l{aLar aL-Qur'an, h' 322-7 '

Harb, Kririk Nalar al-Qur'an, h' 327 -32'

KANZPHILOSOPHIA,Volumez,Numberz,Decemberzorz 277

hasan al-Qur'an sebagai teks kebahasaan tidak saja menghalangi tapi juga

menghilangkan eksistensi teks itu sendiri. Al:u Zayd memakai konsep

realitas "sebagai nama tanpa ada sesuatu yang dinamai sesuai dengan realitas

itu sendiri." Abu Zayd melihat bahwa untuk menghadirkan al-Qur'ankepada audiens modern, maka hal-hal yang bersifat gaib dengan sendirinya

ditinggalkan untuk mendorong rasionalitas al-Qur'an. Dalam pandangan

Harb terdapat keteledoran dalam hal ini, karena prinsip yang menekankan

realitas dalam kajian al-Qur'an tidak diiringi dengan pengakuan dan

apresiasi realitas al-Qur'an itu sendiri yang memiliki dimensi kegaiban. Harb

menegaskan bahwa teks mempunyai hak-haknya sendiri. Baginya hak teks

adalah "ia harus dikenali wujud hakikat dan bagiannya, harus dieksplorasi

keontologiannya dengan cara baru sehingga dapat merekonstruksi konsep

tentang pengarang dan realitas, bahkan dunia itu sendiri." Bagi Harb, AbuZay d b elum melakukan pembacaan baru, dia "terj ebak dengan kegelisahan

ideologis, usahanya difokuskan pada meragukan cerita-cerita dan kritikterhadap pandangan keagamaan tentang berbagai teks dan realitas. Oleh

karena itu ketika membaca ilmu-ilmu al-Qur'an, ia mengorbankan teks

demi kemaslahatan realitas yang diklaim, sebagai ganti dari usahanya

menyeberangi dan mencermati kemungkinan-kemungkinannya."28

Terakhir Harb memberi catatan bahwa Ab,.:, Zayd adalah seorang

progresif sekularis di dalam pendapat-pendapatnya, namun ia fundamentalis

dari sisi logika dan struktur berpikirnya. Abu Zayd mengajak, dan dia

sendiri melakukan, kajian ulang terhadap teks keagamaan termasuk kajian

al-Qur'an, tapi tidak dengan sikap kritis terhadap wacana kritis yang

dimanfaatkannya, alih-alih malah bersikap seolah-olah perangkat yang

digunakannya sudah final. Dengan sendirinya konsep-konsep modern

yang dipakai dalam kajian teks keagamaan kehilangan legitimasinya, karena

mereka disuguhkan sekedar nama-nama tanpa adayangdinamai, bahkan

ada kemungkinan menipu karena diterjemahkan menjadi kebalikannya,

seperti persatuan mejadi perpecahan, sekularis menjadi fundamentalis,

rasional mejadi khurafat, ilmu pengetahuan menjadi kebodohan.2e

Catatan Harb di atas adalah catatan filsuf atas ahli teotisasi sastra. Kesim-

pulan yang diambil setelah memberi beberapa catatan seperti dijelaskan diatas menempatkan AbuZayd sebagai pemikir kontemporer yang mencoba"melawan (memerangi) fundamentalisme, namun masih berpijak pada

buminya."3o Abu Zayd memahami hermeneutika konstruktif dari premis

Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, h. 332-7 .

Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, h. 337 -9.

Harb, kitik Nalar al-Qur'an,h. 340.

28

29

30

hermeneutika rekonstruktif. Hal ini dapat diduga dari perlakuan dia

terhadap kajian sejarah, di mana fokus kajiannya memang merekonstruksi

kejadian menjadi narasi terrenru. Upayanya untuk merekonstruksi kaiian

"llQ,rr'"r, t"rlihr, dalam cara analisnyayangmembedakan Pr:ses interpretasi

k. dilrr., dua bagian, tafsir obyektif dan tafsir tidak obyektif atau subyektif'

Thfsir obyektif dimaknai sebagai sesuatu "sesuai dengan yang dipahami oleh

mereka yang sezaman dengan turunnya teks ini melalui berbagai geiala

k b"h"r"r' i"ng terkandur,f d"h- teks dan dipahami oleh sejumlah orang"'

