PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

140
1 PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA DIDIK TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE) DI INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI (Kajian di IPDG UGM, UMY dan Usakti) Oleh Marta Juslily 14417008 TESIS DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI PERSYARATAN GUNA MEMPEROLEH GELAR MAGISTER ILMU KEDOKTERAN GIGI PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

Transcript of PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

1

PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA DIDIK

TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE) DI

INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI

(Kajian di IPDG UGM, UMY dan Usakti)

Oleh

Marta Juslily

14417008

TESIS

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI

PERSYARATAN GUNA MEMPEROLEH GELAR

MAGISTER ILMU KEDOKTERAN GIGI

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

2

UNIVERSITAS TRISAKTI

2019

PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA DIDIK

TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)

DI INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI

(Kajian di IPDG UGM, UMY dan Usakti)

Tesis ini telah diuji tanggal : 13 Agustus 2019

Tim Penguji :

Ketua,

(Prof. Dr. drg. E. Arlia Budiyanti, SU, SpKGA)

Anggota,

(Prof. drg. Rahmi Amtha, MDS, SpPM, PhD) (Dr. drg. Yohana Yusra., M.Kes)

3

(Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti., MKes)

PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA DIDIK

TENTANG INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)

DI INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI

(KAJIAN PADA FKG Usakti, FKG UGM, PRODI KG FKIK UMY)

Tesis ini telah diperiksa dan disetujui,

8 Agustus 2019

Pembimbing Utama Pembimbing I

(Prof. DR. drg. Tri Erri Astoeti., MKes) (Dr. dr. Adang Bachtiar., Msc)

4

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Allah Yang Maha Pengasih dan

Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tesis penelitian dengan judul “ Pengetahuan dan sikap peserta didik

tentang interprofesional education (IPE) di institusi pendidikan kedokteran gigi

(IPDG)”. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan pendidikan Program

Magister Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.

Penyusunan tesis ini dapat terlaksana berkat bantuan dan dorongan dari

berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti, MKes selaku Pembimbing sekaligus Dekan

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.

2. Dr. Adang Bachtiar, MPH., DSc selaku Pembimbing ke dua

3. Dr. drg. Ella Nurlaella Hadi., Mkes selaku narasumber untuk materi Focus

Group Discussion (FGD)

4. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio(K) selaku Dekan FKG Universitas

Gajahmada

5. drg. Tetiana Haniastuti, MKes., PhD selaku Wakil Dekan I FKG

Universitas GajahMada

6. DR. drg. Erlina Sih Mahanani, M.Kes selaku Ka Prodi Kedokteran Gigi

FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

7. drg. Indri Kurniasih., MedEd selaku Ka UP2KG FKIK Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

8. drg. Erma Sofiani, Sp.KG. selaku Kaprodi Pendidikan Profesi Dokter Gigi

FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

9. Prof. Dr. drg. Arlia E. Budiyanti., SU., SpKGA selaku ketua penguji

10. Dr. drg. Rahmi Amtha., MDS, SpPM selaku Penguji

5

11. Dr. drg. Yohana Yusra., MKes selaku Penguji

12. Prof. Dr. drg. Boedi Oetomo Roeslan selaku Ketua Program Magister Ilmu

kedokteran Gigi sekaligus pengajar mata kuliah metodologi riset.

13. Para dosen MIKG yang telah membimbing penulis dan memberi arahan

dengan penyusunan tesis ini.

14. Para sahabat-sahabat di bagian IKGMP FKG Usakti khususnya Drg.

Widijanto, Lia, Ilod yang sudah membantu penelitian ini, teman-teman

lainnya yang selalu mendukung dan menyemangati; Mbak Sri, Mita, Rati,

Tere, Goi, Bu Saras dan Lil’ Diandra.

15. Teman-teman seperjuangan Linda, Ani, Annisa, Shelly, Silvy, Domi, dan

Ibnu. Terimakasih untuk dukungan dan semangatnya.

16. Sahabat-sahabatku RSGM yang selalu memberikan semangat dan bantuan.

17. Suamiku Mas Adit dan anak-anakku tercinta Kitto, Khara dan Kay yang

selalu mendoakan dan sudah mendukung dalam segala hal sampai

terselesaikannya tesis penelitian ini.

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

berkenan membantu dalam penyelesaian proposal ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalas semua kebaikan dan

melimpahkan berkat dan rahmatNya kepada semua pihak yang membantu dan terlibat.

Seperti pepatah tak ada gading yang tak retak, penulis masih banyak

kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan tesis penelitian ini, kritik dan

saran yang sifatnya membangun dan dapat memperkaya serta menyempurnakan

proposal sangat penulis harapkan. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita

semua dan khususnya bagi pengembangan

Jakarta, Agustus 2019

Penulis

6

ABSTRAK

Latar Belakang : Interprofesional Education (IPE) merupakan suatu konsep

pendidikan terintegrasi untuk meningkatkan kemampuan kolaboratif tenaga kesehatan

sejak dini melalui pembelajaran bersama secara multiprofesi.13 Implementasi IPE di

institusi pendidikan kedokteran gigi (IPDG) belum dilakukan di seluruh institusi

pendidikan kedokteran gigi yang ada di Indonesia. Untuk membentuk perilaku praktik

kolaboratif lulusan dokter gigi dan guna menunjang pelayanan berkualitas di fasilitas

pelayanan kesehatan maka IPE perlu diimplementasikan di seluruh IPDG. Tujuan :

untuk mengetahui adanya perbedaan pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap

implementasi IPE di IPDG yang telah dan belum mengimplementasikan. Metode

Penelitian : Desain penelitian observasional deskriptif analitik dengan rancangan

potong lintang (cross sectional). Instrumen pengukuran pengetahuan menggunakan

kuesioner yang dirancang, dan pengukuran sikap menggunakan kuesioner

Interprofesional attitude scale (IPAS). Jumlah total sampel 249 mahasiswa dari 3

IPDG yaitu UGM (90), UMY (76) dan Usakti (83). Pengambilan sampel secara

purposive sampling. Kesimpulan : Pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di

IPDG Usakti, UMY dan UGM yang telah mengimplementasikan dan yang belum

mengimplementasikan terdapat perbedaan namun tidak bermakna.

Kata kunci : IPE, IPDG

7

ABSTRACT

Background: Interprofessional Education (IPE) is an integrated learning concept to

improve the collaborative ability of health workers through multiprofessional learning

together.13 IPE in dental education institution (DEI) has not been implemented in all

dental education institutions in Indonesia. To form collaborative practice of dental

graduates and to support quality services in health care facilities, IPE needs to be

implemented throughout the DEI. Objective: research to find out the differences in

knowledge and attitudes of students towards the implementation of IPE in DEI that has

and has not yet been implemented. Research Method: Descriptive analytic

observational research design with cross sectional design. The instrument for

measuring knowledge uses a self-designed questionnaire. For attitude measurement

uses the Interprofessional attitude scale (IPAS) questionnaire. The total sample of 249

students from 3 DEI, are UGM (90), UMY (76) and Usakti (83). Sampling by

purposive sampling. Conclusion: Knowledge and attitudes of students towards IPE in

DEI UMY that have implemented and those that have not implemented which are DEI

UGM and Usakti, there are differences but are not significant.

Key word: IPE, DEI

8

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………. ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… iii

DAFTAR ISI …………………………….………………………………………….. v

ABSTRAK ………………...………………………………………………………. vii

ABSTRACT ……………………...………………………………………………... viii

DAFTAR SINGKATAN .…………………………………………………………... ix

DAFTAR TABEL ………………………………………………...………………… x

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………. xii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………… xiii

BAB I PENDAHULUAN …………………………..……………………………… 1

A. Latar Belakang ……………………………………...…………………… 1

B. Rumusan Masalah ………………………………..……………………… 5

C. Tujuan Penelitian …………………………………..……………………. 5

D. Manfaat Penelitian ………………………………….…………………… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………..………………….. 7

A. Pengetahuan dan Sikap ……………………………….………………… . 7

B. Interprofessional Education …………………………………………….. 9

C. Konsep IPE di Pendidikan kedokteran gigi ...………….………….……. 13

D. Alat Ukur Pengetahuan dan Sikap terhadap IPE ……………………….. 14

BAB III KERANGKA TEORI, KONSEP DAN HIPOTESIS …….……………… 15

A. Kerangka Teori ………………………………………….……………... 16

B. Kerangka Konsep ……………………………………….……………… 17

C. Hipotesis ………………………………………………..………………. 17

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN …………………………..……………… 18

A. Jenis dan Rancangan penelitian …………………………..……………. 18

B. Tempat dan waktu penelitian ……………………………..……………. 18

C. Populasi dan Sampel …………………………………..…..…………… 18

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ………………………………....………... 18

E. Variabel dan definisi operasional ……..………………..……..………. 18

9

F. Metode Pengumpulan Data ……………………….…………….……… 19

G. Definisi Operasional …………………………………………………….19

H. Alat dan bahan yang digunakan ………….…………………………..… 21

I. Cara pengambilan data penelitian ……………………………………... 22

J. Analisis Data …………………………………………………………… 22

K. Rencana Pelaksanaan …………………………………………………... 22

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Hasil penelitian kuantitatif ……………………………………………... 44

B. Hasil penelitian kualitatif ………………………………………………. 51

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Data Penelitian Kuantitatif ………………………….………………… 33

B. Data Penelitian Kualitatif ……………………………………………... 51

BAB VI PEMBAHASAN ………………………………………………………… 82

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 91

SUMMARY ……………………………………………………………………… 92

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 96

Lampiran …………………………………………………………………………. 124

10

DAFTAR SINGKATAN

IPE : Interprofessional Education

IPC : Interprofessional Collaboration

WHO :World Health Organization

CP : Collaborative practice

IPL : Interprofesional learning

PPA : profesional pemberi asuhan

RSGM : rumah sakit gigi dan mulut

IPDG : institusi pendidikan kedokteran gigi

UI : Universitas Indonesia

UGM : Universitas Gadjah Mada,

UMY : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

UNPAD : Universitas Padjajaran

UII : Universitas Islam Indonesia

CAIPE : Centre for the Advancement of Interprofessional Education

RIPLS : Readiness Interprofessional Learning Scale

IEPS : Interdiciplinary Education Perception Scale

IPAS : The Interprofessional Attitudes Scale

IPDG : Institusi Pendidikan Dokter Gigi

Usakti : Universitas Trisakti

FKG : Fakultas Kedokteran Gigi

RS : Rumah Sakit

11

DAFTAR SINGKATAN

IPE : Interprofessional Education

IPC : Interprofessional Collaboration

WHO :World Health Organization

CP : Collaborative practice

IPL : Interprofesional learning

PPA : profesional pemberi asuhan

RSGM : rumah sakit gigi dan mulut

IPDG : institusi pendidikan kedokteran gigi

UI : Universitas Indonesia

UGM : Universitas Gadjah Mada,

UMY : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

UNPAD : Universitas Padjajaran

UII : Universitas Islam Indonesia

CAIPE : Centre for the Advancement of Interprofessional Education

RIPLS : Readiness Interprofessional Learning Scale

IEPS : Interdiciplinary Education Perception Scale

IPAS : The Interprofessional Attitudes Scale

IPDG : Institusi Pendidikan Dokter Gigi

Usakti : Universitas Trisakti

FKG : Fakultas Kedokteran Gigi

RS : Rumah Sakit

12

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Proses pembentukan sikap ……………………………………….. 9

Gambar 2. 2 Praktik Kolaboratif (Collaboratif practice) …………………………..16

Gambar 6.1 Karakteristik asal responden berdasarkan universitas ……………. 82

Gambar 6.2 Karakteristik Responden berdasarkan tingkat semester ……………83

13

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Readiness for Interprofessional Learning Scale (RIPLS) ……….………. 19

Tabel 2.2 Interprofessional Education Perception Scale (IEPS) versi asli Luecht

R, et al (1990) …………………………………….………………........... 22

Tabel 2.3. The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS) …………………………… 23

Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel …………………………………………… 30

Tabel 4.2 Rencana Pelaksanaan …………………………………………….............. 33

Tabel 5.1 Data Karakteristik Responden …………………………………………... 34

Tabel 5.2 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk seluruh ………….....

Universitas …………………………………………………………...… 35

Tabel 5.3 Nilai total rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE berdasarkan …………

universitas ………………………………………………………….……. 35

Tabel 5.4 Uji Statistik tes Kruskall – Wallis sikap mahasiswa terhadap IPE ..….... 36

Tabel 5.5 Nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subkala 1 kerjasama tim, peran dan

tanggungjawab ………………………………………………………..… 36

Tabel 5.6 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 1 :

Kerjasama tim, peran dan tanggungjawab ……………………………… 38

Tabel 5.7 Tes statistik Kruskal-Wallis untuk subskala 1 : kerjasama tim, peran dan

tanggungjawab …………………………………………………………... 40

Tabel 5.8 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2

Berpusat kepada pasien ………………………………………………….. 41

Tabel 5.9 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 : Berpusat

pada pasien berdasarkan universitas ……………………………….......... 42

Tabel 5.10 Tes statistik Kruskal -Wallis untuk subskala 2: Berpusat pada pasien…. 43

Tabel 5.11 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3 : Bias

Profesi …………………………………………………………………... 43

Tabel 5.12 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 3 : Bias

antar profesi ……………………………………………………………. 44

Tabel 5.13 Tes statistik Kruskal-wallis sikap mahasiswa terhadap IPE subskala 3 : Bias

antar profesi ……………………………………………………………. 45

Tabel 5.14 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4 : Keragaman

dan Etika ………………………………………………………………. 45

14

Tabel 5.15. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 4 :

Keragaman dan Etika …………………………………………………... 46

Tabel 5.16 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE

subskala 4 : Keragaman dan Etika ……………..……………………… 47

Tabel 5.17 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 5 :

Berpusat pada Komunitas ……………………………………………… 48

Tabel 5.18 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 5 :

berpusat pada Komunitas berdasarkan universitas …………..………... 49

Tabel 5.19 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE subskala

5 : Berpusat pada Komunitas ………………………………………….. 50

15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tren pelayanan kesehatan saat ini telah mengalami perubahan paradigma

dimana para pemberi pelayanan kesehatan dituntut untuk bekerja dalam sebuah tim

dan mendapat pendidikan secara multiprofesi, termasuk juga kedokteran gigi.1-5 Di

berbagai belahan dunia telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan kesehatan dari

pelayanan berpusat kepada dokter (doctor center care) menjadi pelayanan berpusat

kepada pasien (patient center care). Pelayanan kesehatan yang berpusat kepada pasien

membutuhkan kolaborasi antar profesi guna tercapainya mutu dan kualitas pelayanan

yang optimal. Semakin banyak penelitian yang membuktikan bahwa Interprofesional

collaboration (IPC) dapat meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan keselamatan

pasien, memberikan kepuasan kepada pemberi layanan dan mengurangi biaya

pelayanan kesehatan.6

Menurut World Health Organization (WHO) praktik kolaboratif antar disiplin

ilmu kesehatan dapat memperkuat manajemen pelayanan kesehatan terhadap pasien.7-

10 Kemampuan tenaga kesehatan profesional berkolaborasi secara efektif memiliki

dampak potensial yang signifikan terhadap keselamatan pasien dan hasil perawatan

yang berkualitas,8 mengingat lingkungan praktik klinis di fasilitas pelayanan kesehatan

yang semakin kompleks dan dinamis.9 Pelayanan kesehatan yang baik adalah bila tata

kelola pelayanannya tidak terjadi tumpang tindih peran dan fungsi dari pemberi

pelayanan dengan latar belakang profesi yang berbeda-beda.8 Tumpang tindih peran

dalam pemberian pelayanan kepada pasien umumnya disebabkan karena lemahnya

komunikasi antar tenaga kesehatan, kurangnya pemahaman akan peran dan tanggung

jawab setiap profesi serta sikap saling menghargai antar profesi. Banyak literatur yang

menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang terkoordinasi dengan baik dari

multiprofesi akan menghasilkan pelayanan kesehatan pasien yang lebih holistik

16

jangka pendek maupun jangka panjang.11 Praktik kolaborasi/Collaborative practice

(CP) ini akan menguatkan sistem kesehatan dan meningkatkan pelayanan kesehatan.12

Salah satu upaya untuk mewujudkan kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah

dengan memperkenalkan praktik kolaborasi sejak dini melalui Interprofesional

Education (IPE).13 IPE merupakan suatu konsep pendidikan terintegrasi untuk

meningkatkan kemampuan kolaboratif tenaga kesehatan. IPE merupakan

pengkondisian atau kesempatan dimana dua atau lebih profesi kesehatan yang berbeda

belajar dengan, dari dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan

kualitas pelayanan kesehatan. 9-10, 13 Interprofesional learning (IPL) merupakan

strategi yang menjanjikan untuk mencapai praktik kolaborasi efektif para pemberi

layanan kesehatan.14 IPL membantu mahasiswa untuk mengenal peran profesi mereka

masing-masing dan juga peran anggota tim dari profesi lain.8 Elemen nilai-nilai

praktik kolaboratif meliputi tanggung jawab, akuntabilitas, koordinasi, komunikasi,

kerjasama, asertif, otonomi dan saling percaya dan saling menghargai.14 Berbagai riset

menunjukkan bahwa nilai-nilai yang didapat dari pengalaman kerja sebelumnya

melalui IPE meningkatkan pemahaman terhadap identitas profesional dan sikap

terhadap kerja sama tim. 15-18

Penelitian Virtuea, et al., memperlihatkan bahwa kolaborasi antar profesi yang

dilakukan oleh mahasiswa kedokteran gigi dan mahasiswa farmasi dalam rangka

menghentikan kebiasaan merokok pasien (tobacco cessasion) menghasilkan pelayanan

yang lebih baik pada pasien dibandingkan dengan pelayanan standar tanpa kolaborasi

antar profesi.19 Penelitian lain menunjukkan bukti bagaimana kerjasama tim antar

profesi bila dilakukan secara efektif pada sebuah simulasi setting klinik dapat

menjadi prediktor keluaran klinis yang positif dari perilaku mahasiswa.20 Penelitian

Kenaszchuk et al., menunjukkan pendidikan yang difokuskan pada simulasi

interprofesional pada aspek kepemimpinan yang berbagi dapat memberikan pengaruh

maksimal untuk meningkatkan perawatan antarprofesi.21

Telah banyak literatur yang menekankan pentingnya penerapan IPE pada

pendidikan tenaga kedokteran dan kesehatan di berbagai tempat, namun implementasi

17

kurikulum IPE di institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan masih belum

diterapkan menyeluruh di semua institusi Pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan.

WHO mengeluarkan data tentang implementasi IPE di beberapa negara pada tatanan

institusi sebanyak 10, 2% dokter, 16% perawat/bidan, 5,7% ahli gizi, serta tenaga

kesehatan lainnya telah menerima pembelajaran berbasis IPE.9 Pada tatanan

universitas hasil survei pada 42 negara menyatakan bahwa sebanyak 24,6% sudah

mendapatkan kurikulum IPE pada tahap akademik.5 Di Indonesia implementasi IPE

belum dapat diterapkan di seluruh institusi pendidikan ilmu kesehatan karena berbagai

kendala. Penelitian Reeves, et al., menganalisis 46 tempat pelaksanaan IPE dimana 26

(57%) dari Eropa, 17 (37%) dari Amerika Utara, dan 3 (7%) dari Australia dengan hasil

positif dimana terjadi perubahan sikap dan persepsi disamping juga pengetahuan dan

ketrampilan tentang kolaborasi.22

IPE di bidang kedokteran gigi di Indonesia belum merata diimplementasikan

di seluruh Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG). Sebanyak 32 IPDG yang ada

di Indonesia hanya 6 yang telah melaksanakan IPE sejak tingkat pendidikan sarjana

yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Padjajaran (UNPAD), Universitas

Airlangga dan Universitas Hasanuddin (UNHAS). IPE seharusnya diberikan dan

diimplementasikan di IPDG guna mempersiapkan dokter gigi dan tenaga kesehatan

lainnya tentang Collaboratif Practice (CP) sejak awal. Perubahan paradigma

pelayanan kesehatan yang berpusat kepada pasien (patient centre care) menuntut

adanya praktik kolaboratif antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) di rumah sakit

khususnya rumah sakit gigi dan mulut (RSGM).23 Oleh karena itu pelaksanaan IPE di

seluruh institusi pendidikan kedokteran gigi (IPDG) merupakan kebutuhan utama.

Banyak penelitian menunjukkan IPE yang didapat oleh mahasiswa saat

pendidikan akademik memunculkan sikap positif, mengembangkan minat mereka

terhadap perawatan pasien dan meningkatkan pengetahuan medis dan klinis mereka.

24-26 Namun hingga saat ini, masih cukup banyak universitas dan Institusi Pendidikan

18

Kedokteran Gigi yang belum mengimplementasikan IPE pada pendidikan

akademiknya.

Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa dengan metode

pembelajaran IPE adalah kemampuan untuk mengembangkan kompetensi yang

diperlukan untuk berkolaborasi.27 Barr menjelaskan kompetensi kolaborasi terdiri atas:

1) memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas, 2)

bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan perawatan

dan pengobatan pasien, 3) bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan,

dan memantau perawatan pasien, 4) toleransi terhadap perbedaan, kesalahpahaman

dan kekurangan profesi lain, 5) memfasilitasi pertemuan antar profesi, dan 6)

memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.27

Penelitian Maharajan tentang sikap dan kesiapan terhadap pembelajaran

interprofesional menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara siswa dari berbagai

profesi kesehatan, perbedaan-perbedaan ini juga terjadi tergantung pada tahun studi

siswa. IPE harus dimasukkan dalam kurikulum semua program profesi kesehatan, agar

mendorong siswa untuk menjadi penyedia layanan kesehatan yang kompeten dan

memahami peran profesi masing-masing.8 Studi terbaru menunjukkan bahwa nilai dari

pengalaman sebelumnya terhadap Interprofessional Learning (IPL) di tempat kerja

meningkatkan pemahaman atas identitas profesional dan sikap terhadap kerja tim.17,18,

28,29 Implementasi IPE di negara maju sudah cukup lama dilaksanakan dengan banyak

bukti penelitian yang ada saat ini. Sedangkan IPE di negara berkembang belum banyak

bukti penelitiannya. 30-32 IPE di Indonesia sudah diimplementasikan di beberapa

institusi pendidikan kedokteran dan ilmu kesehatan yaitu di Universitas Indonesia

(UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(UMY), Universitas Padjajaran (UNPAD) dan Universitas Islam Indonesia (UII).33

Implementasi IPE pada institusi pendidikan dokter gigi (IPDG) masih belum

komprehensif dan menyeluruh, sebagian besar belum masuk dalam kurikulum

pembelajaran yang terstruktur dan berkesinambungan. Hanya sebagian kecil IPDG

yang telah memiliki kurikulum IPE yang komprehensif dimulai dari sejak awal dan

19

melibatkan berbagai profesi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa mahasiswa

yang sudah mendapat materi IPE secara signifikan mempunyai tingkat persetujuan

yang lebih tinggi yaitu 84,6% terhadap pertanyaan tentang keterlibatan apoteker dalam

kolaborasi antar profesi, 33,3% pertanyaan tentang tanggung jawab apoteker, dan

33,3% pertanyaan tentang kewenangan apoteker. Mahasiswa kedokteran, kedokteran

gigi maupun farmasi yang sudah mendapatkan IPE memiliki tingkat percaya diri yang

homogen. Tingkat percaya diri mahasiswa farmasi yang sudah mendapat IPE lebih

tinggi daripada mahasiswa farmasi yang belum mendapat IPE.34

Berdasarkan telaah di atas, implementasi IPE di institusi pendidikan

kedokteran gigi yang belum merata, memunculkan pertanyaan apakah terdapat

perbedaan persepsi tentang IPE dan sikap kolaborasi mahasiswa di institusi

pendidikan dokter gigi yang telah maupun yang belum mengimplementasikan IPE.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah apakah

terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap mahasiswa tentang IPE di Institusi

Pendidikan Kedokteran Gigi yang telah mengimplementasikan dan yang belum

mengimplementasikan IPE?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk melihat perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik

terhadap interprofessional education (IPE) di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi

yang telah mengimplementasikan dan yang belum mengimplementasikan IPE.

D. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Perkembangan Ilmu pengetahuan

a. Menambah ilmu pengetahuan tentang IPE dalam program pendidikan

kedokteran gigi

20

b. Mengimplementasikan pengetahuan tentang IPE didalam pelayanan

kesehatan Gigi

2. Bagi Profesi

a. Untuk institusi Pendidikan Kedokteran Gigi dapat menggunakan IPE

sebagai bahan kajian Pendidikan IPE dibidang kedokteran gigi khususnya

rumah sakit gigi dan mulut (RSGM) Pendidikan di Indonesia.

b. Sebagai bahan tesis Pendidikan

3. Bagi Masyararakat

a. Masyarakat mendapatkan pelayanan yang optimal dan berkualitas karena

implementasi dari IPE.

b. Pelaksanaan pelayanan berbasis patient safety dapat diterima oleh

masyarakat dengan implementasi IPE

4. Bagi pemerintah

Mendapatkan dasar kebijakan pendidikan kedokteran gigi dan RSGM

berbasis IPE.

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan dan Sikap

1. Pengetahuan

Pengetahuan dalam pengertian ini melibatkan proses mengingat

kembali hal-hal yang spesifik dan universal, mengingat kembali metode dan

proses, atau mengingat kembali pola, struktur atau setting. Pengetahuan dapat

dibedakan menjadi tiga, yakni: (1) pengetahuan tentang hal-hal pokok; (2)

pengetahuan tentang cara memperlakukan hal-hal pokok; dan (3) pengetahuan

tentang hal yang umum dan abstraksi. Pengetahuan tentang hal-hal pokok yaitu

mengingat kembali hal-hal yang spesifik, penekanannya pada simbol-simbol

dari acuan yang konkret. Pengetahuan tentang hal-hal pokok dibagi menjadi

dua yakni: (1) pengetahuan tentang terminologi; dan (2) pengetahuan mengenai

fakta-fakta khusus. Pengetahuan tentang terminologi yaitu pengetahuan tentang

acuan simbol yang diterima banyak orang, misalnya kata-kata umum beserta

makna-maknanya yang lazim. Pengetahuan tentang fakta yang spesifik yaitu

pengetahuan tentang tanggal, peristiwa, orang, tempat. 35

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu

seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. Pengetahuan adalah

hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan dapat pengalaman yang

nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan

tertentu.36 Untuk meningkatkan perubahan pengertian dan pengetahuan atau

ketrampilan dapat dilakukan melalui pelatihan. Pengetahuan diperoleh dari

proses belajar, yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang

berperilaku berdasarkan keyakinan yang diperoleh melalui media masa,

elektronik dan media lain. Ada enam tingkatan pengetahuan dalam domain

kognitif Bloom yaitu :37

22

a. Tahu (Know)

Yang diartikan sebagai mengingat kembali materi yang telah

dipelajari sebelumnya.

b. Memahami (comprehend)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan dan

menginterpretasikan materi dengan benar.

c. Mengaplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya atau dapat

menggunakan hukum-hukum, rumus, metode dalam dunia yang

sebenarnya.

d. Analisis (Analysis)

Merupakan kemampuan untuk menjabarkan sebuah materi atau

sebuah objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam

satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis).

Merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Atau

merupakan kemampuan untuk mebentuk suatu formulasi yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Merupakan sebuh kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap

sebuah materi atau objek. Penilaian ini didasarkan pada suatu

kriteria yang telah ada atau kriteria yang disusun sendiri.

Pengetahuan telah menjadi sesuatu yang sangat menentukan, oleh

karena itu perolehan dan pemanfaatannya perlu dikelola dengan baik dalam

konteks peningkatan kinerja organisasi.37

23

2. Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau obyek.37 Sikap merupakan pandangan atau

perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap

obyek tadi. Jadi sikap senantiasa terarah terhadap suatu hal, suatu obyek, tidak

ada sikap yang tanpa obyek. Manusia dapat mempunyai sikap terhadap

bermacam-macam hal. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap

belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan

predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup,

bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap

merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu

sebagai suatu penghayatan terhadap obyek.37

Gambar 1. Proses Pembentukan Sikap37

Pada saat sebuah stimulus diterima, maka persepsi seseorang akan

menimbulkan suatu rangkaian penginderaan terhadap rangsangan tersebut dan

akan dibentuknya suatu hubungan positif serta negatif. Gabungan dari asosiasi

positif dan negatif inilah yang disebut sikap. Sikap memiliki arah, untuk sikap

yang positif maka seseorang akan cenderung mendekati perkara tersebut,

Stimulus Proses Stimulus Reaksi tingkah

laku terbuka

Sikap (tertutup)

24

sedangkan untuk sikap yang negatif seseorang akan cenderung menjauhinya.

