KEDOKTERAN GIGI TERPADU - karya ilmiah universitas trisakti

81
Scientific Journal in Integrated Dentistry Januari 2019. Volume 05. No. 01 ISSN : 977 2407841 159 KEDOKTERAN GIGI TERPADU Jurnal Ilmiah Jurnal Ked.Gigi Terpadu Vol. 5 No. 01 Hlm. 1-73 Januari 2019 ISSN 977 2407841 159

Transcript of KEDOKTERAN GIGI TERPADU - karya ilmiah universitas trisakti

Scientific Journal in Integrated Dentistry

Januari 2019. Volume 05. No. 01

ISSN : 977 2407841 159

KEDOKTERAN GIGI TERPADU

Jurnal Ilmiah

Jurnal Ked.Gigi Terpadu

Vol. 5 No. 01 Hlm. 1-73 Januari 2019

ISSN 977 2407841 159

Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU

Penasehat :

Prof.Dr.Tri Erri Astoeti A., drg., MKes (Dekan FKG USAKTI)

Penanggung Jawab:

Dr. Wita Anggraini, MBiomed., drg., PAK., SpPerio

Pemimpin Redaksi:

Enrita Dian Rahmadini, drg.Sp.KGA

Dewan Redaksi:

Caroline D. Marpaung, drg.Sp.Pros

Tri Putriany Agustin, drg.Sp.KGA

Arianne Dwimega, drg. Sp.KGA

Armelia Sari, drg..MBiomed

Goalbertus, drg.,MM

Mitra Bestari:

Prof.Dr. Boedi Oetomo R., drg., M.Biomed (Usakti)

Prof. Dr.Melanie H.Sadono,drg., M.Biomed (Usakti)

Prof.Dr. Bambang S.Trenggono, drg.,MBiomed (Usakti)

Prof. Dr. Lies ZubardiahM. Qosim, drg., Sp.Perio (Usakti)

Prof.Dr.F.Loes Djimahit S, drg., M.Kes (Usakti)

Prof. Dr. Tri Erri Astoeti, drg., M.Kes (Usakti)

Prof.Dr. E.Arlia Budiyanti,drg., SU (Usakti)

Prof.Dr. Suzan Elias, drg., Sp.Prost (Usakti)

Prof.Dr.S.S. Winanto, drg., Sp.KG (Usakti)

Prof. Anton Margo, drg., Sp.Pros (Usakti)

Prof. Janti Sudiono, drg., MDSc (Usakti)

Alamat Redaksi:

Bagian Kesehatan Gigi Anak

Fakultas Kedokteran Gigi-Universitas Trisakti

Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta 11440 Indonesia

Telepon: 021-5672731 ext. 1604

Email: [email protected]

Kata Pengantar

Pembaca yang budiman

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan

pertolongannya Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu dapat terbit di awal tahun 2019. Berkala

Jurnal ilmiah ini akan terbit setahun dua kali yaitu pada bulan Januari dan Juli. Di dalam volume

ini kami menyajikan artikel-artikel yang beragam dari berbagai bidang ilmu, yang meliputi:

Biologi Oral, Ilmu Anatomi, Mikrobiologi, Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Radiologi, Ilmu Bedah

Mulut, Ilmu Penyakit Mulut, Ortodonsia, Periodonsia, Prostodonsia dan Ilmu Konservasi Gigi.

Kami berharap sajian kali ini dapat memperkaya khasana Ilmu Kedokteran Gigi secara

terpadu. Redaksi berharap masukan serta dukungan para penulis dan pembaca demi

kelanggengan berkala ilmiah ini.

Salam Redaksi

Jurnal Ilmiah

KEDOKTERAN GIGI TERPADU

ISSN 977 2407841 159 Vol. 05, No. 01, Januari 2019

Daftar Isi

Penatalaksanaan Kasus Pencabutan Gigi Depan dengan Gigi Tiruan

Sebagian Lepasan Imidiat

(Laporan Kasus)

Andy Wirahadikusumah

1 – 5

Pengaruh Sikat dan Pasta Gigi Terhadap Kekasaran Permukaan Resin

Komposit Nanohibrida

(Laporan Penelitian) Deviyanti Pratiwi, Selvia Rizki Mulya

6 – 9

Pengaruh Bahan Bleaching Karbamid Peroksida 20% Dan 35% Terhadap

Kekerasan Resin Komposit Tipe Nano Hibrid

(Laporan Penelitian)

Dewi Liliany Margaretta, Reinaldo Sugianto

10 – 16

Regenerasi Tulang pada Kasus Abses Apikalis Kronis

(Laporan Kasus)

Elline

17 – 20

Hubungan Antara Gigi Berjejal Dan Gingivitis

(Laporan Penelitian)

Lies Zubardiah, Marilyn Octavia

21 – 27

Pertumbuhan Linier (stature) dan Tulang Dentofasial pada Penderita

Talasemia Beta Mayor

(Studi Pustaka)

Loes D Sjahruddin

28 – 32

Pentingnya Faktor Ergonomi dalam Penerapan Manajemen Keselamatan

dan Kesehatan Kerja Guna Pencegahan Nyeri Punggung Bawah pada

Dokter Gigi

(Studi Pustaka)

Mita Juliawati

33 – 40

Perawatan Ortodonti Paska Bedah Ortognati

(Tinjauan Pustaka)

Olivia Piona Sahelangi

41 – 45

Potensi Ekstrak Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans) untuk

Mempercepat Penyembuhan Luka di Rongga Mulut

(Tinjauan Pustaka)

Moehamad Orliando Roeslan

46 – 52

Endokarditis Bakterialis pada Anak : Suatu Tinjauan Untuk Dokter Gigi

(Studi Pustaka)

Sri Ratna Laksmiastuti

53 – 58

Infeksi pada Dental Implan Serta Perawatannya

(Studi Pustaka)

Trijani Suwandi

59 – 65

Prevalensi Premature Loss Gigi Molar Kedua Sulung Dan Gambaran

Maloklusi. Kajian pada Pasien ortodonti RSGM Universitas Trisakti

tahun 2013– 2016

(Laporan Penelitian)

Yuniar Zen, Krisnadya Dewa Yanti

66 – 73

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

1

Penatalaksanaan Kasus Pencabutan Gigi Depan dengan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan

Imidiat

(Laporan Kasus)

Andy Wirahadikusumah

Staf Pengajar Bagian Prostodontik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,

ABSTRACT

Background: Almost all physical changes or loss cause psychological trauma to the patient. For

instance, patient may experience low self-esteem, get easily annoyed, and angry. Similar condition

may occur in patients who lost their front teeth. To add to psychological trauma, problems in

mastication and phonetic function may also develop. Objective: To discuss immediate removable

denture treatment management as a treatment alternative in cases with an esthetic function needs.

Case Report and Management: Patient came with fracture and mobile front teeth. The treatment

plan is to extract the anterior teeth, but patient doesn’t want to undergo edentulous period because of

low self-esteem of meeting other people.Treatment alternative for patient who doesn’t want to

undergo edentulous period is by making an Imidiate Removable Partial Denture ( IRPD ). Imidiate

removable partial denture inserted directly on the same day after teeth extraction.

Conclusion : Imidiate Removable partial denture can be an alternative to replace conventional

removable partial denture in which case of patient doesn’t want to undergo edentulous period . This

denture can be made for patient who already use removable partial denture and patient who never

used it.

Key word: Imidiate removable partial denture, acrylic removable partial denture, edentulous period

PENDAHULUAN

Estetik dan fonetik merupakan masalah

utama yang harus dihadapi oleh pasien akibat

kehilangan gigi atau gigi gigi depannya. Untuk

mengatasi masalah ini dapat dibuatkan gigi

tiruan yang dipasang segera setelah gigi gigi

depan tersebut dicabut dan dikenal sebagai gigi

tiruan imidiat.

Suatu gigi tiruan imidiat adalah gigi tiruan

yang dibuat sebelum pencabutan gigi atau gigi

gigi asli dan dipasang segera setelah pencabutan

gigi tersebut. Pembuatan gigi tiruan imidiat ini

dapat dilakukan pada kasus-kasus dengan

pembuatan geligi tiruan cekat (bridge), gigi

tiruan lepasan penuh dan gigi tiruan sebagian

lepasan dan dapat dibuat baik untuk satu maupun

untuk kedua rahang. Pada kasus yang akan

dibuatkan gigi tiruan penuh imidiat pada rahang

atas dan bawah sebaiknya dilakukan bersamaan

untuk menghindari penyusunan gigi-gigi yang

mengikuti bidang oklusal gigi asli yang tersisa

dimana biasanya telah mengalami perubahan

yang merugikan. 1

Gigi tiruan lepasan imidiat dapat berfungsi

sebagai gigi tiruan sementara (transisional

denture) dimana setelah penyembuhan luka

pencabutan dibuatkan gigi tiruan yang baru,

sedangkan bila berfungsi sebagai gigi tiruan tetap

maka gigi tiruan imidiat tersebut perlu dilakukan

penyesuaian dan perbaikan sesuai dengan proses

penyembuhan luka pencabutan dengan

melakukan direct relining. 2

Gigi tiruan sebagian lepasan imidiat dapat

dibuat baik untuk gigi depan maupun untuk gigi

belakang , akan tetapi untuk gigi depan gigi gigi

tiruan ini lebih sering dibuat guna

menanggulangi trauma psikologis akibat

terganggunya estetik dan fonetik. Gigi tiruan

sebagian lepasan imidiat untuk gigi belakang

biasanya dibuat pada pasien yang membutuhkan

peningkatan fungsi mastikasi, misalnya pada

pasien dengan kelainan fungsi lambung dan gigi

tiruan jenis ini jarang dibuat. 2

TINJAUAN PUSTAKA

Kehilangan gigi depan dapat disebabkan

karena pencabutan gigi yang terpaksa dilakukan

untuk memperbaiki estetik pasien, misalnya pada

kasus protrusi gigi depan yang terlalu ekstrim

atau disebabkan akibat penyakit periodontal yang

biasanya disertai dengan terdapatnya karies pada

daerah servikal gigi atau bahkan pada permukaan

akar gigi. Untuk mengatasi masalah kehilangan

gigi tersebut biasanya dibuatkan gigi tiruan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

2

imidiat yang dapat berupa gigi tiruan cekat

imidiat atau gigi tiruan lepasan imidiat. Gigi

tiruan lepasan imidiat dapat berupa gigi tiruan

sebagian lepasan bila masih terdapat beberapa

gigi posterior atau dapat berupa gigi tiruan penuh

imidiat bila gigi gigi posterior telah dicabut atau

pasien telah memakai gigitiruan sebagian lepasan

berujung bebas (free end denture).3

Perawatan dengan pembuatan gigi tiruan

imidiat ini sebaiknya diberikan untuk pasien

pasien dengan kondisi kesehatan umumnya baik,

berusia relatif muda, memperhatikan

keberhasilan mulut nya, pasien yang dapat

bekerja sama (kooperatif). 2,3

Ada 2 tipe/jenis dari gigi tiruan sebagian

lepasan imidiat gigi anterior yaitu: tanpa sayap

(dengan soket); dengan sayap sebagian atau

penuh. (Gambar.1.). Indikasi kedua jenis gigi

tiruan ini sangat dipengaruhi oleh tipe profil

wajah pasien atau hubungan antara rahang atas

dan rahang bawah dari pasien sedangkan gigi

tiruan sebagian lepasan imidiat dengan sayap

penuh dibuat untuk kasus pencabutan gigi

anterior dengan alveolektomi atau tanpa

alveolektomi. Hal hal yang penting yang perlu

dipertimbangkan dalam menentukan tipe gigi

tiruan sebagian lepasan imidiat adalah :

kedalaman gerong labial; tonus bibir; aktifitas

bibir; besar/derajat kelainan periodontal; bentuk

tulang alveolar; tindakan pembedahan

(alveolektomi). 2

Gambar.1. Tipe gigi tiruan sebagian lepasan imidiat

gigi anterior yaitu: a. tanpa sayap (dengan soket), b.

dengan sayap sebagian, c. dengan sayap penuh.2

Adapun indikasi khusus untuk gigi tiruan

lepasan imidiat (GTSI) gigi anterior tersebut

adalah:

1. GTSI gigi anterior tanpa sayap:

a. Terdapat daerah gerong dalam pada bagian

labial daerah tak bergigi.

b. Bentuk bibir yang pendek dan aktif

sehingga pemakaian sayap akan

mengganggu estetik.

c. Kasus yang membutuhkan tindakan bedah

yang minimalis.

2. GTSI gigi anterior dengan sayap sebagian

a. Terdapat gerong pada bagian labial daerah

tak bergigi

b. Sayap dibutuhkan sebagai splin setelah

tindakan bedah

3. GTSI gigi anterior dengan sayap penuh:

a. Terdapat sedikit gerong dalam pada bagian

labial linggir sisa.

b. Bentuk bibir yang panjang dan

aktivitasnya normal.

c. Kasus dengan kelainan periodontal,

dimana tulang pendukung sekitar gigi

yang akan dicabut, sudah banyak hilang.

Sedangkan kontraindikasi untuk gigi tiruan

lepasan imidiat (GTSI) gigi anterior adalah:

1. GTSI gigi anterior tanpa sayap:

a. Penderita dengan kelainan periodontal

disertai resorpsi tulang alveolar.

b. Kasus dengan bentuk tulang alveolar tak

beraturan

2. GTSI gigi anterior dengan sayap sebagian

a. Penderita dengan bibir hiperaktif, sehingga

penggunaan sayap akan menyebabkan

terlihatnya mukosa, sehingga member efek

estetik yang buruk

b. Keadaan sosial dan ekonomi pasien

kurang, padahal pembuatan gigi tiruan

semacam ini perlu koreksi, sehingga perlu

biaya tambahan.2

3. GTSI gigi anterior dengan sayap penuh:

a. Pasien dengan gerong dalam pada region

labial linggir sisa.

b. Pasien dengan profil protrusif, sehingga

adanya sayap memberi kesan mulut jadi

penuh.2

Seperti halnya perawatan dengan

pembuatan gigi tiruan konvensional, maka

perawatan dengan pembuatan gigi tiruan imidiat

juga mempunyai keuntungan antara lain: pasien

tidak merasakan periode tidak bergigi yang dapat

menimbulkan rasa malu/rendah diri karena tidak

merasakan adanya perubahan penampilan dan

bicara; gigi tiruan menjadi pelindung terhadap

luka pencabutan sehingga akan mengurangi rasa

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

3

sakit, pembengkakan dan perdarahan; adaptasi

terhadap gigi tiruan lebih baik karena pasien

langsung memakai gigi tiruan setelah pencabutan

gigi; pasien tidak perlu mempertahankan gigi

gigi yang telah mengalami kerusakan;

mempercepat terjadinya penyembuhan luka

bekas pencabutan. Sedangkan hal yang

merugikan dari perawatan dengan pembuatan

suatu gigi tiruan imidiat adalah: waktu perawatan

menjadi lebih panjang; memerlukan biaya yang

lebih besar karena biasanya memerlukan relining

atau rebasing; tidak dapat melakukan tahap

mencoba gigi tiruan malam untuk mengamati

segi estetik; indikasi terbatas; kecekatan tidak

dapat bertahan untuk waktu yang lama akibat

resorbsi alveolar setelah pencabutan.3,4

Beberapa hal yang perlu disampaikan pada

pasien setelah gigi tiruan dipasang yaitu: pada

malam hari pertama gigi tiruannya jangan dilepas

dahulu agar tidak terjadi pembengkakan; untuk

beberapa hari disarankan makan makanan yang

lunak dan membersihkan gigi tiruannya dengan

berkumur; hari kedua gigi tiruan sudah dapat

dilepas untuk dibersihkan dengan sikat halus dan

sabun dan kemudian segera dipakai kembali.

Selain itu pasien diberi obat antibiotik, anti

inflamasi dan analgetik untuk mencegah

terjadinya infeksi dan pembengkakan.3

Pasien diminta untuk kembali / kontrol

keesokan harinya, pada kunjungan ini operator

perlu memeriksa ada tidaknya penyimpangan

oklusi dan artikulasi. Kontrol selanjutnya satu

minggu kemudian untuk memeriksa kembali ada

tidaknya kesalahan oklusi , dan kontrol

berikutnya satu bulan kemudian untuk melihat

apakah sudah diperlukan perbaikan dengan

melakukan relining.

Contoh – Contoh Kasus Yang Memerlukan

Pembuatan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan

Imidiat

Kasus I

Pasien pria 58 tahun , profesi sebagai

eksekutif ingin memperbaiki penampilan karena

gigi depan atas kiri terkena sundul cucunya

sehingga giginya goyang, pasien ingin

memperbaiki penampilan dan tidak ingin

mengalami periode tidak bergigi. Keadaan intra

oral: terdapat cantilever bridge dengan dukungan

pada gigi 21 dan 22 serta pontik diantara 11 dan

21 goyang derajat 3, mengalami ekstrusi,

gambaran rontgent foto terjadi resorpsi sampai

1/3 akar, gigi 12 dan 11 PFM, gigi gigi yang lain

tak ada kelainan.

Rencana perawatan:

Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan

imidiat dengan sayap pada gigi 21,22 dan gigi

diantara insisif sentral, pembuatan sayap ini

untuk memudahkan relining dikemudian hari,

mengingat gigi gigi sudah goyang derajat 3 dan

resorpsi yang akan terjadi lebih besar.

Tahap pekerjaan:

Pada kunjungan pertama dilakukan

anamnesis, pemeriksaan ekstraoral dan intraoral.

Selain itu dilakukan probing pada bagian labial –

lingual, mesial – distal dari regio yang nantinya

akan dilakukan ekstraksi yaitu regio 11,21,22.

Setelah itu dilakukan pencetakan rahang atas dan

rahang bawah serta seleksi warna dan bentuk

gigi.

Setelah didapatkan model kerja, dilakukan

peradiran pada regio 11,21,22 serta bagian labial

11, 21,22 untuk tempat sayap anterior dari gigi

tiruan lepasan imidiat sebelum dikirim ke

laboratorium gigi untuk dilakukan pembuatan

gigi tiruannya.

Pada kunjungan kedua setelah gigi tiruan

selesai. Pasien dilakukan ekstraksi pada BW

11,21,22 nya yang sudah longgar. Setelah

tindakan ekstraksi dilakukan, segera dilakukan

pemasangan gigi tiruan 11,21,22 dengan sayap

pada pasien. Pasien diinstruksikan untuk kontrol

setelah 24 jam. (Gambar.2.)

Gambar.2. Foto sebelum dan sesudah perawatan.

Estetik pasien tampak lebih baik

Kasus II

Pasien pria usia 20 tahun , bekerja sebagai

petugas kebersihan di sebuah rumah sakit, datang

ingin memperbaiki giginya yang patah.

Rencana perawatan:

Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan imidiat

dengan soket

Tahap pekerjaan:

Pada kunjungan pertama dilakukan

anamnesis, pemeriksaan ekstraoral dan intraoral.

Selain itu dilakukan probing pada regio

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

4

11,12,21,22. Setelah itu dilakukan pencetakan

rahang atas dan rahang bawah serta seleksi

warna dan bentuk gigi.

Setelah didapatkan model kerja, dilakukan

peradiran pada regio 11,12,21,22. Setelah itu

dikirim ke laboratorium gigi untuk dilakukan

pembuatan gigi tiruannya.

Pada kunjungan kedua setelah gigi tiruan

selesa. Pasien dilakukan ekstraksi gigi 11,12,22

nya yang fraktur. Setelah tindakan ekstraksi

dilakukan, segera dilakukan pemasangan gigi

tiruan lepasan imidiat dengan socket pada pasien.

Pasien diinstruksikan untuk kontrol setelah 24

jam. (Gambar.3)

Gambar.3. foto sebelum dan sesudah perawatan,

Tampak gigi tiruan imidiat dengan socket (tanpa

sayap)

Kasus III:

Pasien pria berusia 32 tahun, pedagang

kain, ingin dibuatkan gigi tiruan , gigi gigi 26,

36, 34, 32, 42, 46, sudah dicabut akibat kelainan

periodontal yang progresif, sedangkan gigi gigi

11, 21, 22, 31, 33, 34 dan 41 goyang derajat 3.

Pasien mengeluhkan estetik gigi anterior nya

yang tampak sudah modot dan goyang sehingga

menganggu aktifitas pekerjaannya sehari –hari.

Melalui pemeriksaan sendi rahang pasien

ditemukan adanya krepitasi pada sendi kiri dari

pasien. Tekanan darah dan gula darah masih

dalam batas normal.

Rencana perawatan:

Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan imidiat

dengan sayap penuh.

Tahap pekerjaan:

Kunjungan pertama:

Pencetakan Model Kerja RA dan RB dengan

bahan Alginate, pengukuran poket gigi regio 11,

21, 22, 31, 33, 34 dan 41.

Seleksi warna, bentuk dan ukuran gigi.

Surveying dan Penutupan Gerong Model Kerja.

Pemasangan model pada articulator.

Peradiran gigi 11, 21, 22, 33, 31 dan 41.

Menentukan Desain gigi tiruan.

Setelah itu dikirimkan ke laboratorium gigi untuk

dilakukan pembuatan gigi tiruan lepasannya

sesuai desain yang telah kita buat.

Kunjungan kedua:

Pencabutan gigi 11, 21, 22, 33, 31 dan 41.

Pemasangan gigi tiruan lepasan imidiat dengan

sayap penuh. (Gambar.4.)

Instruksi kepada pasien cara pemakaian gigi

tiruan dan datang kontrol 24 jam.

Gambar.4. foto sebelum dan sesudah perawatan,

Tampak estetik pasien jauh lebih baik

PEMBAHASAN

Pada Kasus I : gigi tiruan dibuat dengan

dengan sayap untuk memudahkan tindakan

relining, mengingat gigi gigi sudah mengalami

goyang derajat 3 dimana kemungkinan resorpsi

tulang alveolar lebih banyak.

Pada kasus II : Gigi tiruan imidiat dibuat

dengan soket agar seolah olah elemen gigi tiruan

berada pada posisi gigi aslinya , mengingat

daerah servikal dan akar gigi masih baik dimana

belum terjadi resorpsi dari alveolar penyangga

gigi yang dicabut.

Pada Kasus III : Sayap pada gigi tiruan

dari kasus ini berfungsi sebagai splint untuk

mengurangi rasa sakit, pembengkakan dan

perdarahan akibat tindakan ekstraksi regio gigi

yang cukup luas yaitu 11, 21, 22, 33, 31 dan 41.

Selain itu sayap gigi tiruan juga untuk menutupi

resorpsi tulang yang cukup besar karena adanya

periodontitis agresif generalized pada pasien.

KESIMPULAN

Pembuatan gigi tiruan imidiat anterior

merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi

keinginan pasien dengan segera guna

memperbaiki estetik dan fonetik yang biasanya

menyebabkan rasa rendah diri. Pada perawatan

pasien dengan pembuatan gigi tiruan imidiat

diperlukan perencanaan yang matang karena

tahap mencoba gigi tiruan malam tidak dapat

dilakukan sehingga pasien dan operator tidak

dapat menilai gigi tiruan tersebut terlebih dahulu

sebelum disalin ke akrilik.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 1-5

5

DAFTAR PUSTAKA

1. Zarb GA, Hobkirk JA, Eckert SE, Jacob RF.

Prosthodontic Treatment for Edentulous

Patients Complete Denture and Implant

Supported Prostheses. Ed. Ke-13. St.Louis:

Elsevier; 2013: 152 -155.

2. Gunadi HA, dkk. Buku Ajar Ilmu Geligi

Tiruan Sebagian Lepasan Jilid II. Edisi 1.

Hipokrates, Jakarta: 1995: 367-378.

3. Bolender CL, Zarb GA. Buku Ajar

Prostodonti untuk Pasien Tidak Bergigi

Menurut Boucher. Ed. Ke-10. Penerjemah:

Mardjono ND. Jakarta: EGC Penerbit Buku;

1994: 456-480.

4. Winkler S. Essentials of Complete Dentures

Prosthodontics. Philadelphia: WB.Saunders;

1979: 517-538.

5. Jorgensen EB. Prosthodontic for the Elderly

(Diagnosis and Treatment). Ed ke-1. Chicago:

Quintessence; 1999: 153-167.

6. Ellinger CW, Rayson JH, Terry JH, Rahn

AD. Synopsis of Complete Denture.

Philadelphia: Lea & Febicer; 1975: 293-298.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

6

Pengaruh Sikat dan Pasta Gigi Terhadap Kekasaran Permukaan Resin Komposit

Nanohibrida

(Laporan Penelitian)

Deviyanti Pratiwi1, Selvia Rizki Mulya2 1 Staf Pengajar Bagian Bahan Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT

Background: Nanohybrid composite resins have good mechanical durability and smooth surfaces.

The surface roughness of the composite resin restoration is often found in patients and may be caused

by the abrasive materials and mechanical activity of mechanical friction between tooth paste and

toothbrush with the surface of restoration. Aim: To determine the effect of brushes and toothpastes on

the surface roughness of nanohybrid composite resins. Methods: Comparison of surface roughness

using surface roughness tester before and after brushing on 8 samples of nanohybrid composite resins

with a diameter of 6 mm and a height of 3 mm. Brushing the sample is done using a brushing machine

simulation at a speed of 250 cycles per minute for 4 hours with a back and forth movement using a

toothbrush with medium brush bristles and adult toothpaste. Results: The paired t-test showed the

average value before brushing was 5.3788 ± 2.44104 µm and after brushing was 5.6700 ± 2.55310 µm

with p = 0.002 (p <0.05), meaning there was a difference in the surface roughness of the nanohybrid

composite resin significantly before and after brushing. Conclusion: Mechanical activities and

abrasive materials from the use of brushes and toothpaste that are routinely carried out have an effect

on the surface roughness of the nanohybrid composite resins.

Keyword: nanohybrid composite resins, toothbrush, toothpaste, abrasive, surface roughness

PENDAHULUAN

Resin komposit nanohibrida terdiri dari

partikel berukuran mikrometer dan nanometer

yang memiliki daya tahan mekanis yang baik

seperti komposit tipe macrofilled serta

menghasilkan permukaan yang halus seperti tipe

microfilled, sehingga resin tipe ini dapat

digunakan pada restorasi anterior maupun

posterior.1,2 Pada umumnya, resin komposit

nanohibrida memiliki komponen utama yang

sama seperti komposit lainnya yaitu matriks resin,

pengisi anorganik, pengikat dan bahan tambahan

seperti inisiator, akselerator, inhibitor, dan

pigmen. Hal yang membedakan hanyalah

ukurannya.3 Semakin kecil isi ukuran partikel,

semakin meningkatkan nilai estetik resin

tersebut.4

Perawatan kebersihan mulut sehari-hari

yaitu penggunaan sikat dan pasta gigi tidak dapat

dihindari. Abrasi utama dihasilkan dari gesekan

mekanis antara pasta gigi pada sikat gigi dengan

permukaan tumpatan. Hal ini berpengaruh

terhadap kekasaran permukaan tumpatan yang

dapat menyebabkan timbulnya masalah estetik

berupa perubahan warna pada tumpatan serta

memudahkan perlekatan koloni bakteri yang

dapat menyebabkan timbulnya karies sekunder.5,

Setiap substrat komponen tumpatan

memiliki ketahanan masing-masing terhadap

abrasi dari sikat dan pasta gigi. Cara penyikatan

gigi yang salah dapat menyebabkan pengikisan

pada permukaan tumpatan. Selain itu, pasta gigi

memiliki kandungan bahan abrasi yang tinggi

sehingga dapat merusak jaringan keras, jaringan

lunak dan restorasi, menyebabkan resesi gingiva,

abrasi servikal, dan dentin hipersensitivitas.6

Kalsium karbonat dan silika adalah bahan-bahan

yang pada umumnya menyebabkan abrasi. 6

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah eksperimental

berupa uji laboratoris in vitro yang dilakukan di

laboratorium BKG dan Laboratorium metodologi

teknik industri Universitas Trisakti. Sebanyak 8

sampel resin komposit nanohibrida yang sesuai

kriteria yaitu berbentuk silindris, berukuran

diameter 6 mm dengan tinggi 3 mm, padat,

permukaan rata dan tidak berporus dilakukan uji

kekasaran permukaan yang diukur menggunakan

alat surface roughness tester.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

7

Uji kekasaran permukaan dilakukan

sebanyak dua kali pada masing-masing sampel,

yaitu sebelum dan setelah dilakukan penyikatan

gigi dengan menggunakan pasta gigi. Sampel

diletakkan ke alat surface roughness tester dengan

posisi tidak boleh menggantung atau menekan.

Kekasaran permukaan dihitung sebagai

penyimpangan rata-rata arimetik terhadap lembah

atau dasar permukaan dan puncak permukaan,

dengan memakai salah satu parameter Ra dan µm

(mikrometer).

Gambar 1. Pengukuran kekasaran

Penyikatan sampel dilakukan

menggunakan mesin simulasi penyikatan gigi

pada kecepatan 250 siklus permenit selama 4 jam

dengan gerakan maju mundur dan kepala sikat

gigi berada di atas permukaan sampel. Penyikatan

selama 4 jam diasumsikan sebagai kebiasaan

menyikat gigi selama 2 menit dalam sehari selama

2 bulan. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan sikat gigi dengan bulu sikat

medium dan pasta gigi dewasa.

Gambar 2. Penyikatan sampel

HASIL

Setelah dilakukan penelitian dan

pengumpulan data dengan melakukan uji

kekerasan permukaan menggunakan alat surface

roughness tester (µm), dilakukan analisis statistik.

Hasil uji kekasaran permukaan pada sampel resin

komposit nanohibrida dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Perubahan kekasaran permukaan pada resin

komposit nanohibrida RESIN KOMPOSIT NANOHIBRIDA

Nomor

Sampel

Sebelum

A

Sesudah

B

Selisih

C

1 4,92 5,08 0,16

2 3,05 3,08 0,03

3 4,08 4,10 0,02

4 10,90 11,00 0,10

5 6,43 7,80 1,37

6 4,09 4,23 0,14

7 4,32 4,66 0,34

8 5,24 5,41 0,17

Uji t-berpasangan pada derajat kemaknaan

(p<0.05) digunakan untuk melihat ada tidaknya

perbedaan hasil yang signifikan.

Tabel 2. Analisis statistik kekasaran permukaan resin

komposit nanohibrida (µm) sebelum dan sesudah

penyikatan dengan pasta gigi.

Variabel N Mean SD P -Value

Sebelum

Penyikatan

Komposit

8 5.3788 2.44104

0,002 Sesudah

Penyikatan

Komposit

8 5.6700 2.55310

Hasil perhitungan uji t berpasangan pada

komposit didapatkan nilai rata-rata sebelum

penyikatan gigi selama 4 jam adalah 5.3788 ±

2.44104 µm dan sesudah penyikatan adalah

5.6700± 2.55310 µm dengan nilai p = 0.002

(p<0.05), artinya terdapat perbedaan terhadap

kekasaran permukaan komposit sebelum dan

sesudah penyikatan selama 4 jam secara

signifikan.

PEMBAHASAN

Abrasi utama dihasilkan dari pasta gigi dan

sikat gigi. Permukaan kasar akan mempengaruhi

adhesi bakteri dengan meningkatkan retensi plak.

Hasil penelitian sebelumnya mengenai sikat gigi

pada orang dewasa telah menunjukkan tingkat

abrasi yang berbeda akibat dari tinggi atau lebih

rendah filamen atau kontak pasta gigi daerah

dengan permukaan substrat.7,8 Perbedaan

kharateristik bahan abrasif yang terdapat pada

setiap pasta gigi juga dapat menimbulkan tingkat

kekasaran permukaan yang berbeda.6,9 Abrasi

yang timbul akibat aktivitas menyikat gigi

merupakan suatu fenomena yang sering

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

8

ditemukan pada permukaan bukal gigi maupun

restorasi.10

Hasil analisis statistika uji t–berpasangan

resin komposit nanohibrida menunjukkan

terjadinya peningkatan kekasaran permukaan

dengan nilai p=0.002 (p<0.05), maka hipotesa

penelitian (H0) ditolak, sehingga dapat diartikan

adanya perbedaan kekasaran permukaan antara

resin komposit nanohibrida sebelum dan sesudah

penyikatan secara signifikan atau bermakna. Hasil

penelitian ini didukung oleh penelitian Carolina

dkk yang menyatakan bahwa resin komposit yang

disikat dengan pasta gigi yang mengandung bahan

abrasif menyebabkan kerusakan pada substrast

yang mampu mengubah kekasaran permukaan

pada resin komposit.11 Penelitian oleh Monteiro

dkk juga menyebutkan bahwa sikat gigi

mempengaruhi peningkatan kekasaran

permukaan resin komposit, semakin lama waktu

menyikat maka semakin meningkat kekasaran

permukaan komposit.6

Resin komposit nanohibrida terdiri dari

kombinasi ukuran partikel filler sehingga ikatan

antara filler dan matrix menjadi lebih kuat. Resin

komposit nanohibrida juga memiliki banyak

kandungan bahan filler, sehingga memiliki

ketahanan yang kuat terhadap suasana asam.12,13,14

Akan tetapi, sifat suatu material kedokteran gigi

yang dapat menyerap air dan larut dalam air juga

dapat mempengaruhi kelenturan, kekuatan tekan,

dan kekasaran permukaan bahan restorasi.

Penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwa

kekasaran permukaan terjadi pada semua restorasi

komposit, tidak ditemukan perbedaan kekasaran

yang timbul akibat aktivitas menyikat gigi pada

komposit nanohibrid dan nanokomposit.6

Kekasaran permukaan pada bahan restorasi

dapat meningkatkan kemungkinan kolonisasi

bakteri dan maturasi plak sehingga memperbesar

kemungkinan terjadinya karies sekunder dan

inflamasi pada jaringan periodontal.15 Terdapat

berbagai cara yang dipakai untuk mengatasi

proses penyusutan dan mencegah peningkatan

kekasaran permukaan pada tumpatan, seperti:

menambah bonding agent, menambah lapisan

daya tahan elastis, meningkatkan intensitas light

curing, memakai teknik peletakan bahan resin

komposit lapis demi lapis, menggunakan

monomer low-shrinking dan memasukkan bahan

fluoride pada monomer resin untuk mencegah

terjadinya marginal gaps pada kavitas.16

Struktur kompleks dari suatu permukaan

bahan tidak hanya cukup diukur menggunakan

alat surface roughness tester, banyak penelitian

yang menyarankan untuk dilakukan kombinasi

pengujian dengan menggunakan analisis SEM

dengan tujuan melakukan evaluasi ulang.12

KESIMPULAN

Hasil pengujian ini menunjukkan pengaruh

aktifitas mekanis dan bahan abrasive pada

penggunaan sikat dan pasta gigi terhadap

kekasaran permukaan tumpatan. Kekasaran

permukaan tumpatan sesudah penyikatan gigi

lebih besar dibandingkan sebelum penyikatan

gigi menggunakan sikat gigi dewasa dengan

bulu sikat medium dan pasta gigi pada

permukaan tumpatan resin komposit

nanohibrida.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap

kelompok sampel yang lebih besar atau

frekuensi penyikatan yang lebih lama agar

didapat tingkat validitas yang lebih tinggi

sehingga perubahan sifat kekasaran permukaan

yang disikat terlihat lebih jelas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sakaguchi R, Powers J. Craig’s restoration

dental materials. 13th ed. Saint Louis:

Elsevier; 2012. 161-75.

2. Jain A, Deepthi D, Tavane PN, Singh A,

Gupta A, Sonkusre S. Evaluation of

microleakage of recent nano-hybrid

composites in class v restorations: An in vitro

study. Int J Adv Heal Sci. 2015;2(1): 8-12.

3. Moares RR, Concalves JS, Lancerlloti AC.

Nanohybrid Resin Composites: Nanofiller

Loaded Materials or Traditional

Mycrohybrid Resins. Operative Dentistry.

2009; 34(5): 551-557.

4. Maghfiroh H, Nugroho R, Probosari N. The

Effect of Carbonated Beverage to The

Discoloration of Polished and Unpolished

Nanohybrid Composite Resin. J

Dentomaxillofac Sci. 2016; 1(1) : 19-27.

5. Tantanuch S, Kukiattrakoon B,

Peerasukprasert T, Chanmanee N,

Chaisomboonphun P, Rodklai A. Surface

roughness and erosion of nanohybrid and

nanofilled resin composites after immersion

in red and white wine. J Conserv Dent. 2016;

19 (1): 51-5

6. Monteiro B, Spohr AM. Surface Roughness

of Composite Resins after Simulated

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 6 – 9

9

Toothbrushing with Different Dentifrices. J

Int Oral Health 2015; 7(7): 1–5.

7. Paula AB, Correr GM, Sinhoreti MAC,

Puppin-rontani RM. Child Toothbrush

Abrasion Effect on. J Dent child. 2008.

8. Hussein TA, Zaripah W, Bakar W, Ghani

ZA, Mohamad D. The assessment of surface

roughness and microleakage of eroded tooth-

colored dental restorative materials. J

Conserv Dent. 2014;17(6):531–6.

9. Liljeborg A, Tellefesen G, Johannsen G. The

use of a profilometer for both quantitative

and qualitative measurements of toothpaste

abrasivity. Int J Dent Hyg 2010; 8 (3): 237-

43.

10. Chimello, DT, Palma-Dibb RG, Corona SA,

Lara E. Assessing wear and surface

roughness of different composite resins after

tooth brushing. Mater Res 2001; 4: 285-9.

11. Carolina A, Rocha DC, Santiago C, Lima A

De, Moreira C, Antonio M, et al. Evaluation

of Surface Roughness of a Nanofill Resin

Composite After Simulated Brushing and

Immersion in Mouthrinses, Alcohol and

Water. Material Research.2010;13(1):77–80.

12. Ergucu Z, Turkun LS. Surface roughness of

novel resin composites polished with one

step systems. Oper Dent. 2007; 32(2): 185-

92

13. Han L, Okamoto A, Fukushima M, Okiji T.

Evaluation of flowable resin composite

surface eroded by acidic and alcoholic

drinks. Dent Mater J. 2008; 27(3):455-65.

14. Alifen GK, Soetojo A, Saraswati W.

Differences in surface roughness of

nanohybrid composites immersed in varying

concentrations of citric acid. Dent Journal.

2017 June; 50(2): 102-5.

15. Gigi JK, Permatasari AP, Yanuar M, Nahzi I.

Kekasaran Permukaan Resin Modified Glass

Ionomer Cement Setelah Perendaman Dalam

Air Sungai (Penelitian Menggunakan Air

Sungai Desa Anjir Pasar, Barito Kuala ,

Kalimantan Selatan ). Dentino Jur Ked

Gigi.2016;1(2):164-168.

16. Susanto AA. Pengaruh ketebalan bahan dan

lamanya waktu penyinaran terhadap

kekerasan permukaan resin komposit sinar.