Tafsir tidak obyektif diartii<an sebagai tafsir yang tidak didasarkan pada

fakta sejarah dan kebahasaan. Dia merujuk Thfsir al'Qur'an bi al-Matsur

dalam menjelaskan tafsir obyektif. Metode mtltsur memakai dalil historis

dan kebahasaan unruk mencari pemahaman obyektil metode ra\u ata]u

takwil,,padadasarnya tidak obyektif, karena tidak memulai pembahasannya

dari gelala historis dan kebahasaan, rapi dari sikap aslinya, lalu ia mencari

sandaran untuk sikapnya ini dari "1-qtt''"t"" pendukungnya adalah

Mu'tazilah, Syi'ah dan kaum Sufi.31

Hermeneutika Humanistik: Al-Qur'an sebagai Wacana

Setelah Lbtd zayd, merasa perlu untuk meneruskan lebih lanjut pen-

dekatan h.r-..r.,r,ika dialektisnya dalam dimensi vertikal di mana al-

Qur'an diperlakukan sebagai tempar teriadinya komunikasi antara Tuhan

din -an.rria ke fokus dala- dimensi horizontal kajian al-Qur'an sebagai

f.tg"l"*". penyebaran pesan al-Qur'an oleh Nabi Muhammad setelah

diterima atau penyeb"r"r, p.r"tt melalui korpus tafsir' Ab-u.Zayd memaknai

dimensi horizontal sebagai apa yafig terkandung di dalam struktur al-

Qur,an dan yang telah termanifestasikan selama proses komunikasi antara

"l-q,rr'"., dr.t

"irdi.,rsnya berlangsung'32 Dimensi vertikal ini merupakan

dimensi tektualitas al-Qur'an, sementara dimensi horizontal merupakan

dimensi wacana al-Qur'an. Dimensi wacana ini adalah area yang hidup dan

yang dinamis, meruJuk pada awalnya proses pewahyuan dikenal sebagai

i"rJ-"r" al-eur'an, *".rn, terrutur. \(/acana al-Qur'an rnewujud dalam

konteks kehidupan sehari-hari, sehingga ia tidak hanya bertutur dengan

bahasa Arab di mana wahyu itu dituiunkan' tapi juga mempengaruhi

3, Ab"Z^td, Hrrmeneutika Inkluszf:hlm.6; Kusn.rana, Hermeneutika al-Qur'an: Sebuah

prndrk)ton praktis Aplikasi Hermeneutika Modern lalam Penafsiran al-Qur'an (Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2004), h' 161-2'

32 Abr Zayd, Rethinhing rhe Qur'an, h' 9 '

KANZ PHILOSOPHIA, Volume:' Number z' December zorz 279

pemikiran den kebudavaan Penerimanva' Untuk melihat bagaimana hal

i"t ,.a"at, dapat dilac^k rntl'lt'i pengaruh al-Qur'an dalam kehidupan

sehari-hari. Sebagaimana Abu Zavd Ler-rulis "the Qur'an in Everyday

Life," al-Qu.'an b.gittt berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari umat

Islam. Dia melacak p""g""th tlrsebut dalam implementasi rukun Islam'

budayafilantropiMuslim,perhatianMuslimterhadapyatimpiatu'tentangmakanan dan minuman, tentang implikasi kodrat Perei1}puan' tentang

manusia sebagai individu dr^ J"ry"rakat, komunikasi sehari-hari dan

bahasa yang digun,k^'-t, p'"'"ntasi d"an kerajian artistik dan kehidupan

sp irituai ulrlir,-'. " Abu Zav d menyimp ulkan bahwa'

"lt is at the leuel of langwage' the buihl'ing bLccb of thought and of-

community, whether th, irrio oJ',the langwage be tnaterial (see material

culture anrJ the Qur,an) or audio-uisual, ruhether the Jbrln oJ.conueyance

be recitation o, ,irtrr, ihot th, Q.1.tr'an has had its ,,tx,st ?erudsiue influence

on rtll dsPects of Muslim eueryday lif'"''

Menurut pengakuannya, selain mempertimbangkan pemikiran orang

lain seperti pemikiran M. Arkoun, dan evaluasi diri khususnya setelah entri

,r'q..,,""dankehidupansehari-hari,AbuZaydmu|aimeluaskankajiannya

fra) ai.n"rrsi horizc,ntal al-Qur'an' vaitu al-Qur'an sebagai wacana' Dia

mengartikan wacana "l-Qu'lan sebagai upava menghadirkan kembali

momen historis trr,-',fn'*'tif, dari *"u"'k"' non-muslirn ke masyarakat

Muslim.AbuZayd,melihatbahwaupayamenghadirkankembalifenomenayang hidup, al-Qur'an sebagai wacana' walau disadari ulama terdahulu'

belum pernah mampu dihadirkan paraulama. sebagian dari sebab tersebut

adalah kuatnya p".i",i^.r, termasuk dirinya, atas tekstualiras al-Qur'an.

Kelemahandaripendekatantekstualitasiniadalahmembukabacaanideologis mempertahankan al-Qrrr'an sebagai textus recePtzzs, sebagaimana

b"rry"f, dllakukan pemikir terdahulu. oleh karena itu, seriap bacaan yang

tidak meny.r,"k",r'p.'tirnbanga, fenomena al-Q'*r'an yang hidup dalam

t N"" H"-d Abu Zayd, "the Qur'an ii'r l-'veryclav

McAuliff,e, general ed', Ertclclopaedt't of the Qur'an'

Life," dalam Jane l)ammen( Leiden-Boston: Brill, 2002),

h.. 80-96.

34(I'adalevelbahasalah,elemenyangmernbentukpernikirandanmas'varakat'apakahmelalui -.d1" b"h"r"-f""g U'.t.tf"tmaterial (lihat budaya materi dan al-Qur'an)

maupun "raio,.rir,-,"i,'b"ii ,r.l"iui bentuk pembacaan ataukah seni keraiir-ran

[penulisan-edf' "l a;;'; telah.memilikl !,t"g,,"t-t yang-sangat luas padir sen'rua

aspek kehidup" ,r-ir-irtr,.,.r.). AbLr Zar.,l. "i,,. qur'",, ir.r Everyday LiFe," h' 96'

