RESUME PERATURAN DAERAH TTG BPHTB KOTA SEMARANG

21
i DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 I.1. LATAR BELAKANG................................................................................ 1 I.2. BATASAN PERMASALAHAN ................................................................ 3 I.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN .................................................. 3 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4 II.1. PENGERTIAN ......................................................................................... 4 II.2. DASAR HUKUM ..................................................................................... 5 II.3. OBJEK PAJAK ........................................................................................ 5 II.4. SUBYEK PAJAK ..................................................................................... 7 II.5. DASAR PENGENAAN PAJAK, TARIF PAJAK DAN PERHITUNGAN PAJAK SERTA SAAT TERUTANGNYA PAJAK.......................................... 8 II.5.1. Dasar Pengenaan ................................................................................ 8 II.5.2 Tarif Pajak dan Cara Perhitungan ........................................................ 9 II.5.3. Saat Pajak Terutang ............................................................................ 9 II.6. SURAT SETORAN PAJAK DAERAH DAN TATA CARA PENETAPAN PAJAK ................................................................................... 10 II.7. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN ............................. 12 II.8. PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN, DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI, SERTA KEBERATAN DAN BANDING ......................... 13 II.9. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK ................. 15 II.10. KEDALUWARSA PENAGIHAN ........................................................ 16 II.11. PEMERIKSAAN, PENGAWASAN DAN SANKSI ............................. 16 BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19 III.1. SIMPULAN .......................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20

Transcript of RESUME PERATURAN DAERAH TTG BPHTB KOTA SEMARANG

i

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

I.1. LATAR BELAKANG ................................................................................ 1

I.2. BATASAN PERMASALAHAN ................................................................ 3

I.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN .................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4

II.1. PENGERTIAN ......................................................................................... 4

II.2. DASAR HUKUM ..................................................................................... 5

II.3. OBJEK PAJAK ........................................................................................ 5

II.4. SUBYEK PAJAK ..................................................................................... 7

II.5. DASAR PENGENAAN PAJAK, TARIF PAJAK DAN PERHITUNGAN

PAJAK SERTA SAAT TERUTANGNYA PAJAK .......................................... 8

II.5.1. Dasar Pengenaan ................................................................................ 8

II.5.2 Tarif Pajak dan Cara Perhitungan ........................................................ 9

II.5.3. Saat Pajak Terutang ............................................................................ 9

II.6. SURAT SETORAN PAJAK DAERAH DAN TATA CARA

PENETAPAN PAJAK ................................................................................... 10

II.7. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN ............................. 12

II.8. PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN,

DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI

ADMINISTRASI, SERTA KEBERATAN DAN BANDING ......................... 13

II.9. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK ................. 15

II.10. KEDALUWARSA PENAGIHAN ........................................................ 16

II.11. PEMERIKSAAN, PENGAWASAN DAN SANKSI ............................. 16

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19

III.1. SIMPULAN .......................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 telah menyebutkan“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.” Bumi, air dan kekayaan alam Indonesia merupakan karunia

Tuhan Yang Maha Esa kepada Rakyat Indonesia. Agar pemanfaatannya dapat

memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat bukan hanya segelintir golongan

tertentu, Negara memiliki wewenang mengatur penggunaannya demi

kemakmuran rakyat.

Kepada masyarakat yang hendak memanfaatkan bumi (tanah) baik sebagai

tempat tinggal maupun untuk berusaha mendapatkan pencahariannya, Negara

memberikan kepadanya beberapa jenis hak atas tanah. Namun untuk masyarakat

yang memperoleh hak atas tanah dari negara ini diwajibkan memberikan sebagian

nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara sebagai imbalnya dan bentuk

partisipasinya dalam pembangunan bangsa dalam bentuk perpajakan. Salah satu

wujud dari hal tersebut adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB).

Sebelum adanya istilah BPHTB, wujud pajak yang serupa pada masa

sebelum Undang-Undang BPHTB (Undang Undang No. 21 Tahun 1997) adalah

Bea Balik Nama yang diatur dengan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924

No. 291. Bea tersebut dikenakan terhadap setiap perjanjian pemindahan hak atas

harta tetap. Harta tetap dalam ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan

hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan

pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi

Balik Nama Staatsblad 1834 No. 27.

2

Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sekarang biasa disebut Undang-

undang Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang dimaksud diatas tidak berlaku

lagi, karena semua sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-

undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak

diundangkannya Undang-undang tentang Undang-undang tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah

tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas tanah

pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik

Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku.