Sikap seseorang dapat dilihat dalam bentuk cara seseorang menilai perkara

tertentu sebagai suatu hal yang baik maupun yang buruk. Perasaan dan emosi

turut diikutsertakan dalam membentuk respon positif, negatif, maupun ragu-

ragu sebagai hasil dari sikap.38

Sikap memiliki tiga unsur yaitu yang pertama berhubungan dengan

kepercayaan, ide, dan konsep, yang kedua adalah yang berhubungan dengan

afeksi atau emosional, dan yang ketiga merupakan kecenderungan seseorang

dalam bertingkah laku. Sikap adalah suatu pengumpulan pikiran, keyakinan,

dan pengetahuan sehingga menimbulkan penilaian negatif dan positif yang

melibatkan afeksi.38

Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai domain, yaitu:

a. Menerima (receiving), yaitu bahwa orang atau obyek mau dari

memperhatikan stimulus yang diberikan.

b. Merespon (responding), yaitu memberikan jawaban apabila ditanya

mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi

dari suatu sikap.

c. Menghargai (valuing), mengajar orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung jawab (responsible), yaitu bertanggung jawab atas segala

sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap

yang paling tinggi.

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

adalah pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting,

media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta

faktor emosi dalam diri individu. 37

3. Sikap dan pengukurannya.

Mengukur persepsi menurut Azzahy hampir sama dengan mengukur

sikap. Sikap (attitude) adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak

25

senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seorang terhadap sesuatu.

Sesuatu itu bisa benda, kejadian situasi, orang-orang atau kelompok.39

Walaupun materi yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah sikap dan

persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap objek diterjemahkan dalam sistem

angka. Azzahy mengatakan ada dua metode pengukuran sikap terdiri dari

metode self report dan pengukuran involuntary behaviour.39 Self report

merupakan suatu metode dimana jawaban diberikan dapat menjadi indikator

sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab

pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau

sikapnya. Pengukuran involuntary behavior dilakukan jika memang diinginkan

atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran

sikap dipengaruhi kerelaan responden. Pendekatan ini merupakan pendekatan

observasi terhadap reaksi-reaksi psikologis tanpa didasari oleh individu yang

bersangkutan. Observer dapat menginterprestasikan sikap/persepsi individu

mulai dari reaksi wajah, nada/tekanan suara, gerakan/Bahasa tubuh, keringat,

dilatasi pupil mata, detak jantung, dan beberapa aspek fisiologis lainya. 39 Skala

sikap disusun untuk mengungkap sikap pro dan kontra, positif dan negatif,

setuju dan tidak setuju terhadap suatu obyek sosial. Pernyataan sikap terdiri dari

dua macam yaitu pernyataan favourable (mendukung atau memihak) dan

unfavourable (tidak mendukung atau tidak memihak) pada objek sikap.40

4. Persepsi

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses

pengindraan, yaitu proses diterimnya stimulus oleh alat indra, lalu diteruskan

ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang

dipersepsikan.39 Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

melampirkan pesan. Syarat timbulnya persepsi adalah adanya objek, adanya

perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi, adanya alat

indra sebagai reseptor penerima stimulus yakni saraf sensoris sebagai alat untuk

26

meneruskan stimulus ke otak dan dari otak dibawa melalui saraf motoris

sebagai alat untuk mengadakan respon.39 Terdapat beberapa sifat persepsi,

antara lain bahwa persepsi timbul secara spontan pada manusia, yaitu ketika

seseorang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan rangsangan. Persepsi

merupakan sifat paling asli yang merupakan titik tolak perubahan.39

B. Interprofesional education (IPE)

1. Pengertian Interprofessional Education (IPE)

Centre for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE)

menyebutkan, IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar

bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-

masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan

kualitas pelayanan kesehatan.40 IPE adalah suatu pelaksanaan pembelajaran

yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang berbeda untuk meningkatkan

kolaborasi dan kualitas pelayanan dan pelaksanaannya dapat dilakukan dalam

semua pembelajaran, baik itu tahap sarjana maupun tahap pendidikan klinik

untuk menciptakan tenaga kesehatan yang profesional.41 IPE diterapkan untuk

kepentingan mengembangkan hubungan kerja yang baik antar profesi yang

berbeda dengan meningkatkan sikap interprofesional dan perilaku yang

positif.41

Pendekatan dengan melakukan penempatan berbasis praktik kolaboratif

multi profesi dapat memberikan cara yang tepat untuk memajukan IPE. Melalui

pembelajaran yang menyediakan siswa dengan berbagai kegiatan seperti

mengamati dan membahas bagaimana para profesional bekerja sama,

memberikan suasana atau lingkungan yang ideal bagi siswa untuk

mengembangkan sikap yang diperlukan, pengetahuan dan keterampilan yang

mereka butuhkan untuk kolaborasi antar profesi.42

IPE mengajarkan mahasiswa untuk berkolaborasi dengan tim kesehatan

lain di praktik lapangan. Area penting lain dari IPE adalah ketrampilan dari

27

fasilisator, yang juga harus mempunyai wawasan tentang kolaborasi yang

merupakan hal penting untuk IPE.43 Gilbert menyimpulkan bahwa fasilisator

perlu dilatih untuk memberikan ketrampilan dan wawasan sebagai pengalaman

dan penasihat. Fasilisator terdiri dokter/dokter gigi, perawat, terapis gigi dan

mulut, ahli gizi, radiologi, apoteker, laboran dan administrasi yang memahami

tentang pentingnya kolaborasi dalam dunia kesehatan. 43

2. Tujuan Interprofessional Education (IPE)

Tujuan IPE adalah untuk mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan dengan

iilmu, ketrampilan, sikap dan perilaku profesional yang penting untuk praktik

kolaborasi antar profesi (CP).45

3. Ciri khas interprofessional education (IPE)

Ciri khas Interprofessional education (IPE) adalah terjadinya perubahan

mindset, pengetahuan dan perilaku peserta didik/atau mahasiswa:45

a. Mahasiswa paham akan prinsip dasar, konsep dan kontribusi dari setiap

bidang profesi.

b. Familier dengan bahasa atau istilah serta pola pikir dari berbagai jenis

profesi.

c. Mahasiswa harus sudah menguasai dasar keilmuan dan ketrampilan spesifik

masing-masing profesi.

d. Mahasiswa harus mengusai konsep tentang kolaborasi.

4. Faktor yang mempengaruhi Interprofessional education (IPE)

a. Faktor budaya

Faktor budaya merupakan pertimbangan penting bagi individu untuk

mengembangkan pendidikan interprofesional. Pentingnya pendidikan

interprofesional, menurut Lary perlu disadari oleh tim ahli program

pendidikan antar profesi yang menitikberatkan pada pentingnya kolaborasi

dan pendidikan interprofesional. Pryce dan Reeves menemukan bahwa

siswa keperawatan dan mahasiswa kedokteran gigi mempunyai persepsi

untuk bekerjasama dalam kelompok belajar profesional karena mereka

28

mulainya pada pendidikan antar profesi. Persepsi tersebut dapat

menyebabkan siswa melihat adanya kebutuhan belajar bersama. Hal ini

dapat mempengaruhi motivasi mereka untuk belajar dan berinteraksi

dengan siswa lainnya dalam kelompok.

b. Faktor pendidikan

Menjadi fasilisator untuk memfasilitasi kelompok antarprofesi

merupakan tugas yang sulit. Serta memiliki baik pengetahuan teori-teori

belajar kelompok keterampilan praktis, pengalaman dan keyakinan untuk

memenuhi tuntutan yang berbeda dari sebuah antarprofesi kelompok.

Menurut Holland menguraikan berbagai keterampilan yang dibutuhkan

untuk pendidikan yang efektif fasilitator antarprofesi: Pengetahuan tentang

profesi, isu-isu saat ini mereka hadapi dalam praktik, pengetahuan tentang

fokus dari pembelajaran antarprofesi program. Tanpa pengetahuan dan

keterampilan yang cukup dari fasilitator IPE, fasilitasi kelompok

antarprofesi akan berakhir pada suatu ketidakkonsistenan antara profesional

yang berpartisipasi.45

c. Faktor organisasi

IPE umumnya sebagian besar dianggap meragukan dan tidak berhasil

oleh pemerintah. Halangan dari luar lebih banyak dibandingkan dengan

hambatan dari dalam, misalnya institusi yang berbeda dan adanya kompetisi

di antara institusi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan adanya

perencanaan dan adanya koordinasi antar pendidikan kesehatan.

d. Kompetensi

Kompetensi yang diharapkan dari IPE adalah:

1) Pengetahuan: paham otonomi tiap profesi dan paham peran masing-

masing dalam keterpaduan,

2) Ketrampilan: profesionalisme terjaga, bukan untuk berebut,

bertentangan tetapi untuk bersinergi, saling melengkapi dan terpadu

29

dalam pelayanan holistik, manusiawi, etis dan bermutu. Kemampuan

komunikasi yang baik, mengutamakan keselamatan klien / pasien

3) Sikap professional: saling menghormati, keikhlasan untuk bekerja

sama dalam kesejajaran, saling percaya dengan profesi lain,

keterbukaan disiplin jujur dan bertanggung jawab.

5. Ruang lingkup interprofessional education (IPE)

a. Pengertian Collaborative Practice (CP)

Kolaborasi tidak dapat didefinisikan atau dijelaskan dengan

mudah. Kolaborasi didefinisi sebagai prinsip perencanaan dan

pengambilan keputusan bersama, berbagi saran, kebersamaan, tanggung

gugat, keahlian, dan tujuan serta tanggung jawab bersama. Kolaborasi

sebagai hubungan timbal balik dimana pemberi pelayanan memegang

tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka

kerja bidang perspektif mereka. Praktik kolaborasi atau collaborative

practice (CP) menekankan tanggung jawab bersama dalam manajemen

perawatan pasien, dengan proses pembuatan keputusan bilateral

didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi.

Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus

bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk

mencapai kolaborasi yang efektif adanya kerjasama, asertifitas, tanggung

jawab, komunikasi, otonomi, kordinasi, tujuan umum serta saling

menghargai seperti terlihat pada gambar 2.46

30

Gambar 2. Praktik Kolaborasi.46

b. Kerjasama (cooperation).

Adalah menghargai pendapat orang lain, bersedia untuk memeriksa

beberapa alternatif pendapat dan bersedia merubah kepercayaan.

c. Asertifitas (assertiveness).

Adalah kemauan anggota tim kolaborasi untuk menawarkan

informasi, menghargai pendekatan masing masing disiplin ilmu dan

pengalaman individu, individu dalam tim mendukung pendapat yang

lain, menjamin bahwa pendapat masing – masing individu benar-benar

didengar dan adanya konsensus bersama yang ingin dicapai.

d. Tanggung jawab (responsibility).

Tanggung jawab disini berarti masing – masing individu harus

mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus

bersama dan harus terlibat dalam pelaksanaannya,

mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang telah dibuat,

baik tanggung jawab masing – masing individu sebagai profesi, maupun

tanggungjawab bersama sebagai satu tim dalam pengelolaan pasien.

Praktik kolaborasi

Otonomi

Komuni-kasi

Tanggung-jawab

Kerjasama

Tujuan umum

Koordinasi

Saling menghar-

gai

Asertifitas

31

e. Komunikasi (communication).

Artinya bahwa setiap anggota harus membagi informasi penting

mengenai perawatan pasien dan isu yang relevan untuk membuat

keputusan klinis, secara terbuka mampu untuk mengemukakan ide-ide

dalam pengambilan keputusan pengelolaan pasien.

f. Otonomi (autonomy).

Mencakup kemandirian (independent) anggota tim dalam batas

kompetensinya. Otonomi bukan berarti berlawanan dari makna

kolaborasi. Justru dengan otonomi masing masing profesi mempunyai

kebebasan mempraktikkan ilmu dan mengelola pasien sesuai

kompetensi.

g. Koordinasi (coordination).

Koordinasi diperlukan untuk efisiensi organisasi yang dibutuhkan

dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang

yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.

h. Tujuan umum (common purpose).

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi

praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktik yang

difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling

menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam

tim dari pada menyalahkan seseorang atau menghindari tangung jawab.

i. Saling menghargai dan percaya (mutual respect and trust).

Norsen menyarankan konsep ini dimana dia mengartikan sebagai

suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-

orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan

kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk

semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerjasama tidak akan

ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,

32

terganggunya komunikasi, otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak

akan terjadi.46

C. Alat Ukur Pengetahuan dan Sikap terhadap IPE

Ada berbagai kuesioner yang telah dikembangkan untuk menilai IPE

sebelum, selama dan setelah mengajar serta pada program pendidikan klinis.

Thannhauser et al., melakukan pencarian sistematis terhadap berbagai literatur dan

mengidentifikasi 23 cara pengukuran IPE. 47 Dari 23 cara pengukuran IPE, 2 yang

paling banyak digunakan yaitu Kesiapan untuk Skala Pembelajaran

Interprofessional/Readiness Interprofessional Learning Scale (RIPLS) dan Skala

Persepsi Pendidikan Interdisipliner/Interdiciplinary Education Perception Scale

(IEPS). 47-48

Parsell dan Bligh memperkenalkan konsep ‘Readiness for Interprofessional

Learning’ (RIPLS) untuk mengukur tingkat kesiapan siswa dalam berpartisipasi di

IPE. Pengukuran ini menggunakan 4 dimensi yaitu: kerjasama antara kelompok

profesional yang berbeda (nilai dan kepercayaan yang dimiliki orang), kolaborasi

dan kerja tim (pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan), peran dan

tanggung jawab (apa yang sebenarnya dilakukan orang), manfaat bagi pasien,

praktik profesional dan pengembangan diri.49 Sejak saat itu, RIPLS telah banyak

digunakan sebagai tes sikap sebelum dan sesudah intervensi IPE atau IPL. 48,49

Beberapa penelitian RIPLS sudah menggunakan versi 4 faktor dibandingkan versi

awalnya yang hanya 3 faktor. 50 Analisis Rasch terhadap struktur 4 faktor

menghasilkan dua item yang tidak sesuai, dan mengkonfirmasi kembali solusi

terhadap 4 faktor. RIPLS empat-faktor dengan 17-item menunjukkan kecocokan

yang baik dengan model Rasch dan menunjukkan reliabilitas dan dimensi yang

baik. Solusi RIPLS 4 faktor telah diidentifikasi dan dikonfirmasi melalui dua

pendekatan statistik. Dua item ditemukan tidak sesuai dengan struktur empat faktor

RIPLS yang baru dan direkomendasikan untuk dibuang.50

33

RIPLS dibuat untuk mengukur perubahan sikap, dampak dari intervensi dan

efektifitas dari intervensi yang tampak pada perubahan persepsi dan sikap. RIPLS

yang telah dikembangkan ini terdiri atas 19 item dengan 5 skala yang digunakan

untuk mengukur kesiapan mahasiswa terhadap IPE. alat ini memiliki 3 subskala

yaitu kerjasama tim dan kolaborasi, identitas positif dan negatif, serta peran dan

tanggung jawab seperti terlihat pada tabel 1.52

Tabel 1. Readiness for Interprofessional Learning Scale (RIPLS).52

Pernyataan Sangat

tidak

setuju

Tidak

setuju

Netral setuju Sangat

setuju

1. Belajar dengan mahasiswa lain akan membantu saya

menjadi anggota tim perawatan kesehatan yang lebih efektif

2. Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat jika siswa

layanan kesehatan bekerja bersama untuk memecahkan

masalah pasien

3. Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat jika siswa

layanan kesehatan bekerja bersama untuk memecahkan

masalah pasien

4. Belajar dengan mahasiswa layanan kesehatan sebelum

kualifikasi akan meningkatkan hubungan setelah kualifikasi

5. Keterampilan komunikasi harus dipelajari dengan

mahasiswa layanan kesehatan lainnya

6. Pembelajaran bersama akan membantu saya untuk

berpikir positif tentang profesional lain

7. Agar pembelajaran kelompok kecil berhasil, mahasiswa

perlu saling percaya dan menghormati

8. Keterampilan kerja tim sangat penting bagi semua

mahasiswa perawatan kesehatan untuk belajar

9. Pembelajaran bersama akan membantu saya memahami

keterbatasan saya sendiri

10. Saya tidak ingin membuang waktu belajar dengan

mahasiswa perawatan kesehatan lainnya

11. Mahasiswa layanan kesehatan sarjana tidak perlu belajar

bersama

12. Keterampilan pemecahan masalah klinis hanya dapat

dipelajari dengan mahasiswa dari departemen saya sendiri

34

13. Pembelajaran bersama dengan mahasiswa layanan

kesehatan lainnya akan membantu saya berkomunikasi lebih

baik dengan pasien dan profesional lainnya

14. Saya akan menyambut baik kesempatan untuk bekerja

pada proyek kelompok kecil dengan mahasiswa layanan

kesehatan lainnya

15. Pembelajaran bersama akan membantu untuk

mengklarifikasi sifat masalah pasien

16. Pembelajaran bersama sebelum kualifikasi akan

membantu saya menjadi pekerja tim yang lebih baik

17. Fungsi perawat dan terapis terutama untuk memberikan

dukungan bagi dokter

18. Saya tidak yakin apa peran profesional saya nantinya

19. Saya harus memperoleh lebih banyak pengetahuan dan

keterampilan daripada mahasiswa layanan kesehatan lainnya

Untuk pengukuran persepsi mahasiswa terhadap IPE digunakan Skala

Persepsi Pendidikan Interdisipliner/Interprofessional Education Perception Scale

(IEPS). IEPS adalah instrumen kedua yang digunakan dalam penelitian untuk

mendeteksi perubahan dalam pembelajaran dari waktu ke waktu di kalangan siswa

profesional kesehatan. IEPS merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur

sikap dan persepsi pengalaman interprofessional.48 Pada literatur terdapat sejumlah

versi IEPS.48

Luecht, et al., menghasilkan versi asli IEPS untuk digunakan sebagai

ukuran di populasi peserta didik program profesi kesehatan. Skala terdiri dari 18

item yang dibagi ke dalam 4 subskala: Kompetensi dan otonomi; Persepsi tentang

perlunya kerja sama; Persepsi dari kerjasama aktual; dan Pemahaman akan nilai

orang lain. 48,51

McFadyen et al., melaporkan kekhawatiran terhadap karakteristik psikometrik

dari IEPS, khususnya pada reliabilitas tes dan tes ulang serta struktur subskala.

Sehingga diusulkan 12 item dengan versi 3 subskala IEPS.52,53 Tiga subskala

tersebut yaitu: Kompetensi dan otonomi (Competence and Autonomy); Persepsi

35

akan kebutuhan kerja sama (Perceive need for cooperation); dan Persepsi kerja

sama yang sebenarnya (Perception of actual cooperation).52 Area yang menjadi

perhatian adalah persepsi kerjasama yang sebenarnya (Perception of actual

cooperation) dimana didapatkan nilai reliabilitas yang rendah baik oleh McFayden

et al. dan Leitch.52-53

Versi 4 sub-skala asli dari Interdisciplinary Education Perception Scale (IEPS)

diterbitkan oleh Luecht et al., namun tampaknya ada kurangnya bukti stabilitas

instrumen asli dan keandalan test ulang item dan sub-skala ketika digunakan

dengan mahasiswa. Mengingat bahwa selama pengembangannya hanya 143 subjek

menyelesaikan kuesioner yang berisi 18 item, generalisasi instrumen mungkin

harus diselidiki lebih lanjut. 51

36

Tabel 2. IEPS versi asli Luecht R, et al.51

Ada beberapa instrumen standar dan tervalidasi untuk menilai kompetensi IPE.

The Readiness for Interprofessional Learning Scale (RIPLS) dan RIPLS yang

diperluas mewakili dua alat yang sudah mapan untuk menilai sikap

Pernyataan Sangat

tidak

setuju

(1)

Setengah

tidak

setuju

(2)

Tidak

setuju

(3)

Setuju

(4)

Setengah

setuju

(5)

Sangat

setuju

(6)

i. 1. Individu dalam profesi saya terlatih .

2. Individu dalam profesi saya dapat

bekerja sama dengan individu dari

profesi lain

3. Individu dalam profesi saya

menunjukkan banyak otonomi.

4. Individu dalam profesi lain

menghormati pekerjaan yang dilakukan

oleh profesi saya

5. Orang-orang dalam profesi saya

sangat positif tentang tujuan dan sasaran

mereka.

6. Individu dalam profesi saya perlu

bekerja sama dengan profesi lain

7. Individu dalam profesi saya sangat

positif tentang kontribusi dan

pencapaian mereka.

8. Orang-orang dalam profesi saya harus

bergantung pada pekerjaan orang-orang

di profesi lain.

9. Individu dalam profesi lain sangat

menghargai profesi saya.

10. Orang-orang dalam profesi saya

memercayai penilaian profesional satu

sama lain.

11. Individu dalam profesi saya

memiliki status lebih tinggi daripada

individu dalam profesi lain.

12. Orang-orang dalam profesi saya

berusaha memahami kemampuan dan

kontribusi dari profesi lain.

13. Orang-orang dalam profesi saya

sangat kompeten

14. Orang-orang dalam profesi saya

bersedia untuk berbagi informasi dan

sumber daya dengan profesional lain.

15. Individu dalam profesi saya

memiliki yang baik. hubungan dengan

orang-orang di profesi lain.

16. Individu dalam profesi saya sangat

menghargai profesi lain yang terkait

17. Individu dalam profesi saya

bekerjasama dengan baik

18. Orang-orang dalam profesi lain

sering meminta nasihat dari orang-orang

dalam profesi saya

37

interprofesional; namun, instrumen ini dan yang lainnya dikembangkan sebelum

adanya laporan IPEC dan tidak mencakup seluruh kompetensi interprofesional.

Norris et al., kemudian mengembangkan dan memvalidasi skala sikap

interprofesional menggunakan item yang berasal dari RIPLS yang diperluas dan

dengan penambahan beberapa item agar dapat memenuhi empat domain

kompetensi inti. 54 RIPLS adalah instrumen suboptimal, yang tidak menjelaskan

'apa' dan 'bagaimana' IPL dilaksanakan dalam sebuah kurikulum. Studi

menyarankan kesiapan siswa terhadap IPE dapat diperoleh dari kombinasi manfaat

komponen kognitif empati ('Perspektif taking') dan elemen yang terdapat pada

kurikulum yang mendorong motivasi otonom.55

Modifikasi RIPLS dikenal dengan nama The Interprofessional Attitudes Scale

(IPAS) adalah alat ukur baru yang lebih baik dibandingkan dengan alat

sebelumnya, dimana lebih menggambar kondisi terkini dari kompetensi antar

profesi. IPAS harus bermanfaat bagi lembaga pendidikan ilmu kesehatan dan yang

lainnya yang melatih orang untuk bekerja secara kolaboratif dalam tim multi

profesi. 54 IPAS merupakan sebuah alat ukur yang dirancang untuk menilai sikap

yang berhubungan dengan kompetensi inti (Core competencies) untuk

Interprofessional Collaborative Practice (IPCP). IPAS merupakan instrument

pertama yang diperuntukkan secara khusus untuk pengukuran kompetensi inti

(Core competencies). IPAS terdiri dari 27 kuesioner yang dibagi atas 5 sub ‐ skala,

yaitu Kerja tim (Team Work), Peran dan Tanggung jawab (Roles and

Responsibility), Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient Centeredness), Bias

Antar profesi (Interprofessional Biases), Keragaman & Etika (Diversity and

Ethics), Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness). IPAS dibuat dari

hasil analisis faktor berdasarkan survei yang dikumpulkan dari 700 responden

mahasiswa University of Utah Health Sciences Center tahun 2012, seperti tabel 3

dibawah ini. 54

38

Tabel 3. The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS).54

No Sub-Skala Sangat

tidak

setuju

(STS)

Tidak

setuju

(TS)

Netral Setuju Sangat

Setuju

1 Kerja Tim, Peran dan Tanggung jawab

1.1 Pembelajaran bersama sebelum lulus akan membantu saya

menjadi pekerja yang lebih baik dalam kerjasama tim

1.2 Pembelajaran bersama akan membantu saya berpikir positif

tentang profesi lain

1.3 Belajar dengan siswa lain akan membantu saya menjadi

anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih efektif

1.4 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu kesehatan

lainnya, kan meningkatkan kemampuan saya untuk

memahami masalah klinis.

1.5 Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat jika mahasiswa

ilmu kesehatan bekerja bersama untuk memecahkan

permasalahan pasien.

1.6 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu kesehatan

lainnya, akan membantu saya berkomunikasi lebih baik

dengan pasien dan profesional lainnya.

1.7 Saya akan menyambut baik kesempatan untuk bekerja pada

proyek kelompok kecil dengan mahasiswa ilmu kesehatan

lainnya.

1.8 Tidak menjadi suatu keharusan mahasiswa ilmu kesehatan

untuk belajar Bersama.

1.9 Pembelajaran bersama akan membantu saya memahami

keterbatasan saya sendiri.

2 Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient Centeredness)

2.1 Membangun kepercayaan dengan pasien saya adalah penting

bagi saya.

2.2 Penting bagi saya untuk berkomunikasi dengan penuh

perhatian dan simpati kepada pasien.

2.3 Memikirkan pasien sebagai pribadi adalah penting dalam

mendapatkan perawatan yang benar

2.4 Dalam profesi saya, seseorang membutuhkan keterampilan

dalam berinteraksi dan bekerja sama dengan pasien

2.5 Penting bagi saya untuk memahami permasalahan dari sisi

pasien.

3 Bias Antar Profesi (Interprofesional Biases)

39

3.1 Profesi kesehatan lain/mahasiswa dari disiplin ilmu

kesehatan lain memiliki prasangka atau membuat asumsi

tentang saya karena disiplin ilmu yang saya pelajari.

3.2 Saya memiliki prasangka atau membuat asumsi tentang

profesi kesehatan lain/mahasiswa dari disiplin ilmu kesehatan

lain.

3.3 Prasangka dan asumsi tentang para profesi kesehatan dari

disiplin ilmu kesehatan lain menghalangi jalannya proses

penyembuhan pasien

4 Keragaman & Etika (Diversity and Ethics)

Penting bagi tenaga profesional kesehatan untuk:

4.1 Menghargai budaya yang unik, nilai-nilai, peran/tanggung

jawab, dan keahlian profesi kesehatan lainnya

4.2 Memahami apa yang diperlukan untuk berkomunikasi secara

efektif lintas budaya.

4.3 Hormati martabat dan privasi pasien sambil menjaga

kerahasiaan dalam melakukan perawatan berbasis tim.

4.4 Memberikan perawatan yang sangat baik kepada pasien

terlepas dari latar belakang mereka (mis. ras, etnis, jenis

kelamin, orientasi seksual, agama, kelas, asal kebangsaan,

status imigrasi, atau kemampuan)

5 Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness)

Penting bagi tenaga profesional kesehatan untuk:

5.1 Bekerja dengan petugas kesehatan masyarakat dan pembuat

kebijakan untuk meningkatkan pemberian layanan kesehatan

pada masyarakat.

