PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
1
PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA DIDIK
TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE) DI
INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI
(Kajian di IPDG UGM, UMY dan Usakti)
Oleh
Marta Juslily
14417008
TESIS
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI
PERSYARATAN GUNA MEMPEROLEH GELAR
MAGISTER ILMU KEDOKTERAN GIGI
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
2
UNIVERSITAS TRISAKTI
2019
PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA DIDIK
TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)
DI INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI
(Kajian di IPDG UGM, UMY dan Usakti)
Tesis ini telah diuji tanggal : 13 Agustus 2019
Tim Penguji :
Ketua,
(Prof. Dr. drg. E. Arlia Budiyanti, SU, SpKGA)
Anggota,
(Prof. drg. Rahmi Amtha, MDS, SpPM, PhD) (Dr. drg. Yohana Yusra., M.Kes)
3
(Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti., MKes)
PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA DIDIK
TENTANG INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE)
DI INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI
(KAJIAN PADA FKG Usakti, FKG UGM, PRODI KG FKIK UMY)
Tesis ini telah diperiksa dan disetujui,
8 Agustus 2019
Pembimbing Utama Pembimbing I
(Prof. DR. drg. Tri Erri Astoeti., MKes) (Dr. dr. Adang Bachtiar., Msc)
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis penelitian dengan judul “ Pengetahuan dan sikap peserta didik
tentang interprofesional education (IPE) di institusi pendidikan kedokteran gigi
(IPDG)”. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan pendidikan Program
Magister Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.
Penyusunan tesis ini dapat terlaksana berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti, MKes selaku Pembimbing sekaligus Dekan
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.
2. Dr. Adang Bachtiar, MPH., DSc selaku Pembimbing ke dua
3. Dr. drg. Ella Nurlaella Hadi., Mkes selaku narasumber untuk materi Focus
Group Discussion (FGD)
4. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio(K) selaku Dekan FKG Universitas
Gajahmada
5. drg. Tetiana Haniastuti, MKes., PhD selaku Wakil Dekan I FKG
Universitas GajahMada
6. DR. drg. Erlina Sih Mahanani, M.Kes selaku Ka Prodi Kedokteran Gigi
FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
7. drg. Indri Kurniasih., MedEd selaku Ka UP2KG FKIK Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
8. drg. Erma Sofiani, Sp.KG. selaku Kaprodi Pendidikan Profesi Dokter Gigi
FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
9. Prof. Dr. drg. Arlia E. Budiyanti., SU., SpKGA selaku ketua penguji
10. Dr. drg. Rahmi Amtha., MDS, SpPM selaku Penguji
5
11. Dr. drg. Yohana Yusra., MKes selaku Penguji
12. Prof. Dr. drg. Boedi Oetomo Roeslan selaku Ketua Program Magister Ilmu
kedokteran Gigi sekaligus pengajar mata kuliah metodologi riset.
13. Para dosen MIKG yang telah membimbing penulis dan memberi arahan
dengan penyusunan tesis ini.
14. Para sahabat-sahabat di bagian IKGMP FKG Usakti khususnya Drg.
Widijanto, Lia, Ilod yang sudah membantu penelitian ini, teman-teman
lainnya yang selalu mendukung dan menyemangati; Mbak Sri, Mita, Rati,
Tere, Goi, Bu Saras dan Lil’ Diandra.
15. Teman-teman seperjuangan Linda, Ani, Annisa, Shelly, Silvy, Domi, dan
Ibnu. Terimakasih untuk dukungan dan semangatnya.
16. Sahabat-sahabatku RSGM yang selalu memberikan semangat dan bantuan.
17. Suamiku Mas Adit dan anak-anakku tercinta Kitto, Khara dan Kay yang
selalu mendoakan dan sudah mendukung dalam segala hal sampai
terselesaikannya tesis penelitian ini.
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
berkenan membantu dalam penyelesaian proposal ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalas semua kebaikan dan
melimpahkan berkat dan rahmatNya kepada semua pihak yang membantu dan terlibat.
Seperti pepatah tak ada gading yang tak retak, penulis masih banyak
kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan tesis penelitian ini, kritik dan
saran yang sifatnya membangun dan dapat memperkaya serta menyempurnakan
proposal sangat penulis harapkan. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita
semua dan khususnya bagi pengembangan
Jakarta, Agustus 2019
Penulis
6
ABSTRAK
Latar Belakang : Interprofesional Education (IPE) merupakan suatu konsep
pendidikan terintegrasi untuk meningkatkan kemampuan kolaboratif tenaga kesehatan
sejak dini melalui pembelajaran bersama secara multiprofesi.13 Implementasi IPE di
institusi pendidikan kedokteran gigi (IPDG) belum dilakukan di seluruh institusi
pendidikan kedokteran gigi yang ada di Indonesia. Untuk membentuk perilaku praktik
kolaboratif lulusan dokter gigi dan guna menunjang pelayanan berkualitas di fasilitas
pelayanan kesehatan maka IPE perlu diimplementasikan di seluruh IPDG. Tujuan :
untuk mengetahui adanya perbedaan pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap
implementasi IPE di IPDG yang telah dan belum mengimplementasikan. Metode
Penelitian : Desain penelitian observasional deskriptif analitik dengan rancangan
potong lintang (cross sectional). Instrumen pengukuran pengetahuan menggunakan
kuesioner yang dirancang, dan pengukuran sikap menggunakan kuesioner
Interprofesional attitude scale (IPAS). Jumlah total sampel 249 mahasiswa dari 3
IPDG yaitu UGM (90), UMY (76) dan Usakti (83). Pengambilan sampel secara
purposive sampling. Kesimpulan : Pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di
IPDG Usakti, UMY dan UGM yang telah mengimplementasikan dan yang belum
mengimplementasikan terdapat perbedaan namun tidak bermakna.
Kata kunci : IPE, IPDG
7
ABSTRACT
Background: Interprofessional Education (IPE) is an integrated learning concept to
improve the collaborative ability of health workers through multiprofessional learning
together.13 IPE in dental education institution (DEI) has not been implemented in all
dental education institutions in Indonesia. To form collaborative practice of dental
graduates and to support quality services in health care facilities, IPE needs to be
implemented throughout the DEI. Objective: research to find out the differences in
knowledge and attitudes of students towards the implementation of IPE in DEI that has
and has not yet been implemented. Research Method: Descriptive analytic
observational research design with cross sectional design. The instrument for
measuring knowledge uses a self-designed questionnaire. For attitude measurement
uses the Interprofessional attitude scale (IPAS) questionnaire. The total sample of 249
students from 3 DEI, are UGM (90), UMY (76) and Usakti (83). Sampling by
purposive sampling. Conclusion: Knowledge and attitudes of students towards IPE in
DEI UMY that have implemented and those that have not implemented which are DEI
UGM and Usakti, there are differences but are not significant.
Key word: IPE, DEI
8
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………. ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI …………………………….………………………………………….. v
ABSTRAK ………………...………………………………………………………. vii
ABSTRACT ……………………...………………………………………………... viii
DAFTAR SINGKATAN .…………………………………………………………... ix
DAFTAR TABEL ………………………………………………...………………… x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………. xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………… xiii
BAB I PENDAHULUAN …………………………..……………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………………...…………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………..……………………… 5
C. Tujuan Penelitian …………………………………..……………………. 5
D. Manfaat Penelitian ………………………………….…………………… 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………..………………….. 7
A. Pengetahuan dan Sikap ……………………………….………………… . 7
B. Interprofessional Education …………………………………………….. 9
C. Konsep IPE di Pendidikan kedokteran gigi ...………….………….……. 13
D. Alat Ukur Pengetahuan dan Sikap terhadap IPE ……………………….. 14
BAB III KERANGKA TEORI, KONSEP DAN HIPOTESIS …….……………… 15
A. Kerangka Teori ………………………………………….……………... 16
B. Kerangka Konsep ……………………………………….……………… 17
C. Hipotesis ………………………………………………..………………. 17
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN …………………………..……………… 18
A. Jenis dan Rancangan penelitian …………………………..……………. 18
B. Tempat dan waktu penelitian ……………………………..……………. 18
C. Populasi dan Sampel …………………………………..…..…………… 18
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ………………………………....………... 18
E. Variabel dan definisi operasional ……..………………..……..………. 18
9
F. Metode Pengumpulan Data ……………………….…………….……… 19
G. Definisi Operasional …………………………………………………….19
H. Alat dan bahan yang digunakan ………….…………………………..… 21
I. Cara pengambilan data penelitian ……………………………………... 22
J. Analisis Data …………………………………………………………… 22
K. Rencana Pelaksanaan …………………………………………………... 22
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Hasil penelitian kuantitatif ……………………………………………... 44
B. Hasil penelitian kualitatif ………………………………………………. 51
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Data Penelitian Kuantitatif ………………………….………………… 33
B. Data Penelitian Kualitatif ……………………………………………... 51
BAB VI PEMBAHASAN ………………………………………………………… 82
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 91
SUMMARY ……………………………………………………………………… 92
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 96
Lampiran …………………………………………………………………………. 124
10
DAFTAR SINGKATAN
IPE : Interprofessional Education
IPC : Interprofessional Collaboration
WHO :World Health Organization
CP : Collaborative practice
IPL : Interprofesional learning
PPA : profesional pemberi asuhan
RSGM : rumah sakit gigi dan mulut
IPDG : institusi pendidikan kedokteran gigi
UI : Universitas Indonesia
UGM : Universitas Gadjah Mada,
UMY : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
UNPAD : Universitas Padjajaran
UII : Universitas Islam Indonesia
CAIPE : Centre for the Advancement of Interprofessional Education
RIPLS : Readiness Interprofessional Learning Scale
IEPS : Interdiciplinary Education Perception Scale
IPAS : The Interprofessional Attitudes Scale
IPDG : Institusi Pendidikan Dokter Gigi
Usakti : Universitas Trisakti
FKG : Fakultas Kedokteran Gigi
RS : Rumah Sakit
11
DAFTAR SINGKATAN
IPE : Interprofessional Education
IPC : Interprofessional Collaboration
WHO :World Health Organization
CP : Collaborative practice
IPL : Interprofesional learning
PPA : profesional pemberi asuhan
RSGM : rumah sakit gigi dan mulut
IPDG : institusi pendidikan kedokteran gigi
UI : Universitas Indonesia
UGM : Universitas Gadjah Mada,
UMY : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
UNPAD : Universitas Padjajaran
UII : Universitas Islam Indonesia
CAIPE : Centre for the Advancement of Interprofessional Education
RIPLS : Readiness Interprofessional Learning Scale
IEPS : Interdiciplinary Education Perception Scale
IPAS : The Interprofessional Attitudes Scale
IPDG : Institusi Pendidikan Dokter Gigi
Usakti : Universitas Trisakti
FKG : Fakultas Kedokteran Gigi
RS : Rumah Sakit
12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1. Proses pembentukan sikap ……………………………………….. 9
Gambar 2. 2 Praktik Kolaboratif (Collaboratif practice) …………………………..16
Gambar 6.1 Karakteristik asal responden berdasarkan universitas ……………. 82
Gambar 6.2 Karakteristik Responden berdasarkan tingkat semester ……………83
13
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Readiness for Interprofessional Learning Scale (RIPLS) ……….………. 19
Tabel 2.2 Interprofessional Education Perception Scale (IEPS) versi asli Luecht
R, et al (1990) …………………………………….………………........... 22
Tabel 2.3. The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS) …………………………… 23
Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel …………………………………………… 30
Tabel 4.2 Rencana Pelaksanaan …………………………………………….............. 33
Tabel 5.1 Data Karakteristik Responden …………………………………………... 34
Tabel 5.2 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk seluruh ………….....
Universitas …………………………………………………………...… 35
Tabel 5.3 Nilai total rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE berdasarkan …………
universitas ………………………………………………………….……. 35
Tabel 5.4 Uji Statistik tes Kruskall – Wallis sikap mahasiswa terhadap IPE ..….... 36
Tabel 5.5 Nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subkala 1 kerjasama tim, peran dan
tanggungjawab ………………………………………………………..… 36
Tabel 5.6 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 1 :
Kerjasama tim, peran dan tanggungjawab ……………………………… 38
Tabel 5.7 Tes statistik Kruskal-Wallis untuk subskala 1 : kerjasama tim, peran dan
tanggungjawab …………………………………………………………... 40
Tabel 5.8 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2
Berpusat kepada pasien ………………………………………………….. 41
Tabel 5.9 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 : Berpusat
pada pasien berdasarkan universitas ……………………………….......... 42
Tabel 5.10 Tes statistik Kruskal -Wallis untuk subskala 2: Berpusat pada pasien…. 43
Tabel 5.11 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3 : Bias
Profesi …………………………………………………………………... 43
Tabel 5.12 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 3 : Bias
antar profesi ……………………………………………………………. 44
Tabel 5.13 Tes statistik Kruskal-wallis sikap mahasiswa terhadap IPE subskala 3 : Bias
antar profesi ……………………………………………………………. 45
Tabel 5.14 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4 : Keragaman
dan Etika ………………………………………………………………. 45
14
Tabel 5.15. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 4 :
Keragaman dan Etika …………………………………………………... 46
Tabel 5.16 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE
subskala 4 : Keragaman dan Etika ……………..……………………… 47
Tabel 5.17 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 5 :
Berpusat pada Komunitas ……………………………………………… 48
Tabel 5.18 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 5 :
berpusat pada Komunitas berdasarkan universitas …………..………... 49
Tabel 5.19 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE subskala
5 : Berpusat pada Komunitas ………………………………………….. 50
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tren pelayanan kesehatan saat ini telah mengalami perubahan paradigma
dimana para pemberi pelayanan kesehatan dituntut untuk bekerja dalam sebuah tim
dan mendapat pendidikan secara multiprofesi, termasuk juga kedokteran gigi.1-5 Di
berbagai belahan dunia telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan kesehatan dari
pelayanan berpusat kepada dokter (doctor center care) menjadi pelayanan berpusat
kepada pasien (patient center care). Pelayanan kesehatan yang berpusat kepada pasien
membutuhkan kolaborasi antar profesi guna tercapainya mutu dan kualitas pelayanan
yang optimal. Semakin banyak penelitian yang membuktikan bahwa Interprofesional
collaboration (IPC) dapat meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan keselamatan
pasien, memberikan kepuasan kepada pemberi layanan dan mengurangi biaya
pelayanan kesehatan.6
Menurut World Health Organization (WHO) praktik kolaboratif antar disiplin
ilmu kesehatan dapat memperkuat manajemen pelayanan kesehatan terhadap pasien.7-
10 Kemampuan tenaga kesehatan profesional berkolaborasi secara efektif memiliki
dampak potensial yang signifikan terhadap keselamatan pasien dan hasil perawatan
yang berkualitas,8 mengingat lingkungan praktik klinis di fasilitas pelayanan kesehatan
yang semakin kompleks dan dinamis.9 Pelayanan kesehatan yang baik adalah bila tata
kelola pelayanannya tidak terjadi tumpang tindih peran dan fungsi dari pemberi
pelayanan dengan latar belakang profesi yang berbeda-beda.8 Tumpang tindih peran
dalam pemberian pelayanan kepada pasien umumnya disebabkan karena lemahnya
komunikasi antar tenaga kesehatan, kurangnya pemahaman akan peran dan tanggung
jawab setiap profesi serta sikap saling menghargai antar profesi. Banyak literatur yang
menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang terkoordinasi dengan baik dari
multiprofesi akan menghasilkan pelayanan kesehatan pasien yang lebih holistik
16
jangka pendek maupun jangka panjang.11 Praktik kolaborasi/Collaborative practice
(CP) ini akan menguatkan sistem kesehatan dan meningkatkan pelayanan kesehatan.12
Salah satu upaya untuk mewujudkan kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah
dengan memperkenalkan praktik kolaborasi sejak dini melalui Interprofesional
Education (IPE).13 IPE merupakan suatu konsep pendidikan terintegrasi untuk
meningkatkan kemampuan kolaboratif tenaga kesehatan. IPE merupakan
pengkondisian atau kesempatan dimana dua atau lebih profesi kesehatan yang berbeda
belajar dengan, dari dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan
kualitas pelayanan kesehatan. 9-10, 13 Interprofesional learning (IPL) merupakan
strategi yang menjanjikan untuk mencapai praktik kolaborasi efektif para pemberi
layanan kesehatan.14 IPL membantu mahasiswa untuk mengenal peran profesi mereka
masing-masing dan juga peran anggota tim dari profesi lain.8 Elemen nilai-nilai
praktik kolaboratif meliputi tanggung jawab, akuntabilitas, koordinasi, komunikasi,
kerjasama, asertif, otonomi dan saling percaya dan saling menghargai.14 Berbagai riset
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang didapat dari pengalaman kerja sebelumnya
melalui IPE meningkatkan pemahaman terhadap identitas profesional dan sikap
terhadap kerja sama tim. 15-18
Penelitian Virtuea, et al., memperlihatkan bahwa kolaborasi antar profesi yang
dilakukan oleh mahasiswa kedokteran gigi dan mahasiswa farmasi dalam rangka
menghentikan kebiasaan merokok pasien (tobacco cessasion) menghasilkan pelayanan
yang lebih baik pada pasien dibandingkan dengan pelayanan standar tanpa kolaborasi
antar profesi.19 Penelitian lain menunjukkan bukti bagaimana kerjasama tim antar
profesi bila dilakukan secara efektif pada sebuah simulasi setting klinik dapat
menjadi prediktor keluaran klinis yang positif dari perilaku mahasiswa.20 Penelitian
Kenaszchuk et al., menunjukkan pendidikan yang difokuskan pada simulasi
interprofesional pada aspek kepemimpinan yang berbagi dapat memberikan pengaruh
maksimal untuk meningkatkan perawatan antarprofesi.21
Telah banyak literatur yang menekankan pentingnya penerapan IPE pada
pendidikan tenaga kedokteran dan kesehatan di berbagai tempat, namun implementasi
17
kurikulum IPE di institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan masih belum
diterapkan menyeluruh di semua institusi Pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan.
WHO mengeluarkan data tentang implementasi IPE di beberapa negara pada tatanan
institusi sebanyak 10, 2% dokter, 16% perawat/bidan, 5,7% ahli gizi, serta tenaga
kesehatan lainnya telah menerima pembelajaran berbasis IPE.9 Pada tatanan
universitas hasil survei pada 42 negara menyatakan bahwa sebanyak 24,6% sudah
mendapatkan kurikulum IPE pada tahap akademik.5 Di Indonesia implementasi IPE
belum dapat diterapkan di seluruh institusi pendidikan ilmu kesehatan karena berbagai
kendala. Penelitian Reeves, et al., menganalisis 46 tempat pelaksanaan IPE dimana 26
(57%) dari Eropa, 17 (37%) dari Amerika Utara, dan 3 (7%) dari Australia dengan hasil
positif dimana terjadi perubahan sikap dan persepsi disamping juga pengetahuan dan
ketrampilan tentang kolaborasi.22
IPE di bidang kedokteran gigi di Indonesia belum merata diimplementasikan
di seluruh Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG). Sebanyak 32 IPDG yang ada
di Indonesia hanya 6 yang telah melaksanakan IPE sejak tingkat pendidikan sarjana
yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Padjajaran (UNPAD), Universitas
Airlangga dan Universitas Hasanuddin (UNHAS). IPE seharusnya diberikan dan
diimplementasikan di IPDG guna mempersiapkan dokter gigi dan tenaga kesehatan
lainnya tentang Collaboratif Practice (CP) sejak awal. Perubahan paradigma
pelayanan kesehatan yang berpusat kepada pasien (patient centre care) menuntut
adanya praktik kolaboratif antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) di rumah sakit
khususnya rumah sakit gigi dan mulut (RSGM).23 Oleh karena itu pelaksanaan IPE di
seluruh institusi pendidikan kedokteran gigi (IPDG) merupakan kebutuhan utama.
Banyak penelitian menunjukkan IPE yang didapat oleh mahasiswa saat
pendidikan akademik memunculkan sikap positif, mengembangkan minat mereka
terhadap perawatan pasien dan meningkatkan pengetahuan medis dan klinis mereka.
24-26 Namun hingga saat ini, masih cukup banyak universitas dan Institusi Pendidikan
18
Kedokteran Gigi yang belum mengimplementasikan IPE pada pendidikan
akademiknya.
Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa dengan metode
pembelajaran IPE adalah kemampuan untuk mengembangkan kompetensi yang
diperlukan untuk berkolaborasi.27 Barr menjelaskan kompetensi kolaborasi terdiri atas:
1) memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas, 2)
bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan perawatan
dan pengobatan pasien, 3) bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan,
dan memantau perawatan pasien, 4) toleransi terhadap perbedaan, kesalahpahaman
dan kekurangan profesi lain, 5) memfasilitasi pertemuan antar profesi, dan 6)
memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.27
Penelitian Maharajan tentang sikap dan kesiapan terhadap pembelajaran
interprofesional menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara siswa dari berbagai
profesi kesehatan, perbedaan-perbedaan ini juga terjadi tergantung pada tahun studi
siswa. IPE harus dimasukkan dalam kurikulum semua program profesi kesehatan, agar
mendorong siswa untuk menjadi penyedia layanan kesehatan yang kompeten dan
memahami peran profesi masing-masing.8 Studi terbaru menunjukkan bahwa nilai dari
pengalaman sebelumnya terhadap Interprofessional Learning (IPL) di tempat kerja
meningkatkan pemahaman atas identitas profesional dan sikap terhadap kerja tim.17,18,
28,29 Implementasi IPE di negara maju sudah cukup lama dilaksanakan dengan banyak
bukti penelitian yang ada saat ini. Sedangkan IPE di negara berkembang belum banyak
bukti penelitiannya. 30-32 IPE di Indonesia sudah diimplementasikan di beberapa
institusi pendidikan kedokteran dan ilmu kesehatan yaitu di Universitas Indonesia
(UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY), Universitas Padjajaran (UNPAD) dan Universitas Islam Indonesia (UII).33
Implementasi IPE pada institusi pendidikan dokter gigi (IPDG) masih belum
komprehensif dan menyeluruh, sebagian besar belum masuk dalam kurikulum
pembelajaran yang terstruktur dan berkesinambungan. Hanya sebagian kecil IPDG
yang telah memiliki kurikulum IPE yang komprehensif dimulai dari sejak awal dan
19
melibatkan berbagai profesi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa mahasiswa
yang sudah mendapat materi IPE secara signifikan mempunyai tingkat persetujuan
yang lebih tinggi yaitu 84,6% terhadap pertanyaan tentang keterlibatan apoteker dalam
kolaborasi antar profesi, 33,3% pertanyaan tentang tanggung jawab apoteker, dan
33,3% pertanyaan tentang kewenangan apoteker. Mahasiswa kedokteran, kedokteran
gigi maupun farmasi yang sudah mendapatkan IPE memiliki tingkat percaya diri yang
homogen. Tingkat percaya diri mahasiswa farmasi yang sudah mendapat IPE lebih
tinggi daripada mahasiswa farmasi yang belum mendapat IPE.34
Berdasarkan telaah di atas, implementasi IPE di institusi pendidikan
kedokteran gigi yang belum merata, memunculkan pertanyaan apakah terdapat
perbedaan persepsi tentang IPE dan sikap kolaborasi mahasiswa di institusi
pendidikan dokter gigi yang telah maupun yang belum mengimplementasikan IPE.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah apakah
terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap mahasiswa tentang IPE di Institusi
Pendidikan Kedokteran Gigi yang telah mengimplementasikan dan yang belum
mengimplementasikan IPE?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian untuk melihat perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik
terhadap interprofessional education (IPE) di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi
yang telah mengimplementasikan dan yang belum mengimplementasikan IPE.
D. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Perkembangan Ilmu pengetahuan
a. Menambah ilmu pengetahuan tentang IPE dalam program pendidikan
kedokteran gigi
20
b. Mengimplementasikan pengetahuan tentang IPE didalam pelayanan
kesehatan Gigi
2. Bagi Profesi
a. Untuk institusi Pendidikan Kedokteran Gigi dapat menggunakan IPE
sebagai bahan kajian Pendidikan IPE dibidang kedokteran gigi khususnya
rumah sakit gigi dan mulut (RSGM) Pendidikan di Indonesia.
b. Sebagai bahan tesis Pendidikan
3. Bagi Masyararakat
a. Masyarakat mendapatkan pelayanan yang optimal dan berkualitas karena
implementasi dari IPE.
b. Pelaksanaan pelayanan berbasis patient safety dapat diterima oleh
masyarakat dengan implementasi IPE
4. Bagi pemerintah
Mendapatkan dasar kebijakan pendidikan kedokteran gigi dan RSGM
berbasis IPE.
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan dan Sikap
1. Pengetahuan
Pengetahuan dalam pengertian ini melibatkan proses mengingat
kembali hal-hal yang spesifik dan universal, mengingat kembali metode dan
proses, atau mengingat kembali pola, struktur atau setting. Pengetahuan dapat
dibedakan menjadi tiga, yakni: (1) pengetahuan tentang hal-hal pokok; (2)
pengetahuan tentang cara memperlakukan hal-hal pokok; dan (3) pengetahuan
tentang hal yang umum dan abstraksi. Pengetahuan tentang hal-hal pokok yaitu
mengingat kembali hal-hal yang spesifik, penekanannya pada simbol-simbol
dari acuan yang konkret. Pengetahuan tentang hal-hal pokok dibagi menjadi
dua yakni: (1) pengetahuan tentang terminologi; dan (2) pengetahuan mengenai
fakta-fakta khusus. Pengetahuan tentang terminologi yaitu pengetahuan tentang
acuan simbol yang diterima banyak orang, misalnya kata-kata umum beserta
makna-maknanya yang lazim. Pengetahuan tentang fakta yang spesifik yaitu
pengetahuan tentang tanggal, peristiwa, orang, tempat. 35
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. Pengetahuan adalah
hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan dapat pengalaman yang
nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan
tertentu.36 Untuk meningkatkan perubahan pengertian dan pengetahuan atau
ketrampilan dapat dilakukan melalui pelatihan. Pengetahuan diperoleh dari
proses belajar, yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang
berperilaku berdasarkan keyakinan yang diperoleh melalui media masa,
elektronik dan media lain. Ada enam tingkatan pengetahuan dalam domain
kognitif Bloom yaitu :37
22
a. Tahu (Know)
Yang diartikan sebagai mengingat kembali materi yang telah
dipelajari sebelumnya.
b. Memahami (comprehend)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan dan
menginterpretasikan materi dengan benar.
c. Mengaplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya atau dapat
menggunakan hukum-hukum, rumus, metode dalam dunia yang
sebenarnya.
d. Analisis (Analysis)
Merupakan kemampuan untuk menjabarkan sebuah materi atau
sebuah objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam
satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis).
Merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Atau
merupakan kemampuan untuk mebentuk suatu formulasi yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Merupakan sebuh kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
sebuah materi atau objek. Penilaian ini didasarkan pada suatu
kriteria yang telah ada atau kriteria yang disusun sendiri.
Pengetahuan telah menjadi sesuatu yang sangat menentukan, oleh
karena itu perolehan dan pemanfaatannya perlu dikelola dengan baik dalam
konteks peningkatan kinerja organisasi.37
23
2. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek.37 Sikap merupakan pandangan atau
perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap
obyek tadi. Jadi sikap senantiasa terarah terhadap suatu hal, suatu obyek, tidak
ada sikap yang tanpa obyek. Manusia dapat mempunyai sikap terhadap
bermacam-macam hal. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup,
bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap obyek.37
Gambar 1. Proses Pembentukan Sikap37
Pada saat sebuah stimulus diterima, maka persepsi seseorang akan
menimbulkan suatu rangkaian penginderaan terhadap rangsangan tersebut dan
akan dibentuknya suatu hubungan positif serta negatif. Gabungan dari asosiasi
positif dan negatif inilah yang disebut sikap. Sikap memiliki arah, untuk sikap
yang positif maka seseorang akan cenderung mendekati perkara tersebut,
Stimulus Proses Stimulus Reaksi tingkah
laku terbuka
Sikap (tertutup)
24
sedangkan untuk sikap yang negatif seseorang akan cenderung menjauhinya.