Dent J. 2007; 38(1) :32–35.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

10

Pengaruh Bahan Bleaching Karbamid Peroksida 20% Dan 35% Terhadap Kekerasan

Resin Komposit Tipe Nano Hibrid

(Laporan Penelitian)

Dewi Liliany Margaretta1, Reinaldo Sugianto2 1 Staf Pengajar Bagian Bahan Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT

Background: Studies have shown that the majority of adults are not satisfied with the color of their

teeth. This dissatisfaction leads to the increasing of bleaching demands. However, free radicals in

bleaching agents may have an effect to the composite resin restoration hardness. Aim: To compare the

effect of carbamide peroxide 20% and 35% on nanohybrid resin composite hardness. Methods:

Samples were nanohybrid resin composite with 4 mm thickness and 10 mm diameter. Total number is

10 samples with 5 testing points on each sample, and divided into 3 groups: control group, application

of 20% carbamide peroxide for 7 and 14 days, and application of 35% carbamide peroxide for 7 and

14 days. Each group was tested using Vickers Hardness Test. Results: The results indicate there was

no significant effect of 20% carbamide peroxide on resin composite hardness for 7 days with p = 0.980

(p > 0.05) and 35% for 7 days with p = 0.994 (p > 0.05), but the use of carbamide peroxide 20% and

35% on a nanohybrid resin composite for 14 days led to a significant increase in hardness with p =

0.000 (p<0.05). Conclusion: The use of carbamide peroxide 20% and 35% for 7 and 14 days did not

cause hardness decrease on nanohybrid resin composite.

Keyword: bleaching, carbamide peroxide, resin composite, hardness

PENDAHULUAN

Dewasa ini masyarakat mulai menyadari

mempunyai gigi yang indah adalah salah satu

aspek penting dalam meningkatkan kepercayaan

diri sehingga banyak orang rela mengeluarkan

biaya yang relatif tidak sedikit untuk memperbaiki

penampilan gigi mereka. Dari 235 pasien yang

terdiri dari 70 pria (29,8%) dan 165 wanita

(70,2%), dengan partisipan berumur 18 – 62

tahun, sebanyak 124 pasien (52,8%) menyatakan

bahwa mereka tidak puas dengan penampilan gigi

mereka, dan sebanyak 132 pasien (56,2%)

menyatakan tidak puas dengan warna gigi

mereka.1 Ketidakpuasan inilah yang

menyebabkan permintaan terhadap pemutihan

gigi (bleaching) semakin meningkat. Fungsi dari

bleaching adalah untuk menghilangkan

pewarnaan akibat stain dan memutihkan kembali

gigi yang telah berubah warna sehingga

mengembalikan estetik gigi.2

Perubahan warna gigi dapat berlangsung

secara fisiologik dan patologik. Perubahan warna

gigi secara fisiologik terjadi seiring dengan

pertambahan umur, dikarenakan dentin menjadi

lebih tebal dengan adanya deposisi dentin

sekunder, juga email gigi menjadi lebih tipis

akibat fungsi pengunyahan. Perubahan warna gigi

secara patologik bisa bersifat intrinsik dan

ekstrinsik. Perubahan warna gigi secara intrinsik

disebabkan oleh faktor dari jaringan gigi atau

jaringan pulpa sedangkan perubahan warna gigi

secara ekstrinsik dapat terjadi karena adanya

deposit yang melekat pada permukaan gigi seperti

dari makanan dan minuman.2,3

Metode pemutihan gigi yang umum

digunakan ada 2 yaitu in-office bleaching dan

home bleaching. In-office bleaching merupakan

metode yang dilakukan di klinik dokter gigi dan

dilakukan oleh dokter gigi dengan bahan hidrogen

peroksida konsentrasi 30-55%, sedangkan home

bleaching dilakukan di rumah pasien yang

pemakaiannya di bawah pengawasan dokter gigi.

Kekurangan dari in-office bleaching ini adalah

harganya yang relatif mahal sehingga banyak

orang lebih menaruh pilihannya terhadap home

bleaching, meskipun hasil dari in-office bleaching

lebih cepat.4

Bahan untuk home bleaching biasanya

menggunakan karbamid peroksida kadar 10-22%.

Rumus molekul untuk karbamid peroksida adalah

CO(NH2)2H2O2. Karbamid peroksida memiliki

nama kimia urea hidrogen peroksida dengan berat

molekul 94,07.5 Karbamid peroksida 10% akan

terurai menjadi urea, amonia, karbondioksida dan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

11

sekitar 3,5% hidrogen peroksida.6 Hidrogen

peroksida berperan dalam mekanisme pemutihan

sedangkan urea menstabilkan bahan pemutih

sehingga memiliki efek obat yang panjang dan

memperlambat pelepasan hidrogen peroksida

yang menghasilkan karbamid peroksida memiliki

bentuk lebih stabil jika dibandingkan dengan

hidrogen peroksida.7

Sebagai bahan restorasi, resin komposit

sudah umum dan populer digunakan, mengingat

komposit mempunyai segi estetik yang baik dan

dapat menahan daya kunyah yang cukup tinggi.

Resin komposit adalah tambalan yang sewarna

gigi dan merupakan material kompleks serta

mengandung komponen resin organik yang

membentuk matriks, inorganic filler, coupling

agent untuk menyatukan resin dengan filler,

initiator untuk mengaktifkan mekanisme setting

komposit, stabilisers dan pigmen. Berdasarkan

ukuran partikel filler, resin komposit dapat dibagi

menjadi 4 yaitu makrofil, mikrofil, hibrid dan

hibrid partikel kecil (Small-particle hibrid) resin

komposit. Nano hibrid resin komposit merupakan

salah satu jenis hibrid resin komposit yang

mengandung partikel filler berukuran nano

(0,005-0,01μ) pada matriks resinnya.

Populernya penggunaan nano hibrid resin

komposit disebabkan oleh kemampuan

penanganan dan pemolesan dari mikrofil

komposit, juga kekuatan dan ketahanan

pemakaian dari makro hibrid komposit sehingga

dapat digunakan sebagai bahan restorasi baik pada

gigi anterior maupun gigi posterior, oleh karena

itu nano hibrid komposit dapat disebut sebagai

bahan tambal yang universal.8

Seiring banyaknya praktek bleaching

dilakukan, banyak masyarakat tidak sadar bahwa

penggunaan bahan pemutih gigi home bleaching

dengan kadar yang berbeda mempunyai efek

beragam terhadap kekerasan tambalan resin

komposit tipe nano hibrid. Studi yang dilakukan

Baskar SH., dkk (2016) menunjukkan kekerasan

resin komposit mikrohibrid tidak berubah setelah

diaplikasi bahan bleaching karbamid peroksida

10%, 20% dan 35%.9 Sedangkan Bahamari M.,

dkk (2016) menyatakan bahwa penggunaan

karbamid peroksida 15% pada resin komposit

silorane dapat menurunkan kekerasan.10 Dari

uraian di atas dapat dilihat bahwa belum ada

penggunaan karbamid peroksida 20% dan 35%

terhadap resin komposit nano hibrid sehingga

tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

perbandingan penggunaan karbamid peroksida

20% dan 35% terhadap kekerasan resin komposit

tipe nano hibrid.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian

eksperimental laboratorik untuk mengetahui

perbandingan pengaruh penggunaan bahan

bleaching karbamid peroksida 20% dan 35%

terhadap kekerasan resin komposit tipe nano

hibrid. Penelitian ini dilakukan di Micore Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Trisakti dan

Laboratorium Metalurgi Universitas

Indonesia.pada bulan Januari 2017. Sampel

penelitian adalah resin komposit tipe nano hibrid

merek 3M Espe FiltekTM Z250 XT berbentuk

silinder dengan diameter 10 mm dan tinggi 4 mm.

Terdapat 3 kelompok dimana total sampel yang

digunakan adalah 10 buah. Kelompok 1

merupakan kelompok kontrol. Kelompok 2

menggunakan karbamid peroksida 20% dengan

waktu perendaman 7 dan 14 hari. Kelompok 3

menggunakan karbamid peroksida 35% dengan

waktu perendaman 7 dan 14 hari.

Pembuatan Sampel

Pemakaian masker dan sarung tangan.

Resin komposit tipe nano hibrid dimasukkan ke

dalam cetakan sampel yang telah dilapisi vaseline

dan ditaruh di atas gelas kaca menggunakan

instrumen plastis. Cetakan sampel yang telah

terisi penuh oleh komposit dilapisi seluloid strip

yang ditimpa anak timbangan 100 gram sampai

permukaan sampel rata. Komposit kemudian di

light cure dari atas dan bawah masing-masing

selama 20 detik dengan jarak penyinaran ±1 mm,

lalu sampel dikeluarkan dari cetakan dan

dilanjutkan dengan pemolesan menggunakan bur

poles.

Tahap pembuatan sampel diulang hingga

didapatkan 10 sampel. Dua dari sepuluh sampel

ditandai sebanyak 5 titik di tengah pada salah satu

sisi sampel menggunakan spidol hitam. Empat

sampel lainnya diberikan tanda sebanyak 5 titik

pada salah satu sisi sampel di tengah

menggunakan spidol biru. Perlakuan yang sama

diberikan pada empat sampel terakhir

menggunakan spidol merah. Sampel yang telah

ditandai spidol hitam adalah kelompok kontrol,

yang ditandai spidol biru adalah kelompok 2 yaitu

resin komposit tipe nano hibrid yang

diaplikasikan karbamid peroksida 20%, dan yang

ditandai spidol biru adalah kelompok 3 yaitu resin

komposit tipe nano hibrid yang diaplikasikan

karbamid peroksida 35%.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

12

Pengaplikasian Bahan Bleaching Tiap kelompok direndam dalam wadah

plastik berbeda yang berisikan akuades.

Ketigakelompok tersebut diinkubasi di dalam

inkubator dengan suhu 37ºC selama 24 jam.

Sampel kelompok 1 tidak diberikan perlakuan

apapun. Sampel kelompok 2 dan 3 dikeluarkan

dari wadah plastik menggunakan pinset. Sampel

kelompok 2 diaplikasikan bahan bleaching

karbamid peroksida 20% dan sampel kelompok 3

dengan karbamid peroksida 35% menggunakan

instrumen plastis pada sisi yang telah ditandai

secara merata, lalu dimasukkan ke dalam wadah

plastik kosong yang berbeda.

Kelompok 2 ditaruh di dalam inkubator

selama 2 jam dan kelompok 3 ditaruh selama 30

menit. Sampel dikeluarkan dari wadahnya

masing-masing menggunakan pinset, lalu dicuci

menggunakan akuades sampai bersih dari bahan

bleaching. Setelah bersih, sampel kembali

dimasukkan ke dalam wadah yang berisikan

akuades dan ditaruh di dalam inkubator selama 24

jam ke depan. Hal ini dilakukan secara berulang

dengan total 14 hari.

Pengujian Kekerasan

Kekerasan sampel diuji pada titik yang

telah ditandai spidol dengan alat uji kekerasan

Vickers Hardness Tester dengan load 100 gf

selama 10 detik. Pengujian pada kelompok 1

dilakukan pada sisi yang diberi tanda titik hitam

setelah perendaman akuades selama 24 jam.

Kelompok 2 diuji pada sisi yang diberi tanda titik

biru dan kelompok 3 akan diuji pada sisi yang

telah diberi tanda titik merah pada hari ke 7 dan

14.

HASIL PENELITIAN

Setelah dilakukan penelitian dan

pengumpulan data, dilakukan uji statistik

menggunakan metode analisis, yaitu uji

normalitas dengan metode Shapiro-wilk. Data

hasil penelitian dinyatakan normal dan homogen

jika pada uji normalitas dan homogen nilai p >

0.05, setelah itu dilanjutkan dengan One Way

ANOVA. Jika data menunjukkan ada perbedaan

bermakna maka data dianalisis menggunakan Uji

Post Hoc Tukey.

Besar sampel yang digunakan pada

penelitian ini sebanyak 10 buah tiap kelompok

perlakuan dan setiap sampel mengalami 5 titik

pengukuran. Uji kekerasan dilakukan di

Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia

dengan hasil dalam satuan VHN (Vickers

Hardness Number). Data-data hasil pengujian

adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Nilai Kekerasan Resin Komposit

No.

Sampel

Kekerasan (VHN)

Kontrol Karbamid

Peroksida 20%

Karbamid

Peroksida 35%

7 hari 14 hari 7 hari 14 hari

1 103 110 287 112 296

2 103 105 295 99 340

3 110 114 261 105 337

4 105 109 287 112 288

5 100 102 337 105 315

6 103 109 295 112 304

7 103 106 287 99 304

8 108 109 261 107 318

9 105 113 340 109 292

10 103 103 285 110 300

Rerata

± SD

104,30

± 2,869

108 ±

3,972

293,50

±

26,605

107 ±

4,989

309,40

±

17,921

Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa

pemakaian karbamid peroksida 20% dan 35%

selama 7 hari tidak menyebabkan kenaikan

dan penurunan yang signifikan pada

kekerasan resin komposit nano hibrid.

Sedangkan untuk pemakaian selama 14 hari,

hanya ada kenaikan dan tidak ada penurunan.

Kekerasan tertinggi merupakan setelah

pengaplikasian karbamid peroksida 35%

selama 14 hari (309,40 ± 17,921). (Tabel 1). Tabel 2. Uji One Way ANOVA

Mean

Square F Sig.

Between

Groups 114428,830 530,801 ,000

Within

Groups 215,578

Total

Pada uji One Way Anova didapatkan hasil p

= 0,000 (p< 0,005). Hal ini membuktikan bahwa

terdapat perbedaan bermakna sehingga dapat

dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

13

Tabel 3. Uji Post Hoc Tukey

Kontrol

KP

20% 7

hari

KP

20%

14 hari

KP

35% 7

hari

KP 35%

14 hari

Kontrol ,980 ,000* ,994 ,000*

KP

20% 7

hari

,980 ,000* 1,000 ,000*

KP

20% 14

hari

,000* ,000* ,000* ,128

KP

35% 7

hari

,994 1,000 ,000* ,000*

KP

35% 14

hari

,000* ,000* ,128 ,000*

Tanda * menandakan p > 0,05

Berdasarkan uji statistik di atas, jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol kenaikan

kekerasan resin komposit setelah pengaplikasian

karbamid peroksida 20% selama 7 hari dengan p

= 0,980 (p>0,005) tidak signifikan. Hal yang

sama dapat dilihat pada kelompok yang diaplikasi

karbamid peroksida 35% selama 7 hari dengan p

= 0,994 (p>0,005). Namun pemakaian karbamid

peroksida kadar 20% dan 35% selama 14 hari

menyebabkan kenaikan kekerasan yang

signifikan dengan p masing-masing sama dengan

0,000 (p< 0,005).

PEMBAHASAN

Mekanisme kerja bahan bleaching

peroksida adalah hidrogen peroksida masuk

melalui perantara email menuju ke tubuli dentin

dan melepaskan oksigen yang akan merusak

ikatan dalam rantai protein yang bergabung

dengan stain. Dengan penambahan oksigen,

molekul organik gigi yang lebih kecil akan

terbentuk dengan warna yang lebih cerah.

Karbamid peroksida 10% akan terurai

menjadi urea, amonia, karbondioksida dan sekitar

3,5% hidrogen peroksida. Kandungan hidrogen

peroksida pada karbamid peroksida akan terurai

sebagai radikal bebas yaitu perihidroksil sebagai

oksidator kuat dan oksigenase sebagai oksidator

lemah. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa

radikal bebas yang dihasilkan karbamid peroksida

kadar 20% dan 35% mempunyai efek terhadap

kekerasan terhadap tambalan resin komposit nano

hibrid pasien. Kekerasan resin komposit diukur

menggunakan Vickers Hardness Test dengan

satuan VHN (Vickers Hardness Number).

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, dapat terlihat bahwa pemakaian

Opalescence karbamid peroksida 20% dan 35%

pada nano hibrid komposit 3M Filtek Z250 XT

selama 7 hari menyebabkan kenaikan dan

penurunan kekerasan walaupun tidak signifikan

jika dibandingkan dengan grup kontrol. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Baskar SH., dkk (2016) yang

menyatakan bahwa kekerasan resin komposit

Z250 tidak terpengaruh dengan penggunaan

karbamid peroksida 10%, 20% dan 35% selama 7

hari jika digunakan sesuai dengan instruksi

penggunaan.9

Pemakaian karbamid peroksida 20% dan

35% selama 14 hari pada komposit 3M Filtek

Z250 XT menyebabkan kenaikan kekerasan yang

signifikan jika dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Hasil penelitian ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan Alaghehmand H, dkk

(2013) yang meneliti bahwa penggunaan

Opalescence karbamid peroksida 20% selama 4

minggu pada Filtek P60 memberikan kenaikan

kekerasan yang signifikan.44 Hasil penelitian

serupa juga dikemukakan oleh Ab-Ghani Z., dkk

(2013) yang meneliti dan menemukan bahwa

terdapat kenaikan kekerasan yang signifikan pada

nano komposit (KeLFiL) setelah pemakaian

karbamid peroksida 10% selama 14 hari. 45

Akan tetapi hasil penelitian ini

bertentangan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Sharafeddin F., dkk (2010)

yang menyatakan bahwa pemakaian

karbamid peroksida 35% selama 3 minggu

tidak memberikan efek yang berarti terhadap

kekerasan resin komposit mikrofil

(Heliomolar) dan hibrid (Spectrum TPH).46

Hasil bertentangan lain dikemukakan oleh

Bahari M., dkk (2016) yang meneliti dan

menyimpulkan bahwa pemakaian karbamid

peroksida 15% selama 2 minggu dapat

menurunkan kekerasan resin komposit

silorane secara signifikan.10 Terjadinya penurunan kekerasan pada

penelitian ini bisa disebabkan oleh human error

dimana pemolesantidak adekuat sehinggatidak

menghilangkan surface layer yang brittle.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

penurunan kekerasan resin komposit adalah

kerentanan resin komposit terhadap pelunakan

kimia jika bahan kimia tersebut mempunyai

parameter kelarutan dari 1.82x104 sampai

2.97x104 (J/m3)1/2 serta kandungan Bis-GMA

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

14

monomer yang banyak pada resin komposit.47

Penurunan kekerasan resin komposit juga dapat

disebabkan karena oksidasi dan degradasi ikatan

matriks.48 Semakin banyak kandungan inorganik

filler maka semakin bagus pula sifat fisik suatu

resin komposit.34 Padatnya kandungan filler pada

Z250 XT yaitu 68% by volume mungkin

memberikan resistensi terhadap oksidasi dan

degradasi ikatan matriks. Minimnya penurunan

kekerasan setelah aplikasi bahan bleaching

merupakan bukti bahwa Filtek Z250 XT

mempunyai kandungan Bis-GMA yang rendah

dan kandungan filleryang tinggi untuk dapat

terjadi pelunakan kimia (penurunan kekerasan).

Sedangkan untuk kenaikan kekerasan resin

komposit dapat disebabkan karena reaksi

polimerisasi. Reaksi polimerisasi komposit

berbanding lurus dengan kenaikan kekerasan

komposit. Setelah proses curing komposit, reaksi

polimerisasi (post polimerisasi) akan tetap

berlangsung sampai jangka waktu tertentu.49

Kemungkinan efek yang dihasilkan oleh bahan

bleaching karbamid peroksida 20% dan 35% tidak

cukup besar untuk mempengaruhi proses

polimerisasi resin komposit tipe nano hibrid

sehingga reaksi post polimerisasi tetap

berlangsung.

Kemungkinan lainnya adalah bahan aktif

pada karbamid peroksida dapat menghilangkan

lapisan terluar pada resin komposit nano hibrid

sehingga menghasilkan permukaan yang lebih

padat akan kandungan filler dan lebih keras.

Adanya efek kandungan fluoride yang terdapat

pada karbamid peroksida 20% dan 35%, juga

dapat memberikan efek remineralisasi yang

berujung pada penambahan kekerasan pada resin

komposit. Dengan adanya kenaikan kekerasan

maka dapat dikatakan karbamid peroksida 20%

dan 35% merupakan bahan bleaching yang aman

digunakan dan mempunyai efek yang baik

terhadap kekerasan resin komposit Filtek Z250

XT tipe nano hibrid. Kenaikan kekerasan resin

komposit dapat memberikan berbagai keuntungan

antara lain dapat menahan daya tekanan kunyah

yang lebih besar, perubahan bentuk dan tambalan

aus lebih bisa diminimalisir dan rentang

pemakaian yang lebih panjang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, jika dibandingkan

dengan grup kontrol maka dapat disimpulkan

bahwa pemakaian karbamid peroksida 20% dan

35% baik selama 7 maupun 14 hari

tidakmenyebabkan penurunan terhadap kekerasan

resin komposit tipe nano hibrid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Oo MMT, Saddki N, and Hassan N. “Factors

Influencing Patient Satisfaction with Dental

Appearance and Treatments They Desire to

Improve Aesthetics. BMC Oral Health.

2011; 11: 6.

2. Rasinta T. Perawatan pulpa gigi. Seri 1.

Jakarta: Widya Medika; 1994; 198.

3. Sundoro EH. Serba-serbi ilmu konservasi

gigi. Jakarta: UI-Press; 2005; 17.

4. Rismanto, D.Y, Damayanti, I. M, Dharmo,

R. H., “Dental Whitening”,Dental Limas

Mediatama, Jakarta, 2005; 1-44.

5. Walsh LJ. Safety Issue Relating to the use of

Hydrogen Peroxide in Dentistry. Australian

Dental Journal. 2000;45(4):257-69.

6. Walton RE dan Torabinejad M. Prinsip Dan

Praktik Ilmu Endodonsia. 3rd ed. Jakarta:

EGC, 2008: 459.

7. Goldstein RE, Garber DA. Chemistry of

Bleaching. Complete Dental Bleaching.

Chicago: Quintessence, Publ., 1995; 2-20.

8. Puckett AD, Fitchie JG, Kirk PC, et al. Direct

Composite Restorative Materials. Dent Clin

N Am. 2007; 51: 659-75.

9. Baskar SH, Jayakumar M, Kumar S. Effect

of varying concentrations of home bleaching

agents on hardness of a resin composite: An

in vitro study. J Indian Acad Dent Spec Res.

2016; 3: 1-5

10. Bahari M, Savadi OS, Mohammadi N,

Ebrahami CME, Godrati M, Savadi OA.

Effect of different bleaching strategies on

microhardness of a silorane-

based composite resin. J Dent Res Dent Clin

Dent Prospects. 2016 Fall;10(4): 213-19.

11. Jakfar S. Pengaruh Agen Aktif Bleaching

Terhadap Jaringan Keras dan Lunak Mulut

Serta Bahan Restorasi Kedokteran Gigi. Cak

Dent J 2009 ; 2(1): 62-9.

12. Matis BA. The question-at-home or in-office

bleaching: Evidence based concepts to

empower dental professionals. Available at:

[email protected]. Accesed August 27,

2004.

13. Boksman, L., “Current Status of Tooth

Whitening”, Literature Review, September,

2006; 76-79.

14. Wagner, B. J., “Whiter Teeth-Brighter

Smiler”, Special Supplemental issue-Access,

September-Oktober, 1999; 1-12.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

15

15. Suprastiwi, E., “Penggunaan Karbamid

Peroksida sebagai Bahan Pemutih Gigi”, Ind.

J. Dentistry, 2005; 12(3): 139-45.

16. Goldstein RE, Garber DA. Complete Dental

Bleaching. Chicago: Quintessence

Publishing Co.Inc, 1995 : 26-33.

17. Nakamura, T., Saito, O., Ko, T., Maruyama,

T., “The Effect of Polishing and Bleaching

on The Colour oh Discoloured Teeth in

Vivo”, J. Oral Rehab., 2001; 28, 1080-4.

18. Hatrick CD, Eakle WS, Bird WF. Dental

Materials: Clinical Applications for Dental

Assistants and Dental Hygienists. 2nd Ed.

USA : Saunders Elsevier. 2011: 50-86.

19. Bernie KM., “Maintaining Tooth-Whitening

Results”, J. Pract. Hygiene, 2003; 34-36.

20. Vanable ED dan LoPresti, L. R, “Using

Dental Material”, Pearson Prentice Hall,

New Jersey, 2004; 80-5.

21. Ingle, J. I., Bakland, L. K., “Endodontics”,

5th ed, BC Decker Inc, Hamilton London,

2002; 849-50.

22. Halim HS. Perawatan Diskolorisasi Gigi

Dengan Teknik Bleaching. Jakarta:

Universitas Trisakti, 2006; 1-75.

23. Grossman LI, Oliet S, Rio CED. Ilmu

Endodontik Dalam Praktek. Edisi ke 11. Alih

Bahasa. Rafiah A. Jakarta : EGC, 1995; 295-

7.

24. Haywood VB., “Nightguard Vital Bleaching

Indications and Limitation”s, US Dentistry,

Section Heading Sub Heading, 2006; 2-8.

25. Gunawan HA., “Pengaruh Pemutih Gigi

Karbamid Peroksida terhadap Mukosa

Rongga Mulut secara Mikroskopik

(Penelitian pada Tikus Wistar Strain LMR)”,

J, Ked. Gigi UI, 10 (Edisi Khusus), 2003;

652-6.

26. Hewlett ER., “Etiology and Management of

Whitening-induced Tooth Hypersensitivity”,

J. CDA, 35 (7), 2007; 499-506.

27. Leevailoj C. The Art of Anterior Tooth-

Colored Restoration with Resin Composites.

Thailand: Chulalongkorn University, 2004:

10-4.

28. Meizarini A, Rianti D. Bahan Pemutih Gigi

Dengan Sertifikat ADA/ISO. Maj. Ked Gigi

2005; 38 (2) : 73-6.

29. Mitchell C. Dental Materials in Operative

Dentistry.Quintessence Publishing Co.

Ltd., 35(1), 2008: 1-21.

30. Anusavice KJ, Shen C, and Rawls HR.

Philip’s Science of Dental Materials. 12th ed.

Singapore: Elsevier, 2013; 279-91.

31. O’Brien, William J.. Dental Materials and

Their Selection. 3rd ed. Canada:

Quintessence, Publ., 2002; 113-28.

32. Irawan B. “Material Restorasi Direk

Kedokteran Gigi Saat Ini.” Journal Dentistry

Indonesia, 2004; 24–8.

33. Mount GJ and Hume WR. Preservation and

Restoration of Tooth Structure. Barcelona:

Mosby, 1998; 94-9.

34. Alla RK. Dental Materials Science. India:

Jaypee, 2014; 130-5.

35. Banerjee, Avijit, and Timothy F. Watson.

Pickard’s Manual of Operative Dentistry. 9th

ed. New York: Oxford, 2011; 88-95.

36. Powers JM, Wataha JC. Dental Materials:

Properties And Manipulation. 9th ed. USA:

Elsevier, 2008; 285-305.

37. McCabe JF, Walls AWG. Applied dental

materials. 9th ed., Oxford: Blackwell

Publishing., 2008; 13, 196-211.

38. Sakaguchi RL, Powers JM. Craig’s

restorative dental materials. 13th ed.,

Philadelphia: Elsevier, 2012; 91, 161-92.

39. Anusavice KJ. Phillips’ science of dental

materials. 10th ed. Alih Bahasa. Budiman

JA, Purwoko S. Jakarta: EGC, 2004; 54-

61;228-49.

40. Powers, JM. Dental materials properties and

manipulation. 9th ed. Missouri: Mosby Inc,

2008; 32-34;69-92.

41. O’Brien WJ. Dental materials and their

selection. 3rd ed., Illinois: Quintessence

Publishing Co, Inc., 2002; 41, 202-28.

42. Geels K, Fowler DB, Kopp WU. Ruckert M.

Metallographic and materialographic

specimen preparation, light microscopy,

image analysis and hardness testing. 1st ed.,

West Conshohocken: ASTM International.,

2007; 628-32.

43. Lemeshow, Stanley, 1997, Besar Sampel

dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada

University, Yogyakarta.

44. Hao Y, Qing L, Hussain M, Yining W,

Effects of bleaching gels on the surface

microhardness of tooth-colored restorative

materials in situ. Journal of Dentistry: 2008;

36(4): 261-7.

45. Ab-Ghani Z, Ooi QQ, and Mohamad D.

Effects of home bleaching on surface

hardness and surface roughness of an

experimental nanocomposite. J Consery

Dent. 2013 Jul-Aug; 16(4): 356–61.

46. Sharafeddin F dan Jamalipor GR. Effects of

35% carbamide peroxide gel on surface

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 10 – 16

16

roughness and hardness of composite resins.

J Dent (Tehran). 2010; 7(1): 6–12.

47. Wu W, McKinney JE. Influence of chemicals

on wear of dental composites. J Dent

Res.1982; 61(10): 1180-3.

48. Taher NM. The effect of bleaching agents on

the surface hardness of tooth colored

restorative materials. J Contemp Dent

Pract.2005; 6(2): 18-26.

49. Mohamad D, Young RJ, Mann AB, Watts

DC. Post-Polymerization of dental resins

composite evaluated with Nanoindentation

and Micro-Raman spectroscopy. Arch

Orofac Sci. 2007; 2: 26–31.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

17

Regenerasi Tulang pada Kasus Abses Apikalis Kronis

(Laporan Kasus)

Elline

Staf Pengajar Bagian Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT

Background: Chronic apical abscess cases are often found in dental practice. Chronic apical abscess

is defined as an inflammatory response to pulpal infection and necrosis identified by stepwise onset,

causing almost no discomfort, and characterized by the discontinuous release of pus through a related

sinus tract. Radiographically, there are regularly indications of bone destruction. The source of

infection in the root canal is eradicated by root canal treatment. The main purpose of endodontic

treatment is to finish debridement of the pulp tissue from the canal, combined with shaping and

sufficient obturation of the root canal system. Objective: This case report was written to bring

forward the proper management of tooth with chronic apical abscess and reveal self-bone

regeneration after treatment. Case report: A 27-year-old woman complained of cavity on her left

lower back tooth. There was a history of fistula which appear frequently in the gum near the cavity

tooth. Radiographic examination showed that caries has reached the pulp with periapical lesion and

bone destruction. The canals were prepared with ProTaper Next file with irrigation using 5,25%

sodium hypochlorite, EDTA 17% and chlorhexidine gluconate 2%. Calcium hydroxide paste was

used as an intracanal medicament, then the canals were obtured with continous wave compaction

technique. Four months follow up was advised and healing of periapical lesion with bone regeneration

is evident. Conclusion: Adequate root canal treatment can result in healing of periapical lesions and

bone regeneration on chronic apical abscess.

Keyword: bone regeneration, bone destruction, periapical lesion, endodontic treatment

PENDAHULUAN

Lesi periapikal adalah kondisi patologis

yang umum terjadi pada jaringan periapikal.1

Lebih dari 90 % lesi periapikal dapat

dikategorikan sebagai granuloma, kista radikuler

atau abses.2 Abses bisa terjadi pada 28,7% -

70,07% kasus.3 Abses periapikal bisa

dikategorikan menjadi akut dan kronis. Apses

apikalis kronis merupakan respon peradangan

pada infeksi pulpa dan biasanya gigi telah

nekrosis, seringkali tidak memberikan keluhan

dan adanya pus di jalur sinus tract.

Pada kasus abses apikalis, seringkali

secara radiograf terlihat kerusakan tulang dan

terlihat suatu gambaran radiolusensi.4 Secara

umum, adanya suatu sinus tract pada mukosa

rongga mulut menunujukkan kondisi nekrosis

pada pulpa gigi, supuratif (pus) pada daerah

periapikal atau kerusakan jaringan periodontal

dari gigi. Kerusakan periodontal dapat

menyebabkan suatu resorbsi dari tulang

periapikal daerah kortikal bukal atau lingual dan

mukoperiostium, sehingga drainase pus yang

timbul mencapai permukaan mukosa daerah

permukaan.5 Periodontitis apikalis terinduksi

oleh mikroorganisme dalam saluran akar dan

terjadilah suatu inflamasi di apikal gigi.

Inflamasi bisa terjadi secara lokal, kemudian

terjadi resorbsi jaringan keras sampai terjadi

destruksi jaringan periapikal .6

Proses mengeliminasi mikroorganisme

dalam sistem saluran akar penting untuk

dilakukan. Tujuan utama dari perawatan saluran

akar adalah mengeliminasi jaringan vital ataupun

nekrosis dari pulpa terinfeksi sehingga terjadi

suatu proses penyembuhan. Proses pembersihan

dan disinfeksi yang optimum pada saluran akar

dapat menghasilkan proses penyembuhan yang

lebih cepat.7 Perawatan endodontik berfungsi

untuk membuang seluruh debridemen jaringan

pulpa dari saluran akar, dikombinasikan dengan

pembentukkan saluran akar sampai tahapan

obturasi yang baik pada sistem saluran akar.

Laporan kasus ini diharapkan dapat

menambah informasi tentang tatalaksana gigi

dengan abses apikalis kronis disertai

penyembuhan tulang setelah dilakukan

perawatan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

18

LAPORAN KASUS

Kasus

Regenerasi tulang pada gigi dengan abses

apikalis kronis

Seorang perempuan usia 27 tahun datang

dengan keluhan pada gigi 36. Gigi tidak pernah

dilakukan perawatan sebelumnya, dan pernah

mengalami sakit spontan 1 tahun lalu. Pada

anamnesis diketahui bahwa pernah ada suatu

sinus tract yang hilang timbul pada daerah gusi.

Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ada simptom.

Pemeriksaan intra oral menunjukkan adanya lesi

karies dalam pada disto-oklusal mencapai pulpa.

Terlihat juga adanya sinus tract pada gusi sekitar

gigi 36.

Tes dingin dan Electric pulp tester

menunjukkan hasil negatif, dan tidak ada sensitif

terhadap perkusi dan palpasi. Pada pemeriksaan

radiografi menunujukkan bahwa karies telah

mencapai pulpa disertai lesi periapikal

dankerusakan tulang pada gigi 36. Diagnosis gigi

36 adalah abses apikalis kronis et causa nekrosis

pulpa (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Radiograf 36 Gambar 2. Klinis 36

Perawatan saluran akar dilakukan pada

gigi 36. Gigi diisolasi menggunakan rubber dam,

pembuatan artificial wall, preparasi akses

kavitas, dan ditemukan 3 saluran akar, yaitu

mesiobukal, mesiolingual, dan distal. Eksplorasi

saluran akar menggunakan jarum K-files #8, #10,

dan dilakukan irigasi. Panjang kerja ditentukkan

menggunakan elektronik apex locator (Root ZX,

Morita), dan dikonfirmasi menggunakan foto

radiograf. Apical glide ditentukkan

menggunakan file Proglider (Dentsply).

Preparasi biomekanis saluran akar

dilakukan menggunakan ProTaper Next

Rotary System (Dentsply) menggunakan teknik

single length. Saluran akar diirigasi dengan

NaOCl pada saat instrumentasi. Saluran

mesiobukal dan mesolingual diselesaikan sampai

file X2, dan distal X3.

Gambar 3. Gigi pasca preparasi biomekanis

Medikamen intrakanal diberikan selama 1

minggu menggunakan Kalsium Hidroksida

(Ultracal, Ultradent) dan pasien diinstruksikan

kembali 1 minggu.

Setelah 1 minggu, pasien kembali tanpa

keluhan. Pada pemeriksaan intraoral sinus tract

telah hilang . Pemeriksaan perkusi dan palpasi

menunjukkan hasil negatif. Setelah itu dilakukan

pemasangan rubber dam dan gigi diobturasi

menggunakan guttaperca. Teknik obturasi yang

digunakan adalah teknik continous wave

compaction menggunakan sealer (Sealapex,

Sybron Endo), guttaperca dipotong di bawah 2

mm di bawah orifice dan diberikan barrier

semen ionomer kaca dan diberikan tumpatan

sementara (Gambar 4)

Gambar 4. Hasil obturasi ggi 36

Setelah 1 minggu pemeriksaan ekstra oral

dan intraoral tidak ada keluhan dan dilakukan

restorasi final berupa porselin fusi metal disertai

penggunaan pasak fiber. Setelah ontrol 4 bulan

menunjukkan adanya penyembuhan lesi

periapikal dan regenerasi tulang.

Gambar 5. Gigi telah direstorasi dan terlihat

regenerasi tulang

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

19

PEMBAHASAN

Abses Apikalis Kronis adalah merupakan

variasi dari periodontitis apikalsi yang

disebabkan oleh infeksi saluran akar dan

mengakibatkan keluarnya pus pada permukaan

gusi. Secara radiograf, kondisi ini terlihat

radiolusen dan dapat terlihat suatu sinus tract ,

dan terlihat suatu jalur drainase abses yang

melalui tulang, periostium dan mukosa .9

Bakteri dan produknya dalam saluran akar

gigi adalah penyebab utama dari mulainya

peradangan periapikal. Pertama, pulpa

mengalami infeksi dan nekrosis. Adanya

hubungan antara pulpa gigi dan jaringan

periapikal menyebabkan suatu infeksi pada

daerah periodontal sehingga menyebabkan lesi

periodontal. Pertahanan dari host tidak dapat

menanggulangi progress dari infeksi karena

sirkulasi yang kurang di daerah tersebut,

sehingga gigi menjadi nekrosis. Adanya iritasi

mengakibatkan adanya respon imun inate dan

adaptif dari jaringan periapical.1 Respon imun

yang lemah membuat ketidakmampuan untuk

menghancurkan bakteri yang tumbuh subur

dalam saluran akar , sehingga tujuan utama dari

perawatan saluran akar adalah untuk

mengeliminasi biofilm , bakteri dan produknya.10

Preparasi biomekanis menggunakan sistem

rotary memiliki keuntungan dalam fleksibilitas

alat yang baik, resisten terhadap cyclic fatigue,

instrument patah. Selain itu, bentuk penampang

jarum cross section rectangular shape di tengah

dan ada 2 titik yang berkontak dengan dinding

saluran akar. Bentuk ini dapat meningkatkan

proses cutting, mengurangi tekanan dan kontak

antara file dan dinding dentin, memaksimalkan

pembuangan debris ke arah koronal.12

Perawatan saluran akar dengan preparasi

biomekanis , irigasi antibakteri dapat mengurangi

bakteri 40 – 60 %.13

Pada kasus ini Kalsium Hidroksida

digunakan untuk menginduksi penyembuhan

daerah periapikal. Medikamen ini memiliki

kemampuan sebagai antimikrobial, anti

inflamasi, mengurangi matriks metalloproteinase

dengan aktvitas alkalin fosfat dan sintesis

kolagen.14 Kalsium Hidroksida memiliki pH 12.5

– 12.8 dan dapat terpecah menjadi ion kalium

dan hidroksil. Ion hidroksi memiliki ph alkali

sehingga dapat menghancurkan membrane

sitoplasma bakteri, dan menghancukan

proteinnya.15 Souza dkk mengatakan bahwa

penggunaan kalsium hidroksida pada perawatan

endodontik dapat meningkatkan keberhasilan

perawatan lesi periapical.16

Proses penyembuhan periapikal adalah

dengan terbentuknya jaringan lunak dan keras.17

Formasi pembentukan tulang dan sementum

terbentuk jika proses peradangan apikal hilang

karena pada proses penyembuhan sel

osteoprogenitor atau sel mesenkim dari sumsum

tulang, sehingga terjadi proliferasi dan

diferensiasi sel odontoblas dan pembentukkan

matriks tulang 17. BMPs (Bone Morphogenic

Proteins) mensimulasi sel Osteoprogenitor

(OPG) untuk menjadi sel OPG. Sel

Osteoprogenitor (OPG) menarik growth factors

secara kemotaktik. termasuk epidermal growth

factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF),

TGFß, dan PDGF, menyebabkan terjadinya

proliferasi. BMPs menyebabkan diferensiasi

akhir dari sel OPG menjadi cuboidal,

bermetabolisme menjadi osteoblast aktif pada

permukaan tulang dan menghasilkan osteoid

yang akan teremineralisasi dan membentuk

tulang.18

KESIMPULAN

Perawatan saluran akar yang adekuat dapat

menyembuhkan lesi periapikal dan menginduksi

regenerasi tulang pada kasus abses apikalis

kronis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Karunakaran JV, Abraham CS, Karthik AK

JN. Successful nonsurgical management of

periapical lesions of endodontic origin: A

conservative orthograde approach. J Pharm

Bioallied Sci. 2017;9(5):246-251.