280 Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zavd: Al-Qur'an sebagaiWacana (Kusmana)

dalam konteks kehidupan sehari-hari atau akademia, maka hasil bacaannya

tidak akan sampai pada bacaan yang demokratik.Kenapa mesti demokratik, Abu Zayd menjelaskan bahwa pembacaan

ini tentang makna hidup dan hal ini mesti secara demokratik menawarkanhermeneutika terbuka. Dalam implementasi hermeneutik, kita dituntutuntuk membebaskan pemikiran dari manipulasi kekuasaan, baik kekuasaan

politik, sosial, atau agama agar kita dapat mengembalikan formulasimakna pada masyarakat beriman. Untuk itu kita perlu mengkonstruksihermeneutika demokratik terbuka, yaitu hermenutika humanistik.35Hermeneutika al-Qur'an dipahami dalam konteks keragaman pengalamankeagamaan sebagai bagian keragaman kemanusiaan. AI-Qur'an sebagai

wacana kemudian meniscayakan pengkaitan makna antara makna al-Qur'andengan makna kehidupan di mana al-Qur'an dianggap sebagai hasil dialog,debat, pengembangan, penerimaan dan penolakan. Seperti ditegaskan AbuZayd berikut:

"The empirical diversity of religious meaning is part of our humandiversity around the meaning of life in general, which supposed to be

a positive value in our modern living context. In order to reconnect thequestion of the meaning of the Qur'an to the quesrion of the meaningof life it is now imperative to indicate the fact that the Qur'an was theoutcome of dialoguing, debating, augmenting, accepting and rejecting,not only with pre-Islamic norms, praoice and culture, but with its ownprevious assessment, presupposition, assertion, etc."16

Setelah memberikan pengertian, Abr Zayd mendikusikan dasarkonstruksi hermeneutika humanistiknya, yaitu: wacana uersus mushaf,rekonstruksi dan manipulasi teks. Kemudian dia menjelaskan sembilankarakteristik yang menjelaskan dimensi-dimensi al-Qur'an sebagai wacana:

polyphonik, dialog, negoisasi, dekonstruksi syari'ah, konteks tantanganmodernitas, pemikiran ulang tradisi, pemikiran ulang konsensus, pemikiran

Abu Zayd, Rethinking the Qur'an, h. 10- 1 1 .

(Keragaman empiris makna keagamaan adalah bagian dari keragaman kemanusiaankita seputar makna kehidupan secara umum, yang dipandang positif dalam kontekskehidupan modern kita. Untuk menghubungkan kembali perranyaan akan maknaal-Qur'an pada pertanyaan akan makna kehidupan, sekarang merupakan kemestianuntuk menunjukkan fakta bahwa al-Qur'an merupakan hasil dialog, perdebatan,pengembangan, penerimaan, penoiakan, tidak hanya dengan norma-norma, praktekdan budaya pra-Islam, tapi.f uga dengan penilaian, praanggapan, penegasan, dll. yangsudah ada sebelumnya.). Abu Zayd, R€thinking the Qur'an, h. 7l .

35

.ro

KANZ PHILOSOPHIA,Volumez, Numberz, Decemberuorz 281

ulang Sunnah dan Hadis, dan pemikiran ulang al-Qur'an. Keseluruhan

penjelasan mulai dari pengertian, konstruksi dasar sampai dimensi-dimensi

karakteristik hermeneutika merupakan uPayanya untuk memberikan

bacaan baru atau penawaran baru. Sebagaimana dijelaskan di atas, Abu

zayd memahami al-Qur'an sebagai wacana dari sisi internal al-Qur',an

dan bukan dari sisi eksternal, artinya bagaimana al-Qur'an mewacanakan

berbagai isu kehidupan manusia, mulai asal muasal, selama di dunia dan

jalan kembali mereka.

Dasar konstruksi al-Qur',an sebagai wacana adalah mempertentangan

antara al-Qur'an dengan Mushaf.Halini pertama kali merujuk pada kejadian

arbitrase dalam peperangan pihak Ali dan pihak Muawilyah yang terjadi

pada tahun 557. Dalam keterdesakan, pihak Muawilyah mengangkat al-

Qur'an sebagai tanda mencari cara lain untuk menghentikan pePerangan

dengan berkonsultasi pada al-Qur'an dengan cara memberi kepercayaan

k.prd" seseorang untuk mencari jalan tengahnya. Sebagian pengikut Ali

Al-Qulan sebagai Wacana:

al-Qufan sebagai fenomena hidup

Dimensi horizontal, komunikatif dan humanistik al-Qur'an terdapat dalam

struktur al-Qulan itu sendirl dan tidak di luarnya: Hasil dari dialog, debat,

perluasan atau pengembangan, penerimaan dan penolakan.

Konstruksi al-Quian sebagai wacana

Teks: direkonstruksi dan manipulasi

Polyphonik dan

tidak monophnik

ikiran ulang Sunnah dan

Hadis: kemunculan baru

penafsiran

Pembacaan baru dan atau tawaran baru

282 Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu ZaVd' Al-Qur'an sebagai Wacana (Kusmana)

mengingatkan bahwa " no arbitrator but God," (tidak ada penengah kecuali

Ailah) ,Jp"rti diindikasikan dalam QS.49: 8-9. Karena Ali saat itu sebagai

p.rgrlrr", maka semestinya Ali dan pasukannya yang melemahkan tentara

Mrr*i1y^h sehingga mereka kembali taat. Thpi Ali sendiri menafikan

peringatan tersebut dan memilih tawaran dari pihak Muawwiyyah dengan

L..ryrki.r"r, bahwa al-eur'an yang diam sebagai teks dengan al-Qur'an

yang hidup yang dikumandangkan. Hasilnya Ali dalam arbitrase tersebut

ditul,rnkrn drri k.kh"lifahan dan Muawilyah diangkat sebagai khalifah

oleh penengah'Amru bin As. StatementAli ini dalam pandanganAbuzayd

berimplikasi sangat besar karena memberikan ruang tidak hanya untuk

penafsiran ulang tapi juga manipulasi al-Qur'an untuk kepentingan politik.

