politik luar negeri tiongkok terhadap upaya

130
POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP UPAYA KEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA PRESIDEN HU JINTAO (2003-2013) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Putri Anastasya Wulandari 1110113000034 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016

Transcript of politik luar negeri tiongkok terhadap upaya

POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP UPAYAKEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA PRESIDEN HU JINTAO

(2003-2013)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Putri Anastasya Wulandari

1110113000034

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP UPAYAKEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA PRESIDEN HU JINTAO

(2003-2013)

1. Merupakan karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli karya

saya atau merupakan hasil dari jiplakan karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Februari 2016

Putri Anastasya Wulandari

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa Mahasiswa:

Nama : Putri Anastasya WulandariNIM : 1110113000034Program Studi : Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP UPAYAKEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA PRESIDEN HU JINTAO (2003-2013)

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 29 Februari 2016

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Badrus Sholeh, MA. Teguh Santosa, MANIP. 19710211 199903 1 002

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP UPAYAKEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA PRESIDEN HU JINTAO

(2003-2013)

Oleh

Putri Anastasya Wulandari1110113000034

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29Februari 2016. Skripsi ini teah diterima sebagai salah satu syarat memperolehgelar Sarjana Sosial (S.sos) pada program Studi Hubungan Internasional

Jakarta, 29 Februari 2016

Ketua, Sekretaris,

Dr. Badrus Sholeh, MA. Eva Mushoffa, MHSPS.NIP. 19710211 199903 1 002

Penguji 1 Penguji 2

M. Adian Firnas, M.Si. Febri Dirgantara H, S.E., M.M

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada 29 Februari 2016.Ketua Program Sudi

Dr. Badrus Sholeh, M.ANIP. 19710211 199903 1 002

iv

ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang politik luar negeri Tiongkok terhadap upayakemerdekaan Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao periode 2003-2013. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis politik luar negeriTiongkok terhadap Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2013), menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi politik luar negeriTiongkok terhadap Taiwan kemudian mengetahui bentuk kepentingan Tiongkokterhadap Taiwan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodepenelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif yang dilakukan dengan carastudi pustaka.

Pembahasan skripsi ini menggunakan konsep kepentingan nasional yangdigunakan untuk melihat bentuk kepentingan Tiongkok dalam politik luarnegerinya terhadap Taiwan. Selain itu, skripsi ini menggunakan konsep kebijakanluar negeri untuk menggambarkan bentuk dan proses kebijakan luar negeri yangdikeluarkan oleh Tiongkok terhadap Taiwan. Penulis juga menambahkanbeberapa konsep seperti faktor internal, faktor eksternal yang mempengaruhipolitik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan. Berdasarkan analisa konsep dandata yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan bahwa pada masa pemerintahanPresiden Hu Jintao Tiongkok cenderung menggunakan soft power terhadapTaiwan. Tiongkok juga lebih menekankan kepada pendekatan ekonomi danmembuka perundingan bilateral bagi kedua negara tersebut.

Sejak berdirinya Tiongkok pada tahun 1949, politik luar negeri tidakterlepas dari adanya pengaruh sejarah Tiongkok itu sendiri seperti Perang Dunia,Perang Saudara hingga munculnya abad penghinaan (century of humiliation).Sejak saat itu, masalah kedaulatan dan integritas nasional menjadi fokus setiappemimpin Tiongkok dalam politik luar negeri terhadap Taiwan. Taiwanmerupakan wilayah yang terletak di Samudera Pasifik, terpisah dengan CinaDaratan oleh Selat Taiwan. Status Quo yang masih dipertahankan oleh Tiongkokterhadap Taiwan terjadi setelah Kuomintang memisahkan diri dari Tiongkokkarena mengalami kekalahan dalam Perang Sipil dan menganggap bahwa Taiwansebagai pemerintahan yang sah untuk mewakili Cina.

Kata Kunci: Politik Luar Negeri Tiongkok, Taiwan, Presiden Hu Jintao,ECFA, Anti Secession Law (ASL), Presiden Chen Shui-bian, Presiden Ma Ying-jeou.

v

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala

limpahan karunia dan rahmat yang tidak terhingga kepada penulis yang akhirnya

mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “POLITIK LUAR NEGERI

TIONGKOK TERHADAP UPAYA KEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA

PRESIDEN HU JINTAO (2003-2013)” dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta

salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penutan terbaik

beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis mendedikasikan skripsi ini sebagai sumbangsih untuk Negara

tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia, almamater serta keluarga. Terima

kasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada ayahanda Andi Inding,

satu-satunya sosok laki-laki hebat dalam keluarga sekaligus panutanku untuk

senantiasa menjadi anak yang berbakti serta dibalik sifat kerasnya tersimpan kasih

sayang untukku. Kepada ibunda Sri Herlina sosok wanita hebat dalam keluarga

yang selalu berjuang demi anaknya. Beliau merupakan panutanku untuk menjadi

seorang wanita yang sabar, tegar dan mandiri. Kepada adik tersayang Vania

Utami F yang selalu memberikan dukungan, semangat serta doa bagi penulis.

Kepada sanak saudara A Febi Nugraha, A Dadang Hidayat dan Ananda Nur

Fauziyah yang selalu memberikan semangat dan dukungan moril maupun materil

bagi penulis.

Penulis sangat menyadari bahwa selama menempuh masa studi jenjang S1

hingga skripsi ini selesai tentu tidak terlepas dari dukungan berbagai orang-orang

hebat yang berada di sekeliling penulis. Oleh karena itu penulis ingin

menyampaian terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang telah berjasa

memberikan bantuan moril maupun materil selama masa studi S1 hingga skripsi

ini selesai.

Terima kasih kepada Bapak Teguh Santosa selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah meluangkan waktu di sela kesibukannya yang sangat padat serta

banyaknya mahasiswa yang dibimbing. Terima kasih banyak atas waktu untuk

vi

memberikan arahan, motivasi, saran, bimbingan sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini.

Seluruh dosen dan staff FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima

kasih atas bantuan selama penulis berada di jenjang perkuliahan. Terima kasih

kepada jajaran dosen Program Studi Hubungan Internasional, rasa terima kasih

mungkin tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan rasa syukur penulis atas

ilmu yang telah diberikan. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak M.

Adian Firnas, M. Si selaku dosen penasihat akademik yang telah memberikan

bimbingan serta arahan selama masa studi berlangsung.

Kawan-kawan terbaik HI A 2010 yang telah menjadi bagian terpenting

selama masa kuliah yaitu Yuri, Dini, Zakiah, Aulia, Viqry, Navis, Ahmad, Bagus,

Edo, Ode, Emir, Dimas, Uda, Adriean, Adam, Banu, Dea, Nindy, Isti, Oya, Peni,

Isti, Rosa, Tisa, Hana, Meri, Clara, Anggi, Dhani, Syafiq, Nabila, Pipit, Yoga,

Uun, Retno. Khususnya kepada Diffitriana Rahmawati, Hegia Melatira, Siti

Kholillah dan Elhumairoh yang selalu menjadi sahabat terbaik baik di setiap

kehidupan perkuliahan maupun di kehidupan nyata serta bersedia meluangkan

waktu untuk bertukar fikiran di sela-sela kesibukan masing-masing.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Abi Dzar Alghiffari sahabat

serta teman hidup yang selalu bersama sejak awal perkuliahan. Terima kasih telah

menjadi partner terbaik penulis di berbagai situasi baik senang maupun susah.

Terima kasih banyak atas waktunya untuk menjadi tempat penulis berkeluh kesah.

Kepada Keluarga Beke yaitu Nidaul, Nurbaiti, Irma, Lala, Naura, Intan, Qoqo,

dan Hana terima kasih atas dukungan dan motivasinya, yang selalu menjadi

penyemangat bagi penulis. Kepada KKN Semut yaitu Deti, Chika, Ridwan, Eko,

Adil, Ayu, Tia, Ennur, Khaidar, Lusi, Rofi, Rani, Muzy, dan Fathin terima kasih

atas dukungan dan motivasinya serta selalu menghibur penulis dikala lelah dalam

mengerjakan skripsi.

Kepada seluruh staff dan karyawan Kementrian Luar Negeri Republik

Indonesia, Direktorat Asia Selatan dan Tengah, PT. Chevron Pacific Indonesia,

vii

PT. Tripatra Engineering and Constructor dan Litbang Harian Kompas, terima

kasih yang sebesar-besarnya atas pengalaman dan ilmu terkait dunia kerja.

Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,

terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama proses penyelesaian skripsi

ini. Semoga Allah membalas kebaikan seluruh pihak yang telah memberikan

bantuan dengan limpahan kebaikan. Pada akhirnya penulis berharap semoga

skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis pun sangat menyadari bahwa

skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh karena itu penulis sangat terbuka atas

segala kritik dan saran demi penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi untuk

kedepannya.

Jakarta, 29 Februari 2016

Putri Anastasya W.

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME............................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI........................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI........................................................ iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI........................................................................................................ viii

DAFTAR TABEL................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x

DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah................................................................................ 1

B. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................................... 9

D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10

E. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 14

1. Politik Luar Negeri............................................................................. 14

2. Kebijakan Luar Negeri ....................................................................... 17

3. Kepentingan Nasional ........................................................................ 19

F. Metode Penelitian ................................................................................. 22

G. Sistematika Penulisan........................................................................... 23

BAB II DINAMIKA HUBUNGAN TIONGKOK DAN TAIWAN SEBELUMMASA PEMERINTAHAN PRESIDEN HU JINTAO (1946-2002)

A. Sejarah Hubungan Tiongkok dan Taiwan pada Tahun 1946-2002 ....... 25

1. Perang Sipil antara Partai Nasionalis (KMT) dan Partai KomunisTiongkok (PKT) pada tahun 1946-1949.............................................25

B. Politik Luar Negeri Tiongkok terhadap Taiwan sebelum MasaPemerintahan Presiden Hu Jintao pada Tahun 1949-2002 ...................... 27

1. Politik Luar Negerti Tiongkok Terhadap Taiwan pada Masa PresidenMao Zedong (1949-1976)...................................................................30

2. Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Taiwan Pada Masa PresidenDeng Xiaoping (1978-1997) .................................................................... 34

ix

3. Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Taiwan Pada Masa PresidenJiang Zemin (1995-2002) ......................................................................... 39

BAB III ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLITIKLUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP TAIWAN PADA MASAPRESIDEN HU JINTAO (2003-2013)

A. Faktor Internal ...................................................................................... 46

1. Perubahan Sistem Politik Domestik Tiongkok ...................................... 46

2. Kepentingan Ekonomi Tiongkok terhadap Taiwan .............................. 51

3. Faktor Ideosinkretik ........................................................................... 58

B. Faktor Eksternal.................................................................................... 65

1. Munculnya dukungan Amerika Serikat Terhadap Taiwan................... 65

2. Keanggotaan Taiwan dalam World Trade Organization (WTO) .....70

BAB IV POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP UPAYAKEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA PRESIDEN HU JINTAO(2003-2013)

A. Kebijakan Tiongkok Terhadap Upaya Kemerdekaan Taiwan Pada MasaPresiden Hu Jintao (2003-2013).................................................................. 75

1. Anti-Secession Law (Undang-Undang Anti Pemisahan) ...................... 77

2. Enam Proposal Hu Jintao Terhadap Taiwan .......................................... 81

3. Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ..................... 85

B. Respon Taiwan Terhadap Kebijakan Tiongkok Pada Masa Presiden HuJintao (2003-2013) ........................................................................................ 92

1. Kebijakan Taiwan Terhadap Tiongkok Pada Masa Presiden ChenShui-Bian (2000-2008) ............................................................................. 93

2. Kebijakan Taiwan Terhadap Tiongkok Pada Masa Presiden Ma Ying-Jeou (2008-2012)....................................................................................... 98

BAB V PENUTUP

Kesimpulan.......................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 106

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kondisi Untung dan Rugi yang dimiliki oleh Tiongkok dan Taiwandalam Perekonomian............................................................................... 53

Tabel 2. Rangkuman Bab, Pasal, dan Lampiran yang tercantum dalam EconomicCooperation Framework Agreement (ECFA) ........................................ 88

Tabel 3. Data Statistik Perdagangan Antara Taiwan dan Tiongkok dari Tahun2003-2013 ............................................................................................... 90

Tabel 4. Rangkuman Kebijakan Taiwan Terhadap Tiongkok pada masa PresidenChen Shui-bian (2000-2008)................................................................... 97

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Taiwan .......................................................................................... 3

xi

DAFTAR SINGKATAN

ADB Asian Development Bank

ARATS Association for Relations Across the Taiwan Straits

CC Central Committee

CEPA Closer Economic Partnership Arrangement

CMC Central Military Commission

CPC Communist Party of China

CSIS Central Strategic and International Studies

CYL Communist Youth League of China

DPP Democratic Progressive Party

ECFA Economic Cooperation Framework Agreement

GATT General Agreement on Tariffs and Trade

HKI Hak Kekayan Intelektual

ICAO International Civil Aviation Organization

KMT Kuomintang

MFN Most Favoured Nation

NPC National People’s Congress

NP New Party

OCTS One Country Two System

PBB Persatuan Bangsa-Bangsa

PFP People First Party

PKT Partai Komunis Tiongkok

PLA People Liberations Army

RRT Republik Rakyat Tiongkok

SEF Straits Exchange Foundation

TAIP Taiwanese Independence Party

TETO The Taipei Economic and Trade Office

xii

TPR Tentara Pembebasan Rakyat

TRA Taiwan Relations Act

TSU Taiwan Solidarity Union

UMKM Usaha Mikro Kecil dan Menengah

WHO World Health Organization

WTO World Trade Organization

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Politik luar negeri merupakan “action theory” dimana

kebijaksanaan suatu negara ditujukan kepada negara lain untuk mencapai

suatu kepentingan tertentu. Menurut Plano, kepentingan nasional tersebut

dapat dijangkau melalui kebijakan luar negeri.1 Singkatnya politik luar

negeri memiliki hubungan antara kontrol dan kekuasaan wilayah suatu

negara kepada negara lain yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan luar

negeri untuk mencapai suatu kepentingan tertentu.

Konsep politik luar negeri tersebut didukung dengan adanya

berbagai penelitian yang melihat politik luar negeri Tiongkok dari

berbagai karakteristik yaitu pertama, melindungi kedaulatan dan integritas

teritorial. Kedua, mempromosikan pembangunan dan modernisasi

ekonomi sebagai wujud pencapaian kekuatan nasional yang komprehensif.

Ketiga, mendapatkan rasa hormat di dunia internasional serta

memaksimalkan atau setidaknya mengkonsolidasikan status Tiongkok

sebagai negara yang berkekuatan besar.2

Politik luar negeri yang yang ditujukan untuk mencapai

kepentingan nasional memiliki kategori sesuai dengan tingkatannya

1 Jack C. Plano dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin. Hal. 6.2 Chai Winberg (ed). 1999. Relations Between the Chinese Mainland and Taiwan. Asian Affairs

26, 2. Hal. 59.

2

masing-masing yaitu core/basic/vital interest; kepentingan yang sangat

tinggi nilainya sehingga negara bersedia untuk berperang dalam

mencapainya. Termasuk melindungi daerah-daerah wilayahnya, menjaga

dan melestarikan nilai-nilai hidup yang dianut oleh negara tersebut.3

Salah satu tujuan politik luar negeri Tiongkok adalah wilayah dan

kedaulatan. Sejak tahun 1980-an, dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping,

Tiongkok telah memiliki tujuan politik luar negeri yang masih

dipertahankan hingga saat ini yaitu pertama, untuk mempertahankan

kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas wilayah Tiongkok. Kedua, untuk

menciptakan lingkungan internasional yang kondusif untuk reformasi,

keterbukaan dan modernisasi bagi Tiongkok.4

Dalam hubungannya, hingga saat ini Tiongkok dan Taiwan masih

mempertahankan status quo. Hal ini terjadi setelah Taiwan memisahkan

diri dari daratan Tiongkok sejak tahun 1949 setelah mengalami kekalahan

dalam Perang Sipil dan menduduki sebuah pulau yaitu Formosa yang saat

ini disebut Taiwan.5 Partai Nasionalis atau disebut juga Kuomintang

(KMT) yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek menganggap sebagai

pemerintahan yang sah atas Tiongkok.

3 James N. Rosenau. 1969. International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research andTheory. New York: The Free Press. Hal. 167.

4 Center for Strategic and International Studies (CSIS). Chinese Foreign Policy: What Are theMain Tenets of China’s Foreign Policy. Diakses dari (www.csis.org/CHINABALANCESHEET) pada Senin, 20 Oktober 2014.

5 Michael Roberge dan Youkyoung Lee. 2009. China-Taiwan Relations. Diakses darihttp://www.cfr.org/china/china-taiwan-relations/p9223 pada Rabu, 15 Oktober 2014.

3

Gambar 1. Peta Taiwan6

Alasan bagi Taiwan melawan pengaruh Tiongkok adalah tidak

disetujuinya status legal dari pemerintahan di Taiwan . Hal ini dikarenakan

Tiongkok menganggap bahwa isu Taiwan sebagai suatu gerakan separatis

yang menuntut kedaulatan dan akan memicu gerakan separatis di wilayah

lain yang berada disekitar Tiongkok seperti Hongkong, Macau dan Tibet.

Isu Taiwan mempengaruhi politik luar negeri Tiongkok pada

empat level yaitu pertama di tingkat domestik menyangkut legitimasi

suatu negara pada pemerintahan di Tiongkok. Kedua, di tingkat lintas selat

isu Taiwan menyangkut sengketa sejarah atas reunifikasi yang ingin

dilakukan oleh Tiongkok. Ketiga, pada tingkat regional isu Taiwan

mempengaruhi politik kekuasaan di antara kekuatan besar seperti

6 Executive Yuan, Republic of China (Taiwan). The Republic of China Year Book. 2013. Diaksesdari http://www.ey.gov.tw/Upload/UserFiles/YB%202013%20all%20100dpi.pdf Pada Jumat, 8Januari 2016.

4

Tiongkok dan Amerika Serikat. Keempat, tingkat internasional

menyangkut ancaman diplomasi yang dilakukan untuk mengupayakan

status Taiwan di organisasi-organisasi internasional.7

Secara hukum internasional, Taiwan tidak dianggap sebagai

negara yang berdaulat oleh sebagian besar negara atau organisasi

internasional termasuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan saat ini

Taiwan hanya memiliki hubungan diplomatik dengan 22 negara seperti

Kiribati, Nauru, Kepulauan Solomon, Republik Kepulauan Marshall,

Republik Palau, Tuvalu, Burkina Faso, Swaziland, Republik Demokratik

Sao Tome and Principe, Takhta Suci Vatikan, Belize, El Salvador, Haiti,

Nicaragua, Paraguay St. Lucia, Republik Dominika, Republik Guatemala,

Republik Honduras, Republik Panama, Saint Vincent dan Grenadines,

Saint Christopher (Saint Kitts) dan Nevis.8

Diluar hubungan diplomatik dengan 22 negara tersebut, Taiwan

pun hanya diberi kesempatan membuka kantor perwakilan di beberapa

negara. Hal ini ditandai dengan adanya kerjasama dalam bidang

perdagangan, investasi, budaya dan kerjasama non-politik. Taiwan

memiliki lebih dari 100 kantor perwakilan di lebih dari 70 negara,

termasuk kantor perwakilan di Indonesia yang diberi nama “The Taipei

Economic and Trade Office” (TETO). Kantor ekonomi dan perdagangan

Taipei tersebut merupakan perwakilan dari pemerintah Republik Cina

7 Xu Xin. “The Dynamics of the Taiwan Question in Chinese Foreign Policy: Dialectics of National Identityand International Constraint”. Ritsumeikan Journal of Asia Pacific Studies Vol.7. Hal. 1.

8 Ministry of Foreign Affairs Republic of China (Taiwan). Diplomatic Allies. Diakses darihttp://www.mofa.gov.tw/en/AlliesIndex.aspx?n=DF6F8F246049F8D6&sms=A76B7230ADF29736 pada Selasa, 5 Mei 2015.

5

(Taiwan) di Indonesia. TETO memiliki misi untuk mengurus kepentingan

Taiwan dan mempromosikan hubungan bilateral antara Taiwan dan

Indonesia.9

Bagi Tiongkok, pentingnya penyatuan wilayah Taiwan adalah

untuk mengatasi penghinaan yang terjadi dalam sejarah Tiongkok dan

mempertahankan rasa hormat maupun posisi yang telah diraih Tiongkok.10

Kembalinya Hongkong ke dalam wilayah Tiongkok merupakan

kesuksesan pemerintahan Tiongkok dalam penyatuan wilayah dan

kedaulatan di Tiongkok. Namun, keberhasilan Tiongkok sebelumnya

dalam mengembalikan wilayah Hongkong tidak lengkap sampai

Taiwan berada di bawah kekuasan pemerintahan Tiongkok pula.

Proses unifikasi tersebut terhambat oleh munculnya kelompok-

kelompok oposisi di Taiwan seperti Partai Progresif Demokrat (DPP),

sistem politik Taiwan dan bangkitnya dua kekuatan seimbang antara dua

partai di Taiwan yaitu DPP dan KMT. Mempengaruhi perubahan cara

pandang kebijakan Tiongkok bergantung pada partai apa yang

memenangkan pemilu di Taiwan. Kuomintang (KMT) merupakan partai

yang berevolusi dari partai nasionalis berbasis pemerintahan militer. Basis

dukungan KMT adalah di bagian utara Taiwan dekat dengan ibukota baru

9 The Taipei Economic and Trade Office (TETO). Diakses dari http://www.roc-taiwan.org/id/mp.asp?mp=292 pada Rabu, 29 April 2015.

10 Jia Qingguo. 2005. “Disrespect and Distrust: the external origins of contemporary ChineseNationalism”. Journal of Contemporary China 14, no. 42. Hal. 20.

6

mereka yaitu Taipei.11 KMT merupakan partai yang mendukung

reunifikasi dengan Tiongkok.

Gerakan pro-demokrasi pada tahun 1970-an dan 1980-an

memunculkan Partai Progresif Demokrat (DPP). DPP berkuasa sekitar

tahun 2000-2008 di bawah Presiden Chen Sui Bian. Agenda dari DPP

mendukung kemerdekaan Taiwan secara de jure sehingga meningkatkan

ketegangan dengan Tiongkok.12 Ketegangan tersebut berlanjut selama

Taiwan berupaya untuk meraih statusnya sebagai negara yang merdeka

serta menjadi anggota organisasi internasional khususnya PBB.13

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, dapat

diketahui bahwa politik luar negeri suatu negara ditujukan untuk mencapai

kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun

kepentingan nasional suatu bangsa ditentukan oleh siapa yang berkuasa

pada waktu itu.14 Hal ini sejalan dengan dinamika hubungan Tiongkok dan

Taiwan tidak terlepas dari peran pemerintahan yang menguasai Tiongkok-

Taiwan pada waktu itu. Tiongok merupakan negara sebagai aktor yang

melakukan politik luar negeri, meskipun aktor-aktor lain dalam

pemerintahan seperti partai berperan penting dalam membuat keputusan

dari kebijakan luar negeri Tiongkok.

11 Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). Political Development. Diakses darihttp://dfat.gov.au/geo/taiwan/pages/taiwan-country-brief.aspx pada Sabtu, 30 Mei 2015.

12 Ibid.13 Awani Irewati. 2015. Pemilu Taiwan, Kemenangan Partai Kuomintang. Diakses dari

http://www.p2p-lipi.go.id/menu/columns.aspx?id=40&lang=en pada Rabu 11 Februari 2015.14 Mochtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:

LP3ES. Hal. 184.

7

Pemimpin suatu negara memiliki peran penting dalam perumusan

kebijakan luar negeri. Terdapat batasan yang tidak jelas antara politik

domestik dan internasional, hal ini semakin didukung dengan adanya

globalisasi. Seringkali isu yang berada pada level domestik dapat dengan

mudah mempengaruhi ke lingkungan internasional. Korelasi antara level

domestik dan internasional memberikan kesempatan bagi pemimpin suatu

negara untuk mendukung agenda mereka.15 Kepemimpinan mampu

menegaskan kapabilitas dari individu untuk menggerakan, memobilisasi,

dan menginspirasi negara atau rakyatnya untuk mencapai kepentingan

nasional beserta tujuan negara tersebut

Tahun 2003 merupakan masa pemerintahan Presiden Hu Jintao.16

Ketika para pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) bertemu pada

bulan November 2002, nama Hu Jintao disinggung akan menjadi calon

pengganti Jiang Zemin. Sejak kepemimpinanya, Presiden Hu telah

menorehkan banyak kesuksesan di bandingkan pendahulunya yaitu

Presiden Jiang Zemin. Menurut Chien-min dan Chang, Hu Jintao telah

mengubah kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan secara radikal. Hu Jintao

merupakan pemimpin Tiongkok yang paling pragmatis dalam menangani

masalah Taiwan.17

15 Andrea Grove. 2007. Political Leadership in Foreign Policy, Manipulating Support AcrossBorder. Palgrave Macmillan. Hal. 1.

16 Arthur S. Ding. 2013. The Hu Jintao Decade in China’s Foreign and Security Policy (2002–12):Assessments and Implications. SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Hal. 1.

17 Mathieu Duchâtel dan François Godement. 2009. China’s Politics under Hu Jintao . Journal ofCurrent Chinese Affairs 3: German Institute of Global and Area Studies (GIGA).

8

Jiang Zemin dianggap gagal dalam mewujudkan tujuan nasional

Tiongkok untuk mengembalikan Taiwan ke dalam wilayah Tiongkok.

Tindakan keras Jiang Zemin dalam menyelesaikan permasalahan Taiwan

mulai mendatangkan protes untuk menuntut kemerdekaan yang lebih besar

kepada pemerintahan Tiongkok. Terjadinya krisis di Selat Taiwan pada

tahun 1995-1996 dan sulitnya memperbaiki hubungan diplomatik dengan

Amerika Serikat terkait krisis di Selat Taiwan tersebut sehingga pada masa

pemerintahan Jiang Zemin upaya reunifikasi cenderung terhambat dan

akan meningkatkan resiko angkatan bersenjata untuk menyerang Taiwan.18

Hu Jintao yang merupakan Presiden Tiongkok setelah Jiang Zemin

cenderung menggunakan soft power terhadap Taiwan. Kebijakan Taiwan

lebih menekankan kepada pendekatan ekonomi, agar dapat memberikan

keuntungan langsung bagi penduduk Taiwan. Tiongkok juga lebih terbuka

dan terlibat langsung dalam perundingan bilateral dengan pejabat Taiwan.

Pendekatan ini dianggap sebagai permulaan Tiongkok sebelum melakukan

reunifikasi dengan Taiwan.

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bertujuan untuk

menjelaskan politik luar negeri suatu negara yaitu Tiongkok dengan

Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao. Sebagai negara,

Tiongkok untuk memenuhi kepentingan nasionalnya melakukan berbagai

interaksi dengan negara lain termasuk kerjasama maupun konflik. Politik

luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan mengalami perubahan pada masa

18 Ibid.

9

Presiden Hu Jintao (2003-2013), Tiongkok memasuki dinamika hubungan

yang bersifat kooperatif dengan Taiwan setelah melalui proses konflik

yang cukup panjang. Kondisi stabil yang cenderung diharapkan dari dua

negara ini berkaitan erat dengan stabilitas hubungan antar selat.

B. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini akan berfokus untuk menjawab pertanyaan mengenai “

Bagaimana Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Upaya Kemerdekaan

Taiwan pada Masa Pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2013)?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis proses politik luar negeri Tiongok terhadap Upaya

Kemerdekaan Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao

(2003-2013).

2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi politik luar negeri

Tiongkok terhadap upaya kemerdekaan Taiwan pada masa

pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2013).

3. Mengetahui kepentingan Tiongkok terhadap pencegahan

kemerdekaan Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao.

Selain itu, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat

sebagai berikut :

1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap

perkembangan ilmu-ilmu sosial dan politik. Khususnya Ilmu

Hubungan Internasional, Studi Kawasan Asia Timur dan Kajian

10

Strategis dari suatu formulasi politik luar negeri dan proses

perumusan kebijakan luar negeri.

2. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian-

penelitian sejenis agar dapat dikembangkan ke tahap selanjutnya.

Dapat pula dijadikan sebagai bahan literatur bagi para akademisi

yang memiliki ketertarikan terhadap isu politik luar negeri

Tiongkok dan Taiwan.

3. Bagi penulis sendiri, penelitian ini berguna mengaplikasikan

konsep dari suatu kebijakan luar negeri yang dibuat oleh pembuat

keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit yang

ada dalam politik internasional serta pengendaliannya untuk

mencapai tujuan nasional yang spesifik, seperti tujuan nasional

yang ingin dicapai oleh Tiongkok.

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian terkait dengan “Politik Luar Negeri

Tiongkok Terhadap Upaya Kemerdekaan Taiwan Pada Masa

Pemerintahan Presiden Hu Jintao (2003-2013)” yang sebelumnya pernah

dilakukan. Pertama, skripsi yang ditulis oleh Azmi Muharom pada tahun

2014 untuk memperoleh gelar Sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Azmi Muharom dalam skripsinya menganalisis kebijakan luar

negeri Tiongkok terhadap Taiwan dalam negosiasi Economic Cooperation

Framework Agreement (ECFA) tahun 2010. Tulisan ini berfokus kepada

kerjasama ekonomi yang digunakan Tiongkok sebagai soft power terhadap

11

Taiwan. Azmi menemukan bahwa negosiasi pada bidang ekonomi antara

Tiongkok dengan Taiwan ini menggunakan prinsip integrative strategy

yaitu tindakan yang menciptakan keuntungan bersama melalui negosiasi

dengan orang lain yang tujuannya tidak bertentangan. Dengan konflik

politik yang telah berlangsung antara Tiongkok dan Taiwan selama lebih

dari enam dekade, langkah negosiasi ini mensyaratkan Tiongkok bersedia

menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan

hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor Tiongkok.

Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah

kepentingan nasional, framework mengenai kebijakan luar negeri dari

Holsti dan Rosenau serta framework diplomasi ekonomi. Dari hasil analisa

dengan menggunakan ketiga teori tesebut Azmi menyimpulkan bahwa

Tiongkok menyetujui negosiasi ECFA didasari faktor internal dan

eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi negosiasi ECFA

antara Tiongkok dan Taiwan adalah peran kepemimpinan politik dan

militer Tiongkok yang mengalami perubahan diikuti dengan perubahan

kepentingan ekonomi. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi

adalah kebijakan Taiwan terhadap Tiongkok yang berubah setelah

pemilihan presiden Taiwan pada tahun 2008 dan partisipasi Tiongkok

dalam World Trade Organization (WTO).

Analisis data dilakukan melalui analisis data primer dan sekunder

dari pertanyaan-pertanyaan resmi pemerintah Tiongkok dan Taiwan,

press release dan beberapa dokumen lainnya serta melakukan wawancara

12

mendalam terhadap narasumber yang kompeten di bidangnya. Data

sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, berupa pencarian data

melalui informasi berupa buku rujukan, jurnal, skripsi, hasil penelitian dan

penerbitan-penerbitan lainnya yang berkaitan dengan tema yang diusung

oleh penulis.

Secara umum, skripsi Azmi memiliki persamaan pembahasan

dengan skripsi ini yaitu terkait dengan isu politik luar negeri Tiongkok

terhadap Taiwan pada tahun 2010 dimana tahun tersebut masih berada di

bawah kepemimpinan Presiden Hu Jintao. Namun disamping itu, terdapat

perbedaan antara skripsi Azmi dengan penelitian ini yang terletak pada

fokus pembahasan. Azmi lebih fokus terhadap soft diplomacy Tiongkok

terhadap Taiwan melalui sudut pandang ekonomi pada tahun tertentu.

Sedangkan penulis membahas politik negeri Tiongkok terhadap Taiwan

yang berfokus pada masa pemerintahan tertentu yaitu Presiden Hu Jintao.

Kedua adalah jurnal yang ditulis oleh Xulio Rios pada tahun 2012

yang berjudul “The Development of the Relations between Mainland

China and Taiwan during Hu Jintao’s Term of Office: From the Anti-

Secession Law to the Enforcement of the ECFA”. Rios dalam

penelitiannya membuat analisis mendalam mengenai perkembangan

hubungan Tiongkok-Taiwan selama masa pemerintahan Presiden Hu

Jintao sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan

Presiden Tiongkok. Hubungan lintas selat antara Tiongkok dan Taiwan

merupakan tema yang umum bagi stabilitas di Asia-Pasifik dan merupakan

13

salah satu tantangan besar bagi stabilitas keamanan di kawasan tersebut.

Kebangkitan Tiongkok dan kembalinya fokus Amerika Serikat terhadap

kawasan ini menunjukan pola yang berbeda dari integrasi, kerjasama atau

konflik yang dapat terjadi di masa mendatang.

Rios menganalisis selama dua periode masa pemerintahan Presiden

Hu banyak terjadi perubahan dalam hubungan bilateral antara Beijing dan

Taipei. Perubahan ini merupakan langkah yang diambil oleh Tiongkok

sebagai cara utama untuk menyelesaikan modernisasi dan penyatuan

kembali Cina daratan dengan Taiwan. Rios juga menggambarkan secara

rinci fase utama dan perkembangan dari setiap proses perbaikan hubungan

antara Tiongkok dan Taiwan. Hal ini juga memperhitungkan peran aktor

eksternal yang paling determinan dan menggambarkan dengan contoh

dari dua hal yang menjadi kecenderungan utama dalam pengembangan

hubungan bilateral seperti Anti-Secession Law dan ECFA.

Rios melihat hal utama yang menjadi masalah antara Tiongkok dan

Taiwan adalah pertama, pencapaian reunifikasi adalah suatu hal yang

mutlak bagi Tiongkok. Tiongkok dapat mengubah hal ini tergantung pada

keadaan. Kedua, bagi Taiwan penegasan sebagai negara de facto yang

berarti konstruksi permanen identitas baru dan penegasan kedaulatan

negara. Hal ini memungkinkan Taiwan dipahami dalam konteks propinsi-

negara yang dapat melemahkan Tiongkok untuk menuntut status Taiwan

sebagai negara secara hukum. Ketiga, meningkatnya saling

14

ketergantungan ekonomi antar selat dengan perkembangan yang sangat

potensial merupakan dasar penyatuan kedua negara ini.

Rios lebih memfokuskan analisisnya dengan menggunakan empat

dimensi yang berbeda untuk melihat sejauh mana perkembangan

Tiongkok-Taiwan yaitu pertama ekonomi dan perdagangan. Kedua,

pengakuan di dalam dunia internasional. Ketiga, turis dan kebudayaan.

Keempat, keamanan. Terkait dengan hubungan Tiongkok dan Taiwan,

Rios juga menganalisa peran dari negara Jepang dan Amerika Serikat

sebagai pendukung penting dari perkembangan konflik Tiongkok dan

Taiwan. Taiwan mengandalkan kedua negara ini untuk mempertahankan

kedaulatannya. Sedangkan penelitian ini hanya membahas dua hal yang

dapat dijadikan acuan untuk melihat perkembangan hubungan Tiongkok

dan Taiwan yaitu ECFA dan Anti-Secession Law. Penelitian ini berfokus

pada kedua negara yaitu Tiongkok dan Taiwan serta adanya keterlibatan

dari negara yang berada di luar kawasan seperti Amerika Serikat.

E. Kerangka Pemikiran

1. Politik Luar Negeri

Melihat dari latar belakang dan rumusan masalah diatas, secara

garis besar penelitian ini berpusat pada analisis politik luar negeri suatu

negara pada masa pemerintahan tertentu. Adanya interaksi antar negara

merupakan suatu bentuk usaha dari negara untuk memenuhi kepentingan

nasionalnya.

15

Politik luar negeri merupakan kumpulan kebijaksanaan suatu

negara untuk mengatur hubungan luar negerinya. Juga merupakan bagian

dari kebijaksanaan nasional, semata-mata dimaksudkan mengabdi pada

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan khususnya tujuan untuk kurun waktu

yang telah dihadapi, lazimnya disebutkan sebagai kepentingan nasional”.19

Dalam buku yang ditulis Miriam Budiarjo, terdapat definisi politik

luar negeri sebagai “Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan yang

diambil oleh seorang pelaku atau kelompok dalam usaha memiliki tujuan,

kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya”.20

Berarti bahwa politik luar negeri memiliki tujuan dalam pelaksanaannya.

Dalam hal ini, terdapat Teori Pengambilan Keputusan menurut

Graham Allison dan Morton Harperin yang mengarahkan perhatian

teorinya secara langsung bukan hanya kepada negara atau kalangan

eksekutif dalam negara tetapi juga pada perilaku manusia khususnya

pembuat keputusan yang sesungguhnya membuat kebijakan pemerintah

yaitu mereka yang tindakannya otoritatifnya baik maksud dan tujuannya

adalah tindakan negara.21 Tindakan negara yang dimaksudkan adalah

tindakan yang diambil oleh mereka yang melakukannya atas nama negara.

Dalam Teori Pembuatan Keputusan, politik luar negeri dapat

dipandang sebagai output dari tiga pertimbangan yaitu kondisi dalam

19 Sumpena Prawirasaputra.1984. Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Bandung: RemajaKarya. Hal. 7

20 Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Hal 1221 Theodore A. Coulumbis dan James H. Wolfe. 1981. Introduction to International Relation:

Power and Justice. Prentice. Hal. 128.

16

negeri suatu negara, kemampuan ekonomi dan militer, konteks

internasional, yaitu posisi khusus negara tersebut dalam hubungannya

dengan negara lain dalam sistem internasional.22

Politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan dari

lingkungan eksternal dan domestik sebagai input yang mempengaruhi

politik luar negeri suatu negara dipersepsikan oleh para pembuat

keputusan dalam suatu proses konversi menjadi output. Proses konversi

yang terjadi dalam perumusan politik luar negeri suatu negara ini mengacu

pada pemaknaan situasi, baik yang berlangsung dalam lingkungan

eksternal maupun internal dengan mempertimbangkan tujuan yang ingin

dicapai serta sarana dan kapabilitas yang dimilikinya.23

Sumber-sumber dalam politik luar negeri berkaitan erat dengan

pola interaksi diantara aktor-aktor dalam politik luar negeri tersebut.

Sebagai contoh pola hubungan antara Tiongkok dan Taiwan. Dalam

membahas pola hubungan kedua negara tersebut, dapat menggunakan

Konsep Situasi sebagai suatu alat analisis (analytical tool) yang dapat

memberikan alat untuk menentukan lingkungan eksternal yang relevan

bagi para pembuat keputusan (decison makers).24

22 Anna Yulia Hartati. 2004. Diplomasi Indonesia Pasca Perang Dingin. Jurnal Spektrum Vol. 1No. 1. Hal 41.

23 James N. Rosenau. 1980. The scientific Study of Foreign Policy. New York: The Free Press.Hal. 171-173.

24 Howard Lentner. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach.Ohio: Bill and Howell Co. Hal. 105-171.

17

2. Kebijakan Luar Negeri

Sejauh ini, untuk memahami suatu kebijakan luar negeri

difokuskan kepada pemimpin dan pengambilan keputusan itu sendiri, akan

tetapi kebijakan luar negeri lebih melibatkan beberapa hal penting.

Kebijakan luar negeri adalah keinginan untuk memahami tindakan dan

perilaku negara terhadap negara-negara lain dan lingkungan internasional

pada umumnya.

Kebijakan luar negeri dapat diartikan sebagai totalitas suatu negara

terhadap dan interaksi dengan lingkungan di luar perbatasannya.25 Definisi

mencakup berbagai wilayah masalah, yang didefinisikan sebagai satu

kekhawatiran yang saling terkait dalam pembuatan kebijakan luar negeri.

Secara tradisional, kebijakan luar negeri telah difokuskan untuk upaya

mempertahankan dan meningkatkan kekuatan dan keamanan suatu negara.

Proses pembuatan kebijakan luar negeri mencakup: Pertama,

menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke dalam bentuk tujuan

dan sasaran yang spesifik. Kedua, menetapkan faktor situasional di

lingkungan domestik dan internasional yang berkaitan dengan tujuan

kebijakan luar negeri. Ketiga, menganalisis kapabilitas nasional untuk

menjangkau hasil yang dikehendaki. Keempat, mengembangkan

perencanaan atau strategi untuk memakai kapabilitas nasional dalam

menanggulangi variabel tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Kelima, melaksanakan tindakan yang diperlukan. Keenam

25 Marijke Breuning. 2007.”Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction”. New York:Palgrave MacMillan. Hal. 5.

18

secara periodik meninjau dan melakukan evaluasi perkembangan yang

telah berlangsung dalam menjangkau tujuan atau hasil yang dikehendaki.26

Sementara menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi

semua tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan eksternalnya

dalam upaya memperoleh keuntungan dari lingkungan tersebut, serta hirau

akan berbagai kondisi internal yang menopang formulasi tindakan-

tindakan tersebut.27 Menurut Coloumbis dan Wolfe yang mengacu pada

James N. Rosenau menyatakan bahwa terdapat lima kategori variabel

yang mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri yaitu: variabel

ideosinkretik, birokratik, nasional dan sistemik.28

Variabel ideosinkretik, variabel ini berfokus pada persepsi, citra

dan karakteristik pribadi dari para pembuat keputusan. Meskpiun variabel

ini sulit untuk diukur seberapa besar pengaruhnya terhadap kebijakan luar

negeri suatu negara tetapi keberadaan variabel ini dirasakan lebih besar

pengaruhnya kepada keputusan penting yang akan diambil oleh negara

tersebut. Selain itu variabel ini memiliki pengaruh yang kuat pada negara

dengan sistem pemerintahan totaliter dan otoriter dibandingkan negara

dengan sistem pemerintahan demokrasi. Kuatnya pengaruh tersebut

dikarenakan kurangnya partisipasi dan pengawasan publik terhadap

pemerintahan.

26 Op. Cit. Plano dan Olton. Hal. 5.27 K.J. Holsti. 1992. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Bandung: Bina Cipta. Hal 21.28 Theodore Columbis dan James H.Wolfe. 1990. Introduction to International Relation: Power

and Justice.New Jersey: Prentice Hall. Hal. 117-126.

19

Variabel birokratik, variabel ini berfokus pada struktur dan proses

pemerintahan serta sejauh mana dampaknya terhadap proses pembuatan

kebijakan luar negeri. Variabel ini lebih dirasakan pada negara demokrasi

karena memiliki sistem birokrasi yang besar dan kompleks.

Variabel nasional, variabel ini meliputi atribut-atribut nasional

yang akan mempengaruhi output dari kebijakan luar negeri. Seperti,

lingkungan (luas territorial, kondisi geografis, tipe daerah, iklim dan

sumber daya alam), populasi (jumlah penduduk, tingkat kepadatan

penduduk, tingkat pendidikan dan kesehatan), ekonomi (pertumbuhan

ekonomi, produktivitas industri dan pertanian beserta GNP), politik

(sistem politik), sosial (struktur kelas, distribusi pendapatan, budaya,

agama, tingkat homogenitas atau heteregonitas).

Variabel sistemik, merupakan variabel eksternal yang

mempengaruhi kebijakan-kebijakan luar negeri suatu negara, antara lain

seperti struktur dan proses dari sistem internasional, hukum internasional,

organisasi internasional, organisasi internasional. Variabel ini juga

berkaitan erat dengan aksi atau tindakan dan kebijakan-kebijakan dari

negara lain, khususnya negara yang memiliki pengaruh besar dalam sistem

internasional, pada akhirnya dapat mempengaruhi dan merangsang

kebijakan luar negeri suatu negara.

3. Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan

perilaku luar negeri suatu negara. Kepentingan nasional dapat dijelaskan

20

sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang akan

mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam

merumuskan kebijakan luar negerinya. Kepentingan nasional suatu negara

secara khas merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara

yang paling vital seperti pertahanan, keamanan, militer dan kesejahteraan

ekonomi.29

Teori kepentingan nasional, menurut Daniel S. Papp mencakup

beberapa aspek, seperti ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan

militer, moralitas dan legalitas .30 Meskipun masih terdapat beberapa

perbedaan pandangan, konsep ini cukup memberi gambaran umum

mengenai hal-hal yang termasuk dalam national interest.

National interest atau kepentingan nasional merupakan istilah yang

wajib dikaji dalam fenomena-fenomena hubungan internasional oleh

kalangan penstudi hubungan internasional secara luas. Kepentingan

nasional digunakan untuk menggambarkan dan mendukung kebijakan-

kebijakan tertentu.31 Kepentingan nasional ini sering disebut sebagai

konsepsi umum yang merupakan unsur vital bagi negara karena tujuan

mendasar serta faktor yang paling menentukan bagi para pembuat

keputusan dalam merumuskan politik luar negeri adalah inti dari

29 Op. Cit. Plano dan Olton, Hal.11.30 Daniel S. Papp. 1988. Contemporary International Relation: A Framework for Understanding.

New York: MacMillan Publishing Company. Hal. 2931 Griffiths Martin, dan Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. New

York : Routledge. Hal. 203.

21

kepentingan nasional. Kepentingan nasional dapat juga diartikan sebagai

kepentingan negara untuk melindungi teritorial dan kedaulatan negaranya.

Kepentingan nasional sebagai kebutuhan materi dan kebutuhan

spriritual dalam suatu negara bangsa. Secara materi, bangsa membutuhkan

keamanan dan pembangunan. Secara sprititual, suatu negara bangsa

memerlukan kehormatan dan pengakuan dari masyarakat internasional.32

Dalam studi kasus Tiongkok, definisi “kepentingan nasional”

menjadi lebih bermasalah karena terjadi tumpang tindih antara aparatur

negara Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Yan Xuetong

dalam analisisnya membedakan antara kepentingan negara (dalam ranah

domestik) dan kepentingan nasional. Menurut Yan, kepentingan negara

sering bertentangan dengan kelompok-kelompok lain dari kelas penguasa.

Negara dalam konteks domestik adalah alat dari kelas penguasa dan

mewakili kepentingan elit penguasa dalam menghadapi konflik dengan

kelompok lain.

Terdapat tiga karakteristik kepentingan nasional yang telah

diidentifikasi oleh ilmuwan di Tiongkok. Pertama, kepentingan nasional

dipandang sebagi sesuatu yang dibentuk oleh faktor budaya nasional,

pengalaman sejarah dan identitas nasional. Kedua, kepentingan nasional

dipandang sebagai prinsip-prinsip yang relatif stabil dalam memandu

kebijakan Tiongkok secara jangka panjang. Ketiga, meskipun kepentingan

nasional mewakili kepentingan dan aspirasi bangsa secara kolektif, hal ini

32 Yan Xuetong. 1993. Zhongguo guojia liyi fenxi (Analysis of China’s National Interests).Tianjin: Tianjin People’s Press.

22

tidak menghalangi kemungkinan adanya ketidaksepakatan dalam berbagai

kelompok pada prioritas kepentingan tersebut.33

F. Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan bersifat penelitian kualitatif.

Menurut Bagong Suyanto dan Sutinah yang dikutip dari Taylor dan

Bogdan, penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang

menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan

tingkah laku yang diamati dari orang-orang yang diteliti.34 Peneliti

menggunakan metode kualitatif karena dalam skripsi ini berusaha

menggambarkan dan menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi

munculnya politik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan pada masa

pemerintahan Presiden Hu (2003-2013).

Penelitian kualitatif juga mengandalkan data dari sumber sekunder

yang diperoleh melalui buku, skripsi, jurnal, makalah, dokumen

pemerintah, media elektronik dan surat kabar. Peneliti berupaya untuk

mencari data sekunder tersebut melalui beberapa sumber seperti

Perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan

Universitas Indonesia, American Corner di Perpustakaan Umum UIN

Syarif Hidayatulah dan Perpustakaan Central Strategic and International

Studies (CSIS).

33 Qin Yaqing. 2003. “Guojia Shenfen, zhanlue wenhua he anquan liyi – guanyu zhongguo yuguoji shehui guanxi de sang jiashe (Nation Identity, Strategic Culture and Security Interests:Three Hypotheses on the Interaction between China and International Society)”. Shijie Jingjiyu Zhengzhi. Hal.11-16.

34 Bagong Suyanto dan Sutinah. 2009. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan.Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal.166.

23

Setelah melakukan pengumpulan data, maka langkah selanjutnya

yang dilakukan adalah menganalisis data. Peneliti menganalisa data yang

telah didapat melalui klasifikasi dan pembuatan kategori data. Lebih

lanjut, peneliti juga melakukan penelitian secara sistematis, data mentah

yang diperoleh dalam sebuah deskripsi kemudian dipahami tanpa harus

kehilangan kompleksitas permasalahan yang diteliti. Setelah data yang

diperoleh peneliti diklasifikasi menjadi data yang dibutuhkan, peneliti

mulai memahami, memaknai dan kemudian menampilkan data tersebut.

Data tersebut yang pada akhirnya berguna untuk menjelaskan

permasalahan yang diteliti dengan menggunakan konsep-konsep yang

terkait dengan penelitian ini.

G. Sistematika PenulisanPenulisan dalam skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan sub-bab

masing-masing di setiap bab:

BAB I Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang masalah

tentang topik yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kemudian dilanjutkan

dengan pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Dinamika Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Taiwan

sebelum Masa Pemerintahan Presiden Hu Jintao. Bab ini membahas

mengenai awal mula konflik Tiongkok-Taiwan. Kemudian dilanjutkan

dengan membahas masing-masing politik luar negeri dari setiap Presiden

di Tiongkok sebelum masa pemerintahan Presiden Hu Jintao.

24

BAB III Faktor-faktor yang Mempengaruhi Politik Luar Negeri

Tiongkok Terhadap Taiwan pada Masa Presiden Hu Jintao. Pembahasan

dalam bab ini dimulai dengan menjelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi politik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan pada masa

Presiden Hu Jintao. Faktor-faktor yang akan dibahas terdiri dari faktor

internal dan eksternal.

BAB IV Analisa Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Taiwan

pada Masa Presiden Hu Jintao. Bab ini menganalisa kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan Tiongkok terhadap Taiwan pada masa Presiden Hu

Jintao, mulai dari Anti- Secession Law atau Undang-Undang Anti

Pemisahan untuk mencegah kemerdekaan Taiwan, Economic Cooperation

Framework Agreement (ECFA) untuk memperkuat kerjasama dalam

bidang ekonomi dan Enam Proposal Hu Jintao dalam pengelolaan

hubungan yang damai dengan Taiwan. Kemudian dilanjutkan dengan

menganalisa respon Taiwan terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan

Tiongkok pada masa Pemerintahan Hu Jintao.

BAB V Kesimpulan. Bab ini berisikan kesimpulan dari seluruh

pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.

25

BAB II

DINAMIKA HUBUNGAN TIONGKOK DAN TAIWAN

SEBELUM MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN HU JINTAO

(1946-2002)

A. Sejarah Hubungan Tiongkok dan Taiwan pada Tahun 1946-2002

1. Perang Sipil antara Partai Nasionalis (KMT) dan Partai Komunis

Tiongkok (PKT) pada Tahun 1946-1949

Berbagai peristiwa penting telah berkontribusi dalam

pembentukan hubungan antara Tiongkok dan Taiwan. Berawal dari Perang

Sipil pada tahun 1949 mengakibatkan keduabelah pihak benar-benar

terpisah secara sistem politik dan ekonomi karena Perang Sipil tersebut

dimenangkan oleh pihak komunis. Meskipun keduanya terpisah dalam

sistem politik dan ekonomi namun hubungan keduanya tetap terjaga melalui

hubungan ekonomi serta status quo pada masing-masing pihak. Tiongkok

tetap menjadi negara dengan sistem pemerintahan otoriter yang berbasis

partai tunggal sedangkan Taiwan saat ini diakui oleh sebagian negara

sebagai negara yang memiliki sistem pemerintahan yang demokratis dengan

berbasis multipartai.

Konflik Perang Sipil pada tahun 1949 merupakan bentuk

perjuangan antar kedua partai untuk menguasai daratan Tiongkok secara

keseluruhan. Adapun Perang Sipil dari tahun 1946-1949 merupakan akibat

26

dari konflik antara Partai Komunis dan Nasionalis yang telah ada sejak

tahun 1927 yang menandai puncak dari ketidakstabilan politik di daratan

Tiongkok. Sebelum tahun 1927, pemerintahan di Tiongkok telah mengalami

kemunduran yang diperparah oleh peningkatan intervensi asing dan

eksploitasi seperti Perang Opium I (1839-1842), pemberontakan, dan

penjajahan Jepang.35

Perang Saudara tersebut mengakibatkan adanya polarisasi pada

konteks politik internasional melalui pengembangan Perang Dingin. Perang

antara Partai Nasionalis dan Komunis di Tiongkok telah menjadi bagian dari

usaha Soviet dan Amerika untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan

pasca Perang Dingin. Setelah kemenangan yang diraih oleh pihak Partai

Komunis, pada bulan Oktober 1949 Mao Zedong memproklamasikan

berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (RRT), kemudian para pengikut

Chiang Kai-shek yang kalah menduduki Pulau Formosa atau yang sekarang

disebut Taiwan. Chiang Kai-shek membawa sekitar dua juta orang

pengikutnya yang menentang haluan Komunis. Sejak saat itu Chiang Kai-

shek mendeklarasikan Taiwan sebagai negara yang terpisah dari

Tiongkok.36

Setelah Perang Saudara selesai, PKT mengkonsolidasikan kontrolnya atas

Tiongkok. Pengalaman akan perang yang panjang dijadikan pedoman oleh

35 The Civil War. Diakses dari http://share.nanjing-school.com/dphistory/files/2014/09/Civil-War-1946-9-2i0pi2f.pdf Pada Minggu, 22 Juni 2015.

36 Angga Nurdin. 2010. Taiwan, Dilema Diantara Dua Super Power. Jurnal Multiversa, Vol. 2 No.1. Yogyakarta: Institute of Internasional Studies (IIS) Jurusan Hubungan InternasionalUniversitas Gadjah Mada (UGM).