Kemudian dalam rangka tax reform untuk meningkatkan penerimaan

perpajakan dan menyediakan payung hukum demi kepastian hukum, maka perlu

diatur diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan

dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang diatur

dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan

Undang-Undang No.20 Tahun 2000.

Seiring dengan dinamika administrasi pemerintahan dari sentralisasi

menuju desentralisasi dengan adanya Otonomi Daerah, serta untuk meningkatkan

kemampuan daerah dalam pembiayaan kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahannya, maka BPHTB kemudian dijadikan sebagai salah satu

komponen Pajak Daerah dengan dikeluarkannya Undang – undang No. 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Selanjutnya masing-masing pemerintah daerah diberikan kewenangan

mengatur sendiri pemungutan BPHTB dan diwajibkan pengaturannya melalui

Peraturan Daerah. Selanjutnya bagaimana wujud pengaturan BPHTB dalam

peraturan daerah ini? Pada bagian tulisan selanjutnya penulis akan mengangkat

pembahasan salah satu peraturan daerah mengenai BPHTB yaitu Peraturan

Daerah Kota Semarang No.2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB).

3

I.2. BATASAN PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang diatas serta untuk mengetahui lebih

detail pengaturan BPHTB dalam Peraturan Daerah, maka penulis mencoba

membatasi permasalahan yang hendak dibahas pada bagian tulisan selanjutnya

adalah bagaimana pengaturan BPHTB dalam Peraturan Daerah Kota Semarang

No.2 Tahun 2011.

I.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN

Maksud dan tujuan dari dibuatnya makalah ini, selain untuk memenuhi

tugas mata kuliah Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara, juga untuk

menambah pengetahuan dan wawasan penulis serta pembaca dalam memahami

lebih lanjut mengenai pengaturan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB).

19

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. PENGERTIAN

Masyarakat yang hendak memanfaatkan tanah dan bangunan yang

didirikan diatasnya berdasarkan UUPA ( UU No. 5 tahun 1960) diharuskan

memiliki alas hak yang jelas terhadap pemanfaatan tanah dan bangunan tersebut.

Oleh karena itu negara memberikan dan menyediakan berbagai jenis Hak atas

tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan

sebagainya. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan

beserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah

Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk mendapatkan

hak atas tanah tersebut dapat dilakukan dengan upaya hukum berupa pemindahan

hak (seperti contohnya jual-beli, tukar menukar, hibah, waris dan sebagainya) atau

permohonan hak baru kepada pemerintah/negara terhadap tanah negara (sebagai

kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak). Upaya hukum tersebut

disebut sebagai Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam Pasal 1 angka

10 Perda Kota Semarang No.2 tahun 2011 tentang BPHTB, Perolehan hak atas

tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang

mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau

badan.

Dalam upaya memperoleh hak atas tanah tersebut, apabila telah berhasil

memperoleh hak, maka negara mewajibkan pihak yang mendapatkan hak atas

tanah dan/atau bangunan tersebut membayar sejumlah uang yang ditetapkan

sebagai pajak yang disebut dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dalam Pasal 1 agka 9 Perda Kota Semarang No.2 tahun 2011 tentang BPHTB,

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB

adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

5

II.2. DASAR HUKUM

Sebelum BPHTB diberlakukan sebagai Pajak Daerah (sebelum 1 Januari

2011) dan sebelum adanya Undang-Undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB diatur dalam berberapa peraturan

perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-Undang No. 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No.20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, yang menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924

No.921;

2. Peraturan Pemerintah No. 111 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena

Waris dan Hibah;

3. Peraturan Pemerintah No. 112 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena

Pemberian Hak Pengelolaan; dan

4. Peraturan Pemerintah No. 113 tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya

NPOPTKP BPHTB.

Kemudian dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, dan BPHTB dilimpahkan dari sebelumnya Pajak Pusat menjadi

Pajak Daerah yang mulai efektif pengelolaannya menjadi kewenangan daerah

pada mulai tanggal 1 januari 2011. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kota

Semarang bersama DPRD-nya mengeluarkan Peraturan Daerah No.2 tahun 2011

tentang BPHTB sebagai payung hukum pengenaan BPHTB di wilayah Kota

Semarang yang selanjutnya penulis sebut sebagai Perda BPHTB.

II.3. OBJEK PAJAK

Dalam Pasal 3 Perda BPHTB Objek BPHTB adalah perolehan hak atas

tanah dan atau bangunan yang meliputi:

a. Pemindahan Hak karena:

1) Jual beli;

6

2) Tukar-menukar;

3) Hibah;

4) Hibah wasiat;

5) Waris;

6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8) Penunjukan pembeli dalam lelang;

9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10) Penggabungan usaha;

11) Peleburan usaha;

12) Pemekaran usaha; atau

13) Hadiah.

b. Pemberian hak baru karena:

1) Kelanjutan pelepasan hak; atau

2) Di luar pelepasan hak.