5.2 Bekerja pada proyek-proyek untuk promosi kesehatan

komunitas dan kesehatan masyarakat

5.3 Bekerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk

mengembangkan undang-undang, peraturan, dan kebijakan

yang meningkatkan layanan kesehatan

5.4 Bekerja dengan non klinisi untuk memberikan pelayanan

kesehatan yang lebih efektif

5.5 Fokus pada populasi dan komunitas, selain pasien individu,

untuk memberikan perawatan kesehatan yang efektif

5.6 Melakukan advokasi kesehatan untuk pasien dan komunitas

masyarakat

40

BAB III

KERANGKA TEORI & KONSEP

A. Kerangka Teori

Pelayanan berpusat kepada pasien (patient center care) membutuhkan

kolaborasi antar profesi agar tercapainya kualitas pelayanan yang berkualitas dan

aman. Menurut WHO, kemampuan tenaga profesional kesehatan untuk

berkolaborasi secara efektif memiliki dampak potensial yang signifikan terhadap

keselamatan pasien dan hasil perawatan berkualitas mengingat lingkungan praktik

klinis yang semakin kompleks dan dinamis. Untuk mewujudkan kolaborasi antar

tenaga kesehatan sejak dini adalah dengan memperkenalkan praktik kolaborasi

melalui proses pendidikan. Konsep pendidikan terintegrasi ini adalah untuk

meningkatkan kemampuan kolaboratif dari tenaga kesehatan. Metode

pembelajarannya interaktif, berbasis kelompok, dengan menciptakan suasana

belajar berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang berkolaborasi, dan

menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan

hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi. Cara pembelajaran

antar profesi akan menghasilkan kolaborasi praktik antar profesi (interprofessional

collaboration practice) dan perawatan pasien berbasis tim yang akan menjadi

komponen integral dari praktik perawatan kesehatan berkualitas di masa depan.

Implementasi IPE di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG) masih belum

diterapkan di seluruh institusi Pendidikan dokter gigi yang ada di Indonesia.

Kesiapan dan pemahaman mahasiswa kedokteran gigi terhadap IPE dalam bentuk

pengetahuan dan sikap akan menentukan terbentuknya interprofessional

collaborative practice (IPCP) di bidang kedokteran gigi di kemudian hari.

Pengukuran kesiapan, pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE dilakukan

dengan instrumen RIPLS yang telah dimodifikasi oleh Norris et al., pengukuran

ini meliputi empat domain kompetensi inti interprofessional yaitu : Nilai/Etika

41

untuk Praktik Interprofesional, Peran/ Tanggung Jawab, Komunikasi

Interprofessional, dan Tim dan Kerja Sama Tim. Instrumen yang digunakan pada

pengukuran ini adalah The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS). IPAS terdiri

atas 5 subskala yaitu Kerja Tim (Teamwork), Peran dan Tanggung jawab (Role and

Responsibility), Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient Centeredness), Bias

Antar Profesi (Interprofesional Biases), Keragaman & Etika (Diversity and Ethics),

dan Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness).

B. Kerangka Konsep

C. Hipotesis

Ada perbedaan pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di Institusi

Pendidikan Kedokteran Gigi yang telah mengimplementasikan dan yang belum

mengimplementasikan IPE. Perbedaan ini timbul dari hasil proses

pembelajaran dengan IPE.

Pengetahuan dan sikap

mahasiswa/peserta didik

IPDG

IPE di IPDG yang telah

dan belum

mengimplementasikan

42

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian observasional deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang

(cross sectional).

B. Tempat dan waktu penelitian

Tempat penelitian: Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG) di Indonesia yang

telah mengimplementasikan IPE dan yang belum mengimplementasikan IPE

(Usakti).

Waktu Penelitian: Februari sampai Maret 2019

C. Populasi dan Sampel

Populasi: mahasiswa di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG) Usakti,

UMY dan UGM

Teknik sampling: Purposive sampling

N = (p0.q0 +p1.q1)(Z1 -α/2 + Z1-β)2

___________________________

(p1 – p0)2

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal kelompok kasus dan kontrol

Z1 -α/2 = nilai pada Distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α

(untuk α = 0,09 adalah 1,96)

Z1-β = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa (power) sebesar

diinginkan (β-0,10 adalah 1,28)

p0 = proporsi paparan pada kelompok kontrol atau tidak terpapar

p1 = proporsi paparan pada kelompok kasus

q0 = 1 – p0 dan q1 = 1 – p1

N = 55

Untuk mengantisipasi kemungkinan sampel terpilih yang droup out atau sampel tidak

valid, maka diusahakan penambahan sampel penelitian sebesar 10% :

n1= 55/(1-0,1) = 60,5 dibulatkan menjadi 61

43

Sampel penelitian minimal sebanyak 61mahasiswa untuk setiap IPDG. Total

sampel penelitian 183 mahasiswa.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Inklusi: mahasiswa IPDG Usakti, UMY dan UGM semester 3,4,5,6,7,8 yang

bersedia menjadi responden dan berstatus aktif kuliah.

Eksklusi: mahasiswa yang tidak bersedia berpartisipasi dan yang tidak memenuhi

syarat.

E. Variabel dan definisi operasional variabel

1. Variabel Bebas

Implementasi IPE di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi.

2. Variabel Terikat

Tingkat Pengetahuan dan Sikap mahasiswa terhadap IPE.

3. Definisi Operasional Variabel

a. IPE di IPDG adalah berupa implementasi pembelajaran dalam bentuk

kurikulum pembelajaran terstruktur modul di IPDG yang telah diterapkan

sejak semester awal dan atau impelementasi IPE hanya dalam bentuk intra

kulikuler sewaktu atau ekstra kurikuler proyek/tugas/praktek kerja lapangan

yang bukan merupakan program intra kurikuler.

b. Pengetahuan terhadap IPE adalah pengetahuan hasil suatu produk sistem

pendidikan IPE di IPDG dan akan dapat pengalaman yang nantinya akan

memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu.36 Untuk

meningkatkan perubahan pengertian dan pengetahuan atau ketrampilan

tentang IPE dapat dilakukan melalui pelatihan IPE. Pengetahuan diperoleh

dari proses belajar, yang dapat membentuk keyakinan atau persepsi

mahasiswa tentang IPE. Pengetahuan yang didapat tersebut akan

44

membentuk keyakinan seseorang untuk melakukan perilaku kolaboratif

antar profesi. Pengetahuan tentang IPE diukur dengan penggunakan

kuesioner yang dirancang sendiri dengan 5 kelompok pertanyaan yang

terdiri dari definisi dan pengertian IPE, manfaat, kompetensi IPE,

pendekatan dan budaya dan etika. Pengukuran menggunakan 2 skala yaitu

benar dan salah. Dengan nilai 1 salah dan 2 benar.

c. Sikap terhadap IPE adalah perpaduan yang dari pengalaman, nilai,

informasi kontekstual dan kepakaran yang memberikan kerangka berfikir

untuk menilai dan memadukan pengalaman dan informasi baru terhadap

IPE yang telah diterapkan di institusi pendidikan guna mewujudkan

interprofessional collaborative practice (IPCP). Pengetahuan dan sikap

diukur dengan The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS), dimana alat

ukur ini merupakan The Readiness for Interprofessional Learning Scale

(RIPLS) yang telah dimodifikasi. Dengan menggunakan skala pengukuran

ini memungkinkan mahasiswa untuk memikirkan berbagai aspek dalam

interprofessional learning (IPL). IPAS terdiri atas 5 Subskala yaitu 1)

Kerja Tim (Teamwork), Peran dan Tanggung jawab (Role and

Responsibility), 2) Berpusat kepada Pasien (Patient Centeredness), 3) Bias

Antar Profesi (Interprofesional Biases), 4) Keragaman & Etika (Diversity

and Ethics), 5) Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness). 54

Skala ini digunakan untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap IPE.

Pengukuran menggunakan skala likert 5 poin (Sangat setuju = 5, setuju = 4,

netral = 3, tidak setuju = 2 dan sangat tidak setuju = 1) digunakan untuk

menganalisis tanggapan siswa.54 Alat penelitian berupa kuesioner yang

terdiri atas 27 item yang dibagi kedalam 5 (lima) subskala yang berbeda.

Subskala 1 berfokus pada aspek kerja tim (item 1-9). Subskala 2 berfokus

pada Peran dan tanggungjawab (item 10-14). Subskala 3 (tiga) berfokus

pada berpusat kepada pasien (item 15-17). Subskala 4 berfokus pada bias

antar profesi (item 18-21). Subkala 5 (lima) berfokus pada berpusat pada

45

Komunitas (item 22-27). Skor nilai rata-rata tinggi merupakan sikap positif

terhadap IPE.

Definisi operasional variable untuk IPE yang telah ditimpelemtasikan di IPDG,

pengetahuan dan sikap mahasiswa dapat dilihat pada tabel sebagai berikut (Tabel 4).

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel No Variabel Definisi

Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1 IPE IPE di IPDG adalah implementasi pembelajaran IPE dalam bentuk kurikulum pembelajaran terstruktur (modul-

modul) di IPDG yang telah menerapkan sejak semester awal dan atau hanya dalam bentuk intra kulikuler (modul) sewaktu atau ekstra kurikuler proyek/tugas/praktek kerja lapangan yang

bukan merupakan program intra kurikuler.

Wawancara ke wadek 1

dan kaprodi

sarjana ke

institusi

Pendidikan

kedokteran

Gigi (IPDG)

Check list Bukti Imple mentasi

nominal

2 Pengetahuan terhadap IPE

Pengetahuan terhadap IPE adalah pengetahuan adalah

hasil dari suatu produk sistem pendidikan IPE di IPDG dan akan dapat pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan

tertentu.36 Untuk meningkatkan perubahan pengertian dan pengetahuan atau ketrampilan tentang IPE dapat dilakukan melalui pelatihan IPE. Pengetahuan

diperoleh dari proses

Kuesioner Kuesioner yang dirancang

sendiri. Alat ukur terdiri atas 5 kelompok pertanyaan yang terdiri dari definisi dan pengertian

IPE, manfaat, kompetensi IPE, pendekatan, dan budaya dan etika.

Pengukuran menggunakan 2 skala yaitu

benar dan salah. Dengan nilai 1 salah dan 2 benar. Skor nilai: 1. Baik jika x ≥ 40, 2. Sedang jika

32 ≤ x ≤ 40 3. Rendah jika x ≤ 32

1. 2.

ordinal

46

belajar, yang dapat membentuk keyakinan atau persepsi mahasiswa tentang IPE. Pengetahuan yang didapat tersebut akan membentuk

keyakinan seseorang untuk melakukan perilaku kolaboratif antar profesi. Pengetahuan tentang IPE diukur dengan penggunakan kuesioner yang

dirancang sendiri

3 Sikap terhadap IPE

Sikap terhadap IPE adalah perpaduan yang dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual dan kepakaran yang

memberikan kerangka berfikir untuk menilai dan memadukan pengalaman dan informasi baru terhadap IPE yang telah diberikan di IPDG guna

mewujudkan praktik kolaborasi antar profesi/interprofessional collaborative practice (IPCP).

Kuesioner sikap yaitu IPAS.

IPAS pengukuran dengan 5

subskala

yaitu kerja

tim

(Teamwork),

peran dan

tanggung

jawab (Role

and Responsibili

ty), berpusat

kepada

pasien

(Patient

Centered

ness), bias

antar profesi

(Interprofesi

onal Biases),

keragaman & etika

(Diversity

and Ethics),

berpusat

kepada

komunitas

(Community

Centered

ness).

IPAS terdiri

atas 26 item yang dibagi

Skor rata-rata

yang lebih

tinggi

merupakan sikap positif

terhadap IPE.

Pengukuran

menggunakan

skala likert 5

poin (Sangat

setuju = 5,

setuju = 4,

netral = 3,

tidak setuju =

2 dan sangat tidak setuju =

1) digunakan

untuk

menganalisis

tanggapan

siswa. 1.Baik jika {(μ +1,0σ)≤ X} Skor X ≥ 78

2. Sedang, jika {(μ -1,0σ)≤ X < (μ +1,0σ)} Skor 48 ≤ X ≤ 78 3. Kurang, jika {X< {(μ -1,0σ)} Skor X ≤ 48

ordinal

47

kedalam 5

(lima)

subskala

yang

berbeda.

Subskala 1

berfokus

pada aspek

kerja tim

(item 1-9).

Subskala 2

berfokus pada peran

dan

tanggungjaw

ab (item 10-

14).

Subskala 3

(tiga)

berfokus

pada

berpusat

kepada pasien (item

15-17).

Subskala 4

berfokus

pada bias

antar profesi

(item 18-21).

Subkala 5

(lima)

berfokus

pada

berpusat pada

Komunitas

(item 22-26).

4 Karakteristik

Responden

a. Universitas

b. Angkatan

Universitas asal IPDG Tahun masuk

mahasiswa

Angket

Check list di google form

IPDG UGM, UMY, Usakti 2015,2016, 2017, 2018

Nominal Nominal

48

F. Metode Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara kepada responden sebanyak 60

mahasiswa pada setiap IPDG dengan bantuan kuesioner yang telah dirancang pada

google form.

G. Bahan dan Alat

1. Alat Tulis

2. Kuesioner IPAS

3. Komputer / laptop

4. Camera untuk dokumentasi

5. Gymic tanda terimakasih (pasta gigi/sikat gigi)

H. Cara Kerja

1. Mendapatkan persetujuan etik (Ethical Clearance) dari Dewan Riset FKG

Usakti.

2. Tahap awal persiapan perijinan ke institusi pendidikan kedokteran gigi yang

akan dijadikan sampel yaitu IPDG UMY, UGM dan Usakti.

3. Melakukan penjelasan lengkap tentang tujuan dan cara penelitian pada sampel,

kemudian diminta untuk menandatangani formulir persetujuan (informed

consent).

4. Melakukan preliminary survey untuk uji validitas dan reliabilitas dari kuesioner

yang dibuat di IPDG Usakti pada mahasiswa angkatan 2016 dan 2017.

5. Evaluasi dan perbaikan kuesioner berdasarkan hasil uji validitas dan

reliabilitas.

6. Melakukan wawancara dan pengisian kuisioner yang ke dua untuk

mendapatkan data primer penelitian.

7. Mengolah data yang masuk dengan program statistik.

8. Menganalisa dan membuat laporan.

49

I. Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan software yang sesuai. Statistik deskriptif

untuk melihat distribusi responden. Data yang diperoleh akan dianalisis secara

kuantitatif dengan menggunakan uji Kruskal – Wallis. Batas kemaknaan P <0,05

dengan CI 95%.

J. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan dibuat dengan lembar kerja sebagai berikut:

Tabel 5. Tahap Pelaksanaan

No.

Kegiatan

September

September – Juli 2019

1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Presentasi usulan penelitian

2 Pengambilan sampel &

pemeriksaan

3 Pengumpulan data

4 Pengolahan data

5 Seminar & laporan

Penelitian

50

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian Kuantitatif

Penelitian ini menggunakan instrumen ukur Interprofesional Education

Attitude Scale (IPAS) kuesioner yang telah diterjemahkan dengan 26 pertanyaan di 3

institusi pendidikan dokter gigi (IPDG) yaitu FKG Universitas Usakti (Usakti)

sebanyak 83 mahasiswa, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) program

studi pendidikan dokter gigi (PSPDG) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(UMY) sebanyak 76 mahasiswa dan FKG Universitas Gajahmada (UGM) sebanyak

90 mahasiswa dengan jumlah total sampel penelitian 249 mahasiswa.

Karakteristik mahasiswa berdasarkan angkatan terdiri 26 (10.84%)

mahasiswa 2017, 219 (87.95%) mahasiswa angkatan 2016, dan 4 ( 1.61%) adalah

mahasiswa angkatan 2015. (Tabel 5.1)

Tabel 5. 1. Data Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%) N

Universitas

FKG Usakti 83 33.33% 249

FKG UMY 76 30.52% 249

FKG UGM 90 36.14% 249

Angkatan

2017 26 10.84% 249

2016 219 87.95% 249

2015 4 1.61% 249

Uji validitas kuesioner pengetahuan dengan jumlah pertanyaan yang diuji yaitu

sebanyak 23 didapat hanya 9 pertanyaan yang valid, dengan level of significance 5%

51

dan nilai r tabel 0,25 didapat angka r hitung berkisar -0.105 – 0.659. 14 dieliminir

karena kurang dari r tabel 0.25.

Uji realibilitas kuesioner pengetahuan nilai Cronbach’s Alpha 0,710 > 0,6

(nilai konstanta yang ditentukan), seluruh pertanyaan dianggap reliabel dan dapat

diolah lebih lanjut.

Uji validitas pada 26 pertanyaan kuesioner sikap dengan jumlah responden

249, level of significance 5% dan nilai r tabel 0,25 didapat nilai r hitung berkisar antara

-0.203 – 0.762. Pada uji ini hanya 3 pertanyaan yang dianggap tidak valid (nilai r

hitung < 0,25).

Hasil analisis uji kehandalan terhadap pertanyaan sikap didapatkan nilai

Cronbach’s α 0,943 > 0,6 (nilai konstanta yang ditentukan), dimana nilai r tabel dengan

signifikansi 5% menunjukkan bahwa kuesioner tersebut handal dan dapat diolah lebih

lanjut.

Analisa non parametrik berupa uji perbedaan Kruskal-Wallis dilakukan pada

249 mahasiswa didapatkan nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE di seluruh

FKG adalah 110.63 dengan standar deviasi 10,844. Nilai minimum 78 dan nilai

maksimum 130 (Tabel 5.2).

Tabel 5.2. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk seluruh universitas

N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum

Total nilai Sikap 249 110.63 10.844 78 130

Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE berdasarkan asal universitas,

adalah sebagai berikut nilai terendah Usakti (83) 121.33, UMY (76) 129.47 dan

tertinggi UGM (90) 124.61 (Tabel 5.3).

Tabel 5.3 Nilai total rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE berdasarkan universitas

52

Universitas N

Rata-rata

Rangking

Total nilai sikap Usakti 83 121.33

UMY 76 129.47

UGM 90 124.61

Total 249

Hasil uji Chi-Square 0,511, df 2 dan Asym sig 0.775 dimana nilai Asymp. Sig

0,775 > 0,05 artinya nilai sikap mahasiswa terhadap IPE di antara ketiga universitas

tidak berbeda secara signifikan (Tabel 5.4).

Tabel 5.4 Uji Statistik tes Kruskall – Wallis sikap mahasiswa terhadap IPE

Total nilai

Chi-Square .511

df 2

Asymp. Sig. .775

Uji statistik Subskala 1 (satu) untuk aspek kerjasama tim, peran dan

tanggungjawab pada 249 mahasiswa didapat nilai terendah 2 dan teringgi 5. Dari 9

pertanyaan tersebut dapat dilihat rata-rata nilai berada pada angka 4,17 – 4, 51.

Kecuali pertanyaan nomor 8 nilai rata-rata 2, 47 dengan deviasi 1,132 (tabel 5.5).

Tabel 5.5 Nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subkala 1 kerjasama tim, peran dan

tanggungjawab

N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum

1. Pembelajaran bersama

sebelum lulus dokter gigi

akan membantu saya

menjadi dokter gigi yang

lebih baik dalam melakukan

kerjasama tim

249 4.51 .673 2 5

53

2. Pembelajaran bersama

dengan profesi kesehatan

lain akan membantu saya

berpikir positif tentang

profesi lain

249 4.47 .684 2 5

3. Belajar dengan

mahasiswa profesi

kesehatan lain akan

membantu saya menjadi

anggota tim pelayanan

kesehatan yang lebih efektif

249 4.47 .678 2 5

4. Pembelajaran bersama

dengan mahasiswa ilmu

kesehatan lainnya, akan

meningkatkan kemampuan

saya untuk memahami

masalah klinis.

249 4.42 .686 2 5

5. Pasien pada akhirnya

akan mendapat manfaat jika

mahasiswa ilmu kesehatan

bekerja bersama untuk

memecahkan permasalahan

pasien.

249 4.49 .685 2 5

6. Pembelajaran bersama

dengan mahasiswa ilmu

kesehatan lainnya akan

membantu saya

berkomunikasi lebih baik

dengan pasien dan

profesional lainnya.

249 4.49 .696 2 5

7. Saya akan menyambut

baik kesempatan untuk

bekerja pada proyek

kelompok kecil dengan

mahasiswa ilmu kesehatan

lainnya.

249 4.31 .732 2 5

54

8. Tidak menjadi suatu

keharusan mahasiswa ilmu

kesehatan untuk belajar

bersama.

249 2.47 1.132 1 5

9. Pembelajaran bersama

akan membantu saya

memahami keterbatasan

saya sendiri.

249 4.17 .851 1 5

Perbandingan nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subskala 1 pertanyaan 1

nilai rata-rata tertinggi UGM, kemudian UMY dan Usakti. Nilai rata-rata pertanyaan

nomor 2 nilai terbaik adalah UGM, UMY dan Usakti. Nilai rata-rata nomor 3 terbaik

UGM, UMY dan Usakti. Rata-rata nilai tertinggi pada setiap pertanyaan bervariasi

antara; UGM (1,2,3,4,5), UMY (6,7,9), Usakti (8)

Tabel 5.6. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 1 : Kerjasama

tim, peran dan tanggungjawab berdasarkan universitas.

Universitas N

Rata-rata

rangking

1. Pembelajaran bersama

sebelum lulus dokter gigi

akan membantu saya

menjadi dokter gigi yang

lebih baik dalam melakukan

kerjasama tim

Usakti 83 116.60

UMY 76 125.45

UGM 90 132.37

Total 249

2. Pembelajaran bersama

dengan profesi kesehatan

lain akan membantu saya

berpikir positif tentang

profesi lain

Usakti 83 116.79

UMY 76 126.46

UGM 90 131.34

Total 249

3. Belajar dengan

mahasiswa profesi

Usakti 83 118.84

UMY 76 126.78

55

kesehatan lain akan

membantu saya menjadi

anggota tim pelayanan

kesehatan yang lebih efektif

UGM 90 129.18

Total 249

4. Pembelajaran bersama

dengan mahasiswa ilmu

kesehatan lainnya, akan

meningkatkan kemampuan

saya untuk memahami

masalah klinis.

Usakti 83 116.06

UMY 76 128.98

UGM 90 129.88

Total 249

5. Pasien pada akhirnya

akan mendapat manfaat jika

mahasiswa ilmu kesehatan

bekerja bersama untuk

memecahkan permasalahan

pasien.

Usakti 83 119.91

UMY 76 125.87

UGM 90 128.96

Total 249

6. Pembelajaran bersama

dengan mahasiswa ilmu

kesehatan lainnya akan

membantu saya

berkomunikasi lebih baik

dengan pasien dan

profesional lainnya.

Usakti 83 115.56

UMY 76 130.50

UGM 90 129.06

Total 249

7. Saya akan menyambut

baik kesempatan untuk

bekerja pada proyek

kelompok kecil dengan

mahasiswa ilmu kesehatan

lainnya.

Usakti 83 113.66

UMY 76 132.40

UGM 90 129.21

Total 249

8. Tidak menjadi suatu

keharusan mahasiswa ilmu

kesehatan untuk belajar

bersama.

Usakti 83 147.20

UMY 76 112.21

UGM 90 115.33

Total 249

9. Pembelajaran bersama

akan membantu saya

Usakti 83 124.60

UMY 76 127.93

UGM 90 122.89

56

memahami keterbatasan

saya sendiri.

Total 249

Pada Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa P Value atau Asymp. Sig > 0,05 nilai

sikap mahasiswa di ketiga universitas tidak berbeda secara signifikan kecuali pada

pertanyaan nomor 8. (tabel 5.7)

Tabel 5.7 Tes statistik Kruskal-Wallis untuk subskala 1 : kerjasama tim, peran dan

tanggungjawab

1.

Pembelaja

ran

bersama

sebelum

lulus

dokter

gigi akan

membant

u saya

menjadi

dokter

gigi yang

lebih baik

dalam

melakuka

n

kerjasama

tim

2.

Pembelaja

ran

bersama

dengan

profesi

kesehatan

lain akan

membant

u saya

berpikir

positif

tentang

profesi

lain

3.

Belajar

dengan

mahasis

wa

profesi

kesehat

an lain

akan

memba

ntu saya

menjadi

anggota

tim

pelayan

an

kesehat

an yang

lebih

efektif

4.

Pembelaja

ran

bersama

dengan

mahasisw

a ilmu

kesehatan

lainnya,

akan

meningkat

kan

kemampu

an saya

untuk

memaham

i masalah

klinis.

5. Pasien

pada

akhirnya

akan

mendapat

manfaat

jika

mahasisw

a ilmu

kesehatan

bekerja

bersama

untuk

memecah

kan

permasala

han

pasien.

6.

Pembelajar

an bersama

dengan

mahasiswa

ilmu

kesehatan

lainnya

akan

membantu

saya

berkomuni

kasi lebih

baik

dengan

pasien dan

profesional

lainnya.

7. Saya

akan

menyam

but baik

kesempa

tan

untuk

bekerja

pada

proyek

kelompo

k kecil

dengan

mahasis

wa ilmu

kesehata

n

lainnya.

8. Tidak

menjadi

suatu

keharus

an

mahasis

wa ilmu

kesehat

an

untuk

belajar

bersama

.

9.

Pembelaja

ran

bersama

akan

membant

u saya

memaham

i

keterbatas

an saya

sendiri.

Chi-

Squar

e

2.775 2.323 1.229 2.402 .920 2.833 3.768 12.728 .239

Df 2 2 2 2 2 2 2 2 2

57

Asy

mp.

Sig.

.250 .313 .541 .301 .631 .243 .152 .002 .887

Pada subskala 2 berpusat pada pasien nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap

IPE diperoleh nilai rata-rata terendah 4.54 untuk pertanyaan nomor 3 dan standar

deviasi 0.695, dan nilai rata-rata tertinggi 4, 75 untuk pertanyaan nomor 1 (tabel 5.8).

Tabel 5.8 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 Berpusat

kepada pasien

N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum

1. Penting bagi saya

membangun kepercayaan

dengan pasien.

249 4.75 .488 3 5

2. Penting bagi saya untuk

berkomunikasi dengan

penuh perhatian dan simpati

kepada pasien.

249 4.72 .508 3 5

3. Memikirkan pasien

sebagai pribadi adalah

penting dalam mendapatkan

perawatan yang benar.

249 4.54 .695 1 5

4. Dalam profesi saya,

seseorang membutuhkan

keterampilan dalam

berinteraksi dan bekerja

sama dengan pasien.

249 4.63 .575 2 5

5. Penting bagi saya untuk

memahami permasalahan

dari sisi pandang pasien.

249 4.61 .550 3 5

Berdasarkan hasil perhitungan didapat nilai sikap untuk subskala 2 berpusat kepada

pasien, nilai tertinggi diperoleh FKG UGM dengan nilai rata-rata 130.23, UMY

114.86 dan Usakti 128.61 (Tabel 5.9)

58

59

Tabel 5.9 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 : Berpusat

pada pasien berdasarkan universitas.

Pertanyaan Universitas N

Rata-rata

Ranking

1. Penting bagi saya

membangun kepercayaan

dengan pasien.

Usakti 83 128.61

UMY 76 114.86

UGM 90 130.23

Total 249

2. Penting bagi saya untuk

berkomunikasi dengan

penuh perhatian dan simpati

kepada pasien.

Usakti 83 121.01

UMY 76 120.53

UGM 90 132.46

Total 249

3. Memikirkan pasien

sebagai pribadi adalah

penting dalam mendapatkan

perawatan yang benar.

Usakti 83 127.14

UMY 76 118.67

UGM 90 128.37

Total 249

4. Dalam profesi saya,

seseorang membutuhkan

keterampilan dalam

berinteraksi dan bekerja

sama dengan pasien.

Usakti 83 131.90

UMY 76 120.34

UGM 90 122.57

Total 249

5. Penting bagi saya untuk

memahami permasalahan

dari sisi pandang pasien.

Usakti 83 131.25

UMY 76 117.38

UGM 90 125.67

Total 249

Pada tabel 5.10 dapat dilihat nilai rata-rata tertinggi pada setiap pertanyaan di

aspek pertama bervariasi antara; UGM (1,2,3,) dan Trisakti (3,4). Uji beda Kruskall-

Wallis dengan nilai P Value Asymp. Sig > 0,05 yang berarti nilai sikap antara

mahasiswa ketiga universitas tidak berbeda secara signifikan.

60

Tabel 5.10 Tes statistik Kruskal -Wallis untuk subskala 2 : Berpusat pada pasien

1. Penting bagi

saya

membangun

kepercayaan

dengan pasien.

2. Penting bagi

saya untuk

berkomunikasi

dengan penuh

perhatian dan

simpati kepada

pasien.

3. Memikirkan

pasien sebagai

pribadi adalah

penting dalam

mendapatkan

perawatan yang

benar.

4. Dalam

profesi saya,

seseorang

membutuhkan

keterampilan

dalam

berinteraksi dan

bekerja sama

dengan pasien.

5. Penting bagi

saya untuk

memahami

permasalahan

dari sisi

pandang pasien.