i<.lrdirn ini dengan kata lain menegaskan pentingnya mempertimbangkan

al-Qur'an sebagai fenomena yang hidup untuk menghindari manipulasi,

seperti manipulasi politik dalam kejadian arbitrase tersebut'3'

Kedua, teks yang direkonstruksi dan dimanipulasi. Dalam poin ini

Abu zayd menjelaskan kemungkinan pilihan penafsiran yang humanistik

di tengah kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang ada. Dia memilih

kemungkinan penafsiran sufistik dan atau filosofis dari pada penafsiran

teologis atau juridis yang mendasarkan bahwa ayat-ayat al-Qur'an terdiri

d.ari iyat-ayat yang jelas maknanya dan yang tidak, seperti diisyaratkan

dalam QS. 3:7. Teolog menggunakan pendasaran tersebut untuk misalnya

menjelaskan dialog al-Qur'an dengan umat Kristiani Arab. Sementara, juris

atau ahli hukum menggunakan pendasaran tersebut dengan membangun

penafsiran yang didasarkan pada prinsip naskh dan mansukh. Kedua jenis

p..rrfrir"., ini, Jengan melihat sejarah yang ada, dalam pandangan AbtZayd

iapat berimplikasi pada penyempitan kemungkinan makna unmk digali.

Paia teolog terjebak pada perbedaan tidak hanyapada level penafsiran tapi

juga pada level penentuan struktur al-Qur'an yang tentunya berimplikasi

prd, perbedaan makna yang dalam banyak kasus terjadi manipulasi

makna. Sementara, fuqaha lpara ahli hukum Islam-ed] dengan penerapan

prinsip naskh terjebak pada upaya pencocokan \fxing) makna ayat dengan

t.*,rrgkinan mengeliminasi ayat-ayat terdahulu sebagai konsekwensi

p..r..rp"n prinsip naskh. Pilihan dia jatuh pada cara penafsiran sufistik

dan filosofis karena lebih membuka kemungkinan makna al-Qu'an dan

itu sesuai dengan prinsip al-Qur'an sebagai wacana. Dengan merujuk ke

Muhyi al-Din Ibn Arabi (d. 63s11279), Sufi Andalusia yang besar, Abu

Zayd, melihat bahwa dasar hermeneutika humanistiknya dapat diambil dari

penafsiran sufistik yang didasarkan pada cinta paripurna dan dia membagi

37 AbtZayd, Rethinking the Qur'an, h. 12-3.

pencarian makna ke dalam empat level: makna luar (the outtuardlzahtr),

*"k,r^ dalam (the inwardlbaln),batas (the limitariorulhadd), dan makna

ektensi (the upuarcllmatla). Pembukaan makna seperti memberi kesempatan

pada audien, .r.ttrk memilih dan memberi akses kepada siapapun terlepas

dari latar belakang audiensnYa'

Dia juga men,|elaskan bagaimana filosof menjelaskan al.Qur,an.

M"r,r1rkib",, Rusd, Abu Zayd. menesaskan bahwa penafsiran filosofis yang

didasarkan pada pencarian makna b"hrm dari sisi bentuk luar, khatabi

(retorik-ed.i d..tg"r, obyek pembaca secara umum' bentuk argumentatif'

)odolt(dialektika--ed.), de.rgan audien teolog, dan bentuk filosofis' burhAnt

id.-o.,r,rrtif-ed.), dengan audien filosof. -Walau hermenutika Ibn Rusd

belum dikalinya, tapl dia melihat bahwa seperti penafsiran sufi, penafsiran

filosofis 1.rg" -.*buka kesempatan dan akses untuk penafsiran terbuka'

walau di talngan Ibn Rusd r.rg"i h..-.nutika menjadi berat karena banyak

dimensi yang digaraPnya.38

Seteiah -.rrd"orkan konstruksi herneneutika pada dimensi hidup

dan keterbukaan makna al-Qur',an, Abd zayd kemudian menjelaskan

sembilan dimensi al-Qur'an sebagai wacana' Pertama' makna al-Qur'an

bersifat popyphonik, -.rg".d*ng banyak suara yang direpresetatsikan

dalam b."i"k langsung ,.p.rti kata Allah, tidak langsung seperti kata

ganti Dia, S"yr, Kitr, "d",,

K"-"' Keragaman ini menurut Abu Zayd

irengind,ikasikan fitrah wacanaAllah. Dia berdialog dengan manusia dengan

-.rip.rti*bangkan konteks pembicaraan. Hal ini tentunya dimaksudkan

,-rrrrrrk -.ngrrJkrn sampainya pesan dan juga kekuatan menjawab atas

persoalan umat manusia.3')

Karakteristik ked.ua,wacana al-Qur'an rnengambil strategi dialog. Abu

Zayd. mengrdentifikasi model narasi "katakan" di mana struktur terdapat

,rrgk"prrrIM.r.k" katakan ..." atau "Kamu katakan ...." Sifat dialog bisa

1"di pol.-ik atau apologetik, inklusif atau eksklusif. Dia membatasi hanya

,ig" ,rrod.l dialog "l-qrrr',,-t'

dialog dengan mereka yang tidak beriman'

dJrgr,, mereka "d"ri

krlr,-,gan Yahudi dan Kristiani Arab, dan dengan

-.rlk, yang beriman, tapi Ab u Zayd memberi contoh dua dialog yang

p"r,r-^. CIra al-Qur'an berdialog dengan yang tidak beriman adalah

,".r., perlahan ,,,..t.t;.', sikap yang iegas' Misal ai-Qur'an mulai berdialog

d..rg",-t penduduk Mekkah dengan pemberian hormat atas kepercayaan

-.rlkr, kemudian seiring dengan mengerasnya resPon mereka terhadap

Islam,responal-Qur',anmengiringinyasecarategasbahkandiakhiridengan

Abu Zayd, Rethinkingthe Qur'an, h' 14-8'