Sikap seseorang dapat dilihat dalam bentuk cara seseorang menilai perkara
tertentu sebagai suatu hal yang baik maupun yang buruk. Perasaan dan emosi
turut diikutsertakan dalam membentuk respon positif, negatif, maupun ragu-
ragu sebagai hasil dari sikap.38
Sikap memiliki tiga unsur yaitu yang pertama berhubungan dengan
kepercayaan, ide, dan konsep, yang kedua adalah yang berhubungan dengan
afeksi atau emosional, dan yang ketiga merupakan kecenderungan seseorang
dalam bertingkah laku. Sikap adalah suatu pengumpulan pikiran, keyakinan,
dan pengetahuan sehingga menimbulkan penilaian negatif dan positif yang
melibatkan afeksi.38
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai domain, yaitu:
a. Menerima (receiving), yaitu bahwa orang atau obyek mau dari
memperhatikan stimulus yang diberikan.
b. Merespon (responding), yaitu memberikan jawaban apabila ditanya
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari suatu sikap.
c. Menghargai (valuing), mengajar orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung jawab (responsible), yaitu bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap
yang paling tinggi.
Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting,
media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta
faktor emosi dalam diri individu. 37
3. Sikap dan pengukurannya.
Mengukur persepsi menurut Azzahy hampir sama dengan mengukur
sikap. Sikap (attitude) adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak
25
senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seorang terhadap sesuatu.
Sesuatu itu bisa benda, kejadian situasi, orang-orang atau kelompok.39
Walaupun materi yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah sikap dan
persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap objek diterjemahkan dalam sistem
angka. Azzahy mengatakan ada dua metode pengukuran sikap terdiri dari
metode self report dan pengukuran involuntary behaviour.39 Self report
merupakan suatu metode dimana jawaban diberikan dapat menjadi indikator
sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau
sikapnya. Pengukuran involuntary behavior dilakukan jika memang diinginkan
atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran
sikap dipengaruhi kerelaan responden. Pendekatan ini merupakan pendekatan
observasi terhadap reaksi-reaksi psikologis tanpa didasari oleh individu yang
bersangkutan. Observer dapat menginterprestasikan sikap/persepsi individu
mulai dari reaksi wajah, nada/tekanan suara, gerakan/Bahasa tubuh, keringat,
dilatasi pupil mata, detak jantung, dan beberapa aspek fisiologis lainya. 39 Skala
sikap disusun untuk mengungkap sikap pro dan kontra, positif dan negatif,
setuju dan tidak setuju terhadap suatu obyek sosial. Pernyataan sikap terdiri dari
dua macam yaitu pernyataan favourable (mendukung atau memihak) dan
unfavourable (tidak mendukung atau tidak memihak) pada objek sikap.40
4. Persepsi
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses
pengindraan, yaitu proses diterimnya stimulus oleh alat indra, lalu diteruskan
ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang
dipersepsikan.39 Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
melampirkan pesan. Syarat timbulnya persepsi adalah adanya objek, adanya
perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi, adanya alat
indra sebagai reseptor penerima stimulus yakni saraf sensoris sebagai alat untuk
26
meneruskan stimulus ke otak dan dari otak dibawa melalui saraf motoris
sebagai alat untuk mengadakan respon.39 Terdapat beberapa sifat persepsi,
antara lain bahwa persepsi timbul secara spontan pada manusia, yaitu ketika
seseorang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan rangsangan. Persepsi
merupakan sifat paling asli yang merupakan titik tolak perubahan.39
B. Interprofesional education (IPE)
1. Pengertian Interprofessional Education (IPE)
Centre for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE)
menyebutkan, IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar
bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-
masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan
kualitas pelayanan kesehatan.40 IPE adalah suatu pelaksanaan pembelajaran
yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang berbeda untuk meningkatkan
kolaborasi dan kualitas pelayanan dan pelaksanaannya dapat dilakukan dalam
semua pembelajaran, baik itu tahap sarjana maupun tahap pendidikan klinik
untuk menciptakan tenaga kesehatan yang profesional.41 IPE diterapkan untuk
kepentingan mengembangkan hubungan kerja yang baik antar profesi yang
berbeda dengan meningkatkan sikap interprofesional dan perilaku yang
positif.41
Pendekatan dengan melakukan penempatan berbasis praktik kolaboratif
multi profesi dapat memberikan cara yang tepat untuk memajukan IPE. Melalui
pembelajaran yang menyediakan siswa dengan berbagai kegiatan seperti
mengamati dan membahas bagaimana para profesional bekerja sama,
memberikan suasana atau lingkungan yang ideal bagi siswa untuk
mengembangkan sikap yang diperlukan, pengetahuan dan keterampilan yang
mereka butuhkan untuk kolaborasi antar profesi.42
IPE mengajarkan mahasiswa untuk berkolaborasi dengan tim kesehatan
lain di praktik lapangan. Area penting lain dari IPE adalah ketrampilan dari
27
fasilisator, yang juga harus mempunyai wawasan tentang kolaborasi yang
merupakan hal penting untuk IPE.43 Gilbert menyimpulkan bahwa fasilisator
perlu dilatih untuk memberikan ketrampilan dan wawasan sebagai pengalaman
dan penasihat. Fasilisator terdiri dokter/dokter gigi, perawat, terapis gigi dan
mulut, ahli gizi, radiologi, apoteker, laboran dan administrasi yang memahami
tentang pentingnya kolaborasi dalam dunia kesehatan. 43
2. Tujuan Interprofessional Education (IPE)
Tujuan IPE adalah untuk mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan dengan
iilmu, ketrampilan, sikap dan perilaku profesional yang penting untuk praktik
kolaborasi antar profesi (CP).45
3. Ciri khas interprofessional education (IPE)
Ciri khas Interprofessional education (IPE) adalah terjadinya perubahan
mindset, pengetahuan dan perilaku peserta didik/atau mahasiswa:45
a. Mahasiswa paham akan prinsip dasar, konsep dan kontribusi dari setiap
bidang profesi.
b. Familier dengan bahasa atau istilah serta pola pikir dari berbagai jenis
profesi.
c. Mahasiswa harus sudah menguasai dasar keilmuan dan ketrampilan spesifik
masing-masing profesi.
d. Mahasiswa harus mengusai konsep tentang kolaborasi.
4. Faktor yang mempengaruhi Interprofessional education (IPE)
a. Faktor budaya
Faktor budaya merupakan pertimbangan penting bagi individu untuk
mengembangkan pendidikan interprofesional. Pentingnya pendidikan
interprofesional, menurut Lary perlu disadari oleh tim ahli program
pendidikan antar profesi yang menitikberatkan pada pentingnya kolaborasi
dan pendidikan interprofesional. Pryce dan Reeves menemukan bahwa
siswa keperawatan dan mahasiswa kedokteran gigi mempunyai persepsi
untuk bekerjasama dalam kelompok belajar profesional karena mereka
28
mulainya pada pendidikan antar profesi. Persepsi tersebut dapat
menyebabkan siswa melihat adanya kebutuhan belajar bersama. Hal ini
dapat mempengaruhi motivasi mereka untuk belajar dan berinteraksi
dengan siswa lainnya dalam kelompok.
b. Faktor pendidikan
Menjadi fasilisator untuk memfasilitasi kelompok antarprofesi
merupakan tugas yang sulit. Serta memiliki baik pengetahuan teori-teori
belajar kelompok keterampilan praktis, pengalaman dan keyakinan untuk
memenuhi tuntutan yang berbeda dari sebuah antarprofesi kelompok.
Menurut Holland menguraikan berbagai keterampilan yang dibutuhkan
untuk pendidikan yang efektif fasilitator antarprofesi: Pengetahuan tentang
profesi, isu-isu saat ini mereka hadapi dalam praktik, pengetahuan tentang
fokus dari pembelajaran antarprofesi program. Tanpa pengetahuan dan
keterampilan yang cukup dari fasilitator IPE, fasilitasi kelompok
antarprofesi akan berakhir pada suatu ketidakkonsistenan antara profesional
yang berpartisipasi.45
c. Faktor organisasi
IPE umumnya sebagian besar dianggap meragukan dan tidak berhasil
oleh pemerintah. Halangan dari luar lebih banyak dibandingkan dengan
hambatan dari dalam, misalnya institusi yang berbeda dan adanya kompetisi
di antara institusi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan adanya
perencanaan dan adanya koordinasi antar pendidikan kesehatan.
d. Kompetensi
Kompetensi yang diharapkan dari IPE adalah:
1) Pengetahuan: paham otonomi tiap profesi dan paham peran masing-
masing dalam keterpaduan,
2) Ketrampilan: profesionalisme terjaga, bukan untuk berebut,
bertentangan tetapi untuk bersinergi, saling melengkapi dan terpadu
29
dalam pelayanan holistik, manusiawi, etis dan bermutu. Kemampuan
komunikasi yang baik, mengutamakan keselamatan klien / pasien
3) Sikap professional: saling menghormati, keikhlasan untuk bekerja
sama dalam kesejajaran, saling percaya dengan profesi lain,
keterbukaan disiplin jujur dan bertanggung jawab.
5. Ruang lingkup interprofessional education (IPE)
a. Pengertian Collaborative Practice (CP)
Kolaborasi tidak dapat didefinisikan atau dijelaskan dengan
mudah. Kolaborasi didefinisi sebagai prinsip perencanaan dan
pengambilan keputusan bersama, berbagi saran, kebersamaan, tanggung
gugat, keahlian, dan tujuan serta tanggung jawab bersama. Kolaborasi
sebagai hubungan timbal balik dimana pemberi pelayanan memegang
tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka
kerja bidang perspektif mereka. Praktik kolaborasi atau collaborative
practice (CP) menekankan tanggung jawab bersama dalam manajemen
perawatan pasien, dengan proses pembuatan keputusan bilateral
didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus
bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk
mencapai kolaborasi yang efektif adanya kerjasama, asertifitas, tanggung
jawab, komunikasi, otonomi, kordinasi, tujuan umum serta saling
menghargai seperti terlihat pada gambar 2.46
30
Gambar 2. Praktik Kolaborasi.46
b. Kerjasama (cooperation).
Adalah menghargai pendapat orang lain, bersedia untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan bersedia merubah kepercayaan.
c. Asertifitas (assertiveness).
Adalah kemauan anggota tim kolaborasi untuk menawarkan
informasi, menghargai pendekatan masing masing disiplin ilmu dan
pengalaman individu, individu dalam tim mendukung pendapat yang
lain, menjamin bahwa pendapat masing – masing individu benar-benar
didengar dan adanya konsensus bersama yang ingin dicapai.
d. Tanggung jawab (responsibility).
Tanggung jawab disini berarti masing – masing individu harus
mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus
bersama dan harus terlibat dalam pelaksanaannya,
mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang telah dibuat,
baik tanggung jawab masing – masing individu sebagai profesi, maupun
tanggungjawab bersama sebagai satu tim dalam pengelolaan pasien.
Praktik kolaborasi
Otonomi
Komuni-kasi
Tanggung-jawab
Kerjasama
Tujuan umum
Koordinasi
Saling menghar-
gai
Asertifitas
31
e. Komunikasi (communication).
Artinya bahwa setiap anggota harus membagi informasi penting
mengenai perawatan pasien dan isu yang relevan untuk membuat
keputusan klinis, secara terbuka mampu untuk mengemukakan ide-ide
dalam pengambilan keputusan pengelolaan pasien.
f. Otonomi (autonomy).
Mencakup kemandirian (independent) anggota tim dalam batas
kompetensinya. Otonomi bukan berarti berlawanan dari makna
kolaborasi. Justru dengan otonomi masing masing profesi mempunyai
kebebasan mempraktikkan ilmu dan mengelola pasien sesuai
kompetensi.
g. Koordinasi (coordination).
Koordinasi diperlukan untuk efisiensi organisasi yang dibutuhkan
dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang
yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
h. Tujuan umum (common purpose).
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi
praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktik yang
difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling
menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam
tim dari pada menyalahkan seseorang atau menghindari tangung jawab.
i. Saling menghargai dan percaya (mutual respect and trust).
Norsen menyarankan konsep ini dimana dia mengartikan sebagai
suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-
orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan
kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk
semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerjasama tidak akan
ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,
32
terganggunya komunikasi, otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak
akan terjadi.46
C. Alat Ukur Pengetahuan dan Sikap terhadap IPE
Ada berbagai kuesioner yang telah dikembangkan untuk menilai IPE
sebelum, selama dan setelah mengajar serta pada program pendidikan klinis.
Thannhauser et al., melakukan pencarian sistematis terhadap berbagai literatur dan
mengidentifikasi 23 cara pengukuran IPE. 47 Dari 23 cara pengukuran IPE, 2 yang
paling banyak digunakan yaitu Kesiapan untuk Skala Pembelajaran
Interprofessional/Readiness Interprofessional Learning Scale (RIPLS) dan Skala
Persepsi Pendidikan Interdisipliner/Interdiciplinary Education Perception Scale
(IEPS). 47-48
Parsell dan Bligh memperkenalkan konsep ‘Readiness for Interprofessional
Learning’ (RIPLS) untuk mengukur tingkat kesiapan siswa dalam berpartisipasi di
IPE. Pengukuran ini menggunakan 4 dimensi yaitu: kerjasama antara kelompok
profesional yang berbeda (nilai dan kepercayaan yang dimiliki orang), kolaborasi
dan kerja tim (pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan), peran dan
tanggung jawab (apa yang sebenarnya dilakukan orang), manfaat bagi pasien,
praktik profesional dan pengembangan diri.49 Sejak saat itu, RIPLS telah banyak
digunakan sebagai tes sikap sebelum dan sesudah intervensi IPE atau IPL. 48,49
Beberapa penelitian RIPLS sudah menggunakan versi 4 faktor dibandingkan versi
awalnya yang hanya 3 faktor. 50 Analisis Rasch terhadap struktur 4 faktor
menghasilkan dua item yang tidak sesuai, dan mengkonfirmasi kembali solusi
terhadap 4 faktor. RIPLS empat-faktor dengan 17-item menunjukkan kecocokan
yang baik dengan model Rasch dan menunjukkan reliabilitas dan dimensi yang
baik. Solusi RIPLS 4 faktor telah diidentifikasi dan dikonfirmasi melalui dua
pendekatan statistik. Dua item ditemukan tidak sesuai dengan struktur empat faktor
RIPLS yang baru dan direkomendasikan untuk dibuang.50
33
RIPLS dibuat untuk mengukur perubahan sikap, dampak dari intervensi dan
efektifitas dari intervensi yang tampak pada perubahan persepsi dan sikap. RIPLS
yang telah dikembangkan ini terdiri atas 19 item dengan 5 skala yang digunakan
untuk mengukur kesiapan mahasiswa terhadap IPE. alat ini memiliki 3 subskala
yaitu kerjasama tim dan kolaborasi, identitas positif dan negatif, serta peran dan
tanggung jawab seperti terlihat pada tabel 1.52
Tabel 1. Readiness for Interprofessional Learning Scale (RIPLS).52
Pernyataan Sangat
tidak
setuju
Tidak
setuju
Netral setuju Sangat
setuju
1. Belajar dengan mahasiswa lain akan membantu saya
menjadi anggota tim perawatan kesehatan yang lebih efektif
2. Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat jika siswa
layanan kesehatan bekerja bersama untuk memecahkan
masalah pasien
3. Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat jika siswa
layanan kesehatan bekerja bersama untuk memecahkan
masalah pasien
4. Belajar dengan mahasiswa layanan kesehatan sebelum
kualifikasi akan meningkatkan hubungan setelah kualifikasi
5. Keterampilan komunikasi harus dipelajari dengan
mahasiswa layanan kesehatan lainnya
6. Pembelajaran bersama akan membantu saya untuk
berpikir positif tentang profesional lain
7. Agar pembelajaran kelompok kecil berhasil, mahasiswa
perlu saling percaya dan menghormati
8. Keterampilan kerja tim sangat penting bagi semua
mahasiswa perawatan kesehatan untuk belajar
9. Pembelajaran bersama akan membantu saya memahami
keterbatasan saya sendiri
10. Saya tidak ingin membuang waktu belajar dengan
mahasiswa perawatan kesehatan lainnya
11. Mahasiswa layanan kesehatan sarjana tidak perlu belajar
bersama
12. Keterampilan pemecahan masalah klinis hanya dapat
dipelajari dengan mahasiswa dari departemen saya sendiri
34
13. Pembelajaran bersama dengan mahasiswa layanan
kesehatan lainnya akan membantu saya berkomunikasi lebih
baik dengan pasien dan profesional lainnya
14. Saya akan menyambut baik kesempatan untuk bekerja
pada proyek kelompok kecil dengan mahasiswa layanan
kesehatan lainnya
15. Pembelajaran bersama akan membantu untuk
mengklarifikasi sifat masalah pasien
16. Pembelajaran bersama sebelum kualifikasi akan
membantu saya menjadi pekerja tim yang lebih baik
17. Fungsi perawat dan terapis terutama untuk memberikan
dukungan bagi dokter
18. Saya tidak yakin apa peran profesional saya nantinya
19. Saya harus memperoleh lebih banyak pengetahuan dan
keterampilan daripada mahasiswa layanan kesehatan lainnya
Untuk pengukuran persepsi mahasiswa terhadap IPE digunakan Skala
Persepsi Pendidikan Interdisipliner/Interprofessional Education Perception Scale
(IEPS). IEPS adalah instrumen kedua yang digunakan dalam penelitian untuk
mendeteksi perubahan dalam pembelajaran dari waktu ke waktu di kalangan siswa
profesional kesehatan. IEPS merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur
sikap dan persepsi pengalaman interprofessional.48 Pada literatur terdapat sejumlah
versi IEPS.48
Luecht, et al., menghasilkan versi asli IEPS untuk digunakan sebagai
ukuran di populasi peserta didik program profesi kesehatan. Skala terdiri dari 18
item yang dibagi ke dalam 4 subskala: Kompetensi dan otonomi; Persepsi tentang
perlunya kerja sama; Persepsi dari kerjasama aktual; dan Pemahaman akan nilai
orang lain. 48,51
McFadyen et al., melaporkan kekhawatiran terhadap karakteristik psikometrik
dari IEPS, khususnya pada reliabilitas tes dan tes ulang serta struktur subskala.
Sehingga diusulkan 12 item dengan versi 3 subskala IEPS.52,53 Tiga subskala
tersebut yaitu: Kompetensi dan otonomi (Competence and Autonomy); Persepsi
35
akan kebutuhan kerja sama (Perceive need for cooperation); dan Persepsi kerja
sama yang sebenarnya (Perception of actual cooperation).52 Area yang menjadi
perhatian adalah persepsi kerjasama yang sebenarnya (Perception of actual
cooperation) dimana didapatkan nilai reliabilitas yang rendah baik oleh McFayden
et al. dan Leitch.52-53
Versi 4 sub-skala asli dari Interdisciplinary Education Perception Scale (IEPS)
diterbitkan oleh Luecht et al., namun tampaknya ada kurangnya bukti stabilitas
instrumen asli dan keandalan test ulang item dan sub-skala ketika digunakan
dengan mahasiswa. Mengingat bahwa selama pengembangannya hanya 143 subjek
menyelesaikan kuesioner yang berisi 18 item, generalisasi instrumen mungkin
harus diselidiki lebih lanjut. 51
36
Tabel 2. IEPS versi asli Luecht R, et al.51
Ada beberapa instrumen standar dan tervalidasi untuk menilai kompetensi IPE.
The Readiness for Interprofessional Learning Scale (RIPLS) dan RIPLS yang
diperluas mewakili dua alat yang sudah mapan untuk menilai sikap
Pernyataan Sangat
tidak
setuju
(1)
Setengah
tidak
setuju
(2)
Tidak
setuju
(3)
Setuju
(4)
Setengah
setuju
(5)
Sangat
setuju
(6)
i. 1. Individu dalam profesi saya terlatih .
2. Individu dalam profesi saya dapat
bekerja sama dengan individu dari
profesi lain
3. Individu dalam profesi saya
menunjukkan banyak otonomi.
4. Individu dalam profesi lain
menghormati pekerjaan yang dilakukan
oleh profesi saya
5. Orang-orang dalam profesi saya
sangat positif tentang tujuan dan sasaran
mereka.
6. Individu dalam profesi saya perlu
bekerja sama dengan profesi lain
7. Individu dalam profesi saya sangat
positif tentang kontribusi dan
pencapaian mereka.
8. Orang-orang dalam profesi saya harus
bergantung pada pekerjaan orang-orang
di profesi lain.
9. Individu dalam profesi lain sangat
menghargai profesi saya.
10. Orang-orang dalam profesi saya
memercayai penilaian profesional satu
sama lain.
11. Individu dalam profesi saya
memiliki status lebih tinggi daripada
individu dalam profesi lain.
12. Orang-orang dalam profesi saya
berusaha memahami kemampuan dan
kontribusi dari profesi lain.
13. Orang-orang dalam profesi saya
sangat kompeten
14. Orang-orang dalam profesi saya
bersedia untuk berbagi informasi dan
sumber daya dengan profesional lain.
15. Individu dalam profesi saya
memiliki yang baik. hubungan dengan
orang-orang di profesi lain.
16. Individu dalam profesi saya sangat
menghargai profesi lain yang terkait
17. Individu dalam profesi saya
bekerjasama dengan baik
18. Orang-orang dalam profesi lain
sering meminta nasihat dari orang-orang
dalam profesi saya
37
interprofesional; namun, instrumen ini dan yang lainnya dikembangkan sebelum
adanya laporan IPEC dan tidak mencakup seluruh kompetensi interprofesional.
Norris et al., kemudian mengembangkan dan memvalidasi skala sikap
interprofesional menggunakan item yang berasal dari RIPLS yang diperluas dan
dengan penambahan beberapa item agar dapat memenuhi empat domain
kompetensi inti. 54 RIPLS adalah instrumen suboptimal, yang tidak menjelaskan
'apa' dan 'bagaimana' IPL dilaksanakan dalam sebuah kurikulum. Studi
menyarankan kesiapan siswa terhadap IPE dapat diperoleh dari kombinasi manfaat
komponen kognitif empati ('Perspektif taking') dan elemen yang terdapat pada
kurikulum yang mendorong motivasi otonom.55
Modifikasi RIPLS dikenal dengan nama The Interprofessional Attitudes Scale
(IPAS) adalah alat ukur baru yang lebih baik dibandingkan dengan alat
sebelumnya, dimana lebih menggambar kondisi terkini dari kompetensi antar
profesi. IPAS harus bermanfaat bagi lembaga pendidikan ilmu kesehatan dan yang
lainnya yang melatih orang untuk bekerja secara kolaboratif dalam tim multi
profesi. 54 IPAS merupakan sebuah alat ukur yang dirancang untuk menilai sikap
yang berhubungan dengan kompetensi inti (Core competencies) untuk
Interprofessional Collaborative Practice (IPCP). IPAS merupakan instrument
pertama yang diperuntukkan secara khusus untuk pengukuran kompetensi inti
(Core competencies). IPAS terdiri dari 27 kuesioner yang dibagi atas 5 sub ‐ skala,
yaitu Kerja tim (Team Work), Peran dan Tanggung jawab (Roles and
Responsibility), Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient Centeredness), Bias
Antar profesi (Interprofessional Biases), Keragaman & Etika (Diversity and
Ethics), Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness). IPAS dibuat dari
hasil analisis faktor berdasarkan survei yang dikumpulkan dari 700 responden
mahasiswa University of Utah Health Sciences Center tahun 2012, seperti tabel 3
dibawah ini. 54
38
Tabel 3. The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS).54
No Sub-Skala Sangat
tidak
setuju
(STS)
Tidak
setuju
(TS)
Netral Setuju Sangat
Setuju
1 Kerja Tim, Peran dan Tanggung jawab
1.1 Pembelajaran bersama sebelum lulus akan membantu saya
menjadi pekerja yang lebih baik dalam kerjasama tim
1.2 Pembelajaran bersama akan membantu saya berpikir positif
tentang profesi lain
1.3 Belajar dengan siswa lain akan membantu saya menjadi
anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih efektif
1.4 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu kesehatan
lainnya, kan meningkatkan kemampuan saya untuk
memahami masalah klinis.
1.5 Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat jika mahasiswa
ilmu kesehatan bekerja bersama untuk memecahkan
permasalahan pasien.
1.6 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu kesehatan
lainnya, akan membantu saya berkomunikasi lebih baik
dengan pasien dan profesional lainnya.
1.7 Saya akan menyambut baik kesempatan untuk bekerja pada
proyek kelompok kecil dengan mahasiswa ilmu kesehatan
lainnya.
1.8 Tidak menjadi suatu keharusan mahasiswa ilmu kesehatan
untuk belajar Bersama.
1.9 Pembelajaran bersama akan membantu saya memahami
keterbatasan saya sendiri.
2 Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient Centeredness)
2.1 Membangun kepercayaan dengan pasien saya adalah penting
bagi saya.
2.2 Penting bagi saya untuk berkomunikasi dengan penuh
perhatian dan simpati kepada pasien.
2.3 Memikirkan pasien sebagai pribadi adalah penting dalam
mendapatkan perawatan yang benar
2.4 Dalam profesi saya, seseorang membutuhkan keterampilan
dalam berinteraksi dan bekerja sama dengan pasien
2.5 Penting bagi saya untuk memahami permasalahan dari sisi
pasien.
3 Bias Antar Profesi (Interprofesional Biases)
39
3.1 Profesi kesehatan lain/mahasiswa dari disiplin ilmu
kesehatan lain memiliki prasangka atau membuat asumsi
tentang saya karena disiplin ilmu yang saya pelajari.
3.2 Saya memiliki prasangka atau membuat asumsi tentang
profesi kesehatan lain/mahasiswa dari disiplin ilmu kesehatan
lain.
3.3 Prasangka dan asumsi tentang para profesi kesehatan dari
disiplin ilmu kesehatan lain menghalangi jalannya proses
penyembuhan pasien
4 Keragaman & Etika (Diversity and Ethics)
Penting bagi tenaga profesional kesehatan untuk:
4.1 Menghargai budaya yang unik, nilai-nilai, peran/tanggung
jawab, dan keahlian profesi kesehatan lainnya
4.2 Memahami apa yang diperlukan untuk berkomunikasi secara
efektif lintas budaya.
4.3 Hormati martabat dan privasi pasien sambil menjaga
kerahasiaan dalam melakukan perawatan berbasis tim.
4.4 Memberikan perawatan yang sangat baik kepada pasien
terlepas dari latar belakang mereka (mis. ras, etnis, jenis
kelamin, orientasi seksual, agama, kelas, asal kebangsaan,
status imigrasi, atau kemampuan)
5 Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness)
Penting bagi tenaga profesional kesehatan untuk:
5.1 Bekerja dengan petugas kesehatan masyarakat dan pembuat
kebijakan untuk meningkatkan pemberian layanan kesehatan
pada masyarakat.
5.2 Bekerja pada proyek-proyek untuk promosi kesehatan
komunitas dan kesehatan masyarakat
5.3 Bekerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mengembangkan undang-undang, peraturan, dan kebijakan
yang meningkatkan layanan kesehatan
5.4 Bekerja dengan non klinisi untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang lebih efektif
5.5 Fokus pada populasi dan komunitas, selain pasien individu,
untuk memberikan perawatan kesehatan yang efektif
5.6 Melakukan advokasi kesehatan untuk pasien dan komunitas
masyarakat
40
BAB III
KERANGKA TEORI & KONSEP
A. Kerangka Teori
Pelayanan berpusat kepada pasien (patient center care) membutuhkan
kolaborasi antar profesi agar tercapainya kualitas pelayanan yang berkualitas dan
aman. Menurut WHO, kemampuan tenaga profesional kesehatan untuk
berkolaborasi secara efektif memiliki dampak potensial yang signifikan terhadap
keselamatan pasien dan hasil perawatan berkualitas mengingat lingkungan praktik
klinis yang semakin kompleks dan dinamis. Untuk mewujudkan kolaborasi antar
tenaga kesehatan sejak dini adalah dengan memperkenalkan praktik kolaborasi
melalui proses pendidikan. Konsep pendidikan terintegrasi ini adalah untuk
meningkatkan kemampuan kolaboratif dari tenaga kesehatan. Metode
pembelajarannya interaktif, berbasis kelompok, dengan menciptakan suasana
belajar berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang berkolaborasi, dan
menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan
hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi. Cara pembelajaran
antar profesi akan menghasilkan kolaborasi praktik antar profesi (interprofessional
collaboration practice) dan perawatan pasien berbasis tim yang akan menjadi
komponen integral dari praktik perawatan kesehatan berkualitas di masa depan.