Chi-Square 4.113 2.673 1.188 1.767 2.130

df 2 2 2 2 2

Asymp. Sig. .128 .263 .552 .413 .345

Pada tabel 5.11 nilai rata-rata kuesioner untuk subskala 3 : Bias profesi seluruh

universitas nilai berada pada rentang 3.26 -3.57. Terendah untuk pertanyaan nomor 3

dengan nilai 3.26 dan deviasi 1.084 sedangkan teringgi pada pertanyaan nomor 1

dengan nilai 3.57 deviasi 0.965.

Tabel 5.11 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3 : Bias

Profesi

N Rata-rata Std. deviasi Minimum Maksimum

1. Mahasiswa dari profesi kesehatan

lain memiliki prasangka atau

membuat asumsi tentang saya karena

disiplin ilmu yang saya pelajari.

249 3.57 .965 1 5

2. Saya memiliki prasangka atau

membuat asumsi tentang profesi

kesehatan lain / mahasiswa dari

disiplin ilmu kesehatan lain.

249 3.45 .979 1 5

61

3. Prasangka dan asumsi tentang para

profesi kesehatan dari disiplin ilmu

kesehatan lain menghalangi jalannya

proses penyembuhan pasien

249 3.26 1.084 1 5

Pada tabel 5.12 dapat dilihat nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk

pertanyaan subskala 3 : Bias antar profesi untuk masing-masing universitas dari 3

pertanyaan yang ditanyakan, nilai tertinggi ada pada UMY untuk pertanyaan 1,2 dan

3. Nilai rata-rata terendah untuk pertanyaan nomor 1 & 2 oleh Usakti dan pertanyaan

nomor 3 oleh UGM. Pada tabel 5.13 diperoleh nilai Asymp. Sig < 0,05 berarti nilai

sikap antara mahasiswa ketiga universitas berbeda secara signifikan kecuali pada

pertanyaan nomor 3.

Tabel 5.12 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 3 : Bias antar

profesi.

Pertanyaan Universitas N

Rangking

rata-rata

1. Mahasiswa dari profesi

kesehatan lain memiliki

prasangka atau membuat

asumsi tentang saya karena

disiplin ilmu yang saya

pelajari.

Trisakti 83 107.80

UMY 76 142.05

UGM 90 126.47

Total 249

2. Saya memiliki prasangka

atau membuat asumsi

tentang profesi kesehatan

lain / mahasiswa dari disiplin

ilmu kesehatan lain.

Trisakti 83 107.13

UMY 76 144.17

UGM 90 125.29

Total 249

3. Prasangka dan asumsi

tentang para profesi

kesehatan dari disiplin ilmu

Trisakti 83 124.23

UMY 76 130.89

UGM 90 120.73

62

kesehatan lain menghalangi

jalannya proses

penyembuhan pasien

Total 249

Pada tabel 5.13 diperoleh Rata-rata nilai tertinggi pada setiap pertanyaan di

aspek ketiga adalah UMY (1,2,3). P Value atau Asymp. Sig untuk pertanyaan nomor

2 < 0,05 kecuali berarti nilai sikap antara mahasiswa ketiga universitas berbeda

secara signifikan pada pertanyaan nomor 3. P Value atau Asymp untuk pertanyaan

1dan 3 > 0.05 HO ditolak sikap mahasiswa tidak berbda secara signifikan.

Tabel 5.13 Tes statistik Kruskal-wallis sikap mahasiswa terhadap IPE subskala 3 : Bias

antar profesi

1. Mahasiswa

dari profesi

kesehatan lain

memiliki

prasangka atau

membuat

asumsi tentang

saya karena

disiplin ilmu

yang saya

pelajari.

2. Saya

memiliki

prasangka atau

membuat

asumsi tentang

profesi

kesehatan lain /

mahasiswa dari

disiplin ilmu

kesehatan lain.

3. Prasangka

dan asumsi

tentang para

profesi

kesehatan dari

disiplin ilmu

kesehatan lain

menghalangi

jalannya proses

penyembuhan

pasien

Chi-Square 10.020 11.669 .906

Df 2 2 2

Asymp. Sig. .007 .003 .636

Nilai subskala 4 : Keragaman dan Etika diperoleh hasil rata-rata nilai berkisar

pada 4.44 – 4.70 dengan standar deviasi 0.540 – 6.39. Nilai rata-rata tertinggi pada

pertanyaan nomor 4 dan terendah pada pertanyaan nomor 2. (tabel 5.14).

63

Tabel 5.14 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4 : Keragaman

dan Etika

Pertanyaan N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum

1. Menghargai budaya yang

unik, nilai-nilai, peran /

tanggung jawab, dan

keahlian profesi kesehatan

lainnya

249 4.53 .609 3 5

2. Memahami apa yang

diperlukan untuk

berkomunikasi secara efektif

lintas budaya.

249 4.44 .639 3 5

3. Menghormati martabat

dan privasi pasien serta

menjaga kerahasiaan dalam

melakukan perawatan

berbasis tim.

249 4.57 .638 2 5

4. Memberikan perawatan

terbaik kepada pasien

terlepas dari latar belakang

mereka (mis. ras, etnis, jenis

kelamin, orientasi seksual,

agama, kelas, asal

kebangsaan, status imigrasi,

atau kemampuan)

249 4.70 .540 3 5

Tabel 5.15. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 4 :

Keragaman dan Etika setiap universitas

Pertanyaan universitas N rangking rata-rata

1. Menghargai budaya yang

unik, nilai-nilai, peran /

tanggung jawab, dan

Usakti 83 133.59

UMY 76 114.80

UGM 90 125.69

64

keahlian profesi kesehatan

lainnya

Total 249

2. Memahami apa yang

diperlukan untuk

berkomunikasi secara efektif

lintas budaya.

Usakti 83 138.98

UMY 76 113.39

UGM 90 121.91

Total 249

3. Menghormati martabat

dan privasi pasien serta

menjaga kerahasiaan dalam

melakukan perawatan

berbasis tim.

Usakti 83 131.43

UMY 76 119.40

UGM 90 123.79

Total 249

4. Memberikan perawatan

terbaik kepada pasien

terlepas dari latar belakang

mereka (mis. ras, etnis, jenis

kelamin, orientasi seksual,

agama, kelas, asal

kebangsaan, status imigrasi,

atau kemampuan)

Usakti 83 132.63

UMY 76 114.05

UGM 90 127.21

Total 249

Uji statistik Kruskal – Wallis untuk sikap mahasiswa pada subskala 4 :

Keragaman dan Etika didapat Asymp. Sig > 0,05 kecuali pada pertanyaan nomor 2

dengan nilai 0.036. Berarti sikap antara mahasiswa ketiga universitas tidak berbeda

secara signifikan kecuali pada pertanyaan nomor 2. (tabel 5.16)

Tabel 5.16 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE subskala

4 : Keragaman dan Etika

65

1. Menghargai

budaya yang

unik, nilai-nilai,

peran /

tanggung jawab,

dan keahlian

profesi

kesehatan

lainnya

2. Memahami

apa yang

diperlukan

untuk

berkomunikasi

secara efektif

lintas budaya.

3. Menghormati

martabat dan

privasi pasien

serta menjaga

kerahasiaan

dalam

melakukan

perawatan

berbasis tim.

4. Memberikan

perawatan

terbaik kepada

pasien terlepas

dari latar

belakang

mereka (mis.

ras, etnis, jenis

kelamin,

orientasi

seksual, agama,

kelas, asal

kebangsaan,

status imigrasi,

atau

kemampuan)

Chi-Square 3.600 6.627 1.617 4.734

Df 2 2 2 2

Asymp. Sig. .165 .036 .446 .094

Pada tabel 5.17 menggambarkan nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE

untuk subskala 5 : berpusat pada Komunitas di seluruh universitas, dengan jumlah

pertanyaan sebanyak 5 nilainya berada pada rentang 3.95 – 4.44 . Pertanyaan dengan

nilai rata-rata terendah adalah untuk pertanyaan nomor 4 dengan nilai 3.95 dan deviasi

.879 sedangkan teringgi pada pertanyaan nomor 1 dengan nilai 4.44.57 deviasi 0.652.

Tabel 5.17 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 5 :

Berpusat pada Komunitas.

Pertanyaan N Rata-rata Std. deviasi Minimum Maksimum

1. Bekerja dengan petugas

kesehatan masyarakat dan

pembuat kebijakan untuk

meningkatkan pemberian

layanan kesehatan pada

masyarakat.

249 4.44 .652 2 5

66

2. Bekerja pada proyek-

proyek kesehatan untuk

promosi kesehatan

komunitas dan kesehatan

masyarakat

249 4.33 .709 3 5

3. Bekerja dengan dewan

perwakilan rakyat dan

pemerintahan untuk

mengembangkan undang-

undang, peraturan, dan

kebijakan dalam

meningkatkan layanan

kesehatan

249 4.14 .823 1 5

4. Bekerja dengan non

klinisi untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang

lebih efektif

249 3.95 .879 1 5

5. Fokus pada populasi dan

komunitas, selain pasien

individu, guna memberikan

perawatan kesehatan yang

efektif

249 4.20 .737 1 5

Pada tabel 5.18 dapat dilihat nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk

pertanyaan subskala 5 : Berpusat pada Komunitas pada masing-masing universitas

dari 4 pertanyaan yang ditanyakan, nilai tertinggi untuk pertanyaan nomor 1, 2 ada

pada Usakti, pertanyaan nomor 3 pada UMY, pertanyaan nomor 4 & 5 oleh UGM.

Nilai rata-rata terendah untuk pertanyaan nomor 1, 2 dan 3 oleh UGM, sedangkan 4

UMY, dan 5 Usakti.

Tabel 5.18 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 5 :

berpusat pada Komunitas berdasarkan universitas.

Pertanyaan Universitas N Rangking rata-rata

1. Bekerja dengan petugas kesehatan

masyarakat dan pembuat kebijakan untuk

Usakti 83 129.23

UMY 76 125.56

UGM 90 120.62

67

meningkatkan pemberian layanan kesehatan

pada masyarakat.

Total 249

2. Bekerja pada proyek-proyek kesehatan

untuk promosi kesehatan komunitas dan

kesehatan masyarakat

Usakti 83 129.66

UMY 76 123.28

UGM 90 122.16

Total 249

3. Bekerja dengan dewan perwakilan rakyat

dan pemerintahan untuk mengembangkan

undang-undang, peraturan, dan kebijakan

dalam meningkatkan layanan kesehatan

Usakti 83 124.39

UMY 76 128.63

UGM 90 122.50

Total 249

4. Bekerja dengan non klinisi untuk

memberikan pelayanan kesehatan yang

lebih efektif

Usakti 83 123.86

UMY 76 120.76

UGM 90 129.63

Total 249

5. Fokus pada populasi dan komunitas,

selain pasien individu, guna memberikan

perawatan kesehatan yang efektif

Usakti 83 124.33

UMY 76 125.26

UGM 90 125.40

Total 249

Pada tabel 5.19 diperoleh nilai P Value atau Asymp. Sig > 0,05 berarti sikap

mahasiswa terhadap IPE pada ketiga universitas tidak berbeda secara signifikan.

68

Berpusat pada Komunitas

Tabel 5.19 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE subskala 5

: B

1. Bekerja

dengan petugas

kesehatan

masyarakat dan

pembuat

kebijakan untuk

meningkatkan

pemberian

layanan

kesehatan pada

masyarakat.

2. Bekerja pada

proyek-proyek

kesehatan

untuk promosi

kesehatan

komunitas dan

kesehatan

masyarakat

3. Bekerja

dengan dewan

perwakilan

rakyat dan

pemerintahan

untuk

mengembangka

n undang-

undang,

peraturan, dan

kebijakan dalam

meningkatkan

layanan

kesehatan

4. Bekerja

dengan non

klinisi untuk

memberikan

pelayanan

kesehatan yang

lebih efektif

5. Fokus pada

populasi dan

komunitas,

selain pasien

individu, guna

memberikan

perawatan

kesehatan yang

efektif

Chi-Square .786 .635 .352 .741 .013

Df 2 2 2 2 2

Asymp. Sig. .675 .728 .838 .690 .993

69

B. Hasil penelitian kualitatif

Pengambilan data penelitian secara kualitatif terhadap pengetahuan dan sikap pada

mahasiswa FKG UGM, UMY dan Usakti yang masing-masing terdiri atas 2

kelompok mahasiswa. Setiap kelompok beranggotakan 9 orang dari 3 orang dari

semester 3 atau 4, 3 dari 5 atau 6 dan 3 dari 7 atau 8 (tabel 5.20). Pertanyaan yang

diberikan meliputi 5 aspek (subskala) yaitu kerjasama tim, peran dan

tanggungjawab, berpusat pada pasien, bias antar profesi, keragaman dan etika serta

berpusat pada Komunitas.

Tabel 5.20 Data Identitas Responden Focus Group Discussion (FGD)

No Inisial Responden Kode Responden Umur Semester

Kelompok 1 UGM

1 VA R1 19 4

2 MRF R2 19 4

3 N R3 20 4

4 SF R8 21 6

5 M R6 22 6

6 K R7 22 6

7 LES R4 21 8

8 AJM R5 21 8

9 AA R9 22 8

Kelompok 2 UGM

1 SND R.7 20 4

2 SRS R.5 19 4

3 SD R.9 20 4

4 AN R.1 20 6

5 ARH R.2 20 6

6 EF R.3 21 6

7 SFW R.4 22 8

8 FAN R.6 22 8

9 MPI R.8 22 8

Kelompok 1 UMY

1 YY R1 20 4

2 BK R2 20 4

3 GAW R3 19 4

4 CDR R4 22 8

5 HMP R5 23 8

6 SS R6 22 8

70

7 INY R7 21 6

8 RRH R8 20 6

9 FN R9 21 6

Kelompok 2 UMY

1 HAH 21 6

2 DL 21 8

3 INF 22 8

4 FS 22 8

5 FY 21 6

6 WH 20 6

7 FWT 20 4

8 RDH 20 4

9 NA 20 4

No Inisial Responden Kode Responden Umur Semester

Kelompok 1 Usakti

1 JT R1 21 6

2 CW R2 21 6

3 DA R3 21 6

4 JF R4 20 4

5 ET R5 20 4

6 FF R6 20 4

7 FK R7 22 8

8 EF R8 22 8

9 MM R9 22 8

Kelompok 2 Usakti

1 NT R21 21 6

2 NI R22 21 6

3 ST R23 21 6

4 FO R24 22 8

5 NLW R25 22 8

6 VPS R26 22 8

7 LES R27 20 4

8 KFT R28 20 4

9 KKV R29 20 4

Data hasil wawancara FGD dibagi menjadi 2 (dua) bagian pertanyaan yaitu pertanyaan

tentang pengetahuan dan pertanyaan tentang sikap. Data dipisahkan menjadi 2 yaitu

skala 1 untuk pengetahuan dan skala 2 untuk sikap mahasiswa.

1. Skala 1 : Pengetahuan kerjasama tim, peran dan tanggung jawab

71

Usakti : “ Yang saya tahu dalam pelayanan kesehatan harus melingkupi semua

bagian, dokter umum, dokter gigi, kebidanan, farmasi dan keselamatan kerja.

Menurut saya tiap bagian ini memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing.

Peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda, tapi pastinya kita harus

mengerjakan seusai dengan tanggung jawab dan perannya sesuai kemampuannya.

Menurut saya kerja tim itu seperti operasi punya dokter dan asisten-asistennya.

Dokter yang bertanggung jawab dengan asisten-asistennya berintegrasi. Peran

dan tanggung jawabnya dokter yang bertanggung jawab penuh tapi asisten juga

harus mengetahui. Menurut saya pelayanan kesehatan banyak dan punya elemen

masing-masing. Kerjasama tim mengetahui pekerjaan mereka masing-masing

supaya memiliki kerja sama yang baik. Dokter dan apoteker. Apabila apoteker

kesusahan dalam membaca tulisan dokter, dokter menjawab dan menjelaskan.

Perannya harus mengerjakan dengan baik. Posisi masing-masing memiliki

peranan masing-masing dan bertanggung jawab penuh. Mau bagaimanapun

pasien akan berkontak hanya dengan dokter, bisa ke perawat, ke satapiam, bagian

admin, masing-masing punya wewenang dan porsinya masing-masing. Antara

dokter perawat dan pasien memiliki fungsi dan tugas masing2, saat pasien

menanyakan penyakitnya, dokter menentukan diagnosanya, untuk kepuasaan

seorang pasien. Contohnya ada beberapa orang, ada perawat gigi, tekniker, orang

lab, harus untuk hasil yang optimal. Contoh lain perawat, orang laboratorium,

dokter umum dan dokter spesialis untuk rujukan. Ada juga antara dokter gigi

perawat dokter umum kalau ada kasus rujukan, respsionis, keamanan

UMY: “ Dalam suatu bidang, kita tidak bisa berkerja sendiri. Seseorang

membutuhkan bantuan dari orang lain. Ia harus berkerjasama dengan orang lain

untuk memberikan pelayanan kesehatan. Kemampuan dari suatu kelompok yang

terdiri dari individu-individu untuk mencapai tujuan yang sama untuk

mendapatkan kesehatan yang optimal. Kolaborasi beberapa profesional dibidang

medis untuk memberi pelayanan komprehensif pada pasien. Suatu kumpulan

72

profesional dari berbagai bidang kesehatan dimana masing-masing memiliki

peran dan tanggung jawabnya sendiri sesuai dengan kompetensi dan tanggung

jawab yang dimiliki, untuk mencapai tujuan yang sama yaitu merawat pasien

sebaik mungkin. Dalam praktek kita tidak bisa melakukan tindakan sendiri. Bila

tidak kerjasama dengan profesi lain dapat membahayakan kondisi pasien dan kita

sendiri. Proses dimulai dari pasien datang sampai pasien pulang dimana terdapat

tim kesehatan yang terdiri dari dokter gigi, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya.

Misalnya dalam suatu kasus dimana pasien mengalami gigi goyang dan kelainan

sistemik Diabetes Mellitus. Dokter gigi akan menangani gigi goyangnya, dokter

umum menangani kelainan sistemiknya, ahli farmasi menyediakan obatnya,

perawat membantu dokter dalam merawat pasien. Peran dan tanggung jawab

sesuai kompetensi. Misalnya seorang dokter umum bertanggung jawab atas

kesehatan seseorang secara umum. Berbeda-beda, tergantung dari keahlian

masing-masing. Misalnya dokter gigi memiliki kompetensi untuk menangani

kelainan pada rongga mulut sementara dokter umum, apoteker dan perawat juga

memiliki kompetensinya masing-masing. Tetap harus memperhatikan kompetensi

bidang masing-masing supaya tidak melewati batasan.”

UGM: “ Menurut saya kerjasama tim antara perawat, dental hyangiene, dokter

gigi dan dr spesialis, dalam layanan kesehatan gigi memiliki jangkauan yang lebih

besar di RS. Kalau di lingkup yang paling sederhana yaitu praktik pribadi, akan

lebih baik jika dokter gigi memiliki perawat gigi. Pada Puskesmas memiliki dokter

di bidang spesialis lain supaya dapat berkerjasama khususnya menangani penyakit

sistemik. Kerjasama antara penerima layanan kesehatan dan pemberi layanan,

contohnya penerima layanan dalam hal ini pasien lebih kooperatif dan pemberi

layanan lebih profesional. Satu tim dalam merawat seorang pasien lebih baik jika

datang dari berbagai profesi seperti karena kita menganggap pasien sebagai satu

manusia seutuhnya. Butuh banyak pendapat dari berbagai bidang untuk

menyembuhkan seorang pasien secara holistik. Contohnya dokter gigi saat ingin

73

melakukan pencabutan butuh konsul untuk menyiapkan pasien supaya siap

dicabut, contohnya tekanan darah, gula darah, atau memastikan kondisi kesehatan

pasien sebaik mungkin untuk mencegah komplikasi atau infeksi. Memiliki bentuk

yang lebih komprehensif supaya berbagai masalah dapat ditangani. Kerjasama

tim kesehatan dalan dunia kedokteran gigi itu penting untuk menyediakan layanan

kesehatan yang lebih baik pada pasien. Jika tidak ada komunikasi yang baik antara

dokter dengan stafnya seperti perawat, maka akan terjadi kebingungan dalam

penanganan pasien. Untuk melaksanakan tanggung jawab pelayanan kesehatan

memiliki batasan-batasan sendiri, seperti dokter dan perawat memiliki perannya

sendiri namun dengan tujuan yang sama yaitu terciptanya pelayanan yang efektif.

Perawat tidak boleh melakukan tindakan diluar kewenangannya seperti tindakan

operatif, yang seharusnya dilakukan oleh dokter. Dokter umum tidak boleh

melakukan tindakan diluar kompetensinya, misalnya tindakan yang bisa dilakukan

dokter spesialis. Semua tenaga kesehatan punya tanggung jawab untuk menjaga

kesehatan pasien, dan harus dilakukan secara harmonis dan berkesinambungan.

Tanggung jawab seorang dokter lebih tinggi dari perawat, terutama dalam

memberikan tindakan klinis. Tapi bisa jadi perawat memiliki keahlian dalam

meningkatkan kesehatan masyarakat. ”

2. Skala 2 : Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 1 : kerjasama tim, peran

dan tanggungjawab

Usakti :” Perasaan saya terhadap kerjasama tim sangat setuju, ini hal menarik

karena ini momen kita bisa tahu tentang hal yang ada di bidang lain. Saya senang,

karena sebanyak apapun kita belajar tapi pasti ada kurangnya di bagian yang tidak

diajarkan kepada kita, jadi kerjasama ini bisa bertukar informasi, saling

menguntungkan, dan untuk kebaikan pasien. Saya setuju dengan adanya kerjasama

tim tersebut menjadi efisien dan efektif. Efisien waktu, pekerjaan yang sejam bisa

dikerjakan dalam 30 menit. Membuat saya bekerja lebih efisien dan efektif, bisa

mengurangi stress. Kerjasama tim membuat saya sangat lega karena ada orang

74

yang menopang pekerjaan kita, ntu saja senang. Karena mempermudah tenaga

kesehatan untuk memaksimalkan kinerja mereka, dengan banyaknya pasien yang

datang ke rumah sakit tidak mungkin kita semua yang mengerjakan sendiri seperti

mengisi rekam medis pasien, dengan begini memungkinkan untuk kita mengerjakan

tugas. Saya merasa sangat terbantu, melihat pekerjaan seorang dokter gigi yang

banyak membuat ini itu membutuhkan perawat menyediakan alat supaya efisien

dan efektif. Saya merasa penting dan butuh, untuk bekerja dengan baik, dokter gigi

melakukan tindakan, supaya terselesaikan dengan cepat pastinya butuh kerja sama

dengan perawat.

UMY : “ Perasaan saya terhadap kerjasama tim dalam pelayanan kesehatan gigi,

Sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kita tidak bisa berkerja

sendiri. Saya senang karena kerjasama sangat dibutuhkan untuk mengatasi

kesulitan. Mungkin seorang dokter gigi dapat mengerjakan pasiennya sendiri

namun kerjasama tim dapat mempermudah dan mempercepat penyelesaian suatu

kasus/tindakan kesehatan. Saya antusias sekali untuk bekerjasama dengan profesi

lain. Kerjasama tim sangat dibutuhkan, karena jika seorang dokter gigi bekerja

sendiri maka akan kurang maksimal. Manusia adalah mahluk sosial yang

membutuhkan orang lain, maka kerjasama ini dapat memaksimalkan hasil dan

meminimalisir kesalahan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

Merasa sangat terbantu dengan kerjasama interprofesional karena yang perlu

dirawat tidak hanya kesehatan rongga mulut saja tapi juga pasien secara

keseluruhan. Dengan adanya kolaborasi dapat berbagi dengan profesi kesehatan

lain sehingga kita bisa menangani kasus tersebut dengan lebih mantap, dan dapat

meminimalisir kesalahan pengobatan / penanganan. Kerjasama tim sangat

membantu dan menguntungkan, bukan hanya untuk pasien tapi juga antar profesi

itu sendiri. Dapat mencegah kesalahpahaman yang berpotensi merugikan pasien.

Kerjasama tim dapat memberi pelayanan secara komprehensif, kita diharuskan

bekerjasama tidak hanya lintas profesi tapi juga berjenjang. Kita mengerjakan

75

pasien sesuai kompetensi masing-masing baik sebagai dokter gigi atau dokter gigi

spesialis. Kerjasama tim cukup membantu pasien itu sendiri. Pasien tidak perlu

merasa khawatir jika akan diberikan tindakan. Karena tindakan benar-benar

dilakukan oleh ahli di bidangnya.”

UGM : “ Perasaan saya terhadap kerjasama tim dalam pelayanan kesehatan gigi

Sangat setuju. Misalnya saat menangani pasien yang terkena infeksi atau

keganasan, setiap profesi memiliki kompetensi yang terbatas. Untuk menentukan

diagnosa dan terapi yang tepat, dibutuhkan kerjasama antar kompetensi. Sangat

setuju. Adanya ekstra operator dapat menghasilkan kerjasama dan hasil yang lebih

bagus. Sangat setuju. Tapi kerjasama itu harus memiliki kualitas dan kompetensi

serta kesetaraan ilmu pengetahuan antara anggota tim. Sangat setuju. Sebuah tim

dapat meringankan beban kerja. Secara positif akan banyak opsi dan sudut

pandang terkait permasalahan pasien sehingga para dokter dapat memberikan

pelayanan yang terbaik pada pasien. Setiap profesi harus menghormati perbedaan

pendapat dalam menangani suatu kasus. Perbedaan pendapat akan menjadi wadah

diskusi bukan hanya perdebatan. Kerjasama antar tim sangat penting karena kita

memiliki pengetahuan tentang berbagai bidang yang berbeda. Jika hanya

memandang dari satu sisi sudut pandang saja maka akan kurang dalam menangani

seorang pasien.”

3. Skala 1 : Pengetahuan mahasiswa tentang IPE untuk subskala 2 : Berfokus kepada

pasien.

Usakti : “ Mengapa disebut berpusat kepada pasien, karena tugas kita memenuhi

kebutuhan pasien dalam hal medis. Misal pasien datang ke kita, setahu saya,

zaman dahulu hubungan dokter dan pasien satu arah, sakit ini, ini obatnya tapi

tidak dijelaskan lebih lanjut, zaman sekarang sudah berubah, lebih berorientasi

kepada pasien, kita dokter lebih menjadi pendengar keluhannya, setelah kita

mendengar keluhan tersebut, kita harus memberi tahu kelanjutannya seperti apa,

76

perawatan selanjutnya hasilnya akan sepertt apa. Di akhir kita berikan pasien

pilihan, kembali ke keputusan pasien, pasien yang menentukan yang terbaik untuk

dirinya sendiri. Dokter memberitahukan opsi dan risiko tapi pasien yang akan

memilih. Center learning. Otonomi pasien. Kita menuruti apa keinginan pasien.

Oleh karena itu kita punya Informoed Consent. Dokter memberikan otonomi

kepada pasien setelah dokter melakukan anamnesis, Pasien bebas memilih, kita

menyediakan pelayanan. Kita sudah bilang apa dulu yang harus dirawat tapi

terserah bapak saja maunya yang mana. ibarat pasien adalah raja. artinya semua

atas dasar kemauan pasien dan dokter menuruti semua kemauan pasien, apa yang

diinginkan oleh pasien itu yang kita kerjakan. Semua tergantung pasien, pasien

maunya apa dan seizin pasien. Pasien adalah raja, kita yang melayani pasien,

sebisa mungkin sebaik mungkin kita lakukan. “

Usakti : “ Membangun kepercayaan TIDAK MUDAH. Dalam hal medis berarti

kita mempercayakan nyawa kita ke seseorang. Kepercayaan hubungan dokter dan

pasien. Kepercayaan kita dapatkan dari dokter yang berkomunikasi dan

memberikan perawatan dengan baik, misal dokter gigi memberikan perawatan

tambalan yang baik, jadi membangun kepercayaan sangat perlu waktu, kita harus

melihat pasien ini sebelumnya bagaimana dalam pekerjaannya, bagaimana

pasien-pasien lain kepuasannya terhadap dokter tersebut. Membangun

kepercayaan adalah sebuah proses. Ketika orang percaya kepada saya, saya harus

introspeksi diri apakah diri saya pantas dipercaya. Apakah saya sudah melakukan

yang terbaik untuk pasien tersebut atau tidak. Membangun kepercayaan sangat

susah. Kita mau orang percaya kepada kita. Contoh saya seperti anak kecil, pasien

kurang percaya dokternya kayak masih anak2, kita harus ambil keberanian untuk

peduli dengan pasien supaya pasien percaya kita memang dokter yang baik.