27

partai komunis dalam mengembangkan rezim komunis di Tiongkok. Bagi

PKT hal ini merupakan lanjutan bagi pemerintahan yang otoriter bagi

Tiongkok. Tiongkok pun tetap menjadi negara dengan sistem satu partai.37

Konflik yang masih terjadi antara Tiongkok-Taiwan hingga saat ini

semakin kompleks, konflik tersebut meliputi isu kedaulatan wilayah,

identitas nasional, dan keamanan nasional. Hubungan kedua negara ini

mengalami pasang surut baik dalam hal politik, ekonomi, maupun

keamanan. Pada sub-bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai

perkembangan hubungan politik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan

yang dibagi ke dalam tiga masa pemerintahan sebelum Presiden Hu Jintao

yaitu masa pemeritahan Presiden Mao Zedong, Deng Xiaoping dan Jiang

Zemin.

B. Politik Luar Negeri Tiongkok terhadap Taiwan sebelum Masa

Pemerintahan Presiden Hu Jintao pada Tahun 1949-2002

Pendekatan Tiongkok terhadap kedaulatan wilayah dalam politik luar

negerinya cukup signifikan. Tiongkok memiliki sejarah yang berasal dari

peradaban yang berkembang pesat dimana Tiongkok mencapai kemajuan

dari sisi ekonomi, politik dan militer dan sejarah yang menyakitkan dari

invasi asing yang dimulai dari Perang Opium hingga agresi Jepang. Hal ini

memberikan kontribusi terhadap perkembangan rasa nasionalis yang kuat.

37 Op. Cit. Civil War Case Study 2: The Chinese Civil War (1927-37 and 1946-49).

28

Menjaga kedaulatan teritorial telah menjadi salah satu prinsip dari kebijakan

luar negeri Tiongkok.38

Politik luar negeri Tiongkok pasca perang dingin secara garis besar

terdiri dari tiga kepentingan utama yaitu pembangunan, kedaulatan dan

tanggung jawab.39 Kepentingan kedaulatan tersebut merupakan tanggung

jawab Tiongkok dalam menjaga stabilitas baik secara internal maupun

eksternal dari konflik yang menyangkut kedaulatan nasional. Menjaga

integritas wilayah Tiongkok dengan mempertahankan kebijakan yang menuju

ke arah reunfikasi dengan wilayah Taiwan.

Elemen kunci dari politik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan

muncul pada akhir tahun tujuh puluhan. Kebijakan ini berisi sembilan

elemen dasar yaitu pertama, hanya ada ‘satu Cina’, Taiwan merupakan bagian

dari Tiongkok serta tidak akan menjadi negara yang merdeka. Kedua,

reunifikasi Taiwan dengan Tiongkok adalah hal mutlak, semakin cepat

prinsip ‘Satu Cina’ tercapai akan lebih baik. Ketiga, reunifikasi harus terjadi

dalam formula satu negara dua sistem dimana Taiwan diizinkan untuk

mempertahankan sistem politik, ekonomi, dan militer dengan syarat adanya

pengakuan dari Taipei bahwa pemerintah Tiongkok sebagai pemerintah

tunggal.40

38 Qingguo Jia. From Self-imposed Isolation to Global Cooperation: The Evolution of ChineseForeign Policy Since the 1980s. Hal. 170. Diakses dari http://library.fes.de/pdf-files/ipg/ipg-1999-2/artjia.pdf pada Selasa,11 November 2014.

39 Wang Yizhou. 2003. Quanqiu zhengzhi he zhongguo wai jiao (Global politics and Chineseforeign policy). Beijing: World Knowledge Press. Hal. 51-52.

40 Ralph N. Clough. 1993. Reaching Across the Taiwan Strait: People to People Diplomacy.Colorado: Westview Press. Hal. 126.

29

Keempat, perundingan reunifikasi harus dimulai sesegera mungkin.

Kelima, perundingan reunifikasi dapat dilakukan dengan perwakilan dari

Partai Nasionalis (KMT) dan Partai Komunis Tiongkok (PKT), tetapi tidak

boleh menggunakan perwakilan dari Beijing dan Taipei sebagai dua

pemerintahan yang sama karena bagi Tiongkok, Taiwan hanyalah pihak yang

berwenang yang mengelola suatu provinsi.41

Keenam, kedua belah pihak harus mempromosikan interaksi people to

people untuk mempersiapkan proses reunifikasi secara halus. Ketujuh,

kebijakan three link diperlukan untuk memfasilitasi interkasi kedua belah

pihak secara langsung. Kedelapan, meskipun Tiongkok melaksanakan proses

reunfikasi secara damai tetap memiliki kewenangan untuk menggunakan

kekuatan mlilter terhadap Taiwan jika diperlukan. Hal ini bertujuan untuk

mencegah Taiwan memisahkan diri secara permanen dari Tiongkok.

Kesembilan, hanya Tiongkok yang berhak mewakili Tiongkok dalam dunia

internasional sehingga Taiwan hanya dapat memiliki hubungan budaya dan

ekonomi dengan negara-negara asing bukan hubungan sebuah hubungan

diplomatik.42

Elemen kunci dari politik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan dapat

disimpulkan meliputi keamanan nasional, menjaga kedaulatan nasional dan

integritas wilayah, menjamin adanya kelanjutan dalam pembangunan

ekonomi dan sosial. Hal ini menekankan bahwa inti kepentingan nasional

41 Ibid.42 Ibid.

30

Tiongkok mirip dengan kepentingan nasional yang ingin dicapai setiap

negara berdaulat yang ingin menjaga keutuhan wilayahnya.

1. Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Taiwan Pada Masa Presiden

Mao Zedong (1949-1976)

Politik luar negeri Tiongkok pada masa pemerintahan Mao Zedong

tidak lepas dari adanya pengaruh sejarah modern Tiongkok. Hal ini

bermula pasca runtuhnya Dinasti Manchu (Qing) dan berakhirnya Perang

Sipil. Berdirinya RRT diproklamirkan oleh Mao Zedong pada 1 Oktober

1949 setelah kemenangan Partai Komunis Tiongkok (PKT) melawan

Kuomintang (KMT). PKT yang telah berhasil menguasai seluruh daratan

Tiongkok, sedangkan KMT kalah dan menduduki pulau Formosa atau

Taiwan.43 Sejak saat itu, masalah kedaulatan dan integritas nasional

Tiongkok dalam menghadapi Taiwan menjadi fokus perhatian Mao

dalam masa kepemimpinannya.

Pada Era Mao Zedong, perumusan kebijakan Tiongkok terhadap

Taiwan disesuaikan dengan situasi politik baik didalam maupun diluar

Tiongkok saat itu. Konflik yang berakar dari Perang Sipil pada tahun

1946-1949 membuat hubungan Tiongkok dan Taiwan semakin menegang.

Ketegangan tersebut ditambah dengan munculnya Amerika Serikat dalam

konflik ini, membuat Tiongkok mengupayakan adanya reunifikasi dengan

Taiwan untuk menjaga integritas wilayah Tiongkok dan menggunakan

People Liberations Army (PLA) sebagai ancaman perang terhadap

43 Umar Suryadi Bakri. 1997. China Quo Vadis?: Pasca Deng Xiaoping. Jakarta: Pustaka SinarHarapan. Hal 1.

31

Taiwan.44 Hal ini menjelaskan politik luar negeri Tiongkok terhadap

Taiwan hingga tahun 1966 dimana bentrokan bersenjata dalam skala kecil

sering terjadi.

Setelah Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengalahkan

Kuomintang (KMT) dalam Perang Sipil, keduanya terikat dalam hubungan

lintas selat yang kontroversional. PKT menggunakan PLA untuk

membersihkan Tiongkok dari sisa pasukan KMT yang mengalami

kekalahan dalam Perang Sipil. PKT beserta Pemimpin Tiongkok mulai

menyiapkan kebijakan pembebasan Taiwan45 sehingga Tiongkok dan

Taiwan dapat mewujudkan unifikasi dibawah rezim PKT.

Untuk mendukung kebijakannya dalam merebut wilayah Taiwan,

Mao memberikan perhatian khusus terhadap bantuan dari negara sekutu

Komunisnya yaitu Uni Soviet (Rusia). Hal ini didukung dengan adanya

kunjungan rahasia yang dilakukan oleh Liu Shaoqi (Chairman of the

National People’s Congress Standing Committee) ke Moskow.46 Pihak

Tiongkok dan Uni Soviet membuat kesepakatan, setelah Uni Soviet

memberikan bantuan militer udara dan laut maka Uni Soviet memberikan

dukungan kepada PKT dalam kampanye dukungan untuk PLA dalam

mengatasi masalah dengan Taiwan.

Selain Rusia, campur tangan Amerika Serikat membuat Mao juga

menetapkan prinsip dua arah dalam politik luar negeri Tiongkok dalam

44 Chen Jian. 2001. Mao’s China and The Cold War. London: The University of North CarolinaPress. Hal 165.

45 Ibid.46 Ibid.

32

menangani masalah Taiwan. Hal itu dilakukan Mao untuk menjawab

tuntutan Amerika Serikat bahwa permasalahan Taiwan harus diselesaikan

secara damai. Mao mencegah agar tidak terjadi perang dengan Amerika

Serikat. Adapun urusan Taiwan dianggap sebagai urusan internal.

Negosiasi dapat dilakukan tetapi menurut Mao cara militer dapat menjadi

inti dari kebijakan Tiongkok terhadap Beijing. Visi Mao terhadap Taiwan

tidak terbatas pada pengaturan geografis Selat Taiwan. Perhatian utamanya

bagaimana memainkan peran Tiongkok pada kekuatan Perang Dingin,

tidak hanya sekedar reunifikasi melalui kebijakan militer. 47

Usaha Mao dalam melawan pengaruh Amerika di Taiwan

memiliki tujuan untuk mengurangi kesempatan bagi Taiwan untuk

bekerjasama dengan Amerika serikat.48 Meskipun Mao gagal dalam

mewujudkan tujuan nasional Tiongkok dalam bentuk penyatuan wilayah

dengan Taiwan tetapi rencana Mao untuk melemahkan pengaruh Amerika

Serikat di Kawasan Asia Timur cukup berhasil.

Pada tahun 1971 Majelis Umum PBB mengakui Tiongkok untuk

mewakili Cina di PBB. Selama dua puluh tahun (1950-1970) Taiwan telah

mengupayakan hubungan diplomatik yang intensif untuk tetap

mempertahankan posisinya dalam PBB. Tujuan Taiwan memasuki PBB

sebelumnya adalah untuk memperluas hubungan diplomatik dan

47 Ibid48 Joseph Y. S. Cheng. 1998. China in the Post-Deng Era. Hongkong: The Chinese University

Press. Hal. 255-230.

33

memperluas pengaruh Taiwan terhadap negara-negara di dalam organisasi

tersebut.49

Bagi Mao, strategi militer yang baik adalah selalu melihat

kesempatan menguntungkan dan mengambil inisiatif untuk melawan

musuh.50 Tiongkok menyadari bahwa Taiwan tidak mampu melawan

militer Tiongkok tanpa adanya bantuan dari militer Amerika Serikat.

Sehingga Tiongkok ikut serta dalam Perang Korea yang memungkinkan

Mao berkerja sama dengan Komunis di Korea dan memiliki bantuan

perlindungan Komunis dari Rusia.

Terdapat tiga tujuan dari politik luar negeri Tiongkok terhadap

Taiwan pada masa pemerintahan Mao Zedong yang dirangkum secara

keseluruhan. Pertama, untuk menjaga keamanan nasional yang diraih oleh

Tiongkok pasca Perang Sipil. Kedua, untuk menjamin kedaulatan negara.

Ketiga untuk meningkatkan status internasional Tiongkok.51 Dapat

disimpulkan kebijakan Mao adalah untuk state survival atau pertahanan

suatu negara dan lebih berorientasi pada keamanan. Politik luar negeri

Tiongkok dibawah Mao Zedong berpusat pada tujuan sebagai berikut

pertama, untuk menjaga keamanan nasional. Kedua untuk menjamin

kedaulatan Tiongkok dan integritas teritorial. Ketiga untuk meningkatkan

status Tiongkok dalam politik internasional.

49 Yu San Wang, (ed). 1990. Foreign Policy of the Republic of China on Taiwan: An UnorthodoxApproach. New York. Praeger Publishers. Hal. 8.

50 Ibid. Hal. 250.51 Harish Kapur (ed.). 1985. The End of and Isolation: China After Mao. Dordrecht: Martinus

Nijhoff Publishers. Hal. 167-201.

34

2. Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Taiwan Pada Masa Presiden

Deng Xiaoping (1978-1997)

Berakhirnya masa pemerintahan Mao Zedong pada akhir tahun

1970an, PKT membuat pergantian kebijakan yang cukup signifikan.

Sebelumnya masa pemerintahan Mao Zedong memiliki kebijakan

pembebasan Taiwan yang secara keseluruhan menggunakan cara yang

keras dan tegas pada pelaksanaannya. Untuk masa pemerintahan Deng

Xiaoping, pemerintahan Tiongkok memberikan perhatian pada kebijakan

baru yaitu reunifikasi secara damai.52

Tujuan kebijakan Deng terhadap Taiwan tidak berubah namun

pendekatan kebijakannya sangat jauh berbeda dari Mao Zedong. Mao lebih

berorientasi dengan cara militer sedangkan Deng menjadikan ekonomi dan

perdagangan sebagai alat untuk mencapai unifikasi dengan Taiwan.53

Dengan kebijakan terbuka, Deng memberikan lingkungan usaha yang

komprehensif dan kompetitif bagi Hongkong, Makau dan Taiwan.

Secara keseluruhan Deng cukup berhasil dalam menggunakan

kebijakan terbuka untuk menarik Taiwan. Kebijakan ini lebih

mengedepankan pada kerjasama ekonomi daripada konfrontasi militer dan

mengutamakan integrasi kekuatan pada pasar. Kelemahan kebijakan

terbuka terletak pada paham Leninisme yang dipegang oleh Deng

52 Sean Coney. 1997. Why Taiwan is Not Hongkong: A Review of The PRC’s “One Country TwoSystems” Model for Reunification with Taiwan. Pacific Rim Law & Policy Journal Vol. 6.No. 3.Hal 503.

53 Op. Cit. Cheng.

35

Xiaoping. Dalam konstitusi Tiongkok, tidak diijinkan adanya liberalisme

dan kelonggaran dalam kontrol politik.54

Menurut Partai Komunis Tiongkok (PKT), Hongkong, dan

Taiwan adalah wilayah Tiongkok yang harus dikembalikan. Dalam pidato

majelis kader partai, Deng Xiaoping mengidentifikasikan tiga tujuan

utama politik luar negeri Tiongkok yaitu penangkalan hegemonisme,

unifikasi dan modernisasi ekonomi. Tiga tujuan tersebut juga dianggap

sebagai tiga prioritas nasional Tiongkok pada tahun 1980an.55 Oleh karena

itu, setiap pemimpin Tiongkok mengupayakan untuk tercapainya tiga

tujuan tersebut dimana salah satunya adalah unifikasi dengan Taiwan.

Upaya yang dilakukan oleh pemimpin Tiongkok agar dapat

mewujudkan unifikasi damai dengan Taiwan salah satunya dengan

menggunakan kebijakan One Country Two Sytem (OCTS) atau satu

negara dengan dua sistem merupakan dasar kebijakan Tiongkok yang

dirumuskan oleh Deng Xiaoping untuk mencapai mencapai unifikasi

dengan damai dan memecahkan masalah kedaulatan Hongkong, Macau

dan Taiwan yang ditimbulkan oleh latar belakang sejarah.

Kebijakan ini berawal dari sidang paripurna ketiga komite sentral

kesebelas PKC yang diselenggarakan di Beijing pada tanggal 18 Desember

tahun 1978. Sidang tersebut mengusung tiga misi penting dalam politik

luar negeri Tiongkok yaitu pertama membangun perdamaian dunia, kedua

54 Ibid.55 Parris H. Chang. 2014. Beijing’s Unification Strategy toward taiwan and Cross-Strait Relations.

The Korean Journal of Defense Analysis Vol. 26 No. 3. Hal. 300. Penulis mengutip dari DengXiaoping’s Selected Works 1975–1982. 1983. Beijing: People’s Publishing House. Hal. 203.

36

mencapai reunifikasi nasional, ketiga mempercepat modernisasi di empat

bidang yaitu industri, pertanian, pertahanan, ilmu pengetahuan dan

teknologi. Pada tanggal 11 Januari 1982, Deng Xiaoping pertamakali

mengajukan gagasan untuk pemecahan masalah Taiwan dengan sebuah

konsep satu negara dua sistem.56

Posisi pemerintah Tiongkok pada kebijakan One Country Two

System (OCTS) ini didukung dengan kemunculan buku putih Tiongkok

tentang pertanyaan Taiwan dan unifikasi. Pada bagian tiga buku putih

tersebut menegaskan posisi Tiongkok pada kebijakan reunifikasi secara

damai; one country two systems (OCTS). Pertama, hanya ada satu Cina.

Dimana Taiwan merupakan bagian dari Tiongkok. Pusat pemerintahan

Tiongkok berada di Beijing dan otoritas di Taipei bukanlah legitimasi dari

pemerintah Tiongkok. PRC menentang adanya model “Two China’s”

(Daratan sebagai Tiongkok sedangkan Taiwan adalah wilayah yang

terpisah dari Tiongkok); OCTS merupakan satu Cina dengan satu

pemerintahan di Beijing dan pemerintahan yang terpisah di Taiwan kedua

meskipun hanya ada satu Tiongkok sangat memungkinkan bagi

masyarakat sosialis dan kapitalis untuk hidup berdampingan di dalamnya

ketiga setelah reunifikasi, Taiwan akan menikmati otonomi tingkat tinggi

sebagai daerah administratif khusus. Hal tersebut memiliki kekuatan baik

dari segi administratif maupun legislatif yang terdiri dari peradilan yang

56 Drafting and Promulgation of the Basic Law and Hongkong’s Reunification with theMotherland. Diakses darihttp://www.basiclaw.gov.hk/en/publications/book/15anniversary_reunification_ch1_1.pdf padaSenin, 23 Februari 2015.

37

independen dan dapat menjalankan urusan partai, politik,militer, ekonomi

dan keuangannya sendiri. Akan tetapi daerah administrasi khusus ini akan

terbatas pada hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Jika hal

tersebut terjadi pemerintah Taiwan harus membicarakan kepada

pemerintah pusat di Beijing keempat hubungan ekonomi dan lainnya

antara Tiongkok harus dengan cepat memperluas menjadi negosiasi

terhadap proses reunifikasi.57

Sejak Deng Xiaoping menetapkan kebijakan reformasi dan

keterbukaan pada era 1970an, Tiongkok sedang menuju ke arah politik

luar negeri yang berbeda dengan masa pemerintahan Mao Zedong. Dengan

kebijakan ini Deng Xiaoping telah memberikan kontribusi besar bagi

perkembangan politik luar negeri Tiongkok. Setelah kebijakan ekonomi

tahun 1989, Deng Xiaoping mengeluarkan kebijakan keep a low profile

yang berfokus pada upaya mengakhiri campur tangan asing dalam politik

luar negeri Tiongkok seperti campur tangan Amerika dalam masalah

Taiwan.58 Hal ini dilakukan Deng untuk mengamankan situasi Tiongkok

dalam lingkungan internasional.

Dalam politik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan pada masa

pemerintahan Deng Xiaoping terdapat dua prioritas, pertama untuk

mempertahankan situasi internasional yang damai dengan mewujudkan

“empat modernisasi”, kedua untuk mendorong terwujudnya tatanan politik

57 Op. Cit. Coney. Hal. 504.58 Chen Zimin. International Responsibility and China’s Foreign Policy. Diakses dari

www.nids.go.jp/english/publication/joint_research/series3/pdf/3-1.pdf pada Kamis 26 Februari2015.

38

dan ekonomi internasional yang baru.59 Dalam dua prioritas tersebut, Deng

juga menekankan pada penyatuan kembali Taiwan ke dalam wilayah

Tiongkok. Dalam pidato pembukaan di Kongres Nasional Ke-12

Communist Party of China (CPC) pada tahun 1982, Deng menyatakan

untuk meningkatkan modernisasi sosialis, berjuang untuk penyatuan

Tiongkok terutama pengembalian Taiwan ke Tiongkok, menentang

hegemonisme, bekerja untuk menjaga perdamian dunia. Hal ini merupakan

tiga tugas utama yang dilakukan di tahun 1980an. Konstruksi ekonomi

merupakan inti dari tugas-tugas ini yang menjadi dasar untuk solusi atas

permasalahan internal dan eksternal kami.60

Dalam hal ini strategi politik luar negeri Tiongkok pada masa

pemerintahan Deng Xiaoping berorientasi pada modernisasi Tiongkok.

Modernisasi yang dilakukan oleh Deng juga bertujuan untuk mengisolasi

Taiwan untuk berpartisipasi dalam organisasi internasional. Tiongkok

dibawah kekuasaan Deng merupakan negara yang berusaha untuk

mengembangkan kekuatannya secara pragmatis, menyeimbangkan

keinginan, mendorong usaha dan inisiatif untuk diarahkan pada

pencapaian tujuan nasional secara cepat dan semulus mungkin.61

59 Joseph Y. S. Cheng. 1989. The Evolution of China Foreign Policy in the Post-Mao Era: FromAnti-Hegemony to Modernization Diplomacy, in China: Modernization in the 1980’s “Zhongguode ‘Xiandaihua’ Wiajiao Zhengce”. Hongkong: Chinese University Press. Hal. 3-66.

60 Robert Maxwell (ed). 1984. Deng Xiaoping: Speeches and Writings. New York: Pergamon. Hal.87.

61 Paul Kennedy. 1987. The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and MilitaryConflict from 1500 to 2000. New York: Random House. Hal. 447.

39

3. Politik Luar Negeri Tiongkok Terhadap Taiwan Pada Masa Presiden

Jiang Zemin (1995-2002)

Jiang Zemin terpilih menjadi Presiden Tiongkok generasi ketiga

pada Maret 1993 dan sebagai Ketua Komisi Militer Pusat atau Central

Military Commission (CMC). Terpilihnya Jiang Zemin karena prestasi

yang luar biasa, kemampuan, dan dukungan dari pendahulunya yaitu Deng

Xiaoping. Lahir pada 17 Agustus 1926 di Yangzhou, sebuah kota budaya

yang terkenal di Provinsi Jiangsu, Tiongkok. Jiang melanjutkan

pendidikannya hingga berkuliah di Shanghai Jiaotong University.62

Jiang Zemin lahir dari keluarga intelektual dan lulus insinyur

kelistrikan di Shanghai Jiaotong University. Sebelumnya Jiang pernah

bekerja di sebuah pabrik mobil di Uni Soviet dan sebagai diplomat di

Rumania pada tahun 1950an. Jiang pernah menjabat sebagai menteri yang

bertanggungjawab atas industri elektronik, walikota dan ketua partai di

Shanghai.63

Dengan latar belakang karir politik tersebut, pergantian politik

pada masa Jiang telah dikelola oleh institusi. Kurangnya kontribusi

kebijakan yang revolusioner dan pengalaman militer, membuat Jiang

harus beralih ke faktor institusional untuk pergantian politik di Tiongkok.

Tidak seperti Mao Zedong dan Deng Xiaoping, Jiang memiliki waktu

62 People’s Daily Online. Jiang Zemin Biography. Diakses darihttp://en.people.cn/leaders/jzm/biography.htm pada Minggu, 22 Maret 2015.

63 British Broadcasting Corporation (BBC). Jiang Zemin’s Profile. Diakses darihttp://www.bbc.com/news/world-asia-China-20038774 pada Minggu, 29 Maret 2015.

40

yang lebih singkat dan mudah saat pergantian politik.64 Jiang Zemin

hampir tidak memiliki hambatan sebagai penerus baru setelah Deng

Xiaoping.

Kemudahan Jiang dalam menangani proses pergantian politik di

Tiongkok dikarenakan adanya sejumlah kelonggaran pada institusi yang

mengatur pergantian politik tersebut seperti pertama, para anggota dalam

Politburo dan posisi atas pada institusi di Tiongkok akan pensiun pada

umur 70 tahun. Kedua, terdapat dua pembagian kekuasaan besar di

Tiongkok yaitu partai dan posisi kenegaraan seperti presiden, sekretaris

jenderal. Ketiga, kriteria untuk memasuki institusi yang bias, jika anggota

muda dan berpendidikan akan langsung dibawa ke Politburo pada setiap

kongres dan akan dipertimbangkan untuk menjadi generasi penerus dari

kepemimpinan di Tiongkok.65

Dari kekurangan latar belakang Jiang sebagai pemimpin, terlihat

pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Jiang termasuk kebijakan

dalam mengelola hubungan dengan Taiwan. Pada tahun 1995, Jiang Zemin

mengeluarkan sebuah formula untuk melanjutkan strategi Deng Xiaoping

dalam mewujudkan reunifikasi yang damai dengan Taiwan yaitu Jiang

Zemin Eight Point atau delapan poin Jiang Zemin. Kebijakan ini menjadi

pedoman dasar untuk hubungan lintas-selat pasca pemerintahan Deng

Xiaoping. Meskipun kebijakan ini didasari oleh ide Deng Xiaoping, tetapi

64 Jhon Wong dan Yongnian Zheng (ed). 2002. Post Jiang Leadership Succession: Problems andPerspective. Singapore: Singapore University Press. Hal. 5-6.

65 Ibid.

41

pada era Jiang Zemin, kebijakan ini lebih mengedepankan bagaimana

menuntun diskusi lintas-selat menuju reunifikasi.66

Kebijakan delapan poin Jiang Zemin dapat dijelaskan sebagai

berikut pertama, menggunakan prinsip ‘Satu Cina’ merupakan dasar dan

prasyarat reunifikasi secara damai. Kedua, Tiongkok tidak keberatan

terhadap perkembangan hubungan non-pemerintah dalam bidang ekonomi

dan budaya antara Taiwan dengan negara-negara lain. Ketiga, konsistensi

bagi pihak Tiongkok untuk mengadakan negosiasi dengan otoritas Taiwan

pada dalam hal reunifikasi. Keempat, pihak Tiongkok akan

mengupayakan pencapaian reunifikasi secara damai, dan berjanji tidak

akan menggunakan kekuatan atau kekerasan, jika kekerasan tersebut

terpaksa digunakan, semata untuk diarahkan untuk melawan pasukan asing

yang ikut campur dalam reunifikasi Tiongkok dan untuk ‘kemerdekaan

Taiwan’.67

Kelima, tertantang dengan pembangunan ekonomi di abad 21,

konflik antara Tiongkok dan Taiwan tidak akan mempengaruhi pertukaran

ekonomi dan kerjasama lintas selat. Keenam, menjaga budaya yang telah

ada selama 5.000 tahun dari semua etnis dan kelompok yang berada di

Tiongkok dan Taiwan. Ketujuh, menjaga, melindungi sekaligus

menghormati hak dan kepentingan 21 juta orang Taiwan baik yang lahir

disana maupun di provinsi lain. Kedelapan, Tiongkok menyambut

66 David Lampton (ed). 2001. The Making of Chinese Foreign and Security Policy in the Era ofReform, 1978-2000. Standford: Standford University Press. Hal. 313.