Implementasi IPE di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG) masih belum
diterapkan di seluruh institusi Pendidikan dokter gigi yang ada di Indonesia.
Kesiapan dan pemahaman mahasiswa kedokteran gigi terhadap IPE dalam bentuk
pengetahuan dan sikap akan menentukan terbentuknya interprofessional
collaborative practice (IPCP) di bidang kedokteran gigi di kemudian hari.
Pengukuran kesiapan, pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE dilakukan
dengan instrumen RIPLS yang telah dimodifikasi oleh Norris et al., pengukuran
ini meliputi empat domain kompetensi inti interprofessional yaitu : Nilai/Etika
41
untuk Praktik Interprofesional, Peran/ Tanggung Jawab, Komunikasi
Interprofessional, dan Tim dan Kerja Sama Tim. Instrumen yang digunakan pada
pengukuran ini adalah The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS). IPAS terdiri
atas 5 subskala yaitu Kerja Tim (Teamwork), Peran dan Tanggung jawab (Role and
Responsibility), Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient Centeredness), Bias
Antar Profesi (Interprofesional Biases), Keragaman & Etika (Diversity and Ethics),
dan Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness).
B. Kerangka Konsep
C. Hipotesis
Ada perbedaan pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di Institusi
Pendidikan Kedokteran Gigi yang telah mengimplementasikan dan yang belum
mengimplementasikan IPE. Perbedaan ini timbul dari hasil proses
pembelajaran dengan IPE.
Pengetahuan dan sikap
mahasiswa/peserta didik
IPDG
IPE di IPDG yang telah
dan belum
mengimplementasikan
42
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian observasional deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang
(cross sectional).
B. Tempat dan waktu penelitian
Tempat penelitian: Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG) di Indonesia yang
telah mengimplementasikan IPE dan yang belum mengimplementasikan IPE
(Usakti).
Waktu Penelitian: Februari sampai Maret 2019
C. Populasi dan Sampel
Populasi: mahasiswa di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG) Usakti,
UMY dan UGM
Teknik sampling: Purposive sampling
N = (p0.q0 +p1.q1)(Z1 -α/2 + Z1-β)2
___________________________
(p1 – p0)2
Keterangan :
n = jumlah sampel minimal kelompok kasus dan kontrol
Z1 -α/2 = nilai pada Distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α
(untuk α = 0,09 adalah 1,96)
Z1-β = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa (power) sebesar
diinginkan (β-0,10 adalah 1,28)
p0 = proporsi paparan pada kelompok kontrol atau tidak terpapar
p1 = proporsi paparan pada kelompok kasus
q0 = 1 – p0 dan q1 = 1 – p1
N = 55
Untuk mengantisipasi kemungkinan sampel terpilih yang droup out atau sampel tidak
valid, maka diusahakan penambahan sampel penelitian sebesar 10% :
n1= 55/(1-0,1) = 60,5 dibulatkan menjadi 61
43
Sampel penelitian minimal sebanyak 61mahasiswa untuk setiap IPDG. Total
sampel penelitian 183 mahasiswa.
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Inklusi: mahasiswa IPDG Usakti, UMY dan UGM semester 3,4,5,6,7,8 yang
bersedia menjadi responden dan berstatus aktif kuliah.
Eksklusi: mahasiswa yang tidak bersedia berpartisipasi dan yang tidak memenuhi
syarat.
E. Variabel dan definisi operasional variabel
1. Variabel Bebas
Implementasi IPE di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi.
2. Variabel Terikat
Tingkat Pengetahuan dan Sikap mahasiswa terhadap IPE.
3. Definisi Operasional Variabel
a. IPE di IPDG adalah berupa implementasi pembelajaran dalam bentuk
kurikulum pembelajaran terstruktur modul di IPDG yang telah diterapkan
sejak semester awal dan atau impelementasi IPE hanya dalam bentuk intra
kulikuler sewaktu atau ekstra kurikuler proyek/tugas/praktek kerja lapangan
yang bukan merupakan program intra kurikuler.
b. Pengetahuan terhadap IPE adalah pengetahuan hasil suatu produk sistem
pendidikan IPE di IPDG dan akan dapat pengalaman yang nantinya akan
memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu.36 Untuk
meningkatkan perubahan pengertian dan pengetahuan atau ketrampilan
tentang IPE dapat dilakukan melalui pelatihan IPE. Pengetahuan diperoleh
dari proses belajar, yang dapat membentuk keyakinan atau persepsi
mahasiswa tentang IPE. Pengetahuan yang didapat tersebut akan
44
membentuk keyakinan seseorang untuk melakukan perilaku kolaboratif
antar profesi. Pengetahuan tentang IPE diukur dengan penggunakan
kuesioner yang dirancang sendiri dengan 5 kelompok pertanyaan yang
terdiri dari definisi dan pengertian IPE, manfaat, kompetensi IPE,
pendekatan dan budaya dan etika. Pengukuran menggunakan 2 skala yaitu
benar dan salah. Dengan nilai 1 salah dan 2 benar.
c. Sikap terhadap IPE adalah perpaduan yang dari pengalaman, nilai,
informasi kontekstual dan kepakaran yang memberikan kerangka berfikir
untuk menilai dan memadukan pengalaman dan informasi baru terhadap
IPE yang telah diterapkan di institusi pendidikan guna mewujudkan
interprofessional collaborative practice (IPCP). Pengetahuan dan sikap
diukur dengan The Interprofessional Attitudes Scale (IPAS), dimana alat
ukur ini merupakan The Readiness for Interprofessional Learning Scale
(RIPLS) yang telah dimodifikasi. Dengan menggunakan skala pengukuran
ini memungkinkan mahasiswa untuk memikirkan berbagai aspek dalam
interprofessional learning (IPL). IPAS terdiri atas 5 Subskala yaitu 1)
Kerja Tim (Teamwork), Peran dan Tanggung jawab (Role and
Responsibility), 2) Berpusat kepada Pasien (Patient Centeredness), 3) Bias
Antar Profesi (Interprofesional Biases), 4) Keragaman & Etika (Diversity
and Ethics), 5) Berpusat kepada Komunitas (Community Centeredness). 54
Skala ini digunakan untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap IPE.
Pengukuran menggunakan skala likert 5 poin (Sangat setuju = 5, setuju = 4,
netral = 3, tidak setuju = 2 dan sangat tidak setuju = 1) digunakan untuk
menganalisis tanggapan siswa.54 Alat penelitian berupa kuesioner yang
terdiri atas 27 item yang dibagi kedalam 5 (lima) subskala yang berbeda.
Subskala 1 berfokus pada aspek kerja tim (item 1-9). Subskala 2 berfokus
pada Peran dan tanggungjawab (item 10-14). Subskala 3 (tiga) berfokus
pada berpusat kepada pasien (item 15-17). Subskala 4 berfokus pada bias
antar profesi (item 18-21). Subkala 5 (lima) berfokus pada berpusat pada
45
Komunitas (item 22-27). Skor nilai rata-rata tinggi merupakan sikap positif
terhadap IPE.
Definisi operasional variable untuk IPE yang telah ditimpelemtasikan di IPDG,
pengetahuan dan sikap mahasiswa dapat dilihat pada tabel sebagai berikut (Tabel 4).
Tabel 4. Definisi Operasional Variabel No Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 IPE IPE di IPDG adalah implementasi pembelajaran IPE dalam bentuk kurikulum pembelajaran terstruktur (modul-
modul) di IPDG yang telah menerapkan sejak semester awal dan atau hanya dalam bentuk intra kulikuler (modul) sewaktu atau ekstra kurikuler proyek/tugas/praktek kerja lapangan yang
bukan merupakan program intra kurikuler.
Wawancara ke wadek 1
dan kaprodi
sarjana ke
institusi
Pendidikan
kedokteran
Gigi (IPDG)
Check list Bukti Imple mentasi
nominal
2 Pengetahuan terhadap IPE
Pengetahuan terhadap IPE adalah pengetahuan adalah
hasil dari suatu produk sistem pendidikan IPE di IPDG dan akan dapat pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan
tertentu.36 Untuk meningkatkan perubahan pengertian dan pengetahuan atau ketrampilan tentang IPE dapat dilakukan melalui pelatihan IPE. Pengetahuan
diperoleh dari proses
Kuesioner Kuesioner yang dirancang
sendiri. Alat ukur terdiri atas 5 kelompok pertanyaan yang terdiri dari definisi dan pengertian
IPE, manfaat, kompetensi IPE, pendekatan, dan budaya dan etika.
Pengukuran menggunakan 2 skala yaitu
benar dan salah. Dengan nilai 1 salah dan 2 benar. Skor nilai: 1. Baik jika x ≥ 40, 2. Sedang jika
32 ≤ x ≤ 40 3. Rendah jika x ≤ 32
1. 2.
ordinal
46
belajar, yang dapat membentuk keyakinan atau persepsi mahasiswa tentang IPE. Pengetahuan yang didapat tersebut akan membentuk
keyakinan seseorang untuk melakukan perilaku kolaboratif antar profesi. Pengetahuan tentang IPE diukur dengan penggunakan kuesioner yang
dirancang sendiri
3 Sikap terhadap IPE
Sikap terhadap IPE adalah perpaduan yang dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual dan kepakaran yang
memberikan kerangka berfikir untuk menilai dan memadukan pengalaman dan informasi baru terhadap IPE yang telah diberikan di IPDG guna
mewujudkan praktik kolaborasi antar profesi/interprofessional collaborative practice (IPCP).
Kuesioner sikap yaitu IPAS.
IPAS pengukuran dengan 5
subskala
yaitu kerja
tim
(Teamwork),
peran dan
tanggung
jawab (Role
and Responsibili
ty), berpusat
kepada
pasien
(Patient
Centered
ness), bias
antar profesi
(Interprofesi
onal Biases),
keragaman & etika
(Diversity
and Ethics),
berpusat
kepada
komunitas
(Community
Centered
ness).
IPAS terdiri
atas 26 item yang dibagi
Skor rata-rata
yang lebih
tinggi
merupakan sikap positif
terhadap IPE.
Pengukuran
menggunakan
skala likert 5
poin (Sangat
setuju = 5,
setuju = 4,
netral = 3,
tidak setuju =
2 dan sangat tidak setuju =
1) digunakan
untuk
menganalisis
tanggapan
siswa. 1.Baik jika {(μ +1,0σ)≤ X} Skor X ≥ 78
2. Sedang, jika {(μ -1,0σ)≤ X < (μ +1,0σ)} Skor 48 ≤ X ≤ 78 3. Kurang, jika {X< {(μ -1,0σ)} Skor X ≤ 48
ordinal
47
kedalam 5
(lima)
subskala
yang
berbeda.
Subskala 1
berfokus
pada aspek
kerja tim
(item 1-9).
Subskala 2
berfokus pada peran
dan
tanggungjaw
ab (item 10-
14).
Subskala 3
(tiga)
berfokus
pada
berpusat
kepada pasien (item
15-17).
Subskala 4
berfokus
pada bias
antar profesi
(item 18-21).
Subkala 5
(lima)
berfokus
pada
berpusat pada
Komunitas
(item 22-26).
4 Karakteristik
Responden
a. Universitas
b. Angkatan
Universitas asal IPDG Tahun masuk
mahasiswa
Angket
Check list di google form
IPDG UGM, UMY, Usakti 2015,2016, 2017, 2018
Nominal Nominal
48
F. Metode Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara kepada responden sebanyak 60
mahasiswa pada setiap IPDG dengan bantuan kuesioner yang telah dirancang pada
google form.
G. Bahan dan Alat
1. Alat Tulis
2. Kuesioner IPAS
3. Komputer / laptop
4. Camera untuk dokumentasi
5. Gymic tanda terimakasih (pasta gigi/sikat gigi)
H. Cara Kerja
1. Mendapatkan persetujuan etik (Ethical Clearance) dari Dewan Riset FKG
Usakti.
2. Tahap awal persiapan perijinan ke institusi pendidikan kedokteran gigi yang
akan dijadikan sampel yaitu IPDG UMY, UGM dan Usakti.
3. Melakukan penjelasan lengkap tentang tujuan dan cara penelitian pada sampel,
kemudian diminta untuk menandatangani formulir persetujuan (informed
consent).
4. Melakukan preliminary survey untuk uji validitas dan reliabilitas dari kuesioner
yang dibuat di IPDG Usakti pada mahasiswa angkatan 2016 dan 2017.
5. Evaluasi dan perbaikan kuesioner berdasarkan hasil uji validitas dan
reliabilitas.
6. Melakukan wawancara dan pengisian kuisioner yang ke dua untuk
mendapatkan data primer penelitian.
7. Mengolah data yang masuk dengan program statistik.
8. Menganalisa dan membuat laporan.
49
I. Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan software yang sesuai. Statistik deskriptif
untuk melihat distribusi responden. Data yang diperoleh akan dianalisis secara
kuantitatif dengan menggunakan uji Kruskal – Wallis. Batas kemaknaan P <0,05
dengan CI 95%.
J. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dibuat dengan lembar kerja sebagai berikut:
Tabel 5. Tahap Pelaksanaan
No.
Kegiatan
September
September – Juli 2019
1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Presentasi usulan penelitian
2 Pengambilan sampel &
pemeriksaan
3 Pengumpulan data
4 Pengolahan data
5 Seminar & laporan
Penelitian
50
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian Kuantitatif
Penelitian ini menggunakan instrumen ukur Interprofesional Education
Attitude Scale (IPAS) kuesioner yang telah diterjemahkan dengan 26 pertanyaan di 3
institusi pendidikan dokter gigi (IPDG) yaitu FKG Universitas Usakti (Usakti)
sebanyak 83 mahasiswa, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) program
studi pendidikan dokter gigi (PSPDG) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) sebanyak 76 mahasiswa dan FKG Universitas Gajahmada (UGM) sebanyak
90 mahasiswa dengan jumlah total sampel penelitian 249 mahasiswa.
Karakteristik mahasiswa berdasarkan angkatan terdiri 26 (10.84%)
mahasiswa 2017, 219 (87.95%) mahasiswa angkatan 2016, dan 4 ( 1.61%) adalah
mahasiswa angkatan 2015. (Tabel 5.1)
Tabel 5. 1. Data Karakteristik Responden
Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%) N
Universitas
FKG Usakti 83 33.33% 249
FKG UMY 76 30.52% 249
FKG UGM 90 36.14% 249
Angkatan
2017 26 10.84% 249
2016 219 87.95% 249
2015 4 1.61% 249
Uji validitas kuesioner pengetahuan dengan jumlah pertanyaan yang diuji yaitu
sebanyak 23 didapat hanya 9 pertanyaan yang valid, dengan level of significance 5%
51
dan nilai r tabel 0,25 didapat angka r hitung berkisar -0.105 – 0.659. 14 dieliminir
karena kurang dari r tabel 0.25.
Uji realibilitas kuesioner pengetahuan nilai Cronbach’s Alpha 0,710 > 0,6
(nilai konstanta yang ditentukan), seluruh pertanyaan dianggap reliabel dan dapat
diolah lebih lanjut.
Uji validitas pada 26 pertanyaan kuesioner sikap dengan jumlah responden
249, level of significance 5% dan nilai r tabel 0,25 didapat nilai r hitung berkisar antara
-0.203 – 0.762. Pada uji ini hanya 3 pertanyaan yang dianggap tidak valid (nilai r
hitung < 0,25).
Hasil analisis uji kehandalan terhadap pertanyaan sikap didapatkan nilai
Cronbach’s α 0,943 > 0,6 (nilai konstanta yang ditentukan), dimana nilai r tabel dengan
signifikansi 5% menunjukkan bahwa kuesioner tersebut handal dan dapat diolah lebih
lanjut.
Analisa non parametrik berupa uji perbedaan Kruskal-Wallis dilakukan pada
249 mahasiswa didapatkan nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE di seluruh
FKG adalah 110.63 dengan standar deviasi 10,844. Nilai minimum 78 dan nilai
maksimum 130 (Tabel 5.2).
Tabel 5.2. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk seluruh universitas
N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum
Total nilai Sikap 249 110.63 10.844 78 130
Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE berdasarkan asal universitas,
adalah sebagai berikut nilai terendah Usakti (83) 121.33, UMY (76) 129.47 dan
tertinggi UGM (90) 124.61 (Tabel 5.3).
Tabel 5.3 Nilai total rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE berdasarkan universitas
52
Universitas N
Rata-rata
Rangking
Total nilai sikap Usakti 83 121.33
UMY 76 129.47
UGM 90 124.61
Total 249
Hasil uji Chi-Square 0,511, df 2 dan Asym sig 0.775 dimana nilai Asymp. Sig
0,775 > 0,05 artinya nilai sikap mahasiswa terhadap IPE di antara ketiga universitas
tidak berbeda secara signifikan (Tabel 5.4).
Tabel 5.4 Uji Statistik tes Kruskall – Wallis sikap mahasiswa terhadap IPE
Total nilai
Chi-Square .511
df 2
Asymp. Sig. .775
Uji statistik Subskala 1 (satu) untuk aspek kerjasama tim, peran dan
tanggungjawab pada 249 mahasiswa didapat nilai terendah 2 dan teringgi 5. Dari 9
pertanyaan tersebut dapat dilihat rata-rata nilai berada pada angka 4,17 – 4, 51.
Kecuali pertanyaan nomor 8 nilai rata-rata 2, 47 dengan deviasi 1,132 (tabel 5.5).
Tabel 5.5 Nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subkala 1 kerjasama tim, peran dan
tanggungjawab
N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum
1. Pembelajaran bersama
sebelum lulus dokter gigi
akan membantu saya
menjadi dokter gigi yang
lebih baik dalam melakukan
kerjasama tim
249 4.51 .673 2 5
53
2. Pembelajaran bersama
dengan profesi kesehatan
lain akan membantu saya
berpikir positif tentang
profesi lain
249 4.47 .684 2 5
3. Belajar dengan
mahasiswa profesi
kesehatan lain akan
membantu saya menjadi
anggota tim pelayanan
kesehatan yang lebih efektif
249 4.47 .678 2 5
4. Pembelajaran bersama
dengan mahasiswa ilmu
kesehatan lainnya, akan
meningkatkan kemampuan
saya untuk memahami
masalah klinis.
249 4.42 .686 2 5
5. Pasien pada akhirnya
akan mendapat manfaat jika
mahasiswa ilmu kesehatan
bekerja bersama untuk
memecahkan permasalahan
pasien.
249 4.49 .685 2 5
6. Pembelajaran bersama
dengan mahasiswa ilmu
kesehatan lainnya akan
membantu saya
berkomunikasi lebih baik
dengan pasien dan
profesional lainnya.
249 4.49 .696 2 5
7. Saya akan menyambut
baik kesempatan untuk
bekerja pada proyek
kelompok kecil dengan
mahasiswa ilmu kesehatan
lainnya.
249 4.31 .732 2 5
54
8. Tidak menjadi suatu
keharusan mahasiswa ilmu
kesehatan untuk belajar
bersama.
249 2.47 1.132 1 5
9. Pembelajaran bersama
akan membantu saya
memahami keterbatasan
saya sendiri.
249 4.17 .851 1 5
Perbandingan nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subskala 1 pertanyaan 1
nilai rata-rata tertinggi UGM, kemudian UMY dan Usakti. Nilai rata-rata pertanyaan
nomor 2 nilai terbaik adalah UGM, UMY dan Usakti. Nilai rata-rata nomor 3 terbaik
UGM, UMY dan Usakti. Rata-rata nilai tertinggi pada setiap pertanyaan bervariasi
antara; UGM (1,2,3,4,5), UMY (6,7,9), Usakti (8)
Tabel 5.6. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 1 : Kerjasama
tim, peran dan tanggungjawab berdasarkan universitas.
Universitas N
Rata-rata
rangking
1. Pembelajaran bersama
sebelum lulus dokter gigi
akan membantu saya
menjadi dokter gigi yang
lebih baik dalam melakukan
kerjasama tim
Usakti 83 116.60
UMY 76 125.45
UGM 90 132.37
Total 249
2. Pembelajaran bersama
dengan profesi kesehatan
lain akan membantu saya
berpikir positif tentang
profesi lain
Usakti 83 116.79
UMY 76 126.46
UGM 90 131.34
Total 249
3. Belajar dengan
mahasiswa profesi
Usakti 83 118.84
UMY 76 126.78
55
kesehatan lain akan
membantu saya menjadi
anggota tim pelayanan
kesehatan yang lebih efektif
UGM 90 129.18
Total 249
4. Pembelajaran bersama
dengan mahasiswa ilmu
kesehatan lainnya, akan
meningkatkan kemampuan
saya untuk memahami
masalah klinis.
Usakti 83 116.06
UMY 76 128.98
UGM 90 129.88
Total 249
5. Pasien pada akhirnya
akan mendapat manfaat jika
mahasiswa ilmu kesehatan
bekerja bersama untuk
memecahkan permasalahan
pasien.
Usakti 83 119.91
UMY 76 125.87
UGM 90 128.96
Total 249
6. Pembelajaran bersama
dengan mahasiswa ilmu
kesehatan lainnya akan
membantu saya
berkomunikasi lebih baik
dengan pasien dan
profesional lainnya.
Usakti 83 115.56
UMY 76 130.50
UGM 90 129.06
Total 249
7. Saya akan menyambut
baik kesempatan untuk
bekerja pada proyek
kelompok kecil dengan
mahasiswa ilmu kesehatan
lainnya.
Usakti 83 113.66
UMY 76 132.40
UGM 90 129.21
Total 249
8. Tidak menjadi suatu
keharusan mahasiswa ilmu
kesehatan untuk belajar
bersama.
Usakti 83 147.20
UMY 76 112.21
UGM 90 115.33
Total 249
9. Pembelajaran bersama
akan membantu saya
Usakti 83 124.60
UMY 76 127.93
UGM 90 122.89
56
memahami keterbatasan
saya sendiri.
Total 249
Pada Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa P Value atau Asymp. Sig > 0,05 nilai
sikap mahasiswa di ketiga universitas tidak berbeda secara signifikan kecuali pada
pertanyaan nomor 8. (tabel 5.7)
Tabel 5.7 Tes statistik Kruskal-Wallis untuk subskala 1 : kerjasama tim, peran dan
tanggungjawab
1.
Pembelaja
ran
bersama
sebelum
lulus
dokter
gigi akan
membant
u saya
menjadi
dokter
gigi yang
lebih baik
dalam
melakuka
n
kerjasama
tim
2.
Pembelaja
ran
bersama
dengan
profesi
kesehatan
lain akan
membant
u saya
berpikir
positif
tentang
profesi
lain
3.
Belajar
dengan
mahasis
wa
profesi
kesehat
an lain
akan
memba
ntu saya
menjadi
anggota
tim
pelayan
an
kesehat
an yang
lebih
efektif
4.
Pembelaja
ran
bersama
dengan
mahasisw
a ilmu
kesehatan
lainnya,
akan
meningkat
kan
kemampu
an saya
untuk
memaham
i masalah
klinis.
5. Pasien
pada
akhirnya
akan
mendapat
manfaat
jika
mahasisw
a ilmu
kesehatan
bekerja
bersama
untuk
memecah
kan
permasala
han
pasien.
6.
Pembelajar
an bersama
dengan
mahasiswa
ilmu
kesehatan
lainnya
akan
membantu
saya
berkomuni
kasi lebih
baik
dengan
pasien dan
profesional
lainnya.
7. Saya
akan
menyam
but baik
kesempa
tan
untuk
bekerja
pada
proyek
kelompo
k kecil
dengan
mahasis
wa ilmu
kesehata
n
lainnya.
8. Tidak
menjadi
suatu
keharus
an
mahasis
wa ilmu
kesehat
an
untuk
belajar
bersama
.
9.
Pembelaja
ran
bersama
akan
membant
u saya
memaham
i
keterbatas
an saya
sendiri.
Chi-
Squar
e
2.775 2.323 1.229 2.402 .920 2.833 3.768 12.728 .239
Df 2 2 2 2 2 2 2 2 2
57
Asy
mp.
Sig.
.250 .313 .541 .301 .631 .243 .152 .002 .887
Pada subskala 2 berpusat pada pasien nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap
IPE diperoleh nilai rata-rata terendah 4.54 untuk pertanyaan nomor 3 dan standar
deviasi 0.695, dan nilai rata-rata tertinggi 4, 75 untuk pertanyaan nomor 1 (tabel 5.8).
Tabel 5.8 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 Berpusat
kepada pasien
N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum
1. Penting bagi saya
membangun kepercayaan
dengan pasien.
249 4.75 .488 3 5
2. Penting bagi saya untuk
berkomunikasi dengan
penuh perhatian dan simpati
kepada pasien.
249 4.72 .508 3 5
3. Memikirkan pasien
sebagai pribadi adalah
penting dalam mendapatkan
perawatan yang benar.
249 4.54 .695 1 5
4. Dalam profesi saya,
seseorang membutuhkan
keterampilan dalam
berinteraksi dan bekerja
sama dengan pasien.
249 4.63 .575 2 5
5. Penting bagi saya untuk
memahami permasalahan
dari sisi pandang pasien.
249 4.61 .550 3 5
Berdasarkan hasil perhitungan didapat nilai sikap untuk subskala 2 berpusat kepada
pasien, nilai tertinggi diperoleh FKG UGM dengan nilai rata-rata 130.23, UMY
114.86 dan Usakti 128.61 (Tabel 5.9)
59
Tabel 5.9 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 : Berpusat
pada pasien berdasarkan universitas.
Pertanyaan Universitas N
Rata-rata
Ranking
1. Penting bagi saya
membangun kepercayaan
dengan pasien.
Usakti 83 128.61
UMY 76 114.86
UGM 90 130.23
Total 249
2. Penting bagi saya untuk
berkomunikasi dengan
penuh perhatian dan simpati
kepada pasien.
Usakti 83 121.01
UMY 76 120.53
UGM 90 132.46
Total 249
3. Memikirkan pasien
sebagai pribadi adalah
penting dalam mendapatkan
perawatan yang benar.
Usakti 83 127.14
UMY 76 118.67
UGM 90 128.37
Total 249
4. Dalam profesi saya,
seseorang membutuhkan
keterampilan dalam
berinteraksi dan bekerja
sama dengan pasien.
Usakti 83 131.90
UMY 76 120.34
UGM 90 122.57
Total 249
5. Penting bagi saya untuk
memahami permasalahan
dari sisi pandang pasien.
Usakti 83 131.25
UMY 76 117.38
UGM 90 125.67
Total 249
Pada tabel 5.10 dapat dilihat nilai rata-rata tertinggi pada setiap pertanyaan di
aspek pertama bervariasi antara; UGM (1,2,3,) dan Trisakti (3,4). Uji beda Kruskall-
Wallis dengan nilai P Value Asymp. Sig > 0,05 yang berarti nilai sikap antara
mahasiswa ketiga universitas tidak berbeda secara signifikan.
60
Tabel 5.10 Tes statistik Kruskal -Wallis untuk subskala 2 : Berpusat pada pasien
1. Penting bagi
saya
membangun
kepercayaan
dengan pasien.
2. Penting bagi
saya untuk
berkomunikasi
dengan penuh
perhatian dan
simpati kepada
pasien.
3. Memikirkan
pasien sebagai
pribadi adalah
penting dalam
mendapatkan
perawatan yang
benar.
4. Dalam
profesi saya,
seseorang
membutuhkan
keterampilan
dalam
berinteraksi dan
bekerja sama
dengan pasien.
5. Penting bagi
saya untuk
memahami
permasalahan
dari sisi
pandang pasien.
Chi-Square 4.113 2.673 1.188 1.767 2.130
df 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. .128 .263 .552 .413 .345
Pada tabel 5.11 nilai rata-rata kuesioner untuk subskala 3 : Bias profesi seluruh
universitas nilai berada pada rentang 3.26 -3.57. Terendah untuk pertanyaan nomor 3
dengan nilai 3.26 dan deviasi 1.084 sedangkan teringgi pada pertanyaan nomor 1
dengan nilai 3.57 deviasi 0.965.
Tabel 5.11 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3 : Bias
Profesi
N Rata-rata Std. deviasi Minimum Maksimum
1. Mahasiswa dari profesi kesehatan
lain memiliki prasangka atau
membuat asumsi tentang saya karena
disiplin ilmu yang saya pelajari.