Membangun kepercayaan sangat mudah, dapat dilakukan dengan menyimak apa

kebutuhan pasien. Contoh pasien akan dicabut akan takut, tapi kita memberikan

77

edukasi apa yang ditakuntukan oleh pasien tersebut. Pasien takut melihat darah,

jangan memperlihatkan darah kepada pasien tersebut.”

Usakti : “Empati adalah kemauan kita untuk mendengarkan keluhan orang lain.

Mendengarkan tidak hanya dengar tetapi juga memberikan solusi. Selain kita

berinteraksi dengan orang lain, tapi ini juga sebuah skill dimana kita mau mengerti

karena bukan hal yang mudah untuk mengerti keinginan orang lain. Empati adalah

bagaimana orang bisa merasakan juga apa yang org lain rasakan, bisa

memposisikan diri seperti orang lain. Empati itu tidak mungkin dalam pelayanan

kesehatan. Karena toleransi orang atau limit orang dalam menerima keadaan

seseorang. Contoh patah kaki seseorang, respon orang terhadap patah kaki

tersebut berbeda-beda. Merasakan apa yang orang lain rasakan, kita sebagai

dokter gigi harus berusaha berempati mengalami apa yang dialami pasien. Empati

itu bagaimana dokter bisa merasakan apa yang dirasakan oleh pasien, tapi tidak

boleh over empati supaya tidak berdasarkan perasaan yang berlebih dan bukan

sesuai dengan tanggung jawabnya sebelumnya. Empati bagaimana dokter bisa

mengerti bagaimana pasien merasakan, supaya dpt membpertimbangkan

perawatan yang akan diberikan. Merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan

orang lain, memposisikan diri kita sama dengan orang lain.

Usakti : “Bagaimana berempati dan melakukan interaksi yang berfokus kepada

pasien pada saat menjadi dokter gigi, menurut pendapat saya seempati-empatinya

kita memang tidak bisa jadi seperti pasien, tapi kita harus punya empati, dengan

prinsip layanilah orang tersebut seperti kita ingin dilayani. Kita memahami sikap,

kepribadian dan rongga mulutnya. Dari situ kita bisa memposisikan diri kita

sebagai pasien tersebut, kalau kita mengerjakan sesuatu yang lebih nyaman. Saya

belum ada bayangan, tapi saya akan memberikan yang terbaik sesuai apa yang

diminta pasien. Saya belum dapat bayangan pastinya, tapi saya akan memberikan

diri saya mendengarkan keluhan dia, tapi tetap mengerjakan yang terbaik. Dokter

gigi butuh belajar, dokter gigi harus berinteraksi dengan pasien, membuat pasien

78

senang dan membuat mau kembali ke kita, pelayanan juga harus ditingkatkan, dari

administrasi, klinik yang menarik, kebersihan, ruang tunggu yang nyaman,

perawat yang ramah, sistem pendaftaran dilayani dengan baik, dari segi harga,

yang harganya mudah terjangkau. Kita memposisikan diri kita sebagai pasien,

melakukan yang seharusnya. Saya harus bisa menjelaskan kepada pasien apa yang

akan saya lakukan kepada pasien. Dengan menggunakan bahasa yang diketahui

oleh pasien, kenyamanan dengan pasien. Sebelum melakukan tindakan cerita

dahulu masalahnya apa kalau ada masalah ekonomi kita menurunkan harga

perawatan, pasien relax biar tidak takut.

UMY : “ Membangun kepercayaan adalah sebuah proses dari kita untuk

mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Suatu cara yang dilakukan supaya

pasien itu tidak takut atau merasa kapok untuk kembali datang berobat. Suatu

proses menanamkan rasa aman dan percaya dari pasien terhadap kita sebagai

dokter gigi supaya pelayanan dapat berjalan dengan mudah dan dapat

tersampaikan pada pasien. Dokter gigi membuat pasien percaya padanya dengan

cara berkomunikasi baik verbal maupun non verbal. Dokter gigi dapat berinteraksi

dan berkomunikasi dengan baik. Dengan memberi kenyamanan pada pasien agar

pasien percaya pada dokter dan mau memberikan informasi mengenai penyakit-

penyakitnya secara menyeluruh. Memberi kepercayaan pada sesama teman

sejawat. Dalam menangani suatu kasus kita tidak membebankan segalanya pada

diri kita sendiri tapi dapat mempercayakan pada teman sejawat bila sesuai dengan

kompetensinya. Hal yang sangat penting. Dapat antar profesi ataupun antara

dokter dengan pasien. Bila sudah ada kepercayaan, komunikasi dan kerjasama

akan lebih baik. Suatu kunci agar perawatan dapat berjalan. Apabila pasien sudah

percaya pada kita, pasien akan lebih patuh, perawatan berjalan lancar. Antar

profesi harus mempercayai bahwa masing-masing bisa melakukan hal terbaik

sesuai bidangnya.”

79

UMY : “ Empati adalah rasa peduli pada perasaan orang lain. Merasakan apa

yang dirasakan orang yang kita empatikan, misalnya merasakan kesedihan pasien

sehingga timbul rasa peduli.Sehingga pasien dapat percaya pada dokter. Rasa

peduli dimana kita menempatkan diri seakan akan kita adalah pasien tersebut.

Memahami rasa sakit yang dialami pasien tersebut. Suatu bentuk kepedulian

dimana kita dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Empati adalah rasa

menghormati. Memposisikan diri kita sama dengan seseorang yang tengah

memiliki maslalah saat hendak memberi solusi pada orang tersebut.

Memposisikan diri kita sama dengan pasien, bagaimana kita ingin diperlakukan.

Rasa ikut prihatin atau ikut merasakan sakitnya pasien. Kemampuan seseorang

dalam melihat suatu kejadian dalam perspektif orang lain. Memahami rasa sakit

pasien.”

UMY : “ Benar-benar melayani dan memahami pasien. Melayani sesuai keluhan

pasien. Melakukan suatu pelayanan secara menyeluruh sesuai dengan keluhan

pasien. Pelayanan/pendekatan yang kita berikan dengan tujuan pasien

mendapatkan manfaat dari pelayanan tersebut. Pelayanan diberikan secara

menyeluruh pada pasien sehingga pasien mendapatkan hak-haknya. Pelayanan

berdasarkan keluhan dari pasien sehingga dokter gigi dapat mendiagnosis dan

menentukan perawatan dengan tepat. Pelayanan yang berfokus pada pasien.

Bekerja sesuai apa yang pasien perlukan. Bagaimana kita memberikan tindakan

atas keluhan pasien. Kita tidak hanya berusaha mengembalikan fungsi normal dari

suatu keadaan patologis tapi juga memperhatikan aspek-aspek lain pada seorang

pasien secara keseluruhan. Mengutamakan kepentingan pasien, sesuai kasus

pasiennya, dan benar-benar memperhatikan kondisi pasiennya. Tidak

memaksakan kehendak pasien. Menanyakan persetujuan pasien sebelum

80

melakukan tindakan. Sebagai dokter gigi bukan hanya memeriksa pasien tapi juga

mau mendengarkan pasien secara keseluruhan. Menanyakan keluhan-keluhan

pasien, memberikan beberapa alternatif perawatan dengan menjelasikan pada

pasien masing-masing segi positif maupun negatifnya. Pelayanannya berpusat

pada pasien. Kita terfokus pada pasien secara keseluruhan bukan hanya gigi dan

mulut saja. Kita sebagai tenaga kesehatan baik dokter gigi, perawat, dokter,

maupun ahli farmasi, masing-masing berfokus pada pasien. Masing-masing

bekerja sesuai kompetensinya dan tidak melampaui batas.”

UMY : “Pelayanan yang berpusat pada pasien akan lebih menyenangkan karena

bisa terfokus pada keinginan pasien dengan baik dan benar. Sangat bagus. Kita

lebih fokus pada keluhan pada pasien dan bisa bertindak lebih maksimal. Akan

menguntungkan di kedua belah pihak. Pasien akan mendapatkan manfaaat optimal

karena kita lebih maksimal dalam melakukan tindakan. Kita dapat mengetahui apa

yang pasien rasakan untuk menentukan diagnosa yang tepat. Pelayanan yang

dilakukan sesuai dengan apa yang dikeluhkan pasien. Menunjukan empati terlebih

dulu. Saat anamnesis, mendengarkan cerita pasien sebaik-baiknya. Saat

melakukan pelayanan memposisikan diri sebagai pasien. Berusaha menghindari

kecelakaan kerja dalam pemberian pelayanan. Membangun komunikasi yang baik.

Jika apa yang ingin saya sampaikan dapat ditangkap dengan jelas, selanjutnya

saya menjalankan perawatan sesuai kompetensi saya dengan tidak menjamin

100% kesembuhan. Menjelaskan pada pasien penyebab dari keluhannya,

bagaiamana hal itu bisa terjadi, apa perawatannya, bagaimana perawatan akan

berjalan? Kita menyampaikan prognosis dengan baik dan menghindari

miskomunikasi dengan pasien. Kunci awalnya di komunikasi jadi harus

membangun komunikasi yang baik dengan pasien. Menghargai pasien dan

mendengarkan dengan baik.

81

UGM : “Pelayanan yang berpusat kepada pasien adalah saat Klinisi

memperhatikan keluhan utama pasien. Misalnya bila ditemukan perdarahan

ditangani lebih dulu. Atau penemuan lesi-lesi kelainan secara dini dapat

diinformasikan pada pasien. Pasien harus berbicara lebih banyak daripada dokter

gigi, namun terbatas pada kasus ringan dan sedang. Dalam kasus berat sulit untuk

dilakukan. Pasien diberi informasi tentang keadaannya. Pasien juga diajak untuk

menentukan prosedur yang akan dijalaninya. Pelayanan oleh provider

berdasarkan kebutuhan pasien. Misalnya provider ingin melakukan prosedur PSA

dan pasien diharapkan untuk berkunjung lebih dari 1x maka pasien bebas memilih

apakah ingin tetap di PSA atau ingin di cabut saja. Semua yang dirasakan pasien

dapat diselesaikan oleh dokter. Two way communication, empati, dan rasa saling

mempercayai. Fokus kepada satu arah dimana perawatan tidak melibatkan pihak

lain dari dokter, perawat dan pasien. Pasien lebih dominan, dalam artian dokter

memberikan opsi namun pasien dapat menentukan pilihannya sendiri dan

mengungkapkan apa yang dirasakan. Segala tindakan yang akan dilakukan

seorang tenaga kesehatan jelas merupakan yang terbaik untuk pasien. Namun tetap

disesuaikan dengan aspek-aspek pribadi pasien seperti aspek finansial pasien.

Untuk menangani satu pasien dibutuhkan kerjasama antar profesi yang baik

supaya dapat terpusat pada pasien dan sesuai dengan kaidah-kaidah kedokteran

yang ada. Pemusatan adalah masukan dari berbagai sudut pandang dalam bidang

kedokteran untuk memberikan pelayanan pasien. Segala tindakan yang akan

dilakukan mengutamakan kepentingan pasien, bukan kepentingan dokter atau RS.

Semua tindakan semata-mata demi pasien dan tidak berlebihan atau diskriminasi.

Yang terbaik juga menurut pasien, misalnya dari sisi ekonomi, dsb.Memberikan

pelayanan kesehatan yang terbaik bagi pasien. Memperhatikan segi sosial, psikol

ogis, dan ekonomi pasien. Pelayanan yang diberikan sesuai dengan keadaan

pasien dalam berbagai aspek baik sosial, kesehatan, dll. Tidak terintervensi

dengan kepentingan kita atau orang lain. Melihat dari sudut pandang pasien,

merasakan apa yang dirasakan pasien. Bila melakukan anamnesa, kita perlu

82

mengetahui kondisi pasien secara keseluruhan. Baik kondisi ekonomi, psikologi,

dll. Memperhatikan segala aspek yang dimiliki pasien tidak hanya dari sudut

pandang dokter yang melakukan tindakan tapi juga memperhatikan kondisi pasien.

Kita melibatkan pasien untuk menentukan kebutuhan perawatan. Fokus pada

kebutuhan pasien.”

UGM :” Membangun kepercayaan adalah membina hubungan harmonis antar

dokter – pasien supaya komunikasi dapat dilakukan secara terbuka. Sehingga

diagnosis dapat ditetapkan dengan baik. Membuat pasien nyaman berkomunikasi

dengan kita. Baik secara verbal maupun non verbal. Pasien percaya dan merasa

nyaman dengan dokter sehingga semua keluhan pasien dapat diselesaikan oleh

dokter. Dokter dapat berkomunikasi sebagai teman supaya pasien lebih terbuka,

sehingga dokter dapat mencari jalan keluar terbaik untuk menangani masalah

pasien. Pasien harus mempunyai kepercayaan kepada dokter. Pasien dapat

mengevaluasi apakah dia akan kembali pada dokternya atau tidak. Dokter harus

merawat pasien dengan benar supaya dapat menentukan keingan pasien untuk

kembali ke dokternya lagi atau tidak. Kita sampai pada satu titik dimana pasien

mau memberi informasi yang hanya diberikan kepada kita. Sangat penting supaya

pasien dapat lebih terbuka untuk bercerita sehingga dokter mudah menggali

keluhan pasien. Memberikan suatu tanggungjawab yang mungkin sebenarnya bisa

kita lakukan namun kita berikan pada orang lain. Ketika saya diberi

kepercayaan/tanggung jawab akan saya kerjakan sebaik mungkin supaya dilain

waktu orang tersebut akan memberikan tanggung jawab lagi pada saya. Kita perlu

menunjukan orisinalitas dalam membangun kepercayaan. Integritas dan kesan

pertama juga merupakan hal yang penting. Kesan pertama dapat berupa gaya

bicara. Saat menghadapi pasien, kita harus membuat pasien percaya bahwa kita

menguasai bidang kita.”

83

UGM :” Empati itu mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Seseorang

bertindak seolah-olah dia merasakan kesulitan orang lain, misalnya saat

mendapatkan pasien yang memiliki keganasan, dokter gigi berusaha untuk

menenangkan pasien. Bukan merupakan rasa kasihan namun keinginan kita untuk

membantu menyelesaikan masalah pasien. Put yourself in other people shoes,

misalnya saat menghadapi pasien kanker kita dapat menghubungi keluarganya

dulu sehingga pasien tidak syok. Merasakan apa yang dialami pasien, misalnya

rasa sakit pasien harus kita pahami supaya proses perawatan lebih lancar.

Merasakan keresahan yang dialami pasien, seperti ketakutan saat akan disuntik.

Kita memposisikan diri kita sebagai orang lain, contoh kita sebagai dokter

memposisikan kita sebagai pasien untuk mengatur gestur, bahasa, dan cara

berkomunikasi kita pada pasien. Memposisikan kita supaya bisa melihat dari sudut

pandang orang lain. Bukan hanya sekedar iba, namun merasakan apa yang orang

lain rasakan. Sikap yang harus dimiliki seorang tenaga kesehatan.”

4. Skala 2 : Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 : Berfokus pada pasien;

membangun kepercayaan dan empati

Usakti : “ Perasaan saya tentang pelayanan yang berpusat kepada pasien, senang

karena semua demi kebaikan sang pasien, ibarat siapa yang tidak senang kalau

orang lain senang. Saya sangat setuju, karena kalau saya jadi pasien saya maunya

seperti itu, pasien secara tidak langsung tidak bisa menyalahkan dokter karena ini

sudah keputusan pasien. Pasien ingin dihargai dan dihormati, kita berikan yang

terbaik kepada pasien. Kita mengerti apa yang pasien mau, dan pasien mengerti

apa yang kita jelaskan. Cukup baik. Karena kita tahu apa yang sebenarnya pasien

inginkan dan keluhkan. Dengan adanya pelayanan yang berpusat kepada pasien

ini membuat dokter lebih tahu apa yang dibutuhkan sebenarnya. Saya senang,

karena mempermudahkan kita, terserah pasien maunya bagaimana, pasien yang

84

tahu dirinya sendiri, kita tinggal mengikuti. Mempermudah saya bekerja sesuai

keinginan pasien. Antara senang dan tidak senang, sisi senang kita bisa mengikuti

kemauan pasien dan puas terhadap pelayanan kita, tidak senangnya kita sebagai

dokter gigi tidak bisa memberikan opsi lain. Senang, kita bisa mewujudkan apa

yang pasien harapkan. Tapi kalau kurang sesuai dengan keinginan pasien jadi

susah juga. Setuju dan kurang setuju, setuju melakukan apa yang pasien mau, tapi

tidak setujunya karena semuanya berdasarkan yang pasien mau yang pasien tahu

saja, kita tidak bisa memberi opsi lain. Sangat setuju, karena jika kita tidak

melakukan perawatan yang tidak disetujui pasien kita bisa dituntut oleh pasien.

Saya senang karena pasien memiliki hak untuk mendapatkan suatu pelayanan, kita

memang seharusnya berpusat kepada pasien.”

UMY : “ Bagaimana saya berempati dan melakukan interaksi yang berfokus

kepada pasien dengan cara saya akan benar-benar memahami kondisi pasien pada

saat itu dan mengetahui keadaan pasien dengan baik. Saya akan merasakan apa

yang pasien rasakan sehingga saya bisa melakukan tindakan lebih maksimal. Saya

akan menanamkan empati dalam diri saya sendiri terlebih dahulu, agar sebagai

dokter gigi turut merasakan apa yang dirasakan pasien, contohnya rasa sakit.

Supaya dapat menentukan tindakan yang tepat dan demi tercapainya kepuasan

pasien. Saya akan berandai jika saya adalah pasien sehingga dapat merasakan

perasaannya. Saya akan memperhatikan aspek-aspek individual, sosial, dan

finansial pasien dalam melakukan tindakan. : Dengan memberi perhatian

sepenuhnya pada pasien dan memposisikan diri kita seperti pasien. Memberi

pelayanan yang bisa meredakan rasa sakit pasien. Empati dibangun dari

komunikasi. Dari komunikasi itulah kunci kesuksesan perawatan seorang pasien.

Dari komunikasi antara dokter dengan pasien yang baik akan terbentuk hubungan

yang baik. Kita sebagai tenaga kesehatan harus memiliki empati pada pasien

sehingga kita berhati-hati dalam memeriksa kondisi pasien. Memahami rasa sakit

pasien dalam skala. Menampilkan gestur dan bahasa tubuh yang bersahabat. “

85

UGM : “Perasaan saya tentang pelayanan yang berpusat kepada pasien, sangat

setuju. dokter bisa memberikan kebebasan kepada pasien dan melihat pasien

secara utuh. Kita memberikan pelayanan pada manusia/mahluk hidup. Pasien

akan merasa lebih nyaman dan tercapai totalitas pelayanan. Karena yang

merasakan adalah pasien, apabila kita melakukan perawatan yang menurut kita

benar tapi pasien kurang puas maka dia akan mengeluh. Namun kita tetap

bertindak sesuai prosedur dengan memberikan gambaran pada pasien. Keluhan

pasien adalah permasalahan yang sesungguhnya. Suatu pelayanan yang bagus dan

baik. Perawatan akan berhasil dengan baik jika dokter lebih fokus pada pasien.

Sangat penting. Dengan berpusat pada pasien kita lebih tahu apa yang dirasakan

pasien dan apa yang harus kita lakukan. Informasi harus dari pasien bukan

sekedar pengetahuan kita saja. Setiap pasien spesial. Mementingkan segi pasien

bukan segi medis. Jika mau melakukan tindakan harus memperhatikan kondisi

pasien, mental dan ekonomi. Dalam memberikan pelayanan sesuai dengan

kebutuhan dan keadaan pasien sehingga tercapai pelayanan yang optimal dan

tidak berat ke salah satu pihak. Sangat penting. Dapat membantu membangun

kepercayaan dari pasien pada dokternya. Sehingga pasien percaya bahwa

dokternya mau mengobati, bukan hanya mencari uang saja. Dapat memudahkan

kita menetapkan diagnosis dan membuat rencana perawatan.”

UGM : “ Bagaimana kelak saya berempati dan melakukan interaksi yang berfokus

kepada pasien, misalnya pada pasien yang mengalami keganasan, sebelumnya

kita menganalisa dulu tipe pasien kemudian pelan-pelan melakukan diagnosis.

Sebelumnya kita memberi motivasi bahwa ada solusi dan menjelaskan perawatan

yang lebih lanjut pada pasien tersebut. Santai, tenang, membangun relasi dengan

pasien kita. Bila pasien lebih tua kita bersikap hormat. Berbicara pelan-pelan

seakan-akan kita sangat prihatin. Komunikasi non verbal juga diperlukan seperti

menyiapkan tisu dan air minum. Dari komunikasi verbal, menanyakan pada pasien

tentang lokasi sakitnya, dll. Merasakan apa yang dirasakan pasien. Merasakan

86

rasa sakit pasien, menenangkan pasien, melakukan tindakan dengan baik pada

pasien. Kontak mata dengan pasien. Intonasi halus. Tidak membentak pasien.

Bahasa non verbal seperti menepuk punggung tangannya, menggunakan intonasi

yang lebih jelas, tidak terburu-buru atau kurang jelas. Meletakkan diri dalam

situasi pasien. Operator harus mencari suasana yang lebih nyaman untuk

menginformasikan penyakit pada pasien dan keluarganya supaya pasien tidak

mental breakdown. Dokter membantu menenangkan pasien. Ketika pasien datang

dengan rasa sakit, saya akan memahami perasaan pasien terlebih dulu sebagai

manusia. Ketika saya berkonsultasi dengan pasien saya akan memperhatikan sudut

pandang mereka. Menatap pasien dalam-dalam supaya pasien memahami

keseriusan saya. Memasang ekspresi sesuai dengan kondisi yang ada. Contohnya

pasien kasus penyakit berat, menunjukkan ekspresi prihatin. Kita juga harus

berhati-hati dalam menunjukkan empati, jangan sampai menimbulkan stress pada

pasien. Mengenali ketakutan pasien, lebih hati-hati, melakukan perawatan dalam

beberapa tahap. Tidak menganggap keluhan pasien berlebihan. Memahami

keluhan pasien. Menghormati pasien, mendengarkan keluhan pasien dan

menjelaskan informasi sebaik-baiknya pada pasien. Melihat kondisi pasien,

memahaminya dalam melakukan interaksi. Empati terutama dilakukan untuk

memahami rasa sakit pasien. Dalam melakukan tindakan akan berhati-hati.

Mencoba untuk menjalin hubungan dengan pasien dan menjelaskan kondisi yang

sebenar-benarnya sehingga tercapai pelayanan kesehatan optimal. Tidak bersikap

superior karena kita sesama manusia. Membuat pasien nyaman, tidak seperti

digurui. Sejak dini saya menanamkan kebiasaan berempati dalam diri saya supaya

nanti terbiasa saat praktek. Interaksi lebih pada menunjukkan profesionalitas

sebagai dokter gigi supaya pasien senang berinteraksi. “

5. Skala 1 : Pengetahuan mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3: Bias antar Profesi

87

Usakti : “Bias apa yang sering terjadi terhadap profesi dokter gigi adalah tukang

gigi dan dokter gigi, masih banyak orang yang menanyakan untuk membuat kawat

gigi di tukang gigi tapi ya saya menjelaskan, orang banyak yang berpikir dokter

gigi itu merupakan spesialisasi dokter umum. Banyak orang yang menanyakan hal

kedokteran umum ke dokter gigi, memang hal basic dokter gigi juga harus tahu,

kalau sudah rumit ya dokter gigi tidak mempelajarinya. Dokter gigi ditanyakan

sampai soal kulit kecantikan. dokter gigi sama dengan dokter umum. Dokter umum

mengetes keahlian dokter gigi. Klinik kecantikan memberikan pelayanan membuat

kawat gigi harusnya tidak boleh, harusnya ke dokter gigi. Asumsi orang enak cuma

lihat gigi orang uangnya banyak kerjaannya mudah suka memeras orang apalagi

jarang dokter gigi bisa join ke dokter gigi. Saya pernah ikut cici ppdgs ke daerah,

disana orang menganggap dokter gigi itu sama semua, melahirkan ke dokter gigi.

Dokter gigi menganggap pekerjaannya mudah, kalau dokter umum harus belajar

semua, saya ingin mengubah perspektif orang ke dokter gigi supaya tidak takut lagi

ke dokter gigi. Bias dengan ahli gigi tukang gigi perawat gigi, di online pakai behel

ala ala. dari pandangan kaum kedokteran umum yang dokter gigi hanya belajar

tentang gigi kenapa ga sekalian semuanya yang dipelajari. Butuh belajar, dokter

gigi harus berinteraksi dengan pasien, membuat pasien senang dan membuat mau

kembali ke kita, pelayanan juga harus ditingkatkan, dari administrasi, klinik yang

menarik, kebersihan, ruang tunggu yang nyaman, perawat yang ramah, sistem

pendaftaran dilayani dengan baik, dari segi harga, yang harganya mudah

terjangkau. Kita tetap sesuai dengan apa yang pasien mau tapi empatinya juga kita

sesuaikan dengan yang pasien rasakan, semua seusaikan dengan pasien. “

UMY : “Bias yang sering terjadi terhadap profesi dokter gigi adalah Dokter gigi

hanya menangani gigi dan rongga mulut saja. Profesi dokter gigi enak, padahal

sebenarnya banyak resikonya seperti kelelahan dsb. Dokter gigi menakuntukan.

Masyarakat takut ke dokter gigi untuk konsultasi atau berobat. Dokter gigi hanya

didatangi saat sakit gigi, bukan untuk pencegahan karies atau penyakit.

88

Masyarakat menganggap dokter gigi menakuntukan. Suara bur menyeramkan.

Dokter gigi hanya menangani gigi dan rongga mulut saja. Dokter gigi sama

dengan dokter umum. Dapat memahami segala masalah kesehatan secara

keseluruhan. Kesadaran akan upaya preventif sangat rendah. Jika mengalami sakit

malah mendatangi dokter umum padahal masalahnya berasal dari rongga mulut.

Profesi lain menganggap dokter gigi hanya mengurus masalah gigi dan mulut saja.

Persepsi yang salah bisa menyebabkan ketidaklancaran interaksi atau kurang

lancarnya kerjasama antarprofesi. Dokter gigi tidak setara dengan dokter umum

(lebih inferior) atau perawat (lebih superior). Harus saling menghormati, saling

ketergantungan saling membutuhkan, selain ada okter gigi ada farmasi,

kebidanan, dan k3, menurut saya semuanya punya peranan masing, kalau saya

nanti buka praktek saya akan meminta bantuan mereka yang ahli dalam K3.

Kepada spesialis lain.

UGM : “Bias yang sering terjadi terhadap profesi dokter gigi, antara perawat gigi

dan dokter gigi dalam pelayanan medik dasar seperti scaling, tumpang tindih antar

profesi. Didaerah saya perawat gigi dapat melakukan penambalan/pencabutan

gigi. Masyarakat melihat bahwa tukang gigi memiliki kompetensi sama dengan

dokter gigi. Pelayanan yang diberikan dokter kadang diberikan juga oleh perawat

gigi. Istilah-istilah kedokteran yang tidak dipahami oleh awam. Misalnya dokter

gigi yang harus berkerjasama dgn perawat umum maka sang perawat kurang

memahami istilah-istilah yang digunakan dokter gigi tersebut. Antara dokter gigi

dan dokter gigi spesialis, saat dokter gigi melakukan tindakan diluar

kompetensinya. Dokter gigi yang melimpahkan tugasnya pada perawat sehingga

pengerjaan pasiennya dilakukan oleh perawat. bias apa yang sering terjadi

terhadap profesi dokter gigi. Antara perawat gigi dan dokter gigi dalam pelayanan

medik dasar seperti scaling, tumpang tindih antar profesi. Batas tindakan medis

yang boleh dilakukan oleh dokter gigi dan perawat/dengtal hyangiene. Didaerah

89

saya perawat gigi dapat melakukan penambalan/pencabutan gigi. Masyarakat

melihat bahwa tukang gigi memiliki kompetensi sama dengan dokter gigi.

6. Skala 2 : sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3: Bias antar Profesi

Usakti :” Pandangan terhadap profesi lain, harus saling menghormati, saling

ketergantungan saling membutuhkan, selain ada okter gigi ada farmasi,

kebidanan, dan k3, menurut saya semuanya punya peranan masing, kalau saya

nanti buka praktek saya akan meminta bantuan mereka yang ahli dalam K3.