67 People’s Daily Online. Jiang Zemin’s Eight Proposal. Diakses darihttp://en.people.cn/90002/92080/92129/6271625.html pada Rabu, 1 Juli 2015.

42

kunjungan dari pihak Taiwan dalam statusnya yang tepat begitupun

sebaliknya baik untuk mendiskusikan urusan negara atau diskusi mengenai

isu-isu tertentu maupun kunjungan sederhana.68

Terdapat beberapa pertimbangan yang signifikan terkait kebijakan

delapan poin Jiang Zemin yaitu pertama, kebijakan tersebut mendapat

persetujuan resmi dari politburo, sehingga proposal tersebut mendapat

dukungan politik yang kuat. Kedua proposal tersebut telah memiliki

penyesuaian strategis terhadap pendekatan Beijing dengan Taiwan.

Meskipun mempertahankan rumus satu negara dua sistem dari Deng

Xiaoping, proposal ini telah menekankan pada usulan yang konkrit seperti

KTT lintas selat. Ketiga, proposal tersebut menyarankan bahwa Jiang siap

untuk melakukan tawar-menawar politik. Keempat, proposal tersebut

mencerminkan pola baru bagi Tiongkok dalam mengatasi politik domestik

di Taiwan.69

Pada tahun setelahnya, Tiongkok dikejutkan dengan kebijakan tak

terduga dari Amerika Serikat untuk memberikan Presiden Taiwan Lee

Teng-hui visa yang memungkinkan dirinya untuk melakukan kunjungan

pribadi ke Universitas Cornell pada bulan Juni 1995. Jiang Zemin

mengubah kebijakan reunifikasi dengan Tiongkok yang didukung oleh

partai dan PLA. Kebijakan militer pun digunakan oleh Tiongkok guna

meredam dukungan pro-kemerdekaan dari Taiwan ataupun Amerika

68 Ibid.69 Hung-mao Tien dan Yun-han Chu (ed). 2000. China Under Jiang Zemin. United States of

America: Lynne Rienner Publisher. Hal. 207.

43

Serikat. Manuver militer dan tiga kali uji coba rudal ini ditujukan untuk

mengintimidasi dan mempengaruhi hasil pemilihan presiden Taiwan.

Serangan militer sejauh 30 mil pada awal bulan Maret 1996 menargetkan

Keelung dan Kaohsiung yang merupakan pelabuhan utama di Taiwan.70

Kesimpulan dari penjelasan diatas, pada masa pemerintahan

Jiang Zemin, kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan cenderung lebih tegas

dan keras, seperti ancaman militer (wengong wuhe) yang menimbulkan

krisis lintas selat. Sedangkan pada periode selanjutnya Tiongkok

memberikan penekanan lebih besar pada kebijakan yang terkait pada

hubungan kekuatan besar guna memberikan pengaruh dan tekanan kepada

pihak Amerika. Selain dua strategi ini, Jiang Zemin juga mengambil

kebijakan lain untuk memperkuat pertukaran dagang yaitu kebijakan

untuk menggunakan orang, individu atau bisnis untuk menekan dan

membatasi pemerintah Taiwan. Dari keseluruhan kebijakan yang

dikeluarkan oleh Presiden Jiang Zemin tersebut dinilai kurang efektif

untuk mencapai unifikasi. Sebaliknya penerapan militer dan kekerasan

dalam kebijakan Tiongkok meningkatkan kesenjangan hubungan antara

Tiongkok-Taiwan.

Adanya studi yang mempelajari kebijakan yang dikeluarkan

Tiongkok pada masa krisis dengan beriorientasi pada kebijakan militer,

terutama pada masa pemerintahan Presiden Jiang Zemin. Krisis di Selat

Taiwan yang terjadi pada tahun 1995-1996 menunjukkan adanya orientasi

70 Jean Pierre Cabestan. 1995. “Mainland Missileand the Future of Taiwan and Lee Teng-hui”.China Perpective. Hal. 43.

44

militer sebagi respon terhadap kebijakan dari pemerintah Taiwan.

Mengamati bahaya dari kepemimpinan Tiongkok yang memuja pertahanan

demi keamanan negara atau yang disebut konsep “cult defense”.71

Penggunaan militer dalam kebijakan Tiongkok tersebut karena

munculnya sebuah rasa tidak aman yang berasal dari sejarah negara

Tiongkok salah satunya adalah abad penghinaan atau century of

humiliation. Rasa ketidakamanan tersebut memicu pemimpin Tiongkok

untuk merespon lingkungan internasional secara berlebihan dan negatif

dan menyebabkan pemimpin tersebut merasionalisasi penggunaan

kekuatan militer sebagai pertahanan negara.72

71 Vincent Wei-Cheng Wang. 2007. The Chinese Military and the Taiwan Issue: How ChinaAssesses Its Security Environment. Southeast Review of Asian Studies Vol. 29. University ofRichmond. Hal. 125

72 Ibid.

45

BAB III

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP

UPAYA KEMERDEKAAN TAIWAN PADA

MASA PRESIDEN HU JINTAO (2003-2013)

Dalam politik luar negeri terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

proses pengambilan keputusan. Howard Lentner mengklasifikasikan faktor-faktor

tersebut menjadi dua kelompok yaitu faktor domestik atau internal dan faktor luar

negeri atau eksternal.73 Sementara James Rosenau menyarankan para penstudi

kebijakan luar negeri untuk menggunakan metode cluster of input dengan memilih

dan menggabungkan faktor mana yang paling penting serta patut diberi perhatian

dalam menjelaskan politik luar negeri suatu negara.74

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa faktor internal dan

faktor eksternal yang paling dominan untuk menjelaskan latar belakang politik

luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Hu

Jintao periode 2003-2013. Faktor internal tersebut diantaranya politik domestik

Tiongkok, faktor ekonomi Tiongkok terhadap Taiwan, dan idiosinkretik

pemimpin Tiongkok yaitu Presiden Hu Jintao. Sedangkan faktor eksternal

diantaranya adalah dukungan Amerika Serikat terhadap Taiwan serta masuknya

Taiwan sebagai anggota WTO.

73 Howard Lentner. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach.Ohio: Bill and Howell Co. Hal. 105-171.

74 James N. Rosenau, Gavin Boyd dan Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: AnIntroduction. New York: The Free Press. Hal. 18.

46

A. Faktor Internal

1. Perubahan Sistem Politik Domestik Tiongkok

Politik domestik memiliki pengaruh bagi kepentingan nasional

yang menjadi landasan dalam perumusan kebijakan luar negeri. Dalam hal

ini, politik domestik Tiongkok meliputi berbagai elemen seperti, sistem

pemerintahan, lembaga-lembaga dan kelompok elit yang terdapat dalam

negara tersebut.75 Elemen-elemen yang terdapat dalam politik domestik

tersebut yang kemudian menentukan ruang lingkup dalam pengambilan

keputusan kebijakan luar negeri.

Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah menjadi partai tunggal yang

memiliki kekuasaan politik di Tiongkok sejak 1949. Untuk menjaga

kekuasaan partai atas negara dan masyarakat, Tiongkok merancang sistem

politik dimana partai sangat dilibatkan dengan urusan negara. Hal tersebut

dibuktikan dengan adanya dewan negara yang merupakan anggota dari

partai sehingga setiap anggota partai yang terpilih diberikan posisi-posisi

penting pula dalam struktur pemerintahan.

Ketentuan utama dalam sistem politik Tiongkok sesuai konstitusi

bahwa PKT adalah satu-satunya partai politik yang memiliki kekuasaan

tertinggi. Dengan menggunakan sistem sosialis, semua hak-hak rakyat

berada dibawah kekuasaan negara yang dijalankan melalui kongres rakyat

75 Jeremy Patiel. 2010. Structure and Process in Chinese Foreign Policy: Implications for Canada.China Papers No.8. Canadian International Council (CIC).

47

nasional. Prinsip partai adalah sentralisme demokrat yang berarti

pembentukan aspirasi dari atas (partai) ke bawah (masyarakat).76

Situasi politik dalam kepemimpinan PKT juga mampu menentukan

evolusi kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan. Dalam konsep politik

domestik Tiongkok yang berkaitan dengan partai, figur kepemimpinan

dalam partai memiliki tingkat pengaruh yang lebih dominan. Hal ini

dikarenakan pimpinan partai memiliki peran sebagai pemimpin negara

sekaligus militer yang memberikan dasar pada stabilitas politik dan

keamanan luar negerinya.77

Gambaran politik domestik Tiongkok dimulai dengan adanya

lembaga-lembaga politik seperti Partai Komunis Tiongkok (PKT), Central

Military Comission (CMC) atau Komisi Dewan Pusat, Dewan Negara

yang merupakan perwakilan dari PKT dan Kongres Rakyat Nasional

sebagai badan legislatif unikameral.78 Lembaga-lembaga tersebut turut

berperan dalam proses pengambilan keputusan seperti penyusunan serta

pelaksanaan kebijakan-kebijakan di Tiongkok.

Tiongkok memiliki sistem unikameral, dimana kekuasaan tertinggi

lainnya berada pada National People’s Congress (NPC) atau kongres

rakyat nasional yang sangat dipengaruhi oleh kekuasaan dari PKT.

Menurut pasal 57 konstitusi Tiongkok, “kongres rakyat nasional adalah

76 The Constitutional System. Diakses dari http://www.china.org.cn/english/Political/26143.htmpada Sabtu, 17 Oktober 2015.

77 Michael D. Swaine. 1995. China Domestic Change and Foreign Policy. National DefenceResearch Institute (RAND). Hal.3

78 Susan V. Lawrence dan Michael F. Martin. 2013. Understanding China’s Political System.Congressional Research Service (CRS). Hal.1.

48

organ tertinggi kekuasaan negara”.79 Pada setiap kongresnya, para delegasi

yang mengikuti NPC memilih anggota komite sentral yang baru. Pada

pertemuan komite sentral yang disebut “plenum”, mereka memilih 25

anggota dari politbiro. Dari 25 anggota tersebut terdapat 7 anggota elit dari

komisi tetap politbiro. Selanjutnya dari 7 anggota tersebut terdapat

sekretaris jenderal sebagai pemimpin tertinggi partai dan negara.80 Struktur

yang ada di dalam partai tersebut memiliki peran yang sama dalam

pemerintahan. Karena Tiongkok memiliki sistem politik yang

menggabungkan peran partai dengan negara.

Fungsi dari kongres adalah pertama, untuk mendengar dan

memeriksa laporan dari komisi pusat. Kedua, untuk mendengar dan

memeriksa laporan dari Central Comission for Discipline Inspection atau

komisi pusat untuk inspeksi kedisplinan. Ketiga, untuk membahas dan

memutuskan isu-isu utama dari partai. Keempat, untuk merevisi konstitusi

partai. Kelima, untuk memilih Komisi Pusat. Keenam, untuk memiliki

Komisi Pusat Untuk Inspeksi Kedisplinan.81

Selain itu NPC juga memilih anggota Komisi Pusat, Komisi Pusat

Untuk Inspeksi Kedisplinan. Setelah itu, Komite Pusat memilih anggota

Politburo, Komite Tetap, CMC dan juga sekretaris jenderal dimana posisi

tersebut merupakan posisi tertinggi di PKT. Secara praktek, proses dalam

79 Kerry Dumbaugh dan Michael F. Martin. 2009. Understanding China’s Political System.Congressional Research Service (CRS). Hal. 2.

80 Susan V. Lawrence. 2013. China’s Political Institutions and Leaders in Charts. CongressionalResearch Service (CRS). Hal. 4.

81 China Internet Information Center. China Political System. Diakses darihttp://www.china.org.cn/english/Political/26151.htm pada Kamis, 28 Januari 2016.

49

sistem ini memiliki arah dari atas ke bawah bukan dengan arah bawah ke

atas. Arah tersebut menjelaskan bahwa posisi tertinggi dari partai dipilih

oleh NPC yang berada di bawah alur dari posisi sekretaris jenderal.82

Selain NPC, Politburo Standing Committee (PSC) atau Komisi

Tetap Politbiro merupakan pusat pengambilan keputusan PKT pada semua

isu dan terkait kebijakan utama. Anggot PSC terdiri dari sembilan orang

yaitu Hu Jintao (CCP General Secretary, PRC President, CMC

Chairman), Wu Bangguo (Chairman of NPC), Wen Jiaobao (Premiere,

State Council), Jiang Qinglin (Chairman, Chinese People’s Political

Consultative Conference), Zeng Qinghong (Executive Secretary, CC

Secretariat, Central Party School), Huang Ju (Executive Vice Premiere,

State Council), Wu Guangzheng (Chairman, Central Discipline Inspection

Commision), Li Changchun, Luo Gan.83 Anggota PSC termasuk

didalamnya Hu Jintao yang memiliki posisi sekretaris jenderal, Presiden

Tiongkok sekaligus pemimpin militer sehingga dapat mempengaruhi

perumusan kebijakan luar negeri.

Penjelasan diatas mendukung adanya struktur partai yang sejajar

dengan negara dan proses pembuatan keputusan yang terpusat pada

pemimpin tertinggi partai serta mengikat kepada anggota partai. Tiap

anggota partai wajib untuk melaksanakan kebijakan serta orientasi partai.

82 William A. Joseph. 2014. Politics In China: An Introduction. New York: Oxford UniversityPress. Hal 196.

83 Alice Miller. The Politburo Standing Committee Under Hu Jintao. China Leadership MonitorNo. 35. Hal. 3. Diakses darihttp://media.hoover.org/sites/default/files/documents/CLM35AM.pdf pada Kamis, 28 Januari2016.

50

Hal ini telah dijelaskana dalam konstitusi Tiongkok bahwa “partai

merupakan pusat dari kepemimpinan di seluruh Tiongkok”.84 Melalui

sistem ini dijelaskan bahwa institusi pemerintahan di Tiongkok berfungsi

untuk menjalankan kebijakan partai. PKT yang berfungsi untuk

mengawasi dan mengarahkan jalannya pemerintahan melalui sistem

tersebut.

Perubahan sistem politik domestik tersebut dipengaruhi dengan

adanya perkembangan reformasi ekonomi yang telah lebih dahulu

dilakukan oleh Deng Xiaoping yaitu kebijakan pintu terbuka (open door

policy). Seiring dengan perkembangan ekonomi tersebut perlahan

Tiongkok melakukan reformasi politik yang lebih mengarah pada

keterbukaan. Hal ini didukung dengan adanya penerapan dari democratic

centralism dimana Tiongkok mulai terbuka dengan badan organisasi partai

lainnya dalam pembuatan keputusan dan menggabungkan sistem

kepemimpinan kolektif dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri.

Perubahan sistem dalam PKT juga didukung dengan adanya

sipilisasi dan spesialisasi yaitu perubahan pada kepemimpinan partai. Hal

tersebut, didukung dengan adanya gelombang perubahan pada generasi di

Tiongkok yang dibagi menjadi tiga yaitu pertama generasi tahun 1980an

yang aktif melakukan pertukaran ilmu dengan barat. Gelombang kedua,

generasi setelah tahun 1980an yang dipengaruhi oleh rasa nasionalisme

84 Ita Melati. 2013. Upaya Cina dalam Mempertahankan Komunisme Pasca Runtuhnya Uni Soviet.Jurnal Ilmu Hubungan Internasional. Diakses dari http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/11/Jurnal-HI-Ita%20Melati%20%2811-15-13-04-42-36%29.pdf padaJumat, 16 Oktober 205.

51

dan patriotik. Gelombang ketiga generasi akhir 1980an yang lebih

berfokus pada kekuatan publik dan pemerintahan Tiongkok. Generasi ini

menggantikan generasi sebelumnya dengan memiliki spesialisasi yang

lebih terdidik untuk menjadi birokrat. Perkembangan generasi ketiga

dianggap mampu untuk mengembangkan kebijakan yang damai dan

mengutamakan perkembangan ekonomi.

2. Kepentingan Ekonomi Tiongkok terhadap Taiwan

Pergeseran dari kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan dari

pembebasan terhadap penggunaan senjata menuju kepada kebijakan yang

rekonsiliatif bertujuan agar Tiongkok lebih fokus mengembangkan

hubungan sosial dan ekonomi. Tiongkok telah berusaha untuk

mempromosikan integrasi ekonomi terhadap dunia internasional dan

Taiwan sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping. Integrasi ekonomi

tersebut akan memberikan dampak yang saling menguntungkan antara

Tiongkok dengan Taiwan.85 Faktor yang mempengaruhi asumsi ini

dikarenakan adanya sifat untuk saling melengkapi sumber daya atau faktor

pendukung lainnya pada integrasi ekonomi yang terjadi antara Taiwan dan

Tiongkok.

Para analis mengungkapkan bahwa langkah politik yang ingin

dilakukan oleh suatu negara harus didahului langkah perdamaian seperti

mempromosikan hubungan sosial disertai saling ketergantungan ekonomi.

85 Chris Baker. 2013. Deepening Socio-Economic Relations Across Taiwan Strait. Diakses darihttp://www.e-ir.info/2013/10/20/deepening-socio-economic-relations-across-taiwan-straits/ padaSelasa, 27 Oktober 2015.

52

Langkah ini dilakukan agar dapat mendukung upaya menuju perdamaian

politik. Hubungan antara saling ketergantungan ekonomi dan politik

merupakan hubungan timbal balik. Jika ada peningkatan dalam salah satu

hal tersebut maka akan mempengaruhi perbaikan dalam hal lain seperti

peningkatan hubungan politik.86 Perjanjian serta interaksi

dalam ekonomi maupun sosial dalam tingkat yang rendah pun

mampu menyebabkan hubungan politik yang meningkat.

Keadaan yang saling mempengaruhi dikarenakan Tiongkok dapat

menawarkan tenaga kerja murah dan tanah yang akan menjadi pasar

terbesar di dunia bagi Taiwan. Sedangkan Taiwan disisi lain mampu

menawarkan keunggulan dalam bidang manufaktur berteknologi tinggi,

manajemen perusahaan serta modal. Sifat yang saling melengkapi ini akan

menghasilkan perdagangan dan investasi sehingga berdampak pada adanya

ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan bagi kedua belah

pihak.87

Pada Tabel 1 dijelaskan bahwa Tiongkok dan Taiwan saling

memiliki kondisi untung dan rugi sehingga akan saling melengkapi dalam

hubungan ekonomi. Aktifitas perekonomian yang besar antara Tiongkok

dan Taiwan juga sangat memungkinkan terjadinya pertukaran dalam

perdagangan. Tiongkok merupakan negara yang memiliki sumber daya

manusia yang cukup banyak namun memiliki kekurangan dalam hal

86 Charles A. Kupchan. 2010. How Enemies Become Friends. Princeton: Princeton UniversityPress. Hal. 3.

87 Ibid.

53

modal, tanah yang subur dan teknologi. Kondisi yang saling melengkapi

ini mendukung peralihan ekonomi Tiongkok dari negara agraris menuju

negara industri.

Tabel 1. Kondisi Untung dan Rugi yang dimiliki Oleh Tiongkok danTaiwan dalam Perekonomian88

Pada kasus ini, dengan memperdalam hubungan ekonomi antara

Tiongkok dan Taiwan dapat memungkinkan terjadinya rekonsiliasi politik.

Kerjasama ekonomi tersebut dapat menjadi alat yang dapat meredam

keinginan Taiwan untuk memisahkan diri dari wilayah Tiongkok. Dengan

adanya kerjasama tersebut kedua belah pihak dapat mengembangkan rasa

kebersamaan melalui manfaat peningkatan dari sektor ekonomi sehingga

Taiwan dapat kehilangan dukungan masyarakat yang ingin memisahkan

88 Chatam House, The Royal Institution of International Affairs. Program Report. Kerry Brown, et.al. 2010. Investment Across the Taiwan Strait. Diakses darihttp://www.chatamhouse.org/publications/papers/view/109512# pada Kamis, 28 Januari 2016.

Taiwan TiongkokKeuntungan Keuntungan

1. Tenaga kerja yang berpendidikandiserati pengalaman yang besar

2. Memiliki investasi yang baik dalamteknologi dan penelitian

3. Perekonomian yang terintegrasibertaraf internasional dengan AS

4. Memiliki standar pemerintahan danhukum yang baik

5. Perlindungan terhadap hakkekayaan intelektual

1. Memiliki tenaga kerja yang besar2. Memiliki lahan yang berlimpah3. Memiliki kebijakan pemerintah yang

mendukung pertumbuhan ekonomi4. Memiliki pasar konsumen yang besar

Kerugian Kerugian1. Bergerak sesuai dengan kebijakan

Tiongkok2. Kekhawatiran status politik yang

tidak teratur3. Status diplomatik

1. Tidak seimbangnya reformasiekonomi dan reformasi politik yangmungkin akan bersifat kaku dalamproses negosiasi.

2. Memiliki tantangan demografi

54

diri dengan Tiongkok.89 Singkatnya dengan mencapai kerjasama ekonomi

diharapkan Taiwan dapat lebih kooperatif dengan Tiongkok.

Kemajuan hubungan lintas-selat tersebut dikarenakan sebelumnya

Tiongkok mengalami kegagalan dalam penggunaan kebijakan militer dan

kekerasan pada masa Presiden Jiang Zemin, kebijakan Tiongkok terhadap

Taiwan lebih bergantung pada pengaruh kekuatan ekonomi. Perekonomian

Tiongkok telah menunjukkan perkembangan cukup signifikan pada

pertengahan tahun 1990 sementara tingkat perekonomian Taiwan mulai

menurun karena menderita resesi ekonomi dan guncangan dari harga

minyak. Pemerintah Tiongkok pun cukup percaya diri dengan

pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang cukup signifikan tersebut.90 Dari

perspektif tersebut kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan saat ini dapat

dirangkum sebagai bentuk promosi unifikasi melalui keterlibatan ekonomi.

Pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa dengan adanya

peningkatan interaksi pada sektor ekonomi dimaksudkan untuk

mempromosikan unifikasi dengan Taiwan. Tiongkok mulai membuka

perdagangan internasional pada tahun 1979 mengimplementasikan

kebijakan ekonomi pintu terbuka (open door policy). Kebijakan ini

menyatakan bahwa peraturan sementara mengenai perdagangan terbuka

dengan Taiwan adalah untuk menegaskan bahwa perdagangan tersebut

merupakan bentuk khusus dari masa transisi sebelum Taiwan kembali ke

89 Op. Cit. Chris baker.90 Yasuhiro Matsuda. 2004. PRC-Taiwan Relations under Chen Shui-bian’s Government:

Continuity and Change between the First and Second terms. Senior Research in NationalInstitute for Defence Studies. Hal. 5.

55

wilayah Tiongkok serta menciptakan kondisi yang kondusif bagi

reunifikasi.91

Dari sudut pandang Tiongkok, penyatuan kembali wilayah Taiwan

kepada Tiongkok didukung oleh dua alasan yaitu secara politik dan

ekonomi. Alasan politik bahwa secara historis, kesatuan suatu negara

dikaitkan secara erat dengan kekuatan nasional dan pemisahan wilayah

akan memberikan kelemahan bagi negara itu sendiri. Kedua alasan

ekonomi melalui kebijakan unifikasi dengan Taiwan akan memberikan

kontribusi besar dalam kemajuan ekonomi kedua negara. 92

Hal tersebut merupakan strategi Tiongkok dalam mempromosikan

pertukaran ekonomi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan nasional.

Pertukaran ekonomi ini dilakukan untuk menarik Taiwan agar dapat

menerima unifikasi politik dengan konsep Tiongkok. Hal ini didasari oleh

dua asumsi yaitu pertama kerjasama ekonomi membutuhkan tingkat

integrasi yang akan memperluas integrasi secara politik. Kedua pemerintah

Taiwan pada awalnya menolak untuk mengorbankan kedaulatan negaranya

tetapi pada akhirnya bersedia untuk melakukan kegiatan ekonomi agar

dapat melintasi batas-batas politik yang menghalangi hubungan Tiongkok

dan Taiwan. 93

Strategi Tiongkok tesebut menyebabkan hubungan ekonomi

keduanya meningkat. Pada tahun 2007, Tiongkok mengupayakan

91 Denny Roy. 2004. Cross-Strait Economic Relations: opportunities Outweigh Risks. Paper SeriesAsia Pasific Center for Security Studies. Hal. 1.

92 Ibid.93 Ibid.

56

peningkatan kerjasama dan memperkuat hubungan perdagangan lintas-

selat. Didukung dengan adanya penghapusan beberapa tarif atas produk

pertanian Taiwan. Pada tahun 2008, Tiongkok menegaskan akan

mendorong perdagangan langsung dengan Taiwan dan membangun

mekanisme kerjasama dalam perdagangan berdasarkan kebijakan ‘Satu

Cina’.94 Pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut dapat

menyebabkan dampak dari integrasi ekonomi seperti memberikan

kesempatan dan kemajuan bagi bisnis di Tiongkok maupun Taiwan.

Selain itu, Taiwan juga memiliki investasi yang besar di Tiongkok.

Pada tahun 2006, perusahaan Taiwan menginvestasikan sekitar US$55

milyar dolar pada Tiongkok. Surat kabar resmi di Tiongkok melaporkan

adanya peningkatan dari 1.474 kasus investasi baru oleh perusahaan

Taiwan di Tiongkok. Laju investasi secara langsung yang dilakukan

Taiwan meningkat sebesar 21 persen dari tahun sebelumnya.95

Faktor ekonomi dalam kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan

menunjukkan era baru hubungan yang damai di lintas-selat. Memperdalam

hubungan ekonomi dengan Taiwan mampu melemahkan batas negara yang

menghambat hubungan keduanya. Semakin meningkatnya hubungan

ekonomi Tiongkok dan Taiwan, semakin besar pula kemungkinan adanya

pendekatan menuju kebijakan politik yang ingin dicapai oleh Tiongkok.

94 Xinhua News Agency. 2008. Mainland to further direct trade with Taiwan. Diakses darihttp://www.chinadaily.com.cn/bizchina/2008-01/20/content_6406756.htm pada Selasa, 5Januari 2016.

95 Eric Von Kesler. 2008. Taiwan’s Dilemma: China, The United States, and Reunification. NavalPostgraduate School. Monterey: California. Hal. 14.

57

Kepentingan ekonomi Tiongkok terhadap Taiwan juga merupakan bentuk

state survival.

Dalam instrumen politik luar negeri terdapat faktor ekonomi yang

menjadi saluran penting untuk mencapai kepentingan negara. Faktor

ekonomi tersebut memiliki dampak ketergantungan sehingga

mengharuskan adanya suatu kerjasama ekonomi dalam kerangka

hubungan bilateral. Dari penjelasan tersebut hubungan antara politik dan

ekonomi dapat dilihat dalam kebijakan ekonomi yang mampu

mempengaruhi interaksi politik maupun sebaliknya. Poin penting dalam

faktor ekonomi bagi politik luar negeri yaitu pertama, mampu

mengeksploitasi kebutuhan dan ketergantungan ekonomi serta membantu

menciptakan ruang untuk membentuk kebijakan yang dapat melemahkan

politik negara tersebut.