249 3.57 .965 1 5
2. Saya memiliki prasangka atau
membuat asumsi tentang profesi
kesehatan lain / mahasiswa dari
disiplin ilmu kesehatan lain.
249 3.45 .979 1 5
61
3. Prasangka dan asumsi tentang para
profesi kesehatan dari disiplin ilmu
kesehatan lain menghalangi jalannya
proses penyembuhan pasien
249 3.26 1.084 1 5
Pada tabel 5.12 dapat dilihat nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk
pertanyaan subskala 3 : Bias antar profesi untuk masing-masing universitas dari 3
pertanyaan yang ditanyakan, nilai tertinggi ada pada UMY untuk pertanyaan 1,2 dan
3. Nilai rata-rata terendah untuk pertanyaan nomor 1 & 2 oleh Usakti dan pertanyaan
nomor 3 oleh UGM. Pada tabel 5.13 diperoleh nilai Asymp. Sig < 0,05 berarti nilai
sikap antara mahasiswa ketiga universitas berbeda secara signifikan kecuali pada
pertanyaan nomor 3.
Tabel 5.12 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 3 : Bias antar
profesi.
Pertanyaan Universitas N
Rangking
rata-rata
1. Mahasiswa dari profesi
kesehatan lain memiliki
prasangka atau membuat
asumsi tentang saya karena
disiplin ilmu yang saya
pelajari.
Trisakti 83 107.80
UMY 76 142.05
UGM 90 126.47
Total 249
2. Saya memiliki prasangka
atau membuat asumsi
tentang profesi kesehatan
lain / mahasiswa dari disiplin
ilmu kesehatan lain.
Trisakti 83 107.13
UMY 76 144.17
UGM 90 125.29
Total 249
3. Prasangka dan asumsi
tentang para profesi
kesehatan dari disiplin ilmu
Trisakti 83 124.23
UMY 76 130.89
UGM 90 120.73
62
kesehatan lain menghalangi
jalannya proses
penyembuhan pasien
Total 249
Pada tabel 5.13 diperoleh Rata-rata nilai tertinggi pada setiap pertanyaan di
aspek ketiga adalah UMY (1,2,3). P Value atau Asymp. Sig untuk pertanyaan nomor
2 < 0,05 kecuali berarti nilai sikap antara mahasiswa ketiga universitas berbeda
secara signifikan pada pertanyaan nomor 3. P Value atau Asymp untuk pertanyaan
1dan 3 > 0.05 HO ditolak sikap mahasiswa tidak berbda secara signifikan.
Tabel 5.13 Tes statistik Kruskal-wallis sikap mahasiswa terhadap IPE subskala 3 : Bias
antar profesi
1. Mahasiswa
dari profesi
kesehatan lain
memiliki
prasangka atau
membuat
asumsi tentang
saya karena
disiplin ilmu
yang saya
pelajari.
2. Saya
memiliki
prasangka atau
membuat
asumsi tentang
profesi
kesehatan lain /
mahasiswa dari
disiplin ilmu
kesehatan lain.
3. Prasangka
dan asumsi
tentang para
profesi
kesehatan dari
disiplin ilmu
kesehatan lain
menghalangi
jalannya proses
penyembuhan
pasien
Chi-Square 10.020 11.669 .906
Df 2 2 2
Asymp. Sig. .007 .003 .636
Nilai subskala 4 : Keragaman dan Etika diperoleh hasil rata-rata nilai berkisar
pada 4.44 – 4.70 dengan standar deviasi 0.540 – 6.39. Nilai rata-rata tertinggi pada
pertanyaan nomor 4 dan terendah pada pertanyaan nomor 2. (tabel 5.14).
63
Tabel 5.14 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4 : Keragaman
dan Etika
Pertanyaan N Rata-rata Std. Deviasi Minimum Maksimum
1. Menghargai budaya yang
unik, nilai-nilai, peran /
tanggung jawab, dan
keahlian profesi kesehatan
lainnya
249 4.53 .609 3 5
2. Memahami apa yang
diperlukan untuk
berkomunikasi secara efektif
lintas budaya.
249 4.44 .639 3 5
3. Menghormati martabat
dan privasi pasien serta
menjaga kerahasiaan dalam
melakukan perawatan
berbasis tim.
249 4.57 .638 2 5
4. Memberikan perawatan
terbaik kepada pasien
terlepas dari latar belakang
mereka (mis. ras, etnis, jenis
kelamin, orientasi seksual,
agama, kelas, asal
kebangsaan, status imigrasi,
atau kemampuan)
249 4.70 .540 3 5
Tabel 5.15. Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 4 :
Keragaman dan Etika setiap universitas
Pertanyaan universitas N rangking rata-rata
1. Menghargai budaya yang
unik, nilai-nilai, peran /
tanggung jawab, dan
Usakti 83 133.59
UMY 76 114.80
UGM 90 125.69
64
keahlian profesi kesehatan
lainnya
Total 249
2. Memahami apa yang
diperlukan untuk
berkomunikasi secara efektif
lintas budaya.
Usakti 83 138.98
UMY 76 113.39
UGM 90 121.91
Total 249
3. Menghormati martabat
dan privasi pasien serta
menjaga kerahasiaan dalam
melakukan perawatan
berbasis tim.
Usakti 83 131.43
UMY 76 119.40
UGM 90 123.79
Total 249
4. Memberikan perawatan
terbaik kepada pasien
terlepas dari latar belakang
mereka (mis. ras, etnis, jenis
kelamin, orientasi seksual,
agama, kelas, asal
kebangsaan, status imigrasi,
atau kemampuan)
Usakti 83 132.63
UMY 76 114.05
UGM 90 127.21
Total 249
Uji statistik Kruskal – Wallis untuk sikap mahasiswa pada subskala 4 :
Keragaman dan Etika didapat Asymp. Sig > 0,05 kecuali pada pertanyaan nomor 2
dengan nilai 0.036. Berarti sikap antara mahasiswa ketiga universitas tidak berbeda
secara signifikan kecuali pada pertanyaan nomor 2. (tabel 5.16)
Tabel 5.16 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE subskala
4 : Keragaman dan Etika
65
1. Menghargai
budaya yang
unik, nilai-nilai,
peran /
tanggung jawab,
dan keahlian
profesi
kesehatan
lainnya
2. Memahami
apa yang
diperlukan
untuk
berkomunikasi
secara efektif
lintas budaya.
3. Menghormati
martabat dan
privasi pasien
serta menjaga
kerahasiaan
dalam
melakukan
perawatan
berbasis tim.
4. Memberikan
perawatan
terbaik kepada
pasien terlepas
dari latar
belakang
mereka (mis.
ras, etnis, jenis
kelamin,
orientasi
seksual, agama,
kelas, asal
kebangsaan,
status imigrasi,
atau
kemampuan)
Chi-Square 3.600 6.627 1.617 4.734
Df 2 2 2 2
Asymp. Sig. .165 .036 .446 .094
Pada tabel 5.17 menggambarkan nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE
untuk subskala 5 : berpusat pada Komunitas di seluruh universitas, dengan jumlah
pertanyaan sebanyak 5 nilainya berada pada rentang 3.95 – 4.44 . Pertanyaan dengan
nilai rata-rata terendah adalah untuk pertanyaan nomor 4 dengan nilai 3.95 dan deviasi
.879 sedangkan teringgi pada pertanyaan nomor 1 dengan nilai 4.44.57 deviasi 0.652.
Tabel 5.17 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk Subskala 5 :
Berpusat pada Komunitas.
Pertanyaan N Rata-rata Std. deviasi Minimum Maksimum
1. Bekerja dengan petugas
kesehatan masyarakat dan
pembuat kebijakan untuk
meningkatkan pemberian
layanan kesehatan pada
masyarakat.
249 4.44 .652 2 5
66
2. Bekerja pada proyek-
proyek kesehatan untuk
promosi kesehatan
komunitas dan kesehatan
masyarakat
249 4.33 .709 3 5
3. Bekerja dengan dewan
perwakilan rakyat dan
pemerintahan untuk
mengembangkan undang-
undang, peraturan, dan
kebijakan dalam
meningkatkan layanan
kesehatan
249 4.14 .823 1 5
4. Bekerja dengan non
klinisi untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang
lebih efektif
249 3.95 .879 1 5
5. Fokus pada populasi dan
komunitas, selain pasien
individu, guna memberikan
perawatan kesehatan yang
efektif
249 4.20 .737 1 5
Pada tabel 5.18 dapat dilihat nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk
pertanyaan subskala 5 : Berpusat pada Komunitas pada masing-masing universitas
dari 4 pertanyaan yang ditanyakan, nilai tertinggi untuk pertanyaan nomor 1, 2 ada
pada Usakti, pertanyaan nomor 3 pada UMY, pertanyaan nomor 4 & 5 oleh UGM.
Nilai rata-rata terendah untuk pertanyaan nomor 1, 2 dan 3 oleh UGM, sedangkan 4
UMY, dan 5 Usakti.
Tabel 5.18 Nilai rata-rata sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 5 :
berpusat pada Komunitas berdasarkan universitas.
Pertanyaan Universitas N Rangking rata-rata
1. Bekerja dengan petugas kesehatan
masyarakat dan pembuat kebijakan untuk
Usakti 83 129.23
UMY 76 125.56
UGM 90 120.62
67
meningkatkan pemberian layanan kesehatan
pada masyarakat.
Total 249
2. Bekerja pada proyek-proyek kesehatan
untuk promosi kesehatan komunitas dan
kesehatan masyarakat
Usakti 83 129.66
UMY 76 123.28
UGM 90 122.16
Total 249
3. Bekerja dengan dewan perwakilan rakyat
dan pemerintahan untuk mengembangkan
undang-undang, peraturan, dan kebijakan
dalam meningkatkan layanan kesehatan
Usakti 83 124.39
UMY 76 128.63
UGM 90 122.50
Total 249
4. Bekerja dengan non klinisi untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang
lebih efektif
Usakti 83 123.86
UMY 76 120.76
UGM 90 129.63
Total 249
5. Fokus pada populasi dan komunitas,
selain pasien individu, guna memberikan
perawatan kesehatan yang efektif
Usakti 83 124.33
UMY 76 125.26
UGM 90 125.40
Total 249
Pada tabel 5.19 diperoleh nilai P Value atau Asymp. Sig > 0,05 berarti sikap
mahasiswa terhadap IPE pada ketiga universitas tidak berbeda secara signifikan.
68
Berpusat pada Komunitas
Tabel 5.19 Tes statistik Kruskal-wallis untuk sikap mahasiswa terhadap IPE subskala 5
: B
1. Bekerja
dengan petugas
kesehatan
masyarakat dan
pembuat
kebijakan untuk
meningkatkan
pemberian
layanan
kesehatan pada
masyarakat.
2. Bekerja pada
proyek-proyek
kesehatan
untuk promosi
kesehatan
komunitas dan
kesehatan
masyarakat
3. Bekerja
dengan dewan
perwakilan
rakyat dan
pemerintahan
untuk
mengembangka
n undang-
undang,
peraturan, dan
kebijakan dalam
meningkatkan
layanan
kesehatan
4. Bekerja
dengan non
klinisi untuk
memberikan
pelayanan
kesehatan yang
lebih efektif
5. Fokus pada
populasi dan
komunitas,
selain pasien
individu, guna
memberikan
perawatan
kesehatan yang
efektif
Chi-Square .786 .635 .352 .741 .013
Df 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. .675 .728 .838 .690 .993
69
B. Hasil penelitian kualitatif
Pengambilan data penelitian secara kualitatif terhadap pengetahuan dan sikap pada
mahasiswa FKG UGM, UMY dan Usakti yang masing-masing terdiri atas 2
kelompok mahasiswa. Setiap kelompok beranggotakan 9 orang dari 3 orang dari
semester 3 atau 4, 3 dari 5 atau 6 dan 3 dari 7 atau 8 (tabel 5.20). Pertanyaan yang
diberikan meliputi 5 aspek (subskala) yaitu kerjasama tim, peran dan
tanggungjawab, berpusat pada pasien, bias antar profesi, keragaman dan etika serta
berpusat pada Komunitas.
Tabel 5.20 Data Identitas Responden Focus Group Discussion (FGD)
No Inisial Responden Kode Responden Umur Semester
Kelompok 1 UGM
1 VA R1 19 4
2 MRF R2 19 4
3 N R3 20 4
4 SF R8 21 6
5 M R6 22 6
6 K R7 22 6
7 LES R4 21 8
8 AJM R5 21 8
9 AA R9 22 8
Kelompok 2 UGM
1 SND R.7 20 4
2 SRS R.5 19 4
3 SD R.9 20 4
4 AN R.1 20 6
5 ARH R.2 20 6
6 EF R.3 21 6
7 SFW R.4 22 8
8 FAN R.6 22 8
9 MPI R.8 22 8
Kelompok 1 UMY
1 YY R1 20 4
2 BK R2 20 4
3 GAW R3 19 4
4 CDR R4 22 8
5 HMP R5 23 8
6 SS R6 22 8
70
7 INY R7 21 6
8 RRH R8 20 6
9 FN R9 21 6
Kelompok 2 UMY
1 HAH 21 6
2 DL 21 8
3 INF 22 8
4 FS 22 8
5 FY 21 6
6 WH 20 6
7 FWT 20 4
8 RDH 20 4
9 NA 20 4
No Inisial Responden Kode Responden Umur Semester
Kelompok 1 Usakti
1 JT R1 21 6
2 CW R2 21 6
3 DA R3 21 6
4 JF R4 20 4
5 ET R5 20 4
6 FF R6 20 4
7 FK R7 22 8
8 EF R8 22 8
9 MM R9 22 8
Kelompok 2 Usakti
1 NT R21 21 6
2 NI R22 21 6
3 ST R23 21 6
4 FO R24 22 8
5 NLW R25 22 8
6 VPS R26 22 8
7 LES R27 20 4
8 KFT R28 20 4
9 KKV R29 20 4
Data hasil wawancara FGD dibagi menjadi 2 (dua) bagian pertanyaan yaitu pertanyaan
tentang pengetahuan dan pertanyaan tentang sikap. Data dipisahkan menjadi 2 yaitu
skala 1 untuk pengetahuan dan skala 2 untuk sikap mahasiswa.
1. Skala 1 : Pengetahuan kerjasama tim, peran dan tanggung jawab
71
Usakti : “ Yang saya tahu dalam pelayanan kesehatan harus melingkupi semua
bagian, dokter umum, dokter gigi, kebidanan, farmasi dan keselamatan kerja.
Menurut saya tiap bagian ini memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing.
Peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda, tapi pastinya kita harus
mengerjakan seusai dengan tanggung jawab dan perannya sesuai kemampuannya.
Menurut saya kerja tim itu seperti operasi punya dokter dan asisten-asistennya.
Dokter yang bertanggung jawab dengan asisten-asistennya berintegrasi. Peran
dan tanggung jawabnya dokter yang bertanggung jawab penuh tapi asisten juga
harus mengetahui. Menurut saya pelayanan kesehatan banyak dan punya elemen
masing-masing. Kerjasama tim mengetahui pekerjaan mereka masing-masing
supaya memiliki kerja sama yang baik. Dokter dan apoteker. Apabila apoteker
kesusahan dalam membaca tulisan dokter, dokter menjawab dan menjelaskan.
Perannya harus mengerjakan dengan baik. Posisi masing-masing memiliki
peranan masing-masing dan bertanggung jawab penuh. Mau bagaimanapun
pasien akan berkontak hanya dengan dokter, bisa ke perawat, ke satapiam, bagian
admin, masing-masing punya wewenang dan porsinya masing-masing. Antara
dokter perawat dan pasien memiliki fungsi dan tugas masing2, saat pasien
menanyakan penyakitnya, dokter menentukan diagnosanya, untuk kepuasaan
seorang pasien. Contohnya ada beberapa orang, ada perawat gigi, tekniker, orang
lab, harus untuk hasil yang optimal. Contoh lain perawat, orang laboratorium,
dokter umum dan dokter spesialis untuk rujukan. Ada juga antara dokter gigi
perawat dokter umum kalau ada kasus rujukan, respsionis, keamanan
UMY: “ Dalam suatu bidang, kita tidak bisa berkerja sendiri. Seseorang
membutuhkan bantuan dari orang lain. Ia harus berkerjasama dengan orang lain
untuk memberikan pelayanan kesehatan. Kemampuan dari suatu kelompok yang
terdiri dari individu-individu untuk mencapai tujuan yang sama untuk
mendapatkan kesehatan yang optimal. Kolaborasi beberapa profesional dibidang
medis untuk memberi pelayanan komprehensif pada pasien. Suatu kumpulan
72
profesional dari berbagai bidang kesehatan dimana masing-masing memiliki
peran dan tanggung jawabnya sendiri sesuai dengan kompetensi dan tanggung
jawab yang dimiliki, untuk mencapai tujuan yang sama yaitu merawat pasien
sebaik mungkin. Dalam praktek kita tidak bisa melakukan tindakan sendiri. Bila
tidak kerjasama dengan profesi lain dapat membahayakan kondisi pasien dan kita
sendiri. Proses dimulai dari pasien datang sampai pasien pulang dimana terdapat
tim kesehatan yang terdiri dari dokter gigi, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya.
Misalnya dalam suatu kasus dimana pasien mengalami gigi goyang dan kelainan
sistemik Diabetes Mellitus. Dokter gigi akan menangani gigi goyangnya, dokter
umum menangani kelainan sistemiknya, ahli farmasi menyediakan obatnya,
perawat membantu dokter dalam merawat pasien. Peran dan tanggung jawab
sesuai kompetensi. Misalnya seorang dokter umum bertanggung jawab atas
kesehatan seseorang secara umum. Berbeda-beda, tergantung dari keahlian
masing-masing. Misalnya dokter gigi memiliki kompetensi untuk menangani
kelainan pada rongga mulut sementara dokter umum, apoteker dan perawat juga
memiliki kompetensinya masing-masing. Tetap harus memperhatikan kompetensi
bidang masing-masing supaya tidak melewati batasan.”
UGM: “ Menurut saya kerjasama tim antara perawat, dental hyangiene, dokter
gigi dan dr spesialis, dalam layanan kesehatan gigi memiliki jangkauan yang lebih
besar di RS. Kalau di lingkup yang paling sederhana yaitu praktik pribadi, akan
lebih baik jika dokter gigi memiliki perawat gigi. Pada Puskesmas memiliki dokter
di bidang spesialis lain supaya dapat berkerjasama khususnya menangani penyakit
sistemik. Kerjasama antara penerima layanan kesehatan dan pemberi layanan,
contohnya penerima layanan dalam hal ini pasien lebih kooperatif dan pemberi
layanan lebih profesional. Satu tim dalam merawat seorang pasien lebih baik jika
datang dari berbagai profesi seperti karena kita menganggap pasien sebagai satu
manusia seutuhnya. Butuh banyak pendapat dari berbagai bidang untuk
menyembuhkan seorang pasien secara holistik. Contohnya dokter gigi saat ingin
73
melakukan pencabutan butuh konsul untuk menyiapkan pasien supaya siap
dicabut, contohnya tekanan darah, gula darah, atau memastikan kondisi kesehatan
pasien sebaik mungkin untuk mencegah komplikasi atau infeksi. Memiliki bentuk
yang lebih komprehensif supaya berbagai masalah dapat ditangani. Kerjasama
tim kesehatan dalan dunia kedokteran gigi itu penting untuk menyediakan layanan
kesehatan yang lebih baik pada pasien. Jika tidak ada komunikasi yang baik antara
dokter dengan stafnya seperti perawat, maka akan terjadi kebingungan dalam
penanganan pasien. Untuk melaksanakan tanggung jawab pelayanan kesehatan
memiliki batasan-batasan sendiri, seperti dokter dan perawat memiliki perannya
sendiri namun dengan tujuan yang sama yaitu terciptanya pelayanan yang efektif.
Perawat tidak boleh melakukan tindakan diluar kewenangannya seperti tindakan
operatif, yang seharusnya dilakukan oleh dokter. Dokter umum tidak boleh
melakukan tindakan diluar kompetensinya, misalnya tindakan yang bisa dilakukan
dokter spesialis. Semua tenaga kesehatan punya tanggung jawab untuk menjaga
kesehatan pasien, dan harus dilakukan secara harmonis dan berkesinambungan.
Tanggung jawab seorang dokter lebih tinggi dari perawat, terutama dalam
memberikan tindakan klinis. Tapi bisa jadi perawat memiliki keahlian dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat. ”
2. Skala 2 : Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 1 : kerjasama tim, peran
dan tanggungjawab
Usakti :” Perasaan saya terhadap kerjasama tim sangat setuju, ini hal menarik
karena ini momen kita bisa tahu tentang hal yang ada di bidang lain. Saya senang,
karena sebanyak apapun kita belajar tapi pasti ada kurangnya di bagian yang tidak
diajarkan kepada kita, jadi kerjasama ini bisa bertukar informasi, saling
menguntungkan, dan untuk kebaikan pasien. Saya setuju dengan adanya kerjasama
tim tersebut menjadi efisien dan efektif. Efisien waktu, pekerjaan yang sejam bisa
dikerjakan dalam 30 menit. Membuat saya bekerja lebih efisien dan efektif, bisa
mengurangi stress. Kerjasama tim membuat saya sangat lega karena ada orang
74
yang menopang pekerjaan kita, ntu saja senang. Karena mempermudah tenaga
kesehatan untuk memaksimalkan kinerja mereka, dengan banyaknya pasien yang
datang ke rumah sakit tidak mungkin kita semua yang mengerjakan sendiri seperti
mengisi rekam medis pasien, dengan begini memungkinkan untuk kita mengerjakan
tugas. Saya merasa sangat terbantu, melihat pekerjaan seorang dokter gigi yang
banyak membuat ini itu membutuhkan perawat menyediakan alat supaya efisien
dan efektif. Saya merasa penting dan butuh, untuk bekerja dengan baik, dokter gigi
melakukan tindakan, supaya terselesaikan dengan cepat pastinya butuh kerja sama
dengan perawat.
UMY : “ Perasaan saya terhadap kerjasama tim dalam pelayanan kesehatan gigi,
Sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kita tidak bisa berkerja
sendiri. Saya senang karena kerjasama sangat dibutuhkan untuk mengatasi
kesulitan. Mungkin seorang dokter gigi dapat mengerjakan pasiennya sendiri
namun kerjasama tim dapat mempermudah dan mempercepat penyelesaian suatu
kasus/tindakan kesehatan. Saya antusias sekali untuk bekerjasama dengan profesi
lain. Kerjasama tim sangat dibutuhkan, karena jika seorang dokter gigi bekerja
sendiri maka akan kurang maksimal. Manusia adalah mahluk sosial yang
membutuhkan orang lain, maka kerjasama ini dapat memaksimalkan hasil dan
meminimalisir kesalahan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
Merasa sangat terbantu dengan kerjasama interprofesional karena yang perlu
dirawat tidak hanya kesehatan rongga mulut saja tapi juga pasien secara
keseluruhan. Dengan adanya kolaborasi dapat berbagi dengan profesi kesehatan
lain sehingga kita bisa menangani kasus tersebut dengan lebih mantap, dan dapat
meminimalisir kesalahan pengobatan / penanganan. Kerjasama tim sangat
membantu dan menguntungkan, bukan hanya untuk pasien tapi juga antar profesi
itu sendiri. Dapat mencegah kesalahpahaman yang berpotensi merugikan pasien.
Kerjasama tim dapat memberi pelayanan secara komprehensif, kita diharuskan
bekerjasama tidak hanya lintas profesi tapi juga berjenjang. Kita mengerjakan
75
pasien sesuai kompetensi masing-masing baik sebagai dokter gigi atau dokter gigi
spesialis. Kerjasama tim cukup membantu pasien itu sendiri. Pasien tidak perlu
merasa khawatir jika akan diberikan tindakan. Karena tindakan benar-benar
dilakukan oleh ahli di bidangnya.”
UGM : “ Perasaan saya terhadap kerjasama tim dalam pelayanan kesehatan gigi
Sangat setuju. Misalnya saat menangani pasien yang terkena infeksi atau
keganasan, setiap profesi memiliki kompetensi yang terbatas. Untuk menentukan
diagnosa dan terapi yang tepat, dibutuhkan kerjasama antar kompetensi. Sangat
setuju. Adanya ekstra operator dapat menghasilkan kerjasama dan hasil yang lebih
bagus. Sangat setuju. Tapi kerjasama itu harus memiliki kualitas dan kompetensi
serta kesetaraan ilmu pengetahuan antara anggota tim. Sangat setuju. Sebuah tim
dapat meringankan beban kerja. Secara positif akan banyak opsi dan sudut
pandang terkait permasalahan pasien sehingga para dokter dapat memberikan
pelayanan yang terbaik pada pasien. Setiap profesi harus menghormati perbedaan
pendapat dalam menangani suatu kasus. Perbedaan pendapat akan menjadi wadah
diskusi bukan hanya perdebatan. Kerjasama antar tim sangat penting karena kita
memiliki pengetahuan tentang berbagai bidang yang berbeda. Jika hanya
memandang dari satu sisi sudut pandang saja maka akan kurang dalam menangani
seorang pasien.”
3. Skala 1 : Pengetahuan mahasiswa tentang IPE untuk subskala 2 : Berfokus kepada
pasien.
Usakti : “ Mengapa disebut berpusat kepada pasien, karena tugas kita memenuhi
kebutuhan pasien dalam hal medis. Misal pasien datang ke kita, setahu saya,
zaman dahulu hubungan dokter dan pasien satu arah, sakit ini, ini obatnya tapi
tidak dijelaskan lebih lanjut, zaman sekarang sudah berubah, lebih berorientasi
kepada pasien, kita dokter lebih menjadi pendengar keluhannya, setelah kita
mendengar keluhan tersebut, kita harus memberi tahu kelanjutannya seperti apa,
76
perawatan selanjutnya hasilnya akan sepertt apa. Di akhir kita berikan pasien
pilihan, kembali ke keputusan pasien, pasien yang menentukan yang terbaik untuk
dirinya sendiri. Dokter memberitahukan opsi dan risiko tapi pasien yang akan
memilih. Center learning. Otonomi pasien. Kita menuruti apa keinginan pasien.
Oleh karena itu kita punya Informoed Consent. Dokter memberikan otonomi
kepada pasien setelah dokter melakukan anamnesis, Pasien bebas memilih, kita
menyediakan pelayanan. Kita sudah bilang apa dulu yang harus dirawat tapi
terserah bapak saja maunya yang mana. ibarat pasien adalah raja. artinya semua
atas dasar kemauan pasien dan dokter menuruti semua kemauan pasien, apa yang
diinginkan oleh pasien itu yang kita kerjakan. Semua tergantung pasien, pasien
maunya apa dan seizin pasien. Pasien adalah raja, kita yang melayani pasien,
sebisa mungkin sebaik mungkin kita lakukan. “
Usakti : “ Membangun kepercayaan TIDAK MUDAH. Dalam hal medis berarti
kita mempercayakan nyawa kita ke seseorang. Kepercayaan hubungan dokter dan
pasien. Kepercayaan kita dapatkan dari dokter yang berkomunikasi dan
memberikan perawatan dengan baik, misal dokter gigi memberikan perawatan
tambalan yang baik, jadi membangun kepercayaan sangat perlu waktu, kita harus
melihat pasien ini sebelumnya bagaimana dalam pekerjaannya, bagaimana
pasien-pasien lain kepuasannya terhadap dokter tersebut. Membangun
kepercayaan adalah sebuah proses. Ketika orang percaya kepada saya, saya harus
introspeksi diri apakah diri saya pantas dipercaya. Apakah saya sudah melakukan
yang terbaik untuk pasien tersebut atau tidak. Membangun kepercayaan sangat
susah. Kita mau orang percaya kepada kita. Contoh saya seperti anak kecil, pasien
kurang percaya dokternya kayak masih anak2, kita harus ambil keberanian untuk
peduli dengan pasien supaya pasien percaya kita memang dokter yang baik.
Membangun kepercayaan sangat mudah, dapat dilakukan dengan menyimak apa
kebutuhan pasien. Contoh pasien akan dicabut akan takut, tapi kita memberikan
77
edukasi apa yang ditakuntukan oleh pasien tersebut. Pasien takut melihat darah,
jangan memperlihatkan darah kepada pasien tersebut.”