Kepada spesialis lain. Semua profesi bersinggungan tetapi pada batasnya, disitu

kita tahu batasnya dan bekerja sama dengan profesi lain. Dokter gigi tidak bisa

sendiri, harus ada kerja sama, menghormati dan menghargai perbedaan

pekerjaan. Saya sanga menghargai dan menghormati bagaimana tahap mereka

mencapai sebagai tenaga medis tersebut. Menghargai, yang lain dengan

keahliannya, bagaimana pandangan org tersebut dengan kita tapi saya berharap

org tsb menganggap kita. Saling membutuhkan, makanya tidak boleh memandang

rendah, karena kita satu pelayanan medis. Kita membutuhkan mereka, kita butuh

asisten untuk bahan dokter gigi, administrasi yang lebih mengerti pengelolaan

klinik kita. Semuanya amat penting, karena kita dokter gigi hanya mengerti gigi

dan bagian kepala, kita tidak mengerti bagian lain. Seharusnya tetap sebagai

sesama tenaga kesehatan berpandangan kita itu sama, saling membantu dalam

menciptakan suatu pelayanan. Anggap sama sama saja, sama sama mendukung

karena orang punya keterampilan masing-masing, komunikasi yang terganggu,

diantara perawat dikarenakan perawat merasa rendah dibawah dokternya.”

UMY : “Menghargai profesi lain karena membutuhkan mereka untuk

bekerjasama menangani pasien. Menghargai dan menghormati profesi lain

karena mereka sangat penting dalam pelayanan kesehatan pada pasien.

Menghargai dan menghormati profesi lain sebagaimana saya ingin dihargai dan

90

dihormati. Tidak ingin dipandang sebelah mata dan ingin dianggap selayaknya.

Ingin dipandang sebagai dokter gigi yang baik dan bertanggungjawab dalam

suatu tim. Ingin dihormati dan dihargai oleh profesi lain. Kalau kita baik pada

orang, saya berprasangka baik bahwa mereka juga akan baik terhadap kita.

Kalau ingin dihargai orang maka kita harus menghargai orang lain terlebih

dulu.”

UGM :” Sesama profesi kesehatan lebih bagus jika berkolaborasi. Dapat

melakukan manajemen pasien dengan lebih baik tapi harus menyadari batas-batas

kompetensinya. Respek pada tenaga kesehatan lain selama mereka melakukan

pekerjaan sesuai kompetensi mereka. Selama tukang gigi tidak melanggar UU

maka tidak apa-apa jika mereka melakukan pekerjaannya. Karena kita akan

bekerja bersama-sama dan tanpa peran salah satu kita takkan bisa bekerja dengan

baik. Masing-masing profesi memiliki kesetaraan. Equalitas. Selama profesi lain

berkerja sesuai kompetensi maka saya tidak memiliki pikiran yang aneh-aneh.

Dental hyangienist tidak diperbolehkan melakukan odontektomi atau tindakan-

tindakan lain yang merupakan kompetensi spesialis. Apoteker sebaiknya

berkomunikasi dengan baik dengan dr. Kerjasama dgn profesi lain baik jika sesuai

kompetensi dan tidak melanggar aturan yang ada. Menghormati semua profesi dan

saling percaya dalam 1 tim untuk melakukan suatu perawatan. Saling menghormati

penting untuk terjalinnya komunikasi yang baik dan efektifitas perawatan. Setiap

kompetensi memiliki tujuan dan manfaat masing-masing. Saling membantu dan

menghormati. Tidak merasa superior/inferior. R.1 : Setiap profesi lahir karena

adanya kebutuhan di masyarakat, maka setiap profesi harus dihormati dan

dihargai. Menghargai profesi lain karena tidak ada suatu profesi yang lebih baik

dari lainnya. Setiap profesi pasti memiliki manfaatnya dalam ranah kerjanya

masing-masing.”

91

7. Skala 1 : pengetahuan mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4: Keragaman

dan Etika

Usakti : “ yang saya ketahui tentang etika seorang dokter gigi adalah seorang

dokter gigi harus terus terang, bicara apa adanya, jangan menjanjikan hasil,

janjikan usaha, untuk kesembuhan hanya yang atas yang tahu, meskipun tu untuk

menghibur pasien. Jangan pernah berbohong untuk perawatan pasien. Jangan

diberikan perawatan yang ribet demi kepentngan dokter. Tentang hak privasi,

kerahasiaan pasien termasuk Etika. Sebuah keharusan, sebuah moralitas tidak

menghina agama budaya orang tersebut. Harus memegang nilai etika untuk

memegang keharmonisan masyarakat. Patient interest, kemauan pasien.

Semaksimal mungkin effortnya untuk menyembuhkan pasien. Ada bukunya dan

pasalnya. Dokter gigi tidak melecehkan , tidak merendahkan teman sejawat. Saya

kurang tahu tapi sudah diatur harusnya bagaimananya. Etika dokter gigi sama

seperti etika sesama manusia, bagaiaman kita mau dihargai begitulah kita

menghargai org lain. Etika terhadap pasien teman sejawat.Etika dokter gigi di

sumpah dokter gigi. Suatu tindakan seorang dokter gigi dgn memperhatikan norma

yang berlaku dlam lingkup dokter gigi, dalam sumpah dokter gigi tercakup Etika.

Sedangkan hak privasi, kerahasiaan pasien dan menghormati martabat orang lain

adalah what happened in ruangan praktek stay in ruangan praktek, mau apapun

curhatan pasien, kita tidak punya hak untuk menyebarkan ke orang lain. Apalagi

rekam medis, kecuali dengan izin untuk diketahui oleh dokter lain. kerahasiaan

pasien di rekam medis identitas pasien tidak boleh disebarkan. saya akan

memperlakukan org lain sepertt saya ingin diperlakukan. Kita harus menjaga

privasi dan martabat, bahkan ke keluarga nya itu sendiri. Konsultasi kasus juga

hanya kasus saja tidak mengenai orangnya. hal hal yang tidak boleh kita ceritakan

ke orang lain, seperti di sumpah dokter bahwa kita tidak boleh menceritakan

apapun yang ada di dalam praktek, itu khusus untuk kita dokter gigi dan perawat,

bisa dibilang itu ais seorang pasien. Kita punya data dan informasi pasien yang

92

merupakanprivasi pasien yang tidak boleh dikasih tau ke org lain, sebagai dokter

gigi harus menjaga kerahasiaannya.

Usakti : “ Budaya yang unik dan tidak membedakan latar belakang pasien dalam

melakukan pelayanan kesehatan gigi misalnya kita tidak boleh memandang budaya

agama suku apapun, sedikit catatan untuk hal ekonomi, banyak dokter gigi yang

money oriented. Di satu sisi biaya sekolah yang sudah dikeluarkan besar, kita

berbeda dgn dokter umum yang pakai senjata stetoskop, dokter gigi punya banyak

senjata yang butuh modal besar. Tarif normal untuk orang biasa, 1 hari untuk

orang kurang mampu. Multikultural, merespon budaya unik dnegan open minded,

siapa yang bisa memilih agama. Misal pasien berbahasa jawa, dokter jangan

menyambut dengan muka yang tidak enak. Keunikan harusnya tidak jadi

penghalang, dengan keunikan yang beragam, kita tidak membedakan, dokter gigi

memberikan pelayanan terbaik kepada pasien tanpa membedakan pasien, contoh :

nyirih, kita hanya bs memberikan informasi kepada pasien bahwa ini kurang tepat

dan tetap memberikan pengetahuan yang benar. Waktu bulan puasa kemaren,

budaya orang puasa yang tidak boleh meminum air dalam pengerjaan gigi. di

Indonesia banyak suku adat dan ras yang berbeda2, kita sebagai dokter gigi tidak

boleh memilih2 menangani pasien, tidak boleh menolak dengan alasan SARA,

harus menerima pasien apa adanya. Pasien yang ditemui berbeda-beda dan kita

tidak bisa memilih pasien mana yang datang ke klimik kita, ini kota besar pasti

pemikiran orang lebih maju, kondisi gigi disini lebih baik dibandingkan di daerah

tapi kita harus beradaptasi dgn skapapun pasien kita. Tidak pandang sebelah mata

keadaan pasien harus ditangani dengan sukarela, contoh: tante dokter gigi praktek

tidak di kota, pasien ada yang ngutang, hanya kasih ktapi, nyicil dan ujungnya ga

bayar, tapi ujungnya kita memang mau mengobati pasien, tidak money oriented “

93

UMY :” Etika seorang dokter gigi adalah sesuatu yang boleh atau tidak boleh

dilakukan oleh dokter gigi. Batasan yang harus dimiliki dokter gigi dalam

melakukan sesuatu. Batasan atau peraturan bagi dokter gigi dalam mengerjakan

pasien. Batasan dalam melakukan perawatan atau tindakan agar tidak merugikan

pasien. Peraturan atau kode etik pada wilayah lingkup kerja untuk menghindari

kerugian pada pasien dan dokter gigi. Suatu sikap dokter gigi saat memberikan

pelayanan pada pasien dengan memperhatikan kaidah- kaidah etik dalam

masyarakat. Privasi adalah sesuatu yang bersifat pribadi dari setiap orang yang

harus kita hargai dan hormati. Kita harus menjaganya bahwa hanya kita dan

pasien yang tahu. Privasi adalah sesuatu yang menjadi rahasia pasien dan tidak

boleh disebarluaskan. Tidak membocorkan diagnosa pasien. Menjaga kerahasiaan

riwayat penyakit pasien sesuai yang terdapat di Rekam Medis. Suatu pedoman

yang tidak boleh dilanggar. Tidak membicarakan kerahasiaan seseorang dengan

orang lain dan melakukan tindakan sebaik mungkin.”

UMY : “ Saya akan menggunakan alat dan metode serta tindakan yang sama untuk

semua pasien tanpamembedakan status social. Tidak membedakan ras, agama,

dalam melakukan pelayanan kesehatan dan dalam koridor etik yang sama.

Melakukan perawatan semaksimal mungkin pada setiap orang. Untuk budaya yang

unik, di bali ada kebiasaan mengukir gigi yang tidak baik untuk dilakukan. Jika

ada pasien yang melakukan tindakan tersebut maka kita mengkomunikasikan

dengan baik supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Memahami budaya menyikat

gigi dengan batubata di daerah-daerah terpencil.

Budaya menginang atau mengikir gigi masih ada di masyarakat. Tidak

membedakan strata sosial pasien. Melakukan tindakan secara adil. Tidak

mengutamakan pasien yang memiliki jabatan atau posisi penting supaya kita lebih

terkenal. Untuk menangani pasien kita tidak boleh membedakan berdasarkan

SARA, status sosial ekonomi, dsb. Tidak membedakan pasien BPJS dengan non

BPJS. Tidak memandang sebelah mata pasien. Tidak membedakan pasien

94

berdasarkan ras, agama, jabatan maupun asal usul. Misalnya pada pasien WNA

dilakukan tindakan secara maksimal, namun tidak halnya dengan WN local.”

UGM : “Tidak boleh menjatuhkan sesama sejawat, merendahkan dokter gigi yang

lain. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan dokter gigi pada pasien dan rekan

sejawatnya; aturan pemasangan papan nama, cara berkomunikasi yang baik

dengan pasien. Merahasiakan identitas pasien. Meminta izin pada pasien jika ingin

membahas kasusnya atau memotret. Apa yang boleh/tidak boleh dilakukan oleh

dokter gigi pada pasien, sesama dokter gigi, dan tenakes lain. Contohnya aturan

pemasangan plang praktik yang harusnya dipenuhi. Tidak menjelekkan sesama

dokter gigi. Menjalankan profesi dengan sikap kemanusiaan. Tidak mengambil

keuntungan dari pasien. Contoh pasien yang hanya memerlukan perawatan

ortodontik removable namun dokter gigi memasang fixed ortho. Tidak mengambil

kesempatan dari kebutuhan pasien. Merahasiakan data pasien dengan cara

menyimpannya dengan baik sehingga tidak dipergunakan pihak-pihak lain tanpa

persetujuan pasien. Komunikasi yang baik, sopan santun, memiliki etika

kemanusiaan terhadap pasien. Privasi adalah hak setiap orang. Riwayat rekam

medis dan pengobatan pasien harus dijaga. Yang mengetahui hanya pasien dan

dokter saja. Menghormati pasien dan menghargai privasinya. Merahasiakan

identitas pasien. Meminta izin pada pasien jika ingin membahas kasusnya atau

memotret. Dalam pelayanan kesehatan gigi, kita harus menghormati rahasia

pasien, tidak menyebarluaskan riwayat kesehatan pasien bahkan ke kerabat/teman

terdekatnya tanpa persetujuan pasien. Martabat adalah menghormati/menghargai

seseorang sebagaimana mestinya. Menjaga kerahasiaan pasien penting karena itu

adalah hak pasien. Dokter tidak boleh menyebarluaskan riwayat kesehatan pasien

bahkan ke kerabat/teman terdekatnya tanpa persetujuan pasien. Penting untuk

mencegah ketidakadilan pada pasien itu sendiri. Rekam medis pasien tidak boleh

dibawa keluar Rumah Sakit karena mungkin ada penyakit-penyakit yang membuat

seorang pasien merasa malu/ minder dan dapat dijatuhkan posisinya. Memohon

95

izin sebelum melakukan tindakan agar pasien lawan jenis tidak tersinggung atau

risih.”

UGM :” Budaya yang bervariasi bisa menjadi potensi yang lebih besar. Untuk

pelayanan kesehatan sudah tertuang dalam sumpah dokter bahwa semua harus

dilayani tanpa memandang perbedaan maupun penyakit yang diderita pasien.

Sangat setuju. Dokter tidak boleh membedakan pasien. Pasien boleh memilih

dokternya tapi tidak sebaliknya. Pasien PSK, HIV, LGBT, tidak boleh ditolak.

Kesenjangan gender juga harus dikesampingkan jika terpaksa bersentuhan dengan

lawan jenis. Tidak membeda-bedakan pasien berdasarkan asal tempat tinggal,

suku, ras, warna kulit, bahasa. Indonesia banyak memiliki budaya unik. Kebiasaan

pangur di Bali mengikis lapisan email namun kita tidak bisa serta merta

menghentikannya. Sesuai dengan kode etik tidak boleh membedakan pasien

walaupun kondisi pasien memiliki penyakit menular seperti HIV. Saya kurang tahu

budaya uniknya apa karena Indonesia banyak memiliki budaya. Sulit

mengesampingkan budaya unik di tiap daerah. Dokter gigi tidak boleh

membedakan pasien dari ras, latar belakang, dan pekerjaannya.

Ketika kita merawat pasien, kita tidak memikirkan tentang latar belakang pasien

dan tetap melakukan perawatan dengan baik. Ada beberapa dokter gigi yang

mengingkan uang dari pasien tapo tentu saja itu bukan hal yang benar. Pasien

memiliki keistimewaan masing-masing terutama dilihat dari latar belakang pasien.

Baik usia, suku budaya, lokasi tinggal, harus diperlakukan sama. Memperhatikan

apakah tindakan-tindakan yang kita lakukan sesuai dengan indikasi pasien. Pasien

HIV tetap dikerjakan namun dengan penuh kehati-hatian. Menginang dulu banyak

ditemukan. Setiap pasien adalah sama, keputusan-keputusan pengobatan harus

berdasarkan penyakit bukan berdasarkan latar belakang pasien atau strata

sosial.”

8. Skala 2 : Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4: Keragaman dan Etika

96

Usakti : “ Saya tidak akan memberitahukan ke orang lain, menutup identitas

pasiennya tidak diumbar ke orang lain. Saya akan minta izin persetujuan pasien

dan menjaga diri, kalau menyampaikan ke teman sejawat hanya ciri-ciri saja,

berdiskusi dengan teman untuk membantu pasien. Saya akan memegang komitmen

untuk tidak membeberkan personalnya, tapi kasusnya. Dalam memberikan

pelayanan kesehatan gigi terhadap pasien dengan berbagai latar belakang, saya

akan menyesuaikan diri dengan budayanya seperti budaya pangur, kita tidak

melarang tetapi kita dapat memberi informasi dari akibat itu apa, terima dengan

tangan terbuka. Setiap orang memang unik dengan perilaku dan budaya berbeda,

kita belajar pola perilaku individu, supaya orang lain dapat terima informasi,

dalam melakukan interaksi dan komunikasi tetap dengan patient oriented dan

patient focus. Dimulai dari kitanya sendiri, saat kita dihadapkan dengan

perbedaan yang banyak, ikuti spo nya. Perlakukan sebagaimana sesame manusia,

sebagaimana kita ingin diperlakukan juga. Untuk itu dokter gigi perlu menawarkan

layanannya kepada pasien sesuai kemampuan ekonomi, social.”

UMY :” Saya akan menjaganya sebaik mungkin dengan konsisten dan tidak

menyebarkan kerahasiaan pasien dan menjaganya dengan baik, bahkan pada

keluarga pasien sendiri dan tidak menyebarkannya tanpa persetujuan pasien. Bila

diperlukan untuk kepentingan medis, saya akan memberikan informasi berupa

Rekam Medis. Penyimpanan Rekam Medis dilakukan secara baik. Jika ingin

berdiskusi dengan rekan sejawat, maka dilakukan dengan menyembunyikan

identitas pasien. Memberikan pelayanan secara maksimal tanpa membedakan

latar belakang mereka. Mengikuti prosedur yang ditetapkan agar pasien tahu

bahwa perawatan yang dilakukan adalah baik dan benar. Memperlakukan pasien

dengan sama sesuai kompetensi dan SOP yang ada. Memberikan pelayanan

semaksimal mungkin tanpa membedakan latar belakang pasien. Menyesuaikan

dengan budaya dan pemahaman pasiennya. Memandang sama dan adil pada

97

setiap orang. Berkomunikasi dengan bahasa daerah serta memperhatikan kondisi

dan aspek-aspek pribadi pasien.”

UGM :” Untuk menjaga privasi/kerahasiaan pasien saya tergantung persetujuan

pasien. Misalnya benar-benar tidak boleh maka tidak boleh. Rekam Medis tidak

boleh dibawa kemana-mana harus langsung disimpan di ruang Rekam Medis. Saya

Selalu merahasiakan kondisi pasien dalam perawatan kita dari pihak lain dan tidak

sembarangan menyebarkan identitas pasien. Di dunia dental fotografi kita harus

meminta izin pasien untuk memposting foto-foto kasus. Dengan manajemen Rekam

Medis atau identitas pasien dengan baik dan teliti agar pihak-pihak lain diluar

bidang kesehatan terkait tidak mengetahuinya, dengan menyimpannya dengan baik

di lemari. Menjaga kekedapan ruang praktek sehingga tidak terdengar dari luar.

Menanyakan pada pasien pihak mana saja yang diizinkan mengetahui tentang

penyakitnya. Menyimpan Rekam Medis dengan baik dan hati-hati supaya tidak bisa

diakses oleh orang-orang yang tidak berwenang. Tidak membuka rahasia

kesehatan pasien pada publik. Menjaga privasinya sebagaimana saya ingin privasi

saya dihargai oleh orang lain. Dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi

terhadap pasien dengan berbagai latar belakang saya akan menyesuaikan

komunikasi namun pelayanan tetap sama antar satu pasien dengan yang lain.

Dimana hal ini tergantung demografi dan adat istiadat pasien. Jadi dokter gigi

memperlakukan pasien sesuai budaya mereka, berempati dan ramah. Harus bisa

memberikan pelayanan terbaik secara sama, tidak membeda-bedakan. Sesuai

standar prosedur. Semua pasien akan mendapatkan pelayanan yang sama. Untuk

pasien dengan penyakit menular atau risiko tinggi, dokter lebih meningkatkan

perlindungan diri dan memberikan pelayanan sesuai prosedur yang sama. Alat-

alat dan bahan dikonsultasikan dulu biayanya dengan pasien apakah keberatan

atau tidak. Menggunakan bahasa yang awam dan mudah dipahami. Dokter gigi

yang menaati sumpah janji tidak seharusnya membedakan pasien berdasarkan

status finansial. Apapun latar belakang pasien tetap melakukan perawatan dengan

98

baik. Bekerja dengan berpegang pada profesionalitas. Memahami kondisi adat

istiadat, kesehatan, usia pasien, tidak membeda-bedakan pasien baik dari SARA,

ekonomi, usia. Mengedepankan komunikasi efektif. Melakukan tindakan khusus

pada pasien berkebutuhan khusus. Tidak mendiskriminasi karena kesehatan

adalah hak setiap individu. Memperlakukan individu sesuai dengan kondisinya.

9. Skala 2 : Pengetahuan dan Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 5 :

Berpusat pada Komunitas

Usakti : “Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat kerjasama

perlu dilakukan dengan pasien itu sendiri, orang tua, kader, dokter kecil, palang

merah untuk memberitahukan kesehatan gigi, mahasiswa, KUM - ITT dari bidang

fakultas lain juga dengan pemerintahan, posyandu, puskesmas, kader-kader,

teman sejawat, public figure yang memberikan pengaruh baik, tokoh masyarakat

yang dijunjung tinggi. keluarga, sekolahan, masyarakat. Sebagai dokter gigi kelak

saya akan melakukan kerjasama dokter, pasien perawat, elemen-elemen lain

pendukung juga masyarakat, teman teman dokter gigi, organisasi kedokteran gigi,

pemerintahan. Juga orang tua, saudara, melalui media social, Instagram, blog

untuk berita-berita yang di posting.”

UMY :” Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat kerjasama perlu

dilakukan dengan seluruh komponen bidang kesehatan seperti dokter umum,

dokter gigi, dokter gigi spesialis, perawat, apoteker,pemerintah, komponen non

medis di Rumah Sakit. Pemerintah, tokoh-tokoh desa, pihak swasta,petugas

administrasi. Dengan instansi kesehatan dan semua komponen didalamnya,

pemerintah untuk membuat program dan sistem kesehatan sebagai landasan dalam

bekerja. Saat menjadi dokter gigi yang akan diajak bekerja sama untuk

meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat adalah semua elemen bidang

99

kesehatan seperti dokter umum, perawat, ahli farmasi, dan juga pemerintah selaku

pembuat kebijakan, tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan pendekatan agar

masyarakat lebih terbuka. Kader kesehatan desa, kepala desa supaya memberikan

penyuluhan pada masyarakat mengenai cara hidup sehat, termasuk swasta.”

UGM : “Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat kerjasama perlu

dilakukan dengan Puskesmas untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, sekolah-

sekolah untuk UKGS, stake holder di kecamatan/kelurahan, dan dokter gigi

puskesmas itu sendiri, pemerintah selaku pembuat aturan, warga masyarakat

setempat sebagai kader-kader dokter gigi, stake holder terkait, tokoh masyarakat,

sesama dokter gigi. Dokter gigi dapat menjadwalkan dan mendelegasikan

pekerjaan dengan dokter gigi spesialis atau kompetensi lain sesuai kasus.

Berdiskusi dengan kompetensi lain untuk menentukan diagnosis final dari seorang

pasien. Komunitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari perawat dan dental

hyangienist. Memiliki kolaborasi dengan provider instrumen baik swasta maupun

pemerintah. Bidang kesehatan lain juga diperlukan untuk mendiagnosis suatu

penyakit. Perawat dan tehniker dalam tindakan. Diluar tindakan, dengan key

person dalam masyarakat untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Dokter

Gigi perlu berdiskusi tentang masalah kesehatan di masyarakat dengan ahli-ahli

lain. Perlu berkerjasama dengan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan

masyarakat. Kepala puskesmas, dokter spesialis, apoteker, dental higienis,

tehniker. Juga dengan aspek masyarakat seperti kepala desa. pihak BPJS,

kerjasama antara FKG dengan RSGM sehingga peran RSGM dapat menjadi

RSGMP, penyedia layanan radiografi. Pemda setempat, terutama untuk mengetahui

insidensi suatu penyakit di suatu daerah. Dengan dr, dr spesialis dokter gigi lain,

dokter gigi spesialis, RS terdekat sebagai rujukan. Dengan masyarakat untuk

promotif, preventif. Dengan tenaga kesehatan lainnya (dr/dokter gigi spesialis)

untuk kuratif. Saat menjadi dokter gigi yang akan diajak bekerja sama untuk

meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat adalah stake holder

100

(pemerintah). Sasaran primer langsung ke masyarakat dan sasaran sekunder

berupa tokoh-tokoh masyarakat. Namun tergantung pekerjaan kita, apakah sebagai

akademisi atau pembuat kebijakan di pemerintah yang lebih luas cakupannya. Bila

sebagai klinisi (praktek pribadi) saya akan berkerjasama dengan perawat dan

tokoh-tokoh masyarakat untuk kegiatan pengabdian masyarakat. Bisa juga dimulai

dari sekolah-sekolah dan masyarakat karena masa-masa pertumbuhan sangat

krusial. Harus dimulai sedini mungkin untuk mengurangi kerusakan. Dibantu

tokoh-tokoh masyarakat, dokter gigi lain, pemerintah daerah, Puskesmas, perawat,

tehniker, dokter gigi lain disekitar saya, lembaga kemasyarakatan, karang taruna,

ibu-ibu PKK.. Tokoh-tokoh untuk memproduksi alat, menjalankan iklan layanan

masyarakat. Melakukan promosi kesehatan gigi dan mulut melalui youtube/public

figure (artis,penyanyi) untuk pendekatan efektif pada masyarakat karena mereka

mudah mengikuti public figure. Penyedia instrument (Intrument provider)

kesehatan, Diluar tindakan, dengan key person dalam masyarakat untuk

mendapatkan kepercayaan masyarakat, sehingga tindakan saya dapat lebih baik.

Tenaga kessehatan sendiri, keluarga saya bisa menjadi role model kesehatan gigi

dan mulut yang baik bagi masyarakat.”

101

BAB VI

PEMBAHASAN

Implementasi IPE di IPDG di Indonesia saat ini diberikan dalam berbagai

bentuk program atau perkuliahan. Seperti contohnya di IPDG UGM implementasi IPE

diberikan dalam bentuk modul praktek kerja lapangan (PKL) di semester akhir sebelum

mahasiswa masuk program profesi. PKL ini dirancang melibatkan mahasiswa dari

berbagai rumpun ilmu kesehatan dan materi yang diberikan berupa tugas membuat

proyek kesehatan bagi masyarakat sesuai disiplin ilmu masing-masing. Implementasi

IPE di IPDG UMY diberikan dalam bentuk modul perkuliahan yang terstruktur dan

terintegrasi dalam kurikulum pendidikannya dimana metode belajarnya sudah

melibatkan berbagai mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi dan tenaga kesehatan

lainnya sejak semester 2 hingga semester 7. Di IPDG Usakti IPE belum

diimplementasikan dalam bentuk modul khusus dan terstruktur. Materi IPE diberikan

dalam bentuk tatap muka perkuliahan di semester 7, sebelum mahasiswa masuk

program profesi. Perbedaan implementasi IPE ini juga terjadi di berbagai belahan

dunia baik Eropa, Amerika, Australia dan Asia. Sebagai contoh perbedaan

implementtasi pelaksanaan IPE di Amerika digambarkan dalam laporan American

Dental Education Association (ADEA) tahun 2014 yang melaporkan bahwa

implementasi IPE disetiap institusi dilakukan secara berbeda baik dalam hal program,

materi, waktu pemberian, jumlah tenaga kesehatan yang terlibat, focus area dan lain

sebagainya.59

Berdasarkan hasil uji validitas untuk kuesioner pengetahuan diperoleh dari

sejumlah 23 pertanyaan hanya 8 pertanyaan yang valid, dengan level of significance

5%, nilai r tabel 0,25 didapat angka r hitung antara -0.105 – 0.659. Untuk itu 15

pertanyaan dikeluarkan karena kurang dari r tabel yaitu 0.25 dan hanya 8 pertanyaan

yang digunakan untuk mengukur pengetahuan mahasiswa terhadap IPE. Sedangkan uji

102

realibilitas kuesioner pengetahuan diperoleh nilai Cronbach’s Alpha 0,710 > 0,6 (nilai

konstanta yg ditentukan) seluruh pertanyaan dianggap reliabel dan dapat diolah lebih

lanjut.