2. Lalonde ER, Leubke RG. The frequency and

distribution of periapical cysts and

granuloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol.

1986;25:861-868.

3. Schulz M, von Arx T, Altermatt HJ,

Bosshardt D. Histology of periapical lesions

obtained during apical surgery. J Endod.

2009;35:634,642.

4. Berman LH, Rotstein I. Diagnosis. In:

Hargreaves K, ed. In Cohen’s Pathways of the

Pulp. 11th ed. Missouri: Elsevier; 2016:30.

5. Tai TF, Huang SH, Lin CP, Tsai YL, Jeng

JH. Sinus tracts from proximal roots with

infected root canals ── cases report. J Dent

Sci. 2006;1(4):2-6.

6. Croitoru IC, Craitoiu S, Petcu CM, et al.

Clinical, imagistic and histopathological

study of chronic apical periodontitis. Rom J

Morphol Embryol. 2016;57(2):719-728.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 17 – 20

20

7. Sigurdsson A, Garland RW, Le KT, Woo SM.

12-month Healing Rates after Endodontic

Therapy Using the Novel GentleWave

System : A Prospective Multicenter Clinical

Study. J Endod. 2016;42(7):1040-1048.

8. Gupta R, Hasselgren G. Prevalence of

Odontogenic Sinus Tracts in Patients

Referred for Endodontic Therapy. J Endod.

2003;29(12):12-14.

9. Ricucci D, Loghin S, Gonc LS.

Histobacteriologic Conditions of the Apical

Root Canal System and Periapical Tissues in

Teeth Associated with Sinus Tracts. 2017:1-9.

10. Cohenca N, Amaro A. Root Canal Infection

and Endodontic Disease. In: Disinfection of

Root Canal Systems: The Treatment of Apical

Periodontitis: The treatment of apical

periodontitis. Wiley Blackwell;2014.

11. Chandrasekhar P, Shetty RU, Adlakha T,

Shende S, Podar R. A comparison of two

NiTi rotary systems , ProTaper Next and Silk

for root canal cleaning ability ( An in vitro

study ). Indian J Conserv endod.

2016;1(1):22-24.

12. Ruddle C, Machtou P, West J. The shaping

movement: fifth-generation technology. Dent

today. 2013;32:6-9.

13. Sathorn C, Parashos P, Messer HH.

Effectiveness of single- versus multiple-visit

endodontic treatment of teeth with apical

periodontitis : a systematic review and. J Int

Endod. 2005:347-355.

14. Bezerra da Silva LA, Bezerra da Silva RA,

Nelson-Filho P, Cohenca N. Intracanal

medication in root canal disinfection. In:

Nestor Cohenca, ed. Disinfection of Root

Canal Systems: The Treatment of Apical

Periodontitis. Wiley Blackwell; 2014:252-

253.

15. Dohyun K, Euiseong K. Antimicrobial effect

of calcium hydroxide as an intracanal

medicament in root canal treatment : a

literature review - Part II . in vivo studies.

Rest Dent Endod. 2015;7658:97-103.

16. Broon NJ, Bortoluzzi EA, Bramante CM.

Repair of large periapical radiolucent lesions

of endodontic origin without surgical

treatment. J Aust Endod. 2007;33:36-41.

17. Lin ML, Huang GTJ. Pathobiology of apical

periodontitis. In: Cohen’s Pathways of the

Pulp. 11th ed. Missouri: Elsevier; 2016:652-

655.

18. Metzger Z, Kfir A. Healing of apical lesions:

How do they heal, why does the healing take

so long, and why do some lesions fail to heal?

In: Nestor Cohenca, ed. Disinfection of Root

Canal Systems: The Treatment of Apical

Periodontitis. Wiley Blackwell; 2014:303-

305.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

21

Hubungan Antara Gigi Berjejal Dan Gingivitis

(Laporan Penelitian)

Lies Zubardiah1, Marilyn Octavia2 1 Staf Pengajar Bagian Periodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT

Background: Gingivitis is inflammation of the gingiva which is characterized by changes in the

gingiva such as redness, udematous, swelling, loss of stippling, and bleeding. The main cause of

gingivitis is bacterial plaque that accumulates in the gingival sulcus. Crowded teeth facilitate the

accumulation of plaque because makes it difficult for oral hygiene techniques. Objective: To find out

the relationship between crowded teeth with gingivitis in patients who came to the Dental and Oral

Hospital of the Faculty of Dentistry, Trisakti University. Method: Observational analytic study with

cross sectonal design using 72 subjects aged between 13-50 years. The subjects were divided into 2

groups consisted of 36 patients with crowded teeth and 36 without crowded teeth. The condition of the

teeth was recorded, and PBI was examined. Results: Pearson Chi-Square correlation test showed a

significant relationship between age (group 43-48.9 years) with gingivitis (p <0.05). The relationship

between crowded teeth and gingivitis showed no significant relationship (p> 0.05). For the relationship

between the amount of jaw involvement in crowded teeth and gingivitis, there was a significant

relationship (p <0.05). Conclusion: There is a significant relationship between crowded teeth and

gingivitis in certain age groups.

Keyword: gingivitis, crowded teeth, Papilla Bleeding Index

PENDAHULUAN

Gingivitis merupakan peradangan pada

gingiva tanpa kehilangan perlekatan periodontal.1

Hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna

gingiva mulai dari merah, merah kebiruan, hingga

biru, ukuran gingiva menjadi besar, kontur

marginal membulat, konsistensi lunak dan

udematus ataupun menjadi keras dan fibrosis.

Terjadi perubahan tekstur yang ditandai dengan

berkurangnya stipling hingga hilang sama sekali,

dan mudah berdarah pada probing.2 Gingivitis

pada dasarnya disebabkan oleh bakteri yang

terdapat pada plak. Akumulasi plak dapat terjadi

karena kebersihan mulut yang buruk, restorasi

yang tidak baik, dan posisi gigi yang tidak

teratur.3

Untuk mencegah gingivitis, diperlukan

ketekunan dalam membersihkan gigi dan mulut.

Menjaga kesehatan gingiva sama pentingnya

seperti menjaga kesehatan gigi. Masyarakat

Indonesia seringkali masih belum sadar akan

pentingnyagigi dan gusi, sehingga dapat

dibuktikan dari hasil Laporan Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI tahun 2011,

yang menyatakan 60% masyarakat Indonesia

mengidap penyakit periodontal. 4

Gigi berjejal merupakan bentuk maloklusi

yang sering dijumpai. Gigi berjejal adalah akibat

ketidakseimbangan hubungan antara ukuran gigi

dengan ukuran rahang sehingga menyebabkan

gigi berputar, bergeser dan bertumpuk. Nance

(1947) mengemukakan bahwa gigi berjejal dapat

terjadi karena ketidaksesuaian antara ruangan

yang diperlukan dengan ruangan yang tersedia

dalam lengkung rahang.5 Gigi berjejal belum

dapat diketahui penyebabnya dengan pasti. Gigi

berjejal diyakini erat hubungannya dengan

perkembangan evolusi manusia yaitu terdapat

pengurangan ukuran rahang tanpa diimbangi

dengan pengurangan ukuran gigi dan jumlah

gigi.6 Gigi berjejal secara estetik mengganggu

penampilan, dan secara fungsional menimbulkan

kesulitan dalam pembersihan gigi. Kesulitan ini

jika terus menerus dibiarkan dapat mendorong

retensi plak pada margin gingiva dan

mengakibatkan peradangan gingiva atau

gingivitis.7

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan di University of Penambuco, Brazil

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

22

(2011), menunjukkan bahwa 100% subyek

dengan gigi berjejal memiliki gingiva yang

berdarah saat dilakukan probing.8 Begitu juga

pada penelitian di Universidade da Regiao de

Joinville Brazil (2004), menunjukkan bahwa

100% subyek dengan gigi berjejal juga disertai

gingivitis dengan derajat keparahan yang

bervariasi.9

Gambar 1. Gigi berjejal pada RA dan RB.

Gingiva yang sehat berwarna merah muda,

konsistensi kenyal, tekstur berbintik-bintik seperti

kulit jeruk (stipling), tepi meruncing, dan tidak

mudah berdarah. Gingiva yang sehat dapat

mengalami peradangan yang disebut gingivitis.

Gingivitis merupakan salah satu bentuk penyakit

periodontal yang paling sering dijumpai.

Peradangan pada gingiva dapat dilihat

berdasarkan adanya perubahan pada warna,

konsistensi, tekstur, ukuran, dan kontur.11

Peradangan gingiva dimulai ketika plak

melekat di daerah interdental, kemudian

peradangan dapat meluas ke marginal gingiva.

Pembuluh darah yang mengalami dilatasi

menyebabkan gingiva berwarna merah dan

udematus disertai eksudat gingiva. Tepi gingiva

membulat, interdental groove menghilang dan

konsistensi gingiva menjadi lunak, mengkilap

serta stipling berkurang hingga menghilang. Jika

iritasi plak berlangsung lama, maka konsistensi

gingiva akan mengeras dan bentuk gingiva

menjadi tidak beraturan. Keluhan utama pada

pasien gingivitis adalah gingiva mudah berdarah

ketika menyikat gigi dan ketika makan makanan

yang keras. Gingiva yang mengalami peradangan

juga mudah berdarah ketika dilakukan

pemeriksaan dengan probing.11 Pasien gingivitis

sering mengalami halitosis atau bau mulut yang

disebabkan oleh aroma darah dan buruknya oral

hygiene. 10

Penyebab utama gingivitis adalah plak

bakteri yang berada pada supragingiva dan

subgingiva. Bakteri yang berperan pada gingivitis

terdiri atas spesies Gram positif 56% seperti

Streptococcus sanguinis dan Actinomyces

viscosus. Bakteri Gram negatif 44% seperti

Fusobacterium nucleatum dan Prevotella

intermedia, Spesies fakultatif 59% dan spesies

anaerob 41%.7 Faktor predisposisi merupakan

faktor yang memudahkan akumulasi plak seperti

restorasi yang salah, karies, impaksi makanan,

gigi tiruan, alat ortodonti yang tidak adekuat, gigi

berjejal, bernapas melalui mulut, developmental

groove pada permukaan servikal, dan kebiasaan

merokok.8 Gingivitis juga dapat dipengaruhi atau

diperberat oleh faktor penyakit dan kondisi

sistemik, seperti penggunaan obat-obatan,

malnutrisi, kelainan sistem endokrin, hormonal,

dan kelainan darah. Tingkat keparahan gingivitis

dapat diukur dengan Papilla Bleeding Index (PBI)

yang diperkenalkan oleh Saxer dan Muhlemann

(1975). 9

Perawatan gingivitis pada gigi berjejal

dimulai dengan pembuangan semua iritan lokal

penyebab radang dengan skeling dan penghalusan

akar (SPA) serta kontrol plak. Faktor predisposisi

yang memudahkan akumulasi plak juga

dihilangkan. Jika setelah dievaluasai tanda-tanda

peradangan belum hilang dan poket masih dalam,

maka dilakukan pembuangan dinding jaringan

lunak poket yang patologis dengan tindakan

bedah. 10

Pada penelitian ini ingin diketahui

bagaimana hubungan antara gigi berjejal dengan

gingivitis pada subyek yang datang ke Rumah

Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Trisakti. Hingga saat ini penelitian

mengenai hubungan antara gigi berjejal dengan

gingivitis kurang dikembangkan di Indonesia.

Pada penelitian ini juga ingin dilihat distribusi

frekuensi subyek gingivitis yang disebabkan oleh

gigi berjejal.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah observasional

analitik dengan rancangan potong silang untuk

melihat adanya hubungan antara gigi berjejal

dengan gingivitis. Subyek adalah pasien yang

datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Trisakti (RSGM

FKG Usakti) yang berusia 13 hingga 50 tahun

pada bulan Oktober hingga Desember 2014.

Subyek sebanyak 72 terdiri dari laki-laki dan

perempuan dibagi dalam 2 kelompok yaitu 36

disertai gigi berjejal dan 36 tidak disertai gigi

berjejal.

Subyek yang tidak termasuk dalam kriteria

inklusi adalah pasien dengan kondisi sangat

lemah; pasien yang menderita penyakit sistemik

seperti diabetes melitus, kelainan darah, penyakit

kardiovaskular, epilepsi, dan lupus; pasien yang

sedang mengonsumsi obat-obatan anti konvulsan,

imunosupresan, calcium channel blocker;

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

23

pengguna alat ortodonti; memiliki restorasi gigi

yang mengemper; wanita yang sedang hamil dan

menstruasi.

Alat dan bahan yang digunakan adalah alat

standar pemeriksaan, prob WHO, nierbekken,

kamera, alat tulis, penggaris, berbagai formulir

(informed consent, data pasien, hasil penelitian),

masker, sarung tangan, cutton bud, larutan

pewarna, alkohol 70%, povidone iodine 10%.

Subyek diminta kesediaannya untuk

berpartisipasi dalam penelitian. Gigi-geligi dan

kondisi gingiva dicatat meliputi warna, ukuran,

kontur, tekstur, dan konsistensi. Dilakukan

pemeriksaan indeks PBI dan data dianalisis

menggunakan program Statistical Product and

Service Solution (SPSS) versi 20.0 dan Microsoft

Word 2007.

HASIL

Subyek sebanyak 72 orang terdiri atas 36

subyek gigi berjejal dan 36 tanpa gigi berjejal.

Berdasarkan jenis kelamin subyek pria sebanyak

38 orang (52,8%) dan wanita 34 orang (47,2%).

Berdasarkan kelompok usia, subyek terbanyak

pada kelompok usia 25 – 30,9 tahun (23 orang/

31,9%) dan terkecil pada kelompok usia 49 – 54

tahun (1 orang/2,8%). Gigi berjejal dibagi 2

berdasarkan kedudukannya yaitu gigi berjejal

pada 1 rahang dan gigi berjejal pada 2 rahang.

Gigi berjejal pada 1 rahang dibagi menjadi gigi

berjejal hanya di rahang atas (RA) dan gigi

berjejal hanya di rahang bawah (RB). Subjek gigi

berjejal, lebih banyak pada kedua rahang yaitu 22

orang (61,1%). Subyek dengan gigi berjejal hanya

pada 1 rahang paling banyak pada RB yaitu 9

orang (25%).

Dari hubungan antara jenis kelamin dengan

kedudukan gigi (berjejal/ tidak berjejal), pada 36

subyek tanpa gigi berjejal terbanyak pada pria (21

orang/ 58,3%), gigi berjejal pada 1 rahang

terbanyak pada wanita, baik di RA (3 orang/

8,3%) maupun di RB (5 orang/ 13,9%). Pria dan

wanita memiliki gigi berjejal pada 2 rahang, sama

banyak yaitu 11 orang (30,6%). Dari hubungan

antara usia dengan kedudukan gigi (berjejal/tidak

berjejal), subyek tanpa gigi berjejal terbanyak

pada kelompok usia 25 – 30,9 tahun yaitu 10

orang (27,8%). Subyek dengan gigi berjejal 1

rahang terbanyak pada kelompok usia 25 – 30,9

tahun baik pada RA maupun RB 2 orang (5,6%)

dan 4 orang (11,1%). Subyek dengan gigi berjejal

pada kedua rahang terbanyak pada kelompok usia

25 – 30,9 tahun dan 31 – 36,9 tahun yaitu masing-

masing 7 orang (19,4%).

Dari hubungan antara jenis kelamin dengan

Papilla Bleeding Index (PBI) pada subyek tanpa

gigi berjejal. Pada pria, PBI terbesar (2-2,99)

ditemukan 12 orang (33,3%). Pada wanita PBI

terbesar ada pada 2 kelompok yaitu kelompok PBI

1-1,99 dan 2-2,99 sebanyak 6 orang (16,7%).

(Tabel 1)

Tabel 1. Hubungan antara jenis kelamin dengan PBI

pada subyek tanpa gigi berjejal

Jenis Kelamin

PBI

Total 0 –

0,99

1 –

1,99

2 –

2,99 3 - 4

Pria Jumlah 2 7 12 0 21

Persentase

(%) 5,6% 19,4% 33,3% 0% 58,3%

Wanita Jumlah 2 6 6 1 15

Persentase

(%) 5,6% 16,7% 16,7% 2,8% 41,7%

Total Jumlah 36

Persentase

(%) 100%

.

Dari hubungan antara jenis kelamin dengan

PBI pada subyek dengan gigi berjejal. Pada pria,

PBI terbesar (2-2,99) sebanyak 8 orang (22,2%).

Pada wanita PBI terbesar (2-2,99) sebanyak 10

orang (27,8%). (Tabel 2)

Tabel 2. Hubungan antara jenis kelamin dengan PBI

pada subyek dengan gigi berjejal.

Jenis Kelamin

PBI

Total 0 –

0,99

1 –

1,99

2 –

2,99 3 - 4

Pria Jumlah 0 6 8 3 17

Persentase

(%) 0% 16,7% 22,2% 8,3% 47,2%

Wanita Jumlah 2 5 10 2 19

Persentase

(%)

5,6% 13,9% 27,8% 5,6% 52,8%

Total Jumlah 36

Persentase

(%) 100%

Dari hubungan antara usia dengan PBI pada

subyek tanpa gigi berjejal, subyek pada kelompok

usia 19 - 24,9 tahun dengan nilai PBI 2-2,99

merupakan yang terbanyak yaitu 7 orang (19,4%),

diikuti dengan kelompok usia 37 – 42,9 tahun,

dengan nilai PBI 2-2,99 sebanyak 6 orang

(16,7%).setelah itu diikuti oleh subyek pada

kelompok usia 31 – 36,9 tahun, dengan nilai PBI

2-2,99 sebanyak 4 orang (11,1%). (Tabel 3)

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

24

Tabel 3. Hubungan antara usia dengan PBI pada

subyek tanpa gigi berjejal.

Usia (tahun)

PBI

Total 0 –

0,99

1 –

1,99

2 –

2,99 3 - 4

13 – 18,9 Jumlah

4 0 0 0 4

Persentase

(%) 11,1% 0% 0% 0% 11,1%

19 – 24,9 Jumlah

0 2 7 0 9

Persentase

(%) 0% 5,6% 19,4% 0% 25%

25 – 30,9 Jumlah

0 9 1 0 10

Persentase

(%) 0% 25% 2,8% 0% 27,8%

31 – 36,9 Jumlah

0 0 4 1 5

Persentase

(%) 0% 0% 11,1% 2,8% 13,9%

37 – 42,9 Jumlah

0 1 6 0 7

Persentase

(%) 0% 2,8% 16,7% 0% 19,4%

43 – 48,9 Jumlah

0 1 0 0 1

Persentase

(%) 0% 2,8% 0% 0% 2,8%

49 – 54 Jumlah

0 0 0 0 0

Persentase

(%) 0% 0% 0% 0% 0%

Total Jumlah 36

Persentase

(%) 100%

Dari hubungan antara usia dengan PBI pada

subyek tanpa gigi berjejal, ditemukan pada

kelompok usia 25 - 30,9 tahun dengan PBI 2-2,99

terbesar sebanyak 9 orang (25%). Kemudian

diikuti dengan kelompok usia 31 – 36,9 tahun,

dengan PBI 2-2,99 sebanyak 6 orang (16,7%).

(Tabel 4)

Tabel 4. Hubungan antara usia dengan PBI pada

subyek dengan gigi berjejal.

Usia (tahun)

PBI

Total 0 –

0,99

1 –

1,99

2 –

2,99 3 - 4

13 – 18,9 Jumlah

0 2 1 0 3

Persentase

(%) 0% 5,6% 2,8% 0% 8,3%

19 – 24,9 Jumlah

0 5 1 1 7

Persentase

(%) 0% 13,9% 2,8% 2,8% 19,4%

25 – 30,9 Jumlah

0 2 9 2 13

Persentase

(%) 0% 5,6% 25% 5,6% 36,1%

31 – 36,9 Jumlah

0 0 6 1 7

Persentase

(%) 0% 0% 16,7% 2,8% 19,4%

37 – 42,9 Jumlah

1 1 1 1 4

Persentase

(%) 2,8% 2,8% 2,8% 2,8% 11,1%

43 – 48,9 Jumlah

0 1 0 0 1

Persentase

(%) 0% 2,8% 0% 0% 2,8%

49 – 54 Jumlah

1 0 0 0 1

Persentase

(%) 2,8% 0% 0% 0% 2,8%

Total Jumlah 36

Persentase

(%) 100%

Pada subyek dengan gigi berjejal maupun

tanpa gigi berjejal. umumnya memiliki PBI 2-2,99

yaitu sebanyak 18 orang (25%). Dari 14 subyek

dengan gigi berjejal, sebanyak 4 orang memiliki

gigi berjejal hanya pada RA dengan PBI 1-1,99

(28,5%). Subyek dengan gigi berjejal hanya pada

rahang bawah ditemukan sebanyak 5 orang

dengan PBI 2-2,99 (35,7%). Dari 22 subyek

dengan gigi berjejal pada kedua rahang, 13 orang

memiliki PBI 2-2,99 (59,1%).

PEMBAHASAN

Beberapa studi yang telah dilakukan,

menunjukkan pasien dengan gigi berjejal

umumnya disertai gingivitis dengan derajat

keparahan yang bervariasi.8,9 Schroeder (2004)

membuktikan ada hubungan langsung antara

bakteri plak dengan peradangan gingiva. Namun,

dengan adanya oral hygiene yang baik gingivitis

tidak akan berkembang meskipun gigi berjejal.9

Derajat keparahan gingivitis dapat ditentukan

dengan pemeriksaan PBI. Jika hasil skor 0-0,99

berarti kondisi gingiva secara klinis sehat; 1-1,99

gingivitis ringan; 2-2,99 gingivitis sedang; dan 3-

4 gingivitis berat.11

Jumlah pasien yang datang di RSGM FKG

Usakti lebih banyak pria daripada wanita. Hal ini

menunjukkan kemungkinan pria memiliki

masalah kesehatan gigi dan mulut yang lebih

besar sehingga menimbulkan keluhan yang dirasa

harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Sebagian besar pasien yang datang, terdapat pada

kelompok usia 25 – 30,9 tahun. Hal ini

menunjukkan pada usia tersebut rentan terkena

penyakit gigi dan mulut.

Dari 36 pasien dengan gigi berjejal,

sebagian besar memiliki gigi berjejal pada kedua

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

25

rahang. Kemungkinan karena ketidaksesuaian

antara ruangan yang diperlukan dengan ruangan

yang tersedia berada pada kedua lengkung

rahang.12 Dari 14 pasien yang memiliki gigi

berjejal hanya pada 1 rahang, sebagian besar

terdapat pada rahang bawah. Penyebabnya selain

ketidakseimbangan antara ukuran rahang dan

gigi-geligi, kemungkinan ada faktor muskular

yang berpengaruh seperti keseimbangan tekanan

dari lidah, pipi dan bibir.13

Gigi berjejal lebih banyak pada wanita

karena pria sebagian besar memiliki lengkung

rahang yang lebih besar dibandingkan wanita.14

Dari hasil uji korelasi Pearson Chi-Square untuk

hubungan antara jenis kelamin dengan gigi

berjejal didapat nilai p=0,345 (p>0,05) yang

menunjukkan tidak ada hubungan bermakna

antara jenis kelamin dengan gigi berjejal.

Berdasarkan dari hasil uji korelasi Pearson Chi-

Square untuk hubungan antara usia dengan gigi

berjejal menunjukkan tidak ada hubungan

bermakna yang didapat dengan nilai p=0,817

(p>0,05). Pasien pria yang datang sebagian besar

terkena gingivitis (derajat sedang) baik pada pria

tanpa gigi berjejal maupun dengan gigi berjejal.

Pria tanpa gigi berjejal dengan gingivitis,

jumlahnya lebih banyak daripada pria dengan gigi

berjejal. Pria dengan gigi berjejal kemungkinan

menyadari akan giginya yang berjejal sehingga ia

berusaha untuk meningkatkan kebersihan

mulutnya.

Pasien wanita yang datang baik tanpa gigi

berjejal maupun dengan gigi berjejal sebagian

besar terkena gingivitis (derajat sedang). Wanita

dengan gigi berjejal yang terkena gingivitis,

jumlahnya lebih banyak daripada wanita tanpa

gigi berjejal. Wanita dengan gigi berjejal

kemungkinan kurang seksama dalam melakukan

oral hygiene karena kesibukannya dalam

mengurus rumah tangga. Dari hasil uji korelasi

Pearson Chi-Square untuk hubungan antara jenis

kelamin dengan gingivitis didapat nilai p=0,787

(p>0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan

bermakna antara jenis kelamin dengan gingivitis.

Pada kelompok usia 13 – 18,9 tahun tanpa

gigi berjejal sebagian besar memiliki gingiva

sehat, sedangkan pada kelompok usia yang sama

dengan gigi berjejal umumnya terkena gingivitis

ringan. Kemungkinan pasien pada kelompok ini

masih berusia muda sehingga masih kurang

kesabaran dalam membersihkan gigi-geliginya.

Pada kelompok usia 19 – 24,9 tahun tanpa gigi

berjejal umumnya terkena gingivitis sedang,

sedangkan pada kelompok usia yang sama dengan

gigi berjejal umumnya terkena gingivitis ringan.

Kemungkinan pasien pada kelompok usia ini

dengan gigi berjejal menyadari akan giginya yang

berjejal sehingga ia berusaha untuk meningkatkan

kebersihan mulutnya.

Pada kelompok usia 25 – 30,9 tahun tanpa

gigi berjejal sebagian besar terkena gingivitis

ringan, sedangkan pada kelompok usia yang sama

dengan gigi berjejal terkena gingivitis sedang.

Kemungkinan pasien pada usia ini berada pada

kelompok usia aktif sehingga kekurangan waktu

untuk memperhatikan kesehatan rongga

mulutnya. Pada kelompok usia 31 – 36,9 tahun

tanpa gigi berjejal dan dengan gigi berjejal

umumnya terkena gingivitis (derajat sedang).

Pasien dengan gigi berjejal yang terkena gingivitis

jumlahnya lebih banyak daripada pasien tanpa

gigi berjejal. Kemungkinan pasien pada

kelompok usia 31 – 36,9 tahun memiliki stres

emosional yang tinggi. Pada penelitian ini, stres

emosional pada usia awal dewasa kemungkinan

terjadi ketika seseorang kesulitan mendapatkan

pekerjaan ataupun kesulitan di bidang ekonomi

ataupun kesulitan dalam menyeimbangkan

hidupnya baik bekerja, berumah tangga, dan

mengurus keluarga.17,18

Stres emosional dapat memicu terjadinya

penyakit periodontal. Stres dan depresi dapat

menurunkan fungsi sistem imun dan

memfasilitasi respon inflamasi. Penurunan sistem

imun dimediasi oleh kelenjar hipotalamus,

pituitari, dan adrenal. Kortisol dibentuk sehingga

menurunkan sistem imun dengan cara

menghambat immunoglobulin A dan G serta

fungsi neutrofil. Hal ini menyebabkan

meningkatnya kolonisasi biofilm dan

menurunkan kemampuan tubuh melawan invasi

bakteri.19

Pada kelompok usia 37 – 42,9 tahun tanpa

gigi berjejal umumnya terkena gingivitis sedang,

sedangkan pada kelompok usia yang sama dengan

gigi berjejal memiliki jumlah yang sama untuk

gingiva sehat, gingivitis ringan, sedang dan berat.

Hal ini menunjukkan kesehatan gingiva

ditentukan dari tingkat oral hygiene setiap

individu. Apabila tingkat oral hygiene sangat

baik, maka gingiva akan sehat. Apabila tingkat

oral hygiene sangat buruk, maka ditemukan

gingivitis.

Pada kelompok usia 43 – 48.9 tahun tanpa

gigi berjejal dan dengan gigi berjejal umumnya

terkena gingivitis (derajat ringan). Pasien pada

kelompok usia 43 – 48.9 tahun kemungkinan lebih

banyak pengetahuan mengenai pemeliharaan

kebersihan gigi dan mulut dibandingkan usia yang

lebih muda sehingga baik pasien tanpa gigi

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

26

berjejal maupun dengan gigi berjejal memiliki

inflamasi gingiva yang lebih ringan jika

dibandingkan pada kelompok usia yang lain. Dari

hasil uji korelasi Pearson Chi-Square untuk

hubungan antara usia dengan gingivitis didapat

nilai p=0 (p<0,05) yang menunjukkan ada

hubungan bermakna antara usia dengan gingivitis.

Pasien dengan gigi berjejal maupun tanpa

gigi berjejal umumnya terkena gingivitis sedang.

Hal ini disebabkan karena rata-rata pasien yang

datang ke RSGM FKG Usakti tergolong dalam

sosio-ekonomi menengah ke bawah, yang

menyebabkan kurangnya pengetahuan akan

melakukan oral hygiene dengan baik. Hal ini

ditandai baik pasien yang memiliki gigi berjejal

dan tidak berjejal, banyak disertai karies, plak dan

kalkulus.

Beberapa pasien juga diduga memiliki

periodontitis kronis lokal baik pada pasien dengan

gigi berjejal maupun tidak berjejal. Hal ini

ditandai dengan adanya tanda-tanda klinis seperti

gingivitis, plak dan kalkulus yang terasa saat

dilakukan probing di subgingiva, perdarahan yang

spontan saat probing, dan dirasakan ada

kegoyangan pada gigi. Oleh karena itu, dari hasil

uji korelasi Pearson Chi-Square untuk hubungan

antara gigi berjejal dengan gingivitis

menunjukkan tidak ada hubungan bermakna yang

didapat dari nilai p=0,321 (p>0,05).

Pasien dengan gigi berjejal pada 1 rahang

umumnya terkena gingivitis ringan, sedangkan

gigi berjejal pada 2 rahang umumnya terkena

gingivitis sedang. Jumlah gigi berjejal

berpengaruh pada kesehatan gingiva. Semakin

banyak jumlah gigi berjejal maka semakin banyak

akumulasi plak pada permukaan gigi sehingga

memperberat inflamasi gingiva.

Pasien dengan gigi berjejal pada 1 rahang,

umumnya terkena gingivitis ringan pada rahang

atas sedangkan rahang bawah umumnya terkena

gingivitis sedang. Hal ini mungkin berhubungan

dengan muara kelenjar saliva pada rahang bawah.

Lingual rahang bawah terdapat 2 duktus yang

terus mensekresikan saliva yaitu duktus Warthon

dan Bartholin.20

Saliva yang disekresikan mengandung

mineral-mineral anorganik yang kemudian

mengalami kalsifikasi berupa kalkulus. Kalkulus

yang terbentuk pada gigi rahang bawah dapat

memudahkan retensi plak apabila oral hygiene

tidak dilakukan dengan baik.21 Dari hasil uji

korelasi Pearson Chi-Square untuk hubungan

antara jumlah keterlibatan rahang pada gigi

berjejal dengan gingivitis didapat nilai p=0,023

(p<0,05) yang menunjukkan ada hubungan

bermakna antara jumlah keterlibatan rahang pada

gigi berjejal dengan gingivitis.

KESIMPULAN

Dalam hubungan antara gigi berjejal

dengan gingivitis dapat disimpulkan bahwa jenis

kelamin tidak berhubungan dengan gingivitis.

Gingivitis dapat terjadi baik pada pria maupun

wanita dengan gigi berjejal. Faktor usia pada gigi

berjejal berhubungan dengan gingivitis. Gigi

berjejal sama halnya dengan gigi tidak berjejal,

keduanya dapat terjadi gingivitis. Pelaksanaan

teknik oral hygiene yang baik dapat mencegah

terjadinya gingivitis. Terdapat hubungan antara

jumlah keterlibatan rahang pada gigi berjejal

dengan gingivitis. Semakin banyak jumlah gigi

yang berjejal maka semakin banyak akumulasi

plak pada permukaan gigi sehingga memperberat

inflamasi gingiva.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

dengan jumlah sampel yang lebih besar agar dapat

memberikan hasil yang lebih akurat. Subyek perlu

diberikan edukasi terlebih dahulu dalam

melakukan teknik oral hygiene agar dapat

diperoleh keseragaman dan dapat meningkatkan

keakuratan hasil penelitian. Penelitian selanjutnya

sebaiknya mengklasifikasikan gigi berjejal dalam

kelompok ringan, sedang, dan berat agar dapat

melihat tingkat keparahan gigi berjejal yang

memengaruhi gingivitis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perry DA, Beemsterboer PL. Periodontology

for Dental Hygienist. Ed ke- 3. St.Louis:

Saunders Elsevier; 2007: 66-70, 103-4

2. Reddy S. Essentials of Clinical

Periodontology and Periodontics. Ed ke-2.

New Delhi: Jaypee Brothers Medical

Publishers; 2008: 145-6

3. Laskaris G. Color Atlas of Oral Diseases in

Children and Adolescents. New York:

Thieme; 2000

4. Permana H. Promosi Doktor Yuniarti

Soeroso. 2011. Jakarta: Universitas

Indonesia (cited 2011 Sept 2). Available

from:

http://old.ui.ac.id/id/news/archive/5185

5. Howe RP, McNamara JA, O’Connor KA. An

examination of dental crowding and its

relationship to tooth size and arch. Am J

Orthod.1983; 83:363

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 21 – 27

27

6. Golwalkar SA, Msitry KM. An evaluation of

dental crowding in relation to the mesiodistal

crown widths and arch dimensions. J Ind

Orthod Soc. 2009; 43:22

7. Puscasu C, Totolici D, Dumitriu A, Dumitriu

HT. Laporan Kasus. Oral health and dental

management in Black Sea Country.

Instanbul. 2005

8. Gusmao ES, Queiroz RDC, Coelho RS,

Cimoes R, Santos RL. Association between

malpositioned teeth and periodontal disease.

Dental Press J Orthod 2011;4

9. Schroeder MDS, Ribeiro RLU. Evaluation of

periodontal index of gingival and plaque with

dental crowding in development of gingivitis

in children and adolescents. Revista

Sal.Brasileira de Odontologia 2004

10. Elley BM, Manson JD. Periodontics. Ed ke-

5. London: Wright; 2004: 112,144,191-2

11. Reddy VC, Kumar BRA, dan Ankola A.

Relationship between gingivitis and

anterior teeth irregularities among 18 to 26

years age group: a hospitalbased study in

Belgaum, Karnataka. J Oral Health Comm

Dent. 2010;4:64.

12. Rai B, Kaur J, Kharb S. Pregnancy gingivitis

and periodontitis and its systemic effect. The

Internet Journal of Dental Science 2008;6:2

13. American Academy of Periodontology.

Treatment of plaque-induced gingivitis,

chronic periodontitis, and other clinical

conditions. American Academy of

Periodontology. 2004; 36:14

14. Carranza FA. Glickman's Clinical

Periodontology. Ed ke-10. Philadelphia:

W.B. Saunders Company; 2006: 728 – 45

15. Notohartojo IT, Halim FX. Gambaran

kebersihan mulut, gingivitis pada murid

sekolah dasar di Puskesmas Sepatan,

kabupaten Tangerang. Media Litbang

Kesehatan. 2010; 4:179-186.

16. Zahnmed SM. Subgingival plaque due to

gingivitis and inactive periodontitis sites in

the adult periodontitis patient. 1995. USA:

Pubmed (cited 2011 Sept 2). Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/78784

15

17. Amoian B, Moghadamnia AA, Barzi S,

Sheykholeslami S, Rangiani A. Salvadora

persica extract chewing gum and gingival

health: Improvement of gingival and probe-

bleeding index. Complement Ther Clin

Pract. 2010; 16:121-3

18. Gehrig JS, Willmann DE. Foundations of

Periodontics for the Dental Hygienist. Ed ke-

2. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2008:154-5

19. Carranza F A, Newman MG. Carranza’s

Clinical Periodontology. Ed ke-9.

Philadelphia: W. B. Saunders Company;

2004: 269

20. Wiebe CB, Putnins EE. The periodontal

disease classification system of the American

Academy of Periodontology – An update. J

Can Dent Assoc. 2000; 66:594-7

21. Wolf HF, Hassell TM. Color Atlas of Dental

Hygiene. Ed ke-1. New York: Georg Thieme

Verlag; 2006:68-70,80

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

28

Pertumbuhan Linier (stature) dan Tulang Dentofasial pada Penderita Talasemia

Beta Mayor

(Studi Pustaka)

Loes D Sjahruddin

Departemen Pedodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT

Background: Thalassemia is an inherited genetic disorder of hemoglobin synthesis. Stunted growth

of bones and growth retardation are found in Thalassemia β mayor patients. Objective: The aim of

this paper was to provide knowledge that the growth of the body can be observed through

anthropometric measurements. Literature review: There are several anthropometric measurements

that are used as indicators of general growth, including weight, height, head circumference

measurement, soft tissue measurements, measurement of chest circumference and growth of dentition.

Normal weight and height have a relationship with a proportional dentofacial bones. Therefore, in a

thalassemia β mayor patient, disharmony of the growth of the dentofacial bones are due to the

deviation of growth in the dentofacial complex, and the short stature of an individual is a growth

deviation due to less optimal linear growth. Conclusion: In Thalassemia β mayor patients, stunted

growth of bones is apparent due to growth retardation.

Keywords : Thalasemia , stature, dentofacial

PENDAHULUAN

Talasemia adalah penyakit kelainan darah

bawaan yang diturunkan secara autosomal

resesif, dengan gejala utama anemia.1 Kelainan

genetik ini disebabkan gangguan pembentukan

rantai globin yang terdapat pada hemoglobin.

Penderita talasemia akan mengalami anemia

hemolitik yang disebabkan oleh kurangnya atau

tidak adanya sintesis rantai globin yang

merupakan penyusun hemoglobin, bisa rantai

alfa atau rantai beta.2 Salah satu akibat dari

penyakit talasemia ini adalah terjadinya

gangguan pertumbuhan dan perkembangan tubuh

penderita. Khususnya pada penderita talasemia

akan terjadi deformitas tulang terutama pada

tulang ceper, seperti pada tulang wajah.

Adanya gangguan pertumbuhan mungkin

merupakan gejala dini dari suatu penyakit. Pada

penderita talasemia, akibat penyimpangan

pertumbuhan akan mengakibatkan

ketidakharmonisan skeletal. Bila terjadi

penyimpangan pertumbuhan pada kompleks

kraniofasial khususnya gigi geligi dan rahang

akan mengakibatkan gangguan pada kesehatan

mulut, fisik, estetik dan mental seseorang.

Umumnya proses tumbuh kembang anak

berjalan bersamaan dan merupakan proses yang

dilalui oleh setiap anak menuju dewasa.. Untuk

memantau pertumbuhan tubuh dapat diamati

melalui pengukuran secara antropometrik.3 Ada

beberapa pengukuran antropometrik yang

dipakai sebagai indikator pertumbuhan umum,

antara lain berat badan, tinggi badan, pengukuran

lingkar kepala, pengukuran jaringan lunak,

pengukuran lingkar dada serta pertumbuhan gigi

geligi.4 Wajah yang serasi merupakan hasil

pertumbuhan tulang fasial yang normal. Ada

dugaan, berat badan dan tinggi badan yang

normal mempunyai hubungan dengan wajah

yang proporsional. Oleh karena itu anomali

tulang dentofasial terjadi akibat deviasi tumbuh

kembang pada kompleks dentofasial, dan

perawakan pendek seorang individu merupakan

penyimpangan tumbuh kembang akibat

pertumbuhan linier yang kurang optimal dengan

tidak lupa membandingkannya dengan pola

pertumbuhan anggota keluarga yang lainnya.