Sedangkan Hak atas Tanah yang dimaksud yang perolehannya menjadi

Objek BPHTB dimaksud adalah berupa :

a. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh

Pemerintah;

b. Hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh

perundang-undangan yang berlaku;

c. Hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka

waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

d. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah

yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang

memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

7

perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa

atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan

dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat

perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga

hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang

bersangkutan.

f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain,

berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah

untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah

tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Dalam Pasal 3 ayat (4) disebutkan beberapa objek pajak yang tidak

dikenakan BPHTB, yaitu Objek pajak yang diperoleh :

a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan

pembangunan guna kepentingan umum;

c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi

tersebut;

d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum

lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. orang pribadi atau badan karena wakaf;

f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

II.4 SUBYEK PAJAK

Dalam Pasal 4 Perda BPHTB disebutkan bahwa subyek pajak BPHTB

adalah orang pribadi atau Badan, sedangkan Wajib Pajak BPHTB adalah orang

8

pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang

memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

II.5. DASAR PENGENAAN PAJAK, TARIF PAJAK DAN PERHITUNGAN

PAJAK SERTA SAAT TERUTANGNYA PAJAK

II.5.1. Dasar Pengenaan

Sesuai ketentuan Pasal 5 Perda BPHTB, dasar pengenaan BPHTB adalah

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu ditentukan sebesar :

a. Jual beli adalah harga transaksi;

b. Tukar-menukar adalah nilai pasar;

c. Hibah adalah nilai pasar;

d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;

e. Waris adalah nilai pasar;

f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;

g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;

h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap adalah nilai pasar;

i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah

nilai pasar;

j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;

k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;

l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;

m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar;

n. Hadiah adalah nilai pasar;

o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum

dalam risalah lelang.

Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual

Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya

perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB. Dalam hal

NJOP Pajak Bumi dan Bangunan belum ditetapkan pada saat terutangnya pajak,

9

NJOP Pajak Bumi dan Bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP

PBB yang bersifat sementara dan dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak atau

Instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Dalam perhitungan BPHTB, terdapat pengurang NPOP yaitu Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan

untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang.

NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk

setiap Wajib Pajak, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah

wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam

garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan

pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp300.000.000,-

(tiga ratus juta rupiah).

II.5.2 Tarif Pajak dan Cara Perhitungan

Berdasarkan Pasal 6 Perda BPHTB, Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan adalah 5% (lima persen), dengan cara perhitungan pajak BPHTB

sebagai berikut :

II.5.3. Saat Pajak Terutang

Saat terutangnya pajak BPHTB, berdasarkan Pasal 10 Perda BPHTB,

ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut yaitu untuk :

a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

BPHTB terutang = Tarif x NPOP Kena Pajak

= 5% x (NPOP – NPOPTKP)

10

e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya

ke kantor bidang pertanahan;

f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya akta;

g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta;

h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum yang tetap;

i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah

sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya

surat keputusan pemberian hak;

k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan

o. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

Dan Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak

sebagaimana ketentuan tersebut diatas.

II.6. SURAT SETORAN PAJAK DAERAH DAN TATA CARA

PENETAPAN PAJAK

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Perda BPHTB, Setiap wajib pajak, wajib

mengisi SSPD-BPHTB (Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Tanah dan

Bangunan) yang memiliki fungsi juga sebagai STPD. SSPD-BPHTB sebagaimana

wajib diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak

atau kuasanya serta disampaikan kepada pejabat yang berwenang.

Dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun sesudah saat terutangnya pajak,

Kepala Daerah dapat menerbitkan :

a. SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) dalam hal :

11

1. Jika berdasarkan hasil pemeriksaaan atau keterangan lain,pajak yang

terutang tidak atau kurang dibayar;

2. Jika SSPD BPHTB tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam

jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan

pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;

3. Jika kewajiban mengisi SSPD BPHTB tidak dipenuhi, pajak yang terutang

dihitung secara jabatan.

b. SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) jika

ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang

menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

c. SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil) jika jumlah pajak yang terutang

sama besarnya dengan jumlah kredit pajak tidak terutang dan tidak ada kredit

pajak.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana

dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif

berupa denda sebesar 2 % (dua persen) sebelum dihitung dari pajak yang kurang

atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)

bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Namun denda ini tidak dikenakan jika

wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan

Sedangkan jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT

sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenakan sanksi administratif berupa

kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

Adapun untuk jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana

dimaksud pada huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan

sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi

administratif berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan dihitung dari pajak

yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh

empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Selanjutnya dalam Pasal 13 Perda BPHTB disebutkan bahwa Walikota

dapat menerbitkan STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah) jika :

a. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar;

12

b. Dari hasil penelitian SSPD BPHTB terdapat kekurangan pembayaran sebagai

akibat salah tulis dan/atau salah hitung;

c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana

dimaksud pada huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa

bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas)

bulan sejak saat terutangnya pajak. Kemudian, untuk SKPDKB dan SKPDKBT

yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi

administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih sebulan

dan ditagih melalui STPD.

II.7. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

Dalam Pasal 16 ayat (1) Perda BPHTB, pembayaran BPHTB dilakukan

oleh Wajib Pajak di kas daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Walikota.

Pembayaran pajak tersebut dilakukan dalam jangka waktu sebelum tanggal jatuh

tempo yang ditentukan oleh Walikota atau Pejabat yang diberikan wewenang

dalam bidang perpajakan daerah. Sedangkan untuk SKPDKB, SKPDKBT, STPD,

Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding

yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah dan merupakan

dasar penagihan pajak, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)

bulan sejak tanggal diterbitkan.

Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran pajak BPHTB dengan

mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan dikenakan bunga 2 % (dua

persen) perbulan setelah mengajukan permohonan dan persyaratan yang

mendapatkan persetujuan dari Walikota.

Pajak yang terutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat

Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang

tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan

Surat Paksa yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Setelah melakukan pembayaran, kepada wajib pajak diberikan tanda bukti

pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan.

13

II.8. PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN,

DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI

ADMINISTRASI, SERTA KEBERATAN DAN BANDING

Sesuai ketentuan Pasal 18 Perda BPHTB, atas permohonan wajib pajak

atau karena jabatannya,Walikota atau Pejabat yang berwenang dalam perpajakan

daerah dapat membetulkan SKPDKB, SKPDKBT ,STPD,SKPDN, atau SKPDLB

yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, dan/atau kesalahan hitung,

dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-

undangan. perpajakan daerah.

Terkait hal tersebut diatas, Walikota atau pejabat tersebut dapat :

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa

bunga,denda,kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-

undangan perpajakan daerah dalam hal sanksi tersebut dikenakan bukan

karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan SKPDKB,SKPDKBT,STPD,SKPDN atau

SKPDLB yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan STPD;

d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau

diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan

e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan

kemampuan membayar wajib pajak atau kondisi tertentu obyek pajak.

Dalam hal merasa keberatan, Pasal 19 Perda BPHTB memberikan fasilitas

kepada Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau

Pejabat atas :

a. SKPDKB;

b. SKPDKBT;

c. SKPDLB;

d. SKPDN; dan

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

Keberatan tersebut diajukan dengan ketentuan sebagai berikut :

14

a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan-alasan yang

jelas;

b. harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal

surat-surat tersebut diatas, tanggal Pemotongan atau pemungutan, kecuali jika

wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi

karena keadaan diluar kekuasaannya;

c. keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit

sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak;

d. keberatan yang tidak memenuhi persyaratan diatas tidak dianggap sebagai

Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

Selanjutnya dalam Pasal 20 Perda BPHTB ditentukan bahwa walikota

dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat

Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau

sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang. Apabila jangka

waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota tidak

memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Namun jika Wajib Pajak belum dapat menerima keputusan walikota atas

permohonan keberatannya, Pasal 21 Perda BPHTB memberikan fasilitas bagi

Wajib Pajak untuk dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada

Pengadilan Pajak dengan ketentuan :

a. Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara

tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu

3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dan dilampiri salinan dari keputusan

keberatan tersebut.

b. Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak

sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Selanjutnya jika pengajuan keberatan atau permohonan banding

dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan

dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling

lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung sejak bulan pelunasan sampai

15

dengan diterbitkannya SKPDLB. Sebaliknya, jika keberatan Wajib Pajak ditolak

atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda

sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan

keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan

keberatan. Namun, dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding,

sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) tersebut diatas

tidak dikenakan.

Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak

dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari

jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak

yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.Sistem self assessment

digunakan sebagai dasar pemungutan BPHTB, dimana Wajib Pajak membayar

BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan

pajak.