Uji validitas 26 pertanyaan dalam kuesioner IPAS telah dilakukan untuk versi

aslinya IPAS dengan nilai Koefisien Cronbach alpha: 0.62 sampai 0.92.54 Sedangkan

hasil uji validitas versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk level of significance

5% dan nilai r tabel 0,25 diperoleh r hitung berkisar antara -0.203 – 0.762 dan terdapat

3 pertanyaan yang tidak valid (nilai r hitung < 0,25) dan tidak digunakan dalam

penelitian. Hasil analisis uji kehandalan terhadap kuesioner IPAS didapatkan nilai

Cronbach’s α 0,943 > 0,6 (nilai konstanta yg ditentukan), dimana nilai rtabel dengan

signifikansi 5% menunjukkan bahwa kuesioner tersebut handal dan dapat digunakan

dalam pengukuran penelitian ini.

Pada uji Kruskal - Wallis menunjukkan nilai rata-rata pengetahuan mahasiswa

terhadap IPE untuk aspek manfaat IPE nilai rata-rata diperoleh 1.17 dan 1.77 dengan

nilai rata-rata 1.47. Nilai ini masuk dalam skala pengetahuan sedang. Pada aspek

kompetensi IPE diperoleh nilai 1.5 dan 1.18 dan nilai rata-ratanya 1.34, masuk dalam

kategori skala pengetahuan sedang. Untuk aspek pendekatan IPE diperoleh nilai nilai

1.24, 118 dan 116, dengan nilai rata-rata 1.19 yang masuk dalam kategori rendah.

Aspek budaya dan etika nilai yang diperoleh adalah 1.18. Nilai ini menggambarkan

pengetahuan yang masih rendah terhadap IPE. Hal ini dapat dijelaskan karena sebagian

besar mahasiswa di IPDG 69% (UGM 36 % dan Usakti 33%) belum mendapat materi

IPE dalam pendidikannya. Gambaran dari pengetahuan yang masih rendah ini juga

terlihat dari hasil wawancara FGD mahasiswa tentang konsep IPE. Pada mahasiswa

IPDG UMY yang telah mendapat pembelajaran secara IPEmereka dapat memberikan

jawaban yang lebih baik dan tepat tentang konsep praktik kolaborasi antar tenaga

kesehatan dalam ruang lingkup yang lebih luas contohnya kolaborasi antara dokter

gigi, dokter, perawat, terapis gigi mulut, tenaga farmasi dan dokter spesialis lainnya.

Analisis statistik sikap mahasiswa terhadap IPE diperoleh nilai rata-rata 110.63 dengan

103

standar deviasi 10,844. Nilai tersebut masuk dalam skala sikap baik (x > 78). Secara

keseluruhan nilai tertinggi berturut-turut adalah Prodi KG UMY (129.47), FKG UGM

(124.61) dan FKG Usakti (121.33). Nilai ini memberikan gambaran bahwa benar

dengan adanya implementasi IPE di IPDG menghasilkan sikap yang lebih baik

dibandingkan dengan IPDG yang belum mengimplementasikan secara terstruktur.

Hasil ini juga ditunjang dengan dengan hasil penelitian secara kualitatif dimana rata-

rata pengetahuan dan sikap mahasiswa di seluruh IPDG positif dan menunjang adanya

pembelajaran IPE. Penelitian serupa oleh Mishoe et al. mendapat hasil nilai

mahasiswa yang telah mendapat IPE memiliki nilai sikap dan perilaku yang lebih

tinggi.4

Perbedaan sikap di ketiga universitas setelah uji Kruskal – Wallis diperoleh

nilai Chi-Square 0,511, df 2 dan Asym sig 0.775 dimana Asym. Sig 0,775 > 0,05 yang

berarti menerangkan perbedaan sikap mahasiswa terhadap IPE di antara ketiga

universitas tidak berbeda bermakna. Hal ini terjadi kemungkinan karena materi IPE

di ke 3 universitas telah diberikan dalam bentuk lain baik secara terstruktur maupun

tidak dalam kurikulum IPDG. Di IPDG UMY impelementasi IPE telah dilangsungkan

dengan sangat komprehensif dan baik sejak awal perkuliahan. Topik-topik yang

merupakan 5 aspek IPE yaitu tentang kerjasama tim, peran dan tanggungjawab,

berpusat pada pasien, bias antar profesi, keragaman dan Etika serta berpusat pada

Komunitas sudah melebur di dalam materi modul-modul perkuliahan yang ada, dan

disampaikan dalam bentuk student center learning. Sedangkan untuk IPDG UGM dan

Usakti walaupun implementasi IPE belum diberikan secara komprehensif namun

materi IPE secara tidak langsung ada dalam bentuk topik-topik yang ada dalam modul.

Sehingga mahasiswa memahami konsep IPE membentuk sikap positif. Contoh pada

kuliah manajemen bedah oral di IPDG UGM topik IPE secara tidak langsung diberikan

melalui kuliah yang disampaikan dosen yang mengampu sesuai bidang spesialisasinya

yaitu dokter bedah, dokter anastesi, dokter bedah mulut dan dosen farmasi.

Pada uji statistik sikap mahasiswa subskala 1 tentang kerjasama tim, peran

dan tanggungjawab didapat nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subkala 1 aspek

104

kerjasama tim, peran dan tanggung jawab didapat tertinggi mahasiswa UGM (127.58),

kedua UMY (126.287) dan paling rendah Usakti (121.024). (tabel 12). Nilai ini masuk

dalam skala sikap yang baik (X> 78,baik ). Namun rangking yang diperoleh tidak

memberikan gambaran perbedaan sikap yang tidak bermakna, berdasarkan hasil uji

Kruskal – Wallis dimana nilai rata-rata yang diperoleh pada 9 pertanyaan yang diuji

hasilnya berkisar 0.152 – 0.887, Asymp. Sig > 0,05. Hasil ini juga didukung dalam

hasil wawancara mahasiswa dimana sikap mahasiswa terhadap aspek 1: kerjasama tim,

peran dan tanggungjawab. Pemahaman mahasiswa IPDG UGM, UMY dan Usakti

terhadap IPE dalam dilihat dari jawaban mereka atas pertanyaan tentang kerjasama

tim.

Pengetahuan mahasiswa UGM“ Satu tim dalam merawat seorang pasien lebih baik

jika datang dari berbagai profesi seperti karena kita menganggap pasien sebagai

satu manusia seutuhnya…”

Pengetahuan mahasiswa UMY: “Kolaborasi beberapa profesional dibidang medis

untuk memberi pelayanan komprehensif pada pasien yang merupakan suatu

kumpulan profesional dari berbagai bidang kesehatan dimana masing-masing

memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri sesuai dengan kompetensi dan

tanggung jawab yang dimiliki, untuk mencapai tujuan yang sama yaitu merawat

pasien sebaik mungkin…”

Pengetahuan mahasiswa Usakti: “Menurut saya kerja tim itu seperti operasi punya

dokter dan asisten-asistennya. Dokter yang bertanggung jawab dengan asisten-

asistennya berintegrasi.

Pernyataan tentang kerjasama tim dijawab dengan konsep yang sedikit berbeda

oleh mahasiswa Usakti yang belum mengimplementasikan IPE. Mereka memiliki

105

tingkat pemahaman akan kerjasama tim yang kurang komprehensif dibandingkan

rekannya mahasiswa UGM dan UMY.

Penelitian Ilmanita, D dan Rohman, RM juga mengatakan mahasiswa Farmasi

yang telah mendapatkan IPE memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih baik

dibandingkan yang belum mendapat IPE.34

Bertolakbelakang dengan penelitian Mishoe, S dkk mengatakan mahasiswa

yang belum mendapat IPE memiliki nilai post test yang lebih tinggi dibandingkan

dengan mahasiswa yang telah mendapatkan modul IPE.4

Pada hasil uji pengetahuan dan sikap mahasiswa subskala aspek berpusat pada

pasien, diperoleh nilai tertinggi USAKTI 127.982, UGM 127.982 UMY 118.256. Pada

subskala ini pengetahuan dan sikap pada mahasiswa IPDG Usakti yang belum

menjalankan IPE mendapat nilai lebih tinggi dibandingkan IPDG UGM dan IPDG

UMY yang telah mengimplementasikan IPE. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah

benar pemahaman dan persepsi mahasiswa FKG Usakti memang sesuai dengan nilai

rata-rata yang dicapai. Untuk itu peneliti melakukan evaluasi terhadap data

kualitatifnya. Berikut adalah pernyataan mereka pada pada penelitian kualitatif untuk

subskala 2 : berpusat pada pasien.

Pengetahuan mahasiswa Usakti:“ “ Mengapa disebut berpusat kepada pasien,

karena tugas kita memenuhi kebutuhan pasien dalam hal medis. Misal pasien datang

ke kita, setahu saya, zaman dahulu hubungan dokter dan pasien satu arah, sakit ini,

ini obatnya tapi tidak dijelaskan lebih lanjut, zaman sekarang sudah berubah, lebih

berorientasi kepada pasien, kita dokter lebih menjadi pendengar keluhannya…”

Jawaban yang diatas mencerminkan jawaban calon dokter gigi yang siap

melakukan pelayanan yang berorientasi atau berpusat kepada pasien. Perbedaan nilai

sikap mahasiswa terhadap subskala 2 tidak menunjukkan nilai yang bermakna hal ini

tampak dari hasil uji Kruskal – Wallis dimana didapat hasil Asymp. Sig berada pada

rental 0.128 – 0,552 > 0,05 (tabel 15). Demikian halnya dengan hasil wawancara pada

106

mahasiswa IPDG lainnya yang juga memberikan jawaban mendukung sikap berpusat

kepada pasien seperti tergambar dalam jawaban berikut :

Sikap Mahasiswa UGM: “Perasaan saya tentang pelayanan yang berpusat kepada

pasien, sangat setuju. dokter bisa memberikan kebebasan kepada pasien..”

Sikap Mahasiswa UMY: “ Sangat positif. Kita dapat mengajak pasien untuk turut

serta mengambil keputusan…”

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh D. Boland dkk, dimana hasil hasil

pengukuran terhadap subskala 2 : berpusat pada pasien untuk nilai rata-rata yang

diperoleh mahasiswa Farmasi sebelum pemberian IPE berada pada nilai 4.41 dengan

standar deviasi 0.45 yang masuk kategori baik.57 Sedangkan untuk mahasiswa IPDG

pada penelitian ini nilai rata-rata yang diperoleh terendah 4.54 standar deviasi 0.695

dan rata-rata tertinggi 4, 75 dengan standar deviasi 0.488 masuk dalam kategori baik.

Hasil uji statistik pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE untuk

subskala 3 : Bias antar profesi diperoleh nilai rata-rata tertinggi pada setiap pertanyaan

untuk IPDG UMY (1,2,3) dengan nilai rata-rata antara 3.26 -3.57. Nilai ini masuk

dalam kategori sikap sedang. Demikian halnya dengan hasil pada tabel 16 yang

menerangkan nilai rata-rata rangking untuk setiap IPDG diperoleh nilai UMY

(142.05), UGM (126.47), dan Usakti (107.80).

Hasil ini menjelaskan bahwa pengetahuan dan sikap mahasiswa IPDG UMY

tentang bias antar profesi sudah baik. Dapat dimengerti karena mahasiswa UMY telah

mendapatkan IPE sejak di semester 2 (dua) secara terstruktur dan terintegrasi.

Pemahaman akan identitas profesinya dan profesi kesehatan lain sangat penting dan

bermanfaat pada saat mereka akan memasuki dunia profesi kelak untuk melakukan

kolaborasi praktek dan menghindari terjadinya tumpeng tindih kompetensi serta

tanggungjawab. Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan hasil wawancara FGD

terhadap mahasiswa UMY.

Pengetahuan mahasiswa UMY: “Bias yang sering terjadi terhadap profesi dokter

gigi adalah dokter gigi hanya menangani gigi dan rongga mulut saja. Profesi lain

107

menganggap dokter gigi hanya mengurus masalah gigi dan mulut saja..” Menghargai

dan menghormati profesi lain sebagaimana saya ingin dihargai dan dihormati...“

Pada hasil uji statistik pada sikap subskala 4 : keragaman dan etika Nilai

rangking rata-rata terbaik dari ketiga universitas adalah FKG Usakti (1,2,3,4) untuk

seluruh pertanyaan.( tabel 18). Menimbulkan pertanyaan bagi peneliti karena

walaupun mahasiswa FKG Usakti belum mendapat IPE dalam pendidikannya namun

sikap mereka lebih baik dibandingkan rekan-rekannya yang telah mendapat IPE baik

yang terstruktur diseluruh pendidikan akademiknya maupun yang hanya di akhir

pendidikan akademiknya. Bila menilik hasil jawaban mahasiswa FGD dalam dapat

dilihat bahwa mahasiswa tersebut sudah memahami apa yang dimaksud tentang

keragaman dan etika.

Pengetahuan mahasiswa Usakti: “ Di Indonesia banyak suku adat dan ras yang

berbeda-beda, kita sebagai dokter gigi tidak boleh memilih2 menangani pasien, tidak

boleh menolak dengan alasan SARA, harus menerima pasien apa adanya….”

“…yang saya ketahui tentang etika seorang dokter gigi adalah seorang dokter gigi

harus terus terang, bicara apa adanya, tentang hak privasi, kerahasiaan pasien

termasuk etika, what happened in ruangan praktek stay in ruangan praktek.”

Pada hasil uji statistik untuk subskala 5 : berpusat kepada komunitas dapat

dilihat pada tabel 20 berturut turut nilai mahasiswa UMY (124.698), UGM (124.062),

dan Usakti (126.294). Nilai ini masuk dalam kategori sikap yang baik (x > 78). Uji

statistik Kruskal - Wallis untuk subskala 5 didapat rata-rata nilai Asymp. Sig > 0,05

menggambarkan sikap mahasiswa di ketiga IPDG tidak berbeda secara bermakna.

Hasil ini memberikan gambaran bahwa adanya implementasi IPE di IPDG tidak selalu

memberikan pengaruh terhadap pengetahuan dan sikap mahasiswa dalam memberikan

pelayanan yang berpusat pada komunitas. Sikap mahasiswa terhadap aspek 5 rata-rata

tampak mendukung adanya kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan

kesehatan gigi masyarakat. Hal inipun tercermin dalam jawaban mereka pada

wawancara FGD sebagai berikut:

108

Pengetahuan mahasiswa UMY : “ Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi

masyarakat kerjasama perlu dilakukan dengan seluruh komponen bidang kesehatan

….”

Sikap Mahasiswa UMY: “ Saat menjadi dokter gigi yang akan diajak bekerja sama

untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat adalah semua elemen bidang

kesehatan …”

Pengetahuan Mahasiswa UGM: “…“Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi

masyarakat kerjasama perlu dilakukan dengan Puskesmas untuk meningkatkan

kesehatan masyarakat, sekolah-sekolah untuk UKGS, stake holder di

kecamatan/kelurahan,…”

Sikap mahasiswa UGM: “…dental hygienist, penyedia layanan radiografi, BPJS,

administrasi dan manajemen. Pemda setempat, dokter spesialis, rumah Sakit….”

Pengetahuan mahasiswa Usakti : “…..kerjasama perlu dilakukan dengan pasien itu

sendiri, orang tua, kader, dokter kecil, palang merah untuk memberitahukan kesehatan

gigi, …”

Sikap mahasiswa Usakti: “…“Kader-kader, semakin dari kecil semakin bagus,

pemerintah, dengan jadi bagian dari pemerintahan banyak kebijakan yang bisa

membantu orang, kaderisasi mencapai daerah-daerah yang sulit…”

Penelitian ini mengalami beberapa kendala yang dapat mengakibatkan data yang

diperoleh bias, yaitu dalam hal pengambilan data dengan menggunakan google form

waktu pengisiannya tidak bersamaan (serentak). Ada mahasiswa yang langsung

mengisi saat itu juga namun sebagian besar mengisi setalah beberapa hari kemudian.

Sehingga memungkinkan antar mahasiswa berdiskusi jawaban kuesioner yang

mempengaruhi hasil jawaban. Demikian halnya dengan data kualitatif dengan

menggunakan FGD. Apabila posisi duduk mahasiswa senior lebih duluan, sering

memberikan pengaruh terhadap mahasiswa juniornya. Hal lain yang juga berpengaruh

109

adalah besarnya jumlah sampel dalam penelitian. Jumlah sampel yang minimal

memberikan gambaran statistik yang tidak terlalu bermakna pada uji perbedaan.

Kendala-kendala seperti ini juga dialami oleh pada penelitian lain yang juga mendapati

hasil dimana sikap mahasiswa sebelum mendapat IPE umumnya sudah positif, namun

dengan adanya implementasi IPE sikap mereka menjadi lebih baik.61

Penelitian ini hanya mengukur pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE

pada tahap akademik/sarjana di IPDG. Hasil yang lebih baik akan lebih tampak dalam

bentuk perilaku saat mahasiswa sudah terpapar di program profesi. Untuk itu

sebaiknya penelitian dilakukan pada ke dua tahap ini dan hasilnya dapat dibandingkan

untuk melihat perbedaan perilaku mahasiswa.

110

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di IPDG Usakti, UMY dan

UGM yang telah mengimplementasikan dan yang belum mengimplementasikan

terdapat perbedaan namun tidak berbeda secara signifikan.

B. Saran

1. Saran bagi IPDG

Implementasi IPE sangat diperlukan diimplementasikan di seluruh IPDG untuk

meningkatkan perilaku kolaboratif dari dokter gigi di masyarakat kelak.

2. Saran untuk Pemerintah

a. Kementrian riset dan teknologi Pendidikan tinggi (Kemenristekdikti) perlu

mendorong setiap IPDG untuk mengimplementasikan IPE dalam modul

pembelajaran di program studi kedokteran, kedokteran gigi dan kesehatan

lainnya baik dalam bentuk modul intrakurikulum maupun ekstrakurikulum.

b. Kementrian kesehatan (Kemenkes) perlu mendorong dan mendukung

implementasi IPE di IPDG khususnya di RSGM dan fasilitas pelayanan

primer bidang kedokteran gigi, agar praktik kolaboratif antar tenaga

kesehatan dapat terwujud dan pelayanan ke masyarakat lebih berkualitas

3. Saran bagi pengembangan ilmu

Perlu penelitian lebih lanjut dengan berbagai indikator pengukuran

pengetahuan, sikap dan perilaku kolaboratif terhadap dampak IPE di IPDG

untuk mengukur hasil yang lebih akurat dan tepat.

111

DAFTAR PUSTAKA

1. Frenk J, Chen L, Bhutta ZA, Cohen J, Crisp N, Evans T, Fineberg H, Garcia P,

Ke Y, Kelley P, Kistnasamy B. Health professionals for a new century:

Transforming education to strengthen health systems in an interdependent

world. The lancet. 2010 Dec 4;376(9756):1923-58.

2. Khalili H, Hall J, DeLuca S. Historical analysis of professionalism in western

societies: Implications for interprofessional education and collaborative

practice. Journal of Interprofessional Care. 2014 Mar 1;28(2):92-7.

3. Friedrichsen S, Martinez T, Hostetler J, Tang. J. Innovations in

Interprofessional Education: Building Collaborative Practice Skills. CDA

Journal. Vol 42. 2014. 627-635

4. Mishoe SC, Tufts KA, Diggs LA, Blando JD, Claiborne DM, Hoch J, Walker

ML. Health Professions Students' Teamwork Before and After an

Interprofessional Education Co-Curricular Experience. Journal of Research in

Interprofessional Practice and Education. 2018 May 18;8(1).

5. Lawrence D, Bryant TK, Nobel TB, Dolansky MA, Singh MK. A comparative

evaluation of patient satisfaction outcomes in an interprofessional student-run

free clinic. Journal of interprofessional care. 2015 Aug 28;29(5):445-50.

6. Khalili H, Hall J, DeLuca S. Historical analysis of professionalism in western

societies: Implications for interprofessional education and collaborative

practice. Journal of Interprofessional Care. 2014 Mar 1;28(2):92-7.

7. Reeves, S., Perrier, L., Goldman, J., Freeth, D., & Zwarenstein, M.

Interprofessional education: Effects on professional practice and healthcare

outcomes (update). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2013. 3, 1–47.

8. Maharajan MK, Rajiah K, Khoo SP, Chellappan DK, De Alwis R, Chui HC, et

al. Attitudes and Readiness of Students of Healthcare Professions towards

Interprofessional Learning. PLOS ONE 12(1)

2017:e0168863.doi:10.1371/journal. pone.0168863

9. World Health Organization. Framework for action on interprofessional

education and collaborative practice. 2010. WHO: Switzerland 2012. Available

at: http://www.who.int/hrh/resources/framework_action/ en/

10. Barr H, Koppel I, Reeves S, Hammick M, Freeth D. Effective interprofessional

education: argument, assumption and evidence. Blackwell

Publishing. Oxford, 2005

112

11. Lawrence D, Bryant TK, Nobel TB, Dolansky MA, Singh MK. A comparative

evaluation of patient satisfaction outcomes in an interprofessional student-run

free clinic. Journal of interprofessional care. 2015 Aug 28;29(5):445-50.

12. Barr H. Responding as interprofessional educators to the WHO challenge.

Journal of Taibah University Medical Sciences. 2016 Dec 1;11(6):505-9.

13. Barr, H, Helme M, D’Avray, L. Developing Interprofessional Education in

health and social care course in United Kingdom. A progress Report. Health

Sciences and Practice Subject Centre. Higher Education Academy. UK. 2011

14. Bridges D, Davidson RA, Soule Odegard P, Maki IV, Tomkowiak J.

Interprofessional collaboration: three best practice models of interprofessional

education. Medical education online. 2011 Jan 1;16(1):6035.

15. Riva JJ, Lam JM, Stanford EC, Moore AE, Endicott AR, Krawchenko IE.

Interprofessional education through shadowing experiences in multi-

disciplinary clinical settings. Chiropr & Osteopat. 2010; 18:31.

16. Hood K, Cant R, Baulch J, Gilbee A, Leech M, Anderson A, Davies K. Prior

experience of interprofessional learning enhances undergraduate nursing and

healthcare students' professional identity and attitudes to teamwork. Nurse

Education in Practice. 2014 Mar 1;14(2):117-22.

17. Sigalet E, Donnon T, Grant V. Undergraduate students’ perceptions of and

attitudes toward a simulation-based interprofessional curriculum: the KidSIM

ATTITUDES questionnaire. Simulation in Healthcare. 2012 Dec 1;7(6):353-8.

18. Rajiah K, Maharajan MK, Khoo SP, Chellappan DK, De Alwis R, Chui HC, Tan

LL, Tan YN, Lau SY. Suitability of the RIPLS and IEPS for Discriminating

Attitude Differences towards Interprofessional Education among Students of

Healthcare Profession. Education Research International. 2016;2016.

19. Virtue,SM, Rotz,ME, Boyd,M, et al. Impact of a novel interprofessional dental

and pharmacy student tobacco cessation education programme on dental patient

outcomes, Journal of Interprofessional Care. 2017. DOI:

10.1080/13561820.2017.1378171

20. Shrader S, Kern D, Zoller J, Blue A. Interprofessional teamwork skills as

predictor of clinical outcomes in a simulated healthcare setting. J Allied Health

2013. Spring; 42(1):e1-6 . diunduh

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23471287

21. Kenaszchuk C, MacMillan K, Soeren M, Reeves S. Interprofessional simulated

learning: short-term associations between simulation and interprofesional

collaboration. BMC Medicine. 2011. Diunduh

https://bmcmedicine.biomedcentral.com/articles/10.1186/1741-7015-9-29

113

22. Reeves, S., Perrier, L., Goldman, J., Freeth, D., & Zwarenstein, M.

Interprofessional education: Effects on professional practice and healthcare

outcomes (update). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2013. 3, 1–47.

23. Olenick M, et al. Interprofessional education: a concept analysis. Dove Medical

Press Ltd. Advances in Medical Education and Practice 2010:1 75–84. DOI:

10.2147/AMEP.S13207

24. Nango E, Tanaka Y (2010) Problem-based learning in a multidisciplinary group

enhances clinical decision making by medical students: a randomized controlled

trial. J Med Dent Sci 57: 109–118.

25. Cameron A, Rennie S, DiProspero L, Langlois S, Wagner S, Potvin M,

Dematteo D, LeBlanc V, Reeves S. An Introduction to teamwork findings from

an evaluation of an interprofessional education experience for 1,000 first-year

health science students. Journal of allied health. 2009 Dec 1;38(4):220-6.

26. Cameron A, Ignjatovic M, Langlois S, Dematteo D, DiProspero L, Wagner S,

Reeves S. An interprofessional education session for first-year health science

students. American Journal of Pharmaceutical Education. 2009 Sep;73(4):62.

27. Barr H. Competent to collaborate: towards a competency-based model for

interprofessional education. Journal of interprofessional care. 1998 Jan

1;12(2):181-7.

28. Riva JJ, Lam JM, Stanford EC, Moore AE, Endicott AR, Krawchenko IE.

Interprofessional education through shadowing experiences in multi-

disciplinary clinical settings. Chiropractic & osteopathy. 2010 Dec;18(1):31.

29. Hood K, Cant R, Baulch J, Gilbee A, Leech M, Anderson A, Davies K. Prior

experience of interprofessional learning enhances undergraduate nursing and

healthcare students' professional identity and attitudes to teamwork. Nurse

Education in Practice. 2014 Mar 1;14(2):117-22.

30. Sunguya BF, Hinthong W, Jimba M, Yasuoka J. Interprofessional education for

whom?—challenges and lessons learned from its implementation in developed

countries and their application to developing countries: a systematic review.

PLoS One. 2014 May 8;9(5):e96724.

31. Reeves S, Zwarenstein M, Goldman J, Barr H, Freeth D, et al. (2008)

Interprofessional education: effects on professional practice and health care

outcomes. Cochrane Database Syst Rev: CD002213.

32. Hammick M, Freeth D, Koppel I, Reeves S, Barr H (2007) A best evidence

systematic review of interprofessional education: BEME Guide no. 9. Med

Teach 29: 735–751.

114

33. Dewi SP, Sayusman C, Wahyudi K. Persepsi Mahasiswa Profesi Kesehatan

Universitas Padjadjaran Terhadap Interprofessionalism Education. Jurnal

Sistem Kesehatan. 2016 Jun 1;1(4).

34. Ilmanita, D, Rokhman, MR. Peran Interprofessional Education terhadap persepsi

keterlibatan apoteker dalam kolaborasi antar profesi. Jurnal Manajemen dan

Pelayanan Farmasi. Volume 4 Nomor 3. 2014. Hal 166-174

35. Setiarso, Bambang. Knowledge Management/ Knowledge Sharing dan

Penciptaan Pengetahuan. Artikel dalam Visi Pustaka Volume 8 Nomor 1 Juni

2006. Jakarta : Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi, Perpusnas RI.

36. Notoatmodjo, S., Pengantar Pendidikan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi

Offset, Yogyakarta, 2003.

37. Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010. h.20-22;

141-142

38. Azzahy, GH. Tentang Persepsi. 2008. Diunduh dari http://Syakira-

blog.Blogspot.com

39. Pieter HZ, Janiwarti B, Saragih NM,. Pengantar psikopatologi untuk

keperawatan. Kencana; 2011.

40. Reeves S, Freeth D, McCrorie P, Perry D. It teaches you what to expect in

future…': interprofessional learning on a training ward for medical, nursing,

occupational therapy and physiotherapy students. Medical education. 2002

Apr;36(4):337-44.

41. Barr H. Assuring the Quality of IPE for Health Social Care a Consultation Paper.

UK Centre for Advancement of IPE, London. 2002.

42. Cochran-Smith M, Lytle SL. Chapter 8: Relationships of knowledge and

practice: Teacher learning in communities. Review of research in education.

1999 Jan;24(1):249-305.

43. Gilbert J,et al. Preparing students for interprofessional teamwork in health care.

Journal of interprofessional care. 2000 Jan 1;14(3):223-35.

44. Freeth D, Reeves S. Learning to work together: using the presage, process,

product (3P) model to highlight decisions and possibilities. Journal of

Interprofessional Care. 2004 Feb 1;18(1):43-56.

45. Gallé J, Lingard L. A medical student's perspective of participation in an

interprofessional education placement: an autoethnography. Journal of

Interprofessional Care. 2010 Nov 1;24(6):722-33.

46. Kramer M, Schmalenberg C. Securing “good” nurse/physician relationships.

Nursing management. 2003 Jul 1;34(7):34-8.