Abu Zayd, Rethinking the ()ur'an, h 18-11'.)6

39

284 Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zavd: Al-Qur'an sebagai Wacana (Kusmana)

tantangan. Semenrara al-Qur'an berdialog dengan yahudi dan Kristianidengan cara fitrah manusia berdialog, yaitu pertanyaan dan jawaban. Hanyasaja dalam menangkap semua ekspresi ini ulama berbeda pendaprt saiudengan lainnya. Abrzayd menekankan pentingnya mengangkar wacanaal-Qur'an yang menegaskan pentingnya kebersamaan dalam kehidupansosial dan sesuaru yang baik itu boleh. persoalan seperti nikah beda agamabisa dilihat dari poin ini untuk melihat kemungkinan-kemungkinannyaseperti mendasarkan pada prinsip equalitas antar pihak dan tidak bolehdisederhanakan begitu saja.ao

Karakteristik ketiga, dalam menyampaikan pesannya ar-eur'an me-wacanakan pesannya sesuai realitas obyektif obyek seruannya, mulai dariwilayah yang dapatdinegoisasikan sampai yang tidak dapat dinegoisasikan.Dalam wilayah yang dapat dinegoisasikan wacana al-eur'an bisa secarainternal pada umat Islam, seperti dalam kasus al-eur'an mengingatkannabi Muhammad yang cenderung mengabaikan Ibn Umm "l-Mrkr- yr.rgsebenarnya anrusias sekali mendengarkan pesan al-eur'an yang dlsampaikanNabi. Sementara dengan penganur agama lain, dalam identifikasi Ab iz^yd,al-Qur'an mendorong Muhammad untuk berkonsultasi kepada pihak lain.Dalam hal ini, misalnya, dengan diantar istrinya Siti Khadijah, Muhammadberkonsultasi dengan \Taraqa bin Nawfal. Sementara negoisasi al-eur,andengan posisi yang tidak dapat dinegoisasikan seperti d.rgr., penganurpoliteisme arau tenrang keesaan Thhan adalah dengan .rr" ,n..rg.,.rgg.,li,mendebat dan menolak (disputing, debating and rejection). Hasil drri s"l"hsatu dari tiga kemungkinan negoisasi, misalnya adalah ditegakkannyakontrak sosial yang didasarkan atas kesamaan hak. Hal ini rercermin dalamhubungan Muslim dengan Kristiani dan yahudi ketika Nabi dan paraSahabat hijrah ke Madinah.al

Karakteristik keempat, dekonstruksi syari'ah. Dari sisi mendiskusikanal-Qur'an sebagai wacana, diskusi meniscayakan perlunya melihat ulangkonstruksi syari'ah yang ada. Keseluruhan bangunan syari'ah berdasar padlimplementasi empat sumber dasar usul al-fqh, yai* al-eur'an, suinah/tradisi, ijma'lkonsensus, dan itih,id dimana prinsi p qiyas atauanalogi banyakdipakai. semua prinsip itu dipakai olehfuqaha (ahli hukum Islam) dri"r.,konteks tektualitas al-Qur'an dan bukan sebaga wacana. Dalam pandanganAb'- Zayd, pembacaan seperti ini untuk konteks kekinian menladi sulitunruk mengangkat signifikansi dan relevansi al-eur'an. sebaliknya, sebagaiwacana, misal bentuk-bentuk hukuman yang diintrodusir dalam al-eurln

Abu Zayd, Rethinhing the Qur'an, h. 22-7.Abu Zayd, Rethinleing rhe Qur'an, h. 27-35.

404t

dapat didudukan sejarahnya seperti hukuman atas perjinahan, perampokkan,pencurian, pembunuhan dll, yang rerkategorikr., t.rt u_ irdudr...ry",,merefleksikan cara hukuman manusia r.b.t- Irh;, ,;;g;an merupakantradisi Romawi, tradisi yahudi, bahkan tradisi yang Iebih tua ragi. Refleksikonteks sekarang, praktek hukuman sudah mengarah pada penghormaranatas tubuh manusia dan hak hidup, k.rrdr."]r, g;"'d;;*i,"u equaritas,penghargaan aras minoritas daram p"y,r.rg

lrkum yi,,g i.bri baik. Dengansendirinya mengikuti semangar *r.rr" i_q,.r.,rrr'ar"?rti f .*"hyurrrryr,semangar al-Qur',an renrunya akan mengarah pada perbaikair impiementasihukuman dengan penghorma,r.r_p.rgior_"rrr,,..r.b,r,. jr-