Usakti : “Empati adalah kemauan kita untuk mendengarkan keluhan orang lain.
Mendengarkan tidak hanya dengar tetapi juga memberikan solusi. Selain kita
berinteraksi dengan orang lain, tapi ini juga sebuah skill dimana kita mau mengerti
karena bukan hal yang mudah untuk mengerti keinginan orang lain. Empati adalah
bagaimana orang bisa merasakan juga apa yang org lain rasakan, bisa
memposisikan diri seperti orang lain. Empati itu tidak mungkin dalam pelayanan
kesehatan. Karena toleransi orang atau limit orang dalam menerima keadaan
seseorang. Contoh patah kaki seseorang, respon orang terhadap patah kaki
tersebut berbeda-beda. Merasakan apa yang orang lain rasakan, kita sebagai
dokter gigi harus berusaha berempati mengalami apa yang dialami pasien. Empati
itu bagaimana dokter bisa merasakan apa yang dirasakan oleh pasien, tapi tidak
boleh over empati supaya tidak berdasarkan perasaan yang berlebih dan bukan
sesuai dengan tanggung jawabnya sebelumnya. Empati bagaimana dokter bisa
mengerti bagaimana pasien merasakan, supaya dpt membpertimbangkan
perawatan yang akan diberikan. Merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan
orang lain, memposisikan diri kita sama dengan orang lain.
Usakti : “Bagaimana berempati dan melakukan interaksi yang berfokus kepada
pasien pada saat menjadi dokter gigi, menurut pendapat saya seempati-empatinya
kita memang tidak bisa jadi seperti pasien, tapi kita harus punya empati, dengan
prinsip layanilah orang tersebut seperti kita ingin dilayani. Kita memahami sikap,
kepribadian dan rongga mulutnya. Dari situ kita bisa memposisikan diri kita
sebagai pasien tersebut, kalau kita mengerjakan sesuatu yang lebih nyaman. Saya
belum ada bayangan, tapi saya akan memberikan yang terbaik sesuai apa yang
diminta pasien. Saya belum dapat bayangan pastinya, tapi saya akan memberikan
diri saya mendengarkan keluhan dia, tapi tetap mengerjakan yang terbaik. Dokter
gigi butuh belajar, dokter gigi harus berinteraksi dengan pasien, membuat pasien
78
senang dan membuat mau kembali ke kita, pelayanan juga harus ditingkatkan, dari
administrasi, klinik yang menarik, kebersihan, ruang tunggu yang nyaman,
perawat yang ramah, sistem pendaftaran dilayani dengan baik, dari segi harga,
yang harganya mudah terjangkau. Kita memposisikan diri kita sebagai pasien,
melakukan yang seharusnya. Saya harus bisa menjelaskan kepada pasien apa yang
akan saya lakukan kepada pasien. Dengan menggunakan bahasa yang diketahui
oleh pasien, kenyamanan dengan pasien. Sebelum melakukan tindakan cerita
dahulu masalahnya apa kalau ada masalah ekonomi kita menurunkan harga
perawatan, pasien relax biar tidak takut.
UMY : “ Membangun kepercayaan adalah sebuah proses dari kita untuk
mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Suatu cara yang dilakukan supaya
pasien itu tidak takut atau merasa kapok untuk kembali datang berobat. Suatu
proses menanamkan rasa aman dan percaya dari pasien terhadap kita sebagai
dokter gigi supaya pelayanan dapat berjalan dengan mudah dan dapat
tersampaikan pada pasien. Dokter gigi membuat pasien percaya padanya dengan
cara berkomunikasi baik verbal maupun non verbal. Dokter gigi dapat berinteraksi
dan berkomunikasi dengan baik. Dengan memberi kenyamanan pada pasien agar
pasien percaya pada dokter dan mau memberikan informasi mengenai penyakit-
penyakitnya secara menyeluruh. Memberi kepercayaan pada sesama teman
sejawat. Dalam menangani suatu kasus kita tidak membebankan segalanya pada
diri kita sendiri tapi dapat mempercayakan pada teman sejawat bila sesuai dengan
kompetensinya. Hal yang sangat penting. Dapat antar profesi ataupun antara
dokter dengan pasien. Bila sudah ada kepercayaan, komunikasi dan kerjasama
akan lebih baik. Suatu kunci agar perawatan dapat berjalan. Apabila pasien sudah
percaya pada kita, pasien akan lebih patuh, perawatan berjalan lancar. Antar
profesi harus mempercayai bahwa masing-masing bisa melakukan hal terbaik
sesuai bidangnya.”
79
UMY : “ Empati adalah rasa peduli pada perasaan orang lain. Merasakan apa
yang dirasakan orang yang kita empatikan, misalnya merasakan kesedihan pasien
sehingga timbul rasa peduli.Sehingga pasien dapat percaya pada dokter. Rasa
peduli dimana kita menempatkan diri seakan akan kita adalah pasien tersebut.
Memahami rasa sakit yang dialami pasien tersebut. Suatu bentuk kepedulian
dimana kita dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Empati adalah rasa
menghormati. Memposisikan diri kita sama dengan seseorang yang tengah
memiliki maslalah saat hendak memberi solusi pada orang tersebut.
Memposisikan diri kita sama dengan pasien, bagaimana kita ingin diperlakukan.
Rasa ikut prihatin atau ikut merasakan sakitnya pasien. Kemampuan seseorang
dalam melihat suatu kejadian dalam perspektif orang lain. Memahami rasa sakit
pasien.”
UMY : “ Benar-benar melayani dan memahami pasien. Melayani sesuai keluhan
pasien. Melakukan suatu pelayanan secara menyeluruh sesuai dengan keluhan
pasien. Pelayanan/pendekatan yang kita berikan dengan tujuan pasien
mendapatkan manfaat dari pelayanan tersebut. Pelayanan diberikan secara
menyeluruh pada pasien sehingga pasien mendapatkan hak-haknya. Pelayanan
berdasarkan keluhan dari pasien sehingga dokter gigi dapat mendiagnosis dan
menentukan perawatan dengan tepat. Pelayanan yang berfokus pada pasien.
Bekerja sesuai apa yang pasien perlukan. Bagaimana kita memberikan tindakan
atas keluhan pasien. Kita tidak hanya berusaha mengembalikan fungsi normal dari
suatu keadaan patologis tapi juga memperhatikan aspek-aspek lain pada seorang
pasien secara keseluruhan. Mengutamakan kepentingan pasien, sesuai kasus
pasiennya, dan benar-benar memperhatikan kondisi pasiennya. Tidak
memaksakan kehendak pasien. Menanyakan persetujuan pasien sebelum
80
melakukan tindakan. Sebagai dokter gigi bukan hanya memeriksa pasien tapi juga
mau mendengarkan pasien secara keseluruhan. Menanyakan keluhan-keluhan
pasien, memberikan beberapa alternatif perawatan dengan menjelasikan pada
pasien masing-masing segi positif maupun negatifnya. Pelayanannya berpusat
pada pasien. Kita terfokus pada pasien secara keseluruhan bukan hanya gigi dan
mulut saja. Kita sebagai tenaga kesehatan baik dokter gigi, perawat, dokter,
maupun ahli farmasi, masing-masing berfokus pada pasien. Masing-masing
bekerja sesuai kompetensinya dan tidak melampaui batas.”
UMY : “Pelayanan yang berpusat pada pasien akan lebih menyenangkan karena
bisa terfokus pada keinginan pasien dengan baik dan benar. Sangat bagus. Kita
lebih fokus pada keluhan pada pasien dan bisa bertindak lebih maksimal. Akan
menguntungkan di kedua belah pihak. Pasien akan mendapatkan manfaaat optimal
karena kita lebih maksimal dalam melakukan tindakan. Kita dapat mengetahui apa
yang pasien rasakan untuk menentukan diagnosa yang tepat. Pelayanan yang
dilakukan sesuai dengan apa yang dikeluhkan pasien. Menunjukan empati terlebih
dulu. Saat anamnesis, mendengarkan cerita pasien sebaik-baiknya. Saat
melakukan pelayanan memposisikan diri sebagai pasien. Berusaha menghindari
kecelakaan kerja dalam pemberian pelayanan. Membangun komunikasi yang baik.
Jika apa yang ingin saya sampaikan dapat ditangkap dengan jelas, selanjutnya
saya menjalankan perawatan sesuai kompetensi saya dengan tidak menjamin
100% kesembuhan. Menjelaskan pada pasien penyebab dari keluhannya,
bagaiamana hal itu bisa terjadi, apa perawatannya, bagaimana perawatan akan
berjalan? Kita menyampaikan prognosis dengan baik dan menghindari
miskomunikasi dengan pasien. Kunci awalnya di komunikasi jadi harus
membangun komunikasi yang baik dengan pasien. Menghargai pasien dan
mendengarkan dengan baik.
81
UGM : “Pelayanan yang berpusat kepada pasien adalah saat Klinisi
memperhatikan keluhan utama pasien. Misalnya bila ditemukan perdarahan
ditangani lebih dulu. Atau penemuan lesi-lesi kelainan secara dini dapat
diinformasikan pada pasien. Pasien harus berbicara lebih banyak daripada dokter
gigi, namun terbatas pada kasus ringan dan sedang. Dalam kasus berat sulit untuk
dilakukan. Pasien diberi informasi tentang keadaannya. Pasien juga diajak untuk
menentukan prosedur yang akan dijalaninya. Pelayanan oleh provider
berdasarkan kebutuhan pasien. Misalnya provider ingin melakukan prosedur PSA
dan pasien diharapkan untuk berkunjung lebih dari 1x maka pasien bebas memilih
apakah ingin tetap di PSA atau ingin di cabut saja. Semua yang dirasakan pasien
dapat diselesaikan oleh dokter. Two way communication, empati, dan rasa saling
mempercayai. Fokus kepada satu arah dimana perawatan tidak melibatkan pihak
lain dari dokter, perawat dan pasien. Pasien lebih dominan, dalam artian dokter
memberikan opsi namun pasien dapat menentukan pilihannya sendiri dan
mengungkapkan apa yang dirasakan. Segala tindakan yang akan dilakukan
seorang tenaga kesehatan jelas merupakan yang terbaik untuk pasien. Namun tetap
disesuaikan dengan aspek-aspek pribadi pasien seperti aspek finansial pasien.
Untuk menangani satu pasien dibutuhkan kerjasama antar profesi yang baik
supaya dapat terpusat pada pasien dan sesuai dengan kaidah-kaidah kedokteran
yang ada. Pemusatan adalah masukan dari berbagai sudut pandang dalam bidang
kedokteran untuk memberikan pelayanan pasien. Segala tindakan yang akan
dilakukan mengutamakan kepentingan pasien, bukan kepentingan dokter atau RS.
Semua tindakan semata-mata demi pasien dan tidak berlebihan atau diskriminasi.
Yang terbaik juga menurut pasien, misalnya dari sisi ekonomi, dsb.Memberikan
pelayanan kesehatan yang terbaik bagi pasien. Memperhatikan segi sosial, psikol
ogis, dan ekonomi pasien. Pelayanan yang diberikan sesuai dengan keadaan
pasien dalam berbagai aspek baik sosial, kesehatan, dll. Tidak terintervensi
dengan kepentingan kita atau orang lain. Melihat dari sudut pandang pasien,
merasakan apa yang dirasakan pasien. Bila melakukan anamnesa, kita perlu
82
mengetahui kondisi pasien secara keseluruhan. Baik kondisi ekonomi, psikologi,
dll. Memperhatikan segala aspek yang dimiliki pasien tidak hanya dari sudut
pandang dokter yang melakukan tindakan tapi juga memperhatikan kondisi pasien.
Kita melibatkan pasien untuk menentukan kebutuhan perawatan. Fokus pada
kebutuhan pasien.”
UGM :” Membangun kepercayaan adalah membina hubungan harmonis antar
dokter – pasien supaya komunikasi dapat dilakukan secara terbuka. Sehingga
diagnosis dapat ditetapkan dengan baik. Membuat pasien nyaman berkomunikasi
dengan kita. Baik secara verbal maupun non verbal. Pasien percaya dan merasa
nyaman dengan dokter sehingga semua keluhan pasien dapat diselesaikan oleh
dokter. Dokter dapat berkomunikasi sebagai teman supaya pasien lebih terbuka,
sehingga dokter dapat mencari jalan keluar terbaik untuk menangani masalah
pasien. Pasien harus mempunyai kepercayaan kepada dokter. Pasien dapat
mengevaluasi apakah dia akan kembali pada dokternya atau tidak. Dokter harus
merawat pasien dengan benar supaya dapat menentukan keingan pasien untuk
kembali ke dokternya lagi atau tidak. Kita sampai pada satu titik dimana pasien
mau memberi informasi yang hanya diberikan kepada kita. Sangat penting supaya
pasien dapat lebih terbuka untuk bercerita sehingga dokter mudah menggali
keluhan pasien. Memberikan suatu tanggungjawab yang mungkin sebenarnya bisa
kita lakukan namun kita berikan pada orang lain. Ketika saya diberi
kepercayaan/tanggung jawab akan saya kerjakan sebaik mungkin supaya dilain
waktu orang tersebut akan memberikan tanggung jawab lagi pada saya. Kita perlu
menunjukan orisinalitas dalam membangun kepercayaan. Integritas dan kesan
pertama juga merupakan hal yang penting. Kesan pertama dapat berupa gaya
bicara. Saat menghadapi pasien, kita harus membuat pasien percaya bahwa kita
menguasai bidang kita.”
83
UGM :” Empati itu mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Seseorang
bertindak seolah-olah dia merasakan kesulitan orang lain, misalnya saat
mendapatkan pasien yang memiliki keganasan, dokter gigi berusaha untuk
menenangkan pasien. Bukan merupakan rasa kasihan namun keinginan kita untuk
membantu menyelesaikan masalah pasien. Put yourself in other people shoes,
misalnya saat menghadapi pasien kanker kita dapat menghubungi keluarganya
dulu sehingga pasien tidak syok. Merasakan apa yang dialami pasien, misalnya
rasa sakit pasien harus kita pahami supaya proses perawatan lebih lancar.
Merasakan keresahan yang dialami pasien, seperti ketakutan saat akan disuntik.
Kita memposisikan diri kita sebagai orang lain, contoh kita sebagai dokter
memposisikan kita sebagai pasien untuk mengatur gestur, bahasa, dan cara
berkomunikasi kita pada pasien. Memposisikan kita supaya bisa melihat dari sudut
pandang orang lain. Bukan hanya sekedar iba, namun merasakan apa yang orang
lain rasakan. Sikap yang harus dimiliki seorang tenaga kesehatan.”
4. Skala 2 : Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 2 : Berfokus pada pasien;
membangun kepercayaan dan empati
Usakti : “ Perasaan saya tentang pelayanan yang berpusat kepada pasien, senang
karena semua demi kebaikan sang pasien, ibarat siapa yang tidak senang kalau
orang lain senang. Saya sangat setuju, karena kalau saya jadi pasien saya maunya
seperti itu, pasien secara tidak langsung tidak bisa menyalahkan dokter karena ini
sudah keputusan pasien. Pasien ingin dihargai dan dihormati, kita berikan yang
terbaik kepada pasien. Kita mengerti apa yang pasien mau, dan pasien mengerti
apa yang kita jelaskan. Cukup baik. Karena kita tahu apa yang sebenarnya pasien
inginkan dan keluhkan. Dengan adanya pelayanan yang berpusat kepada pasien
ini membuat dokter lebih tahu apa yang dibutuhkan sebenarnya. Saya senang,
karena mempermudahkan kita, terserah pasien maunya bagaimana, pasien yang
84
tahu dirinya sendiri, kita tinggal mengikuti. Mempermudah saya bekerja sesuai
keinginan pasien. Antara senang dan tidak senang, sisi senang kita bisa mengikuti
kemauan pasien dan puas terhadap pelayanan kita, tidak senangnya kita sebagai
dokter gigi tidak bisa memberikan opsi lain. Senang, kita bisa mewujudkan apa
yang pasien harapkan. Tapi kalau kurang sesuai dengan keinginan pasien jadi
susah juga. Setuju dan kurang setuju, setuju melakukan apa yang pasien mau, tapi
tidak setujunya karena semuanya berdasarkan yang pasien mau yang pasien tahu
saja, kita tidak bisa memberi opsi lain. Sangat setuju, karena jika kita tidak
melakukan perawatan yang tidak disetujui pasien kita bisa dituntut oleh pasien.
Saya senang karena pasien memiliki hak untuk mendapatkan suatu pelayanan, kita
memang seharusnya berpusat kepada pasien.”
UMY : “ Bagaimana saya berempati dan melakukan interaksi yang berfokus
kepada pasien dengan cara saya akan benar-benar memahami kondisi pasien pada
saat itu dan mengetahui keadaan pasien dengan baik. Saya akan merasakan apa
yang pasien rasakan sehingga saya bisa melakukan tindakan lebih maksimal. Saya
akan menanamkan empati dalam diri saya sendiri terlebih dahulu, agar sebagai
dokter gigi turut merasakan apa yang dirasakan pasien, contohnya rasa sakit.
Supaya dapat menentukan tindakan yang tepat dan demi tercapainya kepuasan
pasien. Saya akan berandai jika saya adalah pasien sehingga dapat merasakan
perasaannya. Saya akan memperhatikan aspek-aspek individual, sosial, dan
finansial pasien dalam melakukan tindakan. : Dengan memberi perhatian
sepenuhnya pada pasien dan memposisikan diri kita seperti pasien. Memberi
pelayanan yang bisa meredakan rasa sakit pasien. Empati dibangun dari
komunikasi. Dari komunikasi itulah kunci kesuksesan perawatan seorang pasien.
Dari komunikasi antara dokter dengan pasien yang baik akan terbentuk hubungan
yang baik. Kita sebagai tenaga kesehatan harus memiliki empati pada pasien
sehingga kita berhati-hati dalam memeriksa kondisi pasien. Memahami rasa sakit
pasien dalam skala. Menampilkan gestur dan bahasa tubuh yang bersahabat. “
85
UGM : “Perasaan saya tentang pelayanan yang berpusat kepada pasien, sangat
setuju. dokter bisa memberikan kebebasan kepada pasien dan melihat pasien
secara utuh. Kita memberikan pelayanan pada manusia/mahluk hidup. Pasien
akan merasa lebih nyaman dan tercapai totalitas pelayanan. Karena yang
merasakan adalah pasien, apabila kita melakukan perawatan yang menurut kita
benar tapi pasien kurang puas maka dia akan mengeluh. Namun kita tetap
bertindak sesuai prosedur dengan memberikan gambaran pada pasien. Keluhan
pasien adalah permasalahan yang sesungguhnya. Suatu pelayanan yang bagus dan
baik. Perawatan akan berhasil dengan baik jika dokter lebih fokus pada pasien.
Sangat penting. Dengan berpusat pada pasien kita lebih tahu apa yang dirasakan
pasien dan apa yang harus kita lakukan. Informasi harus dari pasien bukan
sekedar pengetahuan kita saja. Setiap pasien spesial. Mementingkan segi pasien
bukan segi medis. Jika mau melakukan tindakan harus memperhatikan kondisi
pasien, mental dan ekonomi. Dalam memberikan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan pasien sehingga tercapai pelayanan yang optimal dan
tidak berat ke salah satu pihak. Sangat penting. Dapat membantu membangun
kepercayaan dari pasien pada dokternya. Sehingga pasien percaya bahwa
dokternya mau mengobati, bukan hanya mencari uang saja. Dapat memudahkan
kita menetapkan diagnosis dan membuat rencana perawatan.”
UGM : “ Bagaimana kelak saya berempati dan melakukan interaksi yang berfokus
kepada pasien, misalnya pada pasien yang mengalami keganasan, sebelumnya
kita menganalisa dulu tipe pasien kemudian pelan-pelan melakukan diagnosis.
Sebelumnya kita memberi motivasi bahwa ada solusi dan menjelaskan perawatan
yang lebih lanjut pada pasien tersebut. Santai, tenang, membangun relasi dengan
pasien kita. Bila pasien lebih tua kita bersikap hormat. Berbicara pelan-pelan
seakan-akan kita sangat prihatin. Komunikasi non verbal juga diperlukan seperti
menyiapkan tisu dan air minum. Dari komunikasi verbal, menanyakan pada pasien
tentang lokasi sakitnya, dll. Merasakan apa yang dirasakan pasien. Merasakan
86
rasa sakit pasien, menenangkan pasien, melakukan tindakan dengan baik pada
pasien. Kontak mata dengan pasien. Intonasi halus. Tidak membentak pasien.
Bahasa non verbal seperti menepuk punggung tangannya, menggunakan intonasi
yang lebih jelas, tidak terburu-buru atau kurang jelas. Meletakkan diri dalam
situasi pasien. Operator harus mencari suasana yang lebih nyaman untuk
menginformasikan penyakit pada pasien dan keluarganya supaya pasien tidak
mental breakdown. Dokter membantu menenangkan pasien. Ketika pasien datang
dengan rasa sakit, saya akan memahami perasaan pasien terlebih dulu sebagai
manusia. Ketika saya berkonsultasi dengan pasien saya akan memperhatikan sudut
pandang mereka. Menatap pasien dalam-dalam supaya pasien memahami
keseriusan saya. Memasang ekspresi sesuai dengan kondisi yang ada. Contohnya
pasien kasus penyakit berat, menunjukkan ekspresi prihatin. Kita juga harus
berhati-hati dalam menunjukkan empati, jangan sampai menimbulkan stress pada
pasien. Mengenali ketakutan pasien, lebih hati-hati, melakukan perawatan dalam
beberapa tahap. Tidak menganggap keluhan pasien berlebihan. Memahami
keluhan pasien. Menghormati pasien, mendengarkan keluhan pasien dan
menjelaskan informasi sebaik-baiknya pada pasien. Melihat kondisi pasien,
memahaminya dalam melakukan interaksi. Empati terutama dilakukan untuk
memahami rasa sakit pasien. Dalam melakukan tindakan akan berhati-hati.
Mencoba untuk menjalin hubungan dengan pasien dan menjelaskan kondisi yang
sebenar-benarnya sehingga tercapai pelayanan kesehatan optimal. Tidak bersikap
superior karena kita sesama manusia. Membuat pasien nyaman, tidak seperti
digurui. Sejak dini saya menanamkan kebiasaan berempati dalam diri saya supaya
nanti terbiasa saat praktek. Interaksi lebih pada menunjukkan profesionalitas
sebagai dokter gigi supaya pasien senang berinteraksi. “
5. Skala 1 : Pengetahuan mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3: Bias antar Profesi
87
Usakti : “Bias apa yang sering terjadi terhadap profesi dokter gigi adalah tukang
gigi dan dokter gigi, masih banyak orang yang menanyakan untuk membuat kawat
gigi di tukang gigi tapi ya saya menjelaskan, orang banyak yang berpikir dokter
gigi itu merupakan spesialisasi dokter umum. Banyak orang yang menanyakan hal
kedokteran umum ke dokter gigi, memang hal basic dokter gigi juga harus tahu,
kalau sudah rumit ya dokter gigi tidak mempelajarinya. Dokter gigi ditanyakan
sampai soal kulit kecantikan. dokter gigi sama dengan dokter umum. Dokter umum
mengetes keahlian dokter gigi. Klinik kecantikan memberikan pelayanan membuat
kawat gigi harusnya tidak boleh, harusnya ke dokter gigi. Asumsi orang enak cuma
lihat gigi orang uangnya banyak kerjaannya mudah suka memeras orang apalagi
jarang dokter gigi bisa join ke dokter gigi. Saya pernah ikut cici ppdgs ke daerah,
disana orang menganggap dokter gigi itu sama semua, melahirkan ke dokter gigi.
Dokter gigi menganggap pekerjaannya mudah, kalau dokter umum harus belajar
semua, saya ingin mengubah perspektif orang ke dokter gigi supaya tidak takut lagi
ke dokter gigi. Bias dengan ahli gigi tukang gigi perawat gigi, di online pakai behel
ala ala. dari pandangan kaum kedokteran umum yang dokter gigi hanya belajar
tentang gigi kenapa ga sekalian semuanya yang dipelajari. Butuh belajar, dokter
gigi harus berinteraksi dengan pasien, membuat pasien senang dan membuat mau
kembali ke kita, pelayanan juga harus ditingkatkan, dari administrasi, klinik yang
menarik, kebersihan, ruang tunggu yang nyaman, perawat yang ramah, sistem
pendaftaran dilayani dengan baik, dari segi harga, yang harganya mudah
terjangkau. Kita tetap sesuai dengan apa yang pasien mau tapi empatinya juga kita
sesuaikan dengan yang pasien rasakan, semua seusaikan dengan pasien. “
UMY : “Bias yang sering terjadi terhadap profesi dokter gigi adalah Dokter gigi
hanya menangani gigi dan rongga mulut saja. Profesi dokter gigi enak, padahal
sebenarnya banyak resikonya seperti kelelahan dsb. Dokter gigi menakuntukan.
Masyarakat takut ke dokter gigi untuk konsultasi atau berobat. Dokter gigi hanya
didatangi saat sakit gigi, bukan untuk pencegahan karies atau penyakit.
88
Masyarakat menganggap dokter gigi menakuntukan. Suara bur menyeramkan.
Dokter gigi hanya menangani gigi dan rongga mulut saja. Dokter gigi sama
dengan dokter umum. Dapat memahami segala masalah kesehatan secara
keseluruhan. Kesadaran akan upaya preventif sangat rendah. Jika mengalami sakit
malah mendatangi dokter umum padahal masalahnya berasal dari rongga mulut.
Profesi lain menganggap dokter gigi hanya mengurus masalah gigi dan mulut saja.
Persepsi yang salah bisa menyebabkan ketidaklancaran interaksi atau kurang
lancarnya kerjasama antarprofesi. Dokter gigi tidak setara dengan dokter umum
(lebih inferior) atau perawat (lebih superior). Harus saling menghormati, saling
ketergantungan saling membutuhkan, selain ada okter gigi ada farmasi,
kebidanan, dan k3, menurut saya semuanya punya peranan masing, kalau saya
nanti buka praktek saya akan meminta bantuan mereka yang ahli dalam K3.
Kepada spesialis lain.
UGM : “Bias yang sering terjadi terhadap profesi dokter gigi, antara perawat gigi
dan dokter gigi dalam pelayanan medik dasar seperti scaling, tumpang tindih antar
profesi. Didaerah saya perawat gigi dapat melakukan penambalan/pencabutan
gigi. Masyarakat melihat bahwa tukang gigi memiliki kompetensi sama dengan
dokter gigi. Pelayanan yang diberikan dokter kadang diberikan juga oleh perawat
gigi. Istilah-istilah kedokteran yang tidak dipahami oleh awam. Misalnya dokter
gigi yang harus berkerjasama dgn perawat umum maka sang perawat kurang
memahami istilah-istilah yang digunakan dokter gigi tersebut. Antara dokter gigi
dan dokter gigi spesialis, saat dokter gigi melakukan tindakan diluar
kompetensinya. Dokter gigi yang melimpahkan tugasnya pada perawat sehingga
pengerjaan pasiennya dilakukan oleh perawat. bias apa yang sering terjadi
terhadap profesi dokter gigi. Antara perawat gigi dan dokter gigi dalam pelayanan
medik dasar seperti scaling, tumpang tindih antar profesi. Batas tindakan medis
yang boleh dilakukan oleh dokter gigi dan perawat/dengtal hyangiene. Didaerah
89
saya perawat gigi dapat melakukan penambalan/pencabutan gigi. Masyarakat
melihat bahwa tukang gigi memiliki kompetensi sama dengan dokter gigi.
6. Skala 2 : sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 3: Bias antar Profesi
Usakti :” Pandangan terhadap profesi lain, harus saling menghormati, saling
ketergantungan saling membutuhkan, selain ada okter gigi ada farmasi,
kebidanan, dan k3, menurut saya semuanya punya peranan masing, kalau saya
nanti buka praktek saya akan meminta bantuan mereka yang ahli dalam K3.
