RESUS ORAL MEDICINE

15
I. DESKRIPSI KASUS A. Kunjungan I Pemeriksaan Subyektif : Seorang pasien wanita usia 20 tahun datang ke RSGMP mengeluhkan gusinya sering berdarah saat sikat. Keluhan tersebut dirasakan pasien sejak 6 bulan yang lalu. pasien juga merasakan mulutnya terasa kotor dan tidak hilang degan menyikat gigi. Pasien biasa menyikat gigi 2 kali sehari saat mandi pagi dan sore, Pasien belum pernah memeriksakan keadaannya tersebut ke dokter gigi dan belum pernah membersihkan karang gigi. Pasien merasa kurang nyaman dengan keadaan tersebut dan terkadang merasa bau mulut jika berbicara. Pemeriksaan Obyektif : 1. Terdapat pembulatan papilla interdental hampir diseluruh regio, berwarna kemerahan, tidak sakit, tekstur licin, konsistensi kenyal dan mudah berdarah. Debris dan kalkulus tampak hampir diseluruh regio. Pada bagian posterior rahang atas dan bawah kalkulus mencapai bagian oklusal gigi dan beberapa bagian mencapai daerah subgingiva. OHI = 9,3 (buruk) PI = 78% BOP : + PD : 3 mm (mesial 11) 1

Transcript of RESUS ORAL MEDICINE

I. DESKRIPSI KASUS

A. Kunjungan I

Pemeriksaan Subyektif :

Seorang pasien wanita usia 20 tahun datang ke RSGMP

mengeluhkan gusinya sering berdarah saat sikat. Keluhan

tersebut dirasakan pasien sejak 6 bulan yang lalu. pasien

juga merasakan mulutnya terasa kotor dan tidak hilang

degan menyikat gigi. Pasien biasa menyikat gigi 2 kali

sehari saat mandi pagi dan sore, Pasien belum pernah

memeriksakan keadaannya tersebut ke dokter gigi dan belum

pernah membersihkan karang gigi. Pasien merasa kurang

nyaman dengan keadaan tersebut dan terkadang merasa bau

mulut jika berbicara.

Pemeriksaan Obyektif :

1. Terdapat pembulatan papilla interdental hampir

diseluruh regio, berwarna kemerahan, tidak sakit,

tekstur licin, konsistensi kenyal dan mudah berdarah.

Debris dan kalkulus tampak hampir diseluruh regio. Pada

bagian posterior rahang atas dan bawah kalkulus

mencapai bagian oklusal gigi dan beberapa bagian

mencapai daerah subgingiva.

OHI = 9,3 (buruk)

PI = 78%

BOP : +

PD : 3 mm (mesial 11)

1

Halitosis +

Dx. Gingivitis disertai halitosis

Treatment Planning :

a. KIE

b. Scaling USS

c. Kontrol

Penampakan klinis:

2. Terdapat kavitas pada prokimal sisi mesial gigi 46

dengan kedalaman pulpa disertai dengan nodul pada kavitas

berwarna kemerahan, konsistensi kenyal, tekstur halus dan

licin, palpasi pada nodul negative.

Sondasi : -

Perkusi : +

Palpasi : -

CE : -

2

Dd. Nekrosis pulpa disertai periodontitis

Nekrosis pulpa disertai abses periapikal

Penampakan klinis dan foto rontgen:

3

TINDAKAN

1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi

a. Memberi edukasi pada pasien untuk menjaga kebersihan

mulutnya dengan menyikat gigi minimal 2 kali sehari

yaitu setelah makan pagi dan malam sebelum tidur.

b. Mengajarkan pada pasien cara menyikat gigi yang baik

dan benar.

c. Menginformasikan pada pasien mengenai perawatan yang

perlu dilakukan, seperti pembersihan karang gigi

minimal 6 bulan sekali, pencabutan sisa akar dan

gigi yang sudah tidak dapat dipertahankan, serta

penumpatan gigi-gigi yang berlubang.

2. Scalling USS pada seluruh regio baik supragingiva

maupun subgingiva

3. Premedikasi gigi 46 sebelum dilakukan ekstraksi

R/ Amoxicillin tab 500 mg No XV

S 3 dd tab I

R/ Kalium diklofenak tab 50 mg No X

S 2 dd tab I

B. Kunjungan II (Kontrol)

Pemeriksaan subyektif :

Pasien datang untuk mengontrolkan giginya yang telah

dilakukan pembersihan karang gigi 2 minggu yang lalu dan

4

pasien merasakan bau mulut yang sudah mulai berkurang

dibandingkan sebelum membersihkan karng gigi.

Pemeriksaan Obyektif :

1. Tampak gingiva yang mulai membaik, warna merah muda,

tekstur stipling dan konsistensi kenyal. Sudah tidak

tampak karang gigi, hanya terdapat debris yang menumpuk

pada bagian posterior.

OHI = 3,5 (sedang)

PI = 39,2%

BOP : -

PI = 2 mm (mesial 11)

Halitosis : -

Dx. Gingiva sehat

2. Tampak nodul pada kavitas gigi 46 yang mulai mengecil,

berwarna merah muda sama seperti mukosa disekitarnya,

konsistensi kenyal, tekstur halus dan licin, palpasi pada

nodul negative.

Sondasi : -

Perkusi : -

Palpasi : -

CE : -

Dx. Nekrosis pulpa disertai dengan disertai gingiva

polip

5

Penampakan klinis:

II. Pertanyaan Kritis

1. Apa saja etilogi dari halitosis dikaitkan dengan

kasus di atas?

2. Apasajakah klasifikasi dari halitosis?

3. Adakah hubungan antara periodontal disease dengan

halitosis?

4. Bagaimana patofisiologi dari halitosis yang

berhubungan dengan intraoral?

5. Bagaimana metode untuk mendiagnosis halitosis yang

benar?

6. Bagaimana penatalaksanaan/treatment untuk pasien

halitosis?

III. LANDASAN TEORI

1. Etiologi dari halitosis antara lain

a. Etiologi intraoral:

6

1. Tongue biofilm coating

Malodour berhubungan dengan kumpulan

mikroba (biofilm) yang terdapat pada

dorsum lidah. Hal ini bia disebabkan

karena oral hygiene yang buruk, dan

kebiasaan buruk seperti merokok.

2. Plak (berhubungan dengan gingival dan

periodontal disease)

Hal ini dapat dilihat dari gingivitis,

periodontitis, acute necrotizing

ulcerative gingivitis, pericoronitis, dan

abses.

3. Ulceration

Adanya lesi-lesi di mulut juga dapat

menjadi factor etiologi dariterjadinya

halitosis, misalnya lesi karena penyakit

sisemik (gastrointestinal dan

haematological disease)

4. Hiposalivasi

Hiposaliva bia disebabkan oleh karena

konsumsi obat, Sjogren syndrome, dan

terapi kanker (kemoterapi)

5. Penggunaan alat orthodontic atau gigi

tiruan

Penggunaan alat yang terus menerus dengan

tidak diimbangi dengan menjaga kebersihan

mulut maka dapat menyebabkan kebersihan

mulut yang buruk dan candidiasis sehingga

7

menimbulkan halitosis (malodour)

6. Bone disease

Beberapa contohnya yaitu dry socket,

osteomyelitis, osteonecrosis dan

malignancy.

b. Etiologi ekstra oral:

1. Respiratory system (microbial

etiology)

Contoh: Bronchitis, lung malignancy, nasal

malignancy, sinusitis, tonsillitis,

pharyngeal malignancy

2. Gastrointerstinal tract

Contoh: gastro-esophageal reflux disease,

malignancy

3. Metabolic disorder

Contoh: diabetes, liver disease, renal

failure

4. Drugs

Contohnya adalah obat-obatan chemotherapy,

phenothiazines, solvent abuse.

5. Psychogenic

Contoh: depression, obsessive compulsive

disorder

2. Klasifikasi dari halitosis:

a. Halitosis Fisiologis

Halitosis jenis ini biasa dirasakan pasien

ketika bangun tidur di pagi hari. Hal ini

8

merupakan normal nocturnal hiposalivasi. Pada

beberapa penelitian dijelaskan bahwa terjadi

peningkatan aktivitas microbial metabolic ketika

tidur. Halitosis fisiologis ini biasanya dapat

segera hilang dengan makan, menyikat gigi,

menyikat lidah, serta membilas mulut dengan air

segar.

c. Halitosis Gaya Hidup (lifestyle of halitosis)

Halitosis jenis ini berkaitan dengan gaya hidup

seperti minum-minuman berlkohol, merokok, makan-

makanan yang memiliki aroma seperti bawang dan

durian). Tembakau yang terkandung pada rokok

merupakan factor predisposisi dari terjadinya

hiposalivasi dan penyakit periodontal yang

merupakan etiologi dari halitosis.

d. Halitosis Patologis

Pada sebagian besar pasien dengan keluhan

halitosis, bau yang ditimbulkan berasal dari

aktivitas bakteri anaerob yang menghasilkan

produk seperti volatile sulfur compounds (VSC).

Halitosis patologis bias disebabkan oleh factor-

faktor yang berasal dari intra oral maupun

ekstra oral..

e. Pseudohalitosis

Halitosis jenis ini biasanya dikeluhkan oleh

pasien, namun orang-orang disekitarya tidak

mencium bau dari mulutnya.

f. Halitophobia

9

Pasien dengan halitophobia merupakan pasien yang

telah mendapatkan perawatan pada kasus halitosis

patologis maupun pseudohalitosis namun masih

terus merasakan bahwa dirinya masih memiliki bau

mulut.

3. Hubungan gingivitis dengan halitosis yaitu dikaitkan

dengan aktivitas dari bakteri proteolitik dan

putrefaktive (Scully and Greeman, 2008). Aktivitas

bakteri pada periodontal disease tersebut berkaitan

dengan produk volatile sulfur compounds (VSC) yang

dhasilkan dan dapat menyebabkan bau mulut. VSC

dihasilkan dari aktivitas bakteri putrefactive yang

ada pada saliva, krevikular gingiva, serta

permukaan dorsum lidah. Substratnya yang berupa

sulfur dengan kandungan asam amino (missal:

cysteine, cysteine, dan methionine) dapat ditemukan

pada saliva, cairan krevikular gingiva, dan produk

proteolysis dari protein substrat. Dijelaskan pada

penelitian Yaegaki dan Sanada (1992), bahwa

terkadang pada pasien dengan poket periodontal yang

dalam, tongue coating pun juga tebal. Tongue coating

inilah yang menjadi tempat berkumpulnya bakteri

hingga dapat menyebabkan halitosis. Selain itu,

poket periodontal yang dalam merupakan tempat yang

sangat disukai oleh bakteri anaerob da menjadi suatu

penyebab dari timbulnya halitosis. Pada penelitian

lain dijelaskan bahwa bleeding on probing lebih

berhubungan dengan halitosis dibandingkan dengan

10

hanya melihat kedalaman poket periodontal. Proses

inflamasi yang aktif merupakan penghubung utam

antara penyakit gingiva dan periodontal dengan

halitosis. Tanda utama berupa bleeding on probing

pada gingivitis atau periodontitis aktif selalu

disertai dengan aktivitas bakteri, peningkatan

cairan sulkus gingiva, dan peningkatan aliran darah

inilah yang berkaitan dengan timbulnya halitosis.

Proses inflames yang berjalan juga dapat lebih

diperburuk oleh senyawa-senyawa penyebab halitosis

karena senyawa tersebut bersifat toxic dan dapat

meningkatkan kerusakan jaringan periodontal.

4. Halitosis yang berkaitan dengan intra oral

disebabkan oleh bakteri-bakteri yang menghasilkan

produk berupa volatile sulfur compounds. Halitosis

disebabkan karena adanya gas odor dalam udara yang

berasal dari rongga mulut.

Populasi bakteri pada mulut, terutama pada posterior

lidah merupakan factor utama penyebab halitosis

(Rosenberg, 1997). Terdapat hubungan yang kuat

antara tongue coating dengan halitosis.

5. Cara mendiagnosis halitosis dapat dilakukan dengan

beberapa metode penilaian, diantaranya:

a. Organoleptic measurement

Penilaian dilakukan berdasarkan persepsi dari

pemeriksa terhadap halitosis yang terdapat

pada pasien.