Pertumbuhan Tulang Dentokraniofasial

Kompleks kraniofasial terdiri dari berbagai

komponen tulang yang saling berkaitan.

Kraniofasial terdiri dari basis kranium, tulang

kalvarium, kompleks nasomaksila dan

mandibula.5 Tulang kraniofasial mempunyai pola

pertumbuhan yang kompleks. Pada waktu lahir

kranium terdiri dari 45 buah tulang yang terpisah

satu sama lainnya oleh kartilago atau jaringan

ikat. Setelah dewasa, dengan adanya proses

penyatuan yang sempurna dari beberapa tulang

maka ke 45 buah tulang tersebut menjadi 22

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

29

buah tulang. Setelah proses osifikasi selesai, 14

dari 22 buah tulang membentuk tulang

fasial/viserokranium dan 8 buah tulang

membentuk kranium/ neurokranium.6

Tulang kranium/neurokranium terdiri dari

tulang kalvarium atau tulang tempurung kepala

dan basis kranium atau dasar kepala tempat otak

terletak. Tulang fasial/ viserokranium terdiri dari

kompleks nasomaksila dan mandibula. Pola

pertumbuhan neurokranium yaitu kalvarium dan

basis kranium posterior mengikuti sistem neural,

tetapi pertumbuhan basis kranium anterior

mengikuti pola pertumbuhan neural dan somatik.

Pertumbuhan viserokranium yang terdiri dari

kompleks nasomaksila dan mandibula mengikuti

pola pertumbuhan somatik. Neurokranium

bertumbuh dengan cepat pada periode prenatal

untuk otak yang juga berkembang dengan cepat.

Menjelang usia 2 tahun ukuran kranium

mencapai 87%, usia tujuh tahun telah mencapai

90% volume dewasa dan pada usia 10 tahun

telah mencapai 95% volume dewasa.7

Sebaliknya pertumbuhan tulang fasial lebih

lambat dibandingkan kranium tetapi berlangsung

lebih lama.

Pertumbuhan kompleks nasomaksila atau

wajah bagian atas dipengaruhi oleh pertumbuhan

basis kranial. Pertumbuhan fasial meliputi

pertumbuhan tinggi fasial (arah vertikal),

pertumbuhan lebar fasial (arah transversal), dan

pertumbuhan kedalaman fasial (arah

anteroposterior). Pusat pertumbuhan maksila

terdapat pada sutura-sutura dari kompleks

nasomaksila. Pertumbuhan fasial yang paling

nyata adalah adanya penambahan ukuran tinggi

fasial 3 – 4 kali, pertumbuhan lebar fasial 2 kali

dan pertumbuhan anteroposterior 1.5 kali. Hasil

akhir pertumbuhan maksila mengubah fasial

bawah orang dewasa menjadi relatif lebih tinggi,

lebih lebar dan lebih panjang.

Wajah bagian bawah dibentuk dari sebuah

tulang yang berdiri sendiri yaitu mandibula.

Mandibula pada anak yang baru lahir sangat

kecil, yang berbentuk melengkung hampir lurus

dan terdiri atas dua bagian yang sama besar.

Perkembangan kondilus masih sangat sedikit.

Kedua bagian mandibula ini dipisahkan dibagian

tengah oleh simfisis menti yang terdiri dari

jaringan fibrosa. Kedua rami mandibula ini pada

waktu lahir berbentuk amat pendek dan kondilus

sama sekali belum berkembang.7 Pada akhir

kehidupan pertama, kedua bagian mandibula

yang terpisah itu akan menutup oleh simfisis

yang mengalami perkapuran menjadi tulang.

Pusat pertumbuhan mandibula terjadi pada

prosesus koronoideus, prosesus kondiloideus,

ramus, korpus mandibula dan dagu. Lebar

mandibula mengikuti pertumbuhan kranium

karena tulang kondilus mandibula berhubungan

dengan tulang kranium. Pertumbuhan kompleks

nasomaksila mencapai 80% pada umur 6 tahun

dan tidak banyak mengalami akselerasi

pertumbuhan puber. Jika pertumbuhan tulang

maksila tidak sesuai dengan pertumbuhan

mandibula, maka akan terjadi anomali

dentofasial.8

Gangguan Pertumbuhan Linier pada

Penderita Talasemia Beta

Pertumbuhan linier seorang individu

dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun faktor

ekstrinsik yang saling berkaitan satu sama

lainnya. Nutrisi merupakan faktor lingkungan

yang penting untuk mencapai tumbuh kembang

yang optimal oleh karena nutrisi mutlak

diperlukan oleh setiap mahluk hidup untuk

bertumbuh dan berkembang serta berfungsi

secara maksimal.9

Pertambahan tinggi badan yang paling

pesat terjadi dalam kurun waktu 2 tahun sesudah

kelahiran, kemudian menjadi lambat sampai

kira-kira usia 10 tahun pada anak perempuan dan

kira-kira usia 12 tahun pada anak laki-laki.

Setelah itu laju pertumbuhan dimulai lagi sampai

kira-kira usia 16 tahun pada perempuan dan kira-

kira usia 18 tahun pada laki-laki.10

Gangguan pertumbuhan pada penderita

talasemia dapat berupa berat badan dan

panjang/tinggi badan lebih rendah dari standar

rata-rata, kecepatan pertumbuhan yang kurang,

berkurangnya ketebalan lemak tubuh sampai

berupa gangguan pubertas.11 Tinggi badan

terutama digunakan sebagai indikator untuk

mengamati suatu proses pertumbuhan. Berat

badan lebih erat kaitannya dengan status gizi dan

keseimbangan cairan, namun dapat digunakan

sebagai data tambahan untuk menilai

pertumbuhan. Deviasi pertumbuhan ini selain

oleh karena masukan nutrien yang kurang, juga

karena berbagai faktor seperti hipoksia seluler

dan gangguan endokrin akibat hemolisis dan

anemia kronik.12

Pada penderita talasemia sebagai respons

terhadap hemolis yang terjadi, maka secara

fisiologik akan terjadi peningkatan eritropoiesis.

Eritropoiesis yang terjadi pada sumsum tulang

akan mengakibatkan deformitas pada tulang.

Fusi prematur bagian epifisis tulang-tulang

panjang menyebabkan memendeknya bagian

proksimal tulang humerus. Penyimpangan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

30

pertumbuhan ini mengakibatkan banyak

penderita talasemia mempunyai perawakan yang

pendek.13,14

Batas antara gizi baik dan gizi kurang

menurut World Health Organization (WHO)

adalah persentil 3 sedangkan batas antara gizi

baik dan gizi lebih adalah persentil 97. Bila

dilihat perbandingan tinggi badan terhadap umur,

maka anak yang berada di bawah garis persentil

3 disebut perawakan pendek, yang berada di atas

garis persentil 97 disebut perawakan tinggi,

sedangkan anak yang berada di antara persentil

97 dan 3 disebut perawakan normal. Dalam

menentukan pertumbuhan normal, laju

pertumbuhan lebih bermanfaat daripada kurva

pertumbuhan standar. Pertumbuhan merupakan

proses aktif, maka dianjurkan melakukan

pengukuran secara berkala. Untuk anak di bawah

satu tahun dianjurkan pemeriksaan berkala setiap

bulan, usia 1 – 5 tahun setiap 3 bulan, dan di atas

5 tahun setiap 6 bulan.15

Gangguan Tumbuh Kembang pada Penderita

Talasemia Beta

Telah diketahui talasemia adalah suatu

penyakit genetik yang disebabkan oleh gangguan

sintesis rantai globin yang menyusun

hemoglobin. Gangguan berupa kekurangan rantai

globin tersebut menimbulkan serangkaian gejala

klinis. Namun pada penderita tertentu gejala

klinis sangat minim atau bahkan tidak ada.

Talasemia beta merupakan bentuk talasemia

yang paling banyak ditemukan. Secara klinis

talasemia beta dibagi menjadi 3 golongan:

talasemia mayor yaitu bentuk homozigot yang

memberikan gejala klinis berat, talasemia

intermedia, dan talasemia minor yang tidak

memperlihatkan gejala klinis.2,16

Pada penderita talasemia terjadi proses

hemolisis sehingga terjadi anemia kronis dan

selanjutnya berakibat terjadinya hipoksia

jaringan. Sebagai respons terhadap hemolisis

yang terjadi, maka secara fisiologik akan terjadi

peningkatan eritropoiesis. Eritropoiesis yang

terjadi pada sumsum tulang akan mengakibatkan

deformitas tulang terutama ceper seperti pada

tulang wajah. Apabila penyakit ini tidak

ditangani dengan baik maka dalam

pertumbuhannya anak akan tampak pucat, tidak

ada nafsu makan, diare, berkurangnya lemak

tubuh dan jaringan otot serta dapat disertai

demam yang berulang akibat infeksi. Hal lain

yang tampak pada penderita talasemia akibat

anemia yang berat dan proses hemolisis adalah

terjadinya gangguan pertumbuhan dan retardasi

perkembangan dan hal ini dikaitkan dengan

kemungkinan adanya perubahan pada kelenjar

hipofise.17 Gangguan pertumbuhan akibat anemia

yang khronis dan kekurangan gizi ini

menyebabkan banyak penderita talasemia

mempunyai perawakan tubuh yang pendek.16

Hemosiderosis pada hati menyebabkan

penurunan produksi somatomedin, yaitu faktor

yang bertanggung jawab terhadap sekresi

hormon pertumbuhan dan menstimulasi

pertumbuhan tulang rawan.16,18 Pengobatan

talasemia pada dasarnya hanya bersifat

simtomatik dan suportif berupa transfusi darah

secara teratur seumur hidup dan pemberian kelasi

besi, karena sampai saat ini belum ada

pengobatan kausal.

Gangguan Pertumbuhan Dentokraniofasial

pada Penderita Talasemia Beta

Pengukuran pada tulang fasial dapat

dilakukan baik secara antropometri, melalui

pengukuran langsung pada kepala dan fasial

subjek maupun dengan bantuan radiografi, yaitu

melalui radiografik sefalometri. Pengukuran

antropometri dan sefalometri dapat menunjukkan

perubahan fasial dalam arah anteroposterior,

vertikal, dan mediolateral.

Penyimpangan pertumbuhan pada

komponen dentofasial dapat diketahui melalui

pengukuran linier dan anguler pada sefalometri,

kemudian membandingkannya dengan norma

ukuran baku subjek normal yang disesuaikan

dengan kelompok ras, umur, dan jenis kelamin.

Kelainan dentofasial tersebut dapat terjadi antara

hubungan maksila dan mandibula terhadap

kranium serta hubungan antara mandibula dan

maksila dalam arah anteroposterior, vertikal, dan

mediolateral.18

Bentuk penyimpangan dalam arah vertikal

dapat berupa gigitan terbuka (open bite) dan

gigitan dalam (deep bite). Untuk menegakkan

diagnosis pada kelainan dentofasial dalam arah

vertikal, proporsi fasial lebih penting daripada

nilai absolut.19

Pembahasan

Kemungkinan diskrepansi yang besar

antara tulang mandibula dan maksila pada

penderita talasemia terjadi akibat mandibula

yang kurang bertumbuh dibandingkan maksila..

Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian

Pusaksrikit dkk.yang menemukan pada penderita

talasemia laki-laki lebih banyak menderita

maloklusi kelas II dibandingkan penderita

talasemia perempuan. Hal ini mengisyaratkan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

31

bahwa mandibula pada laki-laki tumbuh lebih

lambat dan mengalami hambatan oleh

pertumbuhan maksila yang luar biasa.14

Demikian pula hasil evaluasi sefalogram

terhadap 32 anak talasemia usia 6 – 18 tahun

dijumpai maloklusi skeletal kelas II sebanyak

90,6% namun tidak terdapat perbedaan jenis

kelamin yang berarti (Retno Hayati, 1993). Pola

dentoskeletal anak talasemia menurut Retno

Hayati (1998) lebih cembung dibandingkan

dengan anak normal sebagai akibat posisi

mandibula yang retrognati dan ukuran korpus

mandibula yang lebih pendek. Tampaknya

bagian kortikal padat dari mandibula menahan

perluasan pertumbuhan tulang mandibula.

Tampaknya bagian kortikal padat dari mandibula

menahan perluasan pertumbuhan tulang

mandibula. Perubahan-perubahan pada tulang itu

dapat terjadi diawal kehidupan dan cenderung

menetap, terutama pada tulang tengkorak.20

Selanjutnya respon terhadap anemia dan

eritropoeisis yang tidak efektif pada penderita

talasemia menyebabkan terjadinya hiperplasia

eritroid yang hebat dalam sumsum tulang dengan

akibat terjadinya deformitas pada tulang,

terutama pada tulang tengkorak, tulang panjang,

kaki dan tangan. 17,21

Hasil penelitian Retno Hayati

menyatakan retardasi pertumbuhan gigi dan

skelet kraniofasial pada subyek talasemia sejalan

dengan retardasi pertumbuhan somatik. Dari

hasil beberapa penelitian yang sudah dilakukan

dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan

penyimpangan pertumbuhan tubuh secara linier

dengan penyimpangan pertumbuhan pada tulang

komponen dentofasial. Perubahan pada tulang

akibat proses perluasan rongga sumsum tulang

akan mengakibatkan penipisan pada bagian

korteks tulang (osteoporosis) sehingga dapat

terjadi fraktur patologis.

KESIMPULAN

Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada

seorang penderita talasemia yang tidak diobati

berupa perubahan pada tulang akibat proses

perluasan rongga sumsum tulang. Pemberian

transfusi untuk mengurangi akibat anemia kronik

yang dapat menimbulkan hipoksia pada jaringan

akan mengakibatkan terjadinya kelainan pada

berbagai organ, tulang dan gigi.

Transfusi harus diberikan dengan disertai

kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi

dalam tubuh. Jika diagnosis cepat ditegakkan

dan anak mendapat transfusi darah secara teratur,

pertumbuhan selanjutnya menjadi relatif normal.

Gangguan pertumbuhan tulang dentofasial

sejalan dengan pertumbuhan linier (stature) pada

penderita talasemia.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga

A, Porter J. Guidelines for the Clinical

Management of Thalassaemia, 2nd

Revised edition. Thalassaemia International

Federation; 2008.

2. Weatherall DJ, Clegg JB. The β thalassemias.

Dalam: Gibbons R, Higgs DR, Old JM,

Oliveri NF, Thein SL, Wood WG,

penyunting. The Thalassemia Syndromes.

Blackwell Science Ltd, London, 2001. h.287-

344.

3. Ismael, S. Tumbuh Kembang Anak dalam

Pencapaian Potensi Sumber Daya

Manusia yang Tangguh. Pidato Pengukuhan

Guru Besar FKUI. Jakarta. 1991.

4. Sularyo, TS. Pertumbuhan Linier (stature)

Anak dan Upaya Pemantauannya dengan

Minat pada Perawakan Pendek/Terlalu

Pendek. Dalam: Rukman Y dkk, Penyunting

Masalah Penyimpangan Pertumbuhan

Somatik pada Anak dan Remaja. Naskah

lengkap PKB IKA FKUI, 16-17 Februari

1993. Hlm: 29-47

5. Proffit WR, Fields HW. Contemporary

Orthodontics. 5rd ed. St. Louis : Mosby Co,

2012. p. 42-55; 165-105.

6. Graber TM. Orthodontics, Principle and

Practice: 3rd ed. Philadelphia: W.B Saunders

Co. 1972. h. 40-75.

7. Ranly, D.M. A Synopsis of Craniofacial

Growth. 2th ed. London: Prentice-Hall

International Inc. 1988. P 82-123.

8. Foster, TD. A Textbook of Orthodontics. 2nd

ed. Blackwell Scientific Publications. 1993. p.

1-25, 75-82.

9. Nasar SS. Aspek Gizi pada Anak dengan

Perawakan Pendek. Dalam : Rukman Y,

Batubara J, Tridjaja B, penyunting. Masalah

Penyimpangan Pertumbuhan Somatic

pada Anak dan Remaja. Naskah lengkap

PKB- IKA XXVIII, FKUI. 1993, 16-17

Februari. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 1993.

p.63-72.

10.Enlow DH. Facial Growth. WB Saunders

Comp. 3th ed. 1990. p. 58-148; 433-34.

11.Fuchs GJ, Tienboon P, Khaled MA, Nimsakul

S, Linpisarn S, Faruque ASG. Nutritional

Support and Growth in Thalassemia Major.

Archives of Disease in Childhood 1997,

76:509-12.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 28 – 32

32

12.Zakaria P, Gomes MS, Widjaya S. Metode

Baru Skrining Pembawa Gen Thalassemia di

Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan

Kita. Jakarta. Medika 1996; 11:873-.6

13.Davies SC, Cronin E, Gill M et al. Screening

for Sickle Cell Disease and Thalassaemia: a

Systematic Review with Supplementary

Research. Health Technol Assess. 2000;4(3).

14.Drew SJ. & Sachs SA. Management of the

Thalassemia-Induced Skeletal Facial

Deformity. J. Oral Maxillofac Surg. 1997;

55:1331-39.

15.World Health Organization. WHO Child

Growth Standards: Length/Height-for-Age,

Weight-for-Age, Weight-for-Length, Weight-

for-Height, and Body Mass Index-for-Age:

Methods and Development. Geneva,

Switzerland: World Heath Organization.

2006.

16.Wahidiyat I. Penelitian thalasemia di Jakarta.

Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

1979.

17.Firkin F, Chesterman C, David P & Rush B.

Clinical Haemotology in Medical Practice. 4th

ed. Blackwell Scientific Publications. 1989;

154-71.

18.Spiliotis BE. β-Thalassemia and Normal

Growth: are They Compatible? Eur J of

endocrinology, 1998, 139:143-4

19.Nanda RS. Growth Pattern in Subjects with

Long and Short Faces. Am J Orthod Dentofac

Orthop 1990; 98:247-58.

20.Retno-Hayati. Pola Deformitas

Dentoskeletal pada Anak Talasemia dan

Faktor Determinannya. Disertasi, Jakarta :

Universitas Indonesia. 1998.

21.Hughes-Jones, NC & Wickramasinghe, SN .

Lecture Notes on Haematology. 8th ed.

Blackwell Scientific Publications Ltd,

Oxford. 2009; 46-51.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

33

Pentingnya Faktor Ergonomi dalam Penerapan Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja Guna Pencegahan Nyeri Punggung Bawah pada Dokter Gigi

(Studi Pustaka)

Mita Juliawati

Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat dan Kedokteran Gigi Pencegahan Gigi Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT

Background: In the competitive era, the implementation of Occupational Safety and Health (OSH)

management, especially in the field of dentistry, is not only for protecting patients, but also for dentists.

Ergonomics is part of Occupational Safety and Health Management. The importance of ergonomic

factors for dentists, among others, is to prevent disorders of the musculoskeletal system that often

occur in the lower back which may causes discomfort. Objective: This literature review aims to raise

awareness of the importance of ergonomic factors in the application of occupational health and safety

management in preventing low back pain in dentists. Conclusion: Ergonomics factors play a role in

preventing lower back pain in dentists. The application of awkward posture correction, ergonomic

equipment design and the application of four-handed dentistry affect the success of occupational health

and safety management systems in the prevention of lower back pain.

Keyword: ergonomics, occupational safety and health, lower back pain, dentist

PENDAHULUAN

Dalam era kompetitif saat ini, penerapan

manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di

setiap bidang usaha yang melibatkan pekerja

merupakan suatu kewajiban, Perlunya manajemen

keselamatan dan kesehatan kerja khususnya

dalam bidang kedokteran gigi tidak hanya untuk

melindungi pasien, tetapi untuk melindungi diri

dokter gigi. Sebagai contoh hal yang sering terjadi

karena kelalaian dokter gigi terhadap manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam hal ini

faktor ergonomi. Pentingnya faktor ergonomi

bagi pasien dan dokter gigi, antara lain guna

mencegah timbulnya gangguan pada sistem

muskulo skeletal. Hal yang sering terjadi adalah

nyeri punggung bawah atau low back pain yang

dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada saat

dokter gigi bekerja.

Data mutakhir menjelaskan bahwa banyak

dokter gigi di dunia yang pernah mengalami nyeri

punggung bawah. Menurut Alexopoulos et al

sekitar 46% dari dokter menemukan 77,1% dokter

gigi mengalami rasa sakit ini. Studi lain di Arab

Saudi disitir oleh Abduljabbar et al bahwa 52,1%

dari dokter gigi di sana pun mengalami kondisi

serupa.1

Salah satu penyebab sindroma

muskuloskeletal pada dokter gigi adalah karena

dokter gigi hanya memperhatikan kenyamanan

bagi pasien yang dirawat, tetapi kurang

memperhatikan kenyamanan bagi diri mereka

sendiri saat merawat pasiennya. Dokter gigi

menganggap bahwa mereka yang harus bergerak

menghampiri pasien, dari pada mengatur posisi

duduk pasien di atas dental chair. Meskipun

bekerja dengan postur netral dapat mencegah atau

mengurangi sindroma muskuloskeletal,

kebanyakan dokter gigi tidak menyadari

pentingnya manfaat sistem ergonomi dengan

posisi yang baik saat merawat pasien. Postur yang

baik dan benar membutuhkan peralatan yang baik

juga, misalnya bentuk kursi operator yang

ergonomi dapat mendukung tulang punggung

pada posisi yang baik.3 Pencapaian keselamatan

dan kesehatan kerja tidak lepas dari peran

ergonomi, karena ergonomi berkaitan dengan

posisi orang yang bekerja, khususnya dalam

rangka efektivitas dan efisiensi kerja.

Dari telaah kasus diatas, masalah faktor

ergonomi pada praktik dokter gigi perlu dibahas

bagaimana pentingnya faktor ergonomi dalam

penerapan manajemen K3 untuk menghindari

risiko terjadinya kecelakaan kerja khususnya di

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

34

bidang kedokteran gigi yaitu nyeri punggung

bawah yang kerap menyerang dokter gigi.

TINJAUAN PUSTAKA

Ergonomi

Sejarah dan Pengertian Ergonomi

Pada tanggal 16 Februari 1950 terminologi

ergonomi diadopsi dan ergonomi menjadi suatu

disiplin ilmu.4 Menurut Syamsyul ma’arif dan

Hendri Tanjung ergonomi adalah studi tentang

bagaimana manusia secara fisik berinteraksi

dengan alat-alat yang digunakannya sehingga

didapatkan kondisi dimana pekerjaan menjadi

sehat, aman dan nyaman. 5

Ruang Lingkup dan Tujuan Ergonomi

Ruang lingkup ergonomi berhubungan

dengan karakter psikologi seseorang yang

mempengaruhi disain dan kegunaan dari tempat

dan, posisi bekerja, dan atau suatu pengoperasian

untuk memastikan apakah disain tersebut

berhubungan dengan tugas, peralatan,

perlengkapan serta prosedur yang sesuai dengan

keterbatasan manusia dan kapasitas

penggunaannya. Intinya sebagai studi tentang

aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya

yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,

engineering, manajemen dan disain.6

Tujuan-tujuan dari penerapan ergonomi

adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental

melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit

akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan

mental, mengupayakan promosi dan kepuasan

kerja.

b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui

peningkatan kualitas kontak sosial dan

mengkoordinasi kerja secara tepat, guna

meningkatkan jaminan sosial baik selama

kurun waktu usia produktif maupun setelah

tidak produktif.

c. Menciptakan keseimbangan rasional antara

aspek teknis, ekonomis, dan antropologis dari

setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga

tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang

tinggi.7

Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut

perlu penerapan ergonomis yang tepat untuk

mencegah cedera yang dapat berkembang serta

menyebabkan cacat jangka panjang. Dalam

bekerja penerapan Ergonomi yang perlu

diperhatikan adalah:

a. Posisi Kerja, Terdiri dari posisi berdiri serta

duduk, posisi berdiri dimana posisi tulang

belakang vertikal dan berat badan tertumpu

secara seimbang pada dua kaki, sedang posisi

duduk adalah saat kaki tidak terbebani dengan

berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja.

b. Proses Kerja, Para pekerja dapat menjangkau

peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu

bekerja serta sesuai dengan ukuran

anthropometrinya.

c. Tata Letak Tempat Kerja, Tata letak

merupakan rencana fasilitas, menganalisa,

membentuk konsep, dan mewujudkan sistem

pembuatan barang atau jasa.

d. Mengangkat Beban, Berbagai cara dalam

mengangkat beban yaitu, dengan bahu, tangan,

kepala atau punggung. Beban yang terlalu

berat dapat menimbulkan cedera tulang

punggung, jaringan otot dan persendian akibat

gerakan yang berlebihan.8

Setiap pekerjaan mempunyai sistem, dan pada

ergonomi dikenal sistem kerja yang terdiri dari:

Manusia sebagai pekerja, Pekerjaan yang akan

dikerjakan, Peralatan yang digunakan dan

lingkungan kerja dimana pekerja bekerja.9 Dalam

bidang kedokteran gigi ergonomi mencakup

banyak konsep seperti, bagaimana dokter gigi

memposisikan diri pada pasien, menggunakan

peralatan, disain tempat atau lingkungan kerjanya

dan bagaimana semua ini berdampak pada

kesehatan dokter gigi.

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan

Kerja

Pengertian Manajemen

Manajemen berasal dari kata “to manage”

yang berarti mengatur. Hasibuan berpendapat

manajemen adalah ilmu seni mengatur proses

pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-

sumber lainnya secara efisien dan efektif untuk

mencapai tujuan. 10 Arti lain adalah suatu proses

untuk mencapai suatu tujuan tertentu.11

Manajemen identik dengan pengelolaan,

pembinaan, ketatalaksanaan, ketatausahaan, dan

ketatapengurusan, walau sebenarnya memeiliki

konsep lebih luas dari daripada hal tersebut.12

Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen menurut Fayol di awal

abad ke-20 adalah elemen-elemen dasar yang

akan selalu ada dan melekat di dalam proses

manajemen yang akan dijadikan acuan oleh

seorang manajer dalam melaksanakan kegiatan

untuk mencapai suatu tujuan. Empat fungsi

manajemen terdiri dari:

1. Perencanaan (Planning),

2. Pengorganisasian (Organizing),

3. Pengarahan (Comanding/Actuating)

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

35

4. Pengendalian Controlling)13

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

merupakan hal yang penting, karena dampak

kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya

merugikan lingkungan kerja tetapi juga

merugikan diri para pekerja sendiri.

Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(K3)

Menurut OSHA (2003), Keselamatan dan

Kesehatan kerja (K3) adalah merupakan

multidisiplin ilmu yang terfokus pada penerapan

prinsip ilmiah dalam memahami adanya risiko

yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan

kerja manusia dalam lingkungan industri ataupun

lingkungan di luar industri, serta merupakan

profesionalisme dari berbagai disiplin ilmu yaitu

fisika, kimia, biologi dan ilmu perilaku yang

diaplikasikan dalam manufaktur, transportasi,

penyimpanan dan penanganan bahan

berbahaya. 14

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi K3

Faktor-faktor yang mempengaruhi

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) antara

lain adalah beban kerja, kapasitas kerja dan

lingkungan kerja.15

Beberapa contoh penyakit akibat kerja

(PAK) antara lain: silicosis (karena paparan debu

silica), asbestosis (karena paparan debu asbes),

low back pain (karena pengangkutan manual),

white finger syndrom (karena getaran mekanis

pada alat kerja).16,

Penyakit akibat kerja pada dokter gigi

umumnya berkaitan dengan faktor fisik, kimia,

biologis, ergonomi dan psikologis.

a. Faktor Fisik

Meliputi kebisingan, getaran akibat mesin

dapat menyebabkan stress dan ketulian,

pencahayaan yang kurang di ruang kamar

pemeriksaan, laboratorium, ruang perawatan

dan kantor administrasi dapat menyebabkan

gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja,

suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat

kerja, terimbas kecelakaan/kebakaran akibat

lingkungan sekitar, terpapar radiasi.

b. Faktor Kimia

Berbagai bentuk bahan kimia dapat

memberikan pengaruh terhadap tubuh yaitu:

debu (dust), cairan (liquid), asap (fumes,

smokes), gas (gasses), uap (vapours), bahan

pelarut.

c. Faktor Biologis

Lingkungan kerja terutama pada Pelayanan

Kesehatan, sangat disukai bagi berkembang

biaknya strain kuman yang resisten, terutama

kuman-kuman seperti E. colli, Lactobacilli,

staphylococci, dan pyogenic yang bersumber

dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi

dan udara. Virus yang menyebar melalui

kontak dengan darah dan cairan tubuh

(misalnya HIV dan Hepatitis B) dapat

menginfeksi pekerja hanya akibat kecelakaan

kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores

atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus.

d. Faktor Ergonomi

Sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya

menyesuaikan alat, cara, proses dan

lingkungan kerja terhadap kemampuan

manusia untuk terwujudnya kondisi dan

lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman

dan tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya.

Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat

menyebabkan mudah lelah sehingga kerja

menjadi kurang efisien dan dalam jangka

panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan

psikologis (stress) dengan keluhan yang paling

sering adalah nyeri punggung bawah (low back

pain).

e. Faktor Psikologis, Beberapa contoh faktor

psikososial di tempat kerja terutama dalam

bidang kesehatan yang dapat menyebabkan

stress:

1. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat

emergency dimana pekerja dalam bidang

kesehatan di tuntut untuk memberikan

pelayanan yang tepat, cepat disertai dengan

kewibawaan dan keramahan-tamahan;

2. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang

sangat monoton;

3. Hubungan kerja yang kurang serasi antara

pimpinan dan bawahan atau sesama teman

kerja;

4. Beban mental karena menjadi panutan bagi

mitra kerja di sektor formal ataupun

informal. 16

Hubungan Faktor Ergonomi dengan Nyeri

Punggung Bawah pada Dokter Gigi

Dokter gigi perlu mempelajari dan

memahami ergonomi karena dengan paham

ergonomi akan mempermudah evaluasi setiap

pekerjaan, meskipun ilmu pengetahuan dalam

ergonomi terus mengalami kemajuan dan

teknologi yang digunakan dalam pekerjaan

tersebut terus berubah.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

36

Penatalaksanaan dan metode pekerjaan

dokter gigi dapat dievaluasi dari aspek ergonomi

khususnya tentang gangguan muskuloskeletal

yang menunjukkan bahwa dokter gigi bekerja

dalam kondisi rentan terkena gejala tersebut.

Kelainan yang sering dijumpai adalah nyeri

punggung bawah (low back pain), keluhan pada

leher, pundak dan lengan atas.17Dokter gigi dalam

menjalankan profesinya akan menghabiskan

waktu yang lama dengan posisi statis, karena

berhubungan dengan pekerjaannya yang

melakukan pemeriksaan dan perawatan gigi dan

mulut pasien, dimana di dalam melakukan

pemeriksaan dan perawatan gigi dan mulut pada

umumnya dokter gigi mempunyai posisi

punggung, tangan dan bahu yang tetap stabil

dalam waktu yang cukup lama.18

Kebanyakan gangguan muskuloskeletal

terjadi karena dokter gigi secara tanpa sadar

berada pada posisi tubuh yang kurang ergonomis

saat merawat pasien, misal preparasi atau

mencabut gigi, postur dokter gigi membungkuk

ke arah pasien, bergerak secara mendadak,

memutar tubuh dari satu sisi ke sisi yang lain.

Seluruh gerakan tersebut dilakukan berkali-kali

dalam jangka waktu yang panjang. Pada kasus

gangguan muskuloskeletal karena faktor

ergonomi, keluhan umum yang dijumpai adalah

keluhan nyeri punggung bawah., diikuti oleh nyeri

pada leher dan bahu.19 Ergonomi dilakukan

sebagai salah satu upaya pencegahan gangguan

nyeri punggung bawah. Faktor-faktor resiko

ergonomi yang dapat menyebabkan nyeri

punggung bawah antara lain:

a. Postur Tubuh Janggal

Faktor Resiko paling sering. Berpotensi

menimbulkan MSDs terutama nyeri punggung

bawah bila dilakukan lebih dari dua jam per

hari dan bekerja dengan leher atau punggung

membungkuk > 30 derajat tanpa tahanan atau

kemampuan mengubah postur.

Gambar 1. Contoh postur tubuh pada saat duduk.

b. Faktor Frekuensi

Frekuensi tinggi dapat menimbulkan kelelahan

dan ketegangan pada otot dan tendon, dapat

berakibat terjadinya radang sendi dan tendon.

Radang ini meningkatkan tekanan pada syaraf.

c. Faktor lama waktu bekerja

Durasi kerja yaitu lama waktu bekerja yang

dihabiskan pekerja dengan postur janggal.

Melakukan pekerjaan tanpa istirahat.

d. Postur Statis

Postur kerja fisik dalam posisi yang sama dan

pergerakan yang sangat minimal, akan

menimbulkan peningkatan beban otot dan

tendon, menyebabkan aliran darah pada otot

terhalang dan menimbulkan kelelahan, rasa

kebas dan nyeri.20.

Nyeri Punggung bawah

Nyeri punggung bawah (Low back pain)

menjadi masalah kesehatan tetapi sering dianggap

sepele, merupakan masalah pada negara-negara

maju dan berkembang. 21 Sekitar 80-90% pasien

nyeri punggung bawah menyatakan bahwa

mereka tidak melakukan usaha apapun untuk

mengobati penyakitnya. Di Amerika Serikat nyeri

punggung bawah menempati urutan kedua

keluhan tersering setelah nyeri kepala.22

Di Indonesia, hasil penelitian pada tahun

2002 ditemukan prevalensi penderita nyeri

punggung bawah sebanyak 15,6%. Angka ini

berada pada urutan kedua tertinggi sesudah

sefalgia dan migren yang mencapai 34,8%. Hasil

penelitian secara nasional yang dilakukan di 14

kota di Indonesia yang juga dilakukan oleh

kelompok studi Nyeri PERDOSSI tahun 2002

ditemukan 18,13% penderita NPB dengan rata-

rata nilai VAS sebesar 5,46±2,56 yang berarti

nyeri sedang sampai berat. 22

Pengobatan pasien dengan Nyeri punggung

bawah adalah fisioterapi, chiropractic

manipulation, terapi pijat, akupunktur dan

berbagai bentuk operasi tulang belakang. 23

Pengertian Nyeri punggung bawah

Gangguan musculoskeletal dengan keluhan

penderita nyeri pada daerah punggung antara

sudut bawah kosta (tulang rusuk) hingga

lumbosacral (sekitar tulang ekor) pada umumnya

karena berbagai macam penyakit dan aktivitas

tubuh yang kurang baik. 24

Klasifikasi Nyeri Punggung Bawah

Menurut International Association for the Study

of Pain (IASP), yang termasuk dalam Nyeri

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

37

Punggung Bawah low back pain terdiri dari:

a. Lumbar Spinal Pain

Nyeri di daerah yang di batasi: superior oleh

garis transversal imajiner yang melalui ujung

prosesus spinosus dari vertebra thorakal

terakhir, inferior oleh garis transversal

imajiner yang melalui ujung prosesus spinosus

dari vertebra sakralis pertama dan lateral oleh

garis vertical tangensial terhadap batas lateral

spina lumbalis.

b. Sacral Spinal Pain

Nyeri di daerah yang dibatasi superior oleh

garis transversal imajiner yang melalui ujung

prosesus sinosis vertebra sakralis pertama,

inferior oleh garis transversal majiner yang

melalui sendi sakrokoksigeal posterior dan

lateral oleh garis imajiner melalui spina iliaka

superior posterior dan inferior.

c. Lumbosacral Pain

Nyeri didaerah 1/3 bawah daerah lumbar

spinal pain dan 1/3 atas daerah sacral spinal

pain.24

Gambar 3. Spine anatomy.

Gejala Nyeri Punggung Bawah

Gejala utama pada nyeri punggung bawah

adalah rasa nyeri. Nyeri terjadi setelah melakukan

aktivitas, gerakan tiba-tiba atau setelah

mengangkat benda atau beban yang berat.25 Nyeri

biasanya diibaratkan dengan kerusakan jaringan,

akan tetapi dapat juga timbul tanpa luka dimana

nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber

yang dapat diidentifikasi. 26

Data Kasus Nyeri Punggung Bawah pada

Dokter Gigi

Posisi duduk yang salah serta tidak

ergonomis yang dilakukan selama berjam-jam

dan terus menerus menempatkan dokter gigi

sebagai profesi yang sangat rentan untuk

mengalami nyeri punggung bawah, karena saat

praktek dan merawat pasien dokter gigi harus

duduk atau berdiri membungkuk dalam jangka

waktu lama. Terlebih jika jumlah pasien per hari

cukup banyak. 27

Penelitian terhadap nyeri leher & punggung

bawah pada dokter gigi dengan menggunakan

penyebaran kuesioner hasilnya prevalensi nyeri

punggung bawah yang didapatkan dari partisipan

adalah 63%. 28

Studi pada dokter gigi bersuku Flandria

yang tinggal di Belgia didapatkan hasil prevalensi

sebanyak 54% dokter gigi bersuku Flandria

mengalami nyeri punggung bawah.29

PEMBAHASAN

Dokter gigi wajib profesional saat melayani

pasien dalam berbagai kondisi, saat fokus kepada

pasien maka dokter gigi tidak dapat melalaikan

manajemen Keselamatan dan kesehatan kerja

(K3) untuk dirinya sendiri. Dampak fisik dari

kelalaian manajemen (K3) yang kerap menyerang

dokter gigi adalah gangguan muskuloskeletal

terutama nyeri punggung bawah. Kondisi itu

menimbulkan nyeri yang bila tidak diatasi dapat

mengganggu aktivitas yang akan berdampak pada

penurunan produktivitas dan kualitas kerja.

Penerapan sistem manajemen K3 dalam

pencegahan nyeri punggung bawah yang dapat

dilakukan dokter gigi adalah perbaikan ergonomi

dengan cara koreksi postur janggal pada saat

mengerjakan pasien, pemilihan desain peralatan

yang ergonomis serta menerapkan konsep four-

handed dentistry. Dengan penerapan sistem

manajemen K3 seperti apa yang telah disebutkan

diatas akan didapatkan pergerakan tubuh yang

baik dan diharapkan dapat mengurangi resiko

nyeri pada punggung bawah dan meningkatkan

produktivitas kerja.

Koreksi Postur Janggal

Duduk statis dalam waktu lama adalah hal

yang sering dilakukan dokter gigi ketika bekerja.

Demi kenyamanan pasien dokter gigi tidak sadar

bahwa posisi duduk yang ia lakukan kurang

ergonomis. Terlalu lama duduk dengan posisi

salah akan menyebabkan ketegangan otot-otot

dan ligamentum tulang belakang yang membuat

tekanan abnormal dari jaringan sehingga

menyebabkan rasa sakit.

Penerapan sikap duduk yang baik dan benar

bagi Dokter gigi sehingga dapat meminimalisir

postur janggal pada saat mengerjakan pasien

dengan mencegah agar postur tubuh tidak tegang;

terlalu miring kesamping, memuntir tulang

punggung, membengkok ke depan/membungkuk

menuju posisi tubuh yang baik. Disarankan

beberapa hal seperti, yaitu: Tubuh bagian atas

tegak simetris, punggung dipertahankan tegak dan

tulang panggul (pelvis) sedikit dimiringkan ke

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

38

depan (tidak lebih dari 20 derajat); Kepala

condong ke depan terhadap tubuh tidak lebih dari

20 – 25 derajat; Lengan atas bebas tergantung

pada tubuh dan tidak lebih dari 10 derajat ke

depan; Lengan bawah (forearm) sedikit terangkat

tidak lebih dari 25 derajat; Sudut antara tungkai

atas dan bawah adalah 105 – 110 derajat atau

lebih, sehingga terdapat lebih banyak ruangan

antara tungkai atas dan lengan bawah untuk

menempatkan sandaran kursi dan kepala pasien di

antara ruangan ini; Tungkai atas kiri dan kanan

membentuk sudut tidak lebih dari 45 derajat untuk

mencegah posisi sendi pinggul (hip joint) dalam

keadaan terkunci; Telapak kaki sejajar terhadap

lantai atau agak ke belakang dan segaris dengan

tungkai atas; bila menggunakan pandangan. 17

Gambar 4. Posisi duduk ergonomis dalam

mengerjakan pasien.5

Desain Peralatan Ergonomis

a. Operating stool adalah kursi yang digunakan

oleh dokter gigi. Untuk pemilihan operating

stool yang baik pilih bentuk tempat duduk

yang dapat membantu tubuh dalam posisi yang

benar dengan spinal yang tegak dan dekat

dengan kursi gigi. Bentuk sandaran yang

mendukung punggung dapat menjaga otot

punggung bagian bawah agar tetap tegak dan

lengkungannya dipertahankan. Selain itu, pilih

kursi yang memiliki sandaran lengan karena

sandaran lengan dirancang untuk mengurangi

tekanan dan kelelahan pada otot-otot

punggung bagian atas, leher dan bahu dengan

membentuk sudut tegak lurus terhadap siku

lengan dokter gigi.

b. Dental Loupe adalah alat bantu lihat yang

dapat memperbesar obyek yang dilihat

sehingga memungkinkan dokter gigi dapat

duduk lebih nyaman dengan postur bahu dan

leher yang optimal. Pembesaran minimal dua

kali sudah cukup menghasilkan jarak

pengelihatan yang baik dengan posisi pasien.

Pembesaran yang lebih tinggi ditambah

dengan sistem pencahayaan yang baik dapat

meningkatkan efisiensi penglihatan yang lebih

rinci dan tidak ada hambatan bayangan pada

daerah operasi.

c. Dental Light ialah lampu sorot yang terdapat

pada kursi praktik dokter gigi. Dental light

yang dianjurkan adalah yang tidak terlalu

besar dan lebar, pilih yang sempit, hanya

terfokus pada mulut pasien dan tidak

menghasilkan bayangan yang mengganggu.

Lebih dianjurkan menggunakan dental light

dengan sensor, atau monitor untuk lampu

ditempatkan pada lokasi yang mudah dicapai

tanpa harus memegang tangkai lampu. Pada

dental unit yang dirancang dengan sistem

ergonomi, tombol untuk menyalakan dan

memadamkan dental light sudah menyatu pada

meja kursi dental dan pada assistant console,

sehingga lebih mudah dijangkau dan operator

tidak perlu lagi menyentuh tombol dental light

untuk mengatur posisinya.3

Penerapan Four-Handed Dentistry

Four-handed dentistry merupakan teknik

yang digunakan dalam kedokteran gigi dimana

dokter gigi dan perawat gigi secara bersama

melakukan tindakan perawatan kepada pasien.

Tujuannya adalah untuk mempercepat proses

pekerjaan dan mengurangi kelelahan untuk tenaga

medis gigi serta pasien, memperpendek waktu

perawatan gigi yang diberikan kepada pasien dan

meningkatkan kualitas pekerjaan. Konsep four-

handed dentistry diharapkan dapat mencegah

terjadinya pergerakan yang menegangkan otot.

Agar penerapan konsep four handed dentistry

berjalan dengan baik, dibutuhkan kerja sama yang

baik antara dokter gigi dan asisten dokter gigi.

Masing-masing operator harus saling

bertanggung jawab dan menyadari kebutuhan satu

sama lain.

Prinsip dalam four-handed dentistry

adalah:

a. Dokter gigi diharapkan melatih asisten

sehingga tidak perlu melakukan pergerakan

yang tidak efisien. Misalnya mengambil tang

atau alat pencabutan gigi di daerah yang jauh

dari jangkauannya.

b. Asisten yang membantu dokter gigi harus

mempunyai pengetahuan dan keterampilan

dalam menangani peralatan. Terlatih untuk

mengikuti setiap prosedur perawatan yang

dilakukan dokter gigi.

c. Asisten harus lebih sering menangani

peralatan misalnya saliva ejector, suction

pump, handpiece dan bor, sehingga dokter gigi

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

39

tidak perlu melakukannya sendiri. Idealnya

penanganan peralatan yang dilakukan asisten

adalah 80 – 90% dari waktu kerja, sehingga

dokter gigi hanya berkonsentrasi pada

perawatan pasien.

d. Letak peralatan yang harus ditangani asisten

lebih banyak berada pada sisi asisten untuk

memudahkan pemindahan alat ke dokter gigi.

Posisi alat harus berada di depan asisten dan

jangan di samping asisten, agar tidak perlu

melakukan pergerakan tubuh memutar.

e. Asisten juga harus berada di daerah yang bebas

agar mudah memindahkan alat. Alat yang

dipindahkan sebaiknya melewati batas dagu

pasien. Bidang perawatan (operatory-field)

dibentuk sedemikian rupa sehingga terdapat

ruang bebas, baik bagi asisten, dokter gigi dan

pasien. Kondisi seperti ini menyebabkan

pasien tidak merasa terkurung oleh dokter gigi

maupun asisten. Biasanya ruangan dalam four-

handed dentistry dibagi atas empat daerah

aktivitas (zona) berdasarkan arah jarum jam,

yaitu daerah operator pada posisi arah jarum

jam 7-12, daerah asisten berada pada posisi

arah jarum jam 2-4, daerah statis (untuk

instrument dan bahan) berada pada posisi arah

jarum jam 12-1, dan daerah transfer berada

pada posisi arah jarum jam 4-7.3

Gambar 5. Zona kerja four-handed dentistry

berdasarkan arah jarum jam.

KESIMPULAN

Dari uraian masalah, telaah pustaka dan

pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa

sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan

kerja berperan dalam pencegahan nyeri punggung

bawah pada dokter gigi. Guna menunjang peran

tersebut, maka perlu diperhatikan tatalaksana

dalam hal perencanaan, pelaksanaan serta

evaluasi.

Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi

keberhasilan sistem manajemen keselamatan dan

kesehatan kerja dalam pencegahan nyeri

punggung bawah adalah dengan menerapkan:

Koreksi postur janggal, desain peralatan

ergonomis dan penerapan four-handed dentistry.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tommy D.P dan Muhammad Ilyas. Low

Back Pain in Dentists of Indonesia [Online

Article]. 2012. [cited: 25 Juli 2014].

Available:

http://www.podj.com.pk/Dec_2012/p-22.pdf

2. Furlong A. Ergonomic and Dentistry. ADA

News 2000; 31(18): 16-9.

3. Andayasari L, Anorital. Gangguan

Musculoskeletal pada Praktik Dokter Gigi

dan Upaya Pencegahannya [Media Litbang

Kesehatan]. 2012. [cited 19 Juli 2014].

Available:

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.ph

p/MPK/article/view/2629/612

4. Oborne, David J. Ergonomic at Work:

Human Factors in Design and Development.

England: John Wiley and Sons Ltd; 1995: 5-

8

5. Ma’arif, syamsyul dan Tanjung, Hendri.

Manajemen Operasi. Jakarta: PT. Grasindo.

2003: 393

6. Nurmianto, Eko. Ergonomi, Konsep Dasar

dan Aplikasinya. Ed. Ke-2. Jakarta:

Gunawidya; 2008: 1-30

7. Tarwaka, Solichul H.B, Lilik S. Ergonomi

untuk Keselamatan Kerja dan Produktivitas.

Surakarta: Uniba Press; 2004: 1-20

8. Pusat Kesehatan Kerja Departemen

Kesehatan RI. Ergonomi. [cited: 16 Juli

2014]. Available:

http://www.depkes.go.id/downloads/Ergono

mi.PDF

9. Sarkar PA dan Shigli AL. Ergonomics in

General Dental Practice. People’s journal of

Scientific Research 2012; 5:56-60.

10. Hasibuan, Malayu, S.P. Manajemen Dasar,

Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT Toko

Gunung Agung; 2003: 1-5

11. Herujito, Yayat M. Dasar-dasar

Manajemen. Jakarta: PT. Grasindo; 2001: 1-

2

12. Sastrohadiwiryo, B.S. Manajemen Tenaga

Kerja Indonesia Pendekatan Administratif

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 33 – 40

40

dan Operasional. Jakarta: PT. Bumi Aksara;

2005: 1-20

13. Harahap SS. Sistem Pengawasan Manajemen

(Mangement Control System). Jakarta:

Quantum; 2001: 4-5

14. OSHA Standard. (2003). Accident

investigation guide

15. Efendi, Ferry dan Makhfudli. Keperawatan

Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik

dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit

Salemba Medika; 2009: 232-233

16. Tresnaningsih E. Kesehatan dan

Keselamatan Kerja di Laboratorium

[Departemen Kesehatan RI] 2010 [cited 18

Juli 2014]. Available:

http://www.depkes.go.id/downloads/Keseha

tan%20Kerja%20di%20Labkes.PDF

17. Ma’aruf MT. Perubahan Sikap Kerja Dokter

Gigi. Interdental Jurnal Kedokteran Gigi

2007; 5(1): 37-42

18. Wijaya AT, Darwita RR, Bahar A. The

Relation between Risk Factors and

Musculoskeletal Impairment in Dental

Students: a Preliminary Study. Journal of

Dentistry Indonesia. 2011; 18(2):33-37.

19. Shrestha BP, Singh GK, Niraula SR. Work

Related Complaints among Dentists. J Nepal

Med Assoc 2008; 47(170):77-81.

20. Kurniawidjaja, Meily. Teori dan Aplikasi

Kesehatan Kerja. Ed. Ke-1. Jakarta:

Universitas Indonesia; 2010: 1-20, 106-108

21. Hoy D, Brooks P, Blyth F, Buchbinder R.

The Epidemiology of low back pain. Best

Practice & research clinical rheumatology

2010; 24:769-781.

22. Purba JS, Ng DS. Nyeri punggung bawah:

patofisiologi, terapi farmakologi dan non-

farmakologi akupunktur. Medicinus 2008;

21(2): 38-42.

23. Brendan D. Lewis. Lower Back pain.

Canadian journal of CME. 2001.

http://www.stacommunications.com/journal

s/cme/images/cmepdf/april01/lowerbackpai

n.pdf

24. Yuliana. Low Back Pain. CDK 2011; 38 (4):

270-273

25. Healthwise staff. Low Back Pain [Medical

Website]. 2013. [cited 19 Juli 2014].

Available:

http://www.cigna.com/healthwellness/hw/m

edical-topics/low-back-pain-hw56429

26. Dedi Ardinata. Multidimensional nyeri.

Jurnal keperawatan rufaidah Sumatera utara

2007; 2(2):77-81

27. Chowanadisai S, Kukiattrakoon B, Yapong

B, Kedjarune U, Leggat PA. Occupational

Health Problems of Dentists in Southern

Thailand. Int Dent J 2000;50(1):36-40.

28. Duygu Geler Külcü, Gülçin Gülşen, Tuba

Çiğdem Altunok, Davut Küçükoğlu, Sait

Naderi. Neck and Low Back Pain Among

Dentistry Staff. Turkish Jurnal of

Rheumatology 2010; 25:122-129. 29. Peter Leggat, Ureporn Kedjarune and Derek

R. Smith. Occupational Health Problems in

Modern Dentistry: Review. Industrial Health

2007; 45: 611-621

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

41

Perawatan Ortodonti Paska Bedah Ortognati

(Tinjauan Pustaka)

Olivia Piona Sahelangi

Staf Pengajar Bagian Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT

Background: In two decades, surgical orthodontics to correct severe malocclusion and skeletal

deformities have been done. Corrective jaw surgery also called orthognathic surgery is performed by

an oral and maxillofacial surgeon to correct a wide range of major skeletal irregularities, including

misalignment of jaws and teeth. Objective: Skeletal dentofacial deformities are associated with

numerous problems including esthetic, functional, and mastication. Collaboration between the

orthodontist and the surgeon is critical. The ability of an orthodontist and a surgeon to coordinate

during treatment is what will lead to a successful outcome. Although much has changed in the field of

orthognathic surgery, the role of an orthodontist in postsurgical orthognathic surgery is critical.

Literature review: Following a recovery period, orthodontic treatment post-surgical orthognathic

surgery is to settle the teeth in good occlusion and alignment and correct any possible skeletal relapse

following surgery. Orthodontic treatment is needed to make adjustments and ensure the stability of the

realigned bite. Examination of the face including evaluation of facial and dental photographs,

cephalometric radiographs should be done postsurgical orthognathic surgery. Conclusion: Achieving

successful treatment outcomes requires implementing an effective treatment plan.

Keyword: orthognathic surgery, skeletal dental deformities, postsurgical orthodontics

PENDAHULUAN

Selama dua dekade terakhir, intervensi

bedah ortognatik dalam merawat deformitas

skeletal telah banyak dilakukan. Kombinasi

perawatan ortodonti dan bedah memberikan hasil

yang lebih baik dalam merawat pasien dengan

skeletal dan dental displasia.1

Terdapat dua puluh persen dari populasi

pasien dengan deformitas dentofasial. Banyak

pasien dengan deformasitas dentofasial dapat

memperoleh manfaat dari perawatan korektif

ortognatik. Perawatan disharmoni rahang maupun

fasial sebaiknya ada kerjasama antara ortodontis

dan ahli beda rahang secara komprehensif.1,2

Potensi relaps setelah bedah ortognati

menjadi bahasan penting dimana perlu

diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi

stabilitas skeletal paska bedah ortognati. Tipe

fiksasi dan besarnya pergerakan yang dilakukan

dalam operasi bedah turut mempengaruhi

kestabilan bedah ortognatik. Selain itu,

keberhasilan koreksi bedah tergantung dari

stabilitas serta respon skeletal dan dental setelah

perawatan bedah ortognatik.2

Paska bedah ortognatik, penting bagi

ortodontis melakukan evaluasi, observasi dan

melanjutkan perawatan akhir. Adanya

keterbatasan dan kemungkinan komplikasi paska

bedah patut diketahui oleh ortodontis. Perawatan

orto lanjutan ditujukan untuk mencapai hasil akhir

perawatan yang optimal.3

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Bedah Ortognatik

Bedah ortognatik adalah prosedur

pembedahan yang dirancang untuk memperbaiki

deformitas muskulusskeletal, dento-osseus dan

jaringan lunak pada rahang serta struktur lainnya

yang berkaitan dengannya. Bedah ortognatik

dirancang untuk meluruskan kembali struktur

kerangka rahang atas dengan struktur kraniofasial

lainya.3

Bedah ortognatik dapat dilakukan di rahang

bawah atau rahang atas atau keduanya. Bedah

ortognatik dilakukan untuk mengoreksi

deformitas dentofasial. Tujuan bedah ortognatik

adalah memperbaiki profil dan fungsi oral,

terutama pada pasien dengan kelainan skeletal dan

dental yang parah.3

Klasifikasi Deformitas Dentofasial

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

42

Deformitas dentofasial dapat

diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Maksila.

Maksila protrusif, yaitu pertumbuhan yang

berlebih dalam arah horisontal, terkadang disertai

protrusi mandibula.. (2) Defisiensi

anteroposterior (AP) maksila. Pertumbuhan

maksila yang tidak adekuat dalam arah anterior.

(3) Kelebihan Maksila Vertikal. Pertumbuhan

berlebih maksila dalam arah inferior akan

memberikan penampakan gigi dan gingiva yang

berlebih. (4) Defisiensi Maksila Vertikal. Gigitan

dalam, wajah bagian bawah pendek. (5) Defisiensi

Maksila Transversal. Etiloginya adalah

kongenital, traumatik dan iatrogenik. (6)

Defisiensi mandibula meliputi hyperplasia

mandibula, defisiensi /hypoplasia mandibula, dan

asimetri antero posterior mandibula. (7)

Gabungan deformitas maksila mandibula meliputi

brakhifasial, dolikofasial, dan apertognatia.5

Indikasi Bedah Ortognatik

Bedah ortognatik dapat dilakukan pada

empat keadaan spesifik sebagai berikut : (1)

perbaikan posisi dental yang sulit dicapai dengan

perawatan ortodonti saja, karena malposisi yang

parah. (2) pola skeletal yang buruk untukk

dikoreksi secara ortoodonti. (3) hanya dengan

perawatan ortodonti saja tidak dapat diperoleh

estika fasial yang serasi. (4) hanya dengan

perawatan ortodonti tidak dapat dicapai oklusi

fungsional.4,5

Kontra Indikasi Bedah Ortognatik

Jika kondisi kesehatan umum tidak

memadai, keluhan ringan, atau pasien berusia

muda . Pada pasien muda dianjurkan untuk

menuggu sampai pertumbuhan selesai.4,5

Diagnosis dan Perencanaan Perawatan

Agar dapat memberikan perawatan yang

tepat bagi pasien saat mengkoreksi deformitas

dentofasial, ahli bedah rahang dan ortodontis

harus mempunyai interaksi dan komunikasi yang

baik, serta mampu untuk mendiagnosa secara

tepat deformitas yang terjadi, menyusun rencana

perawatan yang komprehensif dan melaksanakan

perawatan.3-5

Prosedur Paska Bedah Ortognatik

Ada beberapa prosedur yang perlu

diperhatikan paska bedah ortognatik :3-5

1. Hospitalisasi. Lamanya hospitalisasi

tergantung dari jenis operasi yang dilakukan

(operasi dua rahang memerlukan waktu lebih

lama dibandingkan operasi satu rahang).

2. Medikasi. Medikasi yang diberikan adalah

pemberian antibiotik, analgesik dan anti

inflamasi.

3. Pemeriksaan klinis, yaitu analisis jaringan

lunak. Analisis jaringan lunak terdiri atas

analisis estetik fasial, analisis penampakan

depan, analisis profil, pemeriksaan intra oral

pada berbagai sisi dan sendi

temporomandibular. Keseluruhan wajah

dibagi menjadi tiga bagian yang sama yaitu

sepertiga bagian atas, tengah dan bawah.

Apabila terdapat perubahan dalam

proporsionalitas fasial, hal ini mudah terlihat.

(1) Papillary plane harus paralel dengan lantai.

(2) Plane of ear sejajar lantai. (3) Frankfurt

Horizontal Plane, yaitu garis yang ditarik dari

tragus telinga ke tonjolan tepi infraorbital

harus sejajar dengan lantai. Pada analisis

penampakan depan, yang perlu diperhatikan

adalah kesimetrisan mata, hidung, dahi. Pada

pemeriksaan intra oral, hal-hal yang perlu

diketahui antara lain hubungan oklusal, kurva

Wilson dan kurva spee.3,5-8

4. Postsurgical records. Untuk mengetahui ada

atau tidaknya komplikasi dan sebagai rekam

medik, setelah prosedur bedah, perlu

dilakukan evaluasi radiografis yaitu lateral

cephalometri, panoramic, evaluasi oklusi dan

artikulasi, pencatatan oklusal dan

neurosensory. Analisis sefalometrik

merupakan cara yang dapat diandalkan untuk

ke pasien perubahan yang terjadi setelah

pembedahan.3,5-8

5. Profil jaringan lunak. Perlu diperhatikan

harmonisasi komponen dental skeletal dan

jaringan lunak.

6. Pemberian makanan lunak. Pasien

diinstruksikan untuk makan makanan lunak 2-

6 minggu paska operasi.

7. Kontrol teratur sehingga ahli bedah rahang

dapat memantau proses penyembuhan. Pada

saat fiksasi dilepas, sangat penting bagi

ortodontis untuk melakukan kontrol.

8. Setelah 6 minggu, pasien dapat mulai makan

makanan padat

9. Setelah 3 bulan paska operasi, pasien sudah

dapat melakukan aktivitas fisik seperti

sediakala. Perawatan ortodonti paska bedah

dapat dilakukan setelah tercapai stabilitas.5-7

Perawatan Ortodonti Paska Bedah

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

43

Perawatan ortodonti yang dilakukan paska

bedah ortognatik mempunya tujuan untuk

menyempurnakan perawatan ortodonti dan bedah

ortognatik yang telah dilakukan serta memperoleh

interdigitasi yang baik. Agar perawatan ortodonti

ini dapat berhasil, ortodontis harus melakukan

evaluasi pasien dengan cermat, sekitar satu

minggu paska bedah untuk mengetahui oklusi dan

stabilitas paska bedah.8,9

Secara umum, perawatan ortodonti paska

bedah meliputi perbaikan komponen-komponen

alat ortodonti seperti koordinasi archwire,

prosedur rutin perawatan ortodonti dan retensi.

Respon skeletal dan dental setelah prosedur bedah

ortognatik perlu juga diperhatikan. Stabilitas

skeletal paska bedah mempengaruhi besarnya

pergerakan gigi yang dilakukan pada perawatan

ortodonti lanjutan. 5,8,9

Setelah tercapai stabilitas paska operasi,

sekitar 4 minggu, perawatan ortodonti dapat mulai

dilakukan. Alat-alat fiksasi dilepas dan digantikan

dengan kawat aktif untuk menggerakkan gigi ke

posisi yang diinginkan. Kawat yang digunakan

adalah kawat yang lentur (stainless steel .016,

coaxial, beta titanium wire (TMA) sehingga

memiliki gayang yang ringan. Pada tahap ini juga

digunakan elastic box/vertical untuk membantu

fikasis rahang. Elastik dipakai pasien secara terus

menerus termasuk pada saat makan selama 4

minggu pertama. Kemudian elastik dipakai terus

menerus kecuali saat makan selama 4 minggu

kedua, dan diteruskan hanya dipakai pada malam

hari selama 3-4 minggu berikutnya. Apabila

oklusi sudah stabil, pemakaian elastik dapat

dihentikan.5-10

Penggunaan alat retensi pada perawatan

ortodonti paska bedah ortognatik tidak berbeda

dengan pasien ortodonti pada umumnya.

Disarankan retensi dilakukan minimal dua tahun

setelah perawatan ortodonti selesai untuk

mengetahui stabilitas jangka panjang dari

perawatan ortodonti.5-8

Stabilitas Paska Bedah Ortognatik

Stabilitas paska bedah sangat penting bagi

ortodontis karena mempengaruhi perawatan

ortodonti yang akan dilakukan. Ada beberapa hal

yang mempengaruhi stabilitas paska bedah

ortognatik, yaitu :5-9

1. Mobillisasi jaringan lunak. Setelah bedah

ortognatik, jaringan lunak (periosteum,

ligament, otot-otot dan jaringan submucosa

yang ikut teregang akan cenderung untuk

kembali ke posisinya semula sehigga perlu

dipertimbangkan juga besarnya reposisi yang

akan dilakukan.

2. Besarnya reposisi yang dilakukan. Perubahan

paska bedah merupakan multifaktorial

fenomena. Adanya variasi individual dan

besarnya pergerakan yang dilakukan dalam

prosedur bedah mempengaruhi stabilitas hasil

perawatan.

3. Metode fiksasi. Penting bagi ahli bedah mulut

untuk mendiskusikan dengna ortodontis tehnik

fikasis yang akan digunakan. Ada tiga tehnik

fikasi yaitu :

a. Total rigid fixation (anterior and posterior

plates). Seluruh segmen difiksasi dengan

menggunakan plas dan screw sehingga

peran ortodontis paska bedah terbatas pada

perawatan ortodonti.

b. Anterior rigid fixation with posterior

suspension wires. Segmen anterior

difiksasi dengan menggunakan plat dan

screw, sedangkan pada segmen posterior

menggunakan suspension wires secara

bilateral. Pada tehnik ini, segmen posterior

masih dapat bergerak.

c. Infraorbital suspension wires. Apabila

infraorbital suspension wires digunakan

untuk stabilisasi skeletal perawatan orto

paska bedah segera dilakukan setelah

oklusal splint dilepaskan. Spesialis bedah

mulut akan melepaskan suspension wires,

sedangkan splint wire pada gigi rahang atas

tetap ada. Peran ortodontis adalah

melepaskan splind dan segera melakukan

perawatan ortodonti.

d. Peran ortodontis, menghilangkan

kompensasi dental, koreksi diskrepansi

gigi, leveling rahang atas dan rahang

bawah, dan koreksi diskrepansi transversal.

PEMBAHASAN

Selama dua dekade terakhir, intervensi

bedah ortognatik dalam merawat deformitas

skeletal telah banyak dilakukan. Kombinasi

perawatan ortodonti dan bedah memberikan hasil

yang lebih baik dalam merawat pasien dengan

skeletal dan dental displasia.1-3

Tujuan dari bedah ortognatik adalah

memperbaiki deformitas skeletal, estetika, dan

oklusi. Penatalaksanaan pasien secara

menyeluruh tergantung pada evaluasi dan

diagnosa deformitas. Untuk menegakkan

diagnosis dan merencanakan perawatan yang

tepat, diperlukan pengetahuan yang mendalam

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

44

mengenai pertumbuhan dan perkembangan kranio

dentofasial, biomekanika pergerakan gigi, model

studi, foto fasial, foto intraoral dan foto ronsen

panoramik.1-5

Potensi relaps setelah bedah ortognatik

menjadi bahasan penting dimana perlu

diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi

stabilitas skeletal paska bedah ortognati. Tipe

fiksasi dan besarnya pergerakan yang dilakukan

dalam operasi bedah turut mempengaruhi

kestabilan bedah ortognatik. Selain itu,

keberhasilan koreksi bedah tergantung dari

stabilitas serta respon skeletal dan dental setelah

perawatan bedah ortognatik.5-8

Paska bedah ortognatik, penting bagi

ortodontis melakukan evaluasi, observasi dan

melanjutkan perawatan akhir. Adanya

keterbatasan dan kemungkinan komplikasi paska

bedah patut diketahui oleh ortodontis. Perawatan

orto lanjutan ditujukan untuk mencapai hasil akhir

perawatan yang optimal.3

Perawatan ortodonti yang dilakukan

paska bedah ortognatik mempunya tujuan untuk

menyempurnakan perawatan ortodonti dan bedah

ortognatik yang telah dilakukan serta memperoleh

interdigitasi yang baik. Agar perawatan ortodonti

ini dapat berhasil, ortodontis harus melakukan

evaluasi pasien dengan cermat, sekitar satu

minggu paska bedah untuk mengetahui oklusi dan

stabilitas paska bedah.6-9

Peran ortodontis, menghilangkan

kompensasi dental, koreksi diskrepansi gigi,

leveling rahang atas dan rahang bawah, dan

koreksi diskrepansi transversal. Secara umum,

perawatan ortodonti paska bedah meliputi

perbaikan komponen-komponen alat ortodonti

seperti koordinasi archwire, prosedur rutin

perawatan ortodonti dan retensi. Respon skeletal

dan dental setelah prosedur bedah ortognatik perlu

juga diperhatikan. Stabilitas skeletal paska bedah

mempengaruhi besarnya pergerakan gigi yang

dilakukan pada perawatan ortodonti lanjutan. 2-12

Setelah tercapai stabilitas paska operasi,

sekitar 4 minggu, perawatan ortodonti dapat mulai

dilakukan. Alat-alat fiksasi dilepas dan digantikan

dengan kawat aktif untuk menggerakkan gigi ke

posisi yang diinginkan. Kawat yang digunakan

adalah kawat yang lentur (stainless steel .016,

coaxial, beta titanium wire (TMA) sehingga

memiliki gaya yang ringan. Pada tahap ini juga

digunakan elastic box/vertical untuk membantu

fikasis rahang. Elastik dipakai pasien secara terus

menerus termasuk pada saat makan selama 4

minggu pertama. Kemudian elastik dipakai terus

menerus kecuali saat makan selama 4 minggu

kedua, dan diteruskan hanya dipakai pada malam

hari selama 3-4 minggu berikutnya. Apabila

oklusi sudah stabil, pemakaian elastik dapat

dihentikan.2,5-13

Penggunaan alat retensi pada perawatan ortodonti

paska bedah ortognatik tidak berbeda dengan

pasien ortodonti pada umumnya. Disarankan

retensi dilakukan minimal dua tahun setelah

perawatan ortodonti selesai untuk mengetahui

stabilitas jangka panjang dari perawatan

ortodonti.12

KESIMPULAN

Diperlukan kerjasama yang baik antara ahli bedah

mulut dan ortodontis dalam menangani pasien

paska bedah ortogantik. Stabilitas perawatan

paska bedah sangat penting karena akan

mempengaruhi perawatan ortodonti paska bedah.

Perawatan ortodonti paska bedah dilakukan

apabila kondisi pasien sudah stabil. Ortodontis

harus memahami segala hal tentang perawatan

ortodonti paska bedah dan hal-hal yang dapat

mempengaruhi stabilitas perawatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. John BP, Richard AS. Skeletal and dental

responses to orthognathic surgical treatment.

Angle Ortho 1997;67(6): 447-454.

2. William RP, L Tanya JB, Ceib P. Long-term

stability of surgical open bite correction by Le

Fort I Osteotomy. Angle Ortho 2000;70(2):

112-117.

3. Bishara SE. Textbook of Orthodontics. WB

Saunders CO, St.Louis 2001; 550-560.

4. Proffitt WR, Fields HR. Contemporary

orthodontics. 4th Ed. St.Louis, Missouri :

Mosby Elsevier; 2007; 705-718.

5. Epker BN, Stella JP, Fish LC. Dentofacial

Integrated Orthodontic and Surgical

Correction. 2nd Ed. Mosby Year Book Inc. St

Louis. 1986; 138, 146-157, 155-157, 178.

6. Paul AD, Lisen E, Leiv. LeFort I maxillary

advancement 3 year stability and risk factors

for relapse. AJODO 2005. 128: 556-7.

7. Bailey LJ, Cavidanes, LHS. Stability and

Predictability of Orthognathic Surgery.

AJODO. June, 2004.

8. Moyes RE. Handbook of Orthodontics. 4th Ed

Year Book Medial Pub Inc. 1988. 497-510.

9. Harry LL. Scott C. Biomechanical factors in

surgical orthodontics. In Nanda R.

Biomechanic and Esthetic Strategies in

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 41 – 45

45

Clinical Orthodontics. Philadelphia. WB

Saunders. 2005: 310-327.

10. Rakosi T, Jonas I, Graber TM. Color atlas of

dental medicine-orthodontic diagnosis.

Stuttgart; Georg Thieme Verlag: 1993. 256-80.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

46

Potensi Ekstrak Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans) untuk Mempercepat

Penyembuhan Luka di Rongga Mulut

(Tinjauan Pustaka)

Moehamad Orliando Roeslan

Staf Pengajar Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trsakti

ABSTRACT

Background: Clinacanthus nutans (C. nutans) is a plant that is easily found in South-East Asia.

Traditionally, this plant has been used for treatment of snake bite, cancer, and diabetes. In addition,

leaves extract of C. nutans have been investigated and biological activity of this plant has potentially

support wound healing in the oral cavity. Objectives: The aim of this review is to help researchers and

clinicians to understand the reason why C. nutans has potential as a drug to accelerate wound healing

in oral cavity. Literature review: Wound healing is a complex process that is regulated by cellular,

humoral and molecular mechanism. The main aim of wound healing is regeneration and repair. Wound

healing depends on many factors including cells, growth factor, and cytokines. Wound healing also

has phases: inflammation phase, proliferation phase and remodelling phase. C. nutans is known to

contain anti-inflammatory, antivirus, antioxidant, antibacteria, and analgesic. Wound healing agents

must have the ability of anti-inflammation, antivirus, antioxidant, antibacteria and analgesic. The anti-

inflammatory activity of C. nutans is expected to shorten inflammation phase in wound healing, so the

wound will heal faster. Antibacteria activity of C. nutans can prevent infection during wound healing.

Antioxidant activity of C. nutans is also needed to prevent damage of healthy tissue from reactive

oxygen species (ROS). However, there is no research on the effect of C. nutans on osteoblast

proliferation, which has role to restore bone density after tooth extraction. Conclusion: C. nutans have

a lt of the biological activity needed to accelerate wound healing in oral cavity.

Keyword: Clinacanthus nutans, wound healing, oral cavity

PENDAHULUAN

Di negara berkembang, penggunaan

tanaman untuk pengobatan masih digunakan oleh

sebagian besar masyarakatnya. Hal ini mungkin

karena obat-obatan masih terlalu mahal dan

aksesnya yang sulit bagi masyarakat yang tinggal

di pedalaman. Namun seiring berjalannya waktu,

masyarakat perkotaan pun sekarang banyak yang

memilih menggunakan obat tradisional. Salah

satu alasannya adalah obat tradisional dianggap

mempunyai efek samping yang lebih sedikit

dibanding obat konvensional. Karena alasan itu

pula obat tradisional berkontribusi hingga 50%

terhadap perkembangan obat konvensional yang

ada di pasaran sejak tahun 1981 hingga 2014.1

Clinacanthus nutans (C. nutans/Dandang

Gendis) adalah tanaman yang banyak tumbuh di

Asia. Untuk negara-negara di Asia Tenggara

sendiri, tumbuhan ini sudah banyak digunakan

sebagai obat. Di Thailand, ektrak daun ini

digunakan sebagai obat tradisional ruam kulit,

gigitan serangga, virus herpes simpleks dan

varicella-zoster.2 Di Malaysia, ekstrak daun ini

banyak ditemukan dijual bebas untuk mengobati

kanker. Sedangkan di Indonesia sendiri, ekstrak

daun C. nutans banyak digunakan untuk

pengobatan diabetes dan disentri secara

tradisional.

C. nutans adalah nama yang dikenal di

Indonesia, sedangkan di Malaysia popular dengan

nama “Sabah snake grass” atau “Belalai Gajah”.

Di Thailand, dikenal dengan “phaya yo” atau

“phaya plongtong”. Di Vietnam dengan nama

“Bim Bip,” “Xuong Khi,” atau “Manh Cong”,

sedangkan masyarakat China mengenal tumbuhan

ini dengan nama “e zui hua” or “you dun cao”.3, 4

Tinggi tumbuhan C. nutans mencapai sekitar 1-3

meter. Daun dari dandang gendis berwarna hijau,

berbentuk menyirip, panjangnya berkisar 8-12 cm

dan lebar antara 4-6 cm. Tumbuhan ini juga

mempunyai bunga yang ada di atas bagian

percabangan. Berikut adalah klasifikasi taxonomi

tumbuhan C. nutans:

Nama ilmiah : Clinacanthus nutans (Burm.f.)

Lindau

Famili : Acanthaceae

Genus : Clinacanthus

Species : C. nutans

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

47

Tumbuhan C. nutans dilaporkan memiliki

berbagai variasi phenolic, terpenoid dan beberapa

molekul murni seperti benzenoid,

glycoglycerolipids, glycosylglycerides, turunan

klorofil, asam lemak, fitosterol, cerebrosides.

stigmasterol, lupeol, β-sitosterol. vitexin

(apigenin/8-beta-D-glucopyranosyl-5,7dihydroxy

-2-(4hydroxyphenyl)-4H-1-benzopyran-4-one) ,

isovitexin (saponaretin /6-beta-D-

glucopyranosyl-4',5,7-trihydroxyflavone),

schaftoside (shaftoside), isomollupentin 7-O-b-

glucopyranoside, orientin (lutexin/luteolin),

isoorientin (homoorientin/luteolinn6-C-beta-D-

glucopyranoside), clinacoside A, clinacoside B,

clinacoside C, cycloclinacoside A1,

cycloclinacoside A2, 13-hydroxy-(13-S)-

phaeophytin b, pupurin-18-phytyl ester, dan

pheophorbide. 2 5-8 Dari seluruh molekul murni

yang berhasil diisolasi dari C. nutans, hanya

molekul chlorophyll related yang sudah terbukti

secara ilmiah mempunyai aktivitas biologis, yaitu

antivirus terhadap virus herpes simpleks.9

TINJAUAN PUSTAKA

Aktivitas biologis C. nutans

Dari penelitian terdahulu, baik in vivo

maupun in vitro, ekstrak daun C. nutans diketahui

mempunyai kemampuan antivirus, antioksidan,

antikanker, antiinflamasi, antibakteri, dan

analgesik.10-15 Di Thailand, obat yang berasal dari

ekstrak daun C. nutans untuk mengobati herpes

simpleks sudah dijual secara komersil dengan

harga yang jauh dibawah harga obat

konvensional.

Ekstrak etanol menunjukkan inhibisi

terhadap produksi peroksida yang diproduksi oleh

makrofag tikus setelah distimulasi oleh phorbol

myristate acetate (PMA). Ekstrak ini juga

mempunyai efek proteksi terhadap sel darah

merah tikus yang diinduksi oleh 2,2′-azobis (2-

amidinopropane) hydrochloride (AAPH).12

Kemampuan antikanker C. nutans sudah diteliti

dengan menggunakan berbagai galur sel. Dalam

penelitian sitotoksisitas C. nutans, diketahui

tumbuhan ini mempunyai kemampuan

antiproliferasi dan antikanker terhadap berbagai

galur sel. Penelitian yang dilakukan juga

menggunakan berbagai ekstrak yang berbeda

(non-polar, semipolar dan polar). Ekstrak

kloroform, metanol dan air menunjukkan

kemampuan antiproliferasi terhadap human liver

hepatocellular carcinoma (HepG2), human

neuroblastoma cell line (IMR-32), human lung

cancer cell line (NCI-H23), human gastric cancer

cell line (SNU-1), human colon adenocarcinoma

cell line (LS-174T), human erythroleukemia cell

line (K-562), human cervical cancer cell line

(HeLa), dan human Burkitt's lymphoma cell line

(Raji). Ekstrak C. nutans juga tidak menunjukkan

toksisitas terhadap sel HUVEC (human umbilical

veins endothelial cell), hal ini membuktikan

bahwa C. nutans aman terhadap sel normal.16

Pada penelitian terdahulu ekstrak metanol

dievaluasi dengan menggunakan model oedem

tikus yang diinduksi dengan carrageenan dan

ethyl phenylpropiolate (EPP). Penelitian ini

menunjukkan aktivitas anti-inflamasi melalui

efek inhibisi fungsi respon netrofil tanpa adanya

efek toksisitas yang signifikan.17

Kemampuan antibakteri C. nutans

menunjukkan hasil positif ketika diuji terhadap

bakteri S. aureus, E. coli, P. acnes, S. epidermis

dan B. cereus. Hal ini mungkin berhubungan

dengan lupeol, β-sitosterol, flavonoid, dan

terpenoid yang terkandung di dalam C. nutans.18-

20 Aktivitas analgesik tumbuhan ini diinvestigasi

dengan menggunakan ekstrak butanol. Hasilnya

menunjukkan C. nutans memiliki aktivitas

analgesik yang menyerupai aspirin.10

Secara tradisional, di Thailand dan

Malaysia bagian pedalaman tumbuhan ini sudah

digunakan sebagai obat untuk mengobati gigitan

ular atau kalajengking. Namun setelah dilakukan

penelitian, tidak ditemukan adanya aktivitas

antivenin di C. nutans.21 Ekstrak etanol bagian

daun dan batang tumbuhan C. nutans mempunyai

kemampuan anti-dengue pada penelitian yang

dilakukan dengan menggunakan galur sel Huh-7.8

Penelitian C. nutans sebagai penyembuh

luka juga sudah dilakukan. Salah satunya adalah

penelitian in vitro dengan menggunakan human

gingival fibroblast (HGF) untuk melihat efek

ekstrak kloroform dan heksana C. nutans terhadap

kecepatan migrasi HGF dengan teknik scratch

assay. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua

ekstrak pada dosis 10 g/ml mempercepat migrasi

HGF dibandingkan dengan grup lain.22 Hal ini

membuktikan bahwa dengan dosis seminimal 10

g/ml, Dandang Gendis mampu menginduksi

migrasi HGF.

Selain itu, tumbuhan ini juga sudah

dilakukan uji klinik mengevaluasi pengobatan

terhadap stomatitis aftosa dengan metode double

blind controlled trial terhadap 43 subyek.

Hasilnya, ekstrak C. nutans menunjukkan

penyembuhan yang lebih baik dibanding plasebo,

namun triamcinolone acetonide lebih baik dari

ekstrak C. nutans.23

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

48

Kombinasi C. nutans dan Elephantopus

scaber juga sudah diteliti untuk penyembuhan

luka pada kulit tikus. Fraksi etil asetat

menunjukkan hasil positif pada luka eksisi dan

insisi, sedangkan fraksi air memperlihatkan hasil

yang positif pada luka bakar. Dari hasil LC-MS

diketahui adanya beberapa molekul berbasis

flavonoid yang bekerja secara sinergi.24

Tulisan ini akan mengulas potensi

kemampuan C. nutans untuk mempercepat

penyembuhan luka di rongga mulut berdasarkan

penelitian-penelitian yang sudah dilakukan secra

in vitro dan in vivo.

Proses penyembuhan luka

Penyembuhan luka adalah proses

menggantikan struktur selular dan jaringan yang

rusak melalui tahap yang kompleks dan dinamis.

Terdiri atas berbagai proses biokimia yang

terorganisir untuk memperbaiki jaringan yang

rusak. Pada orang dewasa, penyembuhan luka

dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase

inflamasi, proliferasi dan remodeling.25

Fase inflamasi mulai segera setelah terjadi

luka, yang diawali dengan mekanisme hemostasis

yang bertujuan untuk menghentikan pendarahan.

Karakteristik yang khas pada tahap ini adalah

vasokonstriksi dan agregasi platelet untuk

menginduksi vasodilatasi dan fagositosis,

sehingga terjadi inflamasi di daerah luka. Fase

berikutnya adalah fase proliferasi.26 Ciri khas fase

proliferasi adalah granulasi, kontraksi luka, dan

epitelisasi. Selama proses granulasi, fibroblas

membentuk dasar kolagen yang diikuti oleh

produksi kapiler baru.26 Selama kontraksi luka,

myofibroblas memperkecil ukuran luka dengan

dengan mencengkeram daerah pinggir luka dan

berkontraksi dengan cara sama seperti yang

dilakukan oleh otot polos. Setelah tugas sel ini

hampir selesai, sel-sel yang tidak dibutuhkan akan

apoptosis.27 Epitelisasi melibatkan proliferasi sel

epitel, yang akan memanjat ke atas daerah luka,

menutupi jaringan baru yang terbentuk.

Angiogenesis

Pembentukan pembuluh darah baru

(angiogenesis) sangat penting dalam proses

penyembuhan luka dan terjadi secara bersamaan

dengan semua tahap proses perbaikan.28 Tahap

pertama pada pembentukan pembuluh darah baru

adalah perlekatan faktor pertumbuhan dengan

reseptor nya masing-masing pada sel endotel

pembuluh yang ada. Sel endotel yang teraktivasi

mensekresi enzim proteolitik untuk melarutkan

lamina basal, sehingga sel endotel dapat

berproliferasi dan migrasi ke daerah luka. Untuk

dapat membuka ruang untuk sel berproliferasi,

membran basalis dan matriks ekstraselular

terdegradasi. Proses ini dikenal dangan

sprouting.29, 30

Angiogenesis distimulasi oleh faktor

pertumbuhan dan hipoksia jaringan.31

Lingkungan hipoksia terjadi karena adanya

penutupan permukaan luka oleh bekuan fibrin.

Penutupan permukaan luka sangat diperlukan

untuk membentuk lingkungan hipoksia luka.

Bekuan fibrin yang terbentuk selama hemostasis

menyediakan penutupan sementara sehingga

angiogenesis dapat berlangsung. Lingkungan

hipoksia juga menginduksi makrofag mensekresi

faktor angiogenesis seperti fibroblast growth

factor (bFGF or FGF-2) dan acidic FGF (aFGF

atau FGF-1) yang dilepaskan segera setelah

adanya gangguan sel.32, 33

Fase terakhir adalah fase remodeling yang

akan berlangsung selama beberapa bulan. Selama

proses ini kolagen dan matriks protein akan terus

disintesis agar daerah luka kembali seperti

sediakala. Tujuan utama penyembuhan luka

adalah untuk mempercepat waktu penyembuhan

atau untuk meminimalisir efek samping yang

mungkin akan terjadi.10

Parameter yang digunakan untuk menilai

aktivitas penyembuhan luka:

1. Parameter fisik

Karakteristik fisik seperti kompresi luka,

epitelisasi, dan bekas luka dapat diamati

dengan mengukur penutupan luka dan

mencatat perubahan fisik bekas luka.34

2. Parameter mekanis

Kemampuan mekanis seperti kualitas

kerapuhan dan elastisitas dapat diamati dengan

mengukur kekuatan yang dibutuhkan untuk

merusak luka atau jaringan.35

3. Parameter biokimia

Kolagen berkontribusi sangat besar dalam

menentukan kualitas penyembuhan luka.

Asam amino di kolagen, yaitu hydroxyproline,

dapat dievaluasi untuk menentukan jumlah

kolagen di luka dengan cara teknik

calorimetric, spectrometric atau

chromatographic.36

4. Parameter histologis

Pengecekan kualitas secara histologis,

mengevaluasi komponen sel dan

jumlahkandungan kolagen adalah parameter

yang penting dalam pemulihan luka.37

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

49

Faktor-faktor yang mempengaruhi

penyembuhan luka:

1. Diet

Penyembuhan luka adalah proses

anabolik yang membutuhkan energi dan

nutrisi. Kandungan serum albumin sebanyak

3,5 g/dl atau lebih dibutuhkan untuk

penyembuhan yang baik.38 Protein juga

penting untuk sintesis kolagen di

daerah luka. Keadaan malnutrisi dapat

menyebabkan jumlah protein yang kurang

yang akhirnya dapat menimbulkan penurunan

sintesis kolagen yang bisa meningkatkan

resiko terkena infeksi.39

2. Infeksi di daerah luka

Penyebab paling umum lamanya waktu

penyembuhan luka adalah infeksi di daerah

luka.40 Staphylococcus aureus, Streptococcus

pyogenes, Corynebacterium sp., Escherichia

coli dan Pseudomonas aeruginosa adalah

organisme yang sering menyebabkan infeksi

luka.41

3. Oksigen yang kurang dan perfusi jaringan di

daerah luka

Pasokan darah yang cukup dan perfusi

jaringan sangat penting untuk penyembuhan

luka. Rasa sakit yang berlebihan, demam atau

anxiety dapat menyebabkan vasokonstriksi

secara lokal dan memperlama penyembuhan.42

Merokok dan penggunaan tembakau

menurunkan perfusi jaringan dan tekanan

oksigen di daerah luka.41

4. Obat-obatan

Obat-obatan kemoterapi yang digunakan

dalam pengobatan kanker dapat memperlama

penyembuhan luka.43 Glukokortikoid sistemik

dapat mengganggu proses penyembuhan luka

dengan menurunkan sintesis kolagen dan

proliferasi fibroblas.

5. Usia lanjut

Usia lanjut sering dihubungkan dengan

tertundanya penyembuhan luka. Dilaporkan

bahwa pertumbuhan dan aktivitas fibroblas

berkurang, dan sintesis kolagen dan kontraksi

luka menjadi lambat pada individu yang lanjut

usia.44

6. Diabetes dan kondisi lainnya

Penderita diabetes lebih rentan terkena

infeksi luka. Dalam penelitian ditemukan

bahwa resiko infeksi pada luka meningkat

hingga 11% pada penderita diabetes.45

Penyakit liver akut dan kronis juga

dihubungkan dengan tertundanya

penyembuhan luka.46

PEMBAHASAN

Respon inflamasi akut pada saat fase awal

terjadinya luka akan merangasang faktor-faktor

penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perbaikan jaringan. Faktor-faktor tersebut antara

lain sitokin dan chemokines.47 Fase inflamasi yang

berkepanjangan dapat mencegah luka masuk ke

fase remodeling. Akhirnya, penutupan luka akan

tertunda dan rasa sakit akan timbul, yang akan

mengarah ke terhalangnya proses

penyembuhan.48 Oleh karena itu, terapi dengan

obat yang mempunyai kemampuan anti-inflamasi

menjadi perhatian para peneliti, dengan tujuan

untuk meningkatkan kenyamanan pasien pada

saat proses penyembuhan luka.49 Dengan adanya

kemampuan anti-inflamasi dalam obat

penyembuh luka, maka diharapkan fase inflamasi

menjadi lebih singkat, sehingga luka dapat

sembuh lebih cepat. Ekstrak C. nutans sudah

diteliti mempunyai kemampuan anti-inflamasi

secara in vivo,17 hal ini bisa menjadi kemampuan

positif yang dibutuhkan dalam penyembuh luka.

Infeksi adalah faktor penting yang dapat

mengganggu penyembuhan luka.50 Mengurangi

adanya bakteri yang ada di daerah luka adalah hal

penting yang dibutuhkan untuk penyembuhan

luka yang lebih baik. Obat yang ideal untuk

mencegah terjadinya infeksi luka adalah obat

yang mempunyai kemampuan sebagai

antimikrobial dan sekaligus bertindak sebagai

stimulan aktivitas respon imun secara natural

tanpa merusak jaringan sehat sekitarnya.51

Ekstrak C. nutans mempunyai kemampuan

antibakteri18 dan mampu memodulasi proliferasi

limfosit dan sel PMN.52 Kedua kemampuan ini

adalah aktivitas yang sangat positif dalam

mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat

penyembuhan luka.

Masuknya netrofil ke daerah luka akan

menimbulkan respiratory burst dan menghasilkan

radikal bebas. Adanya radikal bebas akan

menyebabkan stres oksidatif yang kemudian

mengarah ke peroksidasi lipid, kerusakan DNA

dan inaktivasi enzim. Enzim ini termasuk enzim

scavenger radikal bebas yang berfungsi

membatasi efek reactive oxygen species (ROS).

Oleh karena itu dibutuhkan antioksidan yang

dapat mengurangi efek ROS, sehingga

meningkatkan efisiensi penyembuhan luka.53

Ekstrak daun C. nutans mempunyai aktivitas

biologis sebagai antioksidan.16 Aktivitas ini akan

sangat dibutuhkan untuk mencegah kerusakan

jaringan sehat yang lebih lanjut yang disebabkan

oleh ROS.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

50

Pada penyembuhan luka soket pasca

pencabutan gigi tidak hanya melibatkan jaringan

lunak, tetapi juga jaringan keras, yaitu tulang.

Pada keadaan tanpa stimulasi, osteoblas akan

teraktivasi pada hari ke-1 sampai ke-3 pasca

pencabutan gigi dan osteoid akan terbentuk dalam

seminggu. Untuk menyatukan celah soket dengan

tulang primer dibutuhkan waktu 4 sampai 6

minggu tergantung besarnya soket.54 Sampai saat

ini belum ada penelitian yang meneliti efek

ekstrak daun C. nutans terhadap proliferasi

osteoblas dan pembentukan tulang. Selain itu,

efek ekstrak daun C. nutans terhadap sel endotel

untuk merangsang terjadinya angiogenesis juga

belum diteliti.

KESIMPULAN

Kemampuan ekstrak C. nutans untuk

penyembuhan luka di rongga mulut perlu

diinvestigasi labih dalam lagi, Khususnya efek

terhadap osteoblas dan sel endotel, yang keduanya

mempunyai peran penting dalam penyembuhan

luka. Selain itu, penelitian yang mendalam sampai

tahap molekuler juga perlu dilakukan, agar

mekanisme efek ekstrak C. nutans terhadap

penyembuhan luka dapat dijelaskan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

obat untuk penyembuhan luka pasca pencabutan

gigi harus memiliki kemampuan antibakteri, anti-

inflamasi, antioksidan. Ekstrak daun C. nutans

memiliki semua kemampuan ini, namun demikian

masih diperlukan penelitian lebih lanjut yang

meneliti efek tumbuhan ini terhadap osteoblas dan

sel endotel.

DAFTAR PUSTAKA

1. Newman DJ, Cragg GM. Natural Products as

Sources of New Drugs from 1981 to 2014. J

Nat Prod 2016;79:629-661.

2. Sakdarat S, Shuyprom A, Dechatiwongse Na

Ayudhya T, Waterman PG, Karagianis G.

Chemical composition investigation of the

Clinacanthus nutans Lindau leaves. Thai J

Phytopharm 2008;13:13-24.

3. Panyakom K. Structural elucidation of

bioactive compounds of Clinacanthus nutans

(Burm. f.) Lindau leaves: Suranaree

University of Technology, Nakhon

Ratchasima; 2006.

4. Roosita K, Kusharto CM, Sekiyama M,

Fachrurozi Y, Ohtsuka R. Medicinal plants

used by the villagers of a Sundanese

community in West Java, Indonesia. J

Ethnopharmacol 2008;115:72-81.

5. Dampawan P, Huntrakul C, Reutrakul V.

Constituents of Clinacanthus nutans and the

crystal structure of lup-20(29)-ene-3-one. J

Sci Soc Thailand 1977;3:14-26.

6. Teshima K, Kaneko T, Ohtani K, Kasai R,

Lhieochaiphant S, Picheansoonthon C, et al.

Sulfur-containing glucosides from

Clinacanthus nutans. Phytochemistry

1998;48:831-835.

7. Teshima K., Kaneko T., Ohtani K., Kasai R.,

Lhieochaiphant S., Picheansoonthon C., et al.

C-Glycosyl Flavones from Clinacanthus

nutans. Nat Med 1997;51 (6):557.

8. Tu SF, Liu RH, Cheng YB, Hsu YM, Du YC,

El-Shazly M, et al. Chemical constituents

and bioactivities of Clinacanthus nutans

aerial parts. Molecules 2014;19:20382-

20390.

9. Sakdarat S, Shuyprom A, Pientong C,

Ekalaksananan T, Thongchai S. Bioactive

constituents from the leaves of Clinacanthus

nutans Lindau. Bioorganic & medicinal

chemistry 2009;17:1857-1860.

10. Satayavivad J, Bunyapraphatsara N,

Kitisiripornkul S, Tanasomwang W.

Analgesic and anti-inflammatory activities

of extract of Clinacanthus nutans (Burm.f.)

Lindau. Thai J Phytopharm 1996;3:

11. Sangkitporn S., Balachandra K., Bunjob M.,

Chaiwat S., Dechatiwongse Na Ayudhaya T.,

Jayavasu C. Treatment of herpes zoster with

Clinacanthus nutans (Bi Phaya Yaw) extract.

J Med Assoc Thai 1995;78:624-627.

12. Pannangpetch P., Laupattarakasem P.,

Veerapol Kukongviriyapan V.,

Kukongviriyapan U., Kongyingyoes B.,

Aromdee C. Antioxidant activity and

protective effect against oxidative hemolysis

of Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau.

Songklanakarin J Sci Technol 2007;29:1-9.

13. Jayavasu C, Dechatiwongse Na Ayudhaya T,

Balachandra K, Chavalittumrong P,

Jongtrakulsiri S. The virucidal activity of

Clinacanthus nutans Lindau extracts against

herpes simplex virus type-2: an in vitro

study. Bull Dept Med Sci 1992;34:153-158.

14. Huang D, Guo W, Gao J, Chen J, Olatunji

JO. Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau

Ethanol Extract Inhibits Hepatoma in Mice

through Upregulation of the Immune

Response. Molecules 2015;20:17405-17428.

15. Arullapan S, Rajamanickam P, Thevar N,

Kodimani C. In Vitro Screening of

Cytotoxic, Antimicrobial and Antioxidant

Activities of Clinacanthus nutans

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

51

(Acanthaceae) leaf extracts. Trop J Pharm

Res, 2014;13:1455-1461.

16. Yong YK, Tan JJ, Teh SS, Mah SH, Ee GC,

Chiong HS, et al. Clinacanthus nutans

Extracts Are Antioxidant with

Antiproliferative Effect on Cultured Human

Cancer Cell Lines. Evidence-based

complementary and alternative medicine :

eCAM 2013;462751.

17. Wanikiat P, Panthong A, Sujayanon P,

Yoosook C, Rossi AG, Reutrakul V. The

anti-inflammatory effects and the inhibition

of neutrophil responsiveness by Barleria

lupulina and Clinacanthus nutans extracts. J

Ethnopharmacol 2008;116:234-244.

18. Dorman HJ, Deans SG. Antimicrobial agents

from plants: antibacterial activity of plant

volatile oils. J Appl Microbiol 2000;88:308-

316.

19. Kuete V, Kamga J, Sandjo LP, Ngameni B,

Poumale HM, Ambassa P, et al.

Antimicrobial activities of the methanol

extract, fractions and compounds from Ficus

polita Vahl. (Moraceae). BMC Complement

Altern Med 2011;11:6.

20. Singh B, Sahu PM, Sharma MK. Anti-

inflammatory and antimicrobial activities of

triterpenoids from Strobilanthes callosus

nees. Phytomedicine 2002;9:355-359.

21. Cherdchu C, Poopyruchpong N,

Adchariyasucha R, Ratanabanangkoon K.

The absence of antagonism between extracts

of Clinacanthus nutans Burm. and Naja naja

siamensis venom. Southeast Asian J Trop

Med Public Health 1977;8:249-254.

22. Roeslan M, Ayudhya T, Koontongkaew S.

Characteristics of Clinacanthus nutans

extraction from Thailand and Indonesia

(Preliminary Study). Sci-Health 2 2012;

23. Siriporn T. Clinical evaluation of

Clinacanthus nutans Lindau in orabase in the

treatment of ruccurent aphtous stomatitis.

Mahidol Dent J 2013;14(1):10-16.

24. Aslam MS, Ahmad MS, Mamat AS, Ahmad

MZ, Salam F. Antioxidant and Wound

Healing Activity of Polyherbal Fractions of

Clinacanthus nutans and Elephantopus

scaber. Evid Based Complement Alternat

Med: eCAM 2016;2016:4685246.

25. Flanagan M. The physiology of wound

healing. J Wound Care 2000;9:299-300.

26. Gantwerker EA, Hom DB. Skin: histology

and physiology of wound healing. Clin Plast

Surg 2012;39:85-97.

27. Kirsner RS, Eaglstein WH. The wound

healing process. Dermatol Clin 1993;11:629-

640.

28. Velnar T, Bailey T, Smrkolj V. The wound

healing process: an overview of the cellular

and molecular mechanisms. J Int Med Res

2009;37:1528-1542.

29. Reinke JM, Sorg H. Wound repair and

regeneration. European surgical research

Europaische chirurgische Forschung

Recherches chirurgicales europeennes

2012;49:35-43.

30. Robson MC, Steed DL, Franz MG. Wound

healing: biologic features and approaches to

maximize healing trajectories. Curr Probl

Surg 2001;38:72-140.

31. Giordano FJ, Johnson RS. Angiogenesis: the

role of the microenvironment in flipping the

switch. Curr Opin Genet Dev. 2001;11:35-

40.

32. Gurtner GC, Werner S, Barrandon Y,

Longaker MT. Wound repair and

regeneration. Nature 2008;453:314-321.

33. Strodtbeck F. Physiology of wound healing.

Newborn Infant Nurs Rev 2001;1:43-52.

34. Mustapha N. Glue as a Cell-Delivery Vehicle

in Wound Healing. J Trauma Treat

2015;4:250:

35. Casacó A, Fuente D, Ledon N, Ferandez A,

Crombet T. Anti- epidermal growth

factor/epidermal growth factor receptor

therapeutic anticancer drugs and the wound

healing process. J Cancer Sci Ther

2012;4:324-329.

36. Koyama Y. Effects of Collagen Ingestion

and their Biological Significance. J Nutr

Food Sci 2016;6:504:

37. Knott ME, Minatta JN, Roulet L, Gueglio G,

Pasik L, Ranuncolo SM, et al. Circulating

Fibroblast Growth Factor 21 (Fgf21) as

Diagnostic and Prognostic Biomarker in

Renal Cancer. J Mol Biomark Diagn 2016;1:

38. Hanna JR, Giacopelli JA. A review of wound

healing and wound dressing products. J Foot

Ankle Surg 1997;36:2-14; discussion 79.

39. Albritton JS. Complications of wound repair.

Clin Podiatr Med Surg 1991;8:773-785.

40. Lazarus GS, Cooper DM, Knighton DR,

Percoraro RE, Rodeheaver G, Robson MC.

Definitions and guidelines for assessment of

wounds and evaluation of healing. Wound

Repair Regen 1994;2:165-170.

41. LaVan FB, Hunt TK. Oxygen and wound

healing. Clin Plast Surg 1990;17:463-472.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 46 – 52

52

42. Cuzzell JZ, Stotts NA. Wound care. Trial &

error yields to knowledge. Am J Nurs

1990;90:53-60, 63.

43. Franz MG, Steed DL, Robson MC.

Optimizing healing of the acute wound by

minimizing complications. Curr Probl Surg

2007;44:691-763.

44. Sherman RA. A new dressing design for use

with maggot therapy. Plast Reconstr Surg

1997;100:451-456.

45. Greenhalgh DG. Wound healing and diabetes

mellitus. Clin Plast Surg 2003;30:37-45.

46. Nagori B, Renu S. Role of medicinal plants

in wound healing. Res J Med Plant

2011;5(4):392-405.

47. Thomson PD. Immunology, microbiology,

and the recalcitrant wound. Ostomy Wound

Manage 2000;46:77S-82S; quiz 83S-84S.

48. Pierce GF. Inflammation in nonhealing

diabetic wounds: the space-time continuum

does matter. Am J Pathol 2001;159:399-403.

49. Della Loggia R, Tubaro A, Sosa S, Becker H,

Saar S, Isaac O. The role of triterpenoids in

the topical anti-inflammatory activity of

Calendula officinalis flowers. Planta Med

1994;60:516-520.

50. Rijswik L, Harding K, Bacilious N. Issues

and clinical implications Ostomy Wound

Manage 2000;46:11.

51. Faoagali J. Use of antiseptics in managing

difficult wounds. Primary Intent

1999;7:156–160.

52. Sriwanthana B, P. C, Chompuk L. Effect of

Clinacanthus nutans on human cell-

mediated immune response in vitro. Thai J

Pharm Sci 1996;20:261-267.

53. Yeoh S. The influence of iron and free

radicals on chronic leg ulceration. . Primary

Intent 2000;8:47–55.

54. Politis C, Schoenaers J, Jacobs R, Agbaje JO.

Wound Healing Problems in the Mouth.

Front Physiol 2016;7:507.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

53

Endokarditis Bakterialis pada Anak : Suatu Tinjauan Untuk Dokter Gigi

(Studi Pustaka)

Sri Ratna Laksmiastuti

Staf Pengajar Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT

Background : Bacterial endocarditis is one of cardiac disorders which is closely related to dentistry.

Infective endocarditis is a serious infection associated with significant morbidity and mortality. It

remains a serious issue in early age. Approximately 10% of the cases are with children below the age

of 10. Tooth extraction, surgery, gingival trauma, scalling, or focal infection on other regions in

children with predelection factor will induce the risk of bacterial endocarditis. The risk of systemic

complication can occur in suscebtible patient. For the susceptible patient, the risk includes serious

sistemic complications. Purpose: A dentist should know the dental management of pediatric dental

patient with cardiac disorders risk. Reviews: Bacterial endocarditis is an bacterial infection

characterized by inflamation or infection of the inner surface of heart (endocardium). Infective

endocarditis is an uncommon but potentially life-threatening infection of the inner heart that is

presumed to be associated with dental procedure that compromise mucosal integrity and lead to

transient bacteremia. Conclusion : A dentist should be capable to identify the patient with the history

of heart disease, to take the history of illness properly, to perform clinical examination, to

communicate with other colleagues, to establish the diagnosis, and perform treatment plan.

Keywords : bacterial endocarditis, children, dentist

PENDAHULUAN

Bakteremia sering kali merupakan bagian

dari kehidupan kita sehari-hari. Pada tubuh kita,

bakteri hidup secara normal di kulit, rongga

mulut, saluran pencernaan, dimana dapat masuk

ke pembuluh darah melalui luka pada kulit.

Bakteri dapat pula masuk ke pembuluh darah

pada saat kita melakukan aktifitas sehari-hari

seperti menggosok gigi dan mengunyah. Rongga

mulut secara umum merupakan tempat

akumulasi bakteri. Oral hygiene yang baik dapat

menurunkan risiko terjadinya bakteremia yang

dapat menyebabkan terjadinya endokarditis.1

Endokarditis bakterialis merupakan salah

satu jenis kelainan pada jantung yang erat

kaitannya dengan bidang kedokteran gigi. Infeksi

endokarditis (IE) adalah salah satu infeksi paling

serius pada manusia dan merupakan penyakit

yang mengancam jiwa. IE adalah infeksi

mikroba pada endokardium (lapisan dalam otot

jantung), dan biasanya melibatkan katup jantung.

Secara umum, terjadinya endokarditis bakterialis

adalah sekitar 0,5 % dari seluruh penyakit

jantung pada anak.2-4 Di negara berkembang,

kejadian pada anak-anak bervariasi antara 0,8-

3,3 / 1000 di rumah sakit umum, dan 20-56 /

1000 pada pusat jantung. Di negara maju,

menunjukkan bahwa terjadi sekitar 1500 kasus

IE per tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi

pada pria, dengan rasio pria dan wanita adalah 2 :

1. Selain itu, IE tetap menjadi masalah serius

pada usia dini. Sekitar 10% dari semua kasus IE

terjadi pada anak-anak di bawah usia 10.4,5

Menurut American Heart Association, infeksi

endokarditis merupakan keadaan yang tidak

lazim, tetapi angka kejadiannya tidak jarang.

Penyakit ini terjadi pada 10.000-20.000

penduduk Amerika setiap tahunnya.1,6,7

Pada manajemen pasien, perlu dilakukan

prosedur pencegahan yang tepat, misalnya

penderita telah diberi terapi anti mikroba, dan

pada penderita yang susceptible, penyakit ini

dapat menyebabkan komplikasi serius seperti

stroke, operasi jantung terbuka, bahkan

kematian.1,8

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka

seorang dokter gigi perlu memiliki pengetahuan

yang cukup tentang penyakit ini pada anak,

terutama dalam kaitannya dengan perawatan di

bidang kedokteran gigi. Pengetahuan yang

diperlukan meliputi identifikasi penderita,

anamnesis yang adekuat, penegakkan diagnosis

dan rencana perawatan, serta berkonsultasi

dengan sejawat ahli.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

54

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan etiologi

Penyakit jantung dibagi menjadi 2 tipe

secara umum, yaitu : kongenital / bawaan dan

acquired/ didapat. Penyakit Jantung Bawaan

(PJB) terdiri dari PJB Acyanotic dan PJB

Cyanotic. Penyakit jantung yang didapat adalah

demam rematik dan infeksi endokarditis (IE).9

Endokarditis bakterialis adalah infeksi

kuman yang menyerang katub jantung ,

endokardium dan epitel pembuluh darah yang

disebabkan oleh kuman dan beberapa penyakit.2,5

Infeksi endokarditis merupakan infeksi mikroba

yang menyerang permukaan endotelium dari

jantung atau katub jantung yang pada umumnya

terjadi pada pasien dengan kelainan jantung

bawaan ataupun acquired. Infeksi endokarditis

terjadi pada lapisan jantung yang lebih dalam

(endokardium) atau katub jantung. Infeksi ini

dapat menyebabkan kerusakan pada katub

jantung. Endokarditis bakterialis ditandai dengan

inflamasi dan infeksi pada permukaan jantung

yang lebih dalam (endokardium)1,3 Infeksi ini

dapat menyerang semua golongan usia (bayi,

anak, maupun dewasa), baik yang menderita

congenital heart desease maupun pasien tanpa

kelainan jantung.1,3,10

Jamur, chlamydia, rickettsia, dan lain-lain

dapat pula menyebabkan endokarditis ini. Tetapi

penyebab paling umum dari endokarditis adalah

bakteri, dan didiagnosis sebagai endokarditis

bakterialis.11

Kuman penyebab yang sering ditemukan

pada biakan darah dengan frekuensi tinggi adalah

Streptococcus viridans (50-60%), Streptococcus

anhemolyticus (5-10%), Staphylococcus aureus

(10-20%), serta jamur (10%). Pada suatu

penelitian yang dilakukan pada sebelas kultur

darah penderita yang positif terdiagnosis

endokarditis, Streptococcus viridians didapatkan

sebanyak empat kasus, dan Staphylococcus

aureus tiga kasus.12

Bakterimia transien umumnya terjadi

setelah trauma pada mukosa karena dental

procedures. Streptococus adalah etiologi utama

infeksi endokarditis. Sekitar 40% dari kasus

endokarditis menunjukan kultur positif adanya

Streptococcus yang berasal dari rongga mulut .

Maka dari itu, banyak ahli berpendapat bahwa

penyebab utama infeksi endokarditis adalah

prosedur perawatan gigi.13

Seperti telah tersebut di atas, diantara

variasi jenis-jenis bakteri , penyebab utama

endokarditis adalah streptococcus viridans, yang

merupakan penyebab dari sub akut endokarditis.

Streptococcus viridans merupakan jumlah

terbanyak pada kelompok streptococcus, dan

merupakan bakteri komensal utama di rongga

mulut.

Actinobacillus actinomycetemcomitans

dilaporkan juga merupakan salah satu agen

penyebab. Sedangkan porphyromonas gingivalis,

yang merupakan agen penyebab utama

periodontitis pada orang dewasa, tidak

ditemukan pada biakan darah pasien endokarditis

bakterialis.11

Patogenesis

Endocarditis bacterialis merupakan akibat

dari interaksi yang kompleks dari beberapa

faktor seperti endotelium, bakteri dan respon

imun dari host.3 Infeksi endokarditis terjadi bila

bakteri di pembuluh darah memasuki katup

jantung yang tidak normal atau jaringan jantung

yang lain. Beberapa tindakan pada prosedur

perawatan gigi dapat menyebabkan bakterimia.

Bakteri memasuki pembuluh darah selama

prosedur perawatan gigi, menuju jantung dan

dapat tinggal di katup jantung yang mengalami

kelainan. Bakteri berkembang dan menyebabkan

terjadinya infeksi yang menjalar ke otak, paru,

ginjal atau pun limpa.14 Tindakan medis yang

invasif dapat juga menyebabkan bakteremia bila

luka terjadi pada daerah yang umum ditinggali

oleh bakteri normal.1

Tiga komponen utama harus berinteraksi

untuk menghasilkan IE: 1) lesi jantung yang

mendasari dan kerusakan endokardial, 2)

keadaan yang mengarah ke lesi signifikan

mukosa, yang rentan terhadap bakteremia, dan 3)

volume inokulum mikroba dan virulensi dari

agen bakteri.15

Menurut American Heart Asssociation

(AHA), secara umum bakteri masuk ke tubuh

setelah tindakan di bidang kedokteran gigi,

tonsilektomi atau adenoidectomy, pemasangan

rigid bronchoscope, pembedahan pada saluran

nafas, saluran pencernaan, saluran kencing,

gallbladder, dan prostat.6

Pencegahan dan Penatalaksanaan di Bidang

Kedokteran Gigi

Pedoman tentang pencegahan endokarditis

bakterialis pada anak di bidang kedokteran gigi

selalu berkembang, diperbarui dan

disederhanakan dengan perhatian utama pada

pasien yang mempunyai resiko besar terhadap

penyakit dan kematian akibat penyakit ini.

Dewasa ini profilaksis lebih fokus

direkomendasikan pada pasien dengan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

55

prosthetic heart valve, pasien dengan riwayat

infeksi endokarditis, pasien dengan penyakit

jantung bawaan, dan pasien paska transplantasi

jantung.16 American Heart Association

merekomendasikan pemberian profilaksis

antiobiotik untuk mencegah terjadinya

endokarditis bakterialis. Tetapi masih terdapat

keraguan tentang pemberian antibiotika

profilaksis pada pasien anak dengan oral hygiene

yang baik.17

Profilaksis berupa terapi antibakterial

direkomendasikan pada tindakan perawatan yang

diperkirakan terjadi bakterimia yang melibatkan

organisme penyebab bakterialis endokarditis.

Tindakan tersebut salah satu contohnya adalah

ekstraksi gigi. Ampisilin telah direkomendasikan

sebagai obat profilaksis bakterialis endokarditis

untuk anak yang menjalani perawatan di rongga

mulut, dan saluran nafas. Pada pasien dengan

alergi penisilin obat dapat diganti dengan

cephalosporin, clindamycin, azithrocyn atau

clarithromycin.18

Pemberian resep antibiotika dapat

dilakukan oleh dokter gigi, dokter spesialis anak,

ataupun dokter spesialis jantung.19 Secara

umum, perawatan di bidang kedokteran gigi

yang beresiko terjadinya endokarditis bakterialis

adalah ekstraksi gigi, tindakan periodontal

(scaling, root planning, probing, dan perawatan),

dental implant, reimplant gigi avulsi, perawatan

endodontik, subgingival placement of antibiotic

fibers or strips, pemasangan band orthodontic,

anestesi intraligamen, prophylactis cleaning of

teeth or implant, dan perawatan bidang

kedokteran gigi yang lain dimana terdapat

kemungkinan terjadi perdarahan.20-21 Kebiasaan

menjaga oral hygiene yang baik pada anak,

merupakan tahap penting dalam pencegahan

bakterialis endokarditis. Pemeriksaan rutin ke

dokter gigi sangat diperlukan. Pemeliharaan oral

hygiene yang baik dan tepat sangat penting,

termasuk di dalamnya menyikat gigi dan

flossing.6

Tindakan di bidang kedokteran gigi yang

dapat menyebabkan terjadinya bakteremia

transien, dan perlu atau tidaknya profilaksis

endocarditis, dituliskan pada tabel 1.

Tabel 1. Profilaksis endocarditis untuk prosedur

dental.9,23,24

Profilaksis

direkomendasikan

Profilaksis tidak

direkomedasikan

Ekstraksi gigi

Tindakan Periodontal

(pembedahan, skeling,

root planing, probing

dan recal maintenance)

Pemasangan implan dan

reimplatasi gigi yang

avulsi.

Instrumentasi

Endodontik atau bedah

pada daerah apeks

Pemasangan

Subgingival antibiotics

fibers or strips

Pemasangan awal

orthodontic bands

Intraligamentary local

anesthetic infections

Prophylactic cleaning

of teeth or implants,

where bleeding is

anticipated

Insisi dan drainase atau

prosedur lain yang

melibatkan jaringan

yang terinfeksi

Injeksi rutin anestesi

pada jaringan yang tidak

terinfeksi

Tindakan radiografi

dental

Pemasangan atau

pelapasan piranti

ortodontik atau

prostodontik

Aktivasi piranti

ortodontik

Sheeding of primary teeth

Pemasangan rubber dams

Pemasangan rubber dams

Post operative suture

removal

Taking oral impressions

Aplikasi fluoride

American Heart Association

menyampaikan rekomendasi tentang penggunaan

antibiotic pencegahan infeksi endocarditis

bakterialis untuk meminimalkan risiko

resistensi pada obat. Rekomendasi tercantum

pada tabel 2.1

Anak-anak yang sebelumnya telah

mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, harus

diberi resep obat alternatif sesuai protokol untuk

menghindari perkembangan organisme oral yang

resisten. Obat kumur antiseptik oral pra operasi,

seperti chlorhexidine gluconate 0,2%,

direkomendasikan untuk mengurangi bakteri

mulut. Teknik manajemen perilaku pada anak,

dalam hal ini bermanfaat. Analgesia nitrous

oxide-oxygen sedasi sadar telah terbukti

bermanfaat dalam mengurangi kecemasan pada

pasien anak. Jika sedasi sadar digunakan, tanda

vital dan saturasi oksigen selama prosedur harus

dimonitor secara hati-hati, dan peralatan

resusitasi kardio-pulmoner harus siap pakai.9,25,26

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

56

Tabel 2. Rekomendasi prosedur pemberian obat.9,25

Regimen : Dosis tunggal 30-60 menit sebelum

tindakan

Situasi Obat Dewasa

Anak

Oral Amoxicillin 2 g 50

mg/k

g

Pasien tidak

dapat

mengkonsum

si obat lewat

mulut

Ampicillin 2 g IM

or IV

50

mg/k

g IM

or IV

Cefazoin/ceftria

xone

1 g IM

or IV

50

mg/k

g IM

or IV

Pasien alergi

penicillin

Cephalexin 2 g 50

mg/k

g

Clindamycin 600 mg

20

mg/k

g

Azithromycin

/clarithromycin

500 mg 15

mg/k

g

Pasien alergi

penicillin

dan tidak

dapat

mengkonsum

si obat lewat

mulut

Cefazolin 1 g IM

or IV

50

mg/k

g IM

or IV

Cefriaxzone

/clindamycin

600 mg

IM or

IV

20

mg

IM or

IV

Penilaian pra operasi menyeluruh terhadap

obat reguler anak (termasuk antikoagulan,

antiaritmia, dan antihipertensi) sangat penting

untuk menghindari interaksi obat yang potensial

selama pengobatan. Tidak ada kontraindikasi

untuk penggunaan vasokonstriktor dalam larutan

anestesi lokal. Hindari penggunaan bedah

elektro, electric pulp test, dan pembersih

ultrasonik pada anak-anak dengan pacu jantung.

Pulpotomi dan pulpektomi merupakan

kontraindikasi pada anak-anak ini karena

kemungkinan terjadi bakteremia kronis

berikutnya. Jika anestesi umum diindikasikan,

prosedur perawatan gigi harus dilakukan di

rumah sakit, di mana tersedia perawatan suportif

yang memadai tersedia.9,26

Diskusi

Sebagian besar kelainan jantung pada anak

adalah kongenital, dengan prevalensi 8 pada tiap

1000 kelahiran hidup. Bakterialis endokarditis

bersama dengan myocarditis selain dapat

menyebabkan kematian, juga menyebabkan

ketidakmampuan pada pasien.27 Bakterialis

endokarditis merupakan suatu infeksi yang

mengancam kehidupan seseorang, dengan

tingkat kematian mencapai 30% walaupun telah

diberi pengobatan antibiotika. Bahkan menurut

American Heart Association tingkat kematian

yang diakibatkan penyakit ini mencapai 40%.

Mikroorganisme penyebab, masuk ke aliran

darah melalui beberapa pintu masuk, terutama

permukaan mukosa. Gingiva dan ligamen

periodontal merupakan salah satu titik penting

pintu masuknya bakteri ke aliran darah. Bahkan

aktifitas menggosok gigi yang dilakukan rutin

setiap hari dapat pula menyebabkan

bakteremia.27 Peningkatan insiden terjadinya

endokarditis bakterialis dipengaruhi oleh banyak

faktor, yaitu peningkatan survival rate anak

dengan congenital heart desease, peningkatan

penggunaan kateter central venous jangka

panjang, peningkatan pemakaian bahan

prosthetic dan katup. Pasien anak yang tidak

mempunyai riwayat kelainan jantung, tetapi

mempunyai resiko terkena endokarditis

bakterialis adalah anak-anak dengan defisiensi

sistem imun; seiring dengan meningkatnya

survival rate pada anak-anak ini , peningkatan

pemberian obat-obatan intravena, serta

peningkatan penggunaan jangka panjang alat

penunjang kehidupan pada bayi baru lahir

dengan sakit yang berat.28

Bakteremia transien (sementara) dapat

juga ditemukan pada anak yang normal,

misalnya pada pencabutan gigi, operasi, luka

pada gingiva, scaling, atau infeksi fokal di

tempat lain, bahkan menggosok gigi. Tetapi pada

anak normal hal tersebut hampir tidak pernah

menyebabkan endokarditis bakterialis. Diduga,

permukaan endokardium yang tidak normal atau

pun katub yang cacat merupakan tempat

predeleksi.29

Bakteremia dapat terjadi akibat beberapa

macam tindakan medis. Pencabutan gigi

merupakan tindakan medis dengan resiko

terjadinya bakteremia sebesar 40-100% dengan

organisme penyebab Streptococcus viridans. Bila

dibandingkan dengan tindakan medis yang lain

(endoskopi, kolonoskopi, barium enema, reseksi

trans uretra pada prostat, transechopageal

echocardiography) mempunyai resiko paling

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

57

tinggi terhadap kemungkinan terjadinya

bakterialis endokarditis.30

Pada penelitian yang dilakukan oleh

Sivam dkk, tentang prevalensi dan intensitas

bakteremia bila dihubungkan dengan perawatan

orthodonsi, menunjukan pada hasil awal terdapat

peningkatan yang signifikan terjadinya

bakteremia pada saat pemasangan separator.

Sedangkan potensi perkembangan bakterialis

endokarditis sangat rendah, sehingga pemberian

antibiotika profilaksis masih menjadi

pertimbangan.8 Pemakaian obat kumur

antiseptik seperti 0,2% chlorhexidine gluconate

perlu dilakukan sebelum perawatan. Resistensi

pasien terhadap antibiotika perlu mendapat

perhatian, terutama pada pasien yang baru saja

mendapat terapi antibiotika jangka panjang.

Perawatan pulpotomi kontra indikasi dilakukan

pada pasien dengan resiko bakterialis

endokarditis, sedangkan penggunaan

vasokonstriksi tidak kontraindikasi pada pasien,

sepanjang dilakukan aspirasi suntuk mencegah

terjadinya injeksi intravena. Pemeliharaan oral

hygiene yang baik, memegang peranan penting

untuk menurunkan resiko terjadinya bakterialis

endokarditis. Pendidikan berkelanjutan pada

tenaga kesehatan termasuk dokter gigi penting

untuk dilakukan, sebagai panduan protokol

terhadap pasien.31,32

DAFTAR PUSTAKA

1. Cabell CH, Abrutyn E, Karchmer AW.

Bacterial endocarditis : the desease,

treatment, and prevention. Circulation.

American Heart Association. 2003; 107: 185-

7.

2. Casamassimo PS, Fields HW, McTigue DJ,

Nowak AJ. Pediatric dentistry through

adolescence. 5th ed. St. Louis-Missouri :

Elsevier Saunders; 2013.p.122-4.

3. Seymour RA, Lowry J, Whitworth JM et al.

Infective endocarditis, dentistry and antibiotic

prophylaxis : time for a rethink? British Dent

J. 2000; 189 (11): 610-5.

4. Rahayuningsih SE, Kuswiyanto RB,

Situmorang HE et al. Infective endocarditis

in a β-thalasemia major child. Cardiovasc J.

2015; 7(2): 145-9.

5. Marinov L, Shivachev P. Infective

endocardiitis in children-clinical and outcome

evolution. J of IMAB. 2009; 1: 13-5.

6. Heart disease bacterial endocarditis.

Cincinnati Children’s Hospital Medical

Center. Available from

http://www.cincinnatichildrens.org/health/hea

rt-encyclopedia/disease. Diakses tanggal 18

Januari , 2019.

7. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, et al.

Current pediatric diagnosis & treatment. Ed.

Ke-15. International Edition. New York : Mc

Graw Hill; 2001.h.519.

8. Sivam R. Infective endocarditis prophylaxis

in orthodontics : a literature review. Saudi

Dent J. 2002(14); 93-8.

9. Premkumar S. Manual of pediatric dentistry.

1st ed. New Delhi : Jaypee Brothers Medical

Publishers; 2014: 570-5.

10. Little JW, Falace DA, Miller CS ,Rhodus NL

.Dental management of the medically

compromised patient. 7th ed. Missouri :

Mosby Elsevier Company ; 2008. h. 18.

11. Ito HO. Infective endocarditis and dental

procedures : evidence,pathogenesis, and

prevention. J of Med Investigation. 2006; 53.

12. Zacherl S, Feyertag C, Mukhar US, Wimmer

M. Bacterial endocarditis in childhood.

Microbiology Research. Available from

http://www.microbugs.org/ . Diakses tanggal

14 Januaril, 2019

13. Roberts G, Davies R, Fulford M, Longman L.

A dental care standard for patient at risk of

infective endocarditis (IE). Available from

http://www.rcseng.ac.uk/fds/publications-

clinical-guidelines. Diakses tanggal 15

Januari, 2019.

14. Infectious Endocarditis. U.S. National Library

of Medicine. Available from

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.html.

Diakses tanggal 16 Januari, 2019.

15. Di Filippo S. Prophylaxis of infective

endocarditis in patient with congenital heart

disease in the context of recent modified

guidelines. Archives of Cardiovascular

Disease. Elsevier Masson; 2012: 454-460.

16. Kim A, Keys T. Infective endocarditis

prophylaxis before dental procedures : new

guidelines spark controversy. Cleveland

Clinic J of Med. 2008 (75); 89-92.

17. Soxman JA. Subacute bacterial endocardiitis :

considerations for the pediatric patient. J am

Dent Assoc. 2000 (131) ; 668-9.

18. Capitano B, Quintiliani R, Nightingale CH,

Nicolau DP. Antibacterials for peophylaxis

and treatment of bacterial endocarditis in

children. PubMed U.S National Library of

Medicine. Available from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ .

Diakses tanggal 14 Januari, 2019.

19. Heart condition in children-bacterial

endocarditis. University of Rochester Medical

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 53 – 58

58

Center. Available from

http://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/

content.cfm. Diakses tanggal 14 Januari,

2019.

20. American Heart Association Guidelines :

Bactaerial Endocarditis Prophylaxis. J Am

Coll Cardiol. 2008 (52); 676-685.

21. Abdallah H. What is bacterial endocarditis.

The Children’s Heart Institute. Available

from

http://childrensheartinstitute.org/educate/bact

endo/bactendo.htm. Diakses tanggal 16

Januari, 2019.

22. Silvestry FE, Glick M, Tarka EA, Herling IM.

Disease of the cardiovascular system. Dalam

Burket’s Oral Medicine Diagnosis &

Treatment. Martin S Greenberg, Michael

Glick (editor). Ed.Ke-10. Ontario : BC

Decker; 2003.h.363.

23. Casamassimo PS, Fields HW, McTigue DJ,

Nowak AJ. Pediatric dentistry through

adolescence. 5th ed. St. Louis-Missouri :

Elsevier Saunders; 2013.p.122-4.

24. Seymour RA, Lowry J, Whitworth JM et al.

Infective endocarditis, dentistry and antibiotic

prophylaxis : time for a rethink? British Dent

J. 2000; 189 (11): 610-5.

25. Weddell JA, Sanders BJ, Jones JE. Dental

problems of children with special health care

needs. In Dentistry for The Child and

Adolescent. Jeffrey A Dean (editor). 10th ed.

St Louis- Missouri : Elsevier; 2016.p.535-8.

26. Cameron AC, Widmer RP. Handbook of

pediatric dentistry. 3rd ed. Sydney : Mosby

Elsevier Company; 2008.p.

27. Koch G, Poulsen S. Pediatric dentistry a

clinical approach, Ed.Ke-2. United Kingdom :

Blackwell Publishing; 2009.h.319.

28. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, et al.

Current pediatric diagnosis & treatment. Ed.

Ke-15. International Edition. New York : Mc

Graw Hill; 2001.h.519.

29. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, et al.

Current pediatric diagnosis & treatment.

Ed.Ke-15. International Edition. New York :

Mc Graw Hill; 2001.h.519.

30. Wilson W, Taubert KA, Gewitz M et al.

Prevention of infective endocarditis.

Guidelines from American Heart Association.

Circulation. 2007; 116: 1736-1754.

31. Rushani D, Kaufman JS, Ittu RI et al.

Infective endocarditis in children with

congenital heart disease. Cumulative

incidence and predictors. J of American Heart

Association. Circulation. 2013;: 1412-9.

32. Marwah N. Textbook of pediatric dentistry.

3rd ed. New Delhi; Jaypee Brothers Medical

Pub; 2014.p.853.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

59

Infeksi pada Dental Implan Serta Perawatannya

(Studi Pustaka)

Trijani Suwandi

Staf Pengajar Bagian Periodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,

ABSTRACT

Background: Implant treatment has a high success rates and stability, but failure can occur,

an in fact it is hard to know the causes of such failure. Objective: This article reviews

infection in dental implants, risk factor for dental implant, classified according to the

treatment phase : infection prior to the implant, peri-surgical infection, severe post-syrgical

infection, peri-implant disease. Literatur review: Difficulties can arise in any area of

biological function, however implant dentistry has been fraught with compromises and

complication. Hence, it is mandatory for every clinician to know, how and why the failures

occur and how best we can prevent then in order to give the upcoming branch of dentistry a

new horizon. Conclusion: Early detection and treatment of early progressive bone loss

around dental implants by mechanical debridement, antimicrobial therapy and regenerative

therapy.

Keywords : dental implant infection, implant failure, risk factor, treatment

PENDAHULUAN

Dunia kedokteran gigi telah mengalami

banyak perubahan selama seperempat abad

terakhir, khususnya kedokteran gigi implant.

Saat ini terjadi peningkatan jumlah pasien untuk

melakukan pemasangan implan dan dokter gigi

dihadapkan pada pilihan perawatan yang

semakin komplek. Meskipun tingkat kesuksesan

implan dilaporkan tinggi, akan tetapi banyak

kegagalan terjadi. Karenanya pengetahuan

menyeluruh mengenai berbagai aspek penyebab

kegagalan sangat diperlukan, baik dalam

pemilihan kasus, prosedur bedah dan prostetik

yang ideal.1

Studi klinis longitudinal melaporkan

tingkat kesuksesan 10 tahun adalah 81-85%

pada maksila dan 98-99% pada anterior

mandibula2 akan tetapi Esposito dkk. melaporkan

kegagalan implan berhubungan dengan faktor

biologis yang ditemukan pada 2812 sampel

implan dan ditemukan tingkat kegagalan 7,7% di

atas periode 5 th.3

Menurut Albrektsson dkk. kriteria

kesuksesan implan adalah implan secara klnis

tidak goyang, pada radiografis tidak ditemukan

peri-implan radiolusensi, kehilangan tulang

vertikal kurang 0,2 mm setiap tahun setelah

pemakaian satu tahun, tidak ada tanda persisten

dan irreversible dan gejala sakit, infeksi,

parestesia, tingkat kesuksesan 85% pada akhir 5

tahun observasi dan 80% pada akhir masa 10

tahun untuk kriteria kesuksesan minimal.4

Menurut The American Academy of

Periodontology 2000 kriteria kesuksesan adalah

tidak ada tanda persisten atau gejala sakit infeksi,

neuropati, parestesia dan menganggu struktur

vital, tidak ada mobilitas implan, tidak ada

radiolusensi peri-implan kontinu, dapat terjadi

kehilangan tulang progresif (kurang dari 0,2 mm

tiap tahun) setelah remodeling fisiologis selama

1 tahun berfungsi.5

Tingkat kesuksesan kumulatif dental

implan telah dievaluasi dalam jangka pendek (<

5 tahun), menengah (5-10 tahun) dan jangka

panjang (>10 tahun), dan dipengaruhi oleh

faktor-faktor lokasi implan, posisi rahang, tipe

implan, diameter implan, panjang implan,

konstruksi prostetik, jumlah gigi yang

digantikan.1

TUNJAUAN PUSTAKA

Faktor Resiko Dental Implan

Faktor resiko dental implan terbagi dalam

: faktor resiko terkait dokter gigi, implan dan

host. Faktor resiko terkait dokter gigi meliputi

faktor sebelum, selama dan paska bedah. Faktor

sebelum bedah seperti penggunaan radiografis

untuk evaluasi diagnostiK kualitas dan kuantitas

tulang termasuk periapikal, panoramik,

computed tomography dan magnetic resonance

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

60

imaging. Radiografi periapikal terdapat

pembesaran 14% dan panoramik dengan

pembesaran 25%. Hal ini dapat menyebabkan

kesalahan dalam perencanaan dan kinerja

implan, sehingga perlu membuat metode khusus

untuk merekam pengukuran anatomi yang tepat.6

Pemanasan dari friksi peralatan dengan torsi

yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan

implant bed. Sekitar 3,6% kegagalan implan

berhubungan dengan trauma bedah. Faktor lain

adalah penempatan implan yang tidak ideal

sehingga menyebabkan pembebanan non-axial

selama mastikasi, peningkatan resiko dari

fraktur implan dan fraktur tulang peri-implan

biasa terjadi pada regio posterior pada pasien

dengan kepadatan tulang rendah.6

Desain mahkota yang tidak tepat

berkontribusi terhadap kegagalan. Cusp terlalu

tinggi dan alignment oklusal yang terlalu tinggi

dapat meningkatkan tekanan oklusal sampai pada

tingkat yang tidak dapat diterima. Lebar

mahkota, tinggi cusp, guidance dan alignment

oklusal dapat digunakan untuk mengontrol

tekanan oklusal.7

Material dental implan dan karakteristik

permukaan serta relasi posisi implan

berpengaruh terhadap keberhasilan implan.

Material implan ideal sebaiknya biokompatibel,

kekakuan yang tepat untuk fungsi prostetik,

dapat beradaptasi dengan baik pada tulang dan

gingiva, resisten terhadap mikroba peri-implan.

Penggunaan material implan yang tidak

biokompatibel menyebabkan kegagalan implant

yang diinisiasi respon host yang merugikan.8

Coating permukaan implan dengan titanium

oxide (TiO2), ceramic coating atau diamond

coating. Umumnya material dental implan yang

digunakan biokompatibel seperti titanium,

titanium–aluminium-vanadium (Ti-6Al 4V),

cobalt-chromium-molybdenum, dan jarang

menggunakan alloy.9

Insiden kegagalan karena posisi implan

diestimasi 10%. Kegagalan tersebut dapat

dihindari dengan rencana perawatan yang tepat,

penggunaan surgical guide dan penguasaan

restoratif yang baik. Malposisi implan

menyebabkan masalah biomekanikal pada

sambungan screw atau pada implan itu sendiri

yang menyebabkan tekanan yang besar.10

Faktor host dibagi menjadi faktor resiko

lokal dan sistemik. Faktor resiko lokal terdiri dari

kualitas dan kuantitas tulang, tulang iradiasi,

tekanan oklusal biomekanik. Pasien dengan

kuantitas dan kepadatan tulang rendah

mempunyai resiko kegagalan. Jaffin dan Berman

pada analisis 5 tahun melaporkan bahwa 35%

dari keseluruhan implan gagal pada tipe tulang

kelas IV dengan kortek yang tipis, kekuatan

modular buruk, dan kepadatan trabecular

rendah. Osteoporosis sistemik merupakan faktor

resiko yang menyebakan kegagalan

osseointegrasi.11

Efek samping dari radiasi berupa

osteoradionecrosis. Meskipun terapi radiasi

bukan menjadi kontra indikasi absolut pada

perawatan implan, tetapi Jacobsson dkk

menunjukkan peningkatan hilangnya implan

pada waktu yang lama. Restorasi dental implant

yang optimal tetap dapat menyebabkab

kehilangan tulang peri-implan, karena implan

gigi tidak memiliki reseptor stress yang berada

dalam ligamentum periodontal dan sistem

stomatognatik kurang peka dibandingkan gigi

yang sehat. Beban diterima langsung oleh

jaringan keras implant karena implan tidak

terlindungi oleh ligamentum periodontal.12

Klasifikasi Infeksi Peri-Implan

Quirynen membagi dalam empat

klasifikasi infeksi : 1). infeksi sebelum implan

2). infeksi saat bedah, 3). infeksi paska bedah

dan 4). penyakit peri-implan.13

Klasifikasi 1 : infeksi sebelum implan

Pada keadaan septik aktif sebaiknya

dikontraindikasikan untuk penempatan implant

karena kemungkinan terjadi septik emboli yang

menyebabkan infeksi segera maupun lanjut

sesudah bedah (osteomyelitis, peri-implant

abscess). Hal ini disebabkan adanya sisa-sisa

epitel yang membahayakan osseointegrasi.

Daerah infeksi tersebut harus dilakukakan

dekontaminasi secara sempurna supaya

didapatkan daerah implant yang steril.14

Perawatan dapat digunakan laser Er:Yag

atau laser diode yang efektif dalam daerah

infeksi.15 Pasien dengan riwayat penyakit

periodontal dapat mengontaminasi implan dalam

mulut. Studi Ellegard menunjukkan bahwa

pasien dengan riwayat penyakit periodontal

dengan kerusakan tulang yang besar dapat

berhasil dilakukan perawatan implan dan dapat

mencapai osseointegrasi16, akan tetapi Karoussis

menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan

implan karena hilangnya gigi disebabkan oleh

periodontitis mempunyai rate survival rendah

dan komplikasi besar dibanding pasien

kehilangan gigi karena penyebab yang lain.17

Hasil konsensus implantologi

menyimpulkan bahwa pasien dengan penyakit

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

61

periodontal mempunyai tingkat keberhasilan

implan rata-rata 91-92 % dan pasien tanpa

penyakit periodontal mempunyai tingkat

keberhasilan 97%.18 Akan tetapi insidensi peri-

implantitis dan kerusakan tulang marginal

meningkat secara signifikan pada pasien dengan

penyakit periodontal. Subyek dengan resiko

periodontits mempunyai kegagalan implan lebih

tinggi.19

Pertimbangan khusus perawatan implan

pada pasien penyakit periodontal antara lain :

Resorpsi progresif pada edentulous maksila

mempunyai hubungan langsung dengan

prognosis implan dan tinggi tulang yang tersisa.

Gigi dengan prognosis buruk yang tidak

mendapatkan perawatan teratur sebaiknya

dilakukan ekstraksi dan memerlukan perawatan

pendahuluan untuk mengatasi penyakit

periodontal.20

Klasifikasi 2 : infeksi saat bedah.

Bedah intraoral secara tradisional

diklasifikasikan sebagai bedah yang bersih

kontaminasi atau bedah kontaminasi, tergantung

ketika intervensi dilakukan. Daerah bedah dapat

terkontaminasi melalui banyak sebab dan bakteri

dapat berpenetrasi pada lapangan kerja, akan

tetapi vaskularisasi yang sempurna pada daerah

kerja dan tidak adanya infeksi terdahulu dapat

mencegah proses infeksi yang terjadi selama

intervensi. Sumber kontaminasi bedah sebagian

besar berasal dari instrument sendiri (udara,

aspirasi, instrumen) dan adanya saliva pada

daerah bedah dan berhubungan dengan muka dan

bibir.13

Banyak tehnik yang digunakan untuk

mencegah hal ini seperti mengurangi sekresi

saliva dengan atropine, double aspirasi untuk

mencegah kontaminasi saliva pada bedah, dan

penggunaan kumur klorheksidin untuk

mengurangi jumlah bakteri dalam rongga

mulut.21 Manifestasi klinik infeksi disebabkan

dari kontaminasi peri-operatif biasanya dalam

bentuk abses peri-implan, yang ditandai

radiolusensi peri apikal pada X-ray, yang sering

menjadi fistula.13

Klasifikasi 3 : Infeksi paska bedah

Komplikasi infeksi pada bedah implan

dapat terjadi karena virulensi bakteri dapat

menyebabkan segala macam infeksi yang dapat

mengancam jiwa. Infeksi oral dan maksilofasial

dapat ditemukan dan perawatan infeksi termasuk

implant dan perawtan bedah yang tepat , serta

dilengkapi antibiotik. Salah satu proses infeksi

sebagian berasal dari bedah bone graft

dihubugkan dengan penempatan implan,

berhubungan dengan reaksi immunologikal.22

Dalam melakukan regerenasi tulang

sebaiknya mengikuti prinsip Gottlow Nyman dkk

antara lain persiapan daerah regenerasi dengan

memelihara vaskularisasi graft dengan baik,

sehingga didapatkan nutrisi yang cukup dan

mencegah nekrosis awal, yang akan

memfasilitasi regenerasi dan proses

penyembuhan luka dan mencegah jaringan

sekitar kolaps bertujuan untuk mempertahankan

ruangan untuk regenerasi. Guided Tissue

Regeneration diaplikasikan untuk mencegah

infiltasi jaringan lunak ke dalam graft. Beberapa

prinsip dasar penggunaan GTR yaitu : imobilitas

material graft, menjaga daerah bersih,

vascularisasi berjalan baik, aman dan

biokompatibel.22

Klasifikasi 4 : Infeksi Peri-implan

Infeksi peri-implan merupakan infeksi di

sekeliling implan, yang ditandai dengan

perdarahan saat probing.23 Penyakit periodontal

dan peri-implan merupakan patologis multifaktor

dengan etiologi utama bakteri. Strain yang

berhubungan dengan onset dan perkembangan

penyakit periodontal juga diidentifikasi pada

jaringan peri-implan yang disebut peri-

implanitis.24 Patogen uatama peri-implantitis

adalah bakteri Gram negatif anaerob, dengan

peningkatan persentasi dari motile rod, fusiformis

dan spricochaeta, bacilli.25

Bakteri yang terbesar Prevotella

intermedia, Fusobacterium nucleatum,

Porphyromonas gingivalis, Capnocytophaga dan

Campylobacter rectus. Bakteri yang jarang

ditemukan Actinobacillus actinomycetem

commitans pada peri-implantitis, yang lebih

banyak berhubungan dengan penyakit

periodontal. Adanya Pg mengindikasikan awal

peri-implantitis atau peri-implan mukositis.

Adanya Pg, Aa atau Pi pada poket peri-implan

mengindikasikan resiko tinggi kemungkinan

hilangnya insersi selama fase lanjut dan pasien

dengan partial edentulous mempunyai resiko

infeksi lebih tinggi daripada pasien dengan

complete edentulous.26

Jenis Penyakit Implan dan Perawatan

A. Peri-implant Mucositis

Reaksi peradangan reversible pada

jaringan lunak di sekeliling implan saat

berfungsi. Secara klinis ditandai dengan :

adanya plak dan kalkulus, udem, kemerahan dan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

62

hiperplasia gingiva, perdarahan saat probing,

eksudat atau pembentukan pus (gingival mikro

abses). Secara radiografis tidak ditemukan

resorpsi tulang.23,27

B. Peri-implant osteitis (Peri-implantitis)

Reaksi peradangan irreversible pada

jaringan lunak dan keras di sekeliling implan

saat berfungsi, karena terjadi kehilangan tulang

natural. Jika tidak dirawat. pada fase inisial

menunjukkan gejala yang sama dengan peri-

implan mukositis, tapi pada tahap lanjut terjadi

kehilangan tulang. Tanda yang paling sering :

adanya plak bakteri dan kalkulus, edema,

kemerahan jaringan peripheral, hiperplasia

mukosa dengan berkurangnya keratin gingiva,

poket yang dalam, perdarahan dan pembentukan

pus setelah probing dan atau palpasi, kerusakan

tulang vertikal berhubungan dengan poket peri-

implan, radiografis tampak resorpsi tulang,

mobilitas implan, kadang-kadang terasa sakit.23

Kegoyangan implan secara kontinu dan

radiolusensi peri-implan mengindikasikan

penyakit mencapai final, ditandai dengan

kehilangan total tulang. Pemeriksaan radiografis

sangat penting karena meskipun X-ray hanya

menunjukkan tulang mesial dan distal

permukaan implant, defek tulang dengan bentuk

sirkular atau corong dapat menunjukkan

etiologi, perkembangan klinis dan prognosis.

Defek horizontal berjalan lambat.

Kecenderungan mempunya lebih favourable

prognosis karena sering berhubungan dengan

resesi jaringan lunak. Sudut yang terbentuk

dengan permukaan implant lebih dari 60 derajad,

sedangkan defek vertikal berkembang lebih

cepat, karena poket dengan pertumbuhan epitel

di dalam, dan infeksi purulent ketika kedalaman

poket lebih dari 5 mm. Sudut yang dibentuk

dengan permukaan implant kurang dari 60

derajad.27

Jovanovic dan Spiekermann’s klasifikasi

peri-implantitis (1995) yaitu : Peri-implantitis

klas 1 : minimum kerusakan tulang horizontal

dengan slight peri-implan bone loss, Peri-

implantitis klas 2 : kerusakan tulang moderat

dengan kerusakan vertikal soliter, Peri-

implantitis klas 3 : kerusakan tulang horisontal

moderat atau intense dengan extensive

circumferential bone lysis, Peri-implantitis klas 4

: kerusakan tulang horizontal intense dengan

extensive circumferential bone lysis dan

kehilangan tulang lingual atau dinding tulang

vestibular.27

Perawatan

Perawatan peri-implan mucositis

Secara prinsip berfokus pada kontrol plak

bakteri, meskipun perawatan bedah lain dapat

dilakukan untuk eliminasi hiperplasia sekeliling

jaringan lunak. Selanjutnya perawatan terdiri

beberapa fase :1). Profesional peri-implan

hygiene : eliminasi mekanik plak bakteri 54,

Irigasi poket dengan CHX 0,12%. 55,

Pembuangan dan desinfeksi prosthesis,

modifikasi design prosthesis unhygienic, kadang

flap partial thickness dibentuk dengan irigasi

salin, diikuti aplikasi krem tetrasiklin, Perawatan

laser dengan 1,5-2 w diode pada kasus

refractory; 2). Personal peri-implan hygiene: plak

kontrol kemis dengan CHX 0,12% tiap 12 jam;

3). Antibiotik lokal dan sistemik; 4). Regular

professional control.27

Perawatan Peri-implantitis

Persyaratan mendasar perawatan peri-

implantitis yang sukses, dengan atau tanpa

protokol regenerasi tulang yaitu dekontaminasi

permukaan implan dengan membuang bakteri

dan toksin. Perawatan peri-implantitis harus

didasarkan pada stabilisasi kerusakan tulang

progresif, dan kadang diperlukan perawatan

regeneratif.

Perawatan dibagi menjadi 2 fase. Fase 1 :

perawatan konservasi inisial dilakukan dengan

cara metode manual-mekanikal untuk

mengontrol plak bakteri (sama dengan

mucositis), metode kemis : CHX 0,12%, asam

sitrat, lokal aplikasi tetrasiklin, laser diode : 1 W

untuk 20 detik.

Fase 2 merupakan perawatan regeneratif

yang terdiri dari perawatan jaringan lunak dan

perawatan permukaan implan. Insisi crestal

bentuk scallop sekeliling leher impan untuk

mengeliminasi jaringan granulasi dari poket,

kemudian flap mukoperiosteal dibuka untuk

mengeliminasi jaringan granulasi dari defek

tulang dengan kuret metal tanpa menyentuh

implan. Irigasi dengan salin dingin untuk

mencegah dehidrasi tulang. Selanjutnya

dilakukan perawatan permukaan implan. Pertama

permukaan implan dekontaminasi dengan

aplikasi asam sitat, tetrasiklin, klorheksidin dan

saline fisiologis. Pada daerah implan yang

terekspos, dilakukan implantoplasti kemudian

permukaan dipoles yang akan memfasilitasi

pemeliharaan jaringan peri-implan yang sehat.

Akhirnya, daerah bedah diirigasi dengan

klorheksidin 0,12% dan salin fisiologis.28

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

63

Terapi Antibiotik pada penyakit peri-implan

Pertanyaan klasik dari banyak penulis

mempertanyakan apakah penggunaan antibiotik

diindikasikan untuk penyakit peri-implan.25

Bascones menyarankan penggunaan antibiotik

untuk penyakit periodontal mempunyai banyak

fungsi : mengurangi kebutuhan bedah,

meningkatkan klinin pasien, meningkatkan

kesuksesan graft. Study Gutierrez Perez dkk.

menyimpulkan bahwa strategi perawatan pada

penyakit periodontal dan peri-implan sebaiknya

fokus pada penggunaan rasional terapi

antimikrobial, dan menyatakan pentingnya

pemberian antibiotik sistemik pada poket peri-

implan lebih dari 5 mm, karena antiseptik lokal

tidak dapat mencapai dasar poket.28

Amoksisilin-asam clavulanic adalah

pilihan perawatan untuk penyakit peri-implan

karena sensitivitas bakteri dan mempunyai

resisten yang rendah . Clindamycin dan

metronidasol juga diindikasikan, tetapi

efektivitas lebih kecil melawan residual

streptococcus dan actinomyces.28

Terapi antibiotik sebagai profilaksis pada

pemasangan implant

Satu dari banyak kontroversi dalam

implantologi adalah penggunaan antibiotik

secara preventif ketika dilakukan prosedur

pemasangan implan. Profilaksis antibiotik

merupakan pemberian sebelum atau pada saat

bedah untuk mencegah komplikasi lokal atau

sistemik. Tujuan pemberian tersebut untuk

mencegah terjadi\inya infeksi pada luka bedah

dengan mencapai konsentrasi antibiotik dalam

darah yang akan mencegah proliferasi bakteria

dan disseminasi.29

Ada 2 faktor dasar pertimbangan

pemberian profilaksis dalam odonto-

stomatology dan bedah mulut : prosedur invasif

sebagai prosedur yang akan merusak membran

biologik yang akan meningkatkan diseminasi

bakteri pada tubuh. Perawatan invasif resiko

tinggi seperti : anestesi intraligamen, ekstraksi,

re-implan dental, biops, insisi drainase,

bonegraft, kuretase akar, bedah periodontal,

bedah penempatan implan, bedah mukogingiva,

bedah endodontik dan apikoektomi, prosedur

shaping tulang, bedah preprostetik, bedah

orthogranti, pengurangan fraktur maksila, bedah

kelenjar saliva, bedah onkologi maksilofasial.29

Faktor lain adalah profil risiko pasien yang

merupakan parameter ke-2 dimana pasien

diklasifikan dalam 3 group yaitu pasien sehat,

pasien dengan faktor resiko infeksi lokal atau

sistemik, dan pasien dengan faktor risiko infeksi

lokal diikuti bakteremia. Pada pasien group 1

tidak diperlukan catatan, akan tetapi mengikuti

tipe penyakit yang termasuk dalam profil resiko

seperti peradangan sendi : rheumatois arthritis,

systemic lupus erythematous, immunosupresion

terhadap penyakit, obat, transplantasi dan

radioterapi, Diabetes Mellitus tipe I, infeksi

endocarditis, malnutrisi.30

Profilaksis antibioik direkomendasikam

untuk pasien resiko yang akan dilakukan

prosedur invasif resiko tinggi. Penggunaan

profilaksis antibiotik tidak jelas pada

implantologi. Probabilitas infeksi di sekeliling

implant secara fundamental tergantung dari

bagaimana traumatik dan berapa lama

pembedahan. Diyakini bahwa kehilangan

implant awal disebabkan karena kontaminasi

selama pemasangan implant. Ada 2 situasi

penggunaan antibiotik sebagai profilaksis : 1.

ketika pasien dengan faktor resiko sistemik

mayor dan 2. Jika bedah diperkirakan lama

dan/atau traumatik30,31.

PEMBAHASAN

Menurut Mantena skala penilaian kualitas

implan terbagi dalam 4 kriteria yaitu: 1. Implan

sukses, 2. Satisfactory survival, 3. Compromised

survival dan 4. implan failure. Kriteria 1 implan

sukses ditandai dengan tidak ada rasa sakit, tidak

ada mobilitas, kedalaman poket 2 mm, sedikit

kehilangan tulang dan tidak ada riwayat eksudat.

Kriteria 2 satisfactory survival ditandai dengan

tidak ada rasa sakit saat berfungsi, tidak ada

mobilitas, kedalaman poket 2-4 mm, sedikit

kehilangan tulang, tidak ada riwayat eksudat.

Kriteria 3 compromised survival ditandai dengan

terasa sakit pada keadaan berfungsi, tidak ada

mobilitas, kehilangan tulang > 4 mm, kedalaman

poket > 7 mm, ada riwayat eksudat. Kriteria 4

implan failure ditandai sakit dalam keadaan

berfungsi, mobilitas, kehilangan tulang >1/2

panjang implant, eksudat tidak terkontrol, tidak

bertahan lama dalam mulut.1

Beban mekanikal yang besar pada implant

menyebabkan peningkatan resorpsi tulang.

Osteosit meningkatkan kolagenase 1 (produksi

MMP-1 di bawah tekanan mekanik, yang

menginisiasi resorpsi tulang . MMP-1

mendegradasi tulang tipe I dan III kolagen, yang

merupakan struktur utama kolagen tulang.

Tarytate-resistant acid phosphatase dan

cathepsin K meningkatkan osteoklas selama

mekanik yang menginduksi resorpsi tulang.32

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

64

Perawatan Peri-implantitis kelas 1 berupa

pengurangan kedalaman poket dengan bedah,

flap mukoperiosteal dan reposisi apical flap,

permukaan implan harus bersih dan

dekontaminasi. Perawatan Peri-implantitis kelas

2 sama dengan kelas 1, tapi reposisis lebih ke

apikal, meninggalkan lebih permukaan implant

terbuka, dan memerlukan implantoplasti. Jika

terjadi resorpsi vertikal lokal 3 dinding atau

lebih, defek tulang direstorasi dengan tehnik

GTR. Pada kasus defek dengan satu atau 2

dinding, diperlukan osteoplasty atau bone

leveling untuk reposisi jaringan lunak.27

Perawatan Peri-implantitis kelas 3 dan 4

terjadi defek vertikal diperlukan tehnik GTR.

Diperlukan perawatan kombinasi seperti :

Osteoplasty + implantoplasti + apikal reposisi

flap, Closed GTR + graft + reposisis koronal

flap, Semiopen atau ransgingival GTR +

implantoplasti + reposisi flap apikal.27

KESIMPULAN

Tingkat kesuksesan dan kestabilan dental

implan meskipun cukup tinggi, tetapi kegagalan

implan tetap terjadi. Faktor etiologi kegagalan

implan awal disebabkan oleh trauma bedah

disertai volume dan kualitas tulang yang tidak

baik, sedangkan etiologi kegagalan lanjut

disebabkan oleh trauma oklusal yang besar,

pembuatan restorasi yang tidak baik.

Perawatan kerusakan tulang awal di

sekeliling implan dapat dilakukan dengan

mekanik debridemen, terapi antimikroba, dan

terapi regenerasi yang merupakan kunci untuk

menyelamatkan kegagalan awal implan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mantena SR, Gotlumukkala SNVS, Sajjan S,

Rama Raju A, Rao B, Iyer M. Implant

Failures. Diagnosis and Management. Int J

Clin Implant Des 2015; 1(2): 51-59

2. El Askary AS, Meffert RM, Griffin T. Why

do dental implans fail? (part 1). Implant Dent

1999:8:265-77.

3. Esposito M, Hirsch JM, Lekholm U.

Thomsen P. Biological factors contributing of

osseointegrated oral implants (1) Success

Criteria and Epidemiology. Eur J Oral Sci

1998;106:527-51.

4. Alberktsson T, Zarb G, Worthington P,

Eriksson AR. The long-term efficacy of

currently used dental implants: a review and

proposed criteria of success. Int J oral

Maxillofac Implants 1986;1(1):11-25

5. Iacono VJ. Committee on research, science

and therapy, the American academy of

periodontology. Dental Implants in

periodontal therapy. J Periodontol

2000;71(12):1934-1942.

6. Ericsson I, Nilner K. Early functional loading

using Branemark dental implants. Int J

Periodontics Restorative Dent 2002;22(1):9-

19.

7. O’Mahony A, Bowles Q, Woolsey G,

Robinson SJ, Spencer P. stress distribution in

the single unit osseointegrated dental implant

finite element analysis of axial and off-axial

loading. Implant Dent 2009;9(3):207-218.

8. O’Sullivan D, Sennerby L, Meredith N.

Measurements comparing the initial stability

of five designs of dental implants: a human

cadaver study. Clin Implant Dent Relat Res

2002;2(2):85-92.

9. Lumbikaninda N, Sammons R. Bone cell

attachment to dental implant of different

surface characteristics. Int J Oral Maxillofac

Implants 2001;16(5):627-636.

10. Garber DA. The esthetic dental

implant:letting restoration be the guide. J Am

Dent Assoc 1996;22(1):45-50.

11. Jaffin RA, Berman CL. The excessive loss of

Branemark fixtures in type IV bone:a 5-year

analysis. J Periodontol 1991;62(1):2-4.

12. Jacobsson M, Tjellstrom A, Thom A, Klinge

B. sen P, Alberktsson T, Turesson I.

Integration of titanium implants in irradiated

bone. Histological and clinical study. Ann

Otol Rhinol Laryngol 1988;97:377-380.

13. Quirynen M, De Soete M, van Steenberg he

D. Infectious risk for oral implants : a review

of literature. Clin Oral Imp. Res 2002;13:1-19

14. Misch C. Dental Implant Prosthetics. 2nd ed.

St. Louis: Mosby. 2014. Page 8-28.

15. Kreisler M. Kohnen W, Marinello C, Schoof

J, Langnau E, Jansen B, d’Hoedt B.

Antimicrobial efficacy of semiconductor laser

irradiation on implant surfaces. Int J Oral

Maxillofac Implants 2003;18(5): 706-11.

16. Ellegard B, Baelum V, Karring T. Implant

Therapy in Periodontally compromised

patients. J Clin Oral Impl Res 1997:8:180-88.

17. Karoussis IK, Salvi GE, Heitz-Mayfield LJ,

Bragger U, Hammerle CH, Lang NP. Long-

term implant prognosis inpatients with and

without a history of chronic periodontitis: a

10-year prospective cohort study of the ITI

Dental Implant. Clin Oral Implants Res

2003;14(3):329-39.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1, hal 59 – 65

65

18. Neukam FW, Flemmig TF. Local and

systemic conditions potentially compromising

osseointegration. Consesnsus report of

working group 3. Clin Oral Implants Res

2006;17 Suppl 2:160-2.

19. Hard CR, Grondahl K, Lekholm U,

wennstrom JL. Outcome of implant therapy in

relation to experience loss of periodontal bone

support: a retrospective 5-year study. Clin

Oral Implants Res 2002;13(5):488-94

20. Sheldon W, Harold FM, Shigeru O. Implant

Survival to 36 months as related to length and

diameter.Annals of Periodontology

2000;5:22-31.

21. Haanaes HR. Implants and infections with

special reference to oral bacteria. J od Clin

Periodontol 1990;17:516-24.

22. Gottlow J, Nyman S, Lindhe J, Karring R,

wennstrom J. New attachment formation in

the human periodontium by guided tissue

regeneration. J Clin Periodontol 1986;13:604-

16.

23. Mombelli A, Muhle T, Bragger U, Lang NP,

Burgin WP. Comparison of periodontal and

peri-implan probing by depth-force pattern

analysis. Clin Oral Implant Res 1997;

8(6):448-454.

24. Leonhardt A, Renvert S, Dahlen G. Microbial

findings at failing implants. Clin Oral Implant

Res 1999;10(5):339-45.