Kepada spesialis lain. Semua profesi bersinggungan tetapi pada batasnya, disitu
kita tahu batasnya dan bekerja sama dengan profesi lain. Dokter gigi tidak bisa
sendiri, harus ada kerja sama, menghormati dan menghargai perbedaan
pekerjaan. Saya sanga menghargai dan menghormati bagaimana tahap mereka
mencapai sebagai tenaga medis tersebut. Menghargai, yang lain dengan
keahliannya, bagaimana pandangan org tersebut dengan kita tapi saya berharap
org tsb menganggap kita. Saling membutuhkan, makanya tidak boleh memandang
rendah, karena kita satu pelayanan medis. Kita membutuhkan mereka, kita butuh
asisten untuk bahan dokter gigi, administrasi yang lebih mengerti pengelolaan
klinik kita. Semuanya amat penting, karena kita dokter gigi hanya mengerti gigi
dan bagian kepala, kita tidak mengerti bagian lain. Seharusnya tetap sebagai
sesama tenaga kesehatan berpandangan kita itu sama, saling membantu dalam
menciptakan suatu pelayanan. Anggap sama sama saja, sama sama mendukung
karena orang punya keterampilan masing-masing, komunikasi yang terganggu,
diantara perawat dikarenakan perawat merasa rendah dibawah dokternya.”
UMY : “Menghargai profesi lain karena membutuhkan mereka untuk
bekerjasama menangani pasien. Menghargai dan menghormati profesi lain
karena mereka sangat penting dalam pelayanan kesehatan pada pasien.
Menghargai dan menghormati profesi lain sebagaimana saya ingin dihargai dan
90
dihormati. Tidak ingin dipandang sebelah mata dan ingin dianggap selayaknya.
Ingin dipandang sebagai dokter gigi yang baik dan bertanggungjawab dalam
suatu tim. Ingin dihormati dan dihargai oleh profesi lain. Kalau kita baik pada
orang, saya berprasangka baik bahwa mereka juga akan baik terhadap kita.
Kalau ingin dihargai orang maka kita harus menghargai orang lain terlebih
dulu.”
UGM :” Sesama profesi kesehatan lebih bagus jika berkolaborasi. Dapat
melakukan manajemen pasien dengan lebih baik tapi harus menyadari batas-batas
kompetensinya. Respek pada tenaga kesehatan lain selama mereka melakukan
pekerjaan sesuai kompetensi mereka. Selama tukang gigi tidak melanggar UU
maka tidak apa-apa jika mereka melakukan pekerjaannya. Karena kita akan
bekerja bersama-sama dan tanpa peran salah satu kita takkan bisa bekerja dengan
baik. Masing-masing profesi memiliki kesetaraan. Equalitas. Selama profesi lain
berkerja sesuai kompetensi maka saya tidak memiliki pikiran yang aneh-aneh.
Dental hyangienist tidak diperbolehkan melakukan odontektomi atau tindakan-
tindakan lain yang merupakan kompetensi spesialis. Apoteker sebaiknya
berkomunikasi dengan baik dengan dr. Kerjasama dgn profesi lain baik jika sesuai
kompetensi dan tidak melanggar aturan yang ada. Menghormati semua profesi dan
saling percaya dalam 1 tim untuk melakukan suatu perawatan. Saling menghormati
penting untuk terjalinnya komunikasi yang baik dan efektifitas perawatan. Setiap
kompetensi memiliki tujuan dan manfaat masing-masing. Saling membantu dan
menghormati. Tidak merasa superior/inferior. R.1 : Setiap profesi lahir karena
adanya kebutuhan di masyarakat, maka setiap profesi harus dihormati dan
dihargai. Menghargai profesi lain karena tidak ada suatu profesi yang lebih baik
dari lainnya. Setiap profesi pasti memiliki manfaatnya dalam ranah kerjanya
masing-masing.”
91
7. Skala 1 : pengetahuan mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4: Keragaman
dan Etika
Usakti : “ yang saya ketahui tentang etika seorang dokter gigi adalah seorang
dokter gigi harus terus terang, bicara apa adanya, jangan menjanjikan hasil,
janjikan usaha, untuk kesembuhan hanya yang atas yang tahu, meskipun tu untuk
menghibur pasien. Jangan pernah berbohong untuk perawatan pasien. Jangan
diberikan perawatan yang ribet demi kepentngan dokter. Tentang hak privasi,
kerahasiaan pasien termasuk Etika. Sebuah keharusan, sebuah moralitas tidak
menghina agama budaya orang tersebut. Harus memegang nilai etika untuk
memegang keharmonisan masyarakat. Patient interest, kemauan pasien.
Semaksimal mungkin effortnya untuk menyembuhkan pasien. Ada bukunya dan
pasalnya. Dokter gigi tidak melecehkan , tidak merendahkan teman sejawat. Saya
kurang tahu tapi sudah diatur harusnya bagaimananya. Etika dokter gigi sama
seperti etika sesama manusia, bagaiaman kita mau dihargai begitulah kita
menghargai org lain. Etika terhadap pasien teman sejawat.Etika dokter gigi di
sumpah dokter gigi. Suatu tindakan seorang dokter gigi dgn memperhatikan norma
yang berlaku dlam lingkup dokter gigi, dalam sumpah dokter gigi tercakup Etika.
Sedangkan hak privasi, kerahasiaan pasien dan menghormati martabat orang lain
adalah what happened in ruangan praktek stay in ruangan praktek, mau apapun
curhatan pasien, kita tidak punya hak untuk menyebarkan ke orang lain. Apalagi
rekam medis, kecuali dengan izin untuk diketahui oleh dokter lain. kerahasiaan
pasien di rekam medis identitas pasien tidak boleh disebarkan. saya akan
memperlakukan org lain sepertt saya ingin diperlakukan. Kita harus menjaga
privasi dan martabat, bahkan ke keluarga nya itu sendiri. Konsultasi kasus juga
hanya kasus saja tidak mengenai orangnya. hal hal yang tidak boleh kita ceritakan
ke orang lain, seperti di sumpah dokter bahwa kita tidak boleh menceritakan
apapun yang ada di dalam praktek, itu khusus untuk kita dokter gigi dan perawat,
bisa dibilang itu ais seorang pasien. Kita punya data dan informasi pasien yang
92
merupakanprivasi pasien yang tidak boleh dikasih tau ke org lain, sebagai dokter
gigi harus menjaga kerahasiaannya.
Usakti : “ Budaya yang unik dan tidak membedakan latar belakang pasien dalam
melakukan pelayanan kesehatan gigi misalnya kita tidak boleh memandang budaya
agama suku apapun, sedikit catatan untuk hal ekonomi, banyak dokter gigi yang
money oriented. Di satu sisi biaya sekolah yang sudah dikeluarkan besar, kita
berbeda dgn dokter umum yang pakai senjata stetoskop, dokter gigi punya banyak
senjata yang butuh modal besar. Tarif normal untuk orang biasa, 1 hari untuk
orang kurang mampu. Multikultural, merespon budaya unik dnegan open minded,
siapa yang bisa memilih agama. Misal pasien berbahasa jawa, dokter jangan
menyambut dengan muka yang tidak enak. Keunikan harusnya tidak jadi
penghalang, dengan keunikan yang beragam, kita tidak membedakan, dokter gigi
memberikan pelayanan terbaik kepada pasien tanpa membedakan pasien, contoh :
nyirih, kita hanya bs memberikan informasi kepada pasien bahwa ini kurang tepat
dan tetap memberikan pengetahuan yang benar. Waktu bulan puasa kemaren,
budaya orang puasa yang tidak boleh meminum air dalam pengerjaan gigi. di
Indonesia banyak suku adat dan ras yang berbeda2, kita sebagai dokter gigi tidak
boleh memilih2 menangani pasien, tidak boleh menolak dengan alasan SARA,
harus menerima pasien apa adanya. Pasien yang ditemui berbeda-beda dan kita
tidak bisa memilih pasien mana yang datang ke klimik kita, ini kota besar pasti
pemikiran orang lebih maju, kondisi gigi disini lebih baik dibandingkan di daerah
tapi kita harus beradaptasi dgn skapapun pasien kita. Tidak pandang sebelah mata
keadaan pasien harus ditangani dengan sukarela, contoh: tante dokter gigi praktek
tidak di kota, pasien ada yang ngutang, hanya kasih ktapi, nyicil dan ujungnya ga
bayar, tapi ujungnya kita memang mau mengobati pasien, tidak money oriented “
93
UMY :” Etika seorang dokter gigi adalah sesuatu yang boleh atau tidak boleh
dilakukan oleh dokter gigi. Batasan yang harus dimiliki dokter gigi dalam
melakukan sesuatu. Batasan atau peraturan bagi dokter gigi dalam mengerjakan
pasien. Batasan dalam melakukan perawatan atau tindakan agar tidak merugikan
pasien. Peraturan atau kode etik pada wilayah lingkup kerja untuk menghindari
kerugian pada pasien dan dokter gigi. Suatu sikap dokter gigi saat memberikan
pelayanan pada pasien dengan memperhatikan kaidah- kaidah etik dalam
masyarakat. Privasi adalah sesuatu yang bersifat pribadi dari setiap orang yang
harus kita hargai dan hormati. Kita harus menjaganya bahwa hanya kita dan
pasien yang tahu. Privasi adalah sesuatu yang menjadi rahasia pasien dan tidak
boleh disebarluaskan. Tidak membocorkan diagnosa pasien. Menjaga kerahasiaan
riwayat penyakit pasien sesuai yang terdapat di Rekam Medis. Suatu pedoman
yang tidak boleh dilanggar. Tidak membicarakan kerahasiaan seseorang dengan
orang lain dan melakukan tindakan sebaik mungkin.”
UMY : “ Saya akan menggunakan alat dan metode serta tindakan yang sama untuk
semua pasien tanpamembedakan status social. Tidak membedakan ras, agama,
dalam melakukan pelayanan kesehatan dan dalam koridor etik yang sama.
Melakukan perawatan semaksimal mungkin pada setiap orang. Untuk budaya yang
unik, di bali ada kebiasaan mengukir gigi yang tidak baik untuk dilakukan. Jika
ada pasien yang melakukan tindakan tersebut maka kita mengkomunikasikan
dengan baik supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Memahami budaya menyikat
gigi dengan batubata di daerah-daerah terpencil.
Budaya menginang atau mengikir gigi masih ada di masyarakat. Tidak
membedakan strata sosial pasien. Melakukan tindakan secara adil. Tidak
mengutamakan pasien yang memiliki jabatan atau posisi penting supaya kita lebih
terkenal. Untuk menangani pasien kita tidak boleh membedakan berdasarkan
SARA, status sosial ekonomi, dsb. Tidak membedakan pasien BPJS dengan non
BPJS. Tidak memandang sebelah mata pasien. Tidak membedakan pasien
94
berdasarkan ras, agama, jabatan maupun asal usul. Misalnya pada pasien WNA
dilakukan tindakan secara maksimal, namun tidak halnya dengan WN local.”
UGM : “Tidak boleh menjatuhkan sesama sejawat, merendahkan dokter gigi yang
lain. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan dokter gigi pada pasien dan rekan
sejawatnya; aturan pemasangan papan nama, cara berkomunikasi yang baik
dengan pasien. Merahasiakan identitas pasien. Meminta izin pada pasien jika ingin
membahas kasusnya atau memotret. Apa yang boleh/tidak boleh dilakukan oleh
dokter gigi pada pasien, sesama dokter gigi, dan tenakes lain. Contohnya aturan
pemasangan plang praktik yang harusnya dipenuhi. Tidak menjelekkan sesama
dokter gigi. Menjalankan profesi dengan sikap kemanusiaan. Tidak mengambil
keuntungan dari pasien. Contoh pasien yang hanya memerlukan perawatan
ortodontik removable namun dokter gigi memasang fixed ortho. Tidak mengambil
kesempatan dari kebutuhan pasien. Merahasiakan data pasien dengan cara
menyimpannya dengan baik sehingga tidak dipergunakan pihak-pihak lain tanpa
persetujuan pasien. Komunikasi yang baik, sopan santun, memiliki etika
kemanusiaan terhadap pasien. Privasi adalah hak setiap orang. Riwayat rekam
medis dan pengobatan pasien harus dijaga. Yang mengetahui hanya pasien dan
dokter saja. Menghormati pasien dan menghargai privasinya. Merahasiakan
identitas pasien. Meminta izin pada pasien jika ingin membahas kasusnya atau
memotret. Dalam pelayanan kesehatan gigi, kita harus menghormati rahasia
pasien, tidak menyebarluaskan riwayat kesehatan pasien bahkan ke kerabat/teman
terdekatnya tanpa persetujuan pasien. Martabat adalah menghormati/menghargai
seseorang sebagaimana mestinya. Menjaga kerahasiaan pasien penting karena itu
adalah hak pasien. Dokter tidak boleh menyebarluaskan riwayat kesehatan pasien
bahkan ke kerabat/teman terdekatnya tanpa persetujuan pasien. Penting untuk
mencegah ketidakadilan pada pasien itu sendiri. Rekam medis pasien tidak boleh
dibawa keluar Rumah Sakit karena mungkin ada penyakit-penyakit yang membuat
seorang pasien merasa malu/ minder dan dapat dijatuhkan posisinya. Memohon
95
izin sebelum melakukan tindakan agar pasien lawan jenis tidak tersinggung atau
risih.”
UGM :” Budaya yang bervariasi bisa menjadi potensi yang lebih besar. Untuk
pelayanan kesehatan sudah tertuang dalam sumpah dokter bahwa semua harus
dilayani tanpa memandang perbedaan maupun penyakit yang diderita pasien.
Sangat setuju. Dokter tidak boleh membedakan pasien. Pasien boleh memilih
dokternya tapi tidak sebaliknya. Pasien PSK, HIV, LGBT, tidak boleh ditolak.
Kesenjangan gender juga harus dikesampingkan jika terpaksa bersentuhan dengan
lawan jenis. Tidak membeda-bedakan pasien berdasarkan asal tempat tinggal,
suku, ras, warna kulit, bahasa. Indonesia banyak memiliki budaya unik. Kebiasaan
pangur di Bali mengikis lapisan email namun kita tidak bisa serta merta
menghentikannya. Sesuai dengan kode etik tidak boleh membedakan pasien
walaupun kondisi pasien memiliki penyakit menular seperti HIV. Saya kurang tahu
budaya uniknya apa karena Indonesia banyak memiliki budaya. Sulit
mengesampingkan budaya unik di tiap daerah. Dokter gigi tidak boleh
membedakan pasien dari ras, latar belakang, dan pekerjaannya.
Ketika kita merawat pasien, kita tidak memikirkan tentang latar belakang pasien
dan tetap melakukan perawatan dengan baik. Ada beberapa dokter gigi yang
mengingkan uang dari pasien tapo tentu saja itu bukan hal yang benar. Pasien
memiliki keistimewaan masing-masing terutama dilihat dari latar belakang pasien.
Baik usia, suku budaya, lokasi tinggal, harus diperlakukan sama. Memperhatikan
apakah tindakan-tindakan yang kita lakukan sesuai dengan indikasi pasien. Pasien
HIV tetap dikerjakan namun dengan penuh kehati-hatian. Menginang dulu banyak
ditemukan. Setiap pasien adalah sama, keputusan-keputusan pengobatan harus
berdasarkan penyakit bukan berdasarkan latar belakang pasien atau strata
sosial.”
8. Skala 2 : Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 4: Keragaman dan Etika
96
Usakti : “ Saya tidak akan memberitahukan ke orang lain, menutup identitas
pasiennya tidak diumbar ke orang lain. Saya akan minta izin persetujuan pasien
dan menjaga diri, kalau menyampaikan ke teman sejawat hanya ciri-ciri saja,
berdiskusi dengan teman untuk membantu pasien. Saya akan memegang komitmen
untuk tidak membeberkan personalnya, tapi kasusnya. Dalam memberikan
pelayanan kesehatan gigi terhadap pasien dengan berbagai latar belakang, saya
akan menyesuaikan diri dengan budayanya seperti budaya pangur, kita tidak
melarang tetapi kita dapat memberi informasi dari akibat itu apa, terima dengan
tangan terbuka. Setiap orang memang unik dengan perilaku dan budaya berbeda,
kita belajar pola perilaku individu, supaya orang lain dapat terima informasi,
dalam melakukan interaksi dan komunikasi tetap dengan patient oriented dan
patient focus. Dimulai dari kitanya sendiri, saat kita dihadapkan dengan
perbedaan yang banyak, ikuti spo nya. Perlakukan sebagaimana sesame manusia,
sebagaimana kita ingin diperlakukan juga. Untuk itu dokter gigi perlu menawarkan
layanannya kepada pasien sesuai kemampuan ekonomi, social.”
UMY :” Saya akan menjaganya sebaik mungkin dengan konsisten dan tidak
menyebarkan kerahasiaan pasien dan menjaganya dengan baik, bahkan pada
keluarga pasien sendiri dan tidak menyebarkannya tanpa persetujuan pasien. Bila
diperlukan untuk kepentingan medis, saya akan memberikan informasi berupa
Rekam Medis. Penyimpanan Rekam Medis dilakukan secara baik. Jika ingin
berdiskusi dengan rekan sejawat, maka dilakukan dengan menyembunyikan
identitas pasien. Memberikan pelayanan secara maksimal tanpa membedakan
latar belakang mereka. Mengikuti prosedur yang ditetapkan agar pasien tahu
bahwa perawatan yang dilakukan adalah baik dan benar. Memperlakukan pasien
dengan sama sesuai kompetensi dan SOP yang ada. Memberikan pelayanan
semaksimal mungkin tanpa membedakan latar belakang pasien. Menyesuaikan
dengan budaya dan pemahaman pasiennya. Memandang sama dan adil pada
97
setiap orang. Berkomunikasi dengan bahasa daerah serta memperhatikan kondisi
dan aspek-aspek pribadi pasien.”
UGM :” Untuk menjaga privasi/kerahasiaan pasien saya tergantung persetujuan
pasien. Misalnya benar-benar tidak boleh maka tidak boleh. Rekam Medis tidak
boleh dibawa kemana-mana harus langsung disimpan di ruang Rekam Medis. Saya
Selalu merahasiakan kondisi pasien dalam perawatan kita dari pihak lain dan tidak
sembarangan menyebarkan identitas pasien. Di dunia dental fotografi kita harus
meminta izin pasien untuk memposting foto-foto kasus. Dengan manajemen Rekam
Medis atau identitas pasien dengan baik dan teliti agar pihak-pihak lain diluar
bidang kesehatan terkait tidak mengetahuinya, dengan menyimpannya dengan baik
di lemari. Menjaga kekedapan ruang praktek sehingga tidak terdengar dari luar.
Menanyakan pada pasien pihak mana saja yang diizinkan mengetahui tentang
penyakitnya. Menyimpan Rekam Medis dengan baik dan hati-hati supaya tidak bisa
diakses oleh orang-orang yang tidak berwenang. Tidak membuka rahasia
kesehatan pasien pada publik. Menjaga privasinya sebagaimana saya ingin privasi
saya dihargai oleh orang lain. Dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi
terhadap pasien dengan berbagai latar belakang saya akan menyesuaikan
komunikasi namun pelayanan tetap sama antar satu pasien dengan yang lain.
Dimana hal ini tergantung demografi dan adat istiadat pasien. Jadi dokter gigi
memperlakukan pasien sesuai budaya mereka, berempati dan ramah. Harus bisa
memberikan pelayanan terbaik secara sama, tidak membeda-bedakan. Sesuai
standar prosedur. Semua pasien akan mendapatkan pelayanan yang sama. Untuk
pasien dengan penyakit menular atau risiko tinggi, dokter lebih meningkatkan
perlindungan diri dan memberikan pelayanan sesuai prosedur yang sama. Alat-
alat dan bahan dikonsultasikan dulu biayanya dengan pasien apakah keberatan
atau tidak. Menggunakan bahasa yang awam dan mudah dipahami. Dokter gigi
yang menaati sumpah janji tidak seharusnya membedakan pasien berdasarkan
status finansial. Apapun latar belakang pasien tetap melakukan perawatan dengan
98
baik. Bekerja dengan berpegang pada profesionalitas. Memahami kondisi adat
istiadat, kesehatan, usia pasien, tidak membeda-bedakan pasien baik dari SARA,
ekonomi, usia. Mengedepankan komunikasi efektif. Melakukan tindakan khusus
pada pasien berkebutuhan khusus. Tidak mendiskriminasi karena kesehatan
adalah hak setiap individu. Memperlakukan individu sesuai dengan kondisinya.
9. Skala 2 : Pengetahuan dan Sikap mahasiswa terhadap IPE untuk subskala 5 :
Berpusat pada Komunitas
Usakti : “Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat kerjasama
perlu dilakukan dengan pasien itu sendiri, orang tua, kader, dokter kecil, palang
merah untuk memberitahukan kesehatan gigi, mahasiswa, KUM - ITT dari bidang
fakultas lain juga dengan pemerintahan, posyandu, puskesmas, kader-kader,
teman sejawat, public figure yang memberikan pengaruh baik, tokoh masyarakat
yang dijunjung tinggi. keluarga, sekolahan, masyarakat. Sebagai dokter gigi kelak
saya akan melakukan kerjasama dokter, pasien perawat, elemen-elemen lain
pendukung juga masyarakat, teman teman dokter gigi, organisasi kedokteran gigi,
pemerintahan. Juga orang tua, saudara, melalui media social, Instagram, blog
untuk berita-berita yang di posting.”
UMY :” Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat kerjasama perlu
dilakukan dengan seluruh komponen bidang kesehatan seperti dokter umum,
dokter gigi, dokter gigi spesialis, perawat, apoteker,pemerintah, komponen non
medis di Rumah Sakit. Pemerintah, tokoh-tokoh desa, pihak swasta,petugas
administrasi. Dengan instansi kesehatan dan semua komponen didalamnya,
pemerintah untuk membuat program dan sistem kesehatan sebagai landasan dalam
bekerja. Saat menjadi dokter gigi yang akan diajak bekerja sama untuk
meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat adalah semua elemen bidang
99
kesehatan seperti dokter umum, perawat, ahli farmasi, dan juga pemerintah selaku
pembuat kebijakan, tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan pendekatan agar
masyarakat lebih terbuka. Kader kesehatan desa, kepala desa supaya memberikan
penyuluhan pada masyarakat mengenai cara hidup sehat, termasuk swasta.”
UGM : “Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat kerjasama perlu
dilakukan dengan Puskesmas untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, sekolah-
sekolah untuk UKGS, stake holder di kecamatan/kelurahan, dan dokter gigi
puskesmas itu sendiri, pemerintah selaku pembuat aturan, warga masyarakat
setempat sebagai kader-kader dokter gigi, stake holder terkait, tokoh masyarakat,
sesama dokter gigi. Dokter gigi dapat menjadwalkan dan mendelegasikan
pekerjaan dengan dokter gigi spesialis atau kompetensi lain sesuai kasus.
Berdiskusi dengan kompetensi lain untuk menentukan diagnosis final dari seorang
pasien. Komunitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari perawat dan dental
hyangienist. Memiliki kolaborasi dengan provider instrumen baik swasta maupun
pemerintah. Bidang kesehatan lain juga diperlukan untuk mendiagnosis suatu
penyakit. Perawat dan tehniker dalam tindakan. Diluar tindakan, dengan key
person dalam masyarakat untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Dokter
Gigi perlu berdiskusi tentang masalah kesehatan di masyarakat dengan ahli-ahli
lain. Perlu berkerjasama dengan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat. Kepala puskesmas, dokter spesialis, apoteker, dental higienis,
tehniker. Juga dengan aspek masyarakat seperti kepala desa. pihak BPJS,
kerjasama antara FKG dengan RSGM sehingga peran RSGM dapat menjadi
RSGMP, penyedia layanan radiografi. Pemda setempat, terutama untuk mengetahui
insidensi suatu penyakit di suatu daerah. Dengan dr, dr spesialis dokter gigi lain,
dokter gigi spesialis, RS terdekat sebagai rujukan. Dengan masyarakat untuk
promotif, preventif. Dengan tenaga kesehatan lainnya (dr/dokter gigi spesialis)
untuk kuratif. Saat menjadi dokter gigi yang akan diajak bekerja sama untuk
meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat adalah stake holder
100
(pemerintah). Sasaran primer langsung ke masyarakat dan sasaran sekunder
berupa tokoh-tokoh masyarakat. Namun tergantung pekerjaan kita, apakah sebagai
akademisi atau pembuat kebijakan di pemerintah yang lebih luas cakupannya. Bila
sebagai klinisi (praktek pribadi) saya akan berkerjasama dengan perawat dan
tokoh-tokoh masyarakat untuk kegiatan pengabdian masyarakat. Bisa juga dimulai
dari sekolah-sekolah dan masyarakat karena masa-masa pertumbuhan sangat
krusial. Harus dimulai sedini mungkin untuk mengurangi kerusakan. Dibantu
tokoh-tokoh masyarakat, dokter gigi lain, pemerintah daerah, Puskesmas, perawat,
tehniker, dokter gigi lain disekitar saya, lembaga kemasyarakatan, karang taruna,
ibu-ibu PKK.. Tokoh-tokoh untuk memproduksi alat, menjalankan iklan layanan
masyarakat. Melakukan promosi kesehatan gigi dan mulut melalui youtube/public
figure (artis,penyanyi) untuk pendekatan efektif pada masyarakat karena mereka
mudah mengikuti public figure. Penyedia instrument (Intrument provider)
kesehatan, Diluar tindakan, dengan key person dalam masyarakat untuk
mendapatkan kepercayaan masyarakat, sehingga tindakan saya dapat lebih baik.
Tenaga kessehatan sendiri, keluarga saya bisa menjadi role model kesehatan gigi
dan mulut yang baik bagi masyarakat.”
101
BAB VI
PEMBAHASAN
Implementasi IPE di IPDG di Indonesia saat ini diberikan dalam berbagai
bentuk program atau perkuliahan. Seperti contohnya di IPDG UGM implementasi IPE
diberikan dalam bentuk modul praktek kerja lapangan (PKL) di semester akhir sebelum
mahasiswa masuk program profesi. PKL ini dirancang melibatkan mahasiswa dari
berbagai rumpun ilmu kesehatan dan materi yang diberikan berupa tugas membuat
proyek kesehatan bagi masyarakat sesuai disiplin ilmu masing-masing. Implementasi
IPE di IPDG UMY diberikan dalam bentuk modul perkuliahan yang terstruktur dan
terintegrasi dalam kurikulum pendidikannya dimana metode belajarnya sudah
melibatkan berbagai mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi dan tenaga kesehatan
lainnya sejak semester 2 hingga semester 7. Di IPDG Usakti IPE belum
diimplementasikan dalam bentuk modul khusus dan terstruktur. Materi IPE diberikan
dalam bentuk tatap muka perkuliahan di semester 7, sebelum mahasiswa masuk
program profesi. Perbedaan implementasi IPE ini juga terjadi di berbagai belahan
dunia baik Eropa, Amerika, Australia dan Asia. Sebagai contoh perbedaan
implementtasi pelaksanaan IPE di Amerika digambarkan dalam laporan American
Dental Education Association (ADEA) tahun 2014 yang melaporkan bahwa
implementasi IPE disetiap institusi dilakukan secara berbeda baik dalam hal program,
materi, waktu pemberian, jumlah tenaga kesehatan yang terlibat, focus area dan lain
sebagainya.59
Berdasarkan hasil uji validitas untuk kuesioner pengetahuan diperoleh dari
sejumlah 23 pertanyaan hanya 8 pertanyaan yang valid, dengan level of significance
5%, nilai r tabel 0,25 didapat angka r hitung antara -0.105 – 0.659. Untuk itu 15
pertanyaan dikeluarkan karena kurang dari r tabel yaitu 0.25 dan hanya 8 pertanyaan
yang digunakan untuk mengukur pengetahuan mahasiswa terhadap IPE. Sedangkan uji
102
realibilitas kuesioner pengetahuan diperoleh nilai Cronbach’s Alpha 0,710 > 0,6 (nilai
konstanta yg ditentukan) seluruh pertanyaan dianggap reliabel dan dapat diolah lebih
lanjut.
Uji validitas 26 pertanyaan dalam kuesioner IPAS telah dilakukan untuk versi
aslinya IPAS dengan nilai Koefisien Cronbach alpha: 0.62 sampai 0.92.54 Sedangkan
hasil uji validitas versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk level of significance
5% dan nilai r tabel 0,25 diperoleh r hitung berkisar antara -0.203 – 0.762 dan terdapat
3 pertanyaan yang tidak valid (nilai r hitung < 0,25) dan tidak digunakan dalam
penelitian. Hasil analisis uji kehandalan terhadap kuesioner IPAS didapatkan nilai
Cronbach’s α 0,943 > 0,6 (nilai konstanta yg ditentukan), dimana nilai rtabel dengan
signifikansi 5% menunjukkan bahwa kuesioner tersebut handal dan dapat digunakan
dalam pengukuran penelitian ini.