115

47. Thannhauser J, Russell-Mayhew S, Scott C. Measures of interprofessional

education and collaboration. Journal of interprofessional care. 2010 Jul

1;24(4):336-49.

48. Vaughan B, Macfarlane C, Dentry T, Mendoza G. The interdisciplinary

education perception scale (IEPS): Which factor structure ?. Education in

Medicine Journal. 2014 Sep 1;6(3).

49. Parsell G, Bligh J. The development of a questionnaire to assess the readiness of

health care students for interprofessional learning (RIPLS). Med Educ.

1999;33(2):95–100

50. Williams B, Brown T, Boyle M. Construct validation of the readiness for

interprofessional learning scale: a Rasch and factor analysis. J Interprof Care.

2012;26(4):326–32

51. Luecht R, Madsen M, Taugher M, Petterson B. Assessing professional

perceptions: design and validation of an Interdisciplinary Education Perception

Scale. J Allied Health. 1990;19:181.

52. McFadyen A, Maclaren W, Webster V. The Interdisciplinary Education

Perception Scale (IEPS): An alternative remodelled sub-scale structure and its

reliability. J Interprof Care. 2007;21:433-43

53. Leitch J. Exploring psychometric properties of the interdisciplinary education

perception scale in health graduate students. J Interprof Care. 2013:1-6.

54. Norris, J et al. “The Development and Validation of the Interprofessional

Attitudes Scale: Assessing the Interprofessional Attitudes of Students in the

Health Professions” Academic medicine : Journal of the Association of

American Medical Colleges vol. 90,10 (2015): 1394-400.

55. Visser CL, Wilschut JA, Isik U, van der Burgt SM, Croiset G, Kusurkar RA.

The Association of Readiness for Interprofessional Learning with empathy,

motivation and professional identity development in medical students. BMC

medical education. 2018 Dec;18(1):125.

56. Cox M, Cuff P, Brandt B, Reeves S, Zierler B. Measuring the impact of

interprofessional education on collaborative practice and patient outcomes.

Journal of Interprofessional Care. 2016;30(1):1-3.

57. Boland D, White T, and Adams, T. "Experiences of pharmacy trainees from an

interprofessional immersion training." Pharmacy 6.2 (2018): 37.

58. Wong E, Leslie JJ, Soon JA, Norman WV. Measuring interprofessional

competencies and attitudes among health professional students creating family

planning virtual patient cases. BMC medical education. 2016 Dec;16(1):273.

116

59. Buchanan, J and Anderson E. Moving IPE forward : The Role for Dental

Education. ADEA webinar series. 2014 Aug.

60. Widyandana, D. Evaluating Interprofessional Education Principle in a

Longitudinal Community-Based Program for 3 Schools of Health Professions:

Medicine, Nursing, and Nutrition. Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia.

2018 Mar; Vol 7(1): 49-53

61. Fusco NM, Rivera JM, Doloresco F, Ohtake PJ,. Improving Pharmacy Students’

Attitudes Toward Collaborative Practice Through a Large-scale

Interprofessional Forum Targeting Opioid Dependence. American Journal of

Pharmaceutical Education 2019; 83 (6) Article 7034.

117

Lampiran 1

118

Lampiran 2

Kuesioner Pengetahuan Interprofesional Education (IPE)

Petunjuk Pengisian: a) Berikan jawaban untuk setiap pertanyaan (jangan

dikosongkan) b) Beri tanda (√) pada jawaban sesuai dengan yang anda ketahui.

No Pernyataan Benar Salah

A Definisi dan pengertian 1 IPE merupakan pembelajaran

bersama dimana dua atau lebih peserta didik program studi kesehatan yang berbeda belajar dengan, dari dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan.

2 Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran yang interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar yang kondusif

3 IPE merupakan suatu konsep pendidikan terintegrasi untuk meningkatkan kemampuan kolaboratif tenaga kesehatan.

4 IPE adalah diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai jurusan yang sama untuk membahas isu-isu kesehatan maupun kasus-kasus tertentu yang terjadi di masyarakat.

B Manfaat IPE

1 IPE bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan mengetahui peran, tanggungjawab dan kerjasama tim pada saat melakukan pelayanan kesehatan.

119

2 IPE memiliki manfaat untuk mengarahkan mahasiswa belajar untuk menjadi anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan profesional

3 IPE tidak berdampak pada peningkatan apresiasi mahasiswa dan pemahaman tentang peran dan tanggung jawab

4 IPE akan meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk memahami masalah klinis.

5 IPE memberikan manfaat berupa penurunan total komplikasi yang dialami pasien dan keluarga

C Kompetensi IPE

1 Salah satu kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran IPE adalah mahasiswa dapat bekerja secara mandiri

2 Metode pembelajaran IPE tidak mengajarkan toleransi perbedaan, kesalahpahaman dan peran profesi lain

3

Dosen harus mampu untuk memberikan kesempatan yang sama demi pembelajaran individu yang efektif bagi masing-masing anggota kelompok

4 Profesi kesehatan lain / mahasiswa dari disiplin ilmu kesehatan lain mempunyai persepsi yang atau membuat asumsi tentang saya karena disiplin ilmu yang saya pelajari.

D Pendekatan IPE

1 Pembelajaran bersama mahasiswa kesehatan lain akan membantu saya memahami keterbatasan saya sendiri

2 Pelayanan yang berpusat/berfokus pada pasien membutuhkan kerjasama tim dari profesi kesehatan lain guna mewujudkan pelayanan yang berkualitas.

120

3 Pembelajaran bersama mahasiswa ilmu kesehatan tidak menjadi suatu keharusan.

4 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa profesi kesehatan lain kurang memberikan manfaat dalam memecahkan permasalahan pasien.

5 Dengan kompetensi dan pengetahuan yang saya miliki sebagai dokter gigi tidak menjadi keharusan untuk menjalin kerjasama dengan profesi kesehatan lain.

E Budaya dan Etika

1 IPE mengajarkan mahasiswa menghargai budaya yang unik, nilai-nilai, peran / tanggung jawab, dan keahlian profesi kesehatan lainnya

2 Metode pembelajaran IPE memberikan toleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain.

3 IPE tidak mengajarkan apa yang saya perlukan untuk berkomunikasi secara efektif lintas budaya.

4 Pembelajaran yang diberikan meliputi topik menghormati martabat dan privasi pasien sambil menjaga kerahasiaan dalam melakukan perawatan berbasis individu .

5 Memberikan perawatan yang terbaik kepada pasien terlepas dari latar belakang mereka (mis. ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, kelas, asal kebangsaan, status imigrasi, atau kemampuan)

121

Lampiran 3

Responden yang saya hormati,

Saya mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG)

Universitas Trisakti. Saya sedang mengadakan penelitian tugas akhir tentang

Pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di institusi pendidikan

kedokteran gigi yang telah mengimplementasikan dan yang belum

mengimplementasikan IPE. Kuesioner ini berhubungan dengan pengetahuan dan

sikap anda terhadap metode pembelajaran di fakultas kedokteran gigi yang

dilaksanakan secara multi profesi. Hasil kuesioner ini tidak untuk dipublikasikan,

melainkan untuk kepentingan penelitian semata.

Atas bantuan, kesediaan waktu, dan kerja samanya saya ucapkan terima kasih.

Petunjuk pengisian : Berikan tanda (√) pada jawaban yang sesuai.

No Item berdasarkan subskala

Sangat

tidak

setuju

(STS)

Tidak

setuju

(TS)

Netral Setuju Sangat

Setuju

1 Kerja Tim, Peran dan Tanggung jawab

1.1 Pembelajaran bersama sebelum lulus dokter gigi

akan membantu saya menjadi dokter gigi yang

lebih baik dalam melakukan kerjasama tim

1.2 Pembelajaran bersama dengan profesi kesehatan

lain akan membantu saya berpikir positif tentang

profesi lain

1.3 Belajar dengan mahasiswa profesi kesehatan

lain akan membantu saya menjadi anggota tim

pelayanan kesehatan yang lebih efektif

1.4 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu

kesehatan lainnya, kan meningkatkan

kemampuan saya untuk memahami masalah

klinis.

122

1.5 Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat

jika mahasiswa ilmu kesehatan bekerja bersama

untuk memecahkan permasalahan pasien.

1.6 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu

kesehatan lainnya, akan membantu saya

berkomunikasi lebih baik dengan pasien dan

profesional lainnya.

1.7 Saya akan menyambut baik kesempatan untuk

bekerja pada proyek kelompok kecil dengan

mahasiswa ilmu kesehatan lainnya.

1.8 Tidak menjadi suatu keharusan mahasiswa ilmu

kesehatan untuk belajar bersama.

1.9 Pembelajaran bersama akan membantu saya

memahami keterbatasan saya sendiri.

2 Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient

Centeredness)

2.1 Penting bagi saya membangun kepercayaan

dengan pasien.

2.2 Penting bagi saya untuk berkomunikasi dengan

penuh perhatian dan simpati kepada pasien.

2.3 Memikirkan pasien sebagai pribadi adalah

penting dalam mendapatkan perawatan yang

benar

2.4 Dalam profesi saya, seseorang membutuhkan

keterampilan dalam berinteraksi dan bekerja

sama dengan pasien

2.5 Penting bagi saya untuk memahami

permasalahan dari sisi pandang pasien.

3 Bias Antar Profesi (Interprofesional Biases)

3.1 Mahasiswa dari profesi kesehatan lain memiliki

prasangka atau membuat asumsi tentang saya

karena disiplin ilmu yang saya pelajari.

123

3.2 Saya memiliki prasangka atau membuat asumsi

tentang profesi kesehatan lain / mahasiswa dari

disiplin ilmu kesehatan lain.

3.3 Prasangka dan asumsi tentang para profesi

kesehatan dari disiplin ilmu kesehatan lain

menghalangi jalannya proses penyembuhan

pasien

4 Keragaman & Etika (Diversity and Ethics)

Penting bagi tenaga profesional kesehatan

untuk:

4.1 Menghargai budaya yang unik, nilai-nilai, peran

/ tanggung jawab, dan keahlian profesi

kesehatan lainnya

4.2 Memahami apa yang diperlukan untuk

berkomunikasi secara efektif lintas budaya.

4.3 Menghormati martabat dan privasi pasien serta

menjaga kerahasiaan dalam melakukan

perawatan berbasis tim.

4.4 Memberikan perawatan terbaik kepada pasien

terlepas dari latar belakang mereka (mis. ras,

etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama,

kelas, asal kebangsaan, status imigrasi, atau

kemampuan)

5 Berpusat kepada Komunitas (Community

Centeredness)

Penting bagi tenaga profesional kesehatan

untuk:

5.1 Bekerja dengan petugas kesehatan masyarakat

dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan

pemberian layanan kesehatan pada masyarakat.

5.2 Bekerja pada proyek-proyek kesehatan untuk

promosi kesehatan komunitas dan kesehatan

masyarakat

124

5.3 Bekerja dengan dewan perwakilan rakyat dan

pemerintahan untuk mengembangkan undang-

undang, peraturan, dan kebijakan dalam

meningkatkan layanan kesehatan.

5.4 Bekerja dengan non klinisi untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang lebih efektif

5.5 Fokus pada populasi dan komunitas, selain

pasien individu, guna memberikan perawatan

kesehatan yang efektif

125

Lampiran 4

126

Lampiran 5

Nomor : …../AU.00.01/Usakti/FKG-Dek/III/2019 22 April 2019

Lampiran : Proposal Penelitian

Perihal : Permohonan Kegiatan Penelitian

Kepada Yth. : Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gadjah Mada

Up. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio(K)

Di

Tempat

Dengan Hormat,

Bersama ini diberitahukan bahwa mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, yaitu :

No Nama Nomor Induk Dosen Pembimbing

1 Marta Juslily 144170008 1. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg,

M.Kes

2. Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc

Akan melakukan penelitian dalam rangka penyusunan thesis yang berjudul: “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap Interprofessional Education di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi “. Sehubungan dengan perihal di atas, kami harapkan kepada mahasiswa tersebut dapat diberikan ijin untuk melakukan penelitian terkait dengan penyusunan thesisnya. Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

127

D e k a n, Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg, M.Kes

Tembusan : 1. Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada 2. Ketua Program Studi MIKG 3. Wakil Dekan I FKG Usakti 4. Arsip

128

Lampiran 5

Nomor : …../AU.00.01/Usakti/FKG-Dek/III/2019 22 April 2019

Lampiran : -

Perihal : Permohonan Kegiatan Penelitian

Kepada Yth. : Ketua Program Studi Kedokteran Gigi

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Up. Dr. Drg. Erlina Sih Mahanani., M.Kes,

Di

Tempat

Dengan Hormat,

Bersama ini diberitahukan bahwa mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, yaitu :

No Nama Nomor Induk Dosen Pembimbing

1 Marta Juslily 144170008 3. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg,

M.Kes

4. Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc

Akan melakukan penelitian dalam rangka penyusunan thesis yang berjudul: “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap Interprofessional Education di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi “. Sehubungan dengan perihal di atas, kami harapkan kepada mahasiswa tersebut dapat diberikan ijin untuk melakukan penelitian terkait dengan penyusunan thesisnya. Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

129

D e k a n, Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg, M.Kes

Tembusan : 1. Ketua Program Studi MIKG 2. Wakil Dekan I FKG Usakti 3. Arsip

130

Lampiran 5

Nomor : : …../AU.00.01/Usakti/FKG-Dek/III/2019 3 Maret 2019

Lampiran : -

Perihal : Permohonan Kegiatan Penelitian

Kepada Yth : Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

UniversitasTrisakti

Up. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti., drg, M.Kes

Di

Tempat

Dengan Hormat,

Bersama ini diberitahukan bahwa mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Trisakti, yaitu :

No N A M A Nomor Induk DOSEN PEMBIMBING

1 Marta Juslily 144170008 5. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg,

M.Kes

6. Dr. Adang Bachtiar, MPH,

DSc

akan melakukan penelitian dalam rangka penyusunan thesis yang berjudul : “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap Interprofessional Education di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi “. Sehubungan dengan perihal di atas, kami harapkan kepada mahasiswa tersebut dapat diberikan ijin untuk melakukan penelitian terkait dengan penyusunan thesisnya. Demikian, atas eprhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terimakasih.

131

D e k a n, Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg, M.Kes

Tembusan : 1. Ketua Program Studi MIKG 2. Wakil Dekan I FKG Usakti 3. Arsip

132

Lampiran 6 Alur pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD)

Penelitian IPE

Tatalaksana :

1. Dibuat 2 kelompok/ grup informan untuk setiap kategori IPE dan Non IPE

Total grup untuk setiap fakultas yang telah menerapkan IPE dan yang belum

IPE : 4 (emat) kategori dengan anggota 6-12 orang

Kriterianya : semester 2,4, ,dan 6 dimana setiap semester diambil 2 atau 3

orang, jenis kelamin campur komposisi laki-laki dan perempuan diusahakan

seimbang. Bila tidak seimbang tidak apa-apa.

2. Pertanyaan kuesioner terdiri atas unsur-unsur IPE yaitu pertama aspek Kerja

Tim, Peran dan Tanggung jawab, kedua aspek Berpusat kepada Pasien

Berpusat (Patient Centeredness), aspek ketiga Bias Antar Profesi

(Interprofesional Biases), aspek keempat Keragaman & Etika (Diversity and

Ethics), dan aspek kelima berpusat kepada Komunitas.

3. Tata cara FGD adalah sebagai berikut :

Peserta/responden diatur duduknya dari no urut 1 sampai dengan 9

setengah lingkaran dengan fasilitator duduk tepat di tengan depan bersama

notulis. Fasilitator kemudian memberikan pertanyaan tentang pengetahuan

IPE kepada responden untuk dijawab.

Pertanyaan tidak harus dijawab berurutan oleh responden.

1

2

4 6

8

3 7

5

9 F N

133

F : fasilitator , N: Notulis

4. Tugas notulis harus menulis secara terperinci apa yang menjadi jawaban dari

stiap responden. Misalnya :

Responden no 2 : “……………………………………………………………………………….”

Responden no 9 : “………………………………………………………………………………..”

Reponden no 1 :” …………………………………………………………………………………”

Responden no 7 : “…………………………………………………………………………………..”

Responden no 5 : “ …………………………………………………………………………………,”

Responden no 2 : “……………………………………………………………………………………”

Responden no 6 : “……………………………………………………………………………………”

Responden no 8 : “…………………………………………………………………………………..”

Responden no 3 :”…………………………………………………………………………………….”

Responden no 4 : “……………………………………………………………………………………..”

Bila hampir seluruh responden telah menjawab ditanyakan kembali dan

dapat pindah ke pertanyaan berikut.

5. Notulis membuat table data indentitas responden

NO Initial Umur Semester

2

9

1

134

7

5

6

8

3

4

6. Pertanyaan tentang pengetahuan mahasiswa untuk aspek pertama yaitu

kerja tim, peran dan tanggung jawab

a. Apa yang anda ketahui tentang kerjasama tim dalam pelayanan

kesehatan gigi ?

b. Berikan contoh-contoh implementasinya.

c. Bagaimana peran dan tangungjawab masing-masing anggota dalam

sebuah tm pelayanan kesehatan gigi ?

7. Pertanyaan tentang sikap mahasiswa untuk aspek kerja tim, peran dan

tanggungjawab :

a. Bagaimanan pandangan /perasaan anda terhadap kerjasama tim dalam

pelayanan kesehatan gigi ?

b. Bagaimana kelak anda akan memberikan pelayanan kesehatan gigi ?

(probing ke kerjasama tim )yang terkait dengan pelayanan kesehatan gigi,

dapat diberikan pandangan agar lebih dalam.

c. Bagaimana kelak peran dan tanggngjawabanda dalam melakukan

kerjasama tim pelayanan kesehatan gigi ?

8. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Berpusat kepada pasien :

a. Apa yang dimaksus dengan pelayanan yang berpusat kepada pasien ?

b. Apa yang anda ketahui tentang membangun kepercayaan ?

c. Apa yang anda ketahui tentang cara berkomunikasi ?

d. Apa yang anda ketahui tentang fokus kepada pasien?

e. Apa yang anda ketahui tentang ketrampilan berinteraksi ?

f. Apa yang anda ketahui tentang empati ?

9. Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat kepada pasien ?

a. Baga imana pandangan/perasaan anda tentang pelayanan yang berpusat

kepada pasien ?

b. Bagaimana kelak anda membangun kepercayaan dengan pasien ?

c. Bagaimana kelak anda berkomunikasi dengan pasien?

135

d. Bagaimana kelak anda berempati dan melakukan interaksi yang berfokus

kepada pasien ?

10. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek bias antar profesi

a. Sepengetahuan anda bias apa yang sering terjadi terhadap profesi dokter

gigi atau

b. Sepengetahuan anda apa yang sering terjadi terhadap profesi lain yang

berhubungan dengan pelayanan kesehatan gigi ?

11. Pertanyaan sikap tentang aspek bias antar profesi

a. Kelak bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan anda terhadap

profesi lain dan alasannya ?

b. Kelas bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan profesi lain

terhadap anda dan alasann ya ?

12. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Budaya dan Etika

a. Apa yang anda ketahui tentang Etika seorang dokter gigi ?

b. Apa yang anda ketahui tentang hak privasi, kerahasiaan pasien dan

menghormati martabat orang lain ?

c. Apa yang anda ketahui tentang budaya yang unik dan tidak membedakan

latar belakang pasien dalam melakukan pelayanan kesehatan gigi ?

berikan contohnya

13. Pertanyaan sikap untuk aspek budaya dan Etika

a. Bagaimana anda menjaga privacy/kerahasiaan pasien?

b. Bagaimana memberikan pelayanan kesehatan gigi terhadap pasien

dengan berbagai latar belakang ?

14. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek berpusat kepada Komunitas

a. Sepengetahuan anda untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi

masyarakat dengan siapa kerjasama perlu dilakukan ?

15. Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat pada Komunitas

a. Bila kelak anda menjadi dokter gigi siapa saja yang akan diajak bekerja

sama untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat ?

136

Langkah-Langkah menerapkan FGD :

1. Durasi FGD : 1.5- 2 jam

2. Setting ruangan dengan denah tempat duduk setengah lingkaran

dimana ditengah duduk fasilitator dan notulis sebelum FGD dimulai.

3. Sapa dan berikan salam ke peserta

4. Perkenalkan fasilitator, notulis dan tim peneliti

5. Persiapkan aturan mainnya dan alat perekam

6. Berikan informed consent untuk ditandatangani

7. Bacakan aturan main

8. Perkenalan dengan seluruh partisipan

9. Sesi awal : pertanyaan yang mudah dan umum

10. Peraturan dasar :

a. Hanya 1 orang berbicara dalam satu waktu

b. Berikan kesempatan yang sama untuk semua peserta

berbicara dan mengemukakan pendapatnya

c. Hargai pendapat setiap peserta, jangan

menyalahkan/mengkritisi pendapat seseorang

d. Hargai dan hormati pendapat seseorang dengan tidak

membahasnya diluar grup diskusi.

11. Contoh Pembukaan :

“ Selamat pagi, saya drg. Marta Juslily mahasiswa Magister Ilmu

kedokteran gigi Usakti. Adik-adik terimakasih sudah bersedia

meluangkan waktu dan menjadi peserta grup diskusi penelitian saya.

Perkenalkan asisten saya drg. Lia, Mepid yang akan membantu saya

sebagai notulis dan observer/ pengamat pada FGD ini. Tujuan

penelitian ini adalah menggali pengetahuan dan sikap anda sebagai

mahasiswa terhadap Interprofessional education di fakultas

kedokteran gigi.

Kami akan memberikan serangkaian pertanyaan dan meminta anda

untuk menjawabnya menurut apa yang anda pandang penting. Kami

ingin anda semua merasa nyaman untuk menjawab setiap

pertanyaan yang diberikan sesuai dengan apa yang anda ketahui.

Semua jawaban yang anda sampaikan disini sifatnya konfidential dan

dicatat dengan tanpa nama. Jadi tidak ada orang lain tahu siapa yang

menyampaikan apa. Untuk mendapatkan semua pendapat atau

pandanga yang disampaikan kami akan merekam percakapan ini.

Apakah ada yang keberatan dengan FGD ini ?

137

Sebelum kita mulai saya akan berkeliling dulu untuk memastikan saya

sudah mengenal anda masing-masing.

12. Mulai pertanyaan 1 sbb:

1) Pertanyaan tentang pengetahuan mahasiswa untuk aspek

pertama yaitu kerja tim, peran dan tanggung jawab

a) Apa yang anda ketahui tentang kerjasama tim dalam

pelayanan kesehatan gigi ?

b) Berikan contoh-contoh implementasinya.

c) Bagaimana peran dan tangungjawab masing-masing anggota

dalam sebuah tm pelayanan kesehatan gigi ?

2) Pertanyaan tentang sikap mahasiswa untuk aspek kerja tim, peran

dan tanggungjawab :

a) Bagaimanan pandangan /perasaan anda terhadap kerjasama

tim dalam pelayanan kesehatan gigi ?

b) Bagaimana kelak anda akan memberikan pelayanan kesehatan

gigi ? (probing ke kerjasama tim )yang terkait dengan pelayanan

kesehatan gigi, dapat diberikan pandangan agar lebih dalam.

c) Bagaimana kelak peran dan tanggngjawabanda dalam

melakukan kerjasama tim pelayanan kesehatan gigi ?

3) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Berpusat kepada pasien :

a. Apa yang dimaksud dengan pelayanan yang berpusat kepada

pasien ?

b. Apa yang anda ketahui tentang membangun kepercayaan ?

c. Apa yang anda ketahui tentang cara berkomunikasi ?

d. Apa yang anda ketahui tentang focus kepada pasien?

e.Apa yang anda ketahui tentang ketrampilan berinteraksi ?

f. Apa yang anda ketahui tentang empati ?

4) Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat kepada pasien ?

a. Bagaimana pandangan/perasaan anda tentang pelayanan

yang berpusat kepada pasien ?

b. Bagaimana kelak anda membangun kepercayaan dengan

pasien ?

c. Bagaimana kelak anda berkomunikasi dengan pasien?

d. Bagaimana kelak anda berempati dan melakukan interaksi

yang berfokus kepada pasien ?

5) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek bias antar profesi

138

a) Sepengetahuan anda bias apa yang sering terjadi terhadap

profesi dokter gigi atau

b) Sepengetahuan anda apa yang sering terjadi terhadap profesi

lain yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan gigi ?

6) Pertanyaan sikap tentang aspek bias antar profesi

a) Kelak bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan

anda terhadap profesi lain dan alasannya ?

b) Kelas bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan

profesi lain terhadap anda dan alasannya ?

7) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Budaya dan Etika

a) Apa yang anda ketahui tentang Etika seorang dokter gigi ?

b) Apa yang anda ketahui tentang hak privasi, kerahasiaan

pasien dan menghormati martabat orang lain ?

c) Apa yang anda ketahui tentang budaya yang unik dan tidak

membedakan latar belakang pasien dalam melakukan

pelayanan kesehatan gigi ? berikan contohnya

d) Pertanyaan sikap untuk aspek budaya dan Etika

e) Bagaimana anda menjaga privacy/kerahasiaan pasien?

f) Bagaimana memberikan pelayanan kesehatan gigi terhadap

pasien dengan berbagai latar belakang ?

8) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek berpusat kepada

Komunitas

a) Sepengetahuan anda untuk meningkatkan layanan kesehatan

gigi masyarakat dengan siapa kerjasama perlu dilakukan ?

9) Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat pada Komunitas

a) Bila kelak anda menjadi dokter gigi siapa saja yang akan diajak

bekerja sama untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi

masyarakat ?

13. Bagian Penutup

a. Diskusi berakhir dengan rangkuman yang dilakukan fasilitator

dan notulis berupa konfirmasi dari setiap jawaban yang

diberikan oleh seluruh peserta.

b. Apabila masih terdapat pertanyaan dari peserta dapat

diberikan jawaban oleh fasilitator

139

c. Fasilitator mengucapkan terimakasih atas partisipasi peserta

FGD dan tahap selanjutnya adalah mengolah data2 yang telah

masuk.

14. Tips agar berhasil FGD :

a. Buat suasana yang hangat dan terbuka agar peserta nyaman

dalam memberikan pendapat.

b. Bila memungkinkan lakukan kontak mata dengan peserta

untuk memberikan suasana menghargai dan menghormati

peserta.

c. Jangan menghakimi respon dari peserta diskusi baik secara

verbal maupun nonverbal (bahasa tubuh)

d. Bila peserta memberikan jawaban yang meragukan, gali lebi

dalam dengan pertanyaan “ apa yang anda maksudkan ? atau

apakah anda dapat memberikan contoh dari hal tersebut ?

e. Pertahankan fokus diskusi dari kelompok. Bila pembicaraan

melenceng ke lain topik, kembali ke topik awal, atau bila ada

pertanyaan yang sulit dijawab oleh peserta FGD susun ulang

pertanyaan tsb dengan kalimat yg lebih mudah.

f. Cegah peserta mendominasi percakapan.

g. Dorong peserta yang pasif untuk berpartisipasi secara aktif.

h. Jangan memberikan persetujuan dalam segala bentuk

jawaban dari peserta baik verbal maupun non verbal.

i. Berikan jawaban singkat berupa kata “ ya atau hm, atau ok”.

140

Lampiran 7 SURAT PERNYATAAN

Bersama surat ini saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti., MKes

Jabatan : Pembimbing I

Dan

Nama : Dr. Adang Bachtiar,MPH, DSc

Jabatan : Pembimbing II

Menyatakan bahwa :

Nama : Marta Juslily

Status : Mahasiswa semester 3 (tiga) MIKG Universitas Trisakti

Angkatan I tahun 2017/2018

Judul tesis : “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap

Interprofessional Education di Institusi Pendidikan

Kedokteran Gigi”

Benar mahasiswa yang tertulis diatas sebagai mahasiswa yang kami bimbing untuk

menyelessaikan tugas pembuatan karya ilmiah berupa Tesis. Adapun surat pernyataan

ini dibuat untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam pengurusan kelengkapan

ethical clearance penelitian yang akan mahasiswa tersebut lakukan.

Demikian surat pernyataan ini kami buat, semoga dapat membantu mahasiswa kami

dalam menyelesaikan penelitiannya. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan

terima kasih.

Jakarta, Oktober 2018

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti., MKes Dr. Adang Bactiar, MPH., DSc