Karakteristik kerima, ranrangan rriod..rritrr. Dalam har ini AbuZayd,mengidentifikasi bahwa,r.rrrrrgr., modernitas bersifat kompreks danmembingungkan. Tantarrg", -od"rnitas yang sejak abad ke derapan berassebenarnya merupakan .,r.rr"rrgr, yr"g dr,r'.rg'il;;;; yang dibawaumumnya melalui proses koloniarisasi. s"4an, u,lrn,, dengan komirmennya

merespon situasi baru terse.bur dengan mencoba -.nggiiirrg arah perkem-bangan ummar Islam ke arah moderiit* d.rrgrr, ,.,rp ir"._.ih"rr r._rng",dan prinsip Islam. T;rlarat setidaknya tiga rantangan: tanrangan penemuanilmiah dan teknologi tinggi, p..rrnyrn renrang rasionaritas dan rasionalisme,dan tantangan politik di-""" brny"k ummat Islam dijajah. Ketiga har ini darisisi. rertentu merupakan konteks yang membir,g,rrgi.r, drrr- arri realitas-realims yang ada dengan semangar internal ,r.*, t"rlr- dan beban sejarahyang dimiliki menemprtkan ,rmrt Islam dalam p.rrilr;;r;ng rumit. Halini terlihat dengan respon mereka terhadap modernitas"yang beragam baikdari sisi substansi maupun level. Mempertanyakan fitrah ar-eur,an dalamkonteks seperti ini ternyata menurur Abu zayd,belum p"r.rrt-r- secara seriusdilakukan oleh para sa4ana Islam, padahal k.p.rlurnrry, _.ra.r"f..r,

Lebih lanjut ,\bu.Zayd menjeiaskan k".,rp, p.Au _._it irkan ulangSunnah arau tradisi, karakteristik krrnom, dalam'rangk" _.rr*"rkan al_Qur'an sebagai wacana. Dia memandang perru -.riiki, ulang Sunnahdalam rararan konstruksi epistemolgi keilmuan, di mana Sunnah menempatisumber ke dua dari empat rr-b.r*p.rgetahuan sbar,i (aL-q*an, Sunnah,konsensus, dan ijtihad Lqiy,isl),,rpir".L" fungsi dianggap sama dengan al-

3:^r, ll ^9:: ketergan run g".' rl - eur' an terhadap nya dal am m enj ei askanoetarl beragama rermasuk detair menjelaskan ,"bJ i,r.urya wahyu. pemi_

kiran ulang ini diperrukan agar u-rr Irl"- mampu berpartispasi dalam arusmodernitas saat ini secara konstruktif pemikiran ,r"rrg ,..ribrt diarahkan

42

43Abu Zayd, Rethinbing the etn,an, h. 35-7.Albu Zayd, Rethinking rhe etu.,an, h. 37_42.

unruk membalikkan proses pemarjinalan ilmu-ilmu selain syariah seperti

filsafat, sufisme, t.ologi dll, yat g dampaknya masih terasa sampai sekarang

setelah pertama diputuskan sejak abad ke duabelas'aa

Karakteristik kerujuh, memikirkan ulang konsensus. Sebagai bagian

dari memikirkan ulang Sunnah, Abl Zaydjuga memandang perlu untuk

mengkaji kembali kori"rr,r, dalam pengertian mengkritik konsensus lama

dr.,Ire*brrka peluang bagi sarjana Muslim baru untuk berijtihad dalam

merespon ranrangan i^^in. Upaya ini dapat dilacak setidaknya ke awal

p.rg.rrk"try, di mana Ab't Zayd menyinggung upaya pembaharuan^SnJ

VrAi NIah (1702-1762) dari India, Muhammad b. Abd. Al-Vahab

(1703-1792) dari Saudi Arabia, Refa Rafi al-Thhtawi (1801-i873) dari

Mesir. Ketiga figur dianggaP mencoba melakukan pembaharuan dengan

."." -.l"krikr.r11,ih"d. -Strt

V"ti Allah mengangkat pentingnya syariah

dan sufisme dalam melakukan pembaharuan ummat Islam dalam konteks

jatuhnya kekuasaan politik Islam di India. Abd. Al-\Wahab melakukannya

dengan cara purifikasi ajaran Islam, sementara al-thtawi dengan cara

,.r.rir*"rk"n ilmu-ilmu sekuler dalam pendidikan Islam' Kesemuanya di

satu sisi melampaui penggunaan konsensus, dan di sisi lain, membuka pintu

ijtihad untuk mencari jawaban-jawaban baru. Dalam perkembangannya

j.r.rrri sarjana dengan carunya masing-masing menjadi elemen Penting

irl"* menghantark"., ,r*-rt Islam ke arah pengorganisasian negara bangsa

prrk" ,.rrrt.ihnya kekuasaan politik umat Islam secara global. Perkembangan

ieknologi informasi yang lebih memudahkan akses berbagai informasi

-.-brrrtu generasi t".., i.ri untuk melakukan pemikiran ulang lebih

lanjut, *"1"J kekuatan mereka terfragmentasi sebagai akibat berubahnya

penyebaran ororiras keilmuan sebagai akibat proses globalisasi.as

Karakte ristik kedelapan, memikir ulang Sunnah dan kritik Hadis sebagai

pertanda kemuncular ,..p"y, penafsiran baru. Abu zayd mengidentifikasi

,"1"h r"t,, kecenderungr.r *od"..ris dalam upaya memunculkan penafsiran

Islam (al-Qur'an) baru dalam rangka meresPon tantangan zaman' yaitu

kemunculan g.r"krr1 kritik terhadap Sunnah dan Hadis dan kemunculan

gerakan ahl al-Qur'an. Kenyataan bahwa Sunnah ditransmisikan secara

Ird d".tg"r, kemungkinan Pengurangan, penambahan' dan pemalsuan'

Kesadaran tersebut *.-.rn.rk pada awalnya dalam bentuk pengkodifikasian

Hadis di mana Sunnah menladi bagian kerja gerakan ini sekitar abad ke

dua Hijriah/ke delapan Masehi. Kalau di awal pergerakan kritik Hadis

dialamatkan banyak terhadap perawi, sepertinva di periode modern fokus

4445

Abu Zayd, Rethinhing the Qur'an, h. 42-4.