Pada uji Kruskal - Wallis menunjukkan nilai rata-rata pengetahuan mahasiswa
terhadap IPE untuk aspek manfaat IPE nilai rata-rata diperoleh 1.17 dan 1.77 dengan
nilai rata-rata 1.47. Nilai ini masuk dalam skala pengetahuan sedang. Pada aspek
kompetensi IPE diperoleh nilai 1.5 dan 1.18 dan nilai rata-ratanya 1.34, masuk dalam
kategori skala pengetahuan sedang. Untuk aspek pendekatan IPE diperoleh nilai nilai
1.24, 118 dan 116, dengan nilai rata-rata 1.19 yang masuk dalam kategori rendah.
Aspek budaya dan etika nilai yang diperoleh adalah 1.18. Nilai ini menggambarkan
pengetahuan yang masih rendah terhadap IPE. Hal ini dapat dijelaskan karena sebagian
besar mahasiswa di IPDG 69% (UGM 36 % dan Usakti 33%) belum mendapat materi
IPE dalam pendidikannya. Gambaran dari pengetahuan yang masih rendah ini juga
terlihat dari hasil wawancara FGD mahasiswa tentang konsep IPE. Pada mahasiswa
IPDG UMY yang telah mendapat pembelajaran secara IPEmereka dapat memberikan
jawaban yang lebih baik dan tepat tentang konsep praktik kolaborasi antar tenaga
kesehatan dalam ruang lingkup yang lebih luas contohnya kolaborasi antara dokter
gigi, dokter, perawat, terapis gigi mulut, tenaga farmasi dan dokter spesialis lainnya.
Analisis statistik sikap mahasiswa terhadap IPE diperoleh nilai rata-rata 110.63 dengan
103
standar deviasi 10,844. Nilai tersebut masuk dalam skala sikap baik (x > 78). Secara
keseluruhan nilai tertinggi berturut-turut adalah Prodi KG UMY (129.47), FKG UGM
(124.61) dan FKG Usakti (121.33). Nilai ini memberikan gambaran bahwa benar
dengan adanya implementasi IPE di IPDG menghasilkan sikap yang lebih baik
dibandingkan dengan IPDG yang belum mengimplementasikan secara terstruktur.
Hasil ini juga ditunjang dengan dengan hasil penelitian secara kualitatif dimana rata-
rata pengetahuan dan sikap mahasiswa di seluruh IPDG positif dan menunjang adanya
pembelajaran IPE. Penelitian serupa oleh Mishoe et al. mendapat hasil nilai
mahasiswa yang telah mendapat IPE memiliki nilai sikap dan perilaku yang lebih
tinggi.4
Perbedaan sikap di ketiga universitas setelah uji Kruskal – Wallis diperoleh
nilai Chi-Square 0,511, df 2 dan Asym sig 0.775 dimana Asym. Sig 0,775 > 0,05 yang
berarti menerangkan perbedaan sikap mahasiswa terhadap IPE di antara ketiga
universitas tidak berbeda bermakna. Hal ini terjadi kemungkinan karena materi IPE
di ke 3 universitas telah diberikan dalam bentuk lain baik secara terstruktur maupun
tidak dalam kurikulum IPDG. Di IPDG UMY impelementasi IPE telah dilangsungkan
dengan sangat komprehensif dan baik sejak awal perkuliahan. Topik-topik yang
merupakan 5 aspek IPE yaitu tentang kerjasama tim, peran dan tanggungjawab,
berpusat pada pasien, bias antar profesi, keragaman dan Etika serta berpusat pada
Komunitas sudah melebur di dalam materi modul-modul perkuliahan yang ada, dan
disampaikan dalam bentuk student center learning. Sedangkan untuk IPDG UGM dan
Usakti walaupun implementasi IPE belum diberikan secara komprehensif namun
materi IPE secara tidak langsung ada dalam bentuk topik-topik yang ada dalam modul.
Sehingga mahasiswa memahami konsep IPE membentuk sikap positif. Contoh pada
kuliah manajemen bedah oral di IPDG UGM topik IPE secara tidak langsung diberikan
melalui kuliah yang disampaikan dosen yang mengampu sesuai bidang spesialisasinya
yaitu dokter bedah, dokter anastesi, dokter bedah mulut dan dosen farmasi.
Pada uji statistik sikap mahasiswa subskala 1 tentang kerjasama tim, peran
dan tanggungjawab didapat nilai rata-rata sikap mahasiswa untuk subkala 1 aspek
104
kerjasama tim, peran dan tanggung jawab didapat tertinggi mahasiswa UGM (127.58),
kedua UMY (126.287) dan paling rendah Usakti (121.024). (tabel 12). Nilai ini masuk
dalam skala sikap yang baik (X> 78,baik ). Namun rangking yang diperoleh tidak
memberikan gambaran perbedaan sikap yang tidak bermakna, berdasarkan hasil uji
Kruskal – Wallis dimana nilai rata-rata yang diperoleh pada 9 pertanyaan yang diuji
hasilnya berkisar 0.152 – 0.887, Asymp. Sig > 0,05. Hasil ini juga didukung dalam
hasil wawancara mahasiswa dimana sikap mahasiswa terhadap aspek 1: kerjasama tim,
peran dan tanggungjawab. Pemahaman mahasiswa IPDG UGM, UMY dan Usakti
terhadap IPE dalam dilihat dari jawaban mereka atas pertanyaan tentang kerjasama
tim.
Pengetahuan mahasiswa UGM“ Satu tim dalam merawat seorang pasien lebih baik
jika datang dari berbagai profesi seperti karena kita menganggap pasien sebagai
satu manusia seutuhnya…”
Pengetahuan mahasiswa UMY: “Kolaborasi beberapa profesional dibidang medis
untuk memberi pelayanan komprehensif pada pasien yang merupakan suatu
kumpulan profesional dari berbagai bidang kesehatan dimana masing-masing
memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri sesuai dengan kompetensi dan
tanggung jawab yang dimiliki, untuk mencapai tujuan yang sama yaitu merawat
pasien sebaik mungkin…”
Pengetahuan mahasiswa Usakti: “Menurut saya kerja tim itu seperti operasi punya
dokter dan asisten-asistennya. Dokter yang bertanggung jawab dengan asisten-
asistennya berintegrasi.
Pernyataan tentang kerjasama tim dijawab dengan konsep yang sedikit berbeda
oleh mahasiswa Usakti yang belum mengimplementasikan IPE. Mereka memiliki
105
tingkat pemahaman akan kerjasama tim yang kurang komprehensif dibandingkan
rekannya mahasiswa UGM dan UMY.
Penelitian Ilmanita, D dan Rohman, RM juga mengatakan mahasiswa Farmasi
yang telah mendapatkan IPE memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih baik
dibandingkan yang belum mendapat IPE.34
Bertolakbelakang dengan penelitian Mishoe, S dkk mengatakan mahasiswa
yang belum mendapat IPE memiliki nilai post test yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mahasiswa yang telah mendapatkan modul IPE.4
Pada hasil uji pengetahuan dan sikap mahasiswa subskala aspek berpusat pada
pasien, diperoleh nilai tertinggi USAKTI 127.982, UGM 127.982 UMY 118.256. Pada
subskala ini pengetahuan dan sikap pada mahasiswa IPDG Usakti yang belum
menjalankan IPE mendapat nilai lebih tinggi dibandingkan IPDG UGM dan IPDG
UMY yang telah mengimplementasikan IPE. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah
benar pemahaman dan persepsi mahasiswa FKG Usakti memang sesuai dengan nilai
rata-rata yang dicapai. Untuk itu peneliti melakukan evaluasi terhadap data
kualitatifnya. Berikut adalah pernyataan mereka pada pada penelitian kualitatif untuk
subskala 2 : berpusat pada pasien.
Pengetahuan mahasiswa Usakti:“ “ Mengapa disebut berpusat kepada pasien,
karena tugas kita memenuhi kebutuhan pasien dalam hal medis. Misal pasien datang
ke kita, setahu saya, zaman dahulu hubungan dokter dan pasien satu arah, sakit ini,
ini obatnya tapi tidak dijelaskan lebih lanjut, zaman sekarang sudah berubah, lebih
berorientasi kepada pasien, kita dokter lebih menjadi pendengar keluhannya…”
Jawaban yang diatas mencerminkan jawaban calon dokter gigi yang siap
melakukan pelayanan yang berorientasi atau berpusat kepada pasien. Perbedaan nilai
sikap mahasiswa terhadap subskala 2 tidak menunjukkan nilai yang bermakna hal ini
tampak dari hasil uji Kruskal – Wallis dimana didapat hasil Asymp. Sig berada pada
rental 0.128 – 0,552 > 0,05 (tabel 15). Demikian halnya dengan hasil wawancara pada
106
mahasiswa IPDG lainnya yang juga memberikan jawaban mendukung sikap berpusat
kepada pasien seperti tergambar dalam jawaban berikut :
Sikap Mahasiswa UGM: “Perasaan saya tentang pelayanan yang berpusat kepada
pasien, sangat setuju. dokter bisa memberikan kebebasan kepada pasien..”
Sikap Mahasiswa UMY: “ Sangat positif. Kita dapat mengajak pasien untuk turut
serta mengambil keputusan…”
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh D. Boland dkk, dimana hasil hasil
pengukuran terhadap subskala 2 : berpusat pada pasien untuk nilai rata-rata yang
diperoleh mahasiswa Farmasi sebelum pemberian IPE berada pada nilai 4.41 dengan
standar deviasi 0.45 yang masuk kategori baik.57 Sedangkan untuk mahasiswa IPDG
pada penelitian ini nilai rata-rata yang diperoleh terendah 4.54 standar deviasi 0.695
dan rata-rata tertinggi 4, 75 dengan standar deviasi 0.488 masuk dalam kategori baik.
Hasil uji statistik pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE untuk
subskala 3 : Bias antar profesi diperoleh nilai rata-rata tertinggi pada setiap pertanyaan
untuk IPDG UMY (1,2,3) dengan nilai rata-rata antara 3.26 -3.57. Nilai ini masuk
dalam kategori sikap sedang. Demikian halnya dengan hasil pada tabel 16 yang
menerangkan nilai rata-rata rangking untuk setiap IPDG diperoleh nilai UMY
(142.05), UGM (126.47), dan Usakti (107.80).
Hasil ini menjelaskan bahwa pengetahuan dan sikap mahasiswa IPDG UMY
tentang bias antar profesi sudah baik. Dapat dimengerti karena mahasiswa UMY telah
mendapatkan IPE sejak di semester 2 (dua) secara terstruktur dan terintegrasi.
Pemahaman akan identitas profesinya dan profesi kesehatan lain sangat penting dan
bermanfaat pada saat mereka akan memasuki dunia profesi kelak untuk melakukan
kolaborasi praktek dan menghindari terjadinya tumpeng tindih kompetensi serta
tanggungjawab. Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan hasil wawancara FGD
terhadap mahasiswa UMY.
Pengetahuan mahasiswa UMY: “Bias yang sering terjadi terhadap profesi dokter
gigi adalah dokter gigi hanya menangani gigi dan rongga mulut saja. Profesi lain
107
menganggap dokter gigi hanya mengurus masalah gigi dan mulut saja..” Menghargai
dan menghormati profesi lain sebagaimana saya ingin dihargai dan dihormati...“
Pada hasil uji statistik pada sikap subskala 4 : keragaman dan etika Nilai
rangking rata-rata terbaik dari ketiga universitas adalah FKG Usakti (1,2,3,4) untuk
seluruh pertanyaan.( tabel 18). Menimbulkan pertanyaan bagi peneliti karena
walaupun mahasiswa FKG Usakti belum mendapat IPE dalam pendidikannya namun
sikap mereka lebih baik dibandingkan rekan-rekannya yang telah mendapat IPE baik
yang terstruktur diseluruh pendidikan akademiknya maupun yang hanya di akhir
pendidikan akademiknya. Bila menilik hasil jawaban mahasiswa FGD dalam dapat
dilihat bahwa mahasiswa tersebut sudah memahami apa yang dimaksud tentang
keragaman dan etika.
Pengetahuan mahasiswa Usakti: “ Di Indonesia banyak suku adat dan ras yang
berbeda-beda, kita sebagai dokter gigi tidak boleh memilih2 menangani pasien, tidak
boleh menolak dengan alasan SARA, harus menerima pasien apa adanya….”
“…yang saya ketahui tentang etika seorang dokter gigi adalah seorang dokter gigi
harus terus terang, bicara apa adanya, tentang hak privasi, kerahasiaan pasien
termasuk etika, what happened in ruangan praktek stay in ruangan praktek.”
Pada hasil uji statistik untuk subskala 5 : berpusat kepada komunitas dapat
dilihat pada tabel 20 berturut turut nilai mahasiswa UMY (124.698), UGM (124.062),
dan Usakti (126.294). Nilai ini masuk dalam kategori sikap yang baik (x > 78). Uji
statistik Kruskal - Wallis untuk subskala 5 didapat rata-rata nilai Asymp. Sig > 0,05
menggambarkan sikap mahasiswa di ketiga IPDG tidak berbeda secara bermakna.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa adanya implementasi IPE di IPDG tidak selalu
memberikan pengaruh terhadap pengetahuan dan sikap mahasiswa dalam memberikan
pelayanan yang berpusat pada komunitas. Sikap mahasiswa terhadap aspek 5 rata-rata
tampak mendukung adanya kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan
kesehatan gigi masyarakat. Hal inipun tercermin dalam jawaban mereka pada
wawancara FGD sebagai berikut:
108
Pengetahuan mahasiswa UMY : “ Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi
masyarakat kerjasama perlu dilakukan dengan seluruh komponen bidang kesehatan
….”
Sikap Mahasiswa UMY: “ Saat menjadi dokter gigi yang akan diajak bekerja sama
untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat adalah semua elemen bidang
kesehatan …”
Pengetahuan Mahasiswa UGM: “…“Untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi
masyarakat kerjasama perlu dilakukan dengan Puskesmas untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat, sekolah-sekolah untuk UKGS, stake holder di
kecamatan/kelurahan,…”
Sikap mahasiswa UGM: “…dental hygienist, penyedia layanan radiografi, BPJS,
administrasi dan manajemen. Pemda setempat, dokter spesialis, rumah Sakit….”
Pengetahuan mahasiswa Usakti : “…..kerjasama perlu dilakukan dengan pasien itu
sendiri, orang tua, kader, dokter kecil, palang merah untuk memberitahukan kesehatan
gigi, …”
Sikap mahasiswa Usakti: “…“Kader-kader, semakin dari kecil semakin bagus,
pemerintah, dengan jadi bagian dari pemerintahan banyak kebijakan yang bisa
membantu orang, kaderisasi mencapai daerah-daerah yang sulit…”
Penelitian ini mengalami beberapa kendala yang dapat mengakibatkan data yang
diperoleh bias, yaitu dalam hal pengambilan data dengan menggunakan google form
waktu pengisiannya tidak bersamaan (serentak). Ada mahasiswa yang langsung
mengisi saat itu juga namun sebagian besar mengisi setalah beberapa hari kemudian.
Sehingga memungkinkan antar mahasiswa berdiskusi jawaban kuesioner yang
mempengaruhi hasil jawaban. Demikian halnya dengan data kualitatif dengan
menggunakan FGD. Apabila posisi duduk mahasiswa senior lebih duluan, sering
memberikan pengaruh terhadap mahasiswa juniornya. Hal lain yang juga berpengaruh
109
adalah besarnya jumlah sampel dalam penelitian. Jumlah sampel yang minimal
memberikan gambaran statistik yang tidak terlalu bermakna pada uji perbedaan.
Kendala-kendala seperti ini juga dialami oleh pada penelitian lain yang juga mendapati
hasil dimana sikap mahasiswa sebelum mendapat IPE umumnya sudah positif, namun
dengan adanya implementasi IPE sikap mereka menjadi lebih baik.61
Penelitian ini hanya mengukur pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE
pada tahap akademik/sarjana di IPDG. Hasil yang lebih baik akan lebih tampak dalam
bentuk perilaku saat mahasiswa sudah terpapar di program profesi. Untuk itu
sebaiknya penelitian dilakukan pada ke dua tahap ini dan hasilnya dapat dibandingkan
untuk melihat perbedaan perilaku mahasiswa.
110
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di IPDG Usakti, UMY dan
UGM yang telah mengimplementasikan dan yang belum mengimplementasikan
terdapat perbedaan namun tidak berbeda secara signifikan.
B. Saran
1. Saran bagi IPDG
Implementasi IPE sangat diperlukan diimplementasikan di seluruh IPDG untuk
meningkatkan perilaku kolaboratif dari dokter gigi di masyarakat kelak.
2. Saran untuk Pemerintah
a. Kementrian riset dan teknologi Pendidikan tinggi (Kemenristekdikti) perlu
mendorong setiap IPDG untuk mengimplementasikan IPE dalam modul
pembelajaran di program studi kedokteran, kedokteran gigi dan kesehatan
lainnya baik dalam bentuk modul intrakurikulum maupun ekstrakurikulum.
b. Kementrian kesehatan (Kemenkes) perlu mendorong dan mendukung
implementasi IPE di IPDG khususnya di RSGM dan fasilitas pelayanan
primer bidang kedokteran gigi, agar praktik kolaboratif antar tenaga
kesehatan dapat terwujud dan pelayanan ke masyarakat lebih berkualitas
3. Saran bagi pengembangan ilmu
Perlu penelitian lebih lanjut dengan berbagai indikator pengukuran
pengetahuan, sikap dan perilaku kolaboratif terhadap dampak IPE di IPDG
untuk mengukur hasil yang lebih akurat dan tepat.
111
DAFTAR PUSTAKA
1. Frenk J, Chen L, Bhutta ZA, Cohen J, Crisp N, Evans T, Fineberg H, Garcia P,
Ke Y, Kelley P, Kistnasamy B. Health professionals for a new century:
Transforming education to strengthen health systems in an interdependent
world. The lancet. 2010 Dec 4;376(9756):1923-58.
2. Khalili H, Hall J, DeLuca S. Historical analysis of professionalism in western
societies: Implications for interprofessional education and collaborative
practice. Journal of Interprofessional Care. 2014 Mar 1;28(2):92-7.
3. Friedrichsen S, Martinez T, Hostetler J, Tang. J. Innovations in
Interprofessional Education: Building Collaborative Practice Skills. CDA
Journal. Vol 42. 2014. 627-635
4. Mishoe SC, Tufts KA, Diggs LA, Blando JD, Claiborne DM, Hoch J, Walker
ML. Health Professions Students' Teamwork Before and After an
Interprofessional Education Co-Curricular Experience. Journal of Research in
Interprofessional Practice and Education. 2018 May 18;8(1).
5. Lawrence D, Bryant TK, Nobel TB, Dolansky MA, Singh MK. A comparative
evaluation of patient satisfaction outcomes in an interprofessional student-run
free clinic. Journal of interprofessional care. 2015 Aug 28;29(5):445-50.
6. Khalili H, Hall J, DeLuca S. Historical analysis of professionalism in western
societies: Implications for interprofessional education and collaborative
practice. Journal of Interprofessional Care. 2014 Mar 1;28(2):92-7.
7. Reeves, S., Perrier, L., Goldman, J., Freeth, D., & Zwarenstein, M.
Interprofessional education: Effects on professional practice and healthcare
outcomes (update). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2013. 3, 1–47.
8. Maharajan MK, Rajiah K, Khoo SP, Chellappan DK, De Alwis R, Chui HC, et
al. Attitudes and Readiness of Students of Healthcare Professions towards
Interprofessional Learning. PLOS ONE 12(1)
2017:e0168863.doi:10.1371/journal. pone.0168863
9. World Health Organization. Framework for action on interprofessional
education and collaborative practice. 2010. WHO: Switzerland 2012. Available
at: http://www.who.int/hrh/resources/framework_action/ en/
10. Barr H, Koppel I, Reeves S, Hammick M, Freeth D. Effective interprofessional
education: argument, assumption and evidence. Blackwell
Publishing. Oxford, 2005
112
11. Lawrence D, Bryant TK, Nobel TB, Dolansky MA, Singh MK. A comparative
evaluation of patient satisfaction outcomes in an interprofessional student-run
free clinic. Journal of interprofessional care. 2015 Aug 28;29(5):445-50.
12. Barr H. Responding as interprofessional educators to the WHO challenge.
Journal of Taibah University Medical Sciences. 2016 Dec 1;11(6):505-9.
13. Barr, H, Helme M, D’Avray, L. Developing Interprofessional Education in
health and social care course in United Kingdom. A progress Report. Health
Sciences and Practice Subject Centre. Higher Education Academy. UK. 2011
14. Bridges D, Davidson RA, Soule Odegard P, Maki IV, Tomkowiak J.
Interprofessional collaboration: three best practice models of interprofessional
education. Medical education online. 2011 Jan 1;16(1):6035.
15. Riva JJ, Lam JM, Stanford EC, Moore AE, Endicott AR, Krawchenko IE.
Interprofessional education through shadowing experiences in multi-
disciplinary clinical settings. Chiropr & Osteopat. 2010; 18:31.
16. Hood K, Cant R, Baulch J, Gilbee A, Leech M, Anderson A, Davies K. Prior
experience of interprofessional learning enhances undergraduate nursing and
healthcare students' professional identity and attitudes to teamwork. Nurse
Education in Practice. 2014 Mar 1;14(2):117-22.
17. Sigalet E, Donnon T, Grant V. Undergraduate students’ perceptions of and
attitudes toward a simulation-based interprofessional curriculum: the KidSIM
ATTITUDES questionnaire. Simulation in Healthcare. 2012 Dec 1;7(6):353-8.
18. Rajiah K, Maharajan MK, Khoo SP, Chellappan DK, De Alwis R, Chui HC, Tan
LL, Tan YN, Lau SY. Suitability of the RIPLS and IEPS for Discriminating
Attitude Differences towards Interprofessional Education among Students of
Healthcare Profession. Education Research International. 2016;2016.
19. Virtue,SM, Rotz,ME, Boyd,M, et al. Impact of a novel interprofessional dental
and pharmacy student tobacco cessation education programme on dental patient
outcomes, Journal of Interprofessional Care. 2017. DOI:
10.1080/13561820.2017.1378171
20. Shrader S, Kern D, Zoller J, Blue A. Interprofessional teamwork skills as
predictor of clinical outcomes in a simulated healthcare setting. J Allied Health
2013. Spring; 42(1):e1-6 . diunduh
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23471287
21. Kenaszchuk C, MacMillan K, Soeren M, Reeves S. Interprofessional simulated
learning: short-term associations between simulation and interprofesional
collaboration. BMC Medicine. 2011. Diunduh
https://bmcmedicine.biomedcentral.com/articles/10.1186/1741-7015-9-29
113
22. Reeves, S., Perrier, L., Goldman, J., Freeth, D., & Zwarenstein, M.
Interprofessional education: Effects on professional practice and healthcare
outcomes (update). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2013. 3, 1–47.
23. Olenick M, et al. Interprofessional education: a concept analysis. Dove Medical
Press Ltd. Advances in Medical Education and Practice 2010:1 75–84. DOI:
10.2147/AMEP.S13207
24. Nango E, Tanaka Y (2010) Problem-based learning in a multidisciplinary group
enhances clinical decision making by medical students: a randomized controlled
trial. J Med Dent Sci 57: 109–118.
25. Cameron A, Rennie S, DiProspero L, Langlois S, Wagner S, Potvin M,
Dematteo D, LeBlanc V, Reeves S. An Introduction to teamwork findings from
an evaluation of an interprofessional education experience for 1,000 first-year
health science students. Journal of allied health. 2009 Dec 1;38(4):220-6.
26. Cameron A, Ignjatovic M, Langlois S, Dematteo D, DiProspero L, Wagner S,
Reeves S. An interprofessional education session for first-year health science
students. American Journal of Pharmaceutical Education. 2009 Sep;73(4):62.
27. Barr H. Competent to collaborate: towards a competency-based model for
interprofessional education. Journal of interprofessional care. 1998 Jan
1;12(2):181-7.
28. Riva JJ, Lam JM, Stanford EC, Moore AE, Endicott AR, Krawchenko IE.
Interprofessional education through shadowing experiences in multi-
disciplinary clinical settings. Chiropractic & osteopathy. 2010 Dec;18(1):31.
29. Hood K, Cant R, Baulch J, Gilbee A, Leech M, Anderson A, Davies K. Prior
experience of interprofessional learning enhances undergraduate nursing and
healthcare students' professional identity and attitudes to teamwork. Nurse
Education in Practice. 2014 Mar 1;14(2):117-22.
30. Sunguya BF, Hinthong W, Jimba M, Yasuoka J. Interprofessional education for
whom?—challenges and lessons learned from its implementation in developed
countries and their application to developing countries: a systematic review.
PLoS One. 2014 May 8;9(5):e96724.
31. Reeves S, Zwarenstein M, Goldman J, Barr H, Freeth D, et al. (2008)
Interprofessional education: effects on professional practice and health care
outcomes. Cochrane Database Syst Rev: CD002213.
32. Hammick M, Freeth D, Koppel I, Reeves S, Barr H (2007) A best evidence
systematic review of interprofessional education: BEME Guide no. 9. Med
Teach 29: 735–751.
114
33. Dewi SP, Sayusman C, Wahyudi K. Persepsi Mahasiswa Profesi Kesehatan
Universitas Padjadjaran Terhadap Interprofessionalism Education. Jurnal
Sistem Kesehatan. 2016 Jun 1;1(4).
34. Ilmanita, D, Rokhman, MR. Peran Interprofessional Education terhadap persepsi
keterlibatan apoteker dalam kolaborasi antar profesi. Jurnal Manajemen dan
Pelayanan Farmasi. Volume 4 Nomor 3. 2014. Hal 166-174
35. Setiarso, Bambang. Knowledge Management/ Knowledge Sharing dan
Penciptaan Pengetahuan. Artikel dalam Visi Pustaka Volume 8 Nomor 1 Juni
2006. Jakarta : Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi, Perpusnas RI.
36. Notoatmodjo, S., Pengantar Pendidikan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi
Offset, Yogyakarta, 2003.
37. Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010. h.20-22;
141-142
38. Azzahy, GH. Tentang Persepsi. 2008. Diunduh dari http://Syakira-
blog.Blogspot.com
39. Pieter HZ, Janiwarti B, Saragih NM,. Pengantar psikopatologi untuk
keperawatan. Kencana; 2011.
40. Reeves S, Freeth D, McCrorie P, Perry D. It teaches you what to expect in
future…': interprofessional learning on a training ward for medical, nursing,
occupational therapy and physiotherapy students. Medical education. 2002
Apr;36(4):337-44.
41. Barr H. Assuring the Quality of IPE for Health Social Care a Consultation Paper.
UK Centre for Advancement of IPE, London. 2002.
42. Cochran-Smith M, Lytle SL. Chapter 8: Relationships of knowledge and
practice: Teacher learning in communities. Review of research in education.
1999 Jan;24(1):249-305.
43. Gilbert J,et al. Preparing students for interprofessional teamwork in health care.
Journal of interprofessional care. 2000 Jan 1;14(3):223-35.
44. Freeth D, Reeves S. Learning to work together: using the presage, process,
product (3P) model to highlight decisions and possibilities. Journal of
Interprofessional Care. 2004 Feb 1;18(1):43-56.
45. Gallé J, Lingard L. A medical student's perspective of participation in an
interprofessional education placement: an autoethnography. Journal of
Interprofessional Care. 2010 Nov 1;24(6):722-33.
46. Kramer M, Schmalenberg C. Securing “good” nurse/physician relationships.
Nursing management. 2003 Jul 1;34(7):34-8.
115
47. Thannhauser J, Russell-Mayhew S, Scott C. Measures of interprofessional
education and collaboration. Journal of interprofessional care. 2010 Jul
1;24(4):336-49.
48. Vaughan B, Macfarlane C, Dentry T, Mendoza G. The interdisciplinary
education perception scale (IEPS): Which factor structure ?. Education in
Medicine Journal. 2014 Sep 1;6(3).