25. Bascones MA, Aquirre Urizar JM, Bermenjo

FA.Consensus statement on antimicrobial

treatment of odontogenic bacterial infections.

Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2004;9:363-

76.

26. Slot J, Bragd L, Wikstrom M, Dahlen GI.

The occurrence of Actinobacillus

actinomyceemcomitans, Bacteroides

gingivalis and Bacteroides intermedius in

destructive periodontal disease in adults. J

Clin Periodontol 1986;13(6):570-7.

27. Jovanovic SA. Diagnosis and treatment of

peri-implant disease. Curr Opin Periodontol

1994;2:194-204.

28. Guiterrez JL, Bagan JV, Bascones A, Liamas

R, Liena J, Morales A, Noguerol B, Planelis

P, Prieto J. Salmeron JL. Consensus

document on the use of antibiotic prophylaxis

in dental surgery and procedures. Med Oral

Patol Oral Cir Bucal 2006;11(2):188-205.

29. Van Oosterwyk H, Duyck J, Vander Sloten J,

van der Perre G, Naert I. Peri-implan bone

tissue strains in cases of dehiscence: a finite

element study. Clin Oral Implant Res

2002;13(3):327-33.

30. Esposito M, Coutlthard P, Oliver R, Thomas

P, Worthington HV. Antibiotics to prevent

complications following dental implant

treatment. Cochrane Database Sys Rev

2003;3:4152.

31. Espsito M, Hirsch JM, Lekholm U, Thomsen

P. Biological factors contributing to failure of

osseointegrated oral implants (1). Success

criteria and epidemiology. Eur J Oral Sci

1998;106:527-51.

32. Redlich M, Reichenberg E, Harari D, Zaks B,

Shoshan S, Palmon A. The effect of

mechanical force on mRNA levels of

collagenase, collagen type I, and tissue

inhibition of metalloproteinases in gingivae of

dogs. J dent Res 2001;80(12):2080-84.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

66

Prevalensi Premature Loss Gigi Molar Kedua Sulung Dan Gambaran Maloklusi

Kajian pada Pasien ortodonti RSGM Universitas Trisakti tahun 2013– 2016

(Laporan Penelitian)

Yuniar Zen1, Krisnadya Dewa Yanti2

1Staf Pengajar Bagian Ortodonti FKG Usakti

2Mahasiswa Program Profesi Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

ABSTRACT

Background: The premature loss of the primary second molar can cause first permanent molar mesial

drifting and result in loss of space for second premolar to erupt. Space loss can reduce arch length

required for succeeding tooth, tooth rotation, arch asymmetry and hence predisposes of malocclusion.

Objective: To provide the description of deciduous second molar premature loss in the classification

of Angle malocclusion. Method: Descriptive observational study using medical record and study

model on orthodontic patient at RSGM Trisakti University FKG year 2013 - 2016 with premature loss

of deciduous second molars as etiology. Result: Prevalence rates of premature loss of second

deciduous second molar in patients with age range between 7 - 10 years are 13% . The rates of

children age 7 years (16%), age 8 years (31%), age 9 years (32%), and age 10 years (21%). By

gender: female 56.5% and male 43.5%. Premature loss tooth 75 is 52%, 85 is 39%, 55 is 6% and 65 is

3%. The most common deciduous second molars premature loss is in the mandible (92%) then in both

(mandible and maxillary) (5%) and in the maxillary (3%). Premature loss of tooth 55 causes class I

malocclusions (75%) and class II malocclusions (25%). Premature loss of tooth 65 and 85 only causes

class I malocclusion and premature loss of 75 causes class I malocclusion (97%) and class III

malocclusions (3%).Conclusions: The prevalence of deciduous second molar premature loss is 13%,

and molar relationships most commonly found are class I.

Key Words: Premature loss, deciduous second molars, malocclusion

PENDAHULUAN

Maloklusi adalah suatu penyimpangan dari

oklusi ideal yang tidak dapat diterima secara

estetik ataupun fungsional.1 Maloklusi dapat

menyebabkan gangguan estetis wajah, gangguan

bicara, gangguan sendi temporomandibular,

terjadinya karies dan penyakit periodontal.2,3,

Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat

tinggi, laporan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) Nasional tahun 2013 menyatakan

bahwa prevalensi maloklusi di Indonesia sekitar

80% dari jumlah penduduk, dan merupakan salah

satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang

cukup besar.4 Terjadinya maloklusi dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor etiologi, salah

satu satunya adalah premature loss.5

Premature loss merupakan keadaan gigi

sulung yang hilang atau tanggal sebelum gigi

penggantinya mendekati erupsi yang disebabkan

karena karies, trauma dan kondisi sistemik.6

Premature loss dapat menyebabkan maloklusi

tergantung pada jenis gigi yang hilang dan pada

usia berapa gigi tersebut hilang.7 Premature loss

gigi molar kedua sulung berkontribusi besar pada

perkembangan gigi berjejal di bagian posterior

lengkung dental.8 Premature loss gigi molar

kedua sulung menyebabkan gigi molar pertama

sulung bergeser ke arah mesial (mesial drifting),

hilangnya ruang untuk erupsi gigi premolar

kedua, pengurangan ruang Leeway, kontak

prematur dan gangguan oklusal, serta gigitan

silang posterior.9

Mesial drifting gigi molar permanen

pertama dapat menyebabkan maloklusi karena

pada klasifikasi maloklusi Angle hubungan

molar pertama merupakan kunci oklusi. Ada tiga

kelas dalam klasifikasi angle yaitu kelas I, II, dan

III. Dasar dari klasifikasi Angle adalah hubungan

molar pertama permanen, yaitu tonjol

mesiobukal (mesiobuccal cusp) gigi molar

pertama rahang atas berada pada bukal groove

gigi molar pertama rahang bawah.10

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

67

13%

87%

Premature lossgigi molar keduasulung

Bukan Prematureloss gigi molarkedua sulung

Penelitian yang dilakukan di Medan tahun

2015 menyatakan bahwa 32,5% pasien

mengalami premature loss molar sulung,11 selain

itu penelitian yang dilakukan oleh Hanindira

tahun 2016 di RSGM FKG Universitas Trisakti

menunjukan prevalensi premature loss sebesar

18,5% dengan presentase premature loss gigi

insisivus kedua sulung 30%, gigi insisivus

pertama sulung 21,25%, gigi molar kedua sulung

25%, gigi molar pertama sulung 12,50%, dan

gigi kaninus sulung 11,25%.12

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di

atas, menunjukan bahwa prevalensi premature

loss gigi molar kedua sulung cukup tinggi. Gigi

molar kedua sulung sangat berpengaruh pada

perkembangan oklusi gigi karena hubungan

molar pertama permanen rahang atas dan rahang

bawah bergantung pada hubungan distal gigi

molar kedua sulung rahang atas dan rahang

bawah (flush terminal plane).10

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

untuk mengetahui lebih jauh tentang prevalensi

premature loss molar kedua sulung dan

gambaran hubungan molar menurut klasifikasi

Angle sehingga bisa mendapatkan diagnosis dan

rencana perawatan yang tepat. Serta dapat

memberikan manfaat guna meningkatkan

pelayanan kesehatan gigi dan mulut serta

memberi informasi kepada dokter gigi dan

masyarakat agar dapat meningkatkan

pengetahuan serta perhatian orang tua terhadap

kesehatan gigi dan mulut terutama tentang

pencegahan terjadinya premature loss gigi molar

kedua sulung.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian

observasional deskriptif menggunakan

rancangan penelitian cross sectional. Penelitian

dilakukan di Bagian Ortodonti RSGM FKG

Universitas Trisakti pada bulan Oktober –

November 2017.

Sampel pada penelitian ini adalah rekam

medik dan model studi pasien ortodonti RSGM

FKG Universitas Trisakti periode tahun 2013 –

2016. Dengan perkiraan prevalensi premature

loss sebesar 18,5% dan presisi penelitian sebesar

10%, maka besar sampel yang dibutuhkan adalah

sebanyak 57.13

Kriteria inklusi adalah rekam medik dan

model studi pasien ortodonti RSGM FKG

Universitas Trisakti tahun 2013 –2016 dengan

etiologi premature loss gigi molar kedua sulung,

model studi lengkap rahang atas dan rahang

bawah, dan model studi pasien pada periode gigi

bercampur. Kriteria eksklusi adalah rekam medik

dengan data tidak lengkap dan model studi rusak

atau patah.

Definisi operasional variabel premature

loss adalah gigi molar kedua sulung yang hilang

lebih dari enam bulan sebelum waktu erupsi gigi

permanen penggantinya pada rahang atas atau

rahang bawah. Pemeriksaan dilakukan dengan

melihat rekam medik pasien kemudian

mencocokkan dengan melihat foto panoramik

dengan keadaan gigi molar kedua sulung hilang

dan benih gigi premolar kedua masih berada di

dalam tulang. Usia kronologis pasien yang

dijadikan sampel adalah usia erupsi gigi yang

dilihat berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun

kelahiran dimulai sejak awal kelahiran hingga

pasien berkunjung ke RSGM FKG Universitas

Trisakti untuk mendapatkan perawatan.

HASIL

Setelah dilakukan seleksi sesuai dengan

kriteria inklusi dan eksklusi terhadap 480 rekam

medik, didapatkan sebanyak 62 rekam medik

yang memiliki etiologi premature loss gigi molar

kedua sulung dan 418 rekam medik lainnya

memiliki etiologi selain premature loss gigi

molar kedua sulung, yaitu seperti presistensi gigi

sulung, kebiasaan buruk atau premature loss

dengan jenis gigi lain selain molar kedua sulung,

sehingga didapatkan prevalensi premature loss

gigi molar kedua sulung pada pasien ortodonti di

RSGM FKG Universitas Trisakti sebesar 13%

(Gambar 1).

Gambar 1. Presentase premature loss gigi molar

kedua sulung pada pasien ortodonti RSGM Trisakti

tahun 2013 - 2016

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat 62 pasien ortodonti di RSGM FKG

Universitas Trisakti pada tahun 2013 hingga

2016 yang memiliki etiologi premature loss gigi

molar kedua sulung. Pada tahun 2013 ada 11

pasien (2,29%), tahun 2014 ada 24 pasien

(5,09%), tahun 2015 22 pasien (4,58) dan pada

tahun 2016 5 pasien (1,04%) (tabel 1).

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

68

97%

1.5%1.5%

kelas I

Kelas II

kelas III

Tabel 1. Distribusi premature lossgigi molar kedua

sulung pasien ortodonti RSGM FKG Universitas

Trisakti berdasarkan tahun.

Tahun Frekuensi Presentase (%)

2013 11 2.29%

2014 24 5.09%

2015 22 4.58%

2016 5 1.04%

Total 62 13%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pasien ortodonti di RSGM FKG Universitas

Trisakti pada tahun 2013 hingga 2016 yang

memiliki etiologi premature loss gigi molar

kedua sulung memiliki hubungan molar kelas I

sebesar 97%, hubungan molar kelas II sebesar

1,5% dan hubungan molar kelas III sebesar 1,5%

(Gambar 2).

Gambar 2. Distribusi hubungan molar menurut

klasifikasi Angle

Distribusi premature loss berdasarkan

jenis kelamin menunjukkan bahwa dari 62 rekam

medik yang didapat, pasien yang mengalami

premature loss gigi molar kedua sulung dengan

jenis kelamin laki – laki adalah sebanyak 27 anak

(43,5%) dan pasien yang mengalami premature

loss gigi molar kedua sulung dengan jenis

kelamin perempuan sebanyak 35 anak (56,5%)

(Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi premature lossgigi molar kedua

sulung pasien ortodonti RSGM FKG Universitas

Trisakti berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)

Laki – laki 27 43,5%

Perempuan 35 56,5%

Total 62 100%

Berdasarkan jenis kehilangan gigi, dari 66

gigi molar kedua sulung yang mengalami

premature loss, kehilangan gigi terbanyak adalah

kehilangan gigi 75 yaitu sebanyak 34 gigi (52%),

kemudian gigi 85 sebanyak 26 gigi (39%), lalu

gigi 55 sebanyak 4 gigi (6%) dan yang paling

sedikit mengalami premature loss adalah gigi 65

yaitu sebanyak 2 gigi (3%) (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi frekuensi premature loss gigi

molar kedua sulung berdasarkan jenis gigi yang

hilang

Berdasarkan letak kehilangan gigi, dari 66

gigi molar kedua sulung yang mengalami

premature loss, kehilangan gigi terbanyak adalah

kehilangan gigi pada rahang bawah yaitu

sebanyak 92%, pada kedua sisi lengkung rahang

yaitu pada rahang atas dan rahang bawah sebesar

5% dan pada rahang atas sebanyak 3%. (Gambar

3)

Gambar 3. Presentase premature loss gigi molar

kedua sulung pasien ortodonti RSGM FKG

Universitas Trisakti berdasarkan letak gigi yang

hilang

Dilihat dari rentang usia antara usia 7 – 10

tahun pada pasien ortodonti di RSGM Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Trisakti yang

memiliki etiologi premature loss gigi molar

kedua sulung, didapatkan sebanyak 10 anak

(16%) mengalami premature loss gigi molar

kedua sulung di usia 7 tahun. Sebanyak 19 anak

(31%) mengalami premature loss gigi molar

kedua sulung pada usia 8 tahun, yang mengalami

premature loss gigi molar kedua sulung di usia 9

tahun sebanyak 20 anak (32%) dan yang

mengalami premature loss gigi molar kedua

3%

92%

5%

Premature

loss

Frekuensi

kehilangan gigi

Presentase

(%)

Gigi 55 4 6%

Gigi 65 2 3%

Gigi 75 34 52%

Gigi 85 26 39%

Total 66 100%

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

69

16%

31%32%

21%

0%

10%

20%

30%

40%

7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 tahun

100%

0% 0%0%

50%

100%

150%

kelas I kelas II kelas III

97%

0% 3%

0%

50%

100%

150%

kelas I Kelas II Kelas III

sulung pada usia 10 tahun sebanyak 13 anak

(21%). Pada penelitian ini usia 9 tahun

merupakan usia paling banyak ditemukan

premature loss gigi molar kedua sulung, dan

usia 7 tahun merupakan usia paling sedikit yang

ditemukan premature loss gigi molar kedua

sulung (Gambar 4).

Gambar 4. Distribusi premature loss gigi molar kedua

sulung pasien ortodonti RSGM FKG Universitas

Trisakti berdasarkan rentang usia

Premature loss gigi molar kedua sulung

dapat menyebabkan maloklusi kelas I, maloklusi

kelas II maupun maloklusi kelas III. Premature

loss gigi 55 menyebabkan maloklusi kelas I dan

maloklusi kelas II dengan hubungan molar kelas

I sebesar 75% dan hubungan molar kelas II

sebesar 25%. Pada premature loss gigi 55 tidak

menyebabkan maloklusi kelas III (Gambar 5).

Gambar 5. Distribusi premature loss gigi 55

berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi

Angel

Premature loss gigi 65 hanya

menyebabkan maloklusi kelas I (100%) dan tidak

menyebabkan maloklusi kelas II maupun

maloklusi kelas III (Gambar 6).

Gambar 6. Distribusi premature loss gigi 65

berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi

Angel

Premature loss gigi 75 menyebabkan

maloklusi kelas I dan kelas III dengan hubungan

molar kelas I sebesar 97% dan hubungan molar

kelas III sebanyak 3%. Pada premature loss gigi

75 tidak menyebabkan maloklusi kelas II

(Gambar 7).

Gambar 7. Distribusi premature loss gigi 75

berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi

Angel.

Premature loss gigi 85 hanya

menyebabkan maloklusi kelas I (100%) tidak

menyebabkan maloklusi kelas II dan maloklusi

kelas III (Gambar 8).

Gambar 8. Distribusi premature loss gigi 75

berdasarkan hubungan molar menurut klasifikasi

Angel.

75%

25%

0%0%

20%

40%

60%

80%

kelas I kelas II kelas III

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

70

PEMBAHASAN

Premature loss gigi molar kedua sulung

dapat menyebabkan perubahan lengkung karena

terjadi pergerseran ke arah mesial (mesial

drifting) dari gigi molar permanen pertama

sehingga dapat menghambat erupsi dari premolar

kedua, yang berakibat impaksi atau

menghasilkan posisi gigi yang abnormal.15,16

Oleh karena itu premature loss molar kedua

sulung sebagai etiologi dari maloklusi ini penting

untuk diketahui guna penentuan rencana

perawatan ortodonti.17 Informasi dasar mengenai

prevalensi premature loss gigi sulung dibutuhkan

agar dapat mengurangi tingkat maloklusi dengan

perawatan gigi yang sistematis dan terorganisir.18

Penelitian mengenai premature loss sudah

banyak dilakukan di berbagai negara, dengan

hasil yang beragam.16,17 Berdasarkan hasil

penelitian yang telah dilakukan pada 62 rekam

medik di bagian ortodonti RSGM FKG

Universitas Trisakti, menunjukan bahwa

prevalensi premature loss gigi molar kedua

sulung pada pasien ortodonti sebesar 13%. Hasil

penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian

yang dilakukan di kota Medan menunjukkan

prevalensi premature loss gigi molar kedua

sulung lebih besar yaitu 32,5%,11 berbeda juga

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Hanindira tahun 2016 di RSGM FKG

Universitas Trisakti yang menunjukan presentase

premature loss gigi molar kedua sulung sebesar

25%.12 Apabila dibandingkan dengan hasil

penelitian di Medan dan hasil penelitian

Hanindira, hasil penelitian saat ini lebih rendah,

hal ini bisa dikarenakan jumlah sampel yang

digunakan berbeda atau juga bisa disebabkan

karena tingkat kesadaran pasien dan orang tua

pasien tentang kebersihan gigi dan mulut serta

penyuluhan atau promosi preventif yang

dilakukan oleh RSGM FKG Universitas Trisakti

meningkat.

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi

peningkatan pada pasien yang mengalami

premature loss gigi molar kedua sulung di

bagian ortodonti RSGM Universitas Trisakti dari

tahun 2013 ketahun 2014 sebesar 2,8% dari 11

pasien menjadi 24 pasien. Namun dari tahun

2014 ke tahun 2015 terjadi penurunan sebesar

0,51% dan penurunan semangkin meningkat dari

tahun 2015 ke tahun 2016 yaitu sebesar 3,54%.

Hal ini berarti setiap tahunnya dari tahun 2014

sampai tahun 2016 pasien yang mengalami

premature loss gigi molar kedua sulung semakin

berkurang. Hal ini bisa disebabkan karena dental

health education (DHE) atau promosi preventif

yang dilakukan oleh RSGM FKG Universitas

Trisakti cukup berhasil.

Pasien ortodonti di RSGM FKG

Universitas Trisakti pada tahun 2013 hingga

2016 yang memiliki etiologi premature loss gigi

molar kedua sulung dengan hubungan molar

kelas I Angle sebesar 97%, hubungan molar

kelas II Angle sebesar 1,5% dan hubungan molar

kelas III Angle sebesar 1,5%, hal ini sesuai

dengan hasil penelitian mengenai maloklusi dan

premature loss gigi sulung yang dilakukan oleh

Saloom di Baghdad yang menunjukkan bahwa

premature loss gigi molar pertama dan molar

kedua sulung dapat mengakibatkan maloklusi

Angle kelas I, kelas II dan kelas III.18 Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan penelitian

Aslam dkk yang menyatakan bahwa maloklusi

Angle yang paling banyak adalah maloklusi

Angle kelas I.19

Berdasarkan jenis kelamin, distribusi

pasien ortodonti RSGM Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Trisakti yang mengalami

premature loss molar kedua sulung pada

penelitian ini lebih banyak dialami oleh pasien

perempuan yaitu sebanyak 35 anak (56,5%) dan

pasien yang mengalami premature loss gigi

molar kedua sulung dengan jenis kelamin laki –

laki sebanyak 27 anak (43,5%). Hal ini sesuai

dengan penelitian Hanindira yang menyatakan

bahwa pasien yang banyak berkunjung ke bagian

ortodonti di RSGM Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Trisakti adalah pasien perempuan12.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

berdasarkan letak kehilangan gigi, dari 66 gigi

molar kedua sulung yang mengalami premature

loss, kehilangan gigi terbanyak adalah

kehilangan gigi 75 yaitu sebanyak 34 gigi (52%),

kemudian gigi 85 sebanyak 26 gigi (39%), lalu

gigi 55 sebanyak 4 gigi (6%)dan yang paling

sedikit mengalami premature loss adalah gigi 65

yaitu sebanyak 2 gigi (3%). Hasil penelitian ini

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Cavalcanti dkk yang menyatakan bahwa

premature loss gigi molar kedua sulung paling

banyak adalah premature loss gigi 75.20

Premature loss gigi molar kedua sulung

berbahaya bagi pertumbuhan gigi permanen

karena gigi molar kedua sulung merupakan

panduan posisi gigi molar permanen pertama

yang menjadi kunci oklusi.10 Premature loss gigi

molar kedua sulung dapat disebabkan oleh

beberapa hal seperti karies atau ekstraksi gigi.

Premature loss gigi molar paling banyak

disebabkan oleh karies.6,21 Gigi yang rusak akibat

karies yang besar dan tidak dapat dilakukan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

71

perawatan akan menjadi sumber infeksi jika

tidak dilakukan ekstraksi, hal ini juga merupakan

salah satu penyebab dari premature loss. Anak –

anak biasanya menyukai makanan yang manis,

tingginya kandungan gula dalam minuman dan

makanan yang manis dapat dikaitkan dengan

karies gigi. Oleh karena itu peran orang tua

sangat penting untuk menanamkan perilaku yang

sehat pada anak-anak mereka sejak usia dini.22

Berdasarkan letak gigi yang hilang,

premature loss terbanyak adalah premature loss

gigi molar kedua sulung pada rahang bawah

(92%) kemudian premature loss gigi molar

kedua sulung pada kedua lengkung rahang yaitu

rahang atas dan rahang bawah (5%) dan paling

sedikit terjadi pada rahang atas (3%). Hasil

penelitian ini sejalan dengan pernyataan pada

hasil penelitian Ahamed dkk., yang menyatakan

bahwa premature loss terbanyak dialami pada

rahang bawah,23 namun ada perbedaannya yaitu

setelah premature loss yang terbanyak pada

rahang bawah adalah pada rahang atas dan yang

paling sedikit adalah pada kedua lengkung

rahang yaitu rahang atas dan rahang bawah.23

Hasil penelitian ini ada perbedaan dengan hasil

penelitian Ahamed dkk kemungkinan

dikarenakan jumlah sampel yang digunakan

berbeda sehingga ada perbedaan pada jumlah

kehilangan gigi yang premature loss.

Prevalensi premature loss gigi molar

kedua sulung pada pasien ortodonti RSGM FKG

Universitas Trisakti dilihat berdasarkan rentang

usia adalah terbesar di usia 9 tahun yaitu

sebanyak 20 anak (32%), usia 8 tahun sebanyak

19 anak (31%), usia 10 tahun sebanyak 13 anak

(21%) dan usia 7 tahun merupakan usia paling

sedikit yang ditemukan premature lossgigi molar

kedua sulung yaitu sebanyak 10 anak (16%).

Hasil ini berbeda dengan penelitian penelitian

Hanindira yang menyatakan bahwa premature

loss paling sering terjadi pada usia 8 tahun,12

tetapi penelitian ini sejalan dengan penelitian

Cavalcanti dkk yang menyatakan bahwa

premature loss paling sering terjadi pada usia 9

tahun.20

Terdapat 23 gigi molar kedua sulung yang

mengalami premature loss dari total 20 anak usia

9 tahun pada pasien ortodonti di RSGM Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Trisakti.

Kehilangan gigi terbanyak adalah kehilangan

gigi 75 yaitu sebanyak 10 gigi (43,5%) kemudian

gigi 85 yaitu sebanyak 8 gigi (34,8%) lalu

kehilangan gigi 55 sebanyak 4 gigi (17,4%) dan

yang paling sedikit adalah kehilangan gigi 65

yaitu sebanyak 1 gigi (4,3%). Hasil ini

menunjukkan bahwa premature loss gigi molar

kedua sulung dapat terjadi pada rahang bawah,

rahang atas maupun pada kedua lengkung rahang

yaitu rahang atas dan rahang bawah.

Premature loss gigi molar kedua sulung

dapat menyebabkan maloklusi kelas I, kelas II

maupun kelas III, gambar 13 menunjukan bahwa

premature loss gigi 55 menyebabkan maloklusi

kelas I dan kelas II dengan hubungan molar kelas

I sebesar 75% dan kelas II sebesar 25%. Dari 66

sampel yang didapat, yang mengalami premature

loss gigi 55 adalah sebanyak 4 gigi. 3 gigi

diantaranya termasuk ke dalam klasifikasi kelas I

karena apabila dilihat dari model studi, terlihat

tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas

berkontak dengan bukal groove molar pertama

rahang bawah dan 1 gigi lainnya termasuk

klasifikasi kelas II karena bila dilihat dari model

studi terlihat tonjol distobukal gigi molar

pertama rahang atas berkontak dengan bukal

groove molar pertama permanen rahang bawah.

Premature loss gigi 65 hanya

menyebabkan maloklusi kelas I. Hal ini

disebabkan karena dari 66 sampel yang didapat

hanya 2 gigi yang mengalami premature loss

gigi 65 dan bila dilihat dari model studi terlihat

tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas

berkontak dengan bukal groove molar pertama

rahang bawah. Namun premature loss gigi 75

menyebabkan maloklusi kelas I dan kelas III

dengan hubungan molar kelas I sebesar 97% dan

hubungan molar kelas III sebanyak 3%. Dari 66

sampel pada penelitian ini, yang mengalami

premature loss gigi 75 adalah sebanyak 34 gigi.

Dari 34 gigi tersebut, 33 gigi termasuk dalam

klasifikasi kelas I karena dilihat dari model studi

terlihat tonjol mesiobukal molar pertama rahang

atas berkontak dengan bukal groove molar

pertama rahang bawah dan 1 gigi lainnya bila

dilihat dari model studi terlihat tonjol mesiobukal

molar pertama rahang atas berada lebih distal

dari bukal groove molar pertama rahang bawah.

Premature loss gigi 85 hanya

menyebabkan maloklusi kelas I. Hal ini

disebabkan karena dari 66 sampel yang didapat,

gigi yang mengalami premature loss gigi 85

sebanyak 26 gigi dan bila dilihat dari model studi

gigi tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas

berkontak dengan bukal groove molar pertama

rahang bawah.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan

yaitu: prevalensi premature loss gigi molar

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

72

kedua sulung pada pasien ortodonti di RSGM

Universitas Trisakti sebesar 13%. Premature loss

gigi molar kedua sulung paling banyak dialami

oleh pasien berjenis kelamin perempuan. Usia 9

tahun merupakan usia paling banyak

ditemukannya premature loss gigi molar kedua

sulung yaitu sebesar 32%. Kehilangan gigi

terbanyak yaitu kehilangan gigi 75 sebesar 52%,

dan hubungan molar yang paling sering

ditemukan adalah hubungan molar kelas I

sebesar 97%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Millet, Declan dan Richard W. Orthodontics

and Paediatric Dentistry. Sydney: Chruchill

Livingstone; 2000: 5.

2. Rakosi T, Jonas I, dan Graber TM.

Orthodontic Diagnotstic Color Atlas of

Dental Medicine. Ratheitschak HK. Wolf HF.

Editor. Thieme Medical Publisher Inc. 1993;

35 – 87.

3. Profit WR, Fields HW dan Sarver DM.

Contemporary Orthodontics. 5th Edition.

Canada. Elsevier. 2013; 3.

4. Samad R. dan Gazali S., Hubungan

Kebiasaan Mendorong Lidah, Menghisap Ibu

Jari dan Premature loss Terhadap Jenis

Maloklusi Murid SD di Kota Makassar.

Available from:

http://repository.unhas.ac.id/handle/12345678

9/20202. 2016.

5. Graber TM, Vanarsdall RL dan Vig KWL.

Orthodontics Current Principle and

Teqniques. 5th Edition. USA: Elsevier. 2012;

15

6. McDonald RE,Avery DR, Dean JA. Dentisry

for the child and adolescent.9th ed. St Louis :

Mosby: 2011. 150-3,220,518,559-63

7. Alexander SA, Askari M, Lewis P. The

premature loss of primary first molars: Space

loss to molar occlusal relationships and facial

patterns. Angle Orthod. 2015;85(2):218–223.

8. Al-Shahrani N, Al-Amri A, Hegazi F, Al-

Rowis K, Al-Madani A, Hassan KS. The

prevalence of premature loss of primary teeth

and its impact on malocclusion in the Eastern

Province of Saudi Arabia. Acta Odontol

Scand. 2015;73(7):544–549.

9. Pokorná H, Marek I, Kucera J, Hanzelka T.

Space Reduction After Premature loss of A

Deciduous Second Molar – Retrospective

Study. IOSR Journal of Dental and Medical

Sciences (IOSR-JDMS). November 2016.

15(11); 1 – 8.

10. Kusnoto J, Fajar HN, dan Haryanto AG.

Buku Ajar Orthodonti jilid 1. Jakarta: EGC.

2016; 92 – 212.

11. Harahap S. Prevalensi Premature loss Gigi

Molar Desidui pada Pasien Ortodonsia di

RSGMP FKG USU Tahun 2010-2014.

Available from:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/

55974. 2015

12. Hanindira M. Prevalensi Maloklusi Dengan

Etiologi Premature loss Gigi Sulung Pada

Pasien Ortodonti Di Rsgm Fkg Universitas

Trisakti ( Periode Tahun 2013 – 2015 ). 2017;

23 - 26.

13. Dahlan MS. Evidence Based Medicine Seri 3:

Langkah – Langkah Membuat Proposal

Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan.

Edisi II. Jakarta: CV Sagung Seto; 2016; 80.

14. Bhalajhi SI. Orthodontics The Art and

Science. 3rd edition. New Delhi: Arya (Medi)

Publishing House. Oktober 2003; 91 – 95.

15. Song K, Nam O, Kim M, Lee H, Choi S.

Management of Premature loss of Primary

Molars with Flexible Denture. J Korean Acad

Pediatr Dent. 2016. 43(2); 187 – 191.

16. Herawati H, Novita S, dan Rainisa DU.

Hubungan Premature loss Gigi Sulung

Dengan Kejadian Maloklusi Di Sekolah

Dasar Negeri Kota Cimahi. Journal of

Medicine and Health. Augustus 2015. 1(2):

156 – 169.

17. Murshid SA, Al-Labani MA,Aldhorae

KA,Rodis OM. Prevalence of prematurely

lost primary teeth in 5-10 year-old children in

Thamar City, Yemen : A cross-sectional

study. J Int Soc Preven Communit Dent 2016

; 6, Suppl S2: 126-30

18. Saloom HF. Early Loss of Deciduous Teeth

and Occlusion. Iraqi Orthod J. 2005;1(2):36–

39.

19. Aslam K, Nadim R, Rizwan S. Prevalence of

angles malocclusion according to age groups

and gender. Pakistan Oral Dent J.

2014;34(2):362-365.

20. Cavalcanti, A.L., Alencar, C.R.B.D., Bezerra,

P. and Granville-Garcia AF. Pediatric

dentistry prevalence of early loss of primary

molars in school children in Campina Grande,

Brazil. Pakistan Oral Dent J. 2008;28(1):113.

21. Law CS. Management Of Premature Primary

Tooth Loss in the Child Patient. CDA J.

2013;41(8):612–618.

22. López-Gómez SA, Villalobos-Rodelo JJ,

Ávila-Burgos L. Relationship between

premature loss of primary teeth with oral

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5 No.1, hal 66 – 73

73

hygiene, consumption of soft drinks, dental

care, and previous caries experience. Sci Rep.

2016

23. Ahamed SS, Krishnakumar R, Sugumaran D,

Reddy V, Mohan M, Rao A. Prevalence of

early loss of primary teeth in 5-10-year-old

school children in Chidambaram town.

Contemp Clin Dent. 2012;3(1):27-30.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1

Tata Cara Penulisan

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu

Aturan umum:

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu hanya

menerima naskah asli yang belum pernah dipub-

likasikan di dalam maupun di luar negeri.

Naskah dapat di tulis dalam bahasa Indonesia atau

bahasa Inggris dengan gaya bahasa efektif dan

akademis.

Sistematika penulisan artikel:

Judul,

Hendaknya menggambarkan isi pokok tulisan

secara ringkas dan jelas, ditulis dalam bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris. Judul terdiri dari

maksimal 15 kata. Nama Penulis, ditulis nama

penulis tanpa gelar, disertai instansi tempat penu-

lis bekerja.

Abstract

Ditulis dalam bahasa Inggris, tidak lebih dari

250 kata, font Times New Roman dengan ukuran

font 12 dan spasi 1, merupakan intisari seluruh

tulisan dan ditulis terstruktur sebagai berikut:

Laporan Penelitian: Pendahuluan, tujuan,

metode, hasil dan kesimpulan

Laporan Kasus: Pendahuluan, tujuan, kasus dan

penatalaksanaan kasus, dan kesimpulan

Tinjauan Pustaka: Pendahuluan, tujuan, tinjauan

pustaka, dan kesimpulan

Keywords, diletakkan di bawah abstrak 3-5 kata

kunci. Correspondence, Alamat korespondensi

yang berisi nama lengkap contact person, afili-

asi/nama institusi, alamat pos lengkap dengan

kode pos, dan alamat email.

Petunjuk penulisan LAPORAN PENELITIAN

Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah serta tujuan penelitian dan

manfaat untuk waktu yang akan datang. Bahan

dan Metode, berisi penjelasan tentang ba-

han-bahan dan alat-alat yang digunakan, waktu,

tempat, teknik, dan rancangan percobaan. Metode

harus dijelaskan selengkap mungkin agar peneliti

lain dapat melakukan uji coba ulang. Acuan (ref-

erensi) diberikan pada metode yang kurang

dikenal. Hasil, dikemukakan dengan jelas bila

perlu dengan tabel, ilustrasi (gambar, grafik, dia-

gram) atau foto. Hasil yang telah dijelaskan

dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu diuraikan

panjang-lebar dalam teks. Garis-garis vertikal

dibuat seminimal mungkin, agar memudahkan

penglihatan. Perhatikan:

1. Persamaan Matematis dikemukakan dengan

jelas. Jika simbol matematis tidak ada pada

word proccesor dapat ditulis menggunakan

pensil/pena dengan hati-hati. Kalau perlu beri

keterangan simbol dengan tulisan tangan (pen-

sil tipis).

2. Angka desimal ditandai dengan koma untuk

bahasa Indonesia dan titik untuk bahasa

Inggris.

3. Tabel, ilustrasi atau foto diberi nomor dan di-

acu berurutan dengan teks, judul ditulis dengan

singkat dan jelas. Keterangan diletakkan pada

catatan kaki, tidak boleh pada judul. Semua

singkatan atau kependekan harap dijelaskan

pada catatan kaki.

Pembahasan, menerangkan hasil penelitian,

bagaimana hasil penelitian yang dilaporkan dapat

memecahkan masalah, perbedaan dan persamaan

dengan penelitian terdahulu serta kemungkinan

pengembangannya. Kesimpulan dan saran dile-

takkan pada bagian akhir pembahasan yang

merupakan paragraf penutup.

Ucapan terima kasih, dapat ditujukan pada semua

pihak yang membantu bila memang ada dan harus

diterangkan sejelas mungkin. Diletakkan pada

akhir naskah, sebelum daftar pustaka.

Daftar Pustaka, disusun menurut sistem Vancou-

ver. Setiap nama pengarang diberi nomor urut

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam

naskah, dan mencantumkan (a) untuk buku: na-

ma-nama penulis, editor (bila ada), judul lengkap

buku, kota penerbit, tahun penerbitan, volume,

edisi dan nomor halaman. (b) untuk terbitan

berkala: nama-nama penulis, judul tulisan, judul

terbitan (disingkat sesuai dengan Index Medicus),

tahun penerbitan, volume dan nomor halaman. (c)

acuan dari internet harus ditulis nama penyusun,

nama website/ blog, alamat website dan tanggal

akses internet. Pustaka yang diacu diusahakan

merupakan terbitan/produksi 10 (sepuluh) tahun

terakhir, kecuali memang merupakan hal yang

langka.

Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Terpadu 2019, Vol.5, No.1

Petunjuk penulisan LAPORAN KASUS

Pendahuluan, meliputi latar belakang kasus,

permasalahan, kekhususan atau kelangkaan kasus,

tujuan laporan kasus dan manfaat untuk waktu

yang akan datang. Kasus, identifikasi pasien, an-

amnesa, keluhan utama, pemeriksaan ekstra oral,

intra oral, hasil pemeriksaan penunjang seperti

foto profil wajah, hasil rontgen foto dental atau

panoramik, hasil laboratorium dan diagnosa..

Tatalaksana Kasus, rencana terapi, penatalaksa-

naan kasus disertai foto, monitoring, evaluasi

klinis dan atau laboratoris, dan hasil perawatan

berikut penjelasannya. Pembahasan, men-

erangkan telaah teori dari hasil perawatan kasus

yang dilaporkan, bagaimana hasil perawatan kasus

tersebut dapat memecahkan masalah, perbedaan

dan persamaan dengan kasus-kasus terdahulu ser-

ta kemungkinan aplikasinya. Kesimpulan dan sa-

ran diletakkan pada bagian akhir pembahasan

yang merupakan paragraf penutup. Daftar

pustaka. Sama dengan di atas.

Petunjuk penulisan TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan, meliputi latar belakang topik, per-

masalahan, kekhususan topik, tujuan tinjauan

pustaka dan manfaat untuk waktu yang akan da-

tang. Tinjauan pustaka, telaah teori dari berbagai

sumber acuan mutakhir. Pembahasan. men-

erangkan pemikiran penulis dari hasil telaah

pustaka, bagaimana hasil tsb dapat memecahkan

masalah, perkembangan dan aplikasinya. Sim-

pulan dan saran diletakkan pada bagian akhir

pembahasan yang merupakan paragraf penutup.

Daftar pustaka. Acuan yang digunakan untuk

artikel tinjauan pustaka usahakan minimal 25

(tiga puluh lima) buah, yang disusun menurut sis-

tem Vancouver. Tata cara sama dengan di atas.

Informasi penting lain Naskah yang dikirim diketik dalam CD dengan

program MS Word, disertai cetakan pada kertas

HVS ukuran A4 (210 x 297 mm) maksimal 12

halaman. Ukuran font 12 dengan jenis Times New

Roman, dengan spasi 1,5. Print out naskah dis-erahkan rangkap 2 (Dua).

Alamat pengiriman naskah:

Drg. Enrita Dian R SpKGA

FKG USAKTI Bagian IKGA Lt. 5

Jl. Kyai Tapa Grogol Kampus B FKG USAKTI Email: [email protected]

Perhatian:

Naskah yang telah diterima beserta semua ilustrasi

yang menyertainya menjadi milik sah penerbit,

serta tidak dibenarkan untuk diterbitkan dimana-

pun, baik secara keseluruhan atau sebagian, dalam

bentuk cetakan maupun elektronika tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit. Semua data, pendapat, atau

pernyataan yang terdapat pada naskah adalah

merupakan tanggung jawab penulis. Penerbit dan

dewan redaksi tidak bertanggung jawab atau tidak

bersedia menerima kesulitan maupun masalah

apapun sehubungan dengan konsekuensi dari

ketidak akuratan, kesalahan data, pendapat, mau-pun, pernyataan tersebut.