Menurut Baldwin, baik perang maupun ekonomi tidak dapat

dipisahkan dari politik. Keduanya dapat dilihat sebagai instrumen yang

digunakan untuk mencapai tujuan dalam politik.96 Tidak semua kebijakan

ekonomi yang dikeluarkan oleh suatu negara bertujuan untuk mencapai

tujuan ekonomi pula. Menurut Papp, negara merupakan entitas yang

mampu mendefinisikan sendiri apa kepentingannya dan menentukan

upaya-upaya untuk mencapainya.97 Hal ini sejalan dengan kepentingan

96 David Baldwin. 1985. Economic Statecraft. New Jersey: Princeton University Press. Hal. 40.97 Daniel S. Papp. 1997. Contemporary International Relations: Framework for Understanding.

USA: Allyn and Bacon. Hal. 38.

58

ekonomi Tiongkok sebagai bentuk state survival untuk mendapatkan

keuntungan politik dan tetap eksis dalam tren integrasi ekonomi.

3. Faktor Ideosinkretik

Dalam proses pengambilan keputusan untuk kebijakan luar negeri

terdapat faktor psikologis atau faktor idiosinkretik yang mempengaruhi

keputusan atau kebijakan yang dapat diambil oleh para pengambil

kebijakan. Sumber idiosinkratik tersebut merupakan nilai (value),

pengalaman (experience), bakat (talent), kepribadian elit politik

(personality of leaders), serta belief dan belief system yang mempengaruhi

persepsi, kalkulasi, dan perilaku terhadap kebijakan luar negeri. Dalam hal

ini juga termasuk persepsi dari elit politik tentang keadaan alami dari arena

internasional dan tujuan nasional yang hendak dicapai.98 Profil Hu Jintao

akan dijelaskan sebagai berikut agar dapat mengetahui kepribadian,

pengalaman, nilai serta bakat dari elit politik yang berpengaruh membuat

dalam pengambilan keputusan.

Hu Jintao lahir di Shanghai pada Desember 1942, Hu berasal dari

keluarga berpendidikan dan pedagang teh. Hu merupakan anak pertama

dari tiga bersaudara. Keluarganya sempat berpindah tempat tinggal karena

penjajahan Jepang di Shanghai. Hu muda dibesarkan di daerah Taizhou di

provinsi Jiangsu. Pada tahun 1959 Hu masuk ke Universitas Tsinghua di

98 Anak Agung B. Perwita dan yani Yanyan M. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 57-58.

59

departemen teknik hidrolik dengan jurusan pembangkit listrik tenaga air

dan Hu merupakan mahasiswa termuda di kelasnya.99

Organisasi sekolah partai telah mengidentifikasikan Hu sebagai

calon anggota partai. Hal ini disebabkan Hu memiliki potensi

kepemimpinan dan tertarik dengan ideologi Komunis. Kepribadian Hu

membuat Presiden Universitas Tsinghua tertarik, Presiden Universitas

tersebut memiliki hubungan dekat dengan Komite Pusat Partai Komunis

Cina dan para petinggi di Beijing.100

Pada tahun 1964, Hu Jintao diterima sebagai anggota partai

dengan masa percobaan. Lalu Hu diangkat sebagai peneliti di Universitas

Tsinghua dan instruktur politik untuk organisasi sekolah partai. Pada tahun

1965 Hu resmi diangkat menjadi anggota partai. Setelah lulus dari

Universitas Qinghua, Hu melanjutkan sebagai peneliti dan instruktur

politik disana samapai awal revolusi budaya dari tahun 1966-1976. Pada

tahun 1968, Hu dikirim ke Gansu yang merupakan salah satu provinsi

termiskin di Tiongkok. Setelah satu tahun bekerja di tim pembangunan

perumahan, Hu menjabat berturut-turut sebagai teknisi, sekretaris kantor

dan wakil sekretaris partai di biro teknik kementerian sumber daya air dan

listrik. Hal ini menandai awal karir Hu jintao di Partai Komunis.101

99 Jhon J. Tkcacik, et. al. 2002. Who’s Hu? Assessing China’s Heir Apparent, Hu Jintao. Diaksesdari http://www.heritage.org/research/lecture/whos-hu#pgfId=1010081 pada 29 Maret 2015.

100 State Council Information Office and the China International Publishing Group (CIPG). HuJintao State President. Diakses dari http://en.people.cn/leaders/vpresident.html pada Sabtu, 17Oktober 2015.

101 Ibid.

60

Pada tahun 1974, Hu dipindahkan ke komite pembangunan

provinsi Gansu dan menjabat sebagai sekretaris. Pada tahun 1975 sampai

1980, Hu menjabat sebagai wakil kepala komite divisi manajemen

perencanaan. Setelah itu, Hu mendapatkan promosi sebagai wakil direktur

komite pada tahun 1980 dan kemudian diangkat menjadi sekretaris komite

provinsi Gansu dari Liga Pemuda Komunis Cina atau Communist Youth

League (CYL). Selama kongres rakyat nasional kesebelas dari CYL yang

diselenggarakan pada tahun 1982, Hu terpilih menjadi anggota sekretariat

komite sentral CYL dan presiden dari federasi pemuda Tiongkok. Pada

November 1984, Hu menjadi sekretaris pertama dari sekretariat komite

pusat liga pemuda, dimana Hu menjadi pemimpin pada puncak organisasi

pemuda terbesar.102

Pada tahun 1985, ketika Hu berumur 42 tahun, Hu diangkat

menjadi sekretaris komite provinsi Guizhou selama tiga tahun. Pada akhir

tahun 1988, Hu menjadi sekretaris partai untuk Komite Otonomi Regional

Tibet. Selama Kongres Rakyat Nasional ke-14 pada Oktober 1992, Hu

terpilih menjadi anggota Komite Tetap Politbiro dari Komite Sentral PKT.

Selanjutnya Hu menjadi Presiden sekolah partai Komite Sentral PKT. Hu

juga menjabat sebagai komite tetap pada kongres rakyat nasional ke-16

dari konsultatif politik rakyat Tiongkok.103

Dari ringkasan karir politik Hu Jintao, pengalaman Hu Jintao yang

dimulai dari organisasi pemuda memungkinkan Hu untuk memiliki

102 Ibid.103 Ibid.

61

pemahaman yang baik dari generasi muda Tiongkok. Hu Jintao juga

memiliki asosiasi politik yang luas. Sepanjang karir politiknya, Hu telah

berafiliasi dengan tiga sumber utama perekrutan elit di Tiongkok yaitu

Universitas Qinghua, Chinese Communist Youth League and Central Party

School. Perkembangan karir politik ini menunjukkan pandangan opitimis

bahwa saat ini sangat penting untuk membangun koalisi dan jaringan

dalam berpolitik. Afiliasi ini menjadi aset yang cukup besar bagi Hu

Jintao.104

Dari penjelasan karir politik, Hu Jintao berasal dari faksi yang

disebut “populis”. Faksi tersebut berhubungan dengan Liga Komunis

Muda, dimana organisasi ini mendidik para generasi muda yang memiliki

bakat untuk menjadi pemimpin nasional. Organisasi ini juga diberi julukan

“Faksi Tuanpai”. Organisasi ini sering dikaitkan dengan Hu Jintao karena

pernah menjadi pemimpin dalam organisasi tersebut.105

Prinsip yang dipegang teguh oleh tuanpai adalah memperkuat dan

mengkonsolidasikan kepemimpinan pusat, mempertahankan stabilitas

sosial, mendistribusikan hasil pembangunan guna memberantas

kemiskinan, melenyapkan kesenjangan antara daerah maju dan

berkembang serta melenyapkan berbagai penyakit sosial yang timbul dari

104 Op. Cit. Jhon J. Tkcacik, Joseph Fewsmith dan Maryanne Kivlehan.105 Dahana, Guru Besar Studi Cina Universitas Indonesia. 2010. Faksionalisme Menjelang

Peralihan Generasi. Diakses darihttps://kabartiongkok.wordpress.com/2010/11/02/faksionalisme-menjelang-peralihan-generasi/pada Sabtu, 17 Oktober 2015.

62

pembangunan ekonomi. Prinsip ini sejalan dengan pemikiran Hu Jintao

menjadi konsep masyarakat yang harmonis dalam kepemimpinannya.106

Terdapat poin-poin penting yang dapat dilihat mengenai sifat-sifat

Hu dalam berpolitik yaitu Hu memiliki kepercayaan kuat dalam

Marxisme, Hu memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap partai. Hu

memiliki gambaran besar dari kesejahteraan bangsa, memiliki gaya kerja

yang demokratis dan bersedia untuk mendengarkan pandangan dari

berbagai sektor. bersih dan tidak korup, Hu memiliki gaya hidup yang

sederhana dan rasa tanggungjawab. Hu memiliki pribadi yang lebih tenang

dan tertutup. Hu memiliki pengalaman lebih dari lima belas tahun bekerja

di daerah termiskin di Tiongkok sehingga Hu memiliki pemahaman

mengenai daerah-daerah yang belum berkembang di Tiongkok. 107

Hal ini sejalan dengan pengalaman Hu Jintao. Hu Jintao

sebelumnya pernah menempati beberapa posisi sebelumnya di provinsi

termiskin di Tiongkok seperti Guizhou dan Tibet. Pengalaman ini akan

membantu Hu Jintao dalam menghadapi beberapa tantangan besar yang

akan dihadapi Tiongkok di tahun-tahun mendatang terkait masalah

kemiskinan, kesenjangan ekonomi, isu-isu minoritas.108

Kondisi nyata dalam politik luar negeri dan domestik dapat

dicerminkan melalui pembuatan kebijakan luar negeri. Belief

106 Ibid.107 Willy Wo and Lap Lam. 2006. Chinese Politics in the Hu Jintao Era: New Leaders, New

Challenges. New York: An East Gate Book. Hal. 11.108 Op. Cit. Jhon J. Tkcacik, Joseph Fewsmith dan Maryanne Kivlehan.

63

109memberikan peta jalan bagi seorang individu pembuat kebijakan untuk

lebih memahami tujuan dan maksud dari suatu realita. Pembuatan

kebijakan didasari pada pandangan subjektif pembuat keputusan terhadap

realita politik dunia. Kemudian dari adanya pemahaman tersebut muncul

strategi yang juga sebagai respon dari realita politik tersebut.

Kecenderungan yang dimiliki oleh pembuat keputusan adalah

memilih strategi mana yang paling efektif untuk mencapai tujuan atau

kepetingan nasional. Informasi dan realita yang ada akan sesuai atau tidak

dengan belief yang dimiliki oleh pembuat kebijakan. Hal tersebut akan

menyebabkan respon yang berbeda realita yang terlihat oleh pembuat

keputusan sehingga pilihan rasional yang terjadi adalah pemimpin tersebut

akan bertindak guna memaksimalkan tujuan dan meminimalisir

kerugian.110

Sedangkan beliefs system merupakan mekanisme yang menjadi

penyebab dari pilihan politis yang diambil. Belief menjadi suatu

keterkaitan dimana prinsip seorang pembuat kebijakan mau meneruskan

atau merubah kebijakan yang sudah ada sebelumnya atau membuat

kebijakan baru. Hal itu terjadi jika informasi yang dibutuhkan oleh

109 Belief adalah gagasan yang diyakini oleh individu sebagai suatu kebenaran.110 Defa Arimasera. 2014. Pengaruh Belief Hu Jintao Terhadap Persiapan China-ASEAN Free

Trade Area (CAFTA) Tahun 2003-2010. Diakses darihttps://www.academia.edu/9870688/Pengaruh_Belief_Hu_Jintao_Terhadap_Persiapan_CAFTA_Tahun_2003-2010 pada Sabtu, 17 Oktober 2015.

64

pembuat kebijakan tidak sesuai dengan belief yang telah dimiliki

sebelumnya.111

Hu Jintao adalah seorang pemimpin dengan tipe konfusian

sehingga memiliki penekanan kebijakan secara damai. Sebelumnya

konfusianisme merupakan salah satu filsafat yang dominan di Tiongkok.

Konfusianisme menjadi dasar belief yang diyakini oleh individu.112

Artinya, negara yang berdasarkan konfusianisme dipandang anggotanya

sebagai perbedaan namun dalam satu kesatuan. Individu mencapai tujuan

dan harmoni kehidupan dalam konteks sosialnya sendiri. Kualitas

kebenaran, keindahan, keharmonisan dan tatanan masyarakat tertanam

pada hubungan antara keluarga dan negara, dimana penguasa juga dituntut

berperilaku bijak.

Filsafat tentang konfusianisme muncul dalam konsep Masyarakat

Harmonis untuk kebijakan luar negeri Tiongkok. Dalam konsep tersebut

Hu menggabungkan unsur-unsur yang ada dalam Konfusianisme. Istilah

harmoni sendiri membangkitkan nilai-nilai sosial dalam pemerintahan

berdasarkan etika dari konfusianisme yaitu individu yang disiplin serta

kontribusi terhadap tatanan sosial dan stabilitas domestik maupun

internasional.

111 Ibid.112 Ibid.

65

B. Faktor Eksternal

1. Munculnya Dukungan Amerika Serikat Terhadap Taiwan

Amerika Serikat dan Taiwan telah memiliki kemitraan yang kuat

sejak tahun 1949. Mengingat pentingnya Taiwan bagi Amerika Serikat,

kedua negara menandatangani Sino-American Mutual Defense Treaty pada

tahun 1954 untuk membuat sebuah aliansi militer. Sebagai respon dari

normalisasi hubungan Amerika Serikat-Tiongkok, pada tanggal 10 April

1979 Presiden Carter meresmikan Taiwan Relations Act (TRA) yang

menjadi poin penting dalam hubungan Taiwan-Amerika Serikat.113

Meningkatnya dukungan Amerika Serikat terhadap Taiwan membuat

kemajuan besar dalam interaksi bilateral seperti keamanan, perdagangan,

investasi, pertukaran budaya, dan pendidikan.

Selain TRA, Amerika Serikat melalui Presiden Ronald Reagan

menawarkan “six assurances” ke Taiwan pada tahun 1982. Kebijakan

tersebut memastikan bahwa Amerika Serikat: pertama belum sepakat

untuk mengakhiri penjualan senjata ke Taiwan. Kedua belum menyepakati

untuk mengadakan konsultasi dengan Tiongkok terkait penjualan senjata

ke Taiwan. Ketiga tidak akan mengupayakan mediasi hubungan Taiwan

dan Tiongkok. Keempat belum sepakat merevisi Undang-Undang

Hubungan AS-Tiongkok. Kelima tidak mengubah posisi atas kedaulatan

113 Taipei Economic and Cultural Representative Office in the U.S. (TECRO). 2012. Taiwan-U.S.Relations. Diakses darihttp://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=266456&CtNode=2297&mp=12&xp1=12pada Kamis 11 Maret 2015.

66

Taiwan. Keenam tidak akan menekan Taiwan untuk bernegosiasi dengan

Tiongkok.114

Amerika Serikat menyadari bahwa Taiwan akan menjadi target

agresi berikutnya oleh Uni Soviet. Amerika memerlukan adanya

penambahan kekuatan di kawasan Asia Timur untuk membendung agresi

dari Uni Soviet. Namun, Amerika Serikat menyadari bahwa Selat Taiwan

memiliki sensivitas konflik antara Tiongkok dan Taiwan. Keberpihakan

Amerika Serikat terhadap Tiongkok atau Taiwan akan meningkatkan

kemungkinan berperang. Untuk menghindari hal tersebut Amerika Serikat

menggunakan strategi pendekatan yang netral terhadap hubungan

Amerika-Tiongkok dan Taiwan atau neutralization approach.115

Pendekatan tersebut dilakukan Amerika dikarenakan Amerika tetap ingin

mendukung Taiwan tanpa menimbulkan konflik dengan Tiongkok.

Untuk mencegah Tiongkok melakukan perebutan Taiwan ke Cina

daratan dengan kekerasan, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan

strategic ambiguity dibawah Taiwan Relations Act (TRA) pada tahun

1979.116 TRA memungkinkan Amerika Serikat untuk memberikan

pengakuan secara de facto terhadap Taiwan bukan pengakuan de jure.

Strategic Ambiguity merupakan kebijakan luar negeri Amerika

Serikat terhadap Tiongkok dan Taiwan, kebijakan tersebut memiliki pola

114 Ibid.115 Robert Lincoln Hines. 2013. Change and Continuity in Chinese Strategic Culture-Chinese

Decision Making in The Taiwan Strait. American University. Hal. 33. Penulis megutip dari ShuGuang Zhang. 1992. Deterrence and Strategic Culture: Chinese-American Confrontations,1949-1958. Ithaca: Cornell University Press.

116 Ibid.

67

hubungan antara negara yang bersifat ambigu. Pada satu sisi Amerika

Serikat tengah membangun hubungan baik dengan Tiongkok, hal ini

didukung dengan adanya penerimaan prinsip “Satu Cina” oleh Amerika

Serikat. Akan tetapi di sisi lain Amerika Serikat tetap mempertahankan

hubungan baik dengan Taiwan. Hal ini dibuktikan dengan adanya bantuan

politik dan militer sebagai bentuk kepentingan AS dalam menjadikan

Taiwan sebagai mitranya.117

Kebijakan tersebut memiliki tujuan sebagai penyeimbang dalam

bentuk kemitraan ekonomi dengan Tiongkok sebagai negara dengan

pertumbuhan ekonomi paling besar di dunia sedangkan Taiwan merupakan

bentuk penyeimbang atas penahanan militer terhadap kekuatan Tiongkok

di Asia Timur, bersama sama dengan Taiwan, Jepang, Korea Selatan,

Filipina.118

Kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat dalam strategic

ambiguity tersebut didorong oleh faktor ekonomi. Taiwan merupakan

salah satu pembeli terbesar senjata Amerika Serikat di dunia dan

merupakan yang terbesar di Asia. Hal ini dibuktikan oleh penjualan senjata

Amerika Serikat terhadap Taiwan sejak tahun 2010 senilai lebih 120

milyar dolar AS. Penjualan tersebut termasuk akuisisi senjata senilai 5,85

milyar dolar AS yang disepakati oleh pemerintahan Obama pada

117 Muhammad Ciptadi Mamonto. 2010. Analisa Kebijakan Luar Negeri Strategic AmbiguityAmerika Serikat: The US Interest towards the Two China. Malang: Universitas Brawijaya. Hal.2-3.

118 Ibid.

68

September 2011.119 Pada bulan Agustus 2013, Presiden Ma mengatakan

bahwa Taiwan masih belum memiliki kesiapan tempur dan senjata

sehingga akan terus membeli senjata dari Amerika Serikat.120

Amerika Serikat telah menjalin hubungan non-diplomatik dengan

Taiwan sejak tahun 1979. Hubungan non-diplomatik antara AS dan

Taiwan salah satunya adalah dengan terbentuknya TRA (Taiwan

Relations Act) pada April 1979. TRA menyediakan peran bantuan

keamanan yang diperlukan untuk memertahankan Taiwan dari ancaman

Tiongkok.121 Melihat dari sejarah berdirinya, TRA telah memiliki

dukungan kebijakan yang kuat dan kerangka kerja yang fleksibel untuk

pemeliharaan kerjasama dalam bidang pertahanan antara Amerika Serikat

dan Taiwan.

Amerika Serikat turut mendukung masuknya Taiwan ke dalam

organisasi-organisasi internasional. Dengan dukungan Amerika Serikat,

Taiwan dapat terus berpartisipasi dalam beberapa organisasi internasional

seperti World Health Assembly (WHA) sebagai observer pada tahun 2009.

Amerika Serikat juga membantu Taiwan sebagai observer dalam

International Civil Aviation Organization (ICAO). Pada September tahun

2008, Amerika Serikat memiliki misi di PBB untuk membuat pernyataan

akan mendukung Taiwan berpartisipasi dalam badan-badan khusus

119 Grace Kuo. 2013. MND Reaffirms Strong Taiwan-US Defense Ties. Diakses dar ihttp://www.taiwantoday.tw/ct.asp?xItem=204910&ctNode=445 . pada Sabtu 21 Februari 2015.

120 Taipei Mission in the Republic of Latvia. 2013. Press Release. Diakses dari http://www.roc-taiwan.org/LV/ct.asp?xItem=414777&ctNode=7925&mp=507 pada Sabtu 21 Februari 2015.

121 Shirley A. Kan dan Wayne M. Morrison. 2014. U.S-Taiwan Relationship: Overview of PolicyIssues. Congressional Ressearch Service (CRS). Hal. 4.

69

PBB.122 Amerika Serikat dan Taiwan memiliki kesamaan dalam

keanggotaan di beberapa organisasi internasional seperti World Trade

Organization (WTO), Asia-Pacific Economic Cooperation forum, dan

Asian Development Bank (ADB).123

Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Tiongkok dan Taiwan

menimbulkan keseimbangan kekuasaan di kawasan Asia Timur. Amerika

Serikat merupakan negara yang berkuasa pasca Perang Dingin berupaya

mempertahankan posisinya di kawasan tersebut, salah satunya melalui

upaya balancing dengan Taiwan dari kekuatan Tiongkok namun, di satu

sisi muncul Tiongkok sebagai kekuatan baru di dalam dinamika sistem

internasional yang akan menghambat kekuatan Amerika Serikat di

kawasan Asia Timur.

Munculnya dukungan Amerika Serikat terhadap Taiwan dalam

bentuk dukungan militer dan politik sebagai penyeimbang dari kekuatan

Tiongkok di Asia Timur. Tiongkok memiliki peran besar dalam

perkembangan ekonomi dan politik sehingga mengancam kekuatan

Amerika Serikat di kawasan tersebut. Selain hal tersebut, Amerika juga

menganggap Taiwan sebagai mitra dalam perdagangan senjata sekaligus

negara yang memerlukan dukungan internasional untuk mengembangkan

demokratisasi dalam negaranya, sehingga sikap proaktif dari Amerika

122 Op. Cit. Taipei Economic and Cultural Representative Office in the U.S. (TECRO).123 U.S. Department of State, Bureau of East Asian and Pacific Affairs Fact Sheet. 2015. U.S.-

Taiwan Relations. Diakses dari http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35855.htm pada Rabu 11Maret 2015.

70

Serikat sebagai negara demokrasi akan membantu perluasan dukungan

terhadap Taiwan.

2. Keanggotaan Taiwan dalam World Trade Organization (WTO)

Organisasi ini didirikan pada tahun 1995, sebelumnya bernama

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang bertujuan

membantu untuk membantu menciptakan sistem perdagangan

internasional yang kuat sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, WTO juga merupakan organisasi

internasional yang di dalamnya menegosiasikan kesepakatan serta

menyediakan forum untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan.

Mekanisme perdagangan dalam WTO memberikan kerangka hukum dan

kelembagaan untuk pelaksanaan segala bentuk perjanjian dalam

perdagangan.124

Taiwan bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada

tanggal 1 Januari 2002 dengan nama resmi “separate custom territory of

Taiwan, Penghu, Kinmen and Matsu” atau “Chinese Taipei”.125 Pemberian

status keanggotaan ini menyusul diterimanya Tiongkok sebagai anggota

WTO pada tahun 2001. Keanggotaan Taiwan memiliki tujuan untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas perdagangan dan investasi

dengan anggota WTO lainnya, termasuk dengan Tiongkok. Selain itu

124 WTO. WTO Overview. Diakses darihttps://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/wto_dg_stat_e.htm pada Senin, 16 November2015.

125 WTO (World Trade Organization). 2001. WTO successfully concludes negotiations on entry ofthe Separate Customs Territory of Taiwan, Penghu, Kinmen and Matsu. 2001. Diakses darihttps://www.wto.org/english/news_e/pres01_e/pr244_e.htm Diakses pada Rabu, 30 Desember2015.

71

masuknya Tiongkok dan Taiwan ke dalam WTO diharapkan mampu

memperluas hubungan bilateral dan mengurangi konflik diantara

keduanya.

Sebagai organisasi WTO memiliki tiga pokok prinsip utama yang

mengatur hubungan antar anggotanya yaitu, pertama hubungan pergangan

internasional yang dilakukan antar negara didasarkan atas prinsip

resiproksitas dimana perdagangan tersebut bersifat timbal balik. Kedua

adalah prinsip non-diskriminasi atau disebut juga most favoured nation

(MFN), tidak mengistimewakan suatu Negara saja dan tidak melakukan

diskriminasi terhadap negara lain sesama anggota WTO. Ketiga,

transparansi dimana perlakuan dan kebijakan yang dilaksanakan suatu

negara dapat diketahui oleh mitra dagangnya. negara anggota WTO

diharuskan memberi pengumuman terkait perubahan kebijakan atau aturan

yang berkaitan dengan seluruh perjanjian WTO kepada negara anggota

WTO lainnya.126

Selain prinsip tersebut, yang membedakan WTO dengan organisasi

internasional lainnya yaitu, organisasi ini tidak memerlukan syarat

mengenai status kenegaraan anggotanya. Adanya syarat tersebut

memudahkan Taiwan untuk bergabung ke dalam WTO bersama Tiongkok.

Oleh karena itu, WTO merupakan tempat dimana Taiwan dapat

perpartisipasi penuh dalam suatu organisasi internasional.127 Keanggotaan

Tiongkok dan Taiwan secara bersamaan tersebut memungkinkan adanya

126 Yoan Panjaitan . 2012. Faktor-Faktor yang Menjadikan Cina sebagai Kekuatan Ekonomi Barudi WTO (2001-2009). Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia. Hal. 3.

127 Steve Charnovitz. 2006. Taiwan WTO Membership and Its International Implications. GeorgeWashington University Law School.

72

suatu forum internasional secara netral bagi kedua pemerintahan tersebut

untuk bertemu, bernegosiasi serta berdiskusi jika diperlukan dalam status

negara yang setara.

Penjelasan di atas didukung oleh adanya syarat keanggotaan WTO

yang diatur dalam perjanjian Marakesh pada pasal XII ayat 1 yaitu128 :

“Any State or separate customs territory possessing full autonomy in the

conduct of its external commercial relations and of the other matters

provided for in this Agreement and the Multilateral Trade Agreements may

accede to this Agreement, on terms to be agreed between it and the WTO.

Such accession shall apply to this Agreement and the Multilateral Trade

Agreements annexed there to”. Decisions on accession shall be taken by

the Ministerial Conference. The Ministerial Conference shall approve the

agreement on the terms of accession by a two-thirds majority of the

Members of the WTO.

Terdapat beberapa hal penting yang dapat kita garisbawahi

mengenai keanggotaan dalam WTO, pertama tidak terdapat syarat

mengenai status negara, sebagian dari wilayah kedaulatan suatu negara

dapat memiliki keanggotaan WTO yang terpisah dimana negara tersebut

memiliki otoritas penuh dalam perdagangan luar negeri yang telah diatur

dalam perjanjian WTO. Kedua, seluruh anggota WTO memiliki suara

untuk menerima anggota baru dalam WTO.129

128 World Trade Organization (WTO). Marrakesh Agreement Establishing the World TradeOrganization. Diakses dari https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/04-wto_e.htm padaJumat, 8 Januari 2016.

129 Op. Cit. Panjaitan. Hal. 86.

73

Karena pasal-pasal terdapat didalam WTO memberi kewajiban

kepada Tiongkok untuk memperlakukan Taiwan dan bagaimana Taiwan

memperlakukan Tiongkok sebagai negara yang setara satu sama lain.