II.9. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Apabila Wajib Pajak ternyata melakukan pembayaran BPHTB melebihi

jumlah BPHTB terutang, maka sesuai ketentuan Pasal 23 Perda BPHTB ia dapat

mengajukan permohonan pengembalian kepada Walikota. Kemudian Walikota

harus memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama `12 (duabelas)

bulan, sejak diterimanya permohonan pengembaliian kelebihan pembayaran

pajak. Jika jangka waktu tersebut dilampaui dan Walikota tidak mernberikan

suatu keputusan maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak

dianggap dikabulkan dan SKPDLB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar)

harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.

Pengembalian kelebihan bayar pajak BPHTB tersebut dapat dilakukan

dengan melakukan pembayaran sejumlah uang sebesar kelebihan bayar pajak atau

langsung memperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak lainnya

yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Sedangkan waktu pengembalian kelebihan

pembayaran pajak sebagaimana adalah dilakukan dalam jangka waktu paling lama

2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB. Jika pengembalian kelebihan

16

pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya

SKPDLB, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga

sebesar 2 % (Dua Persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan

pajak.

II.10. KEDALUWARSA PENAGIHAN

Berdasarkan Pasal 25 Perda BPHTB, Hak untuk melakukan penagihan

pajak kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak

saat terutangnya Pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana di

bidang perpajakan daerah, menjadi tertangguh apabila:

a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa, dimana kedaluwarsa

penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat paksa tersebut.

b. ada pengakuan utang pajak dari wajib Pajak baik langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung apabila wajib pajak dengan kesadarannya

menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada

Pemerintah Daerah. Secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan

permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan

oleh Wajib Pajak.

Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk

melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan dengan menetapkan

Keputusan Walikota mengenai Penghapusan Piutang Pajak yang sudah

kedaluwarsa dengan tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa

diatur dengan Peraturan Walikota.

II.11. PEMERIKSAAN, PENGAWASAN DAN SANKSI

Dalam ketentuan Pasal 27 Perda BPHTB, Walikota diberikan kewenangan

melakukan pemeriksaan Pajak BPHTB untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-

undangan perpajakan daerah yang pemeriksaannya dilakukan oleh Tim pemeriksa

yang dibentuk berdasarkan keputusan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

17

Untuk keperluan pemeriksaan, Wajib pajak diwajibkan :

a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang

menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak

yang terutang;

b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap

perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan, dan/atau;

c. memberikan keterangan yang diperlukan.

Untuk keperluan pengawasan, beberapa pejabat yang terkait dengan

pemberian hak atas tanah/bangunan diikat dengan ketentuan dalam Pasal 28 yaitu:

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah / Notaris hanya dapat menandatangani akta

pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak

menyerahkan bukti pembayaran pajak.

2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang Perolehan

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti

pembayaran pajak.

3. Kepala Kantor Bidang Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak

atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak

menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Selain itu, Pejabat Pembuat Akta Tanah/ Notaris dan kepala kantor yang

membidangi pelayanan lelang negara, berdasarkan Pasal 29, diharuskan

melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan kepada Walikota paling lama pada tanggal 10 (sepuluh) bulan

berikutnya.

Apabila pejabat-pejabat tersebut diatas melalaikan atau tidak

melaksanakan ketentuan tersebut diatas maka dikenakan sanksi, berdasarkan Pasal

30, yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah dan kepala kantor lelang Negara yang

membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan dalam

penandatanganan akta/risalah dikenakan sanksi administratif berupa denda

18

sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap

pelanggaran.

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah dan kepala kantor lelang Negara yang

membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan dalam

pelaporan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 250.000,00

(dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

3. Kepala Kantor Pertanahan yang melanggar ketentuan dalam pendaftaran Hak

atas tanah atau pendaftara peralihan hak atas tanah dikenakan sanksi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

19

BAB III

PENUTUP

III.1. SIMPULAN

Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang

Maha Esa serta memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar

sebagai tempat tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat

menguntungkan bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi,

bangunan dapat memberi manfaat ekonomi karena dianggap memberikan

tambahan kemampuan ekonomis bagi pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi

mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian

nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang

dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

BPHTB dipungut dan ditagih berdasarkan peraturan perundang-undangan,

sebagaimana amanat UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 23A, dimana

BPHTB diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, yang kemudian untuk masing-masing pemerintah daerah mengatur

sendiri dalam Peraturan Daerah sebagai hasil kesepakatan Pemerintah Daerah

dengan Rakyat Daerah yang diwakili oleh DPRD-nya.

20

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013)

Peraturan Daerah Kota Semarang No.2 tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan