RESUME PERATURAN DAERAH TTG BPHTB KOTA SEMARANG
Transcript of RESUME PERATURAN DAERAH TTG BPHTB KOTA SEMARANG
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
I.1. LATAR BELAKANG ................................................................................ 1
I.2. BATASAN PERMASALAHAN ................................................................ 3
I.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN .................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4
II.1. PENGERTIAN ......................................................................................... 4
II.2. DASAR HUKUM ..................................................................................... 5
II.3. OBJEK PAJAK ........................................................................................ 5
II.4. SUBYEK PAJAK ..................................................................................... 7
II.5. DASAR PENGENAAN PAJAK, TARIF PAJAK DAN PERHITUNGAN
PAJAK SERTA SAAT TERUTANGNYA PAJAK .......................................... 8
II.5.1. Dasar Pengenaan ................................................................................ 8
II.5.2 Tarif Pajak dan Cara Perhitungan ........................................................ 9
II.5.3. Saat Pajak Terutang ............................................................................ 9
II.6. SURAT SETORAN PAJAK DAERAH DAN TATA CARA
PENETAPAN PAJAK ................................................................................... 10
II.7. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN ............................. 12
II.8. PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN,
DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI
ADMINISTRASI, SERTA KEBERATAN DAN BANDING ......................... 13
II.9. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK ................. 15
II.10. KEDALUWARSA PENAGIHAN ........................................................ 16
II.11. PEMERIKSAAN, PENGAWASAN DAN SANKSI ............................. 16
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19
III.1. SIMPULAN .......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah menyebutkan“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.” Bumi, air dan kekayaan alam Indonesia merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa kepada Rakyat Indonesia. Agar pemanfaatannya dapat
memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat bukan hanya segelintir golongan
tertentu, Negara memiliki wewenang mengatur penggunaannya demi
kemakmuran rakyat.
Kepada masyarakat yang hendak memanfaatkan bumi (tanah) baik sebagai
tempat tinggal maupun untuk berusaha mendapatkan pencahariannya, Negara
memberikan kepadanya beberapa jenis hak atas tanah. Namun untuk masyarakat
yang memperoleh hak atas tanah dari negara ini diwajibkan memberikan sebagian
nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara sebagai imbalnya dan bentuk
partisipasinya dalam pembangunan bangsa dalam bentuk perpajakan. Salah satu
wujud dari hal tersebut adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Sebelum adanya istilah BPHTB, wujud pajak yang serupa pada masa
sebelum Undang-Undang BPHTB (Undang Undang No. 21 Tahun 1997) adalah
Bea Balik Nama yang diatur dengan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924
No. 291. Bea tersebut dikenakan terhadap setiap perjanjian pemindahan hak atas
harta tetap. Harta tetap dalam ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan
hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan
pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi
Balik Nama Staatsblad 1834 No. 27.
2
Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sekarang biasa disebut Undang-
undang Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang dimaksud diatas tidak berlaku
lagi, karena semua sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-
undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak
diundangkannya Undang-undang tentang Undang-undang tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah
tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas tanah
pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik
Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku.
Kemudian dalam rangka tax reform untuk meningkatkan penerimaan
perpajakan dan menyediakan payung hukum demi kepastian hukum, maka perlu
diatur diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang diatur
dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan
Undang-Undang No.20 Tahun 2000.
Seiring dengan dinamika administrasi pemerintahan dari sentralisasi
menuju desentralisasi dengan adanya Otonomi Daerah, serta untuk meningkatkan
kemampuan daerah dalam pembiayaan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahannya, maka BPHTB kemudian dijadikan sebagai salah satu
komponen Pajak Daerah dengan dikeluarkannya Undang – undang No. 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Selanjutnya masing-masing pemerintah daerah diberikan kewenangan
mengatur sendiri pemungutan BPHTB dan diwajibkan pengaturannya melalui
Peraturan Daerah. Selanjutnya bagaimana wujud pengaturan BPHTB dalam
peraturan daerah ini? Pada bagian tulisan selanjutnya penulis akan mengangkat
pembahasan salah satu peraturan daerah mengenai BPHTB yaitu Peraturan
Daerah Kota Semarang No.2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
3
I.2. BATASAN PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang diatas serta untuk mengetahui lebih
detail pengaturan BPHTB dalam Peraturan Daerah, maka penulis mencoba
membatasi permasalahan yang hendak dibahas pada bagian tulisan selanjutnya
adalah bagaimana pengaturan BPHTB dalam Peraturan Daerah Kota Semarang
No.2 Tahun 2011.