Masuknya Taiwan ke dalam WTO dapat meningkatkan hubungan

ekonomi bahkan politik secara bilateral. Selain itu WTO beserta anggota

lainnya mengakui bahwa Taiwan adalah suatu wilayah pabean yang

terpisah sehingga Taiwan memiliki otonomi penuh dalam pelaksanaan

ekonominya secara internal maupun eksternal dalam kerangka WTO.

Masuknya Taiwan ke dalam WTO akan menunjang pengaruh

politik dan ekonomi untuk memperluas peran Taiwan dalam dunia

internasional. Taiwan memerlukan dukungan internasional untuk

membangun lingkungan kerjasama ekonomi tidak hanya dengan Tiongkok

melainkan dengan negara-negara lainnya. Sebelumnya Taiwan telah

tertinggal jauh dengan Tiongkok yang sudah memulai integrasi ekonomi

dengan negara-negara lainnya seperti ASEAN+3, APEC, dan beberapa

perdagangan bebas dengan 22 negara.130

Kenggotaan Tiongkok dan Taiwan memiliki dampak kepada

perkembangan hubungan yang lebih luas dan terbuka bagi kedua belah

pihak. Perkembangan ini terjadi pada Taiwan dimana terdapat peningkatan

dukungan perdagangan dengan Tiongkok dapat mengubah hubungam

politik. Meskipun kondisi politik antara Tiongkok dengan Taiwan masih

belum memiliki kepastian namun Tiongkok akan menerima adanya

130 The Asia Regional Integration Center (ARIC). Free Trade Agreeements by Country. Diaksesdari https://aric.adb.org/fta-country# pada Jumat, 8 Januari 2016.

74

peningkatan perdagangan dan peluang investasi dalam rangka penguatan

ekonomi serta hubungan dengan Taiwan sehingga Tiongkok dapat

mengarahkan kepada agenda unifikasi.131

Selain Tiongkok harus mematuhi peraturan yang ada dalam WTO,

dampak dari keanggotaan Tiongkok dalam WTO mengarah pada

kesetaraan Taiwan yang juga sebagai negara anggota WTO. Kesetaraan

yang dimaksud adalah jika antar dua anggota WTO memiliki sengketa,

anggota yang berasal dari negara lain dapat bergabung untuk

menyelesaikan sengketa tersebut. Dengan demikian negara seperti

Amerika Serikat atau Jepang dapat masuk dalam diskusi penyelesaian

sengketa tersebut.132 Hal ini membuktikan bahwa keanggotaan WTO

merupakan perkembangan besar bagi peran Tiongkok dalam dunia

internasional.

131 Ardhy Dinata Sitepu. 2013. Dampak Penandatanganan Economic Cooperation FrameworkAgreement terhadap Economic Security Taiwan pada tahun 2011-2013. Skripsi Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

132 WTO. Understanding WTO. Diakses darihttps://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/tif_e.htm pada Rabu, 30 Desember 2015.

75

BAB IV

POLITIK LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP UPAYA

KEMERDEKAAN TAIWAN PADA MASA PRESIDEN HU JINTAO

(2003-2013)

A. Kebijakan Tiongkok Terhadap Upaya Kemerdekaan Taiwan Pada

Masa Presiden Hu Jintao (2003-2013)

Kepemimpinan dapat membentuk arah politik suatu negara. Hal ini

sejalan dengan tujuan politik luar negeri dimana pemerintah melalui para

perumus kebijaksanaan nasional seperti pemimpin negara mampu meluaskan

pengaruhnya dengan mengubah atau mempertahankan tindakan dengan

negara lain untuk meningkatkan citra dan kondisi negaranya di masa depan.

Sejalan dengan kebijakan luar negeri yang berupa rencana dan komitmen

membutuhkan pengembangan oleh para pembuat keputusan seperti pemimpin

untuk membina dan mempertahankan situasi internal dan eksternal yang

sejalan dengan orientasi kebijakan luar negeri.133 Sulit untuk menjelaskan

keputusan dari kebijakan luar negeri tanpa mengacu pada sosok pemimpin

serta kesuksesan diplomasi suatu negara dapat bergantung pada keterampilan

dari sosok individu seperti presiden.

Dalam sistem politik domestik Tiongkok, sosok pemimpin negara seperti

Sun Yat-sen, Mao Zedong, Deng Xiaoping, Jiang Zemin dan Hu Jintao

memiliki pengaruh yang dominan dibandingkan dengan lembaga-lembaga

negara yang ada di Tiongkok. Hal ini disebabkan sosok pemimpin tersebut

133 Yanyan M. Yani. Politik Luar Negeri. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/politik_luar_negeri.pdf pada Kamis, 2 Juli 2015.

76

sebagai pemimpin partai dan pemimpin suatu negara termasuk di dalamnya

kepemimpinan militer yang menjadi dasar pada stabilitas politik dan

keamanan negara tersebut.134

Pergantian kepemimpinan oleh ‘generasi keempat’ yaitu Presiden

sekaligus sekretaris jenderal PKC Hu Jintao dan Perdana Menteri Wen

Jiabao. Pergantian kepemimpinan tersebut disertai dengan perubahan

hubungan lintas selat. Politik luar negeri Tiongkok terhadap Taiwan dalam

bentuk undang-undang dan proposal tersebut dilakukan sebagai kemajuan

yang besar karena menawarkan bentuk negosiasi dan kerjasama bagi

Tiongkok dan Taiwan.

Alasan Tiongkok menggunakan politik luar negeri tersebut karena

keduanya telah memiliki kontrol atas masing-masing wilayah. Baik Tiongkok

maupun Taiwan memiliki pemerintahan, militer dan populasi. Keduanya pun

telah bertindak secara independen dalam menangani isu domestik dan

internasional dengan demikian keduanya telah terpecah menjadi entitas

politik yang berbeda. Untuk alasan tersebut Tiongkok dan Taiwan dua aktor

independen dan Tiongkok mengupayakan unifikasi terhadap Taiwan agar

menjadi bagian dari wilayahnya.

Berikut akan dibahas mengenai kebijakan yang dikeluarkan

Tiongkok untuk mencegah upaya kemerdekaan Taiwan pada masa Presiden

Hu Jintao seperti Undang-Undang Anti Pemisahan, Enam Proposal Hu Jintao

dan Kerjasama Ekonomi dalam kerangka ECFA. Selain itu juga akan dibahas

134Op. Cit. Swaine. Hal. 3.

77

mengenai respon Taiwan mengenai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan

oleh Tiongkok pada masa Presiden Chen Shui-bian pada tahun 2002-2008

dan Presiden Ma Ying-jeou pada tahun 2008-2012.

1. Anti-Secession Law (Undang-Undang Anti Pemisahan)

Undang-undang anti pemisahan dapat dipahami sebagai puncak

kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan dalam mendapatkan dukungan

internasional masa Presiden Chen Shui-bian. Kemenangan Presiden Chen

Shui Bian pada tanggal 18 Maret 2000 dengan suara sebanyak 39,3 persen

mengubah pola politik domestik Taiwan dan hubungan antara Tiongkok

dengan Taiwan. Kemenangan ini juga menandai berakhirnya pemerintahan

Kuomintang atas Taiwan selama 50 tahun.135

Chen Shui-bian berasal dari Partai Progresif Demokrat yang

cenderung mendukung kemerdekaan Taiwan. Kemenangan Presiden Chen

menjadi tantangan bagi hubungan Tiongkok-Taiwan. Tiongkok merasa

terancam oleh kemenangan partai yang mendukung demokratisasi serta

kemerdekaan bagi Taiwan.136 Perkembangan demokratisasi tersebut akan

mengubah pandangan penduduk Taiwan terhadap hubungan lintas selat

dan meningkatkan rasa nasionalisme.

DPP telah menjelaskan sikapnya dalam mengelola hubungan

dengan Tiongkok sejak piagam partai pada tahun 1991 yaitu kinerja

partai bertujuan untuk meraih kemerdekaan Taiwan. Pada tanggal 20

135 Gerrit W. Gong. China-Taiwan Relations: Cross-Strait Cross-Fire. Center for Strategic andInternational Studies (CSIS). Diakses darihttp://csis.org/files/media/csis/pubs/0001qchina_taiwan.pdf Pada Minggu, 5 Juli 2015.

136 Vincent Wei. 2002. "The Chen Shui-Bian Administrations Mainland Policy: Toward a ModusVivendi or Continued Stalemate?". American Asian Review Vol. 20, no. 3. Hal . 91-124.

78

Oktober 2001, kongres partai DPP memutuskan untuk mengangkat

resolusi (Taiwan Qiantu Jueywiyen) untuk mengelola kebijakan terhadap

Tiongkok.137 Resolusi tersebut menjelaskan bahwa DPP menganggap

Taiwan sebagai negara independen yang berdaulat dan tidak perlu

menyatakan kemerdekaan.

Sebelumnya Taiwan berada dibawah pemerintahan Kuomintang

yang mendukung kebijakan ‘Satu Cina’ serta mendukung adanya

reunifikasi dengan Tiongkok. Kuomintang atau Partai Nasionalis Cina

merupakan partai politik di Taiwan bersama dengan “People First Party

(PFP) dan Chinese New Party” (CNP) membentuk koalisi Pan-Blue yang

mendukung unifikasi dengan Tiongkok serta menerima prinsip satu

Tiongkok.138 Namun DPP yang merupakan pihak oposisi memunculkan

pandangan berbeda mengenai kemerdekaan Taiwan. Pandangan ini sesuai

dengan tiga prinsip DPP yaitu demokrasi, perdamaian dan kemakmuran.

Prinsip pertama mengenai demokrasi, bahwa status Taiwan sebagai negara

yang berdaulat hanya dapat diubah melalui proses demokrasi dengan

persetujuan Taiwan tanpa ada ketentuan dari negara lain.139

Dalam rangka menanggapi situasi baru yang terjadi, DPP terus

mendorong reformasi secara struktural di lembaga-lembaga negara agar

dapat menindaklanjuti status Taiwan. DPP pun menentukan serangkaian

137 Mikael Mattlin. 2004. Same Content, Different Wrapping: Cross-Strait Policy Under DPPRule. Diakses dari http://chinaperspectives.revues.org/436 Pada Rabu, 14 Oktober 2015.

138 Kuomintang Official Website. Introduction of the Party. Diakses darihttp://www1.kmt.org.tw/english/page.aspx?type=para&mnum=105 pada Kamis 15 Oktober2015.

139 Chen Yuan Tung. 2005. The Evolution and Prospects of Cross-Strait Relations in the ChenShui-Bian Administration. Diakses dari http://www3.nccu.edu.tw/~ctung/Documents/W-B-a-17.doc Pada Rabu, 14 Oktober 2015.

79

resolusi bagi masa depan Taiwan yang disebut sebagai proklamasi yaitu

pertama, Taiwan merupakan negara berdaulat dan independen. Setiap

perubahan terhadap status Taiwan harus ditentukan oleh pemungutan

suara. Kedua Taiwan bukan bagian dari Tiongkok. Ketiga, Taiwan harus

memperluas perannya dalam dunia internasional serta mencari pengakuan

internasional. Keempat, Taiwan dan Tiongkok harus terlibat dalam dialog

yang komprehesif guna mencari solusi dan mengembangkan kerjasama

ekonomi jangka panjang menuju perdamaian.140

Kemenangan Presiden Chen Shui Bian dapat memicu konflik

antara Tiongkok dan Taiwan kembali setelah pemilu tahun 1988 yang

dimenangkan oleh Lee Teng-hui sehingga Tiongkok mengeluarkan

undang-undang anti pemisahan yang telah dirumuskan sejak akhir

desember 2004. Lalu pada tanggal 14 Maret 2005 undang-undang tersebut

resmi disahkan lewat Kongres Rakyat Nasional. Alasan undang-undang

tersebut disahkan karena pertimbangan Tiongkok atas berlanjutnya proses

yang mendukung kemerdekaan Taiwan sejak masa pemerintahan Presiden

Chen Shui-bian.

Undang-undang anti pemisahan ini terdiri dari 10 artikel, setiap

artikel berisikan rangkuman kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan. UU ini

dirancang mempromosikan unifikasi secara damai, menjaga perdamaian

dan stabilitas Selat Taiwan serta menjaga kedaulatan Tiongkok.141

140 Taiwandc.org, DPP Resolution for Taiwan Future. Diakses dari http://www.taiwandc.org/nws-9920.htm pada Rabu, 28 Oktober 2015.

141 Zou Keyuan. 2005. Governing the Taiwan Issue in Accordance with Law: An Essay on China’sAnti-Secession Law. Chinese Journal of International Law Vol. 4 No. 2. Hal. 456.

80

Beberapa isi undang-undang tersebut memiliki tema ganda

mengenai pengelolaan Tiongkok untuk membawa Taiwan menuju

reunifikasi secara damai. Sebagian lagi menjelaskan prinsip yang diambil

Tiongkok dalam bentuk dialog dan komunikasi antar selat. Pasal pertama

menjelaskan tujuan Tiongkok dalam pengesahan undang-undang tersebut

adalah untuk menentang dan membela kepentingan nasional, kedaulatan

serta keutuhan wilayah Tiongkok. Pasal kedua mendefinisikan status quo

lintas selat. Pasal ketiga menjelaskan bahwa Taiwan merupakan warisan

Perang Saudara.

Pasal keempat mengajak semua kalangan di Tiongkok dan Taiwan

untuk berjuang menuju persatuan nasional. Pasal kelima menyatakan

bahwa prinsip satu Tiongkok merupakan dasar untuk reunifikasi secara

damai. Pasal keenam memberikan perincian langkah-langkah Tiongkok

dalam mengelola hubungan yang damai dengan Taiwan seperti

memfasilitasi pertukaran ekonomi, sosial, ilmu dan budaya. Pasal ketujuh

menjelaskan tentang adanya negosiasi dengan Taiwan untuk topik-topik

yang mencakup penyelesaian konflik lintas selat, partisipasi Taiwan

dalam dunia internasional dan pembangunan institusi yang akan

memfasilitasi unifikasi.142

Legitimasi dalam undang-undang ini dikarenakan prinsip satu

Tiongkok yang tetap dipertahankan oleh Tiongkok dalam setiap

kebijakannya terhadap Taiwan. Tingkatan undang-undang ini setara

dengan undang-undang yang pernah dikeluarkan Tiongkok terhadap

142 Chunjuan N. Wei. China’s Anti Secession Law and Hu Jintao’s Taiwan Policy. Yale Journal ofInternational Affairs. Hal. 16.

81

wilayah Hongkong dan Makau. Undang-undang ini bukan bersifat seperti

hukum yang melegalkan perang seperti yang diketahui oleh Taiwan.143

Undang-undang ini akan bersifat damai jika Taiwan tetap mempertahan

status quo dan menghindari batas-batas yang telah ditetapkan Tiongkok.

Tiongkok pun mendapatkan dukungan dari dunia internasional

dalam pengesahan undang-undang tersebut. Dukungan yang datang dari

berbagai belahan dunia meliputi Uni Afrika yang menegaskan dukungan

dan prinsipnya pada kebijakan satu Tiongkok.144 Uni Eropa dan

Luxemburg mendukung undang-undang anti pemisahan ini dengan

harapan konflik dengan Taiwan dapat diselesaikan secara damai. Rusia,

Belarus, Pakistan, Suriah, Macedonia, dan Venezuela menyuarakan hal

yang sama untuk mendukung pengesahan undang-undang anti pemisahan

terhadap Taiwan. Undang-undang ini dianggap penting untuk menjaga

kedaulatan dan integritas teritorial serta mempromosikan masa depan

pembangunan Tiongkok.

2. Enam Proposal Hu Jintao Terhadap Taiwan

Enam proposal yang diajukan oleh Hu Jintao dalam

pengembangan hubungan lintas selat merupakan kelanjutan dari empat

proposal sebelumnya yang dijadikan pedoman pula untuk mengelola

hubungan dengan pihak Taiwan. Empat proposal tersebut ditetapkan saat

Presiden Hu menghadiri diskusi panel bersama anggota badan penasehat

143Anti-secession Law Not a 'War Mobilization Order'http://www.china.org.cn/english/government/121749.htm Diakses pada Sabtu, 10 Oktober 2015.

144 International Community Supports China’s Anti Seccesion Law. 2005 diakes darihttp://www.chinadaily.com.cn/english/doc/2005-03/16/content_425454.htm pada Minggu, 11Oktober 2015.

82

Tiongkok mewakili wilayah Taiwan pada bulan Maret 2005. Empat

proposal yang diajukan oleh Hu Jintao adalah sebagai berikut:

Pertama, tetap berpegang pada prinsip satu Cina. Prinsip ini

merupakan landasan utama dalam mengembangkan hubungan lintas selat

dan unifikasi secara damai. Tiongkok menerima perundingan serta dialog

selama Taiwan tidak mengabaikan prinsip satu Cina baik secara

perorangan maupun partai politik. Dialog tersebut dapat melebar pada

topik seputar kerjasama militer, status politik Taiwan, kerangka hubungan

damai serta stabilitas lintas selat.145

Kedua, tidak akan menyerah untuk mencari upaya unifikasi secara

damai. Sejumlah 1,3 miliar masyarakat Tiongkok termasuk pula Taiwan

sangat mengharapkan perdamaian serta penyelesaian masalah atas konflik

lintas selat. Unifikasi tidak berarti bahwa satu sisi akan mengambil

wilayah yang lain secara paksa tetapi kedua belah pihak mengupayakan

berunding secara damai menuju tujuan tersebut. Ketiga, tidak akan

mengubah prinsip dan menggantikan harapan orang-orang Taiwan. Orang-

orang di Taiwan adalah saudara sedarah dan mereka juga memiliki peran

penting dalam mengembangkan hubungan lintas selat.

Keempat, tidak akan memberikan kompromi terhadap kegiatan

separatis seperti Taidu (kemerdekaan Taiwan). Menjaga kedaulatan serta

keutuhan wilayah merupakan kepentingan inti dari Tiongkok. Pihak

Tiongkok berharap otoritas di Taiwan dapat memenuhi kebijakan “five no”

serta memenuhi komitmennya untuk tidak mencari legalisasi bagi

145 Four-point Guidelines on Cross-Straits Relations Set Forth by President Hu. 2005. Diaksesdari http://www.china.org.cn/english/2005lh/121825.htm pada sabtu, 17 Oktober 2015.

83

kemerdekaan Taiwan baik melalui reformasi maupun konstitusi. Presiden

Hu menggunakan kesempatannya untuk memberikan pandangan seorang

pemimpin bagi masa depan hubungan lintas selat. Pandangan atau prinsip

Tiongkok yang dituangkan dalam empat proposal sebagai tanggapan atas

tantangan separatis di bawah Presiden Chen Shui-bian. Proposal ini

menggambarkan wujud ketulusan Tiongkok dan keinginan baik dalam

menjaga perdamaian lintas selat.146

Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 2008, Presiden Hu Jintao

menyampaikan pidato yang berjudul “promosi pengembangan hubungan

damai lintas selat dan pencapaian revitalisasi untuk bangsa Tiongkok”.147

Dalam pidato tersebut Presiden Hu meringkas enam poin pendekatan

kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan yaitu :

Pertama, penegasan prinsip satu Tiongkok dan meningkatkan

kepercayaan politik lintas selat. Meski Taiwan dan Tiongkok belum

bersatu kembali sejak tahun 1949, keadaan tersebut didukung dengan

adanya “antagonisme politik”. 148 Untuk dapat menyatukan kedua wilayah

tersebut, baik Tiongkok maupun Taiwan harus mengembangkan

146 President Hu's "four-point" speech shows utmost sincerity toward Taiwan. Diakses darihttp://en.people.cn/200503/08/eng20050308_176059.html pada Sabtu, 17 Oktober 2015.

147 Yang Kai-huang. 2009. “Hu Six Points amid the Interaction between KMT and CCP”.Diakses dari http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/04115463073.pdf pada Kamis, 28Januari 2016.

148 Taiwan Affairs Office of the State Council PRC. 2008. Let Us Join Hands to Promote thePeaceful Development of Cross-Strait Relations and Strive with a United Resolve for the GreatRejuvenation of the Chinese Nation. Speech at the Forum Marking the 30th Anniversary of theIssuance of the Message to Compatriots in Taiwan. Diakses darihttp://www.gwytb.gov.cn/en/Special/Hu/201103/t20110322_1794707.htm pada Sabtu, 17Oktober 2015.

84

pemahaman prinsip satu Tiongkok agar dapat membangun kembali

kepercayaan politik satu sama lain.

Kedua, memajukan kerjasama ekonomi dan mempromosikan

pembangunan. Kedua sisi selat harus terlibat dalam kerjasama ekonomi

yang luas, memperluas tiga hubungan langsung, meningkatkan

kepentingan bersama, membentuk hubungan dekat untuk mencapai situasi

yang saling menguntungkan. Pihak Tiongkok akan terus menyambut dan

mendukung investasi dari perusahaan Taiwan untuk mengembangkan

bisnis mereka.

Ketiga, untuk mempromosikan budaya Tiongkok dan memperkuat

ikatan spiritual. Budaya Tiongkok memiliki sejarah panjang yang dapat

menjadi aset bagi masyarakat di kedua sisi selat. Budaya dan sejarah dapat

menjadi ikatan emosional yang kuat bagi masyarakat. Keempat,

memperkuat kunjungan dan pertukaran dua arah antara Tiongkok maupun

Taiwan. Kunjungan tersebut dapat berupa pariwisata, dialog, budaya, atau

pendidikan. Kelima, untuk menjaga kedaulatan nasional dan mengadakan

konsultasi tentang urusan eksternal. Pihak Tiongkok secara konsisten

berkomitmen untuk menjaga hak-hak hukum dan kepentingan rekan-rekan

Taiwan yang ada diluar negeri. Keenam, untuk mengakhiri permusuhan

dan mencapai kesepakatan damai.

Beberapa proposal yang diajukan oleh Hu Jintao berfungsi sebagai

cetak biru untuk mengarahkan pembangunan damai di lintas selat.

Proposal tersebut juga sebagai bentuk normalisasi hubungan lintas selat

pada pemerintahan Hu Jintao tanpa dibatasi oleh isu politik dan militer.

85

Beberapa poin penting dalam proposal yang diajukan oleh Hu Jintao yaitu,

pertama memperkuat kepercayaan politik antara Tiongkok dan Taiwan.

Kedua, membahas mekanisme kerjasama ekonomi lintas selat. Ketiga

memperluas pertukaran budaya dan pendidikan. Keempat, penyelesaian

damai tentang partisipasi Taiwan dalam dunia internasional.

3. Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA)

Globalisasi ekonomi memainkan peran penting dalam

mempromosikan hubungan lintas selat sampai pada penandatanganan

ECFA. Tujuan dari penandatanganan ECFA adalah untuk menikmati

kerjasama ekonomi dan pembangunan tanpa harus dibatasi oleh kedaulatan

politik. Selain melewati kerangka ekonomi dalam ECFA, Tiongkok dan

Taiwan memiliki organisasi non-pemerintah untuk melakukan

perundingan lintas selat. Dari pihak Taiwan adalah Straits Exchange

Foundation (SEF) yang didirikan pada tahun 1991. Sedangkan di pihak

Tiongkok terdapat Association for Relations Across the Taiwan Straits

(ARATS) yang bertindak sebagai wakil untuk perundingan lintas selat.

Perjanjian ECFA antara Tiongkok dan Taiwan merupakan hasil

dari 37 kali pertemuan antara SEF dan ARATS yang dimulai dari tahun

1991. Hambatan yang muncul dari proses negosiasi tersebut dikaitkan

dengan isu politik dan keamanan nasional kedua negara. Sebelumnya

perjanjian perdagangan perdagangan antara Tiongkok dan Taiwan

menyerupai model Closer Economic Partnership Arrangement (CEPA),

model perjanjian perdagangan yang digunakan antara Tiongkok dengan

Hongkong dan Macau. Model ini bertentangan dengan Taiwan karena

86

Tiongkok akan menganggap Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok sama

seperti Hongkong dan Macau.

ECFA merupakan suatu bentuk perjanjian perdagangan bebas

sementara antara Tiongkok dan Taiwan. Meskipun Tiongkok dan Taiwan

telah menjadi anggota WTO, keduanya masih memiliki kendala dalam

menantangani suatu perjanjian perdagangan karena konflik politik yang

terjadi antara keduanya. Dengan adanya ECFA tersebut dapat

memungkinkan keduanya untuk bekerjasama dari segi ekonomi sehingga

memberi kemudahan dalam mengatur agenda diskusi dan negosiasi di

masa depan.149 Karena masalah politik antara keduanya, ECFA diharapkan

mampu menjadi suatu tahap untuk mewujudkan perdagangan bebas yang

lebih komprehensif sehingga dapat mewujudkan hubungan lintas selat

secara damai.

ECFA secara resmi ditandatangani di Chongqing pada 29 Juni

2010. Kerjasama ekonomi tersebut akan menawarkan potensi yang lebih

besar bagi hubungan Tiongkok dan Taiwan. Potensi tersebut terlihat dari

adanya pengurangan hambatan dalam perdagangan secara bertahap.

Mekanisme dan Konten ECFA dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari

pendahuluan, prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam kerjasama

ECFA, aturan perdgangan dan investasi, kerjasama ekonomi, daftar Early

149 Chi-An Chou. 2010. A Two-Edged Word: Economic Cooperation Framework AgrementBetween The Republic of China and The People’s Republic of China. International Law &Management Review Vol.6. Diakses darihttp://www.law2.byu.edu/ilmr/articles/spring_2010/BYU_ILMR_spring_2010_1_A%20Two-Edged%20Sword.pdf pada Senin, 4 Januari 2016.

87

Harvest dan aturan tambahan lainnya. Naskah ECFA memiliki lima

lampiran yang mencakup daftar produk serta pengaturan pengurangan

biaya yang disepakati dalam program Early Harvest untuk perdagangan

barang, aturan-aturan untuk produk barang yang termasuk dalam program

Early Harvest, mekanisme perlindungan antara kedua belah pihak yang

berlaku bagi perdagangan barang yang termasuk dalam program Early

Harvest, sektor dan langkah bagi liberalisasi dibawah program Early

Harvest untuk perdagangan jasa, definisi penyedia jasa untuk masuk ke

sektor yang telah diliberalisasi melalui program Early Harvest.

Pertama, ketentuan umum yang menjelaskan tentang dasar dan

tujuan ECFA serta mekanisme kerjasama ekonomi serta liberalisasi

perdagangan. Kedua perdagangan dan liberalisasi investasi yang

menjelaskan tentang rangkaian dan jadwal negosiasi perdagangan yang

meliputi barang, jasa, serta investasi. Ketiga, memasukkan kerjasama

industri, kepabeanan, fasilitas perdagangan, ijin impor dan keamanan

pangan. Keempat, Early Harvest mengidentifikasi barang dan jasa yang

akan memenuhi persyaratan untuk penurunan tarif awal dan akses pasar.

Kelima, langkah-langkah untuk mendukung keamanan pangan,

mekanisme penyelesaian konflik dan pembentukan badan eksekutif.150

150 Op. Cit. Brown. Hal. 44.

88

Tabel 2. Rangkuman Bab, Pasal, dan Lampiran yang tercantum dalamEconomic Cooperation Framework Agreement (ECFA)151

Chapter ClausePreambleChapter 1 General Principles Article 1. Objectives

Article 2. Cooperation MeasuresChapter 2 Trade and Investment Article 3. Trade in food

Article 4. Trade in businessArticle 5. Investment

Chapter 3 Economic Cooperation Article 6. Economic cooperationChapter 4 Early Harvest Article 7. Early harvest trade in food

Article 8. Early harvest trade in serviceChapter 5 Other Article 9. Exceptions

Article 10. Dispute settlementArticle 11. Institution arrangementArticle 12. Document FormatsArticle 13. Annexes and Subsequent AgreementsArticle 14. AmendmentsArticle 15. Entry into forceArticle 16. Termination

Lampiran dalam ECFAAnnex 1 Product list and tariff reduction arrangements under

the early harvest for trade in goodsAnnex II Provisional rules of origin applicable to products

under the early harvest for trade in goodsAnnex III Safeguard Measures between the two parties

applicable to products under the early harvest fortrade in goods

Annex IV Sectors and liberalization measures under the earlyharvest for trade in services

Annex V Definitions of service suppliers applicable to sectorsand liberalization measures under the early harvestfor trade in services

Berdasarkan tabel 2, konten ECFA berisi kesepakatan bagi

keduabelah pihak untuk menguatkan hubungan ekonomi serta

perdagangan lintas selat menggunakan prinsip-prinsip yang ada dalam

WTO yang telah disesuaikan dengan kondisi ekonomi antara Tiongkok

Taiwan. Prinsip-prinsip meliputi aspek kesetaraan dan timbal balik. Selain

151 Tzu-Chun Sheng dan Shu-Hui Lan. 2014. Is Economic Cooperation Framework Agreement theThreshold of Sustainable Development for Taiwan’s Industries?. International Journal ofEconomics and Finance Vol. 6. Canadian Center of Science and Education. Hal. 44.

89

itu juga ECFA juga bertujuan untuk memperomosikan liberalisasi barang,

jasa dan investasi beserta mekanismenya. Pada bab tiga bahkan ECFA

meluaskan kerjasamanya pada perlindungan hak kekayan intelektual

(HKI), kerjasama pada sektor keuangan, bea cukai, industry, e-commerce,

kerjasama level usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).152

Pada bab empat menjelaskan tentang program early harvest (panen

awal), pada program ini keduabelah pihak sepakat untuk mengutamakan

pengurangan tarif pada produk yang telah ditentukan. Dalam program

tersebut Tiongkok akan menurunkan tarif pada 539 item yang akan di

ekspor ke Taiwan sedangkan Taiwan akan menurukan tarif pada 267 item

yang akan di ekspor ke Tiongkok. Item yang sudah disepakati dalam

program early harvest meliputi sektor pertanian, manufaktur, tekstil,

petrokimia, transportasi.153 Pada bab lima menjelaskan mengenai aturan-

aturan lain diluar konteks perdagangan seperti langkah-langkah pendukung

dalam mengontrol keamanan pangan, mekanisme penyelesaian sengketa,

badan eksekutif, amandemen, tanggal berlaku, dan sebagainya.

Hasil dari keikutsertaan Tiongkok dalam integrasi ekonomi dunia,

perdagangan antara Tiongkok dan Taiwan pun ikut berkembang dari US$

44,67 milyar dolar pada tahun 2002 menjadi US$129,22 miliar dolar pada

tahun 2008.154 Meskipun sempat terjadi penurunan pada tahun 2009 akibat

dari krisis keuangan global, keduanya berusaha mempertahankan

152 Disadur oleh penulis dari Economic Cooperation Framework Agreement. Diakses darihttp://www.mac.gov.tw/public/data/051116322071.pdf pada kamis, 7 Januari 2016.

153 Annex I Product List and Tariff Reduction Arrangementshttp://www.ecfa.org.tw/EcfaAttachment/ECFADoc/Annex%20I%20Product%20List%20and%20Tariff%20Reduction%20Arrangements.pdf

154 Op. Cit. Sheng dan Lan. Hal. 39-40.

90

pedagangan bilateralnya. Hasilnya dari tahun 2010-2012 keduanya tetap

mempertahankan peningkatan perdagangan sehingga tetap memberikan

lingkungan kerjasama ekonomi yang stabil semenjak penandatanganan

ECFA.

Tabel 3. Data Statistik Perdagangan Antara Taiwan dan Tiongkok dariTahun 2002-2012155

Tahun Ekspor Tiongkok denganTaiwan (dalam milyarUSD)

Impor Tiongkok denganTaiwan (dalam milyarUSD)

TotalPerdagangan(dalam milyarUSD)

2002 6.59 38.08 44.672003 9.00 49.36 58.362004 13.55 64.78 78.322005 16.55 74.68 91.232006 20.74 87.11 107.842007 23.46 101.02 124.482008 25.88 103.34 129.222009 20.51 85.72 106.232010 29.68 115.69 145.372011 35.11 124.92 160.032012 36.78 132.18 168.96

Hasil dari data tersebut menjelaskan bahwa perdagangan antara

Tiongkok dan Taiwan pada tahun 2003-2013 yaitu pada masa

pemerintahan Hu Jintao mengalami kenaikan setiap tahunnya. Jika dilihat

dari data diatas terjadi penurunan jumlah perdagangan Tiongkok dengan

Taiwan sebesar USD 22,99 milyar. Penurunan tersebut terjadi karena

adanya krisis ekonomi global yang disebabkan oleh krisis finansial di

Amerika Serikat. Krisis finansial secara global tersebut membuat

155 Tzu-Chun Sheng dan Shu-Hui Lan. 2014. Is Economic Cooperation Framework Agreement theThreshold of Sustainable Development for Taiwan’s Industries?. International Journal ofEconomics and Finance Vol. 6. Canadian Center of Science and Education. Hal. 39.

91

pertumbuhan Tiongkok turun sebesar 20% atau senilai 11.7 milyar US

Dolar.156

Dari penjelasan diatas, walaupun Tiongkok tidak mendapat

keuntungan sebesar Taiwan dalam penandatanganan ECFA Tiongkok

memiliki beberapa kepentingan terhadap ECFA selain motif ekonomi

yaitu, sebagai bentuk dari strategi soft power Tiongkok dalam memperluas

pengaruhnya secara bilateral dan internasional. Soft power tersebut

meliputi menggabungkan perjanjian perdagangan dengan rencana

pembangunan antara Tiongkok dengan Taiwan. Selain itu juga ECFA

merupakan salah satu usaha Tiongkok untuk mencapai tujuan unifikasi

dengan Taiwan secara damai. Hal ini sejalan dengan politik luar negeri

Tiongkok yang disebut peaceful development atau pembangunan secara

damai serta harmonius world.

Kedua konsep politik luar negeri Tiongkok tersebut didasari oleh

lima prinsip yang disebut peaceful coexistance atau koeksistensi damai

yang pernah dilakukan oleh perdana menteri Zhou Enlai pada tahun

1950an. Lima koeksistensi dama tersebut mencakup penghormatan atas

kedaulatan, prinsip non-agresi dan intervensi, persamaan derajat serta

memberlakukan koeksistensi damai dengan negara-negara yang berbeda

sistem sosial. Pembangunan damai yang dulu telah dilakukan oleh

Tiongkok akan tetap berlanjut hingga pemerintahan Hu Jintao. Kebijakan

156 Kompas. 2009. Volume Perdagangan Indonesia-China Terimbas Krisis. Diakses darihttp://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/08/24/11435164/volume.perdagangan.indonesia-china.terimbas.krisis pada Senin, 4 Januari 2016.

92

tersebut termasuk upaya pengembangan Tiongkok melalui pertumbuhan

ekonomi serta mencapai perdamaian dunia. Sedangkan harmonious world

adalah bagian dari strategi Presiden Hu untuk pembangunan Tiongkok

yang lebih harmonis dengan menekankan bagaimana menangani

perbedaan dalam suatu masalah bagi dengan sesama negara tetangga

maupun msyarakat internasional. Meninggalkan cara-cara peperangan dan

menunjukkan toleransi yang tinggi.

Kebijakan yang telah dijelaskan diatas dianggap efektif untuk

mengurangi konflik dengan Taiwan terkecuali dalam hal ini Taiwan

memancing Tiongkok untuk menggunakan cara-cara yang tegas dalam

meredam upaya kemerdekan Taiwan. Pada awal masa pemerintahan Hu

Jintao, Tiongkok telah dihadapkan pada kondisi yang cukup sulit karena

Taiwan semakin bertindak agresif dengan mengadakan pemilihan umum

kedua kalinya setelah sebelumnya dilakukan oleh Presiden Lee Teng-hui

sehingga Tiongkok mengeluarkan kebijakan ASL untuk meredam Taiwan.

Selain itu juga Tiongkok juga bersikap kooperatif dengan mengajukan

enam proposal damai dan menandatangani kerjasama ekonomi dalam

bentuk ECFA guna mewujudkan reunifikasi damai dengan Taiwan.

B. Respon Taiwan Terhadap Kebijakan Tiongkok Pada Masa Presiden Hu

Jintao (2003-2013)

Sejak tahun 2003, pada masa kepemimpinan Hu Jintao, pandangan

Tiongkok mengenai isu Taiwan mengalami perubahan dibandingkan dengan

kepemimpinan Jiang Zemin. Perubahan tersebut memberikan kontribusi yang

relatif stabil dan damai dalam hubungan lintas selat selama tahun 2003-2013.

93

Walaupun sempat mengalami sedikit ketegangan pada tahun 2000 yaitu

ketika Taiwan dipimpin oleh Chen Shui-bian dari partai DPP sehingga

menyebabkan kebuntuan dalam bidang politik, tetapi pertukaran ekonomi,

budaya dan lainnya terus berkembang dengan pesat.

Selama masa pemerintahan Hu Jintao dari tahun 2003-2013, terdapat

dua masa pemerintahan di Taiwan yaitu Chen Shui-bian dan Ma Ying-jeou.

Masing-masing pemimpin tersebut memberikan respon yang berbeda

terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Tiongkok. Selama periode 2000-

2008 Taiwan dipimpin oleh Chen Shui-bian yang berasal dari partai DPP,

Taiwan menekan Tiongkok dengan mengadakan pemilihan umum.

Ketegangan politik ini dapat diatasi sementara dengan adanya kebijakan Five

No’s, Three mini Links sehingga resiko terjadinya perang dengan Tiongkok

dapat dihindari.

Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Ma Ying-Jeou, Taiwan

memiliki konsistensi pengembangan hubungan lintas-selat yang damai.

Perkembangan hubungan lintas-selat yang damai ini ditandai dengan adanya

promosi kerjasama ekonomi dalam kerangka ECFA dan peningkatan

hubungan politik dalam kerangka kebijakan flexible diplomacy.

1. Kebijakan Taiwan Terhadap Tiongkok Pada Masa Presiden Chen

Shui-Bian (2000-2008)

Respon Taiwan terhadap politik luar negeri Tiongkok dapat

dipengaruhi dengan perkembangan politik domestik Taiwan.

Perkembangan tersebut ditandai oleh adanya perubahan kebijakan sebagai

94

respon dalam menanggapi konflik dengan Tiongkok. Terkait kebijakan

Taiwan tersebut bergantung pada partai yang memenangkan pemilihan

presiden. Keseimbangan politik dalam negeri Taiwan memiliki dampak

terhadap respon yang dikeluarkan terhadap Tiongkok.

Setiap Presiden memainkan peran penting dalam menangani konflik

dengan Tiongkok. Masing-masing presiden memiliki karakteristik serta

latar belakang dalam pembuatan suatu kebijakan. Latar belakang Presiden

Chen yang memenangkan pemilihan umum pada tanggal 17 Maret 2000,

berasal dari Partai Demokratik Progresif (DPP). Partai DPP memiliki

acuan serta rancangan yang disahkan dalam kongres nasional pertama

pada tahun 1986 untuk menetapkan bahwa pembentukan Taiwan sebagai

negara yang berdaulat dan independen sebagai tujuan partai.157

Sebagian besar anggota DPP memiliki identitas dan rasa

nasionalisme yang kuat dibandingkan dengan partai Kuomintang

(KMT).158 Kemenangan Chen Shui-bian membawa tantangan baru bagi

hubungan lintas selat. Kemenangan Chen Shui-bian didukung oleh latar

belakangnya yang merupakan penduduk asli Taiwan kedua yang menjadi

Presiden Taiwan setelah Presiden Lee Teng-hui sehingga presiden Chen

memberikan semangat baru bagi masyarakat Taiwan yang mendukung

kemerdekaan.

Kemunculan Partai DPP dimulai pada tahun 1990 merupakan salah

satu faktor yang memisahkan dua partai politik yang ada di Taiwan yaitu

157 Mumin Chen. 2005. Prosperity vs. Security: National Security of Taiwan 2000-2004. TaiwanInternational Studies Quarterly, Vol. 1, No. 2, Hal. 126.

158 Hung-Chin Wei. 1999. Taiwan’s Democratic Progressive Party and its Mainland China Policy.Durham Theses. Durham University.

95

Kuomintang (Pan Blue) yang bergabung dengan New Party (NP), People

First Party (PFP) yang mendukung adanya unifikasi dengan Tiongkok

sedangkan Democratic Progressive Party (Pan Green) yang bergabung

dengan Taiwanese Independence Party (TAIP) dan Taiwan Solidarity

Union (TSU) yang mendukung kemerdekaan Taiwan.159

Chen Shui-bian yang didukung oleh partai DPP tersebut membuat

hubungan Tiongkok dan Taiwan menjadi rawan konflik. Hal ini terjadi

setelah Presiden Chen memenangkan pemilihan presiden kedua pada tahun

2004. Chen Shui-bian tetap gencar untuk mempromosikan kemerdekaan

Taiwan. Pemerintahan Chen diharapkan lebih menyesuaikan kebijakannya

dengan Tiongkok, jika Presiden Chen terus melanjutkan kebijakannya

tersebut maka pihak Taiwan akan sulit untuk membawa Tiongkok ke

dalam proses negosiasi di masa yang akan datang.

Melihat latar belakang Presiden Chen Shui-bian, gambaran umum

kebijakan yang dikeluarkan dalam merespon kebijakan Tiongkok pada

masa Hu Jintao bertujuan untuk mendukung kemerdekaan Taiwan dan

memperoleh dukungan untuk Taiwan dalam dunia internasional. Agenda

politik DPP meliputi pembangunan identitas nasional Taiwan yang

terpisah dari Tiongkok. Selama masa pemerintahan Chen Shui-bian,

kebijakan yang dikeluarkan berupa penguatan identitas nasional Taiwan di

mata internasional.

159 Fuh Sheng Hsieh. 2005. Etnicity, National Identity, and Domestic Politics in Taiwan. Journal ofAsian and African Studies. London: Sage Publication. Hal 14-15. Diakses darihttp://jas.sagepub.com/content/40/1-2/13.full.pdf pada Rabu, 26 Maret 2015.

96

Untuk itu pihak Taiwan memberikan kebijakan penahan untuk

mengurangi ketegangan dengan Tiongkok. Kebijakan yang berbentuk

penahanan tersebut seperti kebijakan Five No’s dimana Taiwan tidak akan

memproklamirkan kemerdekaan, mencabut nama resmi Negara yang

sudah ditetapkan sebelumnya, mengulang kembali pandangan lintas selat

seperti Lee Teng-hui (State to State Theory), mengadakan referendum

masalah kemerdekaan, mencabut pedoman unifikasi nasional atau

menghilangkan Dewan Unifikasi Nasional.160

Pada tahun 2004 Chen Shui-bian memberikan perhatian besar pada

hubungan lintas selat setelah terpilih kembali pada pemilihan Presiden.

Untuk mengurangi ketegangan hubungan antara Tiongkok dan Taiwan,

Presiden Chen membuka tiga hubungan langsung antara Tiongkok dan

Taiwan melalui transportasi, layanan pos, dan perdagangan yang meliputi

Kinmen, Matsu dan Penghu. Setelah itu Taiwan berusaha memperluas

hubungan dengan Tiongkok lewat pariwisata atau kunjungan turis dari

Taiwan ke Tiongkok dan sebaliknya.161

160 Chien Min-chao. One Step Forward, One Step Backward: Chen Shui-bian Mainland Policy.Diakses dari http://nccur.lib.nccu.edu.tw/bitstream/140.119/29500/1/4.pdf pada Kamis, 31Desember 2015.

161 David G. Brown. China-Taiwan Relations: Chen Muddies Cross-Strait Waters. Center forStrategic and International Studies (CSIS). Yang diakses darihttp://csis.org/files/media/csis/pubs/0203qchina_taiwan.pdf pada Sabtu, 9 Januari 2016.

97

Tabel 4. Rangkuman Kebijakan Taiwan Terhadap Tiongkok pada masaPresiden Chen Shui-bian (2000-2008)162 163

No. Tahun Kebijakan yang diambil1. 2000 Chen Shui-bian memenangkan pemilihan

Presiden. Chen Shui-bian merupakan calonkandidat yang berasal dari Partai DPP yangmengalahkan kekuasaan KMT selama 55 tahun.

Pada pidato pelantikannya, Presiden Chenmengeluarkan kebijakan Five No’s untukmencegah Tiongkok menggunakan militerterhadap Taiwan.

2. 2001 Taiwan membuka tiga hubungan langsungdengan Tiongkok.

Presiden Chen mengumumkan pandangannyadalam mengelola hubungan lintas selat yaituOne Country Each Side.

Taiwan menjadi anggota WTO3. 2004 Presiden Chen kembali terpilih dalam pemilihan

umum presiden untuk periode 2004-2008. Three mini links (tiga hubungan langsung

Taiwan-Tiongkok melalui transportasi, layananpos, dan perdagangan)

4. 2006 Presiden Chen menyatakan bahwa PedomanNasional Unifikasi telah berhenti untukditerapkan serta dihapusnya Dewan UnifikasiNasional.

Respon Taiwan terhadap Tiongkok pada masa pemerintahan Chen

Shui-bian merupakan hasil pengaruh dari perkembangan politik dalam

negeri Taiwan yang didukung oleh kemenangan partai DPP. Dengan latar

belakang tersebut, terdapat pola hubungan antara politik domestik Taiwan

dengan lintas selat, jika seorang politisi dengan identitas pro-Taiwan

memenangkan pemilihan presiden, ancaman terhadap hubungan Tiongkok

dan Taiwan akan meningkat. Sebaliknya jika politisi tersebut memiliki

identitas pro-Tiongkok maka tingkat ancaman bagi hubungan Tiongkok

162 Edgardo E. Dagdag. 2004. Chen Shu-bian and Taiwan- China (Cross-strait) Relations AnInitial Assessment. Diakses dari www.asj.upd.edu.ph/mediabox/archive/ASJ-39-1-2-2003/dagdag.pdf pada Senin, 5 Januari 2016.

163 Op. Cit. Vincent Wei-cheng Wang. Hal. 102-104.

98

dan Taiwan akan menurun. Oleh karena itu sebagian besar kebijakan yang

dikeluarkan oleh Presiden Chen dapat memicu konflik dengan Tiongkok.

2. Kebijakan Taiwan Terhadap Tiongkok Pada Masa Presiden Ma Ying-

Jeou (2008-2016)

Setelah hubungan Tiongkok dan Taiwan menegang pada masa

pemerintahan Chen shui-bian, hubungan keduanya mengalami fase baru

setelah terpilihnya Ma Ying-jeou dan Vincent Siew dari partai

Kuomintang (KMT) dalam pemilihan presiden tahun 2008. Ma Ying-jeou

memenangkan suara sebanyak 58,45% dibandingkan dengan calon

kandidat dari partai DPP Frank Hsieh dan Su Tseng-chang yang hanya

mendapatkan suara sebanyak 41,55%.164 Sejak pelantikannya Presiden Ma

secara aktif mengejar pembentukan kembali hubungan lintas selat dengan

mengupayakan pembangunan keamanan yang stabil untuk menunjang

kerjasama ekonomi baik dengan Tiongkok maupun dengan Negara

lainnya.

Dalam kebijakan luar negerinya Presiden Ma menekankan

komitmen untuk memperdalam partisipasi Taiwan dalam proses integrasi

ekonomi secara regional dan internasional dan hubungan antara Tiongkok

dan Taiwan pasca Presiden Chen Shui-bian. Untuk peningkatan hubungan

secara damai tersebut Presiden Ma mengeluarkan kebijakan three no’s

dengan Tiongkok. Kebijakan tersebut menjelaskan bahwa Taiwan akan

164 Mo Yan-chih. 2008. Decisive Victory for Ma-Ying-jeou. Diakses darihttp://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2008/03/23/2003406711 pada Selasa, 5Januari 2016.

99

mengadopsi tiga sikap yaitu tidak ada unifikasi, tidak ada deklarasi

kemerdekaan dan tidak ada penggunaan kekuatan.165

Penekanan komitmen Presiden Ma untuk memperbaiki hubungan

dengan Tiongkok setelah mengadopsi konsensus 1992 adalah terbukanya

kembali pertemuan antara Strait Exchange Foundation (SEF) dengan

Associaion for Relation Across the Taiwan Strait (ARATS). Pertemuan

tersebut termasuk dalam langkah Presiden Ma untuk memperdalam

hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Pertemuan antara pihak yang

mewakili Taiwan dengan Tiongkok tersebut berujung pada tercapainya

penandatanganan ECFA pada tahun 2010.

ECFA merupakan suatu bentuk kerangka kerjasama antara

Tiongkok dan Taiwan yang memberi aturan yang jelas antara keduabelah

pihak. Beberapa keuntungan yang akan didapat oleh Taiwan dengan

adanya penandatanganan ECFA yaitu, Taiwan tidak akan terkena dampak

buruk dari adanya perdagangan bebas dari yang telah Tiongkok lakukan

dengan negara-negara lain termasuk ASEAN. Selain itu dengan

penandatanganan ECFA akan membuat investor Taiwan lebih mudah

masuk ke Tiongkok.

Setelah penandatanganan ECFA, selama masa pemerintahan Ma

Ying-jeou pemerintahannya menggunakan flexible diplomacy dalam

mengelola hubungan dengan Tiongkok. Inti dari kebijakan ini adalah

mengarahkan kebijakan luar negeri Taiwan untuk mengurangi konflik

165 Ralph Cossa. 2008. Looking Ma’s three noes. Diakses darihttp://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2008/01/21/2003398185 pada Selasa, 5Januari 2016.

100

dengan Tiongkok dan menerima konsensus 1992 yang menjadi dasar bagi

pengelolaan hubungan Tiongkok dengan Taiwan. Diplomasi ini digunakan

agar pemerintah Taiwan dapat meningkatkan peran Taiwan dalam dunia

internasional tanpa halangan dari Tiongkok.166

Flexible diplomacy ini memiliki manfaat bagi Taiwan di tiga level

yaitu, pertama ditingkat internasional Taiwan akan mendapat pengakuan

serta memulihkan kepercayaan dari masyarakat internasional setelah

kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden Chen sebelumnya. Hal positif

tersebut akan menciptakan peluang baru bagi hubungan diplomasi Taiwan

dengan Negara-negara lain di masa yang akan datang. Sedangkan pada

tingkat lintas selat, diplomasi ini membantu Taiwan untuk meredakan

konflik yang terjadi antara Tiongkok dan Taiwan serta menambah

dukungan dari Tiongkok agar Taiwan dapat berpartisipasi dalam World

Health Organization (WHO).167

Poin yang membedakan antara kebijakan Ma Ying-jeou dengan

Chen Shui-bian adalah kebijakan Ma-Ying-jeou tetap menjaga status quo

dengan Tiongkok dan menerapkan kebijakan yang lebih pragmatis,

pengurangan konflik serta provokasi. Kebijakan three no’s, kerjasama

ECFA serta flexible diplomacy merupakan pendekatan kebijakan Ma

dalam mengembangkan hubungan dengan Tiongkok.168 Kebijakan Ma

166 Taiwan Today. Chiayi Ho. 2010. Taiwan Academics Laud Ma’s Flexible Diplomacy. Diaksesdari http://taiwantoday.tw/ct.asp?xItem=100359&ctNode=2357 pada Sabtu, 8 Januari 2016.

167 Kaocheng Wang. Taiwan Diplomatic Policy under Ma Ying-jeou Administration. Diakses darihttp://fsi.stanford.edu/sites/default/files/evnts/media//Taiwan%27s_diplomatic_policies.pdfpada Sabtu, 8 Januari 2016.

168 Jorg Thiele. 2014. The Operational Code of Chen Shui-bian and Ma Ying-jeou: A NewApproach in the Analysis of Cross-strait Relations. European Consortium for PoliticalResearch. University of Vienna. Hal. 13.

101

tersebut sebagai langkah gencatan senjata dengan Tiongkok dan untuk

memperluas posisi Taiwan di dunia internasional.

Baik pada masa Chen Shui-bian maupun Ma Ying-Jeou, Tiongkok

dan Taiwan masih mempertahankan status quo. Kedua presiden Taiwan

tersebut hanya menunda usaha Tiongkok dalam mewujudkan unifikasi.

Namun, kedua presiden tersebut memiliki cara yang berbeda dalam

menunda kebijakan reunifikasi yang dilakukan Tiongkok. Presiden Chen

Shui-bian cenderung merespon kebijakan Tiongkok dengan tindakan yang

akan memicu konflik. Hal tersebut dapat dilihat dari kemenangan Chen

Shui-bian dalam pemilihan umum, latar belakang Presiden Chen yang

berasal dari partai DPP, pandangan mengenai teori One Country Each Side

serta menghapus Dewan Unifikasi Nasional. Tindakan tersebut akan

menyulitkan proses negosiasi bagi kedua belah pihak di masa depan.

Sedangkan pada masa pemerintahan Ma Ying-jeou menunda

negosiasi untuk mencapai reunifikasi dengan menggunakan cara-cara

damai dan menguntungkan bagi Taiwan. Cara-cara tersebut lebih

menciptakan suasana yang kooperatif antara Tiongkok dan Taiwan serta

lebih mengedepankan kerjasama ekonomi seperti adanya penandatanganan

Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA).

102

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Isu lintas-selat merupakan isu yang menarik untuk dibahas dalam

politik luar negeri Tiongkok. Hingga saat ini Tiongkok belum mampu

melakukan kebijakan unifikasi terhadap wilayah Taiwan. Hubungan

Tiongkok dan Taiwan saat ini masih menggunakan status quo dimana

keduanya saling mempertahankan prinsip yang dipegang baik oleh

Tiongkok maupun oleh Taiwan. Taiwan terus melakukan upaya untuk

mendapatkan pengakuan sebagai pemerintahan yang sah baik dimata

Tiongkok maupun di mata internasional.

Terkait isu Taiwan, dalam hal ini kedaulatan merupakan salah satu

dari dua isu yang paling penting dalam sengketa politik selain isu keamanan

antara Tiongkok dan Taiwan. Di era globalisasi isu kedaulatan tidak lagi

menjadi penghambat antara hubungan lintas Selat. Tiongkok lebih

mengedepankan aspek ekonomi daripada berlarut dalam konflik politik

dengan Taiwan. Interaksi ekonomi dan sosial di lintas selat secara intensif

dapat menumbuhkan interaksi antar pemerintahan yang berguna bagi

kepentingan keduabelah pihak.