49. Parsell G, Bligh J. The development of a questionnaire to assess the readiness of
health care students for interprofessional learning (RIPLS). Med Educ.
1999;33(2):95–100
50. Williams B, Brown T, Boyle M. Construct validation of the readiness for
interprofessional learning scale: a Rasch and factor analysis. J Interprof Care.
2012;26(4):326–32
51. Luecht R, Madsen M, Taugher M, Petterson B. Assessing professional
perceptions: design and validation of an Interdisciplinary Education Perception
Scale. J Allied Health. 1990;19:181.
52. McFadyen A, Maclaren W, Webster V. The Interdisciplinary Education
Perception Scale (IEPS): An alternative remodelled sub-scale structure and its
reliability. J Interprof Care. 2007;21:433-43
53. Leitch J. Exploring psychometric properties of the interdisciplinary education
perception scale in health graduate students. J Interprof Care. 2013:1-6.
54. Norris, J et al. “The Development and Validation of the Interprofessional
Attitudes Scale: Assessing the Interprofessional Attitudes of Students in the
Health Professions” Academic medicine : Journal of the Association of
American Medical Colleges vol. 90,10 (2015): 1394-400.
55. Visser CL, Wilschut JA, Isik U, van der Burgt SM, Croiset G, Kusurkar RA.
The Association of Readiness for Interprofessional Learning with empathy,
motivation and professional identity development in medical students. BMC
medical education. 2018 Dec;18(1):125.
56. Cox M, Cuff P, Brandt B, Reeves S, Zierler B. Measuring the impact of
interprofessional education on collaborative practice and patient outcomes.
Journal of Interprofessional Care. 2016;30(1):1-3.
57. Boland D, White T, and Adams, T. "Experiences of pharmacy trainees from an
interprofessional immersion training." Pharmacy 6.2 (2018): 37.
58. Wong E, Leslie JJ, Soon JA, Norman WV. Measuring interprofessional
competencies and attitudes among health professional students creating family
planning virtual patient cases. BMC medical education. 2016 Dec;16(1):273.
116
59. Buchanan, J and Anderson E. Moving IPE forward : The Role for Dental
Education. ADEA webinar series. 2014 Aug.
60. Widyandana, D. Evaluating Interprofessional Education Principle in a
Longitudinal Community-Based Program for 3 Schools of Health Professions:
Medicine, Nursing, and Nutrition. Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia.
2018 Mar; Vol 7(1): 49-53
61. Fusco NM, Rivera JM, Doloresco F, Ohtake PJ,. Improving Pharmacy Students’
Attitudes Toward Collaborative Practice Through a Large-scale
Interprofessional Forum Targeting Opioid Dependence. American Journal of
Pharmaceutical Education 2019; 83 (6) Article 7034.
118
Lampiran 2
Kuesioner Pengetahuan Interprofesional Education (IPE)
Petunjuk Pengisian: a) Berikan jawaban untuk setiap pertanyaan (jangan
dikosongkan) b) Beri tanda (√) pada jawaban sesuai dengan yang anda ketahui.
No Pernyataan Benar Salah
A Definisi dan pengertian 1 IPE merupakan pembelajaran
bersama dimana dua atau lebih peserta didik program studi kesehatan yang berbeda belajar dengan, dari dan tentang satu sama lain untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan.
2 Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran yang interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar yang kondusif
3 IPE merupakan suatu konsep pendidikan terintegrasi untuk meningkatkan kemampuan kolaboratif tenaga kesehatan.
4 IPE adalah diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai jurusan yang sama untuk membahas isu-isu kesehatan maupun kasus-kasus tertentu yang terjadi di masyarakat.
B Manfaat IPE
1 IPE bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa profesi kesehatan mengetahui peran, tanggungjawab dan kerjasama tim pada saat melakukan pelayanan kesehatan.
119
2 IPE memiliki manfaat untuk mengarahkan mahasiswa belajar untuk menjadi anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan profesional
3 IPE tidak berdampak pada peningkatan apresiasi mahasiswa dan pemahaman tentang peran dan tanggung jawab
4 IPE akan meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk memahami masalah klinis.
5 IPE memberikan manfaat berupa penurunan total komplikasi yang dialami pasien dan keluarga
C Kompetensi IPE
1 Salah satu kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran IPE adalah mahasiswa dapat bekerja secara mandiri
2 Metode pembelajaran IPE tidak mengajarkan toleransi perbedaan, kesalahpahaman dan peran profesi lain
3
Dosen harus mampu untuk memberikan kesempatan yang sama demi pembelajaran individu yang efektif bagi masing-masing anggota kelompok
4 Profesi kesehatan lain / mahasiswa dari disiplin ilmu kesehatan lain mempunyai persepsi yang atau membuat asumsi tentang saya karena disiplin ilmu yang saya pelajari.
D Pendekatan IPE
1 Pembelajaran bersama mahasiswa kesehatan lain akan membantu saya memahami keterbatasan saya sendiri
2 Pelayanan yang berpusat/berfokus pada pasien membutuhkan kerjasama tim dari profesi kesehatan lain guna mewujudkan pelayanan yang berkualitas.
120
3 Pembelajaran bersama mahasiswa ilmu kesehatan tidak menjadi suatu keharusan.
4 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa profesi kesehatan lain kurang memberikan manfaat dalam memecahkan permasalahan pasien.
5 Dengan kompetensi dan pengetahuan yang saya miliki sebagai dokter gigi tidak menjadi keharusan untuk menjalin kerjasama dengan profesi kesehatan lain.
E Budaya dan Etika
1 IPE mengajarkan mahasiswa menghargai budaya yang unik, nilai-nilai, peran / tanggung jawab, dan keahlian profesi kesehatan lainnya
2 Metode pembelajaran IPE memberikan toleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain.
3 IPE tidak mengajarkan apa yang saya perlukan untuk berkomunikasi secara efektif lintas budaya.
4 Pembelajaran yang diberikan meliputi topik menghormati martabat dan privasi pasien sambil menjaga kerahasiaan dalam melakukan perawatan berbasis individu .
5 Memberikan perawatan yang terbaik kepada pasien terlepas dari latar belakang mereka (mis. ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, kelas, asal kebangsaan, status imigrasi, atau kemampuan)
121
Lampiran 3
Responden yang saya hormati,
Saya mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG)
Universitas Trisakti. Saya sedang mengadakan penelitian tugas akhir tentang
Pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap IPE di institusi pendidikan
kedokteran gigi yang telah mengimplementasikan dan yang belum
mengimplementasikan IPE. Kuesioner ini berhubungan dengan pengetahuan dan
sikap anda terhadap metode pembelajaran di fakultas kedokteran gigi yang
dilaksanakan secara multi profesi. Hasil kuesioner ini tidak untuk dipublikasikan,
melainkan untuk kepentingan penelitian semata.
Atas bantuan, kesediaan waktu, dan kerja samanya saya ucapkan terima kasih.
Petunjuk pengisian : Berikan tanda (√) pada jawaban yang sesuai.
No Item berdasarkan subskala
Sangat
tidak
setuju
(STS)
Tidak
setuju
(TS)
Netral Setuju Sangat
Setuju
1 Kerja Tim, Peran dan Tanggung jawab
1.1 Pembelajaran bersama sebelum lulus dokter gigi
akan membantu saya menjadi dokter gigi yang
lebih baik dalam melakukan kerjasama tim
1.2 Pembelajaran bersama dengan profesi kesehatan
lain akan membantu saya berpikir positif tentang
profesi lain
1.3 Belajar dengan mahasiswa profesi kesehatan
lain akan membantu saya menjadi anggota tim
pelayanan kesehatan yang lebih efektif
1.4 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu
kesehatan lainnya, kan meningkatkan
kemampuan saya untuk memahami masalah
klinis.
122
1.5 Pasien pada akhirnya akan mendapat manfaat
jika mahasiswa ilmu kesehatan bekerja bersama
untuk memecahkan permasalahan pasien.
1.6 Pembelajaran bersama dengan mahasiswa ilmu
kesehatan lainnya, akan membantu saya
berkomunikasi lebih baik dengan pasien dan
profesional lainnya.
1.7 Saya akan menyambut baik kesempatan untuk
bekerja pada proyek kelompok kecil dengan
mahasiswa ilmu kesehatan lainnya.
1.8 Tidak menjadi suatu keharusan mahasiswa ilmu
kesehatan untuk belajar bersama.
1.9 Pembelajaran bersama akan membantu saya
memahami keterbatasan saya sendiri.
2 Berpusat kepada Pasien Berpusat (Patient
Centeredness)
2.1 Penting bagi saya membangun kepercayaan
dengan pasien.
2.2 Penting bagi saya untuk berkomunikasi dengan
penuh perhatian dan simpati kepada pasien.
2.3 Memikirkan pasien sebagai pribadi adalah
penting dalam mendapatkan perawatan yang
benar
2.4 Dalam profesi saya, seseorang membutuhkan
keterampilan dalam berinteraksi dan bekerja
sama dengan pasien
2.5 Penting bagi saya untuk memahami
permasalahan dari sisi pandang pasien.
3 Bias Antar Profesi (Interprofesional Biases)
3.1 Mahasiswa dari profesi kesehatan lain memiliki
prasangka atau membuat asumsi tentang saya
karena disiplin ilmu yang saya pelajari.
123
3.2 Saya memiliki prasangka atau membuat asumsi
tentang profesi kesehatan lain / mahasiswa dari
disiplin ilmu kesehatan lain.
3.3 Prasangka dan asumsi tentang para profesi
kesehatan dari disiplin ilmu kesehatan lain
menghalangi jalannya proses penyembuhan
pasien
4 Keragaman & Etika (Diversity and Ethics)
Penting bagi tenaga profesional kesehatan
untuk:
4.1 Menghargai budaya yang unik, nilai-nilai, peran
/ tanggung jawab, dan keahlian profesi
kesehatan lainnya
4.2 Memahami apa yang diperlukan untuk
berkomunikasi secara efektif lintas budaya.
4.3 Menghormati martabat dan privasi pasien serta
menjaga kerahasiaan dalam melakukan
perawatan berbasis tim.
4.4 Memberikan perawatan terbaik kepada pasien
terlepas dari latar belakang mereka (mis. ras,
etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama,
kelas, asal kebangsaan, status imigrasi, atau
kemampuan)
5 Berpusat kepada Komunitas (Community
Centeredness)
Penting bagi tenaga profesional kesehatan
untuk:
5.1 Bekerja dengan petugas kesehatan masyarakat
dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan
pemberian layanan kesehatan pada masyarakat.
5.2 Bekerja pada proyek-proyek kesehatan untuk
promosi kesehatan komunitas dan kesehatan
masyarakat
124
5.3 Bekerja dengan dewan perwakilan rakyat dan
pemerintahan untuk mengembangkan undang-
undang, peraturan, dan kebijakan dalam
meningkatkan layanan kesehatan.
5.4 Bekerja dengan non klinisi untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang lebih efektif
5.5 Fokus pada populasi dan komunitas, selain
pasien individu, guna memberikan perawatan
kesehatan yang efektif
126
Lampiran 5
Nomor : …../AU.00.01/Usakti/FKG-Dek/III/2019 22 April 2019
Lampiran : Proposal Penelitian
Perihal : Permohonan Kegiatan Penelitian
Kepada Yth. : Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada
Up. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio(K)
Di
Tempat
Dengan Hormat,
Bersama ini diberitahukan bahwa mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, yaitu :
No Nama Nomor Induk Dosen Pembimbing
1 Marta Juslily 144170008 1. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg,
M.Kes
2. Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc
Akan melakukan penelitian dalam rangka penyusunan thesis yang berjudul: “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap Interprofessional Education di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi “. Sehubungan dengan perihal di atas, kami harapkan kepada mahasiswa tersebut dapat diberikan ijin untuk melakukan penelitian terkait dengan penyusunan thesisnya. Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.
127
D e k a n, Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg, M.Kes
Tembusan : 1. Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada 2. Ketua Program Studi MIKG 3. Wakil Dekan I FKG Usakti 4. Arsip
128
Lampiran 5
Nomor : …../AU.00.01/Usakti/FKG-Dek/III/2019 22 April 2019
Lampiran : -
Perihal : Permohonan Kegiatan Penelitian
Kepada Yth. : Ketua Program Studi Kedokteran Gigi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Up. Dr. Drg. Erlina Sih Mahanani., M.Kes,
Di
Tempat
Dengan Hormat,
Bersama ini diberitahukan bahwa mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, yaitu :
No Nama Nomor Induk Dosen Pembimbing
1 Marta Juslily 144170008 3. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg,
M.Kes
4. Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc
Akan melakukan penelitian dalam rangka penyusunan thesis yang berjudul: “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap Interprofessional Education di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi “. Sehubungan dengan perihal di atas, kami harapkan kepada mahasiswa tersebut dapat diberikan ijin untuk melakukan penelitian terkait dengan penyusunan thesisnya. Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.
129
D e k a n, Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg, M.Kes
Tembusan : 1. Ketua Program Studi MIKG 2. Wakil Dekan I FKG Usakti 3. Arsip
130
Lampiran 5
Nomor : : …../AU.00.01/Usakti/FKG-Dek/III/2019 3 Maret 2019
Lampiran : -
Perihal : Permohonan Kegiatan Penelitian
Kepada Yth : Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
UniversitasTrisakti
Up. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti., drg, M.Kes
Di
Tempat
Dengan Hormat,
Bersama ini diberitahukan bahwa mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Trisakti, yaitu :
No N A M A Nomor Induk DOSEN PEMBIMBING
1 Marta Juslily 144170008 5. Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg,
M.Kes
6. Dr. Adang Bachtiar, MPH,
DSc
akan melakukan penelitian dalam rangka penyusunan thesis yang berjudul : “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap Interprofessional Education di Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi “. Sehubungan dengan perihal di atas, kami harapkan kepada mahasiswa tersebut dapat diberikan ijin untuk melakukan penelitian terkait dengan penyusunan thesisnya. Demikian, atas eprhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terimakasih.
131
D e k a n, Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg, M.Kes
Tembusan : 1. Ketua Program Studi MIKG 2. Wakil Dekan I FKG Usakti 3. Arsip
132
Lampiran 6 Alur pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD)
Penelitian IPE
Tatalaksana :
1. Dibuat 2 kelompok/ grup informan untuk setiap kategori IPE dan Non IPE
Total grup untuk setiap fakultas yang telah menerapkan IPE dan yang belum
IPE : 4 (emat) kategori dengan anggota 6-12 orang
Kriterianya : semester 2,4, ,dan 6 dimana setiap semester diambil 2 atau 3
orang, jenis kelamin campur komposisi laki-laki dan perempuan diusahakan
seimbang. Bila tidak seimbang tidak apa-apa.
2. Pertanyaan kuesioner terdiri atas unsur-unsur IPE yaitu pertama aspek Kerja
Tim, Peran dan Tanggung jawab, kedua aspek Berpusat kepada Pasien
Berpusat (Patient Centeredness), aspek ketiga Bias Antar Profesi
(Interprofesional Biases), aspek keempat Keragaman & Etika (Diversity and
Ethics), dan aspek kelima berpusat kepada Komunitas.
3. Tata cara FGD adalah sebagai berikut :
Peserta/responden diatur duduknya dari no urut 1 sampai dengan 9
setengah lingkaran dengan fasilitator duduk tepat di tengan depan bersama
notulis. Fasilitator kemudian memberikan pertanyaan tentang pengetahuan
IPE kepada responden untuk dijawab.
Pertanyaan tidak harus dijawab berurutan oleh responden.
1
2
4 6
8
3 7
5
9 F N
133
F : fasilitator , N: Notulis
4. Tugas notulis harus menulis secara terperinci apa yang menjadi jawaban dari
stiap responden. Misalnya :
Responden no 2 : “……………………………………………………………………………….”
Responden no 9 : “………………………………………………………………………………..”
Reponden no 1 :” …………………………………………………………………………………”
Responden no 7 : “…………………………………………………………………………………..”
Responden no 5 : “ …………………………………………………………………………………,”
Responden no 2 : “……………………………………………………………………………………”
Responden no 6 : “……………………………………………………………………………………”
Responden no 8 : “…………………………………………………………………………………..”
Responden no 3 :”…………………………………………………………………………………….”
Responden no 4 : “……………………………………………………………………………………..”
Bila hampir seluruh responden telah menjawab ditanyakan kembali dan
dapat pindah ke pertanyaan berikut.
5. Notulis membuat table data indentitas responden
NO Initial Umur Semester
2
9
1
134
7
5
6
8
3
4
6. Pertanyaan tentang pengetahuan mahasiswa untuk aspek pertama yaitu
kerja tim, peran dan tanggung jawab
a. Apa yang anda ketahui tentang kerjasama tim dalam pelayanan
kesehatan gigi ?
b. Berikan contoh-contoh implementasinya.
c. Bagaimana peran dan tangungjawab masing-masing anggota dalam
sebuah tm pelayanan kesehatan gigi ?
7. Pertanyaan tentang sikap mahasiswa untuk aspek kerja tim, peran dan
tanggungjawab :
a. Bagaimanan pandangan /perasaan anda terhadap kerjasama tim dalam
pelayanan kesehatan gigi ?
b. Bagaimana kelak anda akan memberikan pelayanan kesehatan gigi ?
(probing ke kerjasama tim )yang terkait dengan pelayanan kesehatan gigi,
dapat diberikan pandangan agar lebih dalam.
c. Bagaimana kelak peran dan tanggngjawabanda dalam melakukan
kerjasama tim pelayanan kesehatan gigi ?
8. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Berpusat kepada pasien :
a. Apa yang dimaksus dengan pelayanan yang berpusat kepada pasien ?
b. Apa yang anda ketahui tentang membangun kepercayaan ?
c. Apa yang anda ketahui tentang cara berkomunikasi ?
d. Apa yang anda ketahui tentang fokus kepada pasien?
e. Apa yang anda ketahui tentang ketrampilan berinteraksi ?
f. Apa yang anda ketahui tentang empati ?
9. Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat kepada pasien ?
a. Baga imana pandangan/perasaan anda tentang pelayanan yang berpusat
kepada pasien ?
b. Bagaimana kelak anda membangun kepercayaan dengan pasien ?
c. Bagaimana kelak anda berkomunikasi dengan pasien?
135
d. Bagaimana kelak anda berempati dan melakukan interaksi yang berfokus
kepada pasien ?
10. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek bias antar profesi
a. Sepengetahuan anda bias apa yang sering terjadi terhadap profesi dokter
gigi atau
b. Sepengetahuan anda apa yang sering terjadi terhadap profesi lain yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan gigi ?
11. Pertanyaan sikap tentang aspek bias antar profesi
a. Kelak bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan anda terhadap
profesi lain dan alasannya ?
b. Kelas bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan profesi lain
terhadap anda dan alasann ya ?
12. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Budaya dan Etika
a. Apa yang anda ketahui tentang Etika seorang dokter gigi ?
b. Apa yang anda ketahui tentang hak privasi, kerahasiaan pasien dan
menghormati martabat orang lain ?
c. Apa yang anda ketahui tentang budaya yang unik dan tidak membedakan
latar belakang pasien dalam melakukan pelayanan kesehatan gigi ?
berikan contohnya
13. Pertanyaan sikap untuk aspek budaya dan Etika
a. Bagaimana anda menjaga privacy/kerahasiaan pasien?
b. Bagaimana memberikan pelayanan kesehatan gigi terhadap pasien
dengan berbagai latar belakang ?
14. Pertanyaan pengetahuan tentang aspek berpusat kepada Komunitas
a. Sepengetahuan anda untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi
masyarakat dengan siapa kerjasama perlu dilakukan ?
15. Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat pada Komunitas
a. Bila kelak anda menjadi dokter gigi siapa saja yang akan diajak bekerja
sama untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi masyarakat ?
136
Langkah-Langkah menerapkan FGD :
1. Durasi FGD : 1.5- 2 jam
2. Setting ruangan dengan denah tempat duduk setengah lingkaran
dimana ditengah duduk fasilitator dan notulis sebelum FGD dimulai.
3. Sapa dan berikan salam ke peserta
4. Perkenalkan fasilitator, notulis dan tim peneliti
5. Persiapkan aturan mainnya dan alat perekam
6. Berikan informed consent untuk ditandatangani
7. Bacakan aturan main
8. Perkenalan dengan seluruh partisipan
9. Sesi awal : pertanyaan yang mudah dan umum
10. Peraturan dasar :
a. Hanya 1 orang berbicara dalam satu waktu
b. Berikan kesempatan yang sama untuk semua peserta
berbicara dan mengemukakan pendapatnya
c. Hargai pendapat setiap peserta, jangan
menyalahkan/mengkritisi pendapat seseorang
d. Hargai dan hormati pendapat seseorang dengan tidak
membahasnya diluar grup diskusi.
11. Contoh Pembukaan :
“ Selamat pagi, saya drg. Marta Juslily mahasiswa Magister Ilmu
kedokteran gigi Usakti. Adik-adik terimakasih sudah bersedia
meluangkan waktu dan menjadi peserta grup diskusi penelitian saya.
Perkenalkan asisten saya drg. Lia, Mepid yang akan membantu saya
sebagai notulis dan observer/ pengamat pada FGD ini. Tujuan
penelitian ini adalah menggali pengetahuan dan sikap anda sebagai
mahasiswa terhadap Interprofessional education di fakultas
kedokteran gigi.
Kami akan memberikan serangkaian pertanyaan dan meminta anda
untuk menjawabnya menurut apa yang anda pandang penting. Kami
ingin anda semua merasa nyaman untuk menjawab setiap
pertanyaan yang diberikan sesuai dengan apa yang anda ketahui.
Semua jawaban yang anda sampaikan disini sifatnya konfidential dan
dicatat dengan tanpa nama. Jadi tidak ada orang lain tahu siapa yang
menyampaikan apa. Untuk mendapatkan semua pendapat atau
pandanga yang disampaikan kami akan merekam percakapan ini.
Apakah ada yang keberatan dengan FGD ini ?
137
Sebelum kita mulai saya akan berkeliling dulu untuk memastikan saya
sudah mengenal anda masing-masing.
12. Mulai pertanyaan 1 sbb:
1) Pertanyaan tentang pengetahuan mahasiswa untuk aspek
pertama yaitu kerja tim, peran dan tanggung jawab
a) Apa yang anda ketahui tentang kerjasama tim dalam
pelayanan kesehatan gigi ?
b) Berikan contoh-contoh implementasinya.
c) Bagaimana peran dan tangungjawab masing-masing anggota
dalam sebuah tm pelayanan kesehatan gigi ?
2) Pertanyaan tentang sikap mahasiswa untuk aspek kerja tim, peran
dan tanggungjawab :
a) Bagaimanan pandangan /perasaan anda terhadap kerjasama
tim dalam pelayanan kesehatan gigi ?
b) Bagaimana kelak anda akan memberikan pelayanan kesehatan
gigi ? (probing ke kerjasama tim )yang terkait dengan pelayanan
kesehatan gigi, dapat diberikan pandangan agar lebih dalam.
c) Bagaimana kelak peran dan tanggngjawabanda dalam
melakukan kerjasama tim pelayanan kesehatan gigi ?
3) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Berpusat kepada pasien :
a. Apa yang dimaksud dengan pelayanan yang berpusat kepada
pasien ?
b. Apa yang anda ketahui tentang membangun kepercayaan ?
c. Apa yang anda ketahui tentang cara berkomunikasi ?
d. Apa yang anda ketahui tentang focus kepada pasien?
e.Apa yang anda ketahui tentang ketrampilan berinteraksi ?
f. Apa yang anda ketahui tentang empati ?
4) Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat kepada pasien ?
a. Bagaimana pandangan/perasaan anda tentang pelayanan
yang berpusat kepada pasien ?
b. Bagaimana kelak anda membangun kepercayaan dengan
pasien ?
c. Bagaimana kelak anda berkomunikasi dengan pasien?
d. Bagaimana kelak anda berempati dan melakukan interaksi
yang berfokus kepada pasien ?
5) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek bias antar profesi
138
a) Sepengetahuan anda bias apa yang sering terjadi terhadap
profesi dokter gigi atau
b) Sepengetahuan anda apa yang sering terjadi terhadap profesi
lain yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan gigi ?
6) Pertanyaan sikap tentang aspek bias antar profesi
a) Kelak bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan
anda terhadap profesi lain dan alasannya ?
b) Kelas bila anda menjadi dokter gigi bagaimana pandangan
profesi lain terhadap anda dan alasannya ?
7) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek Budaya dan Etika
a) Apa yang anda ketahui tentang Etika seorang dokter gigi ?
b) Apa yang anda ketahui tentang hak privasi, kerahasiaan
pasien dan menghormati martabat orang lain ?
c) Apa yang anda ketahui tentang budaya yang unik dan tidak
membedakan latar belakang pasien dalam melakukan
pelayanan kesehatan gigi ? berikan contohnya
d) Pertanyaan sikap untuk aspek budaya dan Etika
e) Bagaimana anda menjaga privacy/kerahasiaan pasien?
f) Bagaimana memberikan pelayanan kesehatan gigi terhadap
pasien dengan berbagai latar belakang ?
8) Pertanyaan pengetahuan tentang aspek berpusat kepada
Komunitas
a) Sepengetahuan anda untuk meningkatkan layanan kesehatan
gigi masyarakat dengan siapa kerjasama perlu dilakukan ?
9) Pertanyaan sikap tentang aspek berpusat pada Komunitas
a) Bila kelak anda menjadi dokter gigi siapa saja yang akan diajak
bekerja sama untuk meningkatkan layanan kesehatan gigi
masyarakat ?
13. Bagian Penutup
a. Diskusi berakhir dengan rangkuman yang dilakukan fasilitator
dan notulis berupa konfirmasi dari setiap jawaban yang
diberikan oleh seluruh peserta.
b. Apabila masih terdapat pertanyaan dari peserta dapat
diberikan jawaban oleh fasilitator
139
c. Fasilitator mengucapkan terimakasih atas partisipasi peserta
FGD dan tahap selanjutnya adalah mengolah data2 yang telah
masuk.
14. Tips agar berhasil FGD :
a. Buat suasana yang hangat dan terbuka agar peserta nyaman
dalam memberikan pendapat.
b. Bila memungkinkan lakukan kontak mata dengan peserta
untuk memberikan suasana menghargai dan menghormati
peserta.
c. Jangan menghakimi respon dari peserta diskusi baik secara
verbal maupun nonverbal (bahasa tubuh)
d. Bila peserta memberikan jawaban yang meragukan, gali lebi
dalam dengan pertanyaan “ apa yang anda maksudkan ? atau
apakah anda dapat memberikan contoh dari hal tersebut ?
e. Pertahankan fokus diskusi dari kelompok. Bila pembicaraan
melenceng ke lain topik, kembali ke topik awal, atau bila ada
pertanyaan yang sulit dijawab oleh peserta FGD susun ulang
pertanyaan tsb dengan kalimat yg lebih mudah.
f. Cegah peserta mendominasi percakapan.
g. Dorong peserta yang pasif untuk berpartisipasi secara aktif.
h. Jangan memberikan persetujuan dalam segala bentuk
jawaban dari peserta baik verbal maupun non verbal.
i. Berikan jawaban singkat berupa kata “ ya atau hm, atau ok”.
140
Lampiran 7 SURAT PERNYATAAN
Bersama surat ini saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti., MKes
Jabatan : Pembimbing I
Dan
Nama : Dr. Adang Bachtiar,MPH, DSc
Jabatan : Pembimbing II
Menyatakan bahwa :
Nama : Marta Juslily
Status : Mahasiswa semester 3 (tiga) MIKG Universitas Trisakti
Angkatan I tahun 2017/2018
Judul tesis : “Perbedaan pengetahuan dan sikap peserta didik terhadap
Interprofessional Education di Institusi Pendidikan
Kedokteran Gigi”
Benar mahasiswa yang tertulis diatas sebagai mahasiswa yang kami bimbing untuk
menyelessaikan tugas pembuatan karya ilmiah berupa Tesis. Adapun surat pernyataan
ini dibuat untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam pengurusan kelengkapan
ethical clearance penelitian yang akan mahasiswa tersebut lakukan.
Demikian surat pernyataan ini kami buat, semoga dapat membantu mahasiswa kami
dalam menyelesaikan penelitiannya. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan
terima kasih.
Jakarta, Oktober 2018
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti., MKes Dr. Adang Bactiar, MPH., DSc