Abr Zayd, Rethinking rhe Qur'an, h. 44-8.

KANZ PH ILOSOPH lA, Volume 2, Number 2, December 2012 ZU/

kritikan banyak diarahkan pada isi Hadis itu sendiri. Hal ini dilakukan karena

upaya sarjana modern untuk melakukan penafsiran baru untuk mendapatjawaban-jawaban yang relevan dengan modernitas. Mereka melihat beban

informasi dalam tafsir klasik ditemukan terlalu berat sementara relevansinya

sudah berkurang. Abt Zayd memberi contoh, misalnya Akhmad Khan( I 8 17- 1 898) dari India mengenalkan tema baru dalam al-Qur'an, khususnya

tema berkaitan kesesuain pesan al-Qur'an dengan semangat ilmiah. Khanmengkritik penggunaan Hadis dalam penafsiran dan penafsiran yangmenyalahi rasionalitas. Hal sama yang sama dengan kehati-hatian yangberbeda, dilakukan juga oleh MuhammadAbduh (1848-1905) di Mesir dan

Fazlur Rahman (1919-1988) di Pakistan.a6 Secara tersirat, memperlakukan

al-Qur'an sebagai wacana dengan tujuan pembacaan baru dalam prosesnya

boleh jadi mesti berhadapan dengan realitas seperti yang banyak dihadapioleh kaum modernis, yaitu kritik terhadap Sunnah dan Hadis.

Terakhir, karakteris ti k k e s e m b i laz memikir ulan g al- Qu r' an. Ab:u Zay ddi sini mengidentifikasi upaya modernis Muslim dalam penafsiran al-Qur'an.Dia mengelompokkan mereka ke dalam tiga trend penafsiran: penafsiran

dalam bingkai Islam dan ilmu pengetahuan, Islam dan rasionalisme danIslam dan polltik. Dia merujuk ke upaya Akhmad Khan untuk trendpertama dengan upaya menjawab tantangan ilmu pengetahuan modern,Muhammad Abduh untuk trend kedua dengan upaya pendekatanrasionalitas atas al-Qur'an, dan Abul Ala al-Mawdudi (1903-1979)untuk trend ketiga dengan upaya menandingi tantangan dominasi Barat

dan gerakan budaya westernisasi. Ketiganya mewarnai dan menyediakan

dasar penafsiran modern al-Qur'an di abad 20: karya Khan mendorongmunculnya karakteristik tafsir al-ijaz al-'ilmi dan Islamisasi pengetahuan;Abduh mendorong lahirnya penggunaan pendekatan sastra dan pendekatan

sosial; dan Mawdudi mendorong penfasiran politik dan ideologi dalamkonteks modern. Namun semuanya, kataAbu Zayd, masih memperlakukan

al-Qur'an sebagai teks, dan di sini letak pentingnya menawarkan kajianal-Qur' an sebagai w acana.47

Setelah menjelaskan dasar dan karakterisk tawaran kajian al-Qur'anseb agai wacana, Ab,,:. Zay d menyimpulkan bahwa al-Qur' an adalah fenomena

hidup (liuing pbenomenon). Karenanya hermeneutika al-Qur'an humanistikmesti mempertimbangkan aspek al-Qur'an sebagai fenomena hidup.Al-Qur'an tidak bisa hanya diperlakukan sebagai teks saja, karena pesan

al-Qur'an disampaikan dalam koteks pergulatan budaya manusia semasa

AbrZayd, Rethinking the Qur'an, h. 48-53.AbrZayd, Rethinking rhe Qur'an, h. 53-62.

4647

288 Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zavd: Al-Qur'an sebaeiai Wacana (Kusmana)

turunnya wahyu dari mulai proses dialog, perdebatan, pengembangan,

penerimaan sampai penolakan. Kesemua Proses tersebut merupakan wacana

al-Qur'an yang terekam dalam struktur al-Qur'an itu sendiri dan tidak di

luar.a8 Dengan memperrimbangkan aspek fenomenanya, penafsir dituntutuntuk menghadirkan pesan al-Qur'an yang paling dekat dengan fitrah

manusia sebagai ciptaan Allah.Ab't Zaydkemudian menghadapkan tawaran ini dengan pilihan apakah

dengan pendekatan ini umat Islam dapat memupuk kebersamaan atau

malah menjadi terisolasi karena eksklusifitas? Persoalan lainnya, apakah

Muslim sudah siap untuk melakukan pembacaan ulang al-Qur'an dan pada

saar yang sama mengkaji ulang pemaknaan yang mapan dari ulama klasik?

Menurutnya ini pilihan sulit, apalagi dihadapkan pada pertentangan budaya

babak baru tapi dengan corak dan tantangan yang semakin sulit, baik dari

kalangan internal umat Islam maupun luar. Meski demikian hal tersebut

seyogyanya menjadikan kita waspada dan pada saat yang sama, menjadikan

tanggung jawab ini mesti ada yang memikul.ae

Nampaknya Abu Zay dmencoba menambahkan beberapa pertimbangan.