Adanya perubahan pola dalam politik luar negeri Tiongkok

terhadap upaya kemerdekaan pada masa pemerintahan Hu Jintao membuat

103

respon Taiwan dan dunia internasional menjadi positif terhadap Tiongkok.

Hal tersebut menjadikan Taiwan lebih kooperatif, mengurangi konflik serta

menciptakan banyaknya dukungan terhadap kebijakan satu Cina.

Dari sudut pandang Tiongkok penyatuan politik tetap menjadi

tujuan jangka panjang daripada penyatuaan ekonomi. Strategi yang realistik

untuk dijalankan saat ini adalah dengan mempromosikan hubungan lintas

selat yang damai setelah masuknya Tiongkok dalam WTO dan

mengembangkan kerjasama melalui integrasi ekonomi sehingga

memungkinkan Tiongkok untuk bernegosiasi masalah unifikasi di masa

depan.

Politik luar negeri yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap upaya

kemerdekaan Taiwan pada masa pemerintahan Hu Jintao tidak terlepas dari

faktor-faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang

mempengaruhi politik luar negeri Tiongkok yaitu pertama, sistem politik

domestik Tiongkok. Pergantian pemerintahan dari Jiang Zemin ke Hu Jintao

sekaligus mengubah arah politik luar negeri Tiongkok, Hu Jintao memiliki

pandangan yang terbuka, fokus pada pengembangan cara-cara damai lewat

kerjasama ekonomi. Selain itu politik domestik banyak melibatkan aktor-

aktor yang mempengaruhi pembuatan suatu keputusan. Pengaruh aktor-

aktor tersebut tidak akan melebihi kekuasaaan tertinggi dari Hu Jintao.

Kedua, kepentingan ekonomi yang ditunjukkan oleh Tiongkok

dengan adanya perubahan kebijakan dari penggunaan militer menuju pada

kebijakan yang lebih rekonsiliatif guna mengembangkan hubungan sosial

104

dan ekonomi. Faktor ekonomi ini juga digunakan untuk melengkapi sumber

daya antara Tiongkok dan Taiwan sekaligus bentuk state survival. Jika suatu

Negara ingin melakukan langkah politik maka harus didahului oleh langkah

perdamaian seperti adanya integrasi ekonomi.

Ketiga, faktor ideosinkretik yang mempengaruhi keputusan atau

kebijakan yang diambil oleh Hu Jintao dipengaruhi oleh nilai, pengalaman,

bakat, kepribadian elit politik serta belief. Hu Jintao yang memiliki latar

belakang konfusianisme memiliki penekanan pada kebijakan luar negeri

yang damai. Filsafat tentang konfusianisme tersebut muncul dalam politik

luar negerinya seperti peaceful development dan harmonious world.

Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi politik luar negeri

Tiongkok terhadap Taiwan pada masa Hu Jintao yang pertama yaitu, adanya

dukungan dari Amerika Serikat dalam bentuk militer dan politik. Dukungan

militer yaitu adanya Taiwan relations Act (TRA), kerjasama militer dalam

hal pembelian senjata. Sedangkan dukungan politik tersebut berbentuk

kebijakan strategic ambiguity dimana AS dapat mempertahankan hubungan

kerjasama dengan Taiwan walaupun AS sudah terikat kebijakan satu Cina

dengan Tiongkok. AS juga memberika dukungannya kepada Taiwan agar

dapat berpartisipasi dalam organisasi internasional. Kedua adalah

keanggotaan Taiwan dalam WTO yang akan memperluas pengaruh politik

dan ekonomi Taiwan dalam dunia internasional.

Dampak globalisasi juga mempengaruhi hubungan lintas selat,

selama beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan

105

Taiwan semakin berkembang dan terintegrasi dengan Negara-negara lain.

Hal ini didukung dengan meluasnya pengaruh Tiongkok dan Taiwan pasca

memasuki WTO dan adanya penandatanganan kerjasama ECFA. Kerjasama

ekonomi tersebut tidak mungkin terjadi jika kedua pemerintahan tersebut

tidak mengesampingkan masalah keamanan dan politik yang selama ini

menjadi sumber konflik antara Tiongkok dan Taiwan. Terdapat beberapa

teori yang mengatakan bahwa Taiwan akan mengutamakan peningkatan

hubungan ekonomi di lintas selat daripada politik. Bagi Tiongkok, untuk

saat ini kerjasama ekonomi akan meningkatkan perdamaian dan stablilitas.

Terkait respon Taiwan terhadap politik luar negeri Tiongkok

sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik Taiwan. Dari

perkembangan politik domestik dari masa Presiden Chen Shui-bian sampai

Ma Ying-jeou dapat disimpulkan suatu pola antara Tiongkok dan Taiwan,

jika seorang politisi dengan identitas pro-Taiwan memenangkan pemilihan

presiden, ancaman terhadap hubungan Tiongkok dan Taiwan akan

meningkat. Sebaliknya jika politisi tersebut memiliki identitas pro-Tiongkok

maka tingkat ancaman bagi hubungan Tiongkok dan Taiwan akan menurun.

106

Daftar Pustaka

Buku

Bae, Jung-Ho dan Jae H. Ku (ed). 2012. China’s Domestic Politis and Foreign

Policies and Major Countries’ Strategies toward China. Seoul: Korea

Institute for National Unification (KINU).

Bakri, Umar Suryadi. 1997. China Quo Vadis?: Pasca Deng Xiaoping. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Baldwin, David. 1985. Economic Statecraft. New Jersey: Princeton University

Press.

Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction.

New York: Palgrave MacMillan.

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Chang, Parris H. 2014. Beijing’s Unification Strategy toward taiwan and Cross-

Strait Relations. The Korean Journal of Defense Analysis Vol. 26 No. 3.

Hal. 300. Penulis mengutip dari Deng Xiaoping’s Selected Works 1975–

1982. 1983. Beijing: People’s Publishing House.

Cheng, Joseph Y. S. 1998. China in the Post-Deng Era. Hongkong: The Chinese

University Press.

Cheng, Joseph Y. S. 1989. The Evolution of China Foreign Policy in the Post-

Mao Era: From Anti-Hegemony to Modernization Diplomacy, in China:

Modernization in the 1980’s “Zhongguo de ‘Xiandaihua’ Wiajiao

Zhengce”. Hongkong: Chinese University Press.

Clough, Ralph N. 1993. Reaching Across the Taiwan Strait: People to People

Diplomacy. Colorado: Westview Press.

Coulumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1981. Introduction to International

Relation: Power and Justice. Prentice.

Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key

Concepts. New York : Routledge.

107

Grove, Andrea. 2007. Political Leadership in Foreign Policy, Manipulating

Support Across Border. Palgrave Macmillan.

Holsti, K.J. 1992. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis (terj.).

Bandung: Bina Cipta.

Hu, Weixing (ed). 2013. New Dynamics in Cross-Taiwan Strait Relations. New

York: Routledge

Jian, Chen. 2001. Mao’s China and The Cold War. London: The University of

North Carolina Press.

Joseph, William A. 2014. Politics In China: An Introduction. New York: Oxford

University Press

Kennedy, Paul. 1987. The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change

and Military Conflict from 1500 to 2000. New York: Random House.

Kesler, Eric Von. 2008. Taiwan’s Dilemma: China, The United States, and

Reunification. Naval Postgraduate School. Monterey: California.

Kupchan, Charles A. 2010. How Enemies Become Friends. Princeton: Princeton

University Press.

Lampton, David (ed). 2001. The Making of Chinese Foreign and Security Policy

in the Era of Reform, 1978-2000. Standford: Standford University Press.

Lentner, Howard. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual

Approach. Ohio: Bill and Howell Co.

Mamonto, Muhammad Ciptadi. 2010. Analisa Kebijakan Luar Negeri Strategic

Ambiguity Amerika Serikat: The US Interest towards the Two China.

Malang: Universitas Brawijaya.

Mas’oed, Mochtar. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.

Jakarta: LP3ES.

Maxwell, Robert (ed). 1984. Deng Xiaoping: Speeches and Writings. New York:

Pergamon.

Papp, Daniel S. 1988. Contemporary International Relation: A Framework for

Understanding. New York: MacMillan Publishing Company.

Perwita, Anak Agung B. dan yani Yanyan M. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan

Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

108

Plano, Jack C. dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung:

Abardin.

Prawirasaputra, Sumpena.1984. Politik Luar Negeri Republik Indonesia.

Bandung: Remaja Karya.

Rosenau, James N. 1969. International Politics and Foreign Policy: A Reader in

Research and Theory. New York: The Free Press.

Rosenau, James N. 1980. The scientific Study of Foreign Policy. New York: The

Free Press.

Rosenau, James N., Gavin Boyd dan Kenneth W. Thompson. 1976. World

Politics: An Introduction. New York: The Free Press.

Stuart, Douglas T dan Harish Kapur (ed.). 1985. The End of and Isolation: China

After Mao. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2009. Metode Penelitian Sosial: Berbagai

Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tien, Hung-mao dan Yun-han Chu (ed). 2000. China Under Jiang Zemin. United

States of America: Lynne Rienner Publisher.

Wang, Yu San (ed). 1990. “Foreign Policy of the Republic of China on Taiwan:

An Unorthodox Approach”. New York. Praeger Publishers.

Wong, Jhon dan Yongnian Zheng (ed). 2002. Post Jiang Leadership Succession:

Problems and Perspective. Singapore: Singapore University Press.

Wo, Willy and Lap Lam. 2006. Chinese Politics in the Hu Jintao Era: New

Leaders, New Challenges. New York: An East Gate Book.

Xuetong, Yan. 1993. Zhongguo guojia liyi fenxi (Analysis of China’s National

Interests). Tianjin: Tianjin People’s Press.

Yizhou, Wang. 2003. Quanqiu zhengzhi he zhongguo wai jiao (Global politics

and Chinese foreign policy). Beijing: World Knowledge Press.

Zhang, Shu Guang. 1992. Deterrence and Strategic Culture: Chinese-American

Confrontations, 1949-1958. Ithaca: Cornell University Press.

109

Skripsi dan Tesis

Hines, Robert Lincoln. 2013. Change and Continuity in Chinese Strategic

Culture-Chinese Decision Making in The Taiwan Strait. American

University.

Muharom, Azmi. 2014. Kebijakan Luar Negeri Tiongkok terhadap Taiwan dalam

negosiasi Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) pada

tahun 2010. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Panjaitan, Yoan. 2012. “Faktor-Faktor yang Menjadikan Cina sebagai Kekuatan

Ekonomi Baru di WTO (2001-2009)”. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik, Universitas Indonesia.

Sitepu, Ardhy Dinata. 2013. Dampak Penandatanganan Economic Cooperation

Framework Agreement terhadap Economic Security Taiwan pada tahun

2011-2013. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Wei, Hung-Chin. 1999. Taiwan’s Democratic Progressive Party and its Mainland

China Policy. Thesis. Durham University.

Widarsa, Avina Nadhila. 2011. Kepentingan Cina dalam Penandatanganan Cross

Strait Economic Cooperation Framework Agreement dengan Taiwan

pada tahun 2010. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Indonesia.

Jurnal dan Publikasi

Brown, Kerry, Justin Hempson-Jones dan Jessica Pennisi. 2010. “How Taiwan’s

Relationship with China Affects its Position in the Global Economy”.

The Royal Institute of International Affairs.

Cabestan, Jean Pierre. 1995. “Mainland Missileand the Future of Taiwan and Lee

Teng-hui”. China Perspective.

Charnovitz, Steve. 2006. “Taiwan WTO Membership and Its International

Implications”. George Washington University Law School.

Chou, Chi-An. 2010. “A Two-Edged Word: Economic Cooperation Framework

Agrement Between The Republic of China and The People’s Republic of

110

China”. International Law & Management Review Vol.6. Diakses dari

http://www.law2.byu.edu/ilmr/articles/spring_2010/BYU_ILMR_spring_

2010_1_A%20Two-Edged%20Sword.pdf pada Senin, 4 Januari 2016.

Coney, Sean. 1997. “Why Taiwan is Not Hongkong: A Review of The PRC’s “One

Country Two Systems” Model for Reunification with Taiwan”. Pacific

Rim Law & Policy Journal Vol. 6.No. 3.

Ding, Arthur S. 2013. “The Hu Jintao Decade in China’s Foreign and Security

Policy (2002–12): Assessments and Implications”. Stockholm

International Peace Research Institute (SIPRI).

_______. “Drafting and Promulgation of the Basic Law and Hongkong’s

Reunification with the Motherland”. Diakses dari

http://www.basiclaw.gov.hk/en/publications/book/15anniversary_reunific

ation_ch1_1.pdf pada Senin, 23 Februari 2015.

Duchâtel, Mathieu dan François Godement. 2009. “China’s Politics under Hu

Jintao”. Journal of Current Chinese Affairs 3: German Institute of

Global and Area Studies (GIGA).

Dumbaugh, Kerry dan Michael F. Martin. 2009. “Understanding China’s

Political System”. Congressional Research Service (CRS).

Gong, Gerrit W. “China-Taiwan Relations: Cross-Strait Cross-Fire”. Center for

Strategic and International Studies (CSIS). Diakses dari

http://csis.org/files/media/csis/pubs/0001qchina_taiwan.pdf Pada

Minggu, 5 Juli 2015.

Hairen, Zong. 2002. “The low-profile Hu Jintao”. Hong Kong Economic Journal.

Hartati, Anna Yulia. 2004. “Diplomasi Indonesia Pasca Perang Dingin”. Jurnal

Spektrum Vol. 1 No. 1.

Holbig, Heike. 2009. “Remaking CCP’s Ideology: Determinant, Progress and

Limits under Hu Jintao”. German Institute of Global and Area Studies

(GIGA).

Hsieh, Fuh Sheng. 2005. “Etnicity, National Identity, and Domestic Politics in

Taiwan”. Journal of Asian and African Studies. London: Sage

Publication. Hal 14-15. Diakses dari http://jas.sagepub.com/content/40/1-

2/13.full.pdf pada Rabu, 26 Maret 2015.

111

Jia, Qingguo. “From Self-imposed Isolation to Global Cooperation: The

Evolution of Chinese Foreign Policy Since the 1980s”. Diakses dari

http://library.fes.de/pdf-files/ipg/ipg-1999-2/artjia.pdf pada Selasa,11

November 2014.

Kai-huang, Yang. 2009. “Hu Six Points amid the Interaction between KMT and

CCP”. Diakses dari

http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/04115463073.pdf

Kan, Shirley A. dan Wayne M. Morrison. 2014. “U.S-Taiwan Relationship:

Overview of Policy Issues”. Congressional Ressearch Service (CRS).

Kastner, Scott. 2006. “Does Economic Integration Across the Taiwan Strait Make

Military Conflict Less Likely?”. Journal of East Asian Studies Vol. 6.

Keyuan, Zou. 2005. Governing the Taiwan Issue in Accordance with Law: An

Essay on China’s Anti-Secession Law. Chinese Journal of International

Law Vol. 4 No. 2.

Lawrence, Susan V. dan Michael F. Martin. 2013. Understanding China’s

Political System. Congressional Research Service (CRS).

Matsuda, Yasuhiro. 2004. PRC-Taiwan Relations under Chen Shui-bian’s

Government: Continuity and Change between the First and Second

terms. Senior Research in National Institute for Defence Studies.

Melati, Ita. 2013. “Upaya Cina dalam Mempertahankan Komunisme Pasca

Runtuhnya Uni Soviet”. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional. Diakses

dari http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-

content/uploads/2013/11/Jurnal-HI-Ita%20Melati%20%2811-15-13-04-

42-36%29.pdf pada Jumat, 16 Oktober 205.

Miller, Alice. The Politburo Standing Committee Under Hu Jintao. China

Leadership Monitor No. 35. Diakses dari

http://media.hoover.org/sites/default/files/documents/CLM35AM.pdf.

pada Kamis, 28 Januari 2016.

Min-chao, Chien. “One Step Forward, One Step Backward: Chen Shui-bian

Mainland Policy”. Diakses dari

http://nccur.lib.nccu.edu.tw/bitstream/140.119/29500/1/4.pdf pada

Kamis, 31 Desember 2015.

112

Mumin, Chen. 2005. “Prosperity vs. Security: National Security of Taiwan 2000-

2004”. Taiwan International Studies Quarterly, Vol. 1, No. 2.

Nanjing School. “The Civil War”. Diakses dari http://share.nanjing-

school.com/dphistory/files/2014/09/Civil-War-1946-9-2i0pi2f.pdf Pada

Minggu, 22 Juni 2015.

Nurdin, Angga. 2010. “Taiwan, Dilema Diantara Dua Super Power”. Jurnal

Multiversa, Vol. 2 No. 1. Yogyakarta: Institute of Internasional Studies

(IIS) Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM).

Patiel, Jeremy. 2010. Structure and Process in Chinese Foreign Policy:

Implications for Canada. China Papers No.8. Canadian International

Council (CIC).

Qingguo, Jia. 2005. “Disrespect and Distrust: the external origins of

contemporary Chinese Nationalism”. Journal of Contemporary China 14,

no. 42.

Roy, Denny. 2004. Cross-Strait Economic Relations: opportunities Outweigh

Risks. Paper Series Asia Pasific Center for Security Studies.

Sheng, Tzu-Chun dan Shu-Hui Lan. 2014. “Is Economic Cooperation Framework

Agreement the Threshold of Sustainable Development for Taiwan’s

Industries?”. International Journal of Economics and Finance Vol. 6.

Canadian Center of Science and Education.

Swaine, Michael D. 1995. China Domestic Change and Foreign Policy.

California: RAND’s National Defence Research Institute.

Tung, Chen Yuan. 2005. “The Evolution and Prospects of Cross-Strait Relations

in the Chen Shui-Bian Administration.” Diakses dari

http://www3.nccu.edu.tw/~ctung/Documents/W-B-a-17.doc Pada Rabu,

14 Oktober 2015.

Wang, Vincent Wei-cheng. 2002. The Chen Shui-bian Administration Mainland

Policy: Toward a Modus Vivendi or Continued Stalemate?. American

Asian Review Vol 20.

Wang, Vincent Wei-Cheng. 2007. The Chinese Military and the Taiwan Issue:

How China Assesses Its Security Environment. Southeast Review of

Asian Studies Vol. 29. University of Richmond.

113

Wei, Chunjuan N.. China’s Anti Secession Law and Hu Jintao’s Taiwan Policy.

Yale Journal of International Affairs.

Wei, Vincent. 2002. "The Chen Shui-Bian Administrations Mainland Policy:

Toward a Modus Vivendi or Continued Stalemate?". American Asian

Review Vol. 20, no. 3.

Winberg, Chai (ed). 1999. “Relations Between the Chinese Mainland and

Taiwan”. Asian Affairs 26, no. 2.

Xin, Xu. “The Dynamics of the Taiwan Question in Chinese Foreign Policy:

Dialectics of National Identity and International Constraint”.

Ritsumeikan Journal of Asia Pacific Studies Vol.7.

Yani, Yanyan M. “Politik Luar Negeri”. Diakses dari

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-

content/uploads/2010/01/politik_luar_negeri.pdf pada Kamis, 2 Juli

2015.

Yaqing, Qin. 2003. “Guojia Shenfen, zhanlue wenhua he anquan liyi – guanyu

zhongguo yu guoji shehui guanxi de sang jiashe (Nation Identity,

Strategic Culture and Security Interests: Three Hypotheses on the

Interaction between China and International Society)”. Shijie Jingji yu

Zhengzhi.

Zimin, Chen. “International Responsibility and China’s Foreign Policy”. Diakses

dari www.nids.go.jp/english/publication/joint_research/series3/pdf/3-

1.pdf pada Kamis 26 Februari 2015.

Internet

Arimasera, Defa. “2014. Pengaruh Belief Hu Jintao Terhadap Persiapan China-

ASEAN Free Trade Area (CAFTA) Tahun 2003-2010”. Diakses dari

https://www.academia.edu/9870688/Pengaruh_Belief_Hu_Jintao_Terhad

ap_Persiapan_CAFTA_Tahun_2003-2010 pada Sabtu, 17 Oktober 2015.

Baker, Chris. 2013. “Deepening Socio-Economic Relations Across Taiwan

Strait”. Diakses dari http://www.e-ir.info/2013/10/20/deepening-socio-

economic-relations-across-taiwan-straits/ pada Selasa, 27 Oktober 2015.

114

BBC. “Jiang Zemin’s Profile”. Diakses dari http://www.bbc.com/news/world-

asia-China-20038774 pada Minggu, 29 Maret 2015.

Center for Strategic and International Studies (CSIS). “Chinese Foreign Policy:

What Are the Main Tenets of China’s Foreign Policy”. Diakses dari

www.csis.org/CHINABALANCESHEET pada Senin, 20 Oktober 2014.

China Daily. “Anti-Secession Law adopted by NPC”. Diakses dari

http://www.chinadaily.com.cn/english/doc/2005-

03/14/content_424643.htm pada Rabu, 28 Oktober 2015.

China Daily. “International Community Supports China’s Anti Seccesion Law”.

2005 diakes dari http://www.chinadaily.com.cn/english/doc/2005-

03/16/content_425454.htm pada Minggu, 11 Oktober 2015.

China Daily. “Mainland to further direct trade with Taiwan,” diakses dari

http://www.chinadaily.com.cn/bizchina/2008-

01/20/content_6406756.htm pada Selasa, 27 Oktober 2015.

China Internet Information Center. “The Constitutional System”. Diakses dari

http://www.china.org.cn/english/Political/26143.htm pada Sabtu, 17

Oktober 2015.

Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). “Political Development”.

Diakses dari http://dfat.gov.au/geo/taiwan/pages/taiwan-country-

brief.aspx pada Sabtu, 30 Mei 2015.

Irewati, Awani. 2015. “Pemilu Taiwan, Kemenangan Partai Kuomintang”.

Diakses dari http://www.p2p-

lipi.go.id/menu/columns.aspx?id=40&lang=en pada Rabu 11 Februari

2015.

Kompas. 2009. “Volume Perdagangan Indonesia-China Terimbas Krisis”. Diakses

dari

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/08/24/11435164/volume.pe

rdagangan.indonesia-china.terimbas.krisis pada Senin, 4 Januari 2016.

Kuo, Grace. 2013. “MND Reaffirms Strong Taiwan-US Defense Ties”. Diakses

dar i http://www.taiwantoday.tw/ct.asp?xItem=204910&ctNode=445 .

pada Sabtu 21 Februari 2015.

115

Kuomintang (KMT). “Introduction to the party”. Dari

http://www1.kmt.org.tw/english/page.aspx?type=para&mnum=105 pada

Kamis 15 Oktober 2015.

Mattlin, Mikael. 2004. Same Content, Different Wrapping: Cross-Strait Policy

Under DPP Rule. Diakses dari http://chinaperspectives.revues.org/436

Pada Rabu, 14 Oktober 2015.

Ministry of Foreign Affairs Republic of China (Taiwan). “Diplomatic Allies”.

Diakses dari

http://www.mofa.gov.tw/en/AlliesIndex.aspx?n=DF6F8F246049F8D6&s

ms=A76B7230ADF29736 pada Selasa, 5 Mei 2015.

People’s Daily Online. “Hu Jintao State President”. Diakses dari

http://en.people.cn/leaders/vpresident.html pada Sabtu, 17 Oktober 2015.

People’s Daily Online. “Jiang Zemin Biography”. Diakses dari

http://en.people.cn/leaders/jzm/biography.htm pada Minggu, 22 Maret

2015.

People’s Daily Online. “Jiang Zemin’s Eight Proposal”. Diakses dari

http://en.people.cn/90002/92080/92129/6271625.html pada Rabu, 1 Juli

2015.

People's Daily Oline. “President Hu's ‘four-point’ speech shows utmost sincerity

toward Taiwan. Diakses dari

http://en.people.cn/200503/08/eng20050308_176059.html pada Sabtu, 17

Oktober 2015.

Roberge, Michael dan Youkyoung Lee. 2009. China-Taiwan Relations. Diakses

dari http://www.cfr.org/china/china-taiwan-relations/p9223 pada Rabu,

15 Oktober 2014.

Taipei Economic and Cultural Representative Office (TECRO). 2012. “Taiwan-

U.S. Relations”. Diakses dari

http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=266456&CtNode=2297

&mp=12&xp1=12 pada Kamis 11 Maret 2015.

Taipei Mission in the Republic of Latvia. 2013. “Taiwan will continue to

purchase U.S. arms: President Ma”. Diakses dari http://www.roc-

116

taiwan.org/LV/ct.asp?xItem=414777&ctNode=7925&mp=507 pada

Sabtu 21 Februari 2015.

Taiwan Affairs Office of the State Council PRC. 2008. “Let Us Join Hands to

Promote the Peaceful Development of Cross-Strait Relations and Strive

with a United Resolve for the Great Rejuvenation of the Chinese Nation.”

Diakses dari

http://www.gwytb.gov.cn/en/Special/Hu/201103/t20110322_1794707.ht

m pada Sabtu, 17 Oktober 2015.

Taiwan DC. “DPP Resolution for Taiwan Future”. Diakses dari

http://www.taiwandc.org/nws-9920.htm pada Rabu, 28 Oktober 2015.

Tempo. 2010. “Faksionalisme Menjelang Peralihan Generasi”. Diakses dari

http://koran.tempo.co/konten/2010/11/03/216799/Faksionalisme-

Menjelang-Peralihan-Generasi pada Sabtu, 17 Oktober 2015.

The Taipei Economic and Trade Office (TETO). Diakses dari http://www.roc-

taiwan.org/id/mp.asp?mp=292 pada Rabu, 29 April 2015.

Tkcacik, Jhon J., Joseph Fewsmith dan Maryanne Kivlehan. 2002. “Who’s Hu?

Assessing China’s Heir Apparent, Hu Jintao”. Diakses dari

http://www.heritage.org/research/lecture/whos-hu#pgfId=1010081 pada

29 Maret 2015.

U.S. Department of State. 2015. “U.S.-Taiwan Relations”. Diakses dari

http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35855.htm pada Rabu 11 Maret 2015.

World Trade Organization (WTO). “Understanding WTO”. Diakses dari

https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/tif_e.htm pada

Rabu, 30 Desember 2015.

WTO. “WTO Overview”. Diakses dari

https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/wto_dg_stat_e.htm pada

Senin, 16 November 2015.

WTO. 2001. “WTO successfully concludes negotiations on entry of the Separate

Customs Territory of Taiwan, Penghu, Kinmen and Matsu.” 2001.

Diakses dari https://www.wto.org/english/news_e/pres01_e/pr244_e.htm

Diakses pada Rabu, 30 Desember 2015.

117

Xiang, Zhang. 2010. “Chinese Mainland, Taiwan Sign Landmark Economic

Pact”. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/english2010/china/2010-

06/29/c_13375203.htm pada Senin, 4 Januari 2016

Xinhua News Agency. “Anti-secession Law Not a 'War Mobilization Order' “.

Dari http://www.china.org.cn/english/government/121749.htm Diakses

pada Sabtu, 10 Oktober 2015.

Xinhua News Agency. “Four-point Guidelines on Cross-Straits Relations Set

Forth by President Hu”. Diakses dari

http://www.china.org.cn/english/2005lh/121825.htm pada sabtu, 17

Oktober 2015.