I.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN
Maksud dan tujuan dari dibuatnya makalah ini, selain untuk memenuhi
tugas mata kuliah Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara, juga untuk
menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta pembaca dalam memahami
lebih lanjut mengenai pengaturan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
19
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PENGERTIAN
Masyarakat yang hendak memanfaatkan tanah dan bangunan yang
didirikan diatasnya berdasarkan UUPA ( UU No. 5 tahun 1960) diharuskan
memiliki alas hak yang jelas terhadap pemanfaatan tanah dan bangunan tersebut.
Oleh karena itu negara memberikan dan menyediakan berbagai jenis Hak atas
tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan
sebagainya. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan
beserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk mendapatkan
hak atas tanah tersebut dapat dilakukan dengan upaya hukum berupa pemindahan
hak (seperti contohnya jual-beli, tukar menukar, hibah, waris dan sebagainya) atau
permohonan hak baru kepada pemerintah/negara terhadap tanah negara (sebagai
kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak). Upaya hukum tersebut
disebut sebagai Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam Pasal 1 angka
10 Perda Kota Semarang No.2 tahun 2011 tentang BPHTB, Perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
Dalam upaya memperoleh hak atas tanah tersebut, apabila telah berhasil
memperoleh hak, maka negara mewajibkan pihak yang mendapatkan hak atas
tanah dan/atau bangunan tersebut membayar sejumlah uang yang ditetapkan
sebagai pajak yang disebut dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dalam Pasal 1 agka 9 Perda Kota Semarang No.2 tahun 2011 tentang BPHTB,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB
adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
5
II.2. DASAR HUKUM
Sebelum BPHTB diberlakukan sebagai Pajak Daerah (sebelum 1 Januari
2011) dan sebelum adanya Undang-Undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB diatur dalam berberapa peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-Undang No. 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, yang menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924
No.921;
2. Peraturan Pemerintah No. 111 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
Waris dan Hibah;
3. Peraturan Pemerintah No. 112 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
Pemberian Hak Pengelolaan; dan
4. Peraturan Pemerintah No. 113 tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya
NPOPTKP BPHTB.
Kemudian dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, dan BPHTB dilimpahkan dari sebelumnya Pajak Pusat menjadi
Pajak Daerah yang mulai efektif pengelolaannya menjadi kewenangan daerah
pada mulai tanggal 1 januari 2011. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kota
Semarang bersama DPRD-nya mengeluarkan Peraturan Daerah No.2 tahun 2011
tentang BPHTB sebagai payung hukum pengenaan BPHTB di wilayah Kota
Semarang yang selanjutnya penulis sebut sebagai Perda BPHTB.
II.3. OBJEK PAJAK
Dalam Pasal 3 Perda BPHTB Objek BPHTB adalah perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan yang meliputi:
a. Pemindahan Hak karena:
1) Jual beli;
6
2) Tukar-menukar;
3) Hibah;
4) Hibah wasiat;
5) Waris;
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) Penunjukan pembeli dalam lelang;
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) Penggabungan usaha;
11) Peleburan usaha;
12) Pemekaran usaha; atau
13) Hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1) Kelanjutan pelepasan hak; atau
2) Di luar pelepasan hak.
Sedangkan Hak atas Tanah yang dimaksud yang perolehannya menjadi
Objek BPHTB dimaksud adalah berupa :
a. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
b. Hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh
perundang-undangan yang berlaku;
c. Hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka
waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
d. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
7
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga
hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan.
f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain,
berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah
untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Dalam Pasal 3 ayat (4) disebutkan beberapa objek pajak yang tidak
dikenakan BPHTB, yaitu Objek pajak yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi
tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
II.4 SUBYEK PAJAK
Dalam Pasal 4 Perda BPHTB disebutkan bahwa subyek pajak BPHTB
adalah orang pribadi atau Badan, sedangkan Wajib Pajak BPHTB adalah orang
8
pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang
memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
II.5. DASAR PENGENAAN PAJAK, TARIF PAJAK DAN PERHITUNGAN
PAJAK SERTA SAAT TERUTANGNYA PAJAK
II.5.1. Dasar Pengenaan
Sesuai ketentuan Pasal 5 Perda BPHTB, dasar pengenaan BPHTB adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu ditentukan sebesar :
a. Jual beli adalah harga transaksi;
b. Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. Hibah adalah nilai pasar;
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam risalah lelang.
Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB. Dalam hal
NJOP Pajak Bumi dan Bangunan belum ditetapkan pada saat terutangnya pajak,
9
NJOP Pajak Bumi dan Bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP
PBB yang bersifat sementara dan dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak atau
Instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam perhitungan BPHTB, terdapat pengurang NPOP yaitu Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan
untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang.
NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk
setiap Wajib Pajak, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah
wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp300.000.000,-
(tiga ratus juta rupiah).
II.5.2 Tarif Pajak dan Cara Perhitungan
Berdasarkan Pasal 6 Perda BPHTB, Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah 5% (lima persen), dengan cara perhitungan pajak BPHTB
sebagai berikut :
II.5.3. Saat Pajak Terutang
Saat terutangnya pajak BPHTB, berdasarkan Pasal 10 Perda BPHTB,
ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut yaitu untuk :
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
BPHTB terutang = Tarif x NPOP Kena Pajak
= 5% x (NPOP – NPOPTKP)
10
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor bidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya
surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
Dan Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
sebagaimana ketentuan tersebut diatas.
II.6. SURAT SETORAN PAJAK DAERAH DAN TATA CARA
PENETAPAN PAJAK
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Perda BPHTB, Setiap wajib pajak, wajib
mengisi SSPD-BPHTB (Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Tanah dan
Bangunan) yang memiliki fungsi juga sebagai STPD. SSPD-BPHTB sebagaimana
wajib diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak
atau kuasanya serta disampaikan kepada pejabat yang berwenang.
Dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun sesudah saat terutangnya pajak,
Kepala Daerah dapat menerbitkan :
a. SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) dalam hal :
11
1. Jika berdasarkan hasil pemeriksaaan atau keterangan lain,pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
2. Jika SSPD BPHTB tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam
jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3. Jika kewajiban mengisi SSPD BPHTB tidak dipenuhi, pajak yang terutang
dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) jika
ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil) jika jumlah pajak yang terutang
sama besarnya dengan jumlah kredit pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar 2 % (dua persen) sebelum dihitung dari pajak yang kurang
atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Namun denda ini tidak dikenakan jika
wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan
Sedangkan jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT
sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Adapun untuk jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan
sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan dihitung dari pajak
yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Selanjutnya dalam Pasal 13 Perda BPHTB disebutkan bahwa Walikota
dapat menerbitkan STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah) jika :
a. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar;
12
b. Dari hasil penelitian SSPD BPHTB terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas)
bulan sejak saat terutangnya pajak. Kemudian, untuk SKPDKB dan SKPDKBT
yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih sebulan
dan ditagih melalui STPD.
II.7. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Dalam Pasal 16 ayat (1) Perda BPHTB, pembayaran BPHTB dilakukan
oleh Wajib Pajak di kas daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Walikota.
Pembayaran pajak tersebut dilakukan dalam jangka waktu sebelum tanggal jatuh
tempo yang ditentukan oleh Walikota atau Pejabat yang diberikan wewenang
dalam bidang perpajakan daerah. Sedangkan untuk SKPDKB, SKPDKBT, STPD,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah dan merupakan
dasar penagihan pajak, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterbitkan.
Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran pajak BPHTB dengan
mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan dikenakan bunga 2 % (dua
persen) perbulan setelah mengajukan permohonan dan persyaratan yang
mendapatkan persetujuan dari Walikota.
Pajak yang terutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang
tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan
Surat Paksa yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Setelah melakukan pembayaran, kepada wajib pajak diberikan tanda bukti
pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan.
13
II.8. PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN,
DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI
ADMINISTRASI, SERTA KEBERATAN DAN BANDING
Sesuai ketentuan Pasal 18 Perda BPHTB, atas permohonan wajib pajak
atau karena jabatannya,Walikota atau Pejabat yang berwenang dalam perpajakan
daerah dapat membetulkan SKPDKB, SKPDKBT ,STPD,SKPDN, atau SKPDLB
yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, dan/atau kesalahan hitung,
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-
undangan. perpajakan daerah.
Terkait hal tersebut diatas, Walikota atau pejabat tersebut dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa
bunga,denda,kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah dalam hal sanksi tersebut dikenakan bukan
karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SKPDKB,SKPDKBT,STPD,SKPDN atau
SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau
diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar wajib pajak atau kondisi tertentu obyek pajak.
Dalam hal merasa keberatan, Pasal 19 Perda BPHTB memberikan fasilitas
kepada Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau
Pejabat atas :
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT;
c. SKPDLB;
d. SKPDN; dan
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Keberatan tersebut diajukan dengan ketentuan sebagai berikut :
14
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan-alasan yang
jelas;
b. harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat-surat tersebut diatas, tanggal Pemotongan atau pemungutan, kecuali jika
wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan diluar kekuasaannya;
c. keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak;
d. keberatan yang tidak memenuhi persyaratan diatas tidak dianggap sebagai
Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
Selanjutnya dalam Pasal 20 Perda BPHTB ditentukan bahwa walikota
dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang. Apabila jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota tidak
memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Namun jika Wajib Pajak belum dapat menerima keputusan walikota atas
permohonan keberatannya, Pasal 21 Perda BPHTB memberikan fasilitas bagi
Wajib Pajak untuk dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Pengadilan Pajak dengan ketentuan :
a. Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dan dilampiri salinan dari keputusan
keberatan tersebut.
b. Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Selanjutnya jika pengajuan keberatan atau permohonan banding
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung sejak bulan pelunasan sampai
15
dengan diterbitkannya SKPDLB. Sebaliknya, jika keberatan Wajib Pajak ditolak
atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan. Namun, dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding,
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) tersebut diatas
tidak dikenakan.
Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.Sistem self assessment
digunakan sebagai dasar pemungutan BPHTB, dimana Wajib Pajak membayar
BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan
pajak.
II.9. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Apabila Wajib Pajak ternyata melakukan pembayaran BPHTB melebihi
jumlah BPHTB terutang, maka sesuai ketentuan Pasal 23 Perda BPHTB ia dapat
mengajukan permohonan pengembalian kepada Walikota. Kemudian Walikota
harus memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama `12 (duabelas)
bulan, sejak diterimanya permohonan pengembaliian kelebihan pembayaran
pajak. Jika jangka waktu tersebut dilampaui dan Walikota tidak mernberikan
suatu keputusan maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dianggap dikabulkan dan SKPDLB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar)
harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.
Pengembalian kelebihan bayar pajak BPHTB tersebut dapat dilakukan
dengan melakukan pembayaran sejumlah uang sebesar kelebihan bayar pajak atau
langsung memperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak lainnya
yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Sedangkan waktu pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana adalah dilakukan dalam jangka waktu paling lama
2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB. Jika pengembalian kelebihan
16
pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya
SKPDLB, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga
sebesar 2 % (Dua Persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan
pajak.
II.10. KEDALUWARSA PENAGIHAN
Berdasarkan Pasal 25 Perda BPHTB, Hak untuk melakukan penagihan
pajak kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
saat terutangnya Pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah, menjadi tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa, dimana kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat paksa tersebut.
b. ada pengakuan utang pajak dari wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung apabila wajib pajak dengan kesadarannya
menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada
Pemerintah Daerah. Secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan
permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan
oleh Wajib Pajak.
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan dengan menetapkan
Keputusan Walikota mengenai Penghapusan Piutang Pajak yang sudah
kedaluwarsa dengan tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa
diatur dengan Peraturan Walikota.
II.11. PEMERIKSAAN, PENGAWASAN DAN SANKSI
Dalam ketentuan Pasal 27 Perda BPHTB, Walikota diberikan kewenangan
melakukan pemeriksaan Pajak BPHTB untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah yang pemeriksaannya dilakukan oleh Tim pemeriksa
yang dibentuk berdasarkan keputusan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.
17
Untuk keperluan pemeriksaan, Wajib pajak diwajibkan :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak
yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap
perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan, dan/atau;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
Untuk keperluan pengawasan, beberapa pejabat yang terkait dengan
pemberian hak atas tanah/bangunan diikat dengan ketentuan dalam Pasal 28 yaitu:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah / Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak.
2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak.
3. Kepala Kantor Bidang Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak
atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Selain itu, Pejabat Pembuat Akta Tanah/ Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara, berdasarkan Pasal 29, diharuskan
melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan kepada Walikota paling lama pada tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya.
Apabila pejabat-pejabat tersebut diatas melalaikan atau tidak
melaksanakan ketentuan tersebut diatas maka dikenakan sanksi, berdasarkan Pasal
30, yaitu :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah dan kepala kantor lelang Negara yang
membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan dalam
penandatanganan akta/risalah dikenakan sanksi administratif berupa denda
18
sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap
pelanggaran.
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah dan kepala kantor lelang Negara yang
membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan dalam
pelaporan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
3. Kepala Kantor Pertanahan yang melanggar ketentuan dalam pendaftaran Hak
atas tanah atau pendaftara peralihan hak atas tanah dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
19
BAB III
PENUTUP
III.1. SIMPULAN
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa serta memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar
sebagai tempat tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat
menguntungkan bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi,
bangunan dapat memberi manfaat ekonomi karena dianggap memberikan
tambahan kemampuan ekonomis bagi pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi
mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian
nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang
dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
BPHTB dipungut dan ditagih berdasarkan peraturan perundang-undangan,
sebagaimana amanat UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 23A, dimana
BPHTB diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, yang kemudian untuk masing-masing pemerintah daerah mengatur
sendiri dalam Peraturan Daerah sebagai hasil kesepakatan Pemerintah Daerah
dengan Rakyat Daerah yang diwakili oleh DPRD-nya.