Ia mempertimbangkan hermeneutika dialogis Gadamer dan mediasi

subjektivitas-obyektivitasnya, Ricouer dengan kecenderungan semiotika

dan pendekatan sastra dalam memperlakukan al-Qur'an sebagai teks dalam

kajian teks keagamaan, ke pertimbangan memperlakukan al-Qur'an sebagai

wacana. \Walau AbrZayd tidak menyebut catatan Harb, namun catatan

Harb dalam tawaran terbarunya tak luput dari kesadarannya. Hal penting

dari semua yang dikritik Harb dan dijadikan dasar pijakan pemikirannya

tentang al-Qur'an sebagai wacana adalah bahwa struktur al-Qur'an adalah

wacana yang direkam atau digunakan sebagai strategi Tuhan dalam

menyampaikan pesan universalnya. Dengan ciri struktur al-Qur'an yang

dialogis, mendebat, mengembangkan, menerima dan menolak, al-Qur'an

dalam pandangan AbuZayd memanfaatkan wacana yangadasebelum dan

ketika turunnya wahyu sebagai materi untuk menyampaikan pesan kepada

manusia. Karena hanya dengan wacana yang menjadi kesadaran mereka,

pesan itu akan diterima. Seperti keyakinan Gadamer yang dijelaskan di

atas bahwa dalam pemahaman yang penting diangkat adalah kebijaksanaan

sesuatu, bukan ilmu pengetahuan yang dikonstruksi dengan batasan-batasan

dan bias-bias. Dalam konteks sekarang di manawacanayangtumbuh sudah

banyak berbeda, tentunya pembacaan al-Qur'an mesti diarahkan untuk

mencari kebijaksanaan-kebilaksanaan yang dapat diterima sesuai konteks

AbrZayd, Rethinking the Qur'an, h. 52-3.

,\brZayd, Rethinking the Qur'an, h. 63.48

49

KANZ PHILOSOPHIA, Volume :, \un-5er z' D

kekinian. Meskipun hal ini adalah tugas berat dan kontroversial, namun

dari sisi keniscayaanya mesri ada yang memikul'

twaran Ab uZaydmerupakan tawaran awal, di mana dia sendiri belum

melahirkan karya, setidaknt.a seperti saat dia menawarkan pembacaan atas

al-Qur'an dan ilmu-iimunya sebagai textus rece?tus di mana. dia banyak

-.rr-,rli, baik kritiknya tentang 'LllLm al-Qur'an, nalar Mu'tazilah maupun

nalar sufisme. Tawaran hermeneutika humanistik yang menempatkan al-

Qur'an sebagai wacana, perlu dikaji lebih jauh baik hakikat konsepsinya

--".,pl',r, keriungkinan implikasinya. fucouer dalam salah satu bukunya,

Throry of Interpitation: Discourse and the Surplus of Meaning'-menjelaskan

bahwa memasukkan perrimbangan wacana dalam hermeneutika membuka

kemungkin".r-k.*r.rrrgkinan baru, setidaknya potensi membebaskan

hermeneurika dari psikologisasi hermeneutika romantisisme dan

eksistensialisasi hermeneutika universal''0

DAFTAR RUJUKAN

Abu Zayd, Nasr H. Rethingking the Qur'an: Towards a Humanistic Hermeneutics.

Utrecht. Humanistics University Press, 2004'

-----. Hermeneutikd Inklusif Mengatasi Problematika dan cara-cara Pentakruilan

atas Disbursus Keagamaan ]akarta: ICIB 2003'

-----. Tekstualhas al-Qur'an: Kritib terhadap Ulumul Qur'an' Yogyakarta: LklS'

2003.

-----...theQur,aninE,verydayLife,,,inJaneDammenMcAuliffe,generaled.Encyclopaedia of the Qur'an' Leiden-Boston: Brill' 2002'

--..-. At.ittijah at.Aqtlfi at.Tafsir: Dil,dsahfi QldhiLyah al.Mdjaz,fi al-Qur,an,Inda

a l- Muitazi la h. Beirut: al-Markaj al-Thasaqafi al-Arabi' 1 9 96'

Gordin, Jean. "Gadamer Basic Understanding of Understanding," dalam The

cambridge Companion to Gadamer,diedit oleh RobertJ. Dostai, cambridge:

Carnbridge University Press, 2002'

Harb, Aii, Kririk Nalar Al-Qur'an. Yogyakarta: LkiS' 2003'

palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru Mengendi Inter?retd.ii. Yogyakarta:

Pustaka Pelaiar, 2003.

50 Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Musnur Hery' Paul Ricouer'

Fikafatwacana: Membelah Maknd rlalarn Anatomi Bahasa' (Yog,vakarr'' IRCiSoD'

2oo3), h. 57-9.

Kusmana. Hermeneatika Al-Qur'an: Sebuah pendekatan Praktis Aplikasi

Hermeneutika Modern dalan-t Penafsiran al-Qur'an. Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2004.

Latief, Hilman. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritib Tbks Keagamaan. Yogyakarta:

eLSAQ,2003.

Ricouer, Pari. Fikafat wacdna: Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa.

Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Shohibuddin, M. "Nasr Hamid Abuzayd tentang Semiotika al-Qrrr'ad'dalam

S ahiron Syams udin dl<k. H e rm e n euti k a a l- Qur'an : M azh a b Yo g1t a. Yo gy akana:

Islamika, 2003, lll'20.Sunarwoto."Nasr Hamid Abu zayd dan Rekosntruksi studi-studi al-Qur'an'

dalam dalam Sahiron Syamsudin dW. Hermeneutihd al-Qur'an: Mazhab

Yogta. Yogyakarta: Islamika, 2003, 1 03- 1 0'