11

b. Gas Chromatography (GC)

Penilaian ini merupakan gold standard untuk

menilai halitosis yang spesifik dengan

memberi penilaian terhadap VSC, yang

merupakan penyebab utama halitosis. Peralatan

untuk GC mahal dan membutuhkan skill dari

operator. Penilaian ini ditujukan untuk

penelitian, bukan untuk pemeriksaan klinis.

c. Sulfide monitoring

Sulfide monitor digunakan untuk menganalisa

total kandungan sulfur yang terdapat pada

udara yang keluar dari rongga mulut.

d. Ammonia detector

Alat yang digunakan untuk mendeteksi

substansi penyebab halitosis yang tidak

mengandung sulfide.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada pasien

dengan keluhan halitosis diantaranya

a. Dorsum lidah, meliputi pemeriksaan

kedalaman fissure dan sulcus pada permukaan

lidah, adanya tongue coating (warna dan

ketebalan), adanya ulcer, erosi. Scraping

lidah dengan sendok juga dapat dilakukan

untuk mencium adakah bau yang dtimbulkan dari

hasil scraping tersebut.

b. Sulkus gingiva dan poket periodontal

12

beberapa bakteri pathogen pada jaringan

periodontal dapat memproduksi VSC yang

menyebabkan halitosis.

c. Keadaan klinis dari rongga mulut yang

lain, sperti palatum, mukosa bukal, dan dasar

mulut.

6. Treatment untuk pasien halitosis yang dapat

dilakukan adalah instruksi untuk memperbaiki

kebersihan mulutnya. Selain itu, operator juga harus

mencari tahu penyebab dari halitosis pada pasien.

Dijelaskan oleh Krespi (2006), penggunaan dental

floss dan pembersihan area interdental dapat efektif

mengurangi produk bakteri yang dapat menimbulkan

halitosis. Selain itu, metode pembersihan lidah

dengan menyikat lidah, scraping lidah, dan mengunyah

permen karet juga dianjurkan untuk mengurangi

resiko penumpukan bakteri pada dorsum lidah.

Selain itu, pembersihan karang gigi juga dapat

dilakukan untuk mengurangi resiko terbentuknya poket

periodontal dan perdarahan pada gingiva yang

merupakan salah satu factor etiologi dari halitosis.

Keadaan klinis oral seperti gigi nekrosis, sisa

radix, dan karies dilakukan perawatan untuk

mengurangi resiko penumpukan bakteri dan menimbulkan

halitosis.

IV. REFLEKSI KASUS

13

Berdasarkan kasus di atas dapat dilihat bahwa

halitosis pada kasus ini termasuk dalam halitosis

patologis dengan etiologi utamanya adalah kebersihan

mulut pasien yang buruk, ditemukan banyak karies dan

terdapat coating tongue pada lidah pasien.

Penatalaksanaan untuk pasien halitosis pada kasus

ini adalah dengan memberikan instruksi untuk perbaikan

kebersihan mulutnya seperti penggunaan dental floss dan

pembersihan area interdental, pembersihan bagian dorsum

lidah, pembersihan karang gigi rutin minimal 6 bulan

sekali dan penyikatan gigi minimal 2 kali sehari setelah

makan pagi dan malam sebelum tidur. Selain itu,

menghilangkan resiko lain yang dapat menjadi factor

pemicu halitosis seperti pencabutan sisa radix, perawatan

pada gigi-gigi yang karies dan juga perawatan lesi-lesi

oral yang ada juga penting untuk dilakukan.

V. KESIMPULAN

Dari kasus yang telah dijelaskan di atas, dapat

disimpulkan bahwa kebersihan mulut sangat berpengaruh

terhadap timbulnya keluhan halitosis. Pembersihan karang

gigi menjadi salah satu langkah yang baik untuk mengatasi

halitosis yang ditimbulkan dari intra oral.

14

II. Daftar Pustaka

1. Anonim. Types Of Enamel Finish Line (Bevel)

2. Krespi M.D, Shrime, Kacker. 2006. The Relationship Between

Oral Malodor and Volatile Sulfur Compound-Producing Bacteria.

Otolaryngology-Head and Neck Surgery.

3. Washio J, Sato Takuichi, Koseki T. 2005. Hydrogen Sulfide-

Producing Bacteria in Tongue Biofilm and Their Relationship with Oral

Malodor. Journal of Medical Microbiology,54, 889-895

4. Silveira Elcia MV, Piccinin Flavia, Gomes Sbrina. 2012.

Effect of Gingivitis Treatment on the Breath of Chronic Periodontitis

Patients. Oral Health Preventive Dentistry 2012, 10; 93